Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KELOMPOK 2

PANDANGAN JOHN RAWLS DAN PENDEKATAN HUKUM ALAM


KONTEMPORER TERKAIT KEADILAN DAN KRITIK PARA AHLI

Dosen Pengampu: Dr. Wetria Fauzi, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh:

Jefri Kusuma (2320113013)

Ofri Waldi (2320113015)

Kelvin Yovani Maghribi Balin (2320113019)

Rizka Deviana (2320113021)

Muhammad Afif (2320113023)

Nazif Hidayatullah (2320113025)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2023
Pendahuluan

Teori keadilan John Rawls, dengan konsep utamanya "keadilan sebagai kesetaraan"
(justice as fairness), telah menjadi salah satu landasan utama dalam pemikiran politik dan
hukum kontemporer. Dalam mengembangkan konsepnya, Rawls berusaha mengatasi
ketidaksetaraan yang mendasar dalam masyarakat dengan mengajukan prinsip-prinsip
distributif yang adil.1 Meskipun menjadi titik referensi yang signifikan dalam diskusi keadilan,
teori Rawls juga mendapatkan kritik tajam, terutama ketika dilihat dari perspektif teori hukum
alam.

Pentingnya mengkaji kritik terhadap teori keadilan Rawls dalam konteks teori hukum
alam tidak hanya mencerminkan kepentingan akademis tetapi juga relevan dalam upaya
memahami dasar-dasar keadilan dalam pembentukan hukum. Sementara teori hukum alam
mengusulkan gagasan bahwa hak-hak manusia berasal dari kodrat alamiah dan dapat diukur
dengan standar moral yang objektif, teori keadilan Rawls, sebaliknya, menekankan
pembentukan keadilan melalui proses sosial dan institusional.2

Kritik terhadap teori keadilan Rawls, khususnya dari perspektif teori hukum alam,
mencuatkan pertanyaan fundamental tentang hakikat dan asal-usul keadilan. Dalam menjawab
pertanyaan ini, kita memasuki ranah kompleks di mana pertimbangan filosofis dan konseptual
berbaur dengan dinamika sosial dan hukum yang berkembang. Oleh karena itu, eksplorasi
kritik terhadap teori keadilan Rawls dalam konteks teori hukum alam menjadi penting untuk
membawa pemahaman yang lebih mendalam tentang cara konsep keadilan tersebut dapat atau
tidak dapat berkaitan dengan asas-asas hukum alam.

Dalam esai ini, penulis akan mengeksplorasi kritik-kritik utama terhadap teori keadilan
Rawls, khususnya dari sudut pandang teori hukum alam serta kritik Rawls serta beberapa ahli
dalam hal keadilan terhadap hukum alam sendiri dimana pendekatan hukum alam yang banyak
penulis gunakan adalah terkait teori hukum alam kontemporer. Dengan melibatkan analisis
filosofis dan tinjauan literatur terkait, penulis akan membahas argumen-argumen yang diajukan
oleh para kritikus, serta mencari potensi persilangan atau perbedaan substansial antara teori
keadilan Rawls dan konsep-konsep hukum alam. Dengan pendekatan yang kritis dan

1
John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press (Massachusetts: 1971)
2
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia, Basic Books. (New York: 1974)

1
mendalam, esai ini bertujuan untuk memberikan wawasan yang lebih baik tentang dinamika
keadilan dan hukum dalam kaitannya dengan pandangan Rawls dan teori hukum alam.

Pembahasan

- Pandangan John Rawls tentang Keadilan

Berbicara mengenai keadilan, tidak lepas dari teori yang dikemukakan oleh John Rawls,
seorang filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20.
Dalam bukunya “A Theory of Justice”, ia menyatakan bahwa keadilan adalah kelebihan (virtue)
pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" 3

Keadilan menurut Rawls pada dasarnya merupakan sebuah fairness, atau yang ia sebut
sebagai pure procedural justice. Dari gagasan itu, teori keadilan Rawls mengaksentuasikan
pentingnya suatu prosedural yang adil dan tidak berpihak yang memungkinkan keputusan-
keputusan politik yang lahir dari prosedur itu mampu menjamin kepentingan semua orang.
Lebih jauh, fairness menurut Rawls berbicara mengenai dua hal pokok, pertama, bagaimana
masing-masing dari kita dapat dikenai kewajiban, yakni dengan melakukan segala hal secara
sukarela persis karena kewajiban itu dilihat sebagai perpanjangan tangan dari kewajiban natural
(konsep natural law) untuk bertindak adil, kedua, mengenai kondisi untuk apakah institusi
(dalam hal ini negara) yang ada harus bersifat adil. Itu berarti kewajiban yang dituntut pada
institusi hanya muncul apabila kondisi yang mendasarinya (konstitusi, hukum, peraturan-
peraturan di bawahnya) terpenuhi. Ada tiga klaim moral dalam teori keadilan Rawls, yaitu
pertama, klaim penentuan diri, yakni masalah otonomi dan independensi warga negara, kedua,
distribusi yang adil atas kesempatan, peranaan, kedudukan, serta barang dan jasa milik publik
(primary social goods), dan ketiga, klaim yang berkaitan dengan beban kewajiban dan
tanggungjawab yang adil terhadap orang lain.

