Anda di halaman 1dari 7

168 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

VOL. 2 NO. 2 / OKTOBER 2013

harapan hidup hingga 81,4 tahun. Sementara harapan justice) juga seiring dengan menguatnya keyakinan akan
hidup seorang anak di Sierra Leone, negara di bagian nilai-nilai kosmopolitanisme dalam masyarakat
barat Afrika (berbatasan dengan Liberia), hanya 47,8 internasional.
tahun (UNDP, 2011).1 Jumlah GDP (gross domestic Konsepsi global justice memang tidak bisa dilepaskan
product) perkapita Amerika Serikat mencapai 45.989 dari pengaruh pemikiran Rawls. Meski demikian, teori
dollar, sementara Sierra Leone hanya sebesar $ 808 keadilan dalam perspekstif Rawls dipandang belum
dollar. mampu menjawab seluruh persoalan umat manusia,
Perbandingan tingkat melek huruf di beberapa terutama ketika ditarik pada level global. Karena itu,
negara juga sangat timpang. Lebih dari 80 persen orang beberapa pemikir kosmopolitan kontemporer seperti
dewasa (25 tahun ke atas) di dua puluh negara maju Martha Nussbaum, Thomas Nagel, Thomas Pogge, dan
tergolong melek huruf. Sementara di beberapa negara Simon Caney, banyak berbicara mengenai konsepsi
berkembang masih memperihatinkan. Di Bangladesh, keadilan global ini.
misalnya, hanya 30,8 persen dari perempuan dan 39,3 Konsepsi global justice cukup berbeda dengan teori
persen laki-laki yang bisa digolongkan terdidik. Nigeria keadilan sebelumya, terutama dalam melihat persoalan
menunjukkan data paling rawan, hanya terdapat 2,5 dari level yang lebih tinggi serta bagaimana mendorong
persen perempuan dan 7,6 persen laki-laki yang keadilan sebagai sebuah norma internasional, agar
mengenyam pendidikan. keadilan tidak hanya bisa ditegakkan tetapi sekaligus
Beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa hampir terdistribusi secara adil. Hal ini bisa dilihat dari
semua kebutuhan dasar manusia ternyata tidak bagaimana konsep keadilan ini berkembang dari
terdistribusi secara merata di seluruh dunia. Hal ini kontraktarian (versi Rawls) yang menempatkan negara
semakin kontras jika perbandingan tersebut kita sebagai unit dominan, ke arah norma-norma yang
lanjutkan pada aspek-aspek lainnya seperti akses mampu diyakini secara internasional, sehingga setiap
terhadap air bersih, layanan kesehatan dan sanitasi, orang, organisasi, dan negara memiliki kewajiban yang
serta kebebasan berbicara, beragama, dan partisipasi sama untuk menjamin keadilan bagi setiap manusia.
politik. Tulisan ini ingin mengelaborasi lebih jauh bagaimana
Proses ketidakadilan dan kesenjangan sebenarnya teori keadilan global berkembang dan mampu menjadi
sudah berlangsung cukup lama. Fenomena tersebut norma internasional, di mana keadilan kemudian tidak
tidak saja mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan saja diyakini sebagai nilai tetapi juga hadir dalam
strategis untuk mengurangi tingkat kesenjangan tetapi bentuk rezim dan institusi.
juga banyak melahirkan pertanyaan filosofis sekaligus
kritis mengenai bentuk kehidupan yang lebih adil. PEMBAHASAN
Dari sini pula lahir studi mengenai keadilan, yang KEADILAN DALAM PERSPEKTIF JOHN RAWLS
mencoba menjelaskan sekaligus menawarkan perilaku Selama ini teori keadilan dalam tradisi filsafat
yang lebih fair—terutama dari perspektif moral. politik banyak didominasi oleh teori kontrak sosial
Salah satu pemikir yang paling berpengaruh dalam (social contract). Keadilan dalam pandangan ini dilihat
mengembangkan teori keadilan adalah John Rawls, sebagai hasil dari kesepakatan yang dibuat bersama
terutama melalui karyanya A Theory of Justice (1971). demi mencapai keuntungan semua pihak, serta
Melanjutkan tradisi berpikir kontraktarian, Rawls meninggalkan apa yang disebut Thomas Hobbes
mencoba menggagas teori keadilan yang lebih adil sebagai “the state of nature” dan menyerahkan
(fair). Namun fakta bahwa ketidakadilan berlangsung sepenuhnya pada hukum.
