Islam Dan Tantangan Modernitas
Islam Dan Tantangan Modernitas
ABSTRAK
Salah satu dilema yang dihadapi masyarakat yang sedang dalam proses modernisasi, adalah
bagaimana menempatkan nilai-nilai dan orientasi keagamaannya di tengah-tengah perubahan-
perubahan yang terus terjadi dengan cepat dalam kehidupan sosialnya. Disatu pihak ia ingin
mengikuti gerak modernisasi dan menampilkan diri sebagai masyarakat modern, tapi dilain pihak ia
tetap ingin tidak kehilangan ciri-ciri kepribadiannya ditandai dengan berbagai maca nilai yang telah
dianutnya. Dalam transisi sepert ini, kerap kali terjadi usaha pelompatan orientasi, dengan
meniggalkan segala sistem nilai yang dipandang sebagai penghalang modernisasi namun dilain sisi,
dia belum menemukan sistem nilai baru yang sudah mapan yang mampu dipakai sebagai ukuran
wawasan dan sikap laku yang dibutuhkan, maka terjadilah distorsi kepribadian yang membawa
kelabilan dalam kehidupan sosialnya. Kiranya cukup penting, untuk mengupayakan penempatan nilai-
nilai keagamaan (Islam) ini, dalam proses modernisasi dan perubahan sosial, dengan pendekatan yang
lebih terbuka, dialogis dan konstektual.
PENDAHULUAN
Pengertian modernitas berasal dari perkataan “modern” dan makna umum dari perkataan
modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan kata modern
adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang berurusan dengan masa lampau. Jadi, modernitas adalah
pandangan yang dianut untuk menghadapi masa kini. Selain sifat pandangan, modernitas juga
merupakan sikap hidup yang dianut dalam menghadapi kehidupan masa kini. Modernitas sebagai
pandangan dan sikap hidup yang bersangkutan dengan kebiasaan masa kini, banyak dipengaruhi oleh
peradaban modern. Sedangkan yang dimaksud dengan peradaban modern, adalah peradaban yang
dibentuk mula-mula dari Eropa Barat, kemudian menyebar ke seluruh dunia. Peradaban modern itu
terbentuk pada abad ke-16 melalui suatu perubahan yang penting di Eropa barat dikenal dengan
Renaisanse.
Peradaban Barat mempunyai pengaruh besar terhadap modernitas, oleh karena peradaban
Barat pada saat sekarang ini, merupakan peradaban yang dominan di dunia, sebagaimana pula Islam
pada abad 6 sampai dengan abad 16 mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan peradaban
Barat. Oleh sebab itu, untuk mengenal dan mengembangkan modernitas, sangat tidak mungkin tanpa
mengetahui unsur-unsur utama peradaban Barat.
Selanjutnya adalah definisi Islam. Islam dari segi bahasa berarti patuh, tunduk, taat dan
berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia
maupun di akhirat. Adapun kata Islam menurut istilah ialah mengacu pada agama yang bersumber
pada wahyu yang datang dari Allah SWT. bukan berasal dari manusia, dan bukan pula berasal dari
Nabi Muhammad saw, posisi Nabi dalam islam diakui sebagai utusan Allah untuk menyebarkan
ajaran islam kepada umat manusia.
Dalam sebuah buku yang berjudul Islam in Modern History (Islam di Zaman Modern) karangan
seorang guru besar bidang studi perbandingan agama yang bernama Willfred Cantwell Smith di Mc
Gill University Canada. Ia menjelaskan bahwa hakikat suatu agama dan tradisi serta penampilan
pemeluk agama tersebut adalah dua hal yang berlainan. Demikian pula halnya dengan islam, bahwa
hakikat agama islam yang ditetapkan oleh Allah dengan wahyu itu tidak identik dengan islam yang
ditampilkan oleh pemeluk-pemeluknya dari masa ke masa dan oleh pemeluk-pemeluknya di berbagai
tempat. Islam hakikatnya merupakan nilai-nilai ideal dan ajaran samawi yang luhur, sedangkan para
ajaran tersebut, tapi tidak ada yang berhasil menyesuaikan diri dengan sempurna dan utuh dengan
hakikat nilai dengan ajaran tersebut. Apa yang dapat dilakukan oleh komunitas selama ini adalah
proses upaya penyesuaian diri dengan hakikat islam, yaitu upaya yang dapat dilakukan sampai batas
kemampuan individu atau masyarakat islam sesuai dengan kondisi dan situasi kulturalnya.