“Posisi Asali” (Original Position) Sebagai Basis Fairness

Rawls menekankan pentingnya prinsip-prinsip utama keadilan sebagai bagian


mendasar dalam melakukan suatu kerja sama sosial. Itu berarti prinsip keadilan harus mampu
menjadi landasan pengaturan struktur sosial yang menjamin kepentingan semua warga. Dalam
tujuan itu prinsip keadilan diharapkan mendukung suatu distribusi yang adil atas barang dan
nilai-nilai sosial (primary social goods), seperti pendapatan dan kekayaan, kebebasan dan
kesempatan, serta peluang bagi perlindungan dan peningkatan harga diri. Prinsip demikian

3
John Rawls, A Theory of Justice, cet. Ke-23, Massachusetts: Harvard University Press, 1999, hlm. 3.

2
hanya dapat dicapai melalui prosedur yang fair. Dengan demikian, proses bernegara dengan
sendirinya menjadi prosedural.

Rasionalitas fairness dijamin oleh kondisi awal yang disebut Rawls dengan the original
position. Artinya kondisi awal dimana kondisi rasionalitas, kebebasan (freedom) dan kesamaan
hak (equality) merupakan prinsip-prinsip pokok yang diandaikan dianut dan sekaligus menjadi
sikap dasar dari semua pihak yang terkait dalam proses pemilihan prinsip-prinsip keadilan.
Adalah sebuah tujuan untuk menghindari distorsi serta menjamin rasionalitas prinsip keadilan.
Dan bersamaan dengan itu kepentingan minimal setiap masyarakat terpenuhi. Itu terjadi
dengan pengandaian yang ada pada situasi berikut:

1. Tidak terpengaruh oleh kepentingan atau situasi individual (a veil of ignorance) dan
hanya memiliki pengetahuan umum seperti psikologi, sosiologi, serta politik, dan
ekonomi.
2. Menjadikan primary social goods yaitu kondisi-kondisi sosial yang memang pantas
dikejar oleh setiap manusia sebagai satu-satunya motivasi dalam bertindak
3. Menerapkan maximum strategy sebagai pendekatan dalam prinsip-prinsip keadilan.

Seperti posisi asali yang dijelaskan di atas, Rawls percaya bahwa semua pihak akan
memilih, pertama, prinsip kebebasan yang paling besar dan sama bagi semua orang (setiap
orang hendaknya memiliki hak setara atas kebebasan dasar terluas yang berkesesuain dengan
kebebasan serupa orang-orang lain.). Kedua, prinsip diferensiasi sebagai prinsip utama
keadilan (ketidaksetaraan-ketidaksetaraan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa)

Ada dua hal yang pantas dicatat perihal kedua prinsip itu: pertama, keduanya diatur
secara bertingkat. Artinya prinsip kebebasan menempati posisi yang lebih utama ketimbang
prinsip differensiasi. Dan keduanya dipilih berdasarkan maximum strategy. Kedua, bahwa
prinsip keadilan itu haruslah mampu melindungi hak serta menjamin terpenuhinya tingkat
kepentingan maximum dari kelompok masyarakat yang tidak beruntung (the least adventaged).

Kebebasan yang Konstitutif

Demi mewujudkan hal tersebut, Rawls juga mengemukakan pentingnya prinsip


kebebasan dalam aktualisasi keadilan. Meskipun memberikan kedudukan istimewa pada
prinsip kebebasan, menurut Rawls, kebebasan harus dan dapat dibatasi lewat konstitusi. Dan
oleh karenanya, diperlukan konstitusi yang adil. Konstitusi yg adil dan netral ini hanya
ditemukan di negara-negara demokratis.

3
Akan tetapi pembatasan ini hanya dapat dibenarkan, pertama, apabila pelaksananan
kebebasan tertentu justru mengancam seluruh kebebasan sebagai sebuah sistem, dan kedua,
apabila pembatasan itu dipandang penting bagi kemaslahatan bersama (common good). Ketiga,
apabila pembatasan itu digunakan demi terpenuhinya kepentingan minimum dari kelompok
masyarakat yang tidak beruntung.

Maka ia menambahkan bahwa liberty harus dibedakan dengan the worth of liberty.
Artinya kendati setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan, harga dari kebebasan itu
tidak begitu sama untuk semua orang. Rawls juga mengamini konsep Utilitarian Klasik, dalam
artian bahwa kelompok yang kurang atau yang paling tidak beruntung seperti kurang cerdas
dan kurang kreatif di masyarakat, sudah seharusnya tidak menuntut harga kebebasan yang sama
tingkatannya dengan yang dimiliki oleh mereka yang relatif lebih cerdas. Itu berarti, peluang
terbuka bagi mereka yang relatif lebih cerdas juga pantas lebih besar dan karenanya meraka
berhak mendapat manfaat yang lebih besar, dengan catatan, asalkan “keistimewaan” itu tidak
merugikan mereka yang kurang cerdas dan tidak beruntung.