secar global dan kolosal membuat teori keadilan ini Tradisi berpikir kontraktarian ini cukup panjang,
terus berkembang pada level yang lebih tinggi. mulai dari Thomas Hobbes (1588-1679), John Lock
Berkembangnya wacana tentang keadilan global (global (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1774),
Muhammad Faris Alfadh
Keadilan Global dan Norma Internasional 169

hingga Immanuel Kant (1724-1804). Namun tidak sudah dikembangkan sebelumnya oleh Lock,
dapat dipungkiri bahwa John Rawls (1921-2002) Rousseau, dan juga Kant. Rawls sendiri mengakui
adalah pemikir yang paling berpengaruh di abad sumbangan para pendahulunya tersebut. Akan tetapi
modern. Teorinya mengenai keadilan sebagai fairness ia berpendapat bahwa teori-teori tradisional ini tidak
yang dijelaskan dalam magnum opusnya, A Theory of memuaskan justru karena semuanya cenderung bersifat
Justice (1971), berangkat dari kritik atas teori utilitarianis.
sebelumnya yang ia rasa tidak sempurna dan kurang Kelemahan pokok teori kontraktarian dengan basis
memadai dalam memberikan konsep keadilan yang utilitarisme adalah, keadilan sosial dan ekonomi dalam
tepat. Kegagagalan teori terdahulu, menurtnya, masyarakat sulit dijamin karena pengambilan
disebabkan oleh substansi dari teori tersebut yang keputusan lebih ditentukan oleh prinsip manfaat
sangat dipengaruhi nilai-nilai utilitarianisme (Ujan, daripada hak. Keadilan seakan-akan dapat
2001: 21). dikompensasi melalui keuntungan-keuntungan
Dalam pandangan kaum utilitarianis, benar dan ekonomis ataupun keuntungan sosial lainnya.
salahnya tindakan manusia sangat bergantung pada Menurut Rawls, harga diri manusia tidak bisa diukur
konsekuensi langsung dari tindakan tersebut. Dengan dengan materi. Martabat manusia, sebaliknya, ditandai
demikian, baik buruknya perilaku sesorang secara dengan kebebasan (Ujan, 2001: 23).
moral dapat dinilai dari baik buruknya konsekuensi Selain itu, utilitarianisme cenderung mengabaikan
yang dihasilkan bagi manusia lainnya. Tegasnya, apabila keunikan setiap individu dan memperlakukannya
akibat yang ditimbulkan baik, maka sebuah peraturan melulu sebagai bagian yang berfungsi melayani
atau tindakaan dengan sendirinya menjadi baik, kepuasan masyarakat sebagai keseluruhan. Bagi Rawls,
betapapun cara yang ditempuh untuk itu, demikian adalah tidak adil (unfair) mengorbankan hak dari satu
pula sebaliknya. (Magnis-Suseno, 1986). Karena itu, atau beberapa orang hanya demi keuntungan
menurut Rawls, utilitarianisme gagal untuk menjamin ekonomis yang lebih besar bagi masyarakat secara
keadilan sosial karena mendahulukan asas manfaat keseluruhan. Sikap dasar utilitarisme justru bertolak
(good) daripada asas hak (right). Karena bisa jadi dalam belakang dengan prinsip keadilan sebagai fairness.
mendahulukan asas manfaat, sebuah tindakan akan Keadilan sebagai fairness menuntut bahwa orang
menafikan hak-hak yang dianggap marjinal. Disebabkan pertama-tama harus menerima prinsip kebebasan yang
kegagalan inilah maka utilitarisme tidak cukup kuat sama sebagai basis yang melandasi pengaturan
bila dijadikan basis untuk membangun konsep kesejahteraan sosial.
keadilan yang ideal (Ujan, 2001: 21). Bagi Rawls, keadilan harus dimengerti sebagai
Karen itu, menurut Rawls, suatu teori keadilan fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang
yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan memiliki kemampuan yang lebih baik yang berhak
kontrak di mana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih menikmati manfaat sosial lebih banyak, tetapi juga
sebagai pegangan bersama sungguh-sungguh merupakan berlaku bagi kelompok dengan kemampuan terbatas.
