Anda di halaman 1dari 16

Nama : Ainun Nafisatur Rohmah

NIM : 08020422036
Kelas : 1B Ekonomi Syariah

RESUME BUKU
Judul : Al-Quran dan Hadis Dirasah Islamiyah I
Penulis : Abuddin Nata
Edisi ke :1
Cetakan ke :5
Jumlah Hal : 222
Kota Terbit : Jakarta
Penerbit : PT Raja Grafindo Persada
Tahun Terbit : 1996

BAB 1
AGAMA DAN MENGAPA MANUSIA BERAGAMA

A. Pengertian Agama
Menurut Harun Nasution , Agama dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kakuatan gaib
yang harus dipatuhi;
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia;
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia dan yang
mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia;
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu;
5. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu
kekuatan gaib;
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini
bersumber pada suatu kekuatan gaib;
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia;
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang
Rasul.
B. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
Untuk mengetahui kebutuhan manusia terhadap agama dapat dilihat
antara lain dari segi kebutuhan fitrah manusia kemudian menghubungkannya
dengan apa yang diberikan agama bagi pemenuhan kebutuhan tersebut.
Manusia secara umum mempunyai dua kebutuhan. Pertama, kebutuhan
spiritual dan kedua, kebutuhan material. Daya tahan agama bagi kehidupan
manusia banyak ditentukan oleh peran yang dimainkan agama bagi
pemenuhan kebutuhan manusia tersebut. Murthada murthahhari mengatakan,
Jika kita ingin menyatakan dengan pasti bahwa agama akan kekal dan
langgeng haruslah ada salah satu dari dua hal berikut, yakni agama itu betul-
betul merupakan kebutuhan alami, atau menjadi sarana untuk memenuhi
kebutuhan alami tersebut, dengan syarat ia merupakan satu-satunya sarana
untuk memenuhi kebutuhan ini atau kebutuhan fitri yang lain, sehingga tidak
ada sarana lain yang lebih baik daripadanya. Jika ada sarana lain yang lebih
utama, lebih berfaedah dan lebih besar pengaruhnya daripada agama, akan
hilanglah kebutuhan manusia akan agama. Karena itulah, muthahhari
menyimpulkan bahwa pada hakikatnya agama memiliki dua keistimewaan
tersebut. Ia merupakan kebutuhan Fitri dan emosional manusia. Ia juga
merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan Fitri manusia, yang
berkedudukan tak dapat digantikan oleh apa pun.
Dilihat dari sudut kehidupan sosial ternyata manusia sangat
memerlukan agama. Itulah sebabnya dalam agama Islam misalnya, diatur
hubungan antar manusia, hubungan itu antara lain berbentuk lembaga
perkawinan yang mengatur dan menetapkan soal akad nikah sebagai pangkal
tolak pembangunan rumah tangga yang sejahtera, harmonis, dan bahagia.
Dari perkawinan dan kehidupan rumah tangga yang baik lahirlah masyarakat
yang beradab.