Pembedaan seperti ini sesungguhnya merefleksikan prinsip keadilan differensia.


Dengan prinsip keadilan differensia, Rawls ingin membuka peluang sebesar-besarnya bagi
semua orang yang mengejar apa yang dianggapnya pantas bagi dirinya sebagai manusia, juga
menjamin bahwa meraka yang langsung beruntung tetap mendapat kesempatan untuk
memenuhi kepentingan minimumnya tanpa merugikan mereka agar lebih beruntung dan
membuka peluang juga terjadinya perbedaan dalam tingkat pemenuhan kepentingan-
kepentingan setiap orang persis karena adanya perbedaan-perbedaan mendasar pada setiap
orang yang memang tidak dapat dihindarkan.

Dengan demikian keadilan bukan berarti kesamaan (tingkat pemenuhan kepentingan),


melainkan fairness di mana setiap pihak berusaha untuk saling menguntungkan. Dengan kata
lain, Rawls ingin mengatakan prinsip differensia memberi tempat adanya ketidaksamaan,
sekaligus juga menegaskan bahwa ketidaksamaan tidak selalu berarti ketidakadilan.

Pernikiran-pemikiran Rawls dalam A Theory of Justice tak dapat disangkal memiliki


basis kuat pada etika sentral Immanuel Kant mengenai otonomi manusia. Oleh Rawls hak-hak
dasar dan politik masyarakat ditempatkan pada jantung sistem pemikiran etika politiknya yang
tak boleh diganggu-gugat. Mengafirmasi Kant, Rawls percaya bahwa ciri yang paling
membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuannya untuk secara bebas
memilih apa yang menjadi pilihan dan kehendaknya. Gagasan Kant tentang otonomi

4
(rasionalitas) manusia memang oleh Rawls dijadikan sebagai salah satu basis kebenaran
tesisnya.4

Bagi Rawls pelaku yang otonom adalah seseorang yang tindakannya ditentukan oleh
prinsip-prinsip rasional, bukan oleh dorongan-dorongan sementara. Gagasan ini ia merujuk
pada Kant. Katanya, kita bertindak secara otonom (rasional) jika kita menerima prinsip-prinsip
yang dipilih dalam posisi asali (original position), sebab otonomi atau rasionalitas (Kant
mengidentikkan keduanya) adalah unsur penting dalam posisi asali. Posisi asali menurut Rawls
adalah murni situasi hipotesis yang diandaikan ada untuk menentukan prinsip-prinsip
keadilan.5

Ada tiga ciri dasar posisi asali: rasionalitas (rationalitiy), kebebasan (freedom), dan
kesetaraan (equality). Ketiga ciri dasar tersebut memerlukan dua hal: pertama, selubung
ketidaktahuan (veil of ignorance), dan kedua, sikap saling tak memihak-berkepentingan
(mutually disinterested attitude). Veil of ignorance adalah sikap yang membebaskan diri dari
segala bias yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Sedangkan mutually disinterested
attitude adalah sikap yang melepaskan diri dari sifat cemburu terhadap keuntungan yang akan
diperoleh orang lain.

Gagasan tentang keadilan Rawls dalam A Theory of Justice memang memiliki


kedalaman perspektif. A Theory of Justice mengurai panjang tema-tema sekitar keadilan:
prinsip-prinsip keadilan (principles of justice), posisi asali (original position), kebebasan
(freedom), kesetaraan (equality).

Apa yang digagas Rawls dalam pandangan-pandangannya mengenai keadilan sebagai


fairness adalah satu upaya mewujudkan semangat egalitarian pada struktur masyarakat. Tentu
egalitarianisme itu tidak boleh dimengerti dalam arti secara radikal. Rawls berpendapat soal
sikap adil, yaitu bahwa pembagian nilai-nilai sosial yang primer (primary social good) disebut
adil jika pembagiannya dilakukan secara merata, kecuali jika pembagian yang tidak merata
merupakan keuntungan bagi setiap orang. Nilai-nilai sosial yang primer yang dimaksud adalah
kebutuhan dasar yang sangat kita butuhkan untuk bisa hidup pantas sebagai manusia dan warga

4
Ibid, hlm. 251-257
5
Louis I. Katzner, “The Original Position and the Veil of Ignorance”, dalam H. Gene Blocker dan Elizabeth H.
Smith (eds.), John Rawls’ Theory of Social Justice. An Introduction, Athens, Ohio University Press, 1976, hal.
43; John Rawls, op.cit., hlm. 118-141.

5
masyarakat. Kebutuhan dasar itu antara lain hak-hak dasar, kebebasan, kesejahteraan, dan
kesempurnaan.