hasil kesepakatan bersama dari semua pihak yang Keuntungan yang dicapai oleh mereka yang mampu
bebas, rasional, dan sederajat. Hanya melalui juga seharusnya membuka peluang bagi mereka yang
pendekatan kontrak inilah sebuah teori keadilan kurang beruntung untuk meningkatkan prospek
mampu menjamin pelaksanaan hak sekaligus hidupnya (Ujan, 2001: 25).
mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua Rawls merumuskan dua prinsip keadilan sebagai
orang. berikut: Pertama, setiap orang harus memiliki hak yang
Pendekatan kontrak terhadap konsep keadilan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
dikembangkan Rawls sebenarnya bukanlah sesuatu kebebasan yang sama bagi semua orang; Kedua,
yang baru. Keadilan yang bersifat kontrak ini juga Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur
170 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 2 NO. 2 / OKTOBER 2013

sedemikian rupa sehingga (a) diharapkan memeberi lintas batas nasional, kewajiban terhadap hewan dan
keuntungan bagi setiap orang (everyone’s advantages), alam, dan persoalan menjaga kelangsungan bagi
dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka secara sama generasi yang akan dating (Rawls, 1996: 20-21).
bagi semua orang (equally open to all) (Rawls, 2006: 72). Karena itu Nussbaum, sebagai salah satu pemikir
Menurut Rawls kekuatan dari keadilan dalam arti kosmopolitanisme, melihat teori Rawls perlu
fairess justru terletak pada tuntutan bahwa dikembangkan lebih jauh. Menurutnya, kita tidak bisa
ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan menyelesaikan persoalan keadilan global hanya dengan
keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi mempertimbangkan kerjasama internasional
prioritas pada kebebasan. sebagaiaman kerjasama dalam skema kontrak sosial,
Bisa disimpulkan secara sederhana, bahwa keadilan demi mencapai kepentingan bersama di antara anggota
sebagai fairness mengandung tiga tututan moral: dengan cara yang sama untuk menggantikan “state of
Pertama, kebebasan untuk menentukan diri sendiri nature”.
sekaligus independensi terhadap pihak lain; Kedua Teori kontrak memandang negara sebagai unit
pentingnya distribusi yang adil atas semua kesempatan, dasar. Dalam pandangan Hobbes, prinsip-prinsip
peranan, kedudukan, serta berbagai manfaat atau nilai- keadilan memang bisa diidentifikasi melalui ergumen
nilai sosial dasar yang tersedia; dan Ketiga, tuntutan moral, namun mustahil untuk mewujudkannya tanpa
distribusi beban kewajiban secara adil. adanya kedaulatan negara. Senada dengan argumen
Hobbes, Rawls melihat peran struktur negara menjadi
KEADILAN GLOBAL: MELAMPAUI TRADISI KONTRAK syarat untuk menjamin kesetaraan antar sesama
SOSIAL penduduk masyarakat. Terkait hal itu, maka dalam
Berkembangnya konsepsi global justice sebenarnya hubungan internasionalnya, sebuah negara akan sulit
tidak bisa dilepaskan dari teori keadilan sebelumnya melepaskan diri variable-variabel domestik, yang oleh
dalam perspektif John Rawls—keadilan sebagai fairness-. Morgenthau (1948) serta kelompok realis disebut
Namun beberapa pemikir, terutama penganut sebagai kepentingan nasional: dasar dari kebijakan luar
kosmopolitan, melihat teori ini tidak sepenuhnya negeri sebuah bangsa. Layakya manusia yang beranjak
mampu menjawab seluruh persoalan. Menurut Martha dari kondisi “state of nature”-nya, ketika melakukan
Nussbaum, seorang pemikir filsafat politik Amerika kontrak sosial maka negara juga hanya akan bersepakat
yang banyak menulis mengenai gloal justice-, walaupun jika menemukan kesamaan kerjasama dan saling
teori Rawls paling kuat dari semua teori keadilan yang menguntungkan (Nussbaum, 2005: 198). Karena itu,
ada, beberapa aspek masih tampak problematik, menurut Nussbaum, kita baru bisa memecahkan
terutama ketika dihadapkan pada tiga persoalan yang persoalan ketidakadilan yang terjadi secara global
sangat penting: (a) keadilan bagi masyarakat yang tidak dengan memikirkan apa yang dibutuhkan oleh semua
mampu—disabilities (khususnya secara mental); (b) orang untuk hidup layak sebagai umat manusia
keadilan lintas batas negara; dan (c) keadilan terhadap (Nussbaum, 2003). Untuk itu, nilai-nilai keadilan
makhluk selain manusia (binatang, tumbuhan, alam) sebagai fairness tadi perlu ditarik pada level
(Nussbaum, 2003). internasional sebagai sebuah norma yang berlaku
Hal ini juga sebenarnya disadari oleh Rawls sendiri. global.
Dalam Political Liberalism (1996), misalnya, ia Selama ini, sebelum konspsi mengenai global justice
menunjukkan empat persoalan yang sulit dijawab oleh diterima secara luas, keadilan lebih banyak dimaknai
konsepsi keadilan yang ia paparkan selama ini, yakni: terbatas pada level negara. Tidak ada kewajiban
kewajiban (kita) terhadap masyarakat yang tidak membantu apa yang terjadi di luar batas teritorial
mampu—disabilities (baik sementara maupun nasional. Namun, keadilan membutuhkan sesuatu
permanen, bagitu juga mental ataupun fisik), keadilan yang lebih, kata Nussbaum. Menurutnya, selama ini
Muhammad Faris Alfadh
Keadilan Global dan Norma Internasional 171

kita sepertinya abai dan membiarakan martabat (hak) nasional sebuah negara. Begitu juga dengan adanya
manusia dirampas oleh kemiskinan, buta huruf, serta nilai-nilai universal yang difahami pada aspek-aspek
kondisi kesenjangan antar negara. Karena itu, kesetaraan jenis kelamin dan isu-isu dasar lainnya dari
menjadikan keadilan sebagai nilai universal (global), kebebasan manusia, seperti hak sosial, ekonomi,
membuat manusia memiliki kewajiban yang sama budaya, sipil, dan politik.
untuk menangani segala sesuatu yang merampas hak
manusia tadi (Nussbaum, 2003). KEADILAN GLOBAL SEBAGAI NORMA INTERNASIONAL
Persoalan kemiskinan, buta huruf, pembantaian Pasca Perang Dunia II, meningkatnya intensitas
atas nama ras, dan persoalan-persoalan hilangnya hak kerjasama ekonomi secara global membuat pola
dasar tidak bisa lagi dipandang sebagai persoalan orang- interaksi antar negara mengalami perubahan signifikan,
perorang, atau tangungjawab negara semata. Hal begitu juga menguatnya kekuatan politik dan ekonomi
tersebut juga merupakan tangungjawab manusia dari aktor-aktor non-negara seperti organisasi
seluruhnya. Gagasan global justice memang sangat internasional semacam PBB, Bank Dunia, MNCs, dan
dipengaruhi oleh berkembangnya nilai-nilai juga organisasi lainnya. Selama periode yang sama, dan
kosmopolitanisme dalam filsafat politik, di mana khususnya sejak tahun 1970-an, wacana mengenai
hubungan yang terbangun sesama manusia karena keadilan global juga menjadi isu penting dalam kajian
kesamaan nilai budaya, agama, ras, dan negara, tidak filsafat politik, terutama terkait dua hal: (a) isu
lagi dianggap relevan. Ikatan antar manusia harus mengenai tidak berpihak secara moral termasuk di luar
disandarkan pada nilai kemanusiaan itu sendiri. batas negara, dan (b) memaknai diri sebagai baian dari
Manusia tidak dibenarkan secara moral berpihak hanya warga manusia secara universal (O’Neill, 2000: 115).
atas dasar kesamaan budaya, ras, agama, maupun Meski pada periode yang sama, ketertarikan para
negara. Karena itu, persoalan-persoalan kemanusiaan pemikir politik masih banyak difokuskan pada isu-isu
yang ada di negara-negara dunia ketiga juga menjadi keadilan domestik. Keadilan di luar batas negara, dan
tangungjawab semua orang, termasuk negara maju. bagimana kewajiban sebuah negara terhadap negara
Tidak ada satu orangpun yang bisa menentukan di lain, relatif masih dikesampingkan. Banyak orang yang
mana ia ingin dilahirkan, termasuk mereka yang masih melihat kewajiban terhadap keluarga dan sesama
ditakdirkan lahir di negara terbelakang. Oleh sebab bangsa jauh lebih penting daripada terhadap orang
itu, gagasan mengenai global justice ingin membangun asing yang sama sekali tidak dikenal. Posisi inilah yang
kesadaran bersama bahwa semua orang harus ikut dipertanyakan secara kritis oleh perpektif
memikul tanggungjawab yang sama. Salah satu caranya kosmopolitanisme.
adalah dengan membangun gagasan keadilan global Bagi kelompok penganut nilai-nilai kemanusiaan
sebagai norma internasional, di mana keadilan diyakini universal, setiap individu harus menyadari bahwa
sebagai konsep dan nilai universal sekaligus hadir mereka juga adalah bagian dari warga dunia. Karena itu
dalam bentuk istitusi-institusi internasional yang setiap orang berkewajiban untuk tidak memihak dalam
memiliki legitimasi. Hanya dengan langkah tersebut memandang persoalan yang dihadapi manusia lainnya
setiap orang bisa “dipaksa” terlibat dan memikul (Godwin, 1976). Hal ini berangkat dari argumen
tanggungjawab yang sama. bahwa setiap orang memiliki posisi moral yang sama
Dalam beberapa kasus, kita bias melihat upaya sebagai manusia, dan berlaku bagi seluruh umat
nyata yang dilakukan. Dengan adanya nilai keadilan manusia, sehingga batas-batas budaya, kelompok, dan
sebagai keyakinan internasional, maka isu-isu yang negara tidak relevan secara moral (Caney, 2005).
melemahkan kemanusiaan seseorang seprti kelaparan, Salah satu pemikir kosmopolitanisme, Thomas
penyiksaan, genocide dan pembantaian atas nama ras, Pogge, berargumen bahwa semua manusia memiliki
bisa menjadi alasan atas intervensi terhadap kebijakan hak yang sama—sebagaimana dijamin dalam deklarasi
172 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 2 NO. 2 / OKTOBER 2013

HAM PBB. Ini menjadi alasan bahwa hak tersebut dengan menanamkan kesepakatan bersama serta
menciptakan kewajiban positif dari mereka yang kaya institusi internasional yang akan mampu membatasi,
untuk turut bertanggungjawab atas terancamnya atau bahkan mengganti, prilaku mementingkan diri
kehidupan sebagian orang di belahan bumi lainnya sendiri dari negara-negara kuat dan juga korporasi
karena kemiskinan. Hal ini berangkat dari asumsi internasional.
bahwa mereka yang kaya juga menjadi bagian dari Salah satu upaya yang cukup berhasil dalam
sistem global yang melahirkan disparitas (Pogge, 2002). menjadikan keaadilan sebagai norma internasional
Berdasarkan pada refleksi universal di atas, maka adalah deklarasi HAM yang disepakati pada sidang
munculnya gagasan untuk membangun sebuah norma umum PBB pada tahun 1948. Dengan adanya
yang bisa disepakati bersama secara global menjadi deklarasi ini menjadi dasar pengakuan atas hak-hak
sesuatu yang tidak terelakkan. Hal ini dimaksudkan dasar setiap manusia dan tidak satu orang atau
agar tersedianya konsensus yang jelas terhadap lembaga apapun yang berhak melanggarnya.
penghormatan kebebasan individu serta pemenuhan Dalam isu HAM, salah satu persoalan yang cukup
kak-hak dasar manusia. Salah satu perhatian dari teori penting adalah bagaimana proses penegakan nilai-nilai
global justice adalah adanya pengakuan bersama atas kemanusiaan itu. Misalnya, dengan terus
nilai tersebut serta institusi yang mengatur dan mengupayakan nilai-nilai keadilan dijadikan sebagai
mengawasi. Untuk itu norma maupun institusi yang norma internasional, bahkan pada aspek yang sangat
mampu menjamin standar keadilan merupakan spesifik. Salah satu contoh upaya tersebut adalah
instrument yang inheren. Meski demikian, instrument disepakatinya pengakuan internasional atas hak-hak
tersebut baru dipandang efektif jika ia mendapatkan dasar manusia mengenai hak ekonomi, sosial, dan
kepatuhan dan berlaku melampaui batas-batas budaya (International Covenant on Economic, Social and
kedaulatan (Singer, 2002; Pogge, 1989: 240-80; Pogge, Cultural Rights), serta kesepakatan internasional
2002; Beitz, 1979). mengenai pengakuan hak-hak dasar mengenai hak sipil
Namun demikian, upaya untuk menciptakan dan politik (International Covenant on Civil and Political
keadilan bersama dalam perspektif kelompok Rights).
kosmopolitan juga tidaklah mudah. Banyak pihak Terbetuknya International Covenant on Economic, Social
masih meyakini bahwa cita-cita besar tersebut and Cultural Rights (ICESCR), dan International Cov-
memerlukan kekuatan global yang melampaui enant on Civil and Political Rights (ICCPR) tidak terlepas
kedaulatan negara. Di sinilah letak persoalannya, dari amanat dari deklarasi HAM PBB pada tahun
mengingat saat ini negara masih memegang kedaulatan 1948. Namun karena deklarasi HAM bukanlah
paling tinggi. Bisa dibilang bahwa ketidakadilan yang instrumen yuridis yang memiliki kekuatan mengikat,
berlangsung secara global turut disebabkan oleh maka poin-poin pokok dari HAM dan kebebasan
kondisi internasional yang anarki, sehingga nilai-nilai fundamental manusia harus dituangkan ke dalam
moral untuk menciptakan standar keadilan menjadi instrumen-instrumen yang mengikat secara hukum
sulit untuk diwujudkan. sebagai norma yang disepakati dan dilaksanakan
Bagi penganut kosmopolitanisme, lingkungan bersama.
internasional yang anarki ini dianggap gagal Dalam sidang tahun 1951, Majelis Umum PBB
memberikan jaminan bagi pemenuhan hak-hak kemudian meminta Komisi HAM untuk merancang
kemanusiaan yang universal. Dunia saat ini diyakini dua kovenan (perjanjian) tentang HAM, satu mengenai
telah gagal meningkatkan standar keadilannya, karena hak sipil dan politik, dan satu lagi tentang hak
itu memerlukan perubahan yang sungguh-sunguh. ekonomi, sosial dan budaya. Setelah sekian tahun
Mereka menempatkan optimisme yang cukup tinggi mengalami pembahasan, baru pada tahun 1966
bahwa keadilan bisa dinikmati bersama setidaknya rancangan naskah kedua kovenan tersebut bisa
Muhammad Faris Alfadh
Keadilan Global dan Norma Internasional 173

diselesaikan. Tepatnya pada tangal 16 Desember 1966 hingga bulan Desember 2008, ICESCR sudah
akhirnya majelis umum PBB mengesahkan kedua diratifikasi oleh 160. Sementara ICCPR telah
rancangan naskah tadi sebagai kovenan internasional diratifikasi oleh 166 negara. Dengan diratifikasinya dua
bidang azasi manusia melalui Resolusi 2200 A (XXI). kovenan ini maka diharapkan nilai-nilai keadilan bisa
Kedunya kemudian disebut juga sebagai “International dipaksakan kepada negara-negara yang sudah
Bill of Human Rights”. meratifikasinya, serta perlindungan atas ketidakadilan
Kedua kovenan tersebut kini sudah mencapai status bisa diberikan kepada orang-orang yang selama ini
sebagai hukum kebiasaan internasional (customary merasa hak-hak dasarnya tidak terpenuhi (dirampas),
international law). Artinya, kedua perjanjian tersebut baik yang diakibatkan oleh sistem sosial, kebijakan
telah diakui sebagai standar acuan bersama untuk negara, maupun pihak-pihak lain. Kemiskinan, buta
setiap negara di dunia. Kovenan Internasional tentang huruf, diskriminasi gender, rasial dan juga buruh, kini
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mulai berlaku pada merupakan fenomena yang terjadi secara global.
tanggal 3 Januari 1976, sesuai dengan pasal 27 kovenan Karena itu, upaya menjadikan globak justice sebagai
tersebut. Sementara kovenan internasional tentang norma internasional menjadi salah satu upaya untuk
Hak Sipil dan Politik resmi berlaku sejak tanggal 23 mengembalikan hak-hak dasar manusia yang telah
Maret di tahun yang sama. dirampas.
ICESCR, misalnya, mengatur pengakuan, Salah satu sumbangan paling penting dari teori
pemenuhan, dan penegakan atas hak-hak dasar keadilan global sebagai norma internasional adalah
manusia pada bisang ekonomi, soaial, dan budaya, terus mendorong negara-negara untuk mengakui dan
yang meliputi: (a) hak atas buruh (meliputi upah yang menghormati hak-hak dasar seorang manusia, yang
layak, kebebasan membentuk serikat, serta melakukan sejatinya tidak bias disubstitusi oleh nilai-nilai
pemogokan); (b) hak atas kehidupan yang layak ekonomis dan politis. Dalam kasus dua kovenan
(termasuk kecukupan pangan, jaminan sosial, hak internasioanl di atas, diskursus mengenai keadilan
terbebas dari kelaparan); (c) hak perlindungan atas global sangat penting dalam mendorong setiap negara
keluarga; (d) hak atas kesehatan fisik dan mental; (e) untuk mengadopsi kovenan tersebut. Karena sulit
hak atas pendidikan (meliputi wajib belajar tingkat rasanya untuk ikut andil dalam mendistribusi keadilan
dasar); (f) hak atas keterlibatan dalam budaya. di negara-negara yang masih belum mengakui akan hak-
Sementara ICCPR mengatur pengakuan dan hak dasar manusia. Kasus di Myanmar merupakan
pemenuhan atas hak-hak sipil dan politik yang terdiri contoh yang tragis. Selama rezim junta militer masih
dari lima ketentuan: (a) hak untuk mendapatkan belum mengakui hak-hak dasar masyarakatnya dalam
perlindungan secara fisik (misalnya dari penyiksaan hal hak sipil dan berpolitik, maka sulit untuk berharap
serta penagkapan sewenang-wenang); (b) hak keadilan bagi para tahanan politik untuk mendapatkan
diperlakukan adil di mata hukum (seperti hak dasar mereka, baik secara sosial, ekonomi,
diperlakukan sama, mendapatkan kuasa hukum); (c) maupun politik.
hak untuk mendapatkan perlindungan dari bias
gender, rasial, atau hal-hal lainnya yang bersifat KESIMPULAN
diskriminatif; (d) hak atas kebebasan individu, seperti Gagasan mengenai keadilan global hadir untuk
kebebasan berbicara, beragama, kebebasan atas media, menjawab fenomena ketidakadilan serta kerapuhan
dan kebeasan untuk membentuk organisasi; (e) hak manusia yang terjadi secara global, terutama hak-hak
kebebasan dalam berpolitik. Misalnya mendirikan dasar yang telah dirampas. Upaya menjadikannya
partai politik, begitu juga hak untuk memilih dan sebagai norma yang diyakini secara internasional
dipilih. merupakan langkah prkatis untuk menjamin adanya
Sejak kedua kovenan itu disahkan PBB tahun 1966, keadilan bagi setiap manusia, serta terdistribusinya hak
174 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL
VOL. 2 NO. 2 / OKTOBER 2013

serta tanggungjawab secara adil bagi setiap orang. Public Affairs. Edisi 33. (Online), (http://philosophy.fas.nyu.edu/
docs/IO/1172/globaljustice.pdf, diakses 27 Januari 2012).
Maka dari itu, cita-cita filosofis dari keadilan global
Nussbaum, Martha. 2000. Toward Global Justice. (Online), (http://
sangat dipelukan untuk memberi petunjuk kepada fathom.lib.uchicago.edu/1/77777760815/, diakses 27 Januari
refleksi tiap personal dan kebijakan publik. Teori ini 2012).
Nussbaum, Martha. 2003. Beyond the Social Contract: Toward Global
membutuhkan perhatian besar dari pekerjaan filsafat
Justice. Paper kuliah yang disampaikan di University of Cambridge,
yang belum pernah dilakukan sebelumnya: 5-6 Maret. (Online), (http://www.tannerlectures.utah.edu/lectures/
mengartikulasikan sejumlah hubungan antara individu documents/volume24/nussbaum_2003.pdf, diakses 27 Januari
dan tanggungjawab institusi, untuk memikirkan 2012).
Nussbaum, Martha. 2005. Beyond the Social Contract: Capabilities and
mengenai apa saja kewajiban-kewajiban negara yang Global Justice. Dalam Gillian Brock & Harry Brighouse (ed), The
telah diabaikan di masa lalu, dan untuk memikirkan Political Philosophy of Cosmopolitanism. Cambridge: Cambridge
sejauh mana dan dengan cara apa sebuah negara University Press.
O’Neill, Onora. 2000. Transnational Economic Justice. Dalam Bounds of
sebaiknya membantu negara-negara lain yang
Justice. Cambridge: CUP.
mengalami keterbelakangan dan ketidakadilan. Pogge, Thomas. 1989. Realizing Rawls. Ithaca, New York: Cornell
Adanya transformasi teori keadilan global menuju University Press.
norma internasional yang disepakati bersama Pogge, Thomas. 2002. World Poverty and Human Rights. Cambridge:
Polity.
memberikan legitimasi bagi penghormatan kebebasan Pogge, Thomas. 2002. World Poverty and Human Rights; Cosmopoli-
dan disribusi keadilan bagi setiap individu, termasuk tan Responsibilities and Reforms. Cambrdige: Polity.
dalam memikul tanggungjawab yang sama. Ketidak Rawls, John. 1971. A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press.
adilan adalah fenomena kemanusiaan yang terjadi
Rawls, John. 1996. Political Liberalism. New York: Columbia University
secara global. Karena itu, langkah yang harus diambil Press.
tidak lagi bisa dilakukan orang-perorang, tetapi harus Rawls, John. 2006. Teori Keadilan; Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Terjemahan.
melibatkan semua pihak. Upaya menjadikan teori
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
global justice sebagai norma internasional bisa dilihat Singer, Peter. 2002. One World. New Haven, Conn: Yale University
sebagai salah satu upaya mendorong keadilan yang Press.
ideal (kebebasan) bagi setiap orang. Ujan, Andre Ata. 2001. Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik
John Rawls. Yogyakarta: Kanisius.
UN Treaty Collection: International Covenant on Economic, Social and
CATATAN AKHIR Cultural Rights. (Online), (http://treaties.un.org/Pages/
1
Data ini (dan juga beberapa lainnya) dikutip dari laporan UNDP ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-
dalam Human Development Report 2011, Sustainability and 3&chapter=4&lang=en, diakses 27 Januari 2012).
Equity: A Better Future for All. New York: Palgrave Macmilan, UNDP. 2011. Human Development Report 2011, Sustainability and
hlm. 127–165. (Online), (http://hdr.undp.org/en/media/ Equity: A Better Future for All. New York: Palgrave Macmilan.
HDR_2011_EN_Complete.pdf, diakses 27 Januari 2012). Norwegia (Online), (http://hdr.undp.org/en/media/
berada pada peringkat teratas dalam Human Development Index, HDR_2011_EN_Complete.pdf, diakses 27 Januari 2012).
menyusul di belakangnya Australia, Belanda, Amerika Serikat, New
Zealan, dan Kanada. Sierra Leone berada pada posisi 180 di antara
187 negara. Indonesia berada pada urutan 124.

REFERENSI
Beitz, Charles. 1979. Political Theory and International Relations.
Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Caney, Simon. 2005. Justice Beyond Borders. Oxford: OUP.
Godwin, William. 1976. Enquiry Concerning Political Justice. London:
Penguin.
Magnis-Suseno, Franz. 1986. Etika Umum. Jakarta: Gramedia.
Morgenthau, Hans. 1948. Politics Among Nations: The Struggle for
Power and Peace. New York NY: Alfred A. Knopf.
Nagel, Thomas. 2005. The Problem of Global Justice. Philosophy and

Anda mungkin juga menyukai