Review Buku Seni Memahami Hermeneutik Da
Review Buku Seni Memahami Hermeneutik Da
1. Identitas Buku
Buku yang menjadi bahan review pada makalah ini adalah buku dengan
judul Seni Memahami - Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida.
Gagasan utama dalam buku ini adalah menyajikan sebuah persoalan yang sangat
manusiawi, yakni upaya memahami. Dan memahami dalam kajian filosofis
merupakan tema sentral dalam hermeneutik. Namun sebelum mengkaji lebih
dalam mengenai isi buku ini, alangkah baiknya jika mengenal dan mengetahui
identitas buku ini.
Bahasa : Indonesia
Penerbit : PT Kanisius
Cetakan 2015
ISSBN : 978-979-21-4345-4
2. Identitas Pengarang
Istilah “Seni Memahami” yang dijadikan judul buku ini merujuk pada
Schleiermacher, yang merupakan terjemahan dari istilah Jerman yaitu
“Kunstslehre des Verstehens”. Memahami berbeda dengan mengetahui. Begitu
ungkap Hardiman pada bagian pendahuluan bukunya. Dan Hardiman
menggunakan diksi “Memahami” dan bukan “pemahaman” sebagai upaya untuk
memberikan muatan makna yang sama dengan istilah Jermannya yakni
“Verstehen” bukan “Verstandis”. Istilah Verstehen dalam heremeneutik ini
mengacu pada proses bukan hasil sebagaimana Verstandis. Verstehen mengacu
1
https://www.prismajurnal.com
pada proses menangkap makna dalam bahasa, sehingga memahami adalah proses
menangkap maksud atau makna dibalik kata-kata yang diucapkan pembicara.2
Walaupun buku ini bisa dikatakan cukup tebal karena berisi 344 halaman,
namun buku ini sama sekali tidak berat. Alasan fisiknya, tentu karena buku ini
menggunakan kertas kuning yang sifatnya cenderung lebih ringan jika
dibandingkan kertas putih. Alasan Psikologisnya, pemaparan Budi Hardiman
dalam buku ini sangat sistematis sehingga mudah difahami. Oleh sebab itu, buku
ini tidak hanya direkomendasikan bagi mahasiswa teologi saja, akan tetapi sangat
direkomendasikan pula bagi mahasiswa lintas disiplin ilmu, bahkan lintas agama.
2
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 31
3
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 34
4
Lawrence L. Schmidt, Understanding Hermeneutics, Acumen, Durham, 2006, dalam Budi
Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 33.
suci tidak menyediakan kebenaran final yang siap-pakai untuk masyarakat yang
beragam seperti sekarang.
Secara garis besar, buku ini mendiskusikan lima pertanyaan besar yakni;
Apa itu hermeneutik?, Bagaimana memahami mitos, kitab suci dan sains?, Apa
kaitan proses memahami dengan kekuasaan, prasangka, tradisi, dan ideologi?,
Dan mengapa perlu hermeneutik untuk mengatasi radikalisme agama?, dan
terakhir mengapa klaim kebenaran final sangat berbahaya?.
Dari sini terlihat Hardiman mengajak pembaca agar tidak hanya terpaku
pada data peristiwa saja, melainkan harus mampu menangkap makna dibalik
peristiwa tersebut. Kemudian Hardiman juga memaparkan persoalan hermeneutik
5
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm.9
dalam pergulatan historis sehingga tidak hanya berada di ranah teologis akan
tetapi menjadi objek kajian filsafat, hukum, antropologi, sosiologi, dan
sebagainya.
Selain itu, dalam buku ini Hardiman memposisikan hermeneutik pada dua
hal yakni hermeneutik sebagai metode dan hermeneutik sebagai filosofis. Kedua
hal inilah yang menjadi perhatian para tokoh yang dibahas dalam buku ini.
1. BAB I
Hermeneutik romantik ini berbasis pada dua hal, yakni gramatis dan
psikologis. Dalam pandangan Schleiermacher keduanya memiliki kedudukan
yang sama. Kedua langkah tersebut dapat dilakukan bersama-sama dalam mencari
sebuah makna. Menurut hemat penulis, dalam interpretasi gramatis
Schleiermacher, reader atau pembaca harus memahami secara universal gaya
bahasa yang digunakan author atau penulis seperti terkait linguistic analyisis,
historical context. Adapun dalam proses interpretasi psikologis, reader atau
pembaca harus membaca segala hal yang berkaitan dengan author atau penulis,
yakni karya-karya atau tulisan-tulisan lain yang membahas author, atau catatan
sejarah dari masa ke masa tentang author. Karena dalam pandangan
Schleiermacher, tanpa dilakukan proses demikian, seorang reader atau pembaca
tidak akan bisa memahami sisi psikologis dari author atau pembaca.
6
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 62
7
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 35
atau penulis. Itulah yang dimaksud Schleiermacher untuk mengatasi
kesalahfahaman.
Selain itu, alih-alih untuk merehabilitasi keotentikan makna teks dari nalar
subjektif pengarang sangatlah tidak mungkin, kalaupun memungkinkan
peluangnya sangat kecil sekali. Karena penafsir berangkat dari kesadaran atas
zamannya sementara teks yang dihasilkan oleh si penulis merupakan hasil dialog
antara kesadaran penulis dengan zaman yang ada padanya sehingga benturan
pengetahuan tidak bisa dihindari, saya menaruh keyakinan disitu, penafsir tidak
akan berhasil menghidupkan kembali keotentikan makna yang ditafsirnya. Karena
bagaimanapun makna yang disimpulkan oleh penafsir merupakan hasil peleburan
pengetahuan antara si penulis dan si penafsir itu sendiri. Hal-hal yang luput dari
Scheleirmacher seperti orientasi teks untuk kehidupan manusia saat ini, serta
benturan kesadaran penafsir dengan isi makna dalam teks dijawab kemudian oleh
tokoh Hermeneutik lainya seperti Heidegger hermeneutik faktisitas dan Gadamer
melalui metode Horizon (peleburan).