Egalitarianisnie di atas, kata Rawls, akan dicapai jika struktur dasar masyarakat (basic
structure of society) yang disepakati dalam situasi kontrak menguntungkan semua pihak.
Pandangannya mengenai situasi kontraktarian dalam membangun masyarakat memang
bukanlah gagasan baru. Hal itu telah banyak ditawarkan oleh para pemikir pendahulunya,
seperti Hobbes, Locke, Rousseau. Hanya saja situasi kontraktarian masyarakat ala Rawls
adalah ‘sintesis’ dan teori kontrak sosial sebelumnya yang cenderung utilitarianistik di satu sisi
dan intuisionistik di lain sisi di mana masing-masing memiliki cacat mendasar. Menurut Rawls
utilitarianisme telah memunculkan sikap-sikap pembenaran orang kuat yang tak adil terhadap
orang lemah, dan mengancarn hak-hak individu, sedangkan pandangan intuisionalisme
terjebak dalam subjektivisme moral, dan karenanya mengancam rasionalitas keadilan.

Bidang utama prinsip keadilan menurut Rawls, adalah struktur dasar masyarakat (basic
structure of society) yang meliputi institusi sosial, politik, hukum, ekonomi, karena struktur
institusi itu mempunyai pengaruh mendasar terhadap prospek kehidupan individu. Maka
problem utama keadilan ialah merumuskan dan memberikan alasan pada sejumlah prinsip-
prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil, yaitu bagaimana
prosedur pendistribusian pendapatan yang adil kepada masyarakat.

Prinsip keadilan, Rawls menyatakan, haruslah berdasar pada asas hak, bukan manfaat.
Jika asas manfaat yang menjadi dasar maka ia akan mengabaikan prosedur yang fair: hal yang
dianggap utama adalah hasil akhirnya yang memiliki banyak manfaat untuk sebanyak mungkin
orang tanpa mengindahkan cara dan prosedurnya (the greatest good for the greatest number).
Sebaliknya, prinsip keadilan yang berdasarkan pada asas hak akan melahirkan prosedur yang
fair karena berdasar pada hak-hak (individu) yang tak boleh dilanggar (hak-hak individu
memang hal yang dengan gigih diperjuangkan Rawls untuk melawan kaum utilitarian). Maka
dengan menghindari pelanggaran terhadap hak semua orang sesungguhnya juga akan
menciptakan prosedur yang adil (fair), apapun manfaat yang dihasilkannya. Lantas yang
menjadi pertanyaan adalah: mekanisme yang bagaimanakah yang kondusif untuk menciptakan
prosedur yang fair tersebut?

Rawls menjawab: prosedur harus dibuat pada posisi asali yang diandaikan ada oleh
orang-orang yang tak memihak, yang berada di balik selubung ketidaktahuan. Menurut Rawls,
sambil berada dalam posisi asali kita dapat menyetujui prinsip-prinsip keadilan berikut ini.

6
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang
paling luas yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-kebebasan yang sejenis untuk
semua orang, dan
2. Ketidaksamaan sosial dan ekonomis diatur sedemikian rupa sehingga
menguntungkan terutama orang-orang yang minimal beruntung, dan serentak juga
melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang
dalam keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.6

Tentang hubungan kedua prinsip itu, lebih lanjut Rawls menjelaskan bahwa prinsip
pertama (kebebasan yang sedapat mungkin sama) harus diberi prioritas mutlak. Prinsip ini tidak
boleh dikalahkan oleh prinsip-prinsip lain. Sedangkan prinsip kedua b (persamaaan peluang
yang fair), harus ditempatkan di atas prinsip kedua a (prinsip perbedaan).

Pada skala nilai dalam masyarakat adil yang dicita-citakan Rawls, paling atas harus
ditempatkan hak-hak kebebasan, yaitu hak-hak asasi manusia; lalu harus dijamin peluang yang
sama bagi semua warga untuk memangku jabatan penting; dan akhirnya perbedaan sosial-
ekonomi tertentu dapat diterima demi peningkatan kesejahteraan bagi orang-orang yang
minimal beruntung. Dalam keadilan sebagai fairness, posisi kesetaraan asali berkaitan dengan
kondisi alam dalam teori tradisional kontrak sosial. Posisi asali ini bukan sebagai kondisi
historis maupun kondisi primitive kebudayaan. Ia dipahami sebagai situasi hipotesis yang
dicirikan mengarah kepada konsepsi keadilan tertentu.

- Kritik terhadap Konsep Keadilan John Rawls

John Rawls adalah seorang filsuf politik yang terkenal dengan kontribusinya terhadap
teori keadilan, terutama melalui karyanya "A Theory of Justice" (1971). Meskipun banyak yang
menghargai konsepnya, ada beberapa kritik yang diajukan terhadap teori keadilan Rawls.
Berikut beberapa kritik utama7:
1. Ketidakrealistisan (Unrealistic):
• Beberapa kritikus berpendapat bahwa teori keadilan Rawls terlalu idealis dan tidak
realistis. Mereka menyatakan bahwa asumsi-asumsi dasar teorinya, seperti asumsi
rasionalitas penuh dan ketidakadilan struktural, tidak selalu mencerminkan kondisi
di dunia nyata.
2. Kurangnya Perhatian terhadap Keberuntungan (Neglect of Luck):

6
Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 103-104.
7
Stanford Encyclopedia of Philosophy Internet Encyclopedia of Philosophy The Journal of Political Philosophy