Tantangan yang dihadapi umat Islam, sebagai akibat modernitas Barat yang secara radikal
mengintervensi seluruh bidang kehidupannya, benar-benar mempunyai implikasi serius terhadap masa
depan Islam dan umat Islam. Dalam era modern umat Islam sering dihadapkan pada sebuah
tantangan, di antaranya adalah menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan
modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan guna menghadapi modernisasi
dalam kehidupan publik, sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemikiran. [5]
Clifford Geertz menyatakan bahwa dalam menghadapi dunia modern, sikap orang bisa
bermacam-macam. Ada yang kehilangan sensibilitas mereka, ada yang menyatu ke dalam ideologi
penjajah atau sekedar mengadopsi kreasi impor, ada yang mengambil jarak dengan penuh waspada
atau menjadikan beberapa tradisi bentuk yang lebih efektif, ada juga yang membagi dirinya menjadi
dua dunia (hidup secara spiritual sesuai dengan keyakinan lama dan hidup secara fisik sesuai dengan
kekinian), ada pula yang mencoba mengekspresikan keberagamaan mereka dalam aktivitas-aktivitas
sekular.[6] Sikap semacam inilah yang terjadi pada umat Islam, di mana mereka tidak memiliki
kesepakatan sikap dalam memahami ajaran agamanya di tengah kehidupan publik yang modern.
Perbedaan sikap di atas karena Islam sebagai agama yang diturunkan di tengah bangsa Arab
kemudian diadopsi oleh masyarakat non-Arab dengan kultur yang berbeda, sehingga dalam
memahami ajaran Islam mereka pun akhirnya memiliki perbedaan. Sehingga munculnya banyak
corak Islam, ada Islam Iran, ada Islam Indonesia, ada Islam Afrika, yang masing-masing varian
merepresentasikan dimensi budayanya.[7]
Nabi Muhammad sendiri tidak menuntut pengikutnya untuk menjadi masyarakat yang harus
merealisasikan semua ide Islam secara tepat, persis dengan yang ia lakukan. [8] Jadi wajar jika terdapat
perbedaan bentuk, antara Islam sekarang dengan Islam di masa lampau. Hal semacam ini
mendapatkan pengakuan dari Hallaq, yang menyatakan bahwa dalam bidang fikih misalnya, ajaran
Islam tumbuh dan berkembang dalam bentuk yang berbeda dalam komunitas yang beragam. [9] Itu
artinya, meskipun Islam tumbuh dalam tradisi dan masyarakat bangsa Arab, setiap muslim tidak harus
menerjemahkan Islam sesuai dengan yang diterapkan oleh bangsa Arab, akan tetapi
menformulasikannya sesuai dengan kondisi sosial mereka.