BAB 2
TUJUAN-TUJUAN POKOK AGAMA ISLAM

A. Pengertian Agama Islam


Menurut etimologi, Islam berasal dari bahasa Arab, dari kata Salima
yang berarti "selamat sentosa" . Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang
artinya "memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa", dan berarti juga
"menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat". seseorang yang bersikap
sebagaimana dimaksud oleh pengertian Islam tersebut disebut muslim, yaitu
orang yang telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, patuh, dan
tunduk kepada Allah SWT.
Secara terminologis, Islam berarti ajaran-ajaran yang diwahyukan
Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. atau lebih tegas lagi Islam
adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia
melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul.
B. Tujuan-Tujuan (Maqashid) Syari’ah
Pada uraian terdahulu dijelaskan bahwa tujuan agama Islam secara
umum adalah membawa manusia kepada kehidupan yang baik, sejahtera
lahir batin, sehingga memperoleh kedamaian dan ketentraman hidup di dunia
dan akhirat. Agama Islam berpedoman kepada alquranul Karim. Karena itu,
membicarakan tujuan syariat Islam tidak dapat dilepaskan dari tujuan
diturunkannya Al-Qur'an.
Tujuan diturunkannya al-Quran menurut Mahmud Syaltout meliputi tiga
bidang, yaitu aqidah, akhlak, dan ibadah. ketika bidang ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Bidang Akidah
Menurut bahasa, 'aqidah berasal dari kata 'aqada ya'qidu aqdan atau
'aqidatan yang berarti mengikatkan. Bentuk jamak dari 'aqidah adalah
'aqaid yang berarti simpulan atau ikatan Iman. Dari kata itu muncul pula
kata i'tiqad yang berarti tashdiq atau kepercayaan. Sayid Sabiq ketika
mendefinisikan keimanan atau aqidah mengatakan, pengertian keimanan
atau aqidah itu terdiri dari 6 perkara:
1) Makrifat kepada Allah, makrifat dengan nama-namanya yang mulia
dan sifat-sifatnya yang tinggi.
2) Makrifat terhadap alam yang ada di balik alam semesta ini, yakni alam
yang tidak dapat dilihat.
3) Makrifat terhadap kitab-kitab Allah SWT.
4) Makrifat dengan Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul yang dipilih Allah SWT.
5) Makrifat terhadap hari akhir dan peristiwa-peristiwa yang berkaitan
dengan itu.
6) Makrifat kepada takdir (qada dan qadar).
2. Bidang Akhlak
Menurut suatu pendapat, akhlaq berasal dari kata khilqun atau khuluqun
yang mengandung segi-segi persesuaian dengan khalqun serta erat
hubungannya dengan khaliq atau makhluq. Dari sinilah asal perumusan
ilmu akhlak yang merupakan koleksi ugeran (kaidah atau norma) yang
memungkinkan timbulnya hubungan baik antara makhluk dengan khaliq
dan antara sesama makhluk.
Dalam bahasa Yunani akhlak sering disebut Ethick asal kata dari
ethikos dan dalam bahasa Latin disebut dengan istilah moral yang berasal
dari kata mores. Kata-kata tersebut mempunyai arti tabiat, budi pekerti,
atau adat istiadat.
Pengertian akhlak dari segi istilah menurut para ahli:
 Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din
Akhlak adalah gambaran dari keadaan jiwa yang mendalam
yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan gampang, tanpa
memerlukan pertimbangan pemikiran atau renungan.
 Menurut Ibnu Miskawih dalam kitabnya Tahzib al-Akhlak
Akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan-
pertimbangan.
 Menurut Prof. Farid Ma’ruf dalam bukunya Akhlak dalam
Perkembangan Muhammadiyah
Akhlak adalah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan mudah, karena sudah menjadi kebiasaan,
tanpa memerlukan pertimbangan terlebih dahulu.
 Menurut Dr. Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlak
Akhlak adalah kehendak yang dibiasakan.
3. Bidang Ibadah
Ibadah berasal dari bahasa Arab 'abada ya'budu 'ibadatan 'ubudatan dan
'ubudiyatan, yang secara etimologis berarti menyembah, menurut, dan
merendahkan diri. Ibadah dalam arti umum meliputi segala kegiatan
manusia, baik yang dilakukan dalam hubungannya dengan bidang
ekonomi dan sosial maupun kegiatan Muamalat lainnya yang didasarkan
kepada kepatuhan, ketundukan, dan keikhlasan kepada Allah SWT.
C. Hubungan (nisbah) Antara Akidah, Ibadah, dan Akhlak
Antara akidah, ibadah dan akhlak memiliki hubungan fungsional yang
saling mengisi, dan dalam praktek, ketiga bidang ini tidak mungkin dapat
dipisahkan. Akidah atau iman adalah pondasi dalam kehidupan umat Islam,
sedangkan ibadah adalah manifestasi dari iman. Kuat atau lemahnya ibadah
seseorang ditentukan oleh kualitas imannya. Demikian pula sikap seseorang
dalam menerima dan melaksanakan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah
Tuhan serta sikap menjauhi larangan-larangannya yang disebut undang-
undang ilahi (Syariah) menunjukkan sikap mentalnya yang paling dalam
terhadap Allah SWT.

BAB 3
AL-QUR’AN BUKTI KEBENARAN ISLAM

A. Pengertian Al-Quran
Secara logowi (bahasa) al-Quran berarti saling berkaitan, berhubungan
antara satu ayat dengan ayat lain, dan berarti pula bacaan. Semua pengertian
ini memperlihatkan kedudukan al-Quran sebagai kitabullah yang ayat-ayat
dan surat-suratnya saling berhubungan, dan ia merupakan bacaan bagi kaum
muslimin. Dari segi istilah al-Quran adalah kalamullah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad dan membacanya adalah ibadah.
B. Otentitas Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan otentitas Alquran dalam pembahasan ini adalah
bahwa Alquran yang ada pada kita sekarang ini benar-benar terpelihara
kemurniannya. Masalah ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Masa Turunnya
Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu lebih
kurang 23 tahun. Tujuan Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur
itu adalah agar Rasulullah SAW dan para sahabatnya dapat menyimak,
memahami, mengamalkan, dan memeliharanya dengan baik. Rasulullah
membacakannya di hadapan para sahabat secara perlahan-lahan dan para
sahabat membacanya sedikit demi sedikit.
Selain itu, Alquran diturunkan berkaitan dengan suatu peristiwa baik
bersifat individual maupun sosial. Dengan cara ini proses pemeliharaan
kemurnian Alquran berjalan dengan sendirinya.
Demikian pula mengenai lailatul qadar yang menandai permulaan
turunnya al-Quran. Penetapan malam ini dimaksudkan agar manusia
dapat mengingatnya, sehingga ia akan terus diingat dan dikenang. Ini juga
merupakan bentuk lain dari upaya pemeliharaan kemurnian al-Qur'an, di
samping menunjukkan keagungannya.
b) Yang Menyampaikan Al-Qur’an
Al-Qur'an memberi informasi bahwa ia diturunkan dari lauhul Mahfudz
ke dunia melalui malaikat Jibril. Lauhul Mahfudz adalah tempat yang
terpelihara, semacam disket dalam sistem komputer yang terpelihara
secara apik dari gangguan dan pengrusakan.
c) Penerima Al-Qur’an
Sebagaimana disebutkan di atas, wahyu dari Allah SWT disampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Sebagai penerima
wahyu, Nabi Muhammad dianugerahi Allah sifat-sifat mulia yang
mustahil ia berdusta.
d) Para Penulis Al-Qur’an
Teks al-Qur'an ditulis sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Rasulullah.
Penulisannya dilakukan di hadapan beliau sendiri. Mereka yang menulis
terkenal sebagai orang-orang yang dekat dengan Rasulullah SAW,
pelaku-pelaku sejarah yang mengetahui masalah pada waktu al-Quran
diturunkan, cinta kepada Rasulullah, dan memiliki kualitas keagamaan
yang tinggi. Dengan demikian sikap amanah dan integritas mereka dalam
pemeliharaan kemurnian al-Qur'an tidak diragukan lagi.
C. Bukti Kebenaran Al-Qur’an
Diantara bukti kebenaran al-Qur'an adalah mukjizat al-Qur'an itu
sendiri. Yang dimaksud dengan mukjizat ialah sesuatu yang menjadikan
manusia tidak mampu menampilkan hal yang sama. Al-Qur'an menentang
manusia dan jin untuk menandinginya sekalipun hanya satu surat, sampai
muncul kesadaran mereka mengakui kelemahan dan ketidakmampuannya.
Ketidakmampuan manusia membuat sesuatu yang sama dengan al-Qur'an
menunjukkan bahwa al-Qur'an adalah benar-benar wahyu Allah SWT.