7
• Beberapa kritikus menyoroti bahwa teori keadilan Rawls tidak memberikan
perhatian yang memadai terhadap peran keberuntungan dalam menentukan
distribusi keadilan. Kritik ini menyoroti bahwa faktor-faktor di luar kendali
individu, seperti keberuntungan genetik atau lingkungan keluarga, tidak
sepenuhnya dipertimbangkan dalam teorinya.
3. Pemahaman yang Berbeda tentang Keadilan:
• Kritikus juga menunjukkan bahwa konsep keadilan dalam teori Rawls mungkin
tidak selalu sesuai dengan pemahaman keadilan yang dimiliki oleh masyarakat atau
individu. Konsep ini mungkin dianggap terlalu abstrak dan tidak selalu relevan
dengan kebutuhan konkret masyarakat.
4. Kritik dari Perspektif Komunitarian:
• Beberapa pemikir komunitarian mengkritik teori keadilan Rawls karena dianggap
terlalu individualistik dan tidak memadai dalam mengakui peran komunitas dan
nilai-nilai lokal dalam menentukan keadilan.
5. Kritik Feminis:
• Kritik feminis terhadap teori Rawls menyoroti bahwa teori tersebut kurang
memperhatikan isu-isu gender dan tidak sepenuhnya memasukkan perspektif
feminis dalam pemikirannya.
6. Kritik Utilitarian:
• Beberapa kritikus berpendapat bahwa teori keadilan Rawls terlalu fokus pada hak-
hak individu dan kurang mempertimbangkan aspek utilitarian dalam penilaian
keadilan, yaitu kebahagiaan atau kesejahteraan sosial secara keseluruhan.
Meskipun terdapat kritik-kritik terhadap konsep keadilan Rawls, teorinya tetap menjadi
salah satu kontribusi utama dalam filsafat politik dan hukum serta tetap menjadi landasan untuk
banyak diskusi tentang keadilan sosial. Para sarjana dan pemikir lainnya terus mengembangkan
dan memperdalam teori keadilan, mengambil inspirasi dari kritik-kritik tersebut untuk
memperbaiki atau memodifikasi konsep-konsep yang ada.
- Pendekatan Hukum Alam serta Perkembangannya pada Zaman
Modern/Kontemporer

Para pemikir zaman dahulu umumnya menerima suatu hukum yang berbeda
dari hukum positif, yang disebut hukum alam atau hukum kodrat. Hukum itu tidak
tertulis akan tetapi ditanggapi tiap-tiap orang sebagai hukum, oleh sebab menyatakan
apa yang termasuk alam manusia sendiri, yakni kodratnya. Hukum itu tidak berubah,

8
berlaku untuk segala zaman. Hukum itu lebih kuat daripada hukum positif, sebab
menyangkut makna kehidupan manusia sendiri. Karenanya hukum itu mendahului
hukum yang dirumuskan dalam undang-undang dan berfungsi sebagai azas banginya.
Dengan kata lain: hukum adalah aturan: basis bagi aturan itu ditemukan dalam aturan
alamiah yang terwujud dalam kodrat manusia.2458
Hukum alam adalah hukum yang digambarkan berlaku abadi, yang norma-
normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, Maha Adil, dari alam semesta dan dari
akal budi manusia. Sebagai hukum yang kekal dan abadi, begitu jauh tidak terikat
oleh waktu dan keadilan dalam tingkatan yang paling mutlak bagi segenap umat
manusia. Hukum Alam adalah hukum yang berakar pada abtin manusia atau
masyarakat, dan hukum alam itu lepas dari konvensi, perundang-undangan atau lain-
lain alat kelembagaan. “Hukum alam sama tuanya dengan spekulasi-spekulasi yang
tertua tentang hukum. Sebabnya, hukum alam merupakan refleksi dari pertentangan-
pertentangan yang tercakup dalam bidang ilmu hukum itu sendiri, di mana terjadi
konfrontasi antara kaidah yang ideal dengan penyelenggaraan-penyelenggaraan
dalam kenyataan-kenyataan apriorisme dan empirisme, autonomi dan
heteronomi,kemantapan susunan yang ada dengan kebutuhan sosial dan organisasi
yang statisdengan kelangsungan hidup statis”.2469Azas hukum yang bersifat universal
yang berlaku kapan saja dan di mana saja,tidak terpengaruh waktu dan tempat. Dengan
uraian azas-azas sebagai berikut :10

1. Azas Individualisme (Personality).

Setiap manusia bersifat individualis, melekat pada setiap manusia dan bukan
merupakan hal yang jelek (yang jelek : egoistis). Setiap manusia ingin hidup bebas,
ingin egonya diakui. Individualisme merupakan sebagian cita-cita manusia, ingin hidup
sendiri, tidak ingin orang lain mencampurinya. Azas individualisme ini sedah ada sejak
Code Civil sampai sekarang, hanya kadarnya yang berubah. Di negara sosialis sekalipun
terdapat azas individualisme, hanya kadarnya berbeda dengan negara liberal.