Dari itulah dalam merespon modernisasi, sikap umat Islam terbagi menjadi 3 kelompok atau
kategori. Menurut formulasi Meuleman ketiga kategori tersebut adalah :
3. Keterbukaan kritis
Kelompok ini mempuyai sikap yang tidak secara otomatis anti modernisasi dan anti Barat.. Sikap
ini disatu pihak sada r akan adanya hal-hal yang baik dan bermanfaat dari luar lingkungan dan
tradisinya sendiri, , modernisasi dimodifikasi sekiranya tidak bertentangan dengan hal-hal yang
dianggap prinsip oleh mereka dan dapat menikmati serta menghargainya. Bagi mereka, Barat
mengandung unsur kebaikan, sehingga mereka tidak keberatan untuk menerimanya selama tidak
harus mengorbankan agamanya. Dalam waktu bersamaan mereka juga sadar bahwa Barat harus
disikapi dengan kritis, bahkan dalam batas tertentu harus ditolak. Ada tiga alasan pokok bagi
kelompok ini :
proses globalisasi dan peningkatan hubungan antar bangsa, antar budaya dan antar agama adalah
suatu realitas yang tidak mungkin dapat dihentikan hanya karena orang tertentu tidak setuju atau tidak
senang dengannya. Sikap terhadap proses itu hanya akan menimbulkan atau menambah
ketergantungan dan keterbelakangan dalam segala bidang serta perpecahan atau alienasi jiwa dan
budaya.
qur’an maupun sunnah Nabi tidak megajarkan bahwa apa yang ada diluar Islm itu semuanya buruk
dan harus dijauhi, demikian juga pengalaman kesejahteraan umat Islam cukup memberi pelajaran
kepada kita terutama dalam mengambil manfaat ilmu-ilmu orang lain, bahkan kemajuan peradaban
besar lain untuk kemajuan Islam. Semangat Arabisasi keilmuan kemudian disusul Islamisasi telah
memberi tambahan kematangan dan keunggulan umat Islam dalam melahirkan peradaban dunia pada
abad ke 7-12 Masehi.
Dalam bidang ilmiyah, sikap ini memberikan keuntungan karena dapat mengambil yang paling
berharga dari luar sesuai dengan tujuan dan kepentingan sendiri. Sikap keterbukaan berarti adanya
hubugan intensif dengan adanya hubungan dunia luar sesuai dengan tujuan dan kepentingan sendiri.
Sikap keterbukaan berarti adanya hunungan intensif dengan dunia ilmiah luar, penguasaan informasi
dan lain-lain. Sedang sikap kritis berarti perhatian besar terhadap persoalan metodogi, teoritik,
filosofi, dan lain-lain, yang dilakukan berdasarkan dialog dan saling menghormati.
Sikap keterbukaan kritis ini dapat dilihat pada profil kecendekiawanan seseorang seperti Fazlur
Rahman dan Muhammad Arkaoun pada akhir abd ke-20 ini, keduanya berusaha memanfaatkan hasil
mutakhir dari ilmu sosial, sejarah sastra dan filsafat ke dalam kajian ilmu-ilmu islam, dengan
menggunakan metode penelitian dan penulisan yang kritis.
Semua perbedaan sikap di atas, terjadi karena perbedaan antara ajaran ideal Islam dengan praktik
yang terjadi di lapangan. kita tidak bisa menjadi religius dalam cara yang sama seperti para
pendahulu kita di dunia pra modern yang konservatif. Betapapun kerasnya kita berusaha menerima
dan melaksanakan warisan tradisi Agama pada masa keemasannya, kita memiliki kecenderungan
alami untuk melihat kebenaran secara faktual, historis dan empiris. Baik konservatisme maupun
modernisme, bukanlah pilihan yang tepat. Keduanya produk historis yang perlu dikaji ulang
validitasnya. Artinya, semua tipologi pemikiran di atas tidak perlu ada yang disalahkan.
Apapun respon umat Islam terhadap modernisasi, yang jelas dalam dunia modern ini budaya
Eropa Barat yang bersifat industrial sangat dominan, sementara budaya Islam menjadi terdominasi
karena masih bersifat pre-industrial, [15] sehingga banyak hal baru yang masuk ke dalam masyarakat
Islam dan menimbulkan kecemasan, karena dampaknya pada kehidupan yang materialistis, unmoralis,
dan sekuler. Maka manusia modern sekarang ini mulai merasakan kehampaan spiritual dan ingin
kembali kepada agama. Seperti yang ditulis oleh Thoureau, bahwa kini banyak sekali orang yang
hidup dalam keputus asaan.[16]
Dalam kecemasan itu, umat beragama seringkali kemudian mencari bentuk format ajaran
agamanya yang merujuk pada masa lampau untuk mendapatkan otentisitas keberagamaannya. Dalam
tubuh umat Islam sendiri terjadi kekecewaan terhadap Islam yang menekankan aspek esoteris, yang
hanya memuaskan segi kognitif, Islam yang mengenyirkan kening. Orang sekarang mencari Islam
yang menyentuh secara afektif, Islam yang meneteskan air mata. [17]
Akan tetapi manusia dan masyarakat tetap berjalan terus ke masa depan, dan di depan mereka
dihadapkan pada kemajuan sains, wacana-wacana intelektual dan transaksi-transaksi rasional, yang
semua itu harus disikapi dengan perubahan, sehingga terjadilah perdebatan panjang dalam masyarakat
beragama, antara keinginan untuk kembali kepada masa lampau dengan keinginan untuk melakukan
perubahan, antara keinginan untuk tetap mempertahankan tradisi masa lampau dengan keinginan
untuk menyongsong masa depan.
Modernisasi pendidikan adalah salah satu pendekatan untuk suatu penyelesaian jangka panjang
atas berbagai persoalan umat Islam saat ini dan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu,
modernisasi pendidikan adalah sesuatu yang penting dalam melahirkan suatu peradaban islam yang
modern. Dalam menjalankan tugasnya, al-Ghazâlî menganjurkan agar guru mengajar dan
membimbing dengan penuh kasih sayang sebagaimana ia mengajar dan mendidik anaknya sendiri.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh imam Al Ghozali : “Didiklah muridmu dan perlakukanlah mereka
seperti anakmu sendiri”, pesan al-Ghazâlî pada para guru. Bahkan al-Ghazâlî mengutip Sabda
Rasulullah; “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama seorang ayah bagi anaknya.” (HR. Abû
Dawud , al-Nasâ’i, Ibn Mâjah, Ibn Hibbân dari Abû Hurairah).
Konsep pendidikan Islam bermuara pada upaya sadar untuk mengembangkan potensi-potensi
manusiawi, dalam rangka mewujudkan manusia berkualitas rohani dan jasmani, dalam Al-Quran
disebut dengan Uluu Ba’sin, yaitu orang-orang yang mempunyai keberanian, ulul i’lmi yaitu orang-
orang yang berilmu; ulin-nuhaa yaitu orang-oang yang berakal; uliil abshaar yaitu orang-orang yang
mempunyai pandangan jauh kedepan ulul albaab yaitu orang orang yang berakal.
Pendidikan bukan sekedar kegiatan alih pengetahuan dan keahlian (transfer of knowledge and
skills) tetapi juga kegiatan alih nilai dan budaya (transfer of values and culture. Suatu strategi atau
konsep dasar pendidikan bagi suatu umat atau bangsa tidak mungkin dapat disusun dengan baik,
apabila tidak didasarkan pada :
1. Latar belakang agama dan budaya umat atau bangsa yang bersangkutan
2. Cita-cita umat atau bangsa tersebut
3. Tantangan yang dihadapi oleh bangsa atau umat tersebut.
Dalam kajian sosiologis, agama dipandang sebagian suatu sistem yang terdiri dari 4
komponen, yaitu :
1. Emosi keagamaan (as-syu’urud-diniyah) yang menyebabkan manusia memiliki rasa dan semangat
beragama.
2. Sistem keyakinan atau credo (nizhamul-aqidah) yang mencakup segala keyakinan terutama terhadap
Allah dan kehidupan ghaib. Termasuk juga sistem nilai dan norma moral.
3. Sistem ritus (nizhamul-‘ibadah) upaya manusia dalam melakukan suatu hubungan dan pendekatan
kepada Tuhan / Allah dan sikap dalam menghadapi lingkungannya.
4. Konsep umat atau solidaritas sosial yang menganut sistem agama tersebut (fikratul ummah)
Essensi agama dalam kehidupan masyarakat dapat dipantau dari tingkat eksistensi komponen-
komponen tersebut, dan pendidikan agama berusaha melestarikan keutuhan komponen agama dalam
realitas kehidupan masyarakat.
Dari konsep ini, pendidikan agama berperan membentuk suatu private culture yang pada
gilirannya akan berfungsi sebagai landasan budaya masyarakat atau bangsa yang bersangkutan public
culture. Dalam kenyataannya masyarakat modern atau masyarakat industri dan informasi tetap
mempunyai kecenderungan religius (emosi religius) dan ketertarikan terhadap kehidupan spiritual
(spiritual life). Hal demikian dapat diamati dari ramainya pusat-pusat olah rohani seperti perkumpulan
subud di Indonesia atau gerakan-gerakan mistik di negara-negara barat sendiri. Etika religius memang
lebih cepat memperoleh simpati dari masyarakat modern daripada doktrin-doktrin normatif dan
ajaran legal formalis.
Para pendidik agama dalam menghadapi ajaran sains dan teknologi modern, umumnya
menghadapi kendala metologis, disampingkan keterbatasan materi, bahkan kerap kali menambah
konflik nilai yaitu antara nilai agama dan nilai ilmiah, keadaan seperti ini memang memprihatinkan.
Prinsip ekonomi islam dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah pokok yang membentuk struktur
dan tatanan perekonomian islam, atau unsur yang menjadi struktur suatu aktivitas, yang berlandaskan
dari ajaran dan nilai islam. Selain itu, prinsip dari ekonomi islam juga dapat dikaitkan erat dengan
kondisi dan permasalahan bangsa Indonesia serta dalam situasi dimana bangsa Indonesia menghadapi
sebuah persaingan di pasar bebas seperti prinsip kerja, kompensasi, efisiensi, profesionalisme,
kebebasan, persaingan,kerjasama, dan solidaritas.
Di dalam ekonomi islam, kerja adalah sebauh prinsip yang sangat penting. Kerja memiliki peran
yang penting bagi proses kemajuan dan perubahan dalam segala aspek kehidupan, baik bagi individu,
masyarakat maupun negara. Telah ditunjukkan bagaimana pentingnya kerja dalam perkembangan
islam, semua telah tertulis dalam berbagai ayat dan hadis yang telah beredar di kalangan masyarakat
islam. Ayat-ayat dan hadis tersebut berisi mengenai motivasi-motivasi untuk melakukan kerja, baik
kerja yang bersifat keakhiratan (atau yang biasa disebut dengan ibadah karena nilai yang ditanamkan
diniatkan untuk Allah) maupun kerja yang bersifat keduniawian saja. Di dalam ajaran islam, umat
islam diperintahkan untuk melakukan kedua macam kerja tersebut dengan seimbang tanpa condong
ke salah satu macam kerja tersebut dan bersungguh-sungguh dalam kegiatan tersebut. Bahkan jika hal
tersebut dijadikan menjadi sebuah intensif, islam juga menjadikannya sebagai bentuk ibadah kepada
Allah SWT.
Dalam bekerja, islam juga telah memberikan pesan bahwa setiap orang hanya akan mendapatkan
apa yang diusahakannya, artinya bahwa apa yang akan diperoleh seseorang adalah sesuai dengan apa
yang telah diusahakannnya. Ini menggambarkan bahwa islam telah mengajarkan prinsip kompensasi.
Prinsip kompensasi berarti sesorang akan berusaha dan bekerja dengan keras jika ia mengharapakan
untuk memperoleh imbalan yang besar. Begitupula ketika seseorang mempekerjakan orang lain, akan
memberikan kompensasi sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Imbalan adalah simbol dari hasil
yang dicapai dari sebuah proses kerja. Oleh karena itu, dalam konteks persaingan di era pasar bebas,
implementasi prinsip kompensasi adalah upaya untuk melakukan proses kerja dengan seoptimal
mungkin, sehingga hasil yang dicapai akan maksimal, yaitu mampu menjadi pemain pasar yang
unggul dan mampu bersaing dengan negara-negara lain.
Dalam melakukan kerja yang dijalankan dengan prinsip kompensasi, sangat penting juga prinsip
lainnya yaitu efisiensi. Kerja sebagai simbol dari usaha, dan kompensasi sebagai simbol dari hasil.
Oleh sebab itu, untuk mencapai hasil yang maksimal, usaha yang dilakukan harus dijalankan secara
efisien.
Ketika islam memberikan tuntunan bagi umat islam untuk tidak melakukan perbuatan berlebih-
lebihan (israf) dalam hal yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi (konsumsi) bahkan termasuk pula
dalam perilaku yang berkaitan dengan ibadah, sesungguhnya islam telah mengajarkan prinsip
efisiensi. Artinya bahwa, sumber daya yang dimiliki seharusnya dapat digunakan untuk memberikan
kemanfaatan (output) semaksimal mungkin sesuai dengan potensi dari sumber daya yang dimiliki
tersebut. Efisisensi dalam perspektif ekonomi islam bukan upaya untuk meraih hasil/keuntungan
sebesar-besarnya dengan mengeluarkan pengorbanan yang sekecil-kecilnya, tetapi efisiensi adalah
perbandingan terbaik antara kegiatan pengelolaan sumber daya dengan hasil (output) nya.
Setiap usaha yang dilakukan (kerja) akan merealisasikan hasil (kompensasi) yang optimal ketika
usaha tersebut dapat dilakukan dengan efisien. Efisiensi akan dapat dicapai jika didalamnya
diterapkan prinsip profesionalisme. Profesional berarti menyerahkan pengelolaan sumber daya kepada
ahlinya, sehingga diperoleh hasil (output) yang baik (optimal). Dalam prinsip ini, islam memberikan
kaidah bahwa agar suatu pekerjaan dapat mencapai hasil yang baik, maka harus dilakukan oleh orang
yang ahli pada bidangnya (expert). Dalam konteks persaingan di era pasar bebas, peningkatan
profesionalisme menjadi sebuah tuntutan yang harus dilaksanakan, yaitu dengan melakukan
penempatan SDM sesuai dengan keahliannya, dan dengan melakukan peningkatan dan pengembangan
kompetensi SDM yang telah ada, sehingga faktor SDM tersebut memiliki daya saing tinggi .
Setelah kerja, prinsip selanjutnya adalah persaingan. Islam telah memberikan dorongan bagi para
umat muslim untuk bersaing dalam perkara baik dan dalam ibadah pun kita juga harus bersaing untuk
mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Dengan adanya persaingan antara umat muslim, akan
terpancing iklim bisnis dan kerja yang lebih dinamis, dengan demikian akan lebih mudah tercapainya
efisiensi bisnis yang tinggi. Oleh karena itu, dalam konteks persaingan pasar bebas, persaingan
khususnya secara internal bangsa Indonesia juga menjadi sangat dibutuhkan, baik persaingan antar
individu, antar bisnis, antar sektor dan antar daerah di seluruh wilayah Indonesia
Prinsip berikutnya yaitu kebebasan. Perhatian dan apsresiasi islam yang besar terhadap prinsip
kebebasan ini dapat dilihat misalnya kebebasan yang diberikan oleh islam yang tidak hanya dalam
aspek muamalah saja, bahkan juga dalam aspek ibadah dan aqidah. Kebebasan dalam pandangan
islam bukan kebebasan seperti yang menjadi paradigma bagi ekonomi kapitalis yang sekuler, tetapi
kebebasan dalam pandangan islam adalah kebebasan yang dimiliki oleh setiap manusia untuk
mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk memperoleh ke-maslahat-an tertinggi dari sumber
daya yang ada pada kekuasaannya. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan, kebijakan, termasuk
sistem yang dapat menghilangkan kebebasan manusia akan menghambat kemajuan masyarakat dan
dapat menurunkan keunggulan bersaing di berbagai skala persaingan.
Prinsip berikutnya adalah kerjasama. Kerjasama adalah upaya untuk saling mendorong dan
saling menguatkan satu sama lainnya didalam mencapai tujuan bersama. Indonesia sebagai sebuah
negara tentunya juga sudah sangat jelas memiliki tujuan bersama, oleh karenanya, kerjasama menjadi
elemen yang sangat penting dalam menghadapi berbagai kondisi dan tantangan bangsa, yang salah
satunya adalah dalam menghadapi era pasar bebas. Pentingnya kerjasama ternyata tidak luput pula
mendapat perhatian yang besar dari islam. Islam telah mendorong umatnya untuk saling melakukan
kerjasama (ta’awun) didalam segala hal yang bersifat positif. Kerjasama dalam ajaran islam bukan
saja disebabkan karena manusia memiliki beberapa tujuan yang sama, tetapi juga karena memang
sunnatullah manusia diciptakan secara berbeda dalam banyak hal termasuk dari sisi potensi dan
kemampuan yang dimiliki, sehingga islam sangat mendorong prinsip kerjasama didalam berbagai
aspek kehidupan manusia.
Perhatian yang besar dari islam terhadap prinsnip solidaritas karena sesungguhnya solidaritas
adalah basis untuk membangun kekuatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kerja yang dibangun untutuk tujuan bersama dengan menciptakan efisiensi dan profesionalisme
dengan prinsip kerjasama tidak mungkin terwujud tanpa adanya solidaritas yang dibangun dalam
organisasi kerja tersebut. Oleh karenanya, solidaritas harus terus dibangun dan dijaga, sehingga
bangsa indonesia dapat menghadapi dan melalui berbagai tantangan, baik tantangan dalam skala
nasional, regional maupun global.
KESIMPULAN
1. Modernitas yang melanda dunia umat islam, dengan segala bentuk efek positif-negatifnya,
menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh umat islam ditengah kondisinya yang sedang
terpuruk pada saat ini. Umat islam dituntut bekerja ekstra keras untuk dapat mengembangkan
segala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya. Modernisasi bukanlah sesuatu hal
yang substancial untuk ditentang kalua masih mengacu pada ajaran Islam. Sebab Islam
adalah agama universal yang tidak akan membelenggu manusia untuk bersikap maju, akan
tetapi harus berpedoman pada islam.
2. Pendidikan Islam di Indonesia mengalami dua periodisasi dalam perkembangan yaitu
periode sebelum tahun 1900 merupakan pendidikan Islam secara tradisional. Sedangkan
periode setelah tahun 1900 atau awal abad ke-20 merupakan awal pembaharuan pendidikan
Islam Indonesia. Perintis perubahan atau pembaharuan pendidikan Islam Indonesia
menuju modernisasi pendidikan Islam yang modern; pertama datang dari pemerintahan
Belanda yang mendirikan sekolah rakyat dan kedua datang dari para reformis muslim
yang merupakan para pelajar-pelajar Indonesia kembali dari di Mekah yang belajar di sana.
Lembaga pendidikan Islam baik itu pesantren maupun surau pada awal permulaan masih
dilaksanakan dengan sistem tradisional tidak adanya klasikal setelah adanya serangan
dari para reformis muslim lambat laun menerima dengan respons yang baik dan masih
ada sebagian lembaga pendidikan Islam yang masih tetap melaksanakan secara
tradisiona
DAFTAR PUSTAKA