BAB 4
TEMA-TEMA POKOK AL-QUR’AN

A. Pengertian
Yang dimaksud dengan tema-tema pokok al-Qur'an adalah suatu cara
penafsiran al-Qur'an dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang berbeda-
beda dalam surat al-Qur'an yang berkaitan dengan topik tertentu.
B. Tema-Tema Pokok Al-Qur’an
1. Keadilan
Di dalam al-Qur'an, kata-kata adil diulang sebanyak 28 kali dalam
bentuk kata kerja (fi'il) dan kata benda (isim). Kata adil dalam al-Qur’an
terkadang berarti seimbang, tebusan, menyimpang, mempersekutukan,
adil, jujur dan benar.
Kata Adil yang berarti seimbang diungkapkan dalam 4 ayat. Adil dalam
arti tebusan juga diulang sebanyak 4 ayat. kata Adil yang berarti
menyimpang dikemukakan dalam al-Quran sebanyak 2 kali. Kata Adil
yang berarti mempersekutukan disebut dalam al-Quran sebanyak 1 kali.
Kata Adil yang berarti benar disebut dalam al-Quran sebanyak 1 kali.
Kata Adil yang berarti jujur terdapat dalam al-Quran sebanyak 1 kali.
Selanjutnya kata adil diartikan dengan adil itu sendiri paling banyak
digunakan yaitu 15 kali. Dengan demikian jumlah seluruhnya 28 kali kata
adil disebut dalam al-Quran.
2. Musyawarah
Dalam al-Quran tema musyawarah didapati dalam 3 ayat, yaitu dalam
surat As-syura ayat 38 dengan memakai kata Syura, dalam surah al-
Baqarah ayat 233 dengan bentuk ungkapan tasyawur, dan dalam surat Ali
Imron ayat 159 dengan ungkapan syawir. Al-Raghib al-asfahani dalam
kitabnya Al-Mufradar fi Ghorib al-Quran mengatakan, kata-kata al-
Tasyawur, al-Musyawarah dan al-Masyurah berasal dari kata syaur yang
secara etimologis diartikan sebagai "sesuatu yang tampak jelas". Ketiga
kata tersebut mengandung pengertian istikhraj al-ra'y bi muroja'ah al-
ba'dl ila ba'dl (menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar
kelompok).
3. Perdamaian
Di dalam al-Qur'an, kata istilah perdamaian diulang sebanyak 12 kali
dengan memakai bentuk isim (kata benda) seluruhnya. Kata ishlah
terkadang berarti perdamaian dan perbaikan, terkadang berarti damai saja.
Dengan demikian kata-kata ishlah dalam berbagai konteksnya tetap
mempunyai arti yang positif, yaitu mengadakan perbaikan, perdamaian di
antara sesama manusia dan terhadap alam semesta.
4. Konsep Ibadah
Di dalam al-Qur'an, kata ibadah disebutkan sebanyak 278 kali, suatu
jumlah yang amat banyak dibandingkan dengan penyebutan kata-kata
lainnya.
Kata tersebut dapat dibagi ke dalam tiga pengertian:
a) Kata ibadah atau al-abd berarti seorang budak, atau memperhamba diri
kepada sesuatu yang dianggap lebih tinggi.
b) Kata ibadah dalam bentuknya yang lain yaitu al-'ibadatu berarti
tunduk, taat.
c) Kata ibadah dalam bentuk masdar yaitu 'abdahu, ma'badatan berarti
tubuh dan berlindung pada-Nya.