8
Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Jogjakarta: Pustaka Kanisius, 1995).. Hlm 82
9
Otje Salman. Filsafat Hukum, Perkembangan dan Dinamika Masalah. (Bandung : Reflika Aditama, 2010).
Hlm 40
10
Sudikno Mertokusumo. Bahan Ajar Mata Kuliah Teori Hukum. (Yogyakarta : Program
Pascasarjana Fakultas Hukum, Jurusan Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, 2002).

9
2. Azas Persekutuan (Collectivity)

Manusia ingin hidup berkelompok, bermasyarakat dan kerja sama. Ini


bertentangan dengan azas Individualisme. Keduanya berkaitan erat walaupun saling
bertentangan (antinomi). Contoh : manusia versifat individualistis, namun ingin hidup
berkelompok. Dalam bidang hukum pidana juga terdapat azas-azas ini. Contohnya : di
negara Anglo saxon. Bush vs State of New York.
3. Azas Kesamaan (Equality).

Setiap orang minta diperlakukan sama dalam pengertian bukan penyamarataan.


Kesamaan terdapat dalam azas : “audi et alteram partem” (kedua belah pihak didengar
bersama-sama) atau “suum cuique tribuere” atau “toeach his own” atau “equality before
the law”.

4. Azas Kewibawaan (Dignity).

Dalam masyarakat diharapkan adanya seseorang yang menonjol dari manusia


lain dalam arti mempunyai kelebihan dari anggota masyarakat lainnya, sehingga dapat
memimpin. Sebab apabila tidak ada pimpinan, maka akan terjadi kekacauan dan
manusia tidak menginginkan ini (masyarakat teratur, maka warga sejahtera). Stabilitas
(kepastian hukum, tatanan masyarakat itu seimbang) merupakan idaman masyarakat
yang dituangkan dalam azas restitutio in integrum – pengembalian kepada keadaan
semula. (tatana yang tertib).
5. Azas Penilaian Baik dan Buruk (Ethics).

Setiap orang pada dirinya masing-masing mempunyai kemampuan,


kecenderungan untuk menilai sesuatu baik dan buruk. Kecenderungan ini melekat pada
ke-4 azas umumyang telah disebutkan terdahulu, sehingga dengan demikian ada
perbedaan mengenai kadar dalam 4 azas tersebut di atas.
W. Friedman dan Dias menyebutkan bahwa hukum alam itu adalah 11

a. Ideal-ideal yang menurut perkembangan hukum dan pelaksanaannya.

b. Dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai
terjadi suatu pemisahan secara total antara antara yang ada sekarang dan
yang seharusnya.

Amran Suadi. Filsafat Hukum, Refleksi Pancasila, Hak Azasi Manusia dan Etika. (Jakarta : PrenaMedia
11

Group, 2019).Hal 75

10
c. Metode untuk menemukan hukum yang sempurna.

d. Isi dari hukum yang sempurna yang dapat didiskusikan melalui akal.

e. Kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam masyarakat.


Fungsi Hukum Alam
Sepanjang sejarah dapat diketahui banyaknya peranan hukum alam ini dalam
berbagai fungsi, seperti misalnya:
a. Digunakan untuk mengubah hukum perdata Romawi yang lama menjadi suatu
sistem hukum umum yang berlaku di seluruh dunia;
b. Digunakan sebagai senjata dalam perebutan kekuasaan antara Gereja dari
Abad Pertengahan dan kaisar-kaisar Jerman, baik oleh pihak Gereja maupun
oleh pihak lawannya;
c. Digunakan sebagai dasar hukum internasional dan dasar kebebasan
perseorangan terhadap pemerintahan yang absolut;
d. Digunakan oleh para hakim di Amerika Serikat dalam menafsirkan konstitusi.
Dengan asas-asas hukum alam, para hakim menentang usaha negara-negara
bagian yang dengan menggunakan perundang-undangan hendak membatasi
kebebasan perseorangan dalam soal-soal yang menyangkut ekonomi;
e. Digunakan untuk mempertahankan pemerintahan uang berkuasa atau
sebaliknya untk mengobarkan pemberontakan terhadap kekuasaan yang ada.
f. Digunakan dalam waktu yang berbeda-beda untuk mempertahankan segala
bentuk ideologi.
g. Sebagai dasar ketertiban internasional, hukum alam terus menerus
memberikan ilham kepada kaum Stoa, ilmu dan filsafat hukum Romawi,
pendeta-pendeta dan gereja-gereja abad pertengahan, dan lain-lain;
h. Dengan melalui teori-teori Locke dan Paine, hukum alam memberikan dasar
filsafat perorangan dalam Konstitusi Amerika Serikat dan Undang-Undang
Dasar modern lainnya.
Kemudian, berkembanglah teori hukum alam modern atau kontemporer yang bertujuan
untuk menyoroti hubungan antara hukum dan moralitas, namun mendapat tentangan dari kaum
positivis hukum. John Finnis, murid H.L.A. Hart, menghormati wawasan positivisme tetapi
menyimpulkan bahwa positivisme adalah teori hukum yang cacat parsial atau fundamental.
Dua argumen utama yang menentang teori hukum alam mencakup skeptisisme moral dan
perbedaan fakta/nilai. Kaum skeptis moral menyangkal keberadaan nilai-nilai dan prinsip-