2. BAB II
3. BAB III
Adapun bab tiga berjudul “Memahami sebagai Cara Berada: Heidegger dan
Hemeneutik Faktisitas”. Pada bab tiga ini Hardiman mengajak pembaca untuk
mendalami pemikiran Heidegger dalam memahami hermeneutik sebagai cara
meng’ada’.
8
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 71
Dalam memahami proyek hermeneutika Heidegger, pertama-tam Hardiman
mengajak pembaca untuk memahami Fenomenologi, aekalipun memang
pemikiran Heiddeger telah melampaui fenomenologi dan telah mencapai suatu
pendiriannya sendiri.
4. BAB IV
Menurut Hardiman, bagi Bultmann memahami teks sakral seperti kitab suci
bukanlah sebuah upaya untuk mempresentasikan makna hostoris objektif teks itu,
melainkan sebuah perjumpaan eksistensialitas dengan makna teks itu.
Menurutnya, Kitab suci bukanlah sebuah teks ilmiah, melainkan sebuah kerygma,
sebuah warta tentang keselamatan.11
5. BAB V
10
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 152
11
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 153
Hermeneutika bagi Gadamer, sebagaimana gurunya yakni Heiddeger tidak
lagi dipandang sebagai sebuah seni (Schleiermacher) atau metode interpretasi
(Dilthey), melainkan sebagai upaya filosofis untuk mencapai pemahaman
ontologis. Hermeneutika Gadamer ini berupusat pada dialog yang mengacu pada
sebuah paradigma mendasar, yakni Bahasa. Bagi Gadamer kebenaran dapat
diperoleh melalui dialektika dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Dengan
demikian Gadamer menempatkan Bahasa sebagai pusat terjadinya tindakan
pemahaman.
6. BAB VI
12
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 202
kritis-komunikatif. Inilah salah satu kontribusi Habermas dalam dunia
hermeneutik, yakni singkatnya, ia mengintegrasikan interpretasi dengan kritik
7. BAB VII
13
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 222
14
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 222
15
Budi Hardiman, Seni Memahami (Yogyakarta: PT Kanisius 2015), hlm. 263
Dari hasil bacaan penulis mengenai Ricoeur, Ricoeur menginginkna
pergeseran dalam heremeneutik, yang pada awalnya ada dalam ranah
epistemologi menjadi ranah ontologi. Kemudian ia juga mencoba untuk
menghadirkan sebuah interpretasi yang berbeda yaitu mencoba membuka dunia
teks di depan reader atau pembaca agar teks bisa dipahami oleh reader atau
pembaca dengan sudut pandanganya dengan membatasi dirinya dari situasi author
atau penulis. agar pembaca dapat menghadirkan makna baru ke dalam sebuah teks
yang ditampilkan oleh author atau penulis.
8. BAB VIII
Buku ini berakhir dengan suatu bab Penutup sepanjang 24 halaman yang
merupakan semacam rangkuman. Fokus penutup amat aktual, yaitu masalah
literalisme, paham bahwa sebuah teks suci harus dipahami “secara harafiah” tak
boleh ditafsir-tafsir, serta hubungannya dengan “fundamentalisme, radikalisme,
ekstremisme agama,” serta mengapa literalisme justru tidak setia terhadap teks
yang dikatakan mau diikuti secara harafiah.
Saat pertama kali membaca buku ini, rasa takjub dan penasaran betul-betul
menjadi satu. Bagiamana tidak, diawal, Hardiman menyajikan sebuah tabel berisi
ringkasan singkat beserta gambar dari delapan tokoh hermeneutik modern yang
akan dibahasnya lebih dalam dalam bukunya, sehingga selain membuat
penasaran, dengan memberikan gambaran seperti ini akan memudahkan pembaca
untuk mengkaji delapan tokoh ini beserta pemikirannya secara mendalam, karena
diawal pembaca sudah dibekali dengan gambaran umum dari tokoh yang akan
dibahas. Dan ini menakjubkan karena penulis sampai terpikir untuk membuat
yang demikian sehingga sangat memudahkan pembaca.
Kemudian salah satu prestasi Budi Hardiman dalam buku ini yang harus
diapresiasi pula adalah bahwa ia berhasil menjelaskan pemikiran tentang
hermeneutika salah seorang filosof paling sulit untuk dimengerti, yakni Jacques
Derrida. Dalam beberapa buku ataupun artikel pemaparan tentang sosok Derrida
dan pemahamannya seringkali terasa sulit diffahami, terlebih bagi orang yang
baru mempelajari dunia filsafat. Namundalam buku ini Hardiman memberikan
pemaparan yang mudah difahami, sekalipun oleh pemula. Sehingga menurut
penulis, kalau kita belum tahu, belum mampu atau bahkan belum berani membaca
tentang sosok Derrida ini, kita bisa mendapat pengantar bagus dalam buku ini
untuk mempermudah pemahaman.
Sisi menarik lain dari buku ini yakni Hardiman meng-highlight poin-poin
penting pada setiap paragraf dan pokok gagasan pada setiap sub babnya, sehingga
hal ini mempermudah pembaca untuk mengambil inti dari pembahasan yang
disampaikan Hardiman.