BAB 5
AL-QUR’AN DAN ILMU PENGETAHUAN

A. Pengertian Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris science,
yang berarti pengetahuan. kata sains itu sendiri berasal dari bahasa Yunani,
scientia, yang berarti pengetahuan. Namun pengertian yang umum
dipergunakan, ilmu pengetahuan adalah himpunan pengetahuan manusia
yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat diterima oleh rasio.
B. Korelasi antara Pernyataan-Pernyataan Ilmiah Al-Qur’an dan Ilmu
Pengetahuan
Salah satu sifat ilmu pengetahuan adalah dapat diterima oleh rasio atau
akal. Alquran memberikan penghargaan yang amat tinggi terhadap akal.
Tidak sedikit ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia agar
mempergunakan pikiran dan akalnya. Dengan penggunaan akal dan pikiran
tersebut ilmu pengetahuan dapat diperoleh dan dikembangkan.
Kata-kata atau pernyataan yang dipakai dalam al-Qur'an untuk
menggambarkan perbuatan berfikir, bukan hanya kata 'aqala, tetapi juga
kata-kata sebagai berikut:
 Nazara (‫ ) نظر‬yaitu melihat secara abstrak, dalam arti berfikir dan
merenung.
 Tadabbara ( ‫ ) تدبر‬yaitu merenungkan sesuatu yang tersurat dan tersirat.
 Tafakkara (‫ ) تفكر‬yaitu berfikir secara mendalam.
 Faqiha ( ‫ ) فقه‬yaitu mengerti secara mendalam.
 Tazakkara (‫ ) تذكر‬berarti mengingat, memperoleh peringatan, mendapat
pelajaran, memperhatikan dan mempelajari, yang semuanya mengandung
perbuatan berfikir dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan.
 Fahima (‫ ) فهم‬memahami dalam bentuk pemahaman yang mendalam.
 ‘Aqala ( ‫ )عقل‬menggunakan aqal atau rasio.
C. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an
Ilmu-ilmu al-Qur’an adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an. Karena
aspek yang dapat dilihat dari al-Qur’an itu sangat luas maka ilmu ini
berbagai aneka macamnya dan berpuluh-puluh cabangnya.
Berikut ini ilmu-ilmu al-Quran yang pokok-pokok saja:
1) Ilmu Mawathin an-Nuzul
2) Ilmu Tawarikh an-Nuzul
3) Ilmu Asbab an-Nuzul
4) Ilmu Qira’at
5) Ilmu Tajwid
6) Ilmu Gharib al-Qur’an
7) Ilmu I’rabil Qur’an
8) Ilmu Wujuh Wa an-Nazhair
9) Ilmu Ma’rifat al-Muhkam Wa al-Mutasyabih
10) Ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh
11) Ilmu Bada’i al-Qur’an
12) Ilmu I’daz al-Qur’an
13) Ilmu Tanasub Ayat al-Qur’an
14) Ilmu Aqsam al-Qur’an
15) Ilmu Amtsal al-Qur’an
16) Ilmu Jidal al-Qur’an
17) Ilmu Adab at-Tilawah al-Qur’an

BAB 6
POSISI AL-QUR’AN DALAM STUDI KEISLAMAN

A. Al-Qur’an Sebagai Sumber Berbagai Disiplin Ilmu Keislaman


Agama ini mempunyai aspek teologi, ibadah, moral, mistisisme,
filsafat, sejarah, kebudayaan, dan lain sebagainya. Semua aspek ini ditulis
dan dibahas oleh para ahli sehingga melahirkan berbagai ilmu yang
kemudian dikenal dengan ilmu-ilmu keislaman.
Semua disiplin ilmu tersebut bersumber pada al-Qur'an. Hal ini dapat
dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
1) Ilmu Tauhid (Teologi)
Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan,
sifat-sifat yang mesti ada, sifat-sifat yang mustahil dan sifat-sifat yang
mungkin ada padanya, dan membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan,
sifat yang wajib mustahil dan jaiz padanya. Dalam ilmu tauhid juga
dibahas tentang orang-orang yang beriman, kafir, musyrik, dan
sebagainya. juga terdapat pembahasan mengenai pahala dan siksa di hari
akhirat. Semua masalah yang dibahas ilmu tauhid ini terdapat di dalam al-
Qur'an. Banyak ayat al-Qur'an yang menuntut manusia agar memiliki
kepercayaan itu, dan ini merupakan seruan utama setiap rasul yang diutus
Allah SWT.
Anjuran beriman kepada Allah di dalam Alquran terdapat 103 ayat,
kepada malaikat 145 ayat, kepada kitab 110 ayat, kepada rasul 84 ayat,
kepada hari akhir 140 ayat, dan kepada Qadar 68 ayat. Semua ini
membuktikan adanya dorongan yang kuat dari al-Qur'an terhadap
tumbuhnya studi ilmu tauhid.
2) Ilmu Hukum
Hukum Islam atau fiqh didefinisikan sebagai ilmu yang membahas
tentang hukum-hukum Syariat yang bersifat amaliah praktis, diambil dari
dalil-dalil yang terinci. Semua masalah hukum dibicarakan di dalam al-
Qur'an. Ayat-ayat yang mengandung masalah hukum disebut ayat ahkam.
Dibandingkan dengan jumlah 6360 ayat yang terkandung di dalam al-
Qur'an, ayat ahkam hanya sedikit. Menurut Abd al-wahhab khallaf,
jumlahnya hanya 5,8% dari seluruh ayat al-Qur'an dengan perincian
sebagai berikut: 140 ayat tentang ibadah salat, puasa, Haji, zakat, dan
lain-lain, 70 ayat tentang hidup berkeluarga, 70 ayat mengenai
perdagangan, 30 ayat tentang soal kriminal, 25 ayat tentang hubungan
Islam dan npn-Islam, 13 ayat mengenai soal pengadilan, 10 ayat tentang
kaya dan miskin, dan 10 ayat tentang kenegaraan.
3) Ilmu Tasawuf
Tasawuf atau sufisme bertujuan agar seseorang secara sadar
memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga disadari benar
bahwa dia berada di hadirat Tuhan. Paham bahwa Tuhan dekat dengan
manusia yang merupakan ajaran dasar tasawuf itu terdapat dalam al-
Quran dan hadis, diantaranya; surah al-baqarah ayat 186, surah al-
baqarah ayat 115, dan surah qaf ayat 16. Ayat-ayat tersebut di atas
menunjukkan bahwa al-Qur'an merupakan sumber bagi disiplin ilmu
tasawuf.
4) Ilmu Filsafat Islam
Filsafat Islam adalah ilmu yang berbicara tentang segala sesuatu yang
ada untuk dicari hakikat atau dasar serta prinsip-prinsipnya, secara
sistematik, radikal, dan universal. Filsafat ditandai dengan penggunaan
akal atau rasio secara benar dan sehat. Di dalam al-Quran banyak ayat
yang menyuruh manusia menggunakan akal atau rasio, yaitu menyuruh
manusia supaya berpikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk
mengetahui Tuhan. Dengan demikian al-Quran sebenarnya menyuruh
manusia supaya berfilsafat. Oleh karena itu berfilsafat, sebagaimana
dikatakan Ibnu Rusyd, adalah wajib atau sekurang-kurangnya sunnat.
Dengan mengambil beberapa contoh disiplin ilmu tersebut dapat
disimpulkan bahwa al-Qur'an merupakan sumber berbagai disiplin ilmu
keislaman.
B. Aliran-Aliran Dalam Islam dan Hubungannya dengan Al-Qur’an
Kelompok ajaran dapat dibagi menjadi ajaran dasar sebagaimana terdapat
dalam Alquran hadis dan ajaran bukan dasar yang timbul sebagai penafsiran
dan interpretasi ulama-ulama dan ahli-ahli Islam terhadap ajaran-ajaran dasar
itu. Dari sinilah lahir berbagi pemikiran Islam dalam bidang hukum dan
bidang teologi yang menimbulkan berbagai mazhab dan aliran. Hal yang
sama timbul pula dalam bidang filsafat, mistisme dan politik.
Pemikiran-pemikiran tersebut merupakan hasil akal manusia. Karena
manusia tidak bersifat Maksum, penafsiran para ulama atau ajaran-ajaran
yang bukan dasar itu tidak bersifat mutlak. Atas dasar inilah maka iman-
imam besar tidak mau menyalahkan pendapat atau penafsiran rekannya.
Mazhab-mazhab dan aliran-aliran yang ada dalam Islam semuanya di
Pandang masih dalam kebenaran selama ia tidak bertentangan dengan ajaran
Islam sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan hadis.
BAB 7
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER AJARAN

A. Unsur Budaya atau Nalar Dalam Memahami Al-Qur’an


Al-Qur'an adalah sumber ajaran Islam yang berhubungan dengan
totalitas kehidupan manusia. Dalam kenyataan empirik, tidak dapat
dipungkiri bahwa ketika sumber ajaran itu hendak dipahami dan
dikomunikasikan dengan kehidupan manusia yang pluralistik, diperlukan
keterlibatan pemikiran yang merupakan kreativitas manusia. Hal ini jelas
terlihat pada tradisi ijtihad yang dikembangkan para pakar hukum Islam dan
lainnya.
Apabila al-Qur'an dalam proyeksi sosialnya memperlihatkan fenomena
seperti di gambarkan di atas, maka ia memerlukan bantuan kebudayaan.
Dimensi budaya dalam memahami al-Qur'an sangat dipengaruhi oleh orang
yang memahaminya, kelas sosial, serta faktor sosio kultural lainnya. Dalam
kerangka pemikiran serupa ini, pengkajian unsur budaya atau nalar dalam
memahami al-Qur'an menjadi penting.
Keterlibatan unsur budaya dalam memahami al-Qur'an terlihat antara
lain pada pemakaian 'uruf. 'Uruf adalah sesuatu yang dibiasakan oleh
manusia dan dijadikan pegangan dalam setiap perbuatan yang berkembang di
antara mereka, atau perkataan yang dipahami maksudnya dengan arti tertentu
dan tidak membawa kepada pengertian lain bagi orang yang mendengarnya,
dan hal itu berarti kebiasaan kolektif yang meliputi perbuatan dan perkataan.
Di samping unsur budaya, unsur nalar juga digunakan dalam
memahami al-Qur'an. Ini dapat dilihat pada pemakaian al-ra'yu atau qiyas
dan istihsan, Salah satu bentuk analogi juga, yang digunakan oleh para
ulama. Masalah qiyas menjadi pembahasan yang amat menarik dan luas
sekali dalam ilmu Ushul fiqih. Secara sederhana qiyas diartikan sebagai
upaya mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nasnya,
lantaran ada persamaan illat hukum dari kedua peristiwa itu.
Beberapa keterangan di atas menunjukkan bahwa unsur budaya dan
nalar dalam memahami al-Qur'an amat diperlukan. Itulah sebabnya banyak
ayat al-Qur'an yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran dan
menyelidiki keadaan lingkungan sosialnya.
B. Muhkam, Mutasyabih, Qath’iy, dan Zanny
Muhkam dalam pembahasan ini adalah "jelas", yaitu ayat-ayat yang
terang maknanya dan lafadznya diletakkan untuk suatu makna yang kuat dan
cepat dipahami. Sedangkan mutasyabih bermakna "tidak jelas" dan untuk
memastikan pengertiannya tidak ditemukan dari yang kuat. Yang termasuk
dalam ayat mutasyabih ini adalah ayat-ayat yang bersifat mujmal, muawwal,
dan musykil.
Di dalam pada itu, al-raghib al-asfahani mengambil Jalan Tengah. Ia
membagi ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran, ada ayat-ayat yang bersifat
qothi, positif, dan tegas, Ada pula yang bersifat seni tidak positif dan tidak
tegas. ayat zanni mengandung lebih dari satu arti.
Jika dilakukan telaah secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa di
dalam ayat-ayat al-Qur'an terdapat celah yang memungkinkan peranan akal
atau rasio berkiprah lebih leluasa seperti pada ayat mutasyabih dan zanni. Di
samping itu terdapat pula ayat yang tidak meminta ikut campur penalaran di
dalamnya, yaitu ayat yang bersifat muhkam dan qath'iy.
C. Penalaran Dalam Ijtihad
Adanya ijtihad itu memperlihatkan bahwa pemakaian akal dalam
beragama sangat dihargai. Penggunaan akal atau pertimbangan dalam
masalah agama atau undang-undang memegang peranan penting dalam
agama Islam.
Seseorang yang ingin melakukan ijtihad harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. Mengetahui Nas al-Qur'an dan hadis
b. Mengetahui soal-soal ijma'.
c. Mengetahui bahasa Arab dan idiom-idiomnya.
d. Mengetahui ilmu Ushul fiqih dan kuat dalam ilmu ini.
e. Mengetahui nasikh dan mansukh.

BAB 8
BAGAIMANA MEMAHAMI AL-QURAN

A. Konsep Ma’qul dan Ghair Ma’qul Dalam Ibadah dan Muamalah


Ma'qul adalah suatu upaya penafsiran terhadap maksud ayat dalam
rangka mencari makna yang tersirat dari bentuk-bentuk perintah dan
larangan yang tersurat. Pokok pembahasan tentang ma'qul atau ta'aqqul:
1. Makna yang ma'qul dari suatu ayat dapat dituju dengan istiqra' yaitu
dengan menyimpulkan bahwa syariat tidak akan bertentangan dengan
kemaslahatan hamba.
2. Dalam masalah Mu'amalat, al-Syar'i memberikan penjelasan mengenai
illat dan hikmah syariat.
3. Di masa al-Fatarat, umumnya orang-orang sudah berpikir menentukan
masalah bagi kehidupan mereka.
Ghair ma'qul adalah ibadah yang dibebankan kepada mukallaf termasuk
masalah ta'abbudi. Pelaksanaannya tak perlu melihat kepada makna atau illat
hukum yang terkandung di dalamnya. Pokok pembahasan masalah ghair
ma'qul ada tiga macam:
1. Ibadah karena Allah ta'ala, yang diketahui unsur ta'abbudnya melalui
istiqra' terhadap al-Qur'an dan hadis.
2. Unsur-unsur ghair ma'qul dalam praktek syariat terbatas pada masalah-
masalah tertentu yang telah ditetapkan Allah, bukan pada semua praktek
syariat.
3. Bentuk-bentuk ibadah pada masa al-fatarat belum jelas, sebagaimana
aspek-aspek Mu'amalat.
B. Pemahaman Kontekstual
Yang dimaksud dengan pemahaman kontekstual adalah upaya
memahami ayat-ayat Alquran sesuai dengan konteks dan aspek sejarah ayat
itu, sehingga nampak gagasan atau maksud yang sesungguhnya dari setiap
yang dikemukakan oleh al-Qur'an.
1. Prinsip-prinsip penafsiran kontekstual
1) Menetapkan bahwa Alquran adalah dokumen untuk manusia
2) Sebagai petunjuk allah yang jelas dan berkaitan dengan manusia,
pesan-pesan al-Qur'an bersifat universal.
3) Harus diakui bahwa Alquran diwahyukan dalam situasi kesejarahan
yang konkret.
4) Dalam kaitanya dengan muhkam, mutasyabih, nasikh, mansukh, perlu
pemahaman terhadap konteks sastra al-Qur'an.
5) Pemahaman terhadap konteks kesejarahan berada dalam urutan
kronologisnya, dan konteks sastra sangat penting dalam rangka
menafsirkan al-Qur'an selaras dengan pandangan dunianya sendiri.
6) Perlu memahami tujuan al-Qur'an
7) Pemahaman akan al-Qur'an dalam konteksnya sebagaimana diuraikan
dalam prinsip-prinsip di atas akan menjadi kajian yang semata-mata
bersifat akademik murni bila tidak diproyeksikan untuk memenuhi
kebutuhan kontemporer.
8) Tujuan-tujuan moral Alquran sesungguhnya dapat dan harus menjadi
pedoman dalam memberikan penyelesaian terhadap problema-
problema sosial yang muncul di masyarakat.
2. Metode penafsiran kontekstual
1) Memahami al-Quran dalam konteksnya
2) Memproyeksikan pemahaman al-Quran dalam konteksnya

BAB 9
AS-SUNNAH DAN SEKELUMIT TENTANG PERTUMBUHANNYA

A. Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti jalan hidup yang dijalani atau
dibiasakan, baik Jalan hidup itu baik atau buruk terpuji atau tercela. Sunnah
dalam pengertian para ahli hadis adalah sesuatu yang didapatkan dari Nabi
Muhammad SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik
atau budi, atau biografi, baik pada masa sebelum kenabian ataupun
sesudahnya.
B. Faktor-Faktor Yang Mendukung Periwayatan As-Sunnah
1. Cara Nabi berbicara perlahan-lahan, dengan mengulang-ulang, dan jelas
apa yang diucapkannya itu.
2. Nabi dikenal sebagai seorang yang fasih dan bagus susunan
perkataannya.
3. Nabi seringkali menyesuaikan dialek ucapannya dengan lawan yang
diajak berbicara.
4. Para sahabat yang menerima hadis, memandang nabi sebagai idola
mereka.
5. Sahabat yang mendengar ucapan nabi, yakin benar bahwa ucapan itu
mengandung makna yang dalam dan semuanya mengandung kebenaran.
6. Ada kemampuan yang dimiliki masyarakat Arab pada umumnya, dan
sahabat pada khususnya, yaitu daya ingat dan hafalan yang sangat kuat.
7. Para tabiin menganggap bahwa apa yang ada dan mereka terima dari nabi
adalah sesuatu yang berharga.
C. Matan As-Sunnah
Matan adalah lafal-lafal hadis yang didalamnya mengandung makna.
Matan hadis tersebut tidak dicatat di zaman Nabi, sebagaimana Alquran. Hal
ini disebabkan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Rasulullah hidup bersama sahabat selama 23 tahun sehingga penulisan
ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau secara utuh dalam satu mushaf atau
lembaran-lembaran sulit dilakukan karena masalah lokasi.
2. Para sahabat banyak yang buta huruf dan menyandarkan diri kepada
ingatan mereka saja.
3. Dikuatirkan silapnya sebagian sabda Nabi yang singkat dan padat itu
dengan al-Quran karena Alpa dan tanpa sengaja.
D. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan As-Sunnah
1. Periode periwayatan dengan lisan
2. Periode penulisan dan pembukuan al-hadits secara resmi
3. Periode penyaringan hadis dari fatwa-fatwa
4. Periode penghafalan dan pengisnadan hadits
5. Periode pengklasifikasian dan pensistematisasian susunan kitab-kitab
hadits

BAB 10
FUNGSI DAN KEDUDUKAN AS-SUNNAH TERHADAP AL-QUR’AN

A. Kedudukan As-Sunnah
1. Al-Qur’an bersifat qath’i al-wurud, sedangkan as-sunnah bersifat zhanni
al-wurud.
2. As-sunnah berfungsi sebagai penjabaran al-Qur’an
3. Ada beberapa hadits dan atsar yang menjelaskan urutan dan kedudukan
as-Sunnah setelah al-Qur’an
4. Al-Qur’an sebagai wahyu dari sang pencipta, Allah SWT, Sedangkan
hadis berasal dari hamba dan utusannya.
B. Fungsi As-Sunnah Terhadap Al-Qur’an
1. Menetapkan hukum yang terdapat didalam al-Quran.
Diantara masalah-masalah yang ada dalam al-Qur’an dan dikemukakan
pula dalam as-Sunnah ialah:
a. Kewajiban beriman kepada Allah dan Rasulnya.
b. Kewajiban melaksanakan ibadah salat.
c. Kewajiban mengeluarkan zakat
d. Kewajiban melaksanakan ibadah puasa
2. Menerangkan atau menjelaskan dalil-dalil al-Qur’an.
Ulama ahli atsar menetapkan bahwa keterangan atau penjelasan sunnah
terhadap al-Qur’an ada beberapa macam, yaitu:
a. Bayan Tafshil (as-sunnah menjelaskan atau memperinci kemujmalan
al-Qur’an)
b. Bayan Takhsish (as-sunnah memberikan penjelasan tentang
kekhususannya)
c. Bayan Ta’yin (as-sunnah berfungsi menentukan mana yang dimaksud
diantara dua atau tiga perkara didalam al-Qur’an)
d. Bayan nasakh (as-sunnah mengganti suatu hukum atau
menghapuskannya)
3. Menetapkan dan menentukan suatu hukum yang tidak terdapat didalam
al-Qur’an
Contoh-contoh hukum yang ditetapkan oleh as-sunnah antara lain
adalah ketentuan tentang haramnya memakan daging himar ahliah,
memakan daging binatang buas yang bertaring, dan haramnya laki-laki
mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Masalah ini
dijelaskan oleh sunnah sedangkan al-Qur'an tidak membicarakannya.

BAB 11
SEBAB KERAGUAN TERHADAP AS-SUNNAH

A. Sebab Keraguan Karena Jumlah As-Sunnah Yang Banyak


Sejalan dengan semakin berkembangnya daerah Islam, kebutuhan akan
hadis semakin meningkat, sementara sahabat sudah banyak yang meninggal,
maka Abu Hurairah menjadi tumpuan umat. Menurut 'ajaj Al-Khatib, abu
Hurairah meriwayatkan sebanyak 5000 hadis.
Namun demikian banyaknya hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah itu menimbulkan keraguan para ahli hadits. Mereka bertanya
apakah semua hadist itu berasal dari Rasulullah atau hanya buatan Abu
Hurairah sendiri. Demikian pula hadis-hadis yang dimuat dalam kitab-kitab
hadis seperti dalam kutubussittah.
Sikap yang perlu diambil adalah Jangan karena husnudzan terhadap
Abu Hurairah menjadikan kita menerima bulat-bulat hadis yang
diriwayatkannya, dan sebaliknya, jangan karena suudzon, kita meruntuhkan
hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah secara keseluruhan. Dalam hal ini
perlu penelitian lebih lanjut.
B. Sebab Keraguan Masa Penulisannya
Hadis di zaman Nabi sahabat Khulafaur Rasyidin dan Umayyah belum
dibukukan seperti yang dikenal sekarang. Hadis baru disusun di zaman Umar
bin Abdul Aziz. Dialah yang berhasil meyakinkan umat Islam akan
pentingnya penulisan hadis, meletakkan dasar kodifikasi hadis secara resmi,
dan mendorong timbulnya kegiatan pengumpulan hadits di setiap pelosok
negeri Islam saat itu.
Namun demikian, masa penulisan hadis yang jaraknya demikian jauh
dari masa Rasulullah menimbulkan keraguan sebagian orang terhadap
keotentikan hadits yang dikumpulkan itu. Kritik tersebut antara lain datang
dari goldziher. Bahkan ia menuduh bahwa penguasaan Bani Umayyah
mengeksploitasi Al Zuhri, salah seorang menghimpun dan penulis hadis,
untuk menyebarluaskan hadis-hadis palsu.

BAB 12
BAGAIMANA MEMAHAMI AS-SUNNAH?

A. Pemahaman Sahabat Mengenai As-Sunnah


Sahabat ialah orang yang bertemu dengan nabi, dalam keadaan
beriman,dan hidup bergaul bersamanya. Untuk mengetahui apakah seseorang
termasuk sahabat atau tidak, diperlukan adanya salah satu keterangan
sebagai berikut:
1. Ditentukan oleh kabar mutawatir.
2. Ditetapkan dengan kabar mashur atau mustafid.
3. Diakui oleh seorang sahabat lain tentang kesahabatannya.
4. Keterangan seorang tabi’in yang siqoh, bahwa orang tersebut sebagai
sahabat.
5. Pengakuan sendiri oleh orang yang adil bahwa ia sahabat, dengan syarat
tidak lebih dari 100 tahun semenjak wafatnya nabi.

Sebagian sahabat ada yang memahahami as-sunnah secara tersurat dan


ada pula yang memahami apa yang tersirat, seperti diperlihatkan oleh umar
bin khattab dan sejumlah sahabat yang memahami perkataan nabi tentang
salat ashar di Bani Quraidzah. Menurut mereka, sabda nabi itu dimaksutkan
agar mereka bersegera sampai ditempat tujuan, yaitu Bani Quraidzah.
B. Pembagian As-Sunnah
 Dari segi bilangan perawinya
1) Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang pada setiap tingkat sanadnya yang menurut tradisi mustahil
mereka sepakat untuk berdusta.
2) Hadis Ahad
Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau
lebih dan belum mencapai derajat mutawatir.
 Dari segi sifat perawi, sanad, dan matannya
1) Hadits Shahih
Hadits Shahih adalah hadis yang dinukilkan atau diriwayatkan oleh
Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak
berillat, dan tidak janggal.
2) Hadits Hasan
Hadis Hasan adalah hadis yang pada sanadnya tidak terdapat
perawi yang tertuduh dusta, tak ada kejanggalan pada matanya dan
hadis itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak
jalan) yang sepadan maknanya.
3) Hadits Dhaif
Hadits dhaif ialah hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadis shahih dan hadis Hasan sebagaimana disebutkan di
atas.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU

 Kelebihan Buku
Sang penulis mampu memberikan penjelasan dalam buku ini dengan
sangat jelas dan rinci, sehingga membuat pembaca yang berpengetahuan
minim juga mampu memahami materi. Meskipun materi dalam buku ini
terbilang membutuhkan penalaran yang tinggi, tapi bahasa yang digunakan
dalam buku ini sangat sederhana bahkan seperti bahasa sehari-hari. Sehingga
hal ini memudahkan para pembaca untuk memahaminya.

 Kekurangan Buku
Didalam buku ini, terdapat banyak kesalahan tanda baca, ada beberapa
kalimat yang menggunakan kata tidak baku, terdapat pemborosan kata dalam
penjelasannya, dan juga masih ada beberapa tulisan yang salah dalam
pengetikan. Tata bahasa yang tidak menggunakan bahasa yang baik dan
benar ini, akan mengakibatkan pembaca sedikit kesulitan dalam
membacanya.

Anda mungkin juga menyukai