11
prinsip moral, sedangkan kaum positivis kognitif percaya bahwa manusia dapat mengetahui
nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut. Kekeliruan naturalistik, yang menyatakan bahwa
seseorang tidak dapat memperoleh suatu "yang seharusnya" dari "yang ada", adalah sebuah
kekeliruan dalam teori hukum alam. Finnis berpendapat bahwa teori hukum alam didasarkan
pada kemampuan manusia untuk memahami nilai-nilai secara langsung, bukan
menyimpulkannya dari fakta-fakta dunia. Ia mengidentifikasi tujuh nilai dasar yang mendasari
apresiasi manusia terhadap nilai benda tertentu dan seluruh aktivitas manusia yang bertujuan:
kehidupan, pengetahuan, permainan, pengalaman estetis, persahabatan, agama, dan praktik
kewajaran. Finnis berpendapat bahwa hukum adalah pranata sosial yang mengatur urusan
masyarakat, memberikan kontribusi kepada masyarakat dimana setiap orang dapat
mewujudkan tujuh nilai dasar tersebut. Ia menghubungkan filsafat moral dan filsafat hukum,
dengan menyatakan bahwa pandangan moral mempengaruhi gambaran hukum.12 Bagi
penganut hukum alam, berkeyakinan bahwa hukum alam secara umum dapat digambarkan
sebagai “hukum tidak tertulis yang lebih unggul dan merupakan ukuran bagi hukum buatan
manusia”.13

Pada zaman modern hukum alam tidak begitu diterapkan secara luas. Kalaupun ada,
mereka lebih suka tidak mengatakan sebagai hukum alam, tetapi disebut sebagai asas-asas
hukum umum. Beberapa asas hukum umum yang terkenal misalnya datang dari Duguit dengan
Solidarete Socialnya, kemudian Grundnormnya Hans Kelsen, Social Engineering dari Roscoe
Pound, Kulturentwicklung dari Kohler, dan Regle Morale dari Ripert. Asas-asas hukum ini
walau bukan hukum alam, namun memiliki daya berlaku yang tidak dibatasi oleh waktu dan
tempat.
Meskipun konsep hukum alam telah ada sejak zaman kuno, teori ini telah berkembang
dan diinterpretasikan oleh berbagai pemikir sepanjang sejarah. Dalam konteks kontemporer,
beberapa filosof hukum menggabungkan elemen-elemen hukum alam dengan pendekatan-
pendekatan modern. Beberapa contoh konsep dalam teori hukum alam kontemporer
melibatkan prinsip kemanusiaan dan kritik terhadap positivisme.

Pemahaman tentang hak asasi manusia dan perlindungan terhadap martabat manusia
sering kali terkait dengan teori hukum alam. Beberapa teori kontemporer menantang
pandangan positivisme hukum yang menganggap hukum hanya sebagai produk kebijakan atau
kehendak legislator, tanpa mengacu pada prinsip-prinsip moral yang lebih tinggi. Penting untuk

12
Ibid, hal 69-71
13
Michael Bertram Crowe, The Changing Profile Of The Natural Law, (Springer, 1977), Hlm. 6

12
diketahui bahwa meskipun ada dukungan untuk konsep hukum alam, ada juga kritik yang
menyatakan bahwa konsep ini dapat bersifat terlalu abstrak dan rentan terhadap interpretasi
yang bervariasi. Selain itu, definisi hak-hak alamiah dapat berbeda-beda antarbudaya dan
antartempat. Meskipun demikian, teori hukum alam tetap menjadi dasar bagi banyak argumen
moral dan hukum dalam konteks global.

- Kritik Keadilan terhadap Hukum Alam

Salah seorang ahli hukum yang membahas mengenai kritik terhadap teori hukum alam
kontemporer dengan keadilan dalam bukunya Natural Law and Justice adalah Lloyd L.
Weinreb yang mana dalam arguemennya, ia juga membawa beberapa pokok pemikiran dari
ahli hukum lain seperti John Rawls dan Robert Nozick. Berikut beberapa kritik penting yang
diajukan Weinreb dalam bukunya tersebut dan dibahas oleh Robert P. George sebagai seorang
ahli hukum alam kontemporer14:

