Anda di halaman 1dari 18

REVIEW BUKU SENI MEMAHAMI - HERMENEUTIK DARI

SCHLEIERMACHER SAMPAI DERRIDA KARYA F. BUDI HARDIMAN

Oleh : Yani Yuliani

1. Identitas Buku

Buku yang menjadi bahan review pada makalah ini adalah buku dengan
judul Seni Memahami - Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida.
Gagasan utama dalam buku ini adalah menyajikan sebuah persoalan yang sangat
manusiawi, yakni upaya memahami. Dan memahami dalam kajian filosofis
merupakan tema sentral dalam hermeneutik. Namun sebelum mengkaji lebih
dalam mengenai isi buku ini, alangkah baiknya jika mengenal dan mengetahui
identitas buku ini.

Judul Buku : Seni Memahami - Hermeneutik dari Schleiermacher sampai


Derrida

Bahasa : Indonesia

Penulis : Fransisco Budi Hardiman

Penerbit : PT Kanisius

Cetakan 2015

Ukuran : 6 x 1 x 8,5 inci

Tebal : 344 halaman

ISSBN : 978-979-21-4345-4

2. Identitas Pengarang

Buku berjudul “Seni Memahami - Hermeneutik dari Schleiermacher sampai


Derrida” ini ditulis oleh Fransisco Budi Hardiman. Pria kelahiran Semarang, Jawa
Tengah, 31 Juli 1962 ini Menempuh pendidikan strata satu di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara, Jakarta (1984-1988) dan bekerja sebagai pendidik di Seminari
Wacana Bhakti, Jakarta (1988-1989). Menempuh pendidikan teologi di
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (1989-1990) dan mengajar di STF
Driyarkara (1990-1992). Kemudian ia melanjutkan studi di Hochschule für
Philosophie München, Jerman dan meraih gelar Magister der Philosophie (1997)
dengan tesis berjudul “Demokratie als Diskurs. Zu Jurgen Habermas
Diskurstheorie der demokratischen Rechtsstaates”. Gelar Doktor der Philosophie
diperolehnya dari perguruan tinggi yang sama pada 2001 dengan disertasi
berjudul “Die Herschaft der Gleichen. Masse und totale Herrschaft. Eine
kritische Uberprüfung der Texte von Georg Simmel, Hermann Broch, Elias
Canetti und Hannah Arendt.”1

Sekembalinya dari studi, Hardiman mengajar di STF Driyarkara dan


Universitas Pelita Harapan, Jakarta. Pokok perhatiannya adalah filsafat politik,
filsafat sains, etika, dan sejarah filsafat. Menulis belasan buku, antara lain,
Memahami Negativitas (2004); Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara
Hukum dan Ruang Publik Menurut Jurgen Habermas (2009); Humanisme dan
Sesudahnya: Meninjau Ulang Gagasan Besar Tentang Manusia (2010); Massa,
Teror, dan Trauma: Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita (2011); Hak-Hak
Asai Manusia (2011); Humanisme dan Sesudahnya (2012); Dalam Moncong
Oligarki: Skandal Demokrasi di Indonesia (2013); Seni Memahami (2015);
Filsafat untuk Para Profesional (penyunting, 2016); dan Demokrasi dan
Sentimentalitas: Dari “Bangsa-bangsa Setan”, Radikalisme Agama sampai Post-
sekularisme (2018).

3. Latar Belakang Penulisan Buku

Istilah “Seni Memahami” yang dijadikan judul buku ini merujuk pada
Schleiermacher, yang merupakan terjemahan dari istilah Jerman yaitu
“Kunstslehre des Verstehens”. Memahami berbeda dengan mengetahui. Begitu
ungkap Hardiman pada bagian pendahuluan bukunya. Dan Hardiman
menggunakan diksi “Memahami” dan bukan “pemahaman” sebagai upaya untuk
memberikan muatan makna yang sama dengan istilah Jermannya yakni
“Verstehen” bukan “Verstandis”. Istilah Verstehen dalam heremeneutik ini
mengacu pada proses bukan hasil sebagaimana Verstandis. Verstehen mengacu

1
https://www.prismajurnal.com
pada proses menangkap makna dalam bahasa, sehingga memahami adalah proses
menangkap maksud atau makna dibalik kata-kata yang diucapkan pembicara.2

Adapun hermeneutik disebut sebuah seni atau “kunst” karena pertama,


bertolak dari situasi tanpa pemahaman bersama atau bahkan kesalahpahaman
umum, sehingga pemahaman memerlukan upaya yang tidak hanya bersifat
spontanitas saja. Kedua, karena praktik untuk mengatasi kesalahpahaman umum
itu dilakukan menurut kaidah-kaidah tertentu.3

Dalam konteks masyarakat modern yang ditandai dengan kemajemukan,


kemampuan memahami merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan agar
melahirkan kesepahaman dan terhindar dari kesalahpahaman yang sering kali
menimbulkan perpecahan. Kesalahpahaman ini menurut Schleiermache terjadi
karena adanya prasangka atau Vorurteil. Menurutnya, bila kita hanya
mementingkan pendapat kita sendiri tentu kita akan salah memahami maksud
pembicara atau penulis, sehingga kita berprasangka terhadapnya.4

Walaupun buku ini bisa dikatakan cukup tebal karena berisi 344 halaman,
namun buku ini sama sekali tidak berat. Alasan fisiknya, tentu karena buku ini
menggunakan kertas kuning yang sifatnya cenderung lebih ringan jika
dibandingkan kertas putih. Alasan Psikologisnya, pemaparan Budi Hardiman
dalam buku ini sangat sistematis sehingga mudah difahami. Oleh sebab itu, buku
ini tidak hanya direkomendasikan bagi mahasiswa teologi saja, akan tetapi sangat
direkomendasikan pula bagi mahasiswa lintas disiplin ilmu, bahkan lintas agama.

Poin yang ditonjolkan Hardiman dalam buku ini adalah bagaimana


hermeneutika modern bisa mengatasi literalisme skriptural di zaman modern
dengan fundamentalisme agama yang semakin naik daun. Seringkali, memahami
teks kitab suci dengan cara yang berbeda dari yang secara literal akan dituduhkan
sebagai ketidakmurnian atau tabu. Padahal, lagi-lagi, kita harus ingat bahwa kitab

2
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 31
3
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 34
4
Lawrence L. Schmidt, Understanding Hermeneutics, Acumen, Durham, 2006, dalam Budi
Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 33.
suci tidak menyediakan kebenaran final yang siap-pakai untuk masyarakat yang
beragam seperti sekarang.

Secara garis besar, buku ini mendiskusikan lima pertanyaan besar yakni;
Apa itu hermeneutik?, Bagaimana memahami mitos, kitab suci dan sains?, Apa
kaitan proses memahami dengan kekuasaan, prasangka, tradisi, dan ideologi?,
Dan mengapa perlu hermeneutik untuk mengatasi radikalisme agama?, dan
terakhir mengapa klaim kebenaran final sangat berbahaya?.

Budi Hardiman mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan ini secara sistematis


dan historis dari perspektif delapan tokoh hermeneutik modern yang kebanyakan
mereka adalah intelektual besar Jerman dan Perancis, yakni : Schleiermacher,
Dilthey, Heiddeger, Bultman, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida.

4. Gambaran Isi Buku

Buku ini menyajikan lanskap intelektual dalam sejarah pemikiran Barat


dengan mengupas karya, komentar, dan pemikiran yang melandasinya dengan
berfokus pada konsep memahami. Secara garis besar buku ini difokuskan kedalam
delapan bab yang tentu diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan
penutupan. Pada bagian pengantar, Hardiman mengajak pembacanya untuk
membedakan antara memahami dan mengetahui. Menurutnya memahami dengan
hati dan mengetahui dengan kepala, memahami keseluruhan dan mengetahui
hanya sebagian, memahami kedalaman dan mengetahui hanyandi permukaan saja.
Sehingga, orang yang baru sampai pada mengetahui belum tentu memahami.
Memahami mengandaikan keterlibatan pribadi dan tidak bisa diraih tiba-tiba
dengan dikap berjarak, karena memahami tidak hanya bertujuan untuk
memperoleh data saja, melainkan untuk menangkap makna,5

Dari sini terlihat Hardiman mengajak pembaca agar tidak hanya terpaku
pada data peristiwa saja, melainkan harus mampu menangkap makna dibalik
peristiwa tersebut. Kemudian Hardiman juga memaparkan persoalan hermeneutik

5
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm.9
dalam pergulatan historis sehingga tidak hanya berada di ranah teologis akan
tetapi menjadi objek kajian filsafat, hukum, antropologi, sosiologi, dan
sebagainya.

Selain itu, dalam buku ini Hardiman memposisikan hermeneutik pada dua
hal yakni hermeneutik sebagai metode dan hermeneutik sebagai filosofis. Kedua
hal inilah yang menjadi perhatian para tokoh yang dibahas dalam buku ini.

Schleiermacher, Dilthey, Bultmann, Ricoeur merupakan tokoh


heremeneutik yang memiliki pemikiran hermeneutik sebagai metode. Bagi
Schleiermacher dan Dilthey, mereka berupaya keras untu mendapatkan sebuah
prosedur interpretasi yang dapat diterapkan secara umum, yakni melampaui
disiplin-disiplin teologis. Sekalipun sama-sama mengembangkan hermeneutik
sebagai metode dengan Schleiermacher dan Dilthey, namun Ricoeur dan
Bultmann memiliki target yang berbeda yakni fokus pada teks-teks sakral.
Kemudian Habermas juga kiranya dapat dimasukan kedalam kategori yang
berfikiran hermeneutik sebagai metode, karena ia berupayauntuk
mengeksplisitkan secara metodologis praktik-praktik interpretasi.

Adapun Heiddeger dan Habermas, mereka termasuk dalam kategori


pemikiran hermeneutik filosofis. Kaduanya sudah tidak lagi membahas
hermeneutik sebagai metode, melainkan masuk ke ranah ontologis. Berikut
penulis gambarkan lebih rinci pemikiran delapan tokoh pemikir hermeneutik yang
tertuang secara sistematis dalam setiap bab.

1. BAB I

Pada bab pertama diberi judul “Memahami sebagai Seni: Schleiermacher


dan Hermeneutik Romantis”. Disini Hardiman mengajak pembaca untuk
“memahami” sebagaimana judul bukunya “seni memahami”, bagiamana
memahami ini dimasukan sebagai seni dengan menyajikan hermeneutika romantik
Schleiermacher.

Schleiermacher memberi kontribusi penting dengan melepaskan


hermeneutik dari bidang-bidang khusus, seperti teologi, hukum, sastra, sehingga
hermeneutik menjadi cara untuk memahami setiap teks atau susunan simbol-
simbol bermakna dalam bahasa pada umumnya.6

Hermeneutik romantik ini berbasis pada dua hal, yakni gramatis dan
psikologis. Dalam pandangan Schleiermacher keduanya memiliki kedudukan
yang sama. Kedua langkah tersebut dapat dilakukan bersama-sama dalam mencari
sebuah makna. Menurut hemat penulis, dalam interpretasi gramatis
Schleiermacher, reader atau pembaca harus memahami secara universal gaya
bahasa yang digunakan author atau penulis seperti terkait linguistic analyisis,
historical context. Adapun dalam proses interpretasi psikologis, reader atau
pembaca harus membaca segala hal yang berkaitan dengan author atau penulis,
yakni karya-karya atau tulisan-tulisan lain yang membahas author, atau catatan
sejarah dari masa ke masa tentang author. Karena dalam pandangan
Schleiermacher, tanpa dilakukan proses demikian, seorang reader atau pembaca
tidak akan bisa memahami sisi psikologis dari author atau pembaca.

Duduk persoalan hermeneutik Schleiermacher adalah bagaimana mengatasi


kesenjangan ruang dan waktu antara teks, penulis dan pembaca untyuk
menemukan maksud asli penulis teks tanpa prasangka pembacanya. 7 Dari sini bisa
terlihat bahwa yang dimaksud Schleiermacher dengan sebuah seni, yakni seni
memahami teks dan sisi subjektif author. Seorang reader atau pembaca
seharusnya memiliki pengetahuan yang luas dan mampu memahami sisi subjektif
dari author yang tentunya hal tersebut berada diluar teks. Sehingga bisa dikatakn,
hermeneutik Schleiermacher ini beraliran Subjektif, bahwa interpretasi berarti
memahami teks sebgaimana yang difahami author atau penulis.

Hermeneutik romatik Schleiermacher ini bertolak dari kesalahfahaman. Jadi


adanya situasi kesalahfahaman yang sudah menjadi habitual begitupun jika yang
menjadi objek adalah teks kuno. Dan yang menjadi tugas adalah bagaimana
membersihkan kesalahfahaman ini dengan cara memahami. Sehingga
pemahamanpembaca terhadap teks itu murni, yakni sesuai dengan maksud author

6
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 62
7
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 35
atau penulis. Itulah yang dimaksud Schleiermacher untuk mengatasi
kesalahfahaman.

Singkatnya, metode hermeneutika Schleiermacher pada dasarnya ingin


menghadirkan kembali keotentikan teks. Ia ingin menyalamatkan (rehabilitasi)
teks dari pemahaman yang cenderung tergesa oleh para pembaca atau bahkan oleh
para penafsir teks. Orientasi hermeneutiknya lebih pada pola diterminasi
reproduktif atas teks; menawarkan kembali makna asali teks tersebut. Pun
sedikitnya dia tidak pernah menyampaikan persoalan makna yang didapatkan dari
hasil penafsiran–melalui interpretasi gramatis dan interpretasi psikologis untuk
didialogkan dengan keadaan saat ini, seolah terlihat teks hanya sebagai benda
sejarah yang layak dirawat dan dibersihkan dari nalar subjektif para penafsir,
akibatnya teks seolah tidak memberikan jawaban atas sekelumit masalah yang
sedang menimpa anak manusia post modern ini.

Namun catatan yang perlu diperhatikan secara mendalam ialah over-


optimis Schleiermacher bahwa penafsir bisa melebihi penulis dalam memahami
kondisi zaman yang mempengaruhi penulis. Pendapat ini menurut penulis pribadi
terlalu berlebihan; penulis bagaimanapun merupakan subjek kesadaran yang
berdialog langsung dengan kondisi kehidupannya tanpa dipisahkan oleh ruang dan
waktu sehingga tidak ada batas yang memisahkan antara kesadaran dengan
kondisi zaman. Sementara penafsir, berupaya masuk pada lalu lintas pemikiran si
penulis melalui artefak sejarah lainnya (yang masih dianggap berhubungan) itu
pun melalui jalan yang tidak terlibat langsung (terpisah oleh ruang dan waktu
yang sangat tajam) dengan kondisi zaman pada saat itu. Alhasil penafsir tetap
tidak bisa melampaui si penulis dalam memahami konstruksi sosial pada zaman
dimana karya itu diciptakan.

Selain itu, alih-alih untuk merehabilitasi keotentikan makna teks dari nalar
subjektif pengarang sangatlah tidak mungkin, kalaupun memungkinkan
peluangnya sangat kecil sekali. Karena penafsir berangkat dari kesadaran atas
zamannya sementara teks yang dihasilkan oleh si penulis merupakan hasil dialog
antara kesadaran penulis dengan zaman yang ada padanya sehingga benturan
pengetahuan tidak bisa dihindari, saya menaruh keyakinan disitu, penafsir tidak
akan berhasil menghidupkan kembali keotentikan makna yang ditafsirnya. Karena
bagaimanapun makna yang disimpulkan oleh penafsir merupakan hasil peleburan
pengetahuan antara si penulis dan si penafsir itu sendiri. Hal-hal yang luput dari
Scheleirmacher seperti orientasi teks untuk kehidupan manusia saat ini, serta
benturan kesadaran penafsir dengan isi makna dalam teks dijawab kemudian oleh
tokoh Hermeneutik lainya seperti Heidegger hermeneutik faktisitas dan Gadamer
melalui metode Horizon (peleburan).

2. BAB II

Dalam bab dua, Hardiman memberi judul “Memahami sebagai metode


Ilmiah: Dilthey dan Hermeneutik ilmu-ilmu sosial kemanusiaan”. Wilhelm
Christian Ludwig Dilthey merupakan tonggak yang tak kalah penting dalam dunia
hermeneutik.

Hermeneutik Dilthey bertolak dari pendirian Schleiermacher bahwa untuk


memahami suatu teks kita harus mendapatkannya di dalam konteks kehidupan
penulisnya, dan konteks kehidupan terdiri atas masyarakat, kebudayaan dan
sejarah, maka hermeneutik dapat menjadi dasar proses memahami di dalam ilmu-
ilmu sosial kemanuisaan.8

Dari sini bisa dilihat bahwa hermeneutika Dilthey ini merupakan


pengembangan dari hermeneutik Schleiermacher. Baik Dilthey maupun
Schleiermacher sama-sama berada dalam ranah ilmiah, dalam satu wilayah yang
sama dalam konsep memahami. Schleiermacher menggunakannya pada teks-teks
kuno, teks-teks kitab suci, sedangkan ysng menjadi objek dari hermeneutika
Dilthey madalah pada ilmu-ilmu sosial atau fakta-fakta historis-kultural.

3. BAB III

Adapun bab tiga berjudul “Memahami sebagai Cara Berada: Heidegger dan
Hemeneutik Faktisitas”. Pada bab tiga ini Hardiman mengajak pembaca untuk
mendalami pemikiran Heidegger dalam memahami hermeneutik sebagai cara
meng’ada’.

8
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 71
Dalam memahami proyek hermeneutika Heidegger, pertama-tam Hardiman
mengajak pembaca untuk memahami Fenomenologi, aekalipun memang
pemikiran Heiddeger telah melampaui fenomenologi dan telah mencapai suatu
pendiriannya sendiri.

Hardiman menerangkan bahwa hermeneutik Heidegger ini merupakan


hermeneutik faktisitas karena bagi Heidegger memehami (verstehen) bukan
merupakan tindakan kognitif, melainkan merupakannsebuah tindakan primordial
Dasein yang bersifat pra-kognitif atau dengan istilah lain suatu faktisitas manusia,
yakni hal yang tidak terelakan dalam diri manusia sebagai manusia. Hermeneutika
faktisitas menurut Heidegger bertugas menafsirkan tindakan primordial tersebut
dalam terang fenomenologi dengan membiarkan memahami sebagai faktisitas
menampakan diri.9

Jadi hermeneutika heidegger ini fokus pada aktualisasi fenomena manusia


sebagai sesuatu yang berada, atau singkatnya fokus pada eksistensialitas manusia.
Sehingga bahasa menjadi instrumen yang sangat penting dalam hermeneutika
Heidegger. Bahasa adalah sisi lain dari dasein, tanpa bahasa dasein tidak akan
ada, begitupun dengan understanding, ia tidak akan ada.

4. BAB IV

Pada bab empat, Hardiman memberi judul “Memahami sebagai


Menyingkap: Rudolf Bultman dan Hermeneutik Demitologisasi”. Hardiman pada
bab ini mengajak pembacanya untuk memaknai aktivitas memahami sebagai
aktivitas menyingkap makna eksistensial. . Tokoh dijadikan rujukan dalam hal ini
adalah Rudolf Bultman. Bultman menemukan bahwa hermeneutk Heiddeger
tentang eksistensialitas manusia, seperti kondsi yang melingkupi manuisa
merupakan hal yang sangat penting dalam memahami kitab suci.

Sehingga bisa dikatakan bahwa hermeneutik Bultmann ini sebetulnya


mengembangkan konsep hermeneutik dari Heidegger, yang memang latar
belakang keilmuan Bultmann ini sangat dipengaruhi oleh ontologi Heidegger.
Dengan demikian, Demitologisasi adalah sebuah heremeneutik untuk memahami
9
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 108.
makna eksistensial mitos. Dengan demitologisasi, Bultmann berupaaya untuk
menjembatani kesenjangan anatara bahasa mitos teks sakral dengan pemahaman
rasional pembaca modern sehingga demitologisasi dapat memperkaya eksegesis
atau penafsiran.10

Menurut Hardiman, bagi Bultmann memahami teks sakral seperti kitab suci
bukanlah sebuah upaya untuk mempresentasikan makna hostoris objektif teks itu,
melainkan sebuah perjumpaan eksistensialitas dengan makna teks itu.
Menurutnya, Kitab suci bukanlah sebuah teks ilmiah, melainkan sebuah kerygma,
sebuah warta tentang keselamatan.11

5. BAB V

Dalam bab lima, Hardiman memberi judul “Memahami sebagai


Kesepahaman: Gadamer dan Hermeneutik Filosofis”. Bagi Gadamer memahami
berarti menyetujui. Dan konsep sentral dar hermeneutik Gadamer yakni Fusion of
Horizon, dan Wirkungsgeschicte.

Ketika bagi Schleiermacher dan Dilthey sebagai representasi dari


heremeneutik romantik mengartikan memahami sebagai seni dan metode, maka
lain bagi Gadamer. Bagi Gadamer memahami diartikan sebagai kemapuan
universal manusia. Karena bagi Gadamer metode kerap kali menyempitkan,
membatasi pengalaman untuk memahami itu sendiri. Oleh sebab itu Proyek
Gadamer adalah membebaskan hermeneutik dari metode-metode yang mengikat
sebagaimana Schleiermacher dan Dilthey, sehingga hermeneutik tidak lagi
difahami sebagai seni atau metode, melainkan sebagai kemampuan manusia untuk
memahami.

Heiddeger berpendapat bahwasanya memahami itu bukan proses dari tidak


tahu menjadi tahu, akan tetapi dari pemahaman yang lama menuju pemahaman
yang baru karena setiap individu tentu sudah memiliki pra pemahaman atau pra
struktur. Oleh sebab itu menurut Gadamer, sebagaimana gurunya pemahaman ini
bukan sekedar seni ataupun metode melainkan hakikat hidup sebagai manusia.

10
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 152
11
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 153
Hermeneutika bagi Gadamer, sebagaimana gurunya yakni Heiddeger tidak
lagi dipandang sebagai sebuah seni (Schleiermacher) atau metode interpretasi
(Dilthey), melainkan sebagai upaya filosofis untuk mencapai pemahaman
ontologis. Hermeneutika Gadamer ini berupusat pada dialog yang mengacu pada
sebuah paradigma mendasar, yakni Bahasa. Bagi Gadamer kebenaran dapat
diperoleh melalui dialektika dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Dengan
demikian Gadamer menempatkan Bahasa sebagai pusat terjadinya tindakan
pemahaman.

Tujuan hermeneutika Gadamer bukan untuk menemukan makna objektif


yang dimaksud penulis sebagaimana yang diasumsikan model hermeneutika
objektif, akan tetapi untuk memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri.
Jelasnya, bukan penafsir yang mendekati teksnya dan tidak ikut terlibat bermain
didalamnya, akan tetapi disana terjadi dialektika atau peleburan horison antara
horison teks horison pembaca dan horison pengarang sehingga menghasilkan
pemahaman baru yang lebih luas.

Hermeneutik Gadamer ini dengan kata lain sebagiamana yang dikatakan


Hardiman “mengandaikan suatu pengalaman hermeneutis, yakni perjumpaan
dengan yang lain dalam keberlainannya, maka tugas interpretasi mengandung
tegangan antara keakraban dengan keterasingan teks, suatu perjumpaan dalam
hubungan antara aku dengan engkau.12

6. BAB VI

Bab keenam berjudul “Memahami sebagai Membebaskan: Habermas dan


Hermeneutik Kristis”. Habermas adalah seorang pemikir yang bisa dikatakan
mengapresiasi sekaligus mengkritik pemikir sebelumnya yakni Gadamer.
Habermas dikenal sebagai seorang filsuf kelas dunia yang memusatkan
perhatiannya pada problem komunikasi intersubjektif. Ia berupaya
menggabungkan dimensi teori dan praktik melalui perspektif hermeneutika.
Sehingga dari Habermas ini kita mengetahui dan mengenal konsep hermeneutik

12
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 202
kritis-komunikatif. Inilah salah satu kontribusi Habermas dalam dunia
hermeneutik, yakni singkatnya, ia mengintegrasikan interpretasi dengan kritik

Habermas mengkritik pendirian Gadamertentang klaim universalitas


hermeneutik dengan menunjukan batas-batas hermeneutik Gadamer pada bahasa
monologal ilmu-ilmu alam dan pada komunkasi yang terdistrosi secara
sistematis.13

Adapun memahami bagi Habermas diartikan sebagai membebaskan. Pada


bab ini Hardiman selain memaparkan teori Habermas sebagai respons atas
Gadamer, ia juga memaparkan bagaimana Habermas mengangkat teks abnormal
atau ideologi sebagai problem hermeneutis.

7. BAB VII

Pada bab ketujuh Hardiman memberikan judul “Memahami sebagai


Merenungkan: Ricoeur dan Hermeneutik Simbol”. Pada bab ini pertama-tama
setelah menyajikan biografi singkat Ricoeur, Hardiman menyajikan tentang
hermeneutik Ricoeur yang mengkritisi Gadamer. Menurutnya, berbeda dari
Gadamer yang menolak peran refleksi cartesian dalam memahami teks, Ricouer
justru melihat refleksi cartesian sebagai sesuatu yang penting bagi hermeneutik.
Menurut Hardiman, Bagi Ricoeur memahami teks bukan hanya memahamai
makna yang terkandung di dalam teks itu, melainkan juga lewat teks itu
merefleksikan makna hidup kita, karena teks mengacu pada kehidupan, kepada
dunia di luar teks itu. Sehingga makna teks itu menimbulkan perenungan
filosofis.14

Kemudian mengenai Ricoeur Hardiman juga mengungkapkan bahwa


Ricoeur menempatkan “memahami” dan “menjelaskan” diatansi atas teks dan
partisipasi kedalam teks dalam hubungan dialektis, maka hermeneutik tidak hanya
merekontruksi makna, melainkan juga mencurigai makna sebagaimana
dipraktekan dalam kritik ideologi.15

13
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 222
14
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 222
15
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 263
Dari hasil bacaan penulis mengenai Ricoeur, Ricoeur menginginkna
pergeseran dalam heremeneutik, yang pada awalnya ada dalam ranah
epistemologi menjadi ranah ontologi. Kemudian ia juga mencoba untuk
menghadirkan sebuah interpretasi yang berbeda yaitu mencoba membuka dunia
teks di depan reader atau pembaca agar teks bisa dipahami oleh reader atau
pembaca dengan sudut pandanganya dengan membatasi dirinya dari situasi author
atau penulis. agar pembaca dapat menghadirkan makna baru ke dalam sebuah teks
yang ditampilkan oleh author atau penulis.

8. BAB VIII

Adapun pada bab kedelapan diberi judul “Memahami sebagai


Menangguhkan: Derrida dan Hermeneutik Radikal”. Pada bab ini Hardiman
berbicara tentang Mengulas hermeneutik radikal Derrida. Bagaimana interpretasi
dekonstruktif menangguhkan suatu pemaknaan tekstual, khususnya dalam teks-
teks hukum dan politik. Kontribusi besar Derrida bagi dunia hermeneutik ialah
membuka ruang interpretasi intertekstual yang multiperspektif.

Satu alasan yang dikemukakan Hardiman mengapa pemikiran Derrida


terutama melalui dekonstruksinya dikategorikan sebagai hermeneutika.
Disebutkan Hardiman, dekonstruksi yang merupakan salah satu konsep kunci
Derrida, mengandaikan suatu tindakan interpretasi yang dilakukan secara radikal.
Hardiman menyebut hermeneutika Derrida dengan sebutan “hermeneutika
radikal”. Bagaimana hal itu menjadi mungkin?

Pertama, seperti yang sudah dijelaskan dekonstruksi berbeda dari konsep-


konsep yang dikemukakan pemikir hermeneutika sebelumnya. Jika dari
Schleiermacher sampai Gadamer, hermeneutika bertujuan untuk membangun
kembali makna asli atau memproduksi makna baru sesuai dengan horizon yang
baru, maka dekonstruksi Derrida justru bukan dalam rangka memproduksi atau
merekonstruksi kembali makna yang sudah ada. Dengan kata lain, dekonstruksi
bukan untuk memahami susunan makna yang ditemukan di dalam atau di balik
teks, melainkan menunda makna apa pun yang dapat diputuskan dalam suatu
teks.16

Derrida dengan gagasan hermeneutiknya membawa tindakan pemahaman


dalam situasi radikal. Dengan metode dekonstruksi, Derrida menghidupkan
perspektif yang berubah-ubah sehingga makna suatu teks tak pernah dapat
distabilkan dan diguncang dari dalam.

Singkatnya hermeneutika radikal Derrida bukan bertujuan untuk


menghimpun makna dan menstabilkannya, melainkan suatu cara menafsirkan
dengan mendestabilisasi makna yang telah diperkuat otoritas tradisi maupun
kebudayaan dengan membebaskannya dari otoritas makna itu sendiri.

Sebagai suatu tujuan untuk menemukan makna, jelas hermeneutika radikal


tidak bisa dipakai sebagai suatu pendekatan, tetapi dia justru memberikan suatu
jalan lain untuk kembali merenungkan keanekaragaman makna yang mungkin
saja hadir dan ikut memperkaya makna itu sendiri. Menurut Madison dalam buku
Hardiman, tujuan dekonstruksi “nyatanya adalah menunjukkan bahwa teks-teks
filosofis tidak berarti apa yang tampak mereka artikan, tidak berarti apa yang para
penulis mereka ingin mengartikan mereka (apa yang mereka ‘maksudkan’),
nyatanya tidak memiliki arti ‘yang dapat diputuskan’ sama sekali.

Buku ini berakhir dengan suatu bab Penutup sepanjang 24 halaman yang
merupakan semacam rangkuman. Fokus penutup amat aktual, yaitu masalah
literalisme, paham bahwa sebuah teks suci harus dipahami “secara harafiah” tak
boleh ditafsir-tafsir, serta hubungannya dengan “fundamentalisme, radikalisme,
ekstremisme agama,” serta mengapa literalisme justru tidak setia terhadap teks
yang dikatakan mau diikuti secara harafiah.

Pada bagian penutup bukunya, Hardiman menyadari betul bahwa


hermeneutik modern memang tidak akan bisa untuk langsung menghentikan
radikalisme dalam agama, namun menurutnya hermeneutik ini dapat membuka
pendekatan-pendekatan yang menggunakan nalar untuk memahami makna kitab
suci. Adapun untuk jangka panjangnya hermenutik modern atau pendekatan-
16
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 278-282
pendekatan rasional ini dapat membantu para pembaca untuk bersikap kritis dan
dan lebih terbuka.

5. Apresiasi Dan Kritik Reviewer

Saat pertama kali membaca buku ini, rasa takjub dan penasaran betul-betul
menjadi satu. Bagiamana tidak, diawal, Hardiman menyajikan sebuah tabel berisi
ringkasan singkat beserta gambar dari delapan tokoh hermeneutik modern yang
akan dibahasnya lebih dalam dalam bukunya, sehingga selain membuat
penasaran, dengan memberikan gambaran seperti ini akan memudahkan pembaca
untuk mengkaji delapan tokoh ini beserta pemikirannya secara mendalam, karena
diawal pembaca sudah dibekali dengan gambaran umum dari tokoh yang akan
dibahas. Dan ini menakjubkan karena penulis sampai terpikir untuk membuat
yang demikian sehingga sangat memudahkan pembaca.

Kemudian setelah pembacaan mendalam pada buku ini, penulis merasa


sangat tercerahkan pada setiap babnya. Bagaimana tidak selama ini penulis
memaknai “memahami” hanya secara tunggal, memahami ya hanya memahami
saja. Hanya sampai pada pemahaman tersebut. Namun ternyata arti memahami
tidak tunggal seperti yang diketahui selama ini. Memahami di dalam buku ini
didefinisikan sebagai kegiatan menangkap atau merasakan sesuatu yang dialami
orang lain. Baru mengetahui suatu hal belum berarti sudah memahami.
Memahami juga tidak diraih hanya dengan menjarakkan diri dari objek yang ingin
dipahami, karena ada suatu makna yang juga ingin ditangkap. Singkatnya,
memahami berbeda dengan pemahaman, karena tidak seperti pemahaman yang
mengacu pada hasil, memahami lebih mengacu kepada proses terus menerus
dalam kegiatan menangkap pengalaman seseorang.

Kemudian salah satu prestasi Budi Hardiman dalam buku ini yang harus
diapresiasi pula adalah bahwa ia berhasil menjelaskan pemikiran tentang
hermeneutika salah seorang filosof paling sulit untuk dimengerti, yakni Jacques
Derrida. Dalam beberapa buku ataupun artikel pemaparan tentang sosok Derrida
dan pemahamannya seringkali terasa sulit diffahami, terlebih bagi orang yang
baru mempelajari dunia filsafat. Namundalam buku ini Hardiman memberikan
pemaparan yang mudah difahami, sekalipun oleh pemula. Sehingga menurut
penulis, kalau kita belum tahu, belum mampu atau bahkan belum berani membaca
tentang sosok Derrida ini, kita bisa mendapat pengantar bagus dalam buku ini
untuk mempermudah pemahaman.

Kemudian dalam pembahasan mengenai Heridegger, penulis setuju


dengan pendapat beberapa tokoh yang mengatakan bahwa kkarya-karya
Heidegger ini pada umumnya sukar untuk dibaca dan dimengerti. Dan bagi orang
yang sudah biasa dengan sejarah filsafat, kenyataan ini tidak begitu
mengherankan. Di manakah terdapat suatu filsafat yang betul-betul besar dan
orisinal dan tidak menuntut usaha luar biasa untuk merebut maksudnya. Beberapa
ahli bahasa Jerman berpendapat bahwa bahasa yang dipakai Heidegger bisa
dikatakan buruk dan terlalu dipengaruhi oleh dialek. Ia cenderung menggunakan
bahasa kuno yang tidak dipergunakan lagi dalam bahasa modern. Oleh karena itu
dapat dimengerti pula bahwa penerjemahan karya-karya Heidegger ke dalam
bahasa lain mengakibatkan banyak kesulitan. Namun, dalam bukunya Hardiman,
Hardiman mampu membawanya dengan bahasa yang mudah difahami.

Singkatnya, Buku ini memberikan pengertian yang cukup lengkap tentang


memahami dari perspektif delapan tokoh hermeneutik modern, dengan bahasa
yang mudah diikuti, kepada filosof pemula, buku Budi Hardiman ini bisa sangat
membantu. Oleh sebab itu, buku ini tidak hanya direkomendasikan bagi
mahasiswa teologi saja, akan tetapi sangat direkomendasikan pula bagi mahasiswa
lintas disiplin ilmu, bahkan lintas agama dan masyarakat umum.

Kemudian mengapa masyarakat umum juga direkomdasikan untuk


membaca buku Hardiman ini?, dalam pandanggan penulis walaupun buku ini
merupakan buku filsafat, cara seni memahami bisa diterapkan dalam cara pandang
kita, dalam interaksi kita sehari-hari untuk merawat hubungan antarmanusia yang
lebih bermartabat dan lebih baik. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Budiman
bahwa buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara
manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.
Berbicara tentang hermeneutik dalam kajian agama Islam masih
diperdebatkan. karena hermeneutik dianggap bersumber dari perspektif sekuler.
Namun bagaimanapun dalam kaitannya dengan teks keagamaan, menurut penulis
pemikiran hermeneutik yang disajikan Hardiman dalam buku ini dapat dapat
membantu memperkaya dan mempertajam misi profetis keagamaan sekaligus
menjaganya dari penyimpangan akibat suatu penyelewengan yang ditunggangi
kekuasaan ataupun penyelewengan lainnya.

Sisi menarik lain dari buku ini yakni Hardiman meng-highlight poin-poin
penting pada setiap paragraf dan pokok gagasan pada setiap sub babnya, sehingga
hal ini mempermudah pembaca untuk mengambil inti dari pembahasan yang
disampaikan Hardiman.

Kemudian di akhir bab Hardiman membarikan terminologi-terminologi


yang cukup sulit bagi pembaca khususnya pembaca pemula yang telah dibahas
dibab tersebut untuk mempermudah dalam mengingat terminologi yang telah
dibahas disetiap babnya. Tak lupa juga Hardiman memberikan restorpeksi untuk
mengingatkan kembali pembaca atas apa yang telah dibahas pada setiap babnya.

Anda mungkin juga menyukai