a. Ontologi Hukum Alam dan Tatanan Alam Normatif

Buku Lloyd Weinreb, Natural Law and Justice, bertujuan untuk mengembalikan
pemahaman awal tentang hukum alam sebagai teori tentang hakikat makhluk, khususnya
kondisi manusia. Ia berpendapat bahwa para ahli teori hukum alam kontemporer, termasuk
Finnis, Fuller, Richards, dan Dworkin, telah meninggalkan pemahaman ontologis ini dan
berusaha menggantinya dengan pemahaman deontologis. Weinreb berpendapat bahwa
pertanyaan vexata teori hukum alam kuno dan abad pertengahan adalah kebebasan manusia di
alam semesta yang ditentukan secara kausal. Dia berpendapat bahwa tanggung jawab moral
memerlukan dan tidak konsisten dengan determinasi kausal (sebab akibat), karena manusia
mengalami kebebasan sebagai pemilih yang menentukan nasibnya sendiri. Weinreb
berpendapat bahwa para ahli teori hukum alam modern telah berusaha mengubah topik
pembicaraan dengan mengabaikan masalah determinasi sebab-akibat dan menampilkan hukum
alam sebagai respons terhadap kebebasan di alam semesta yang secara moral tidak dapat
ditentukan. Ia berargumentasi bahwa baik penganut teori hukum alam maupun penganut paham
positivis hukum tidak bisa menghindari masalah kebebasan dan sebab akibat, karena masalah
ini mengintai di balik perdebatan mengenai kewajiban. Dari penjelasannya, terlihat bahwa
konsep kebebasan dari manusia itu sendiri dapat berbeda berdasarkan nilai moral yang ia
pegang dan bisa sangat fleksibel.

14
Robert P. George, “Recent Criticism of Natural Law Theory,” The University of Chicago Law Review, Vol. 53,
hlm. 1372-1378

13
b. Tinjauan tentang Catatan Weinreb terkait Hukum Alam dan Keadilan

Buku Weinreb dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama berjudul "Hukum Alam", ia
menyajikan sebagian besar catatan sejarah tentang apa yang ia tulis bahwa pandangan ini
sebagai kegagalan para ahli teori hukum alam tradisional dengan jawaban yang memuaskan
terhadap pertanyaan ontologis. Bagian kedua buku tersebut berjudul “Keadilan”. “Keadilan”
Weinreb menganalisis masalah filsafat moral dan politik sebagai masalah tentang “sifat
keadilan” dan bukan apakah alam itu adil. Ia berpendapat bahwa pemisahan etika dari ontologi
mengaburkan antinomi (ketidakcocokan timbal balik) kebebasan dan sebab, sehingga
melemahkan upaya para ahli teori hukum kodrat deontologis. Weinreb percaya bahwa konflik
antara ganjaran dan hak adalah hal yang melekat dan tidak dapat dihindari, karena konsep
ganjaran memerlukan latar belakang tatanan hak.

Demikian pula, kebebasan dan kesetaraan merupakan elemen tatanan sosial yang adil
dan saling bertentangan. Konsep kesetaraan peluang gagal mengatasi antinomi ini, karena
konsep tersebut memperluas makna kesetaraan peluang hingga mensyaratkan kesetaraan hasil,
atau mempersempitnya menjadi formalisme belaka. Nozick menuduh Rawls mengabaikan
kebebasan demi kesetaraan, namun Weinreb juga harus mengakui penolakan terhadap
kesetaraan demi kebebasan.

Argumen Weinreb menunjukkan bahwa filsafat moral dan politik pasti akan mengalami
frustrasi karena antinomi kebebasan dan tujuan. Ia menegaskan bahwa kita tidak bisa menjadi
bagian dari alam dan pada saat yang sama terpisah dari alam, karena pada akhirnya kita tidak
dapat mempertahankan anggapan bahwa kita hanyalah bagian dari alam atau terpisah dari alam.
Ia juga menyatakan bahwa setiap solusi yang kompatibel bergantung pada kebingungan antara
cara kita menikmati kebebasan dan tujuan dengan proposisi yang diperlukan untuk
mempertahankan keduanya.

Selain itu Vallerie Kerruish dalam tulisannya Philosophical Retreat : A Criticism Of


John Finnis' Theory Of Natural Law mencoba mengkritik terkait pandangan finish terhadap
hukum alam terutama dalam melihat konsep keadilan. Berikut beberapa poin dari kritik
Kerruish terhadap Finnis dalam konsep keadilan dalam hukum alam15:

a. Pandangan Finnis dalam pembaruan hukum alam dan konsep keadilan

15
Vallerie Kerruish, “Philosophical Retreat : A Criticism Of John Finnis' Theory Of Natural Law” Western
Australia Law Review, hlm. 225-240

14
Pandangan Finnis memperbarui teori Aquinas dan hukum alam, dengan fokus pada
kepercayaan pada Tuhan sebagai tujuan kesadaran manusia daripada perjuangan melawan
kelangkaan, ketidaktahuan, dan kekurangan. Hal ini mengarah pada pembelaan atas
kepemilikan pribadi, keluarga, dan Negara, yang didukung oleh fideisme dan teori keadilan
liberal. Kewajiban hukum mula-mula muncul sebagai kewajiban moral, karena tujuan bersama
dalam masyarakat mungkin tumpang tindih. Komunitas politik relevan dengan kewajiban ini,
dan Finnis bertujuan untuk menghindari kesimpulan ini dengan memasukkan prinsip
subsidiaritas ke dalam gagasannya tentang kebaikan bersama dan menguraikan konsep
keadilan yang menghasilkan prinsip-prinsip substantif spesifik untuk menentukan konflik
dalam hubungan sosial.

Argumentasi prinsip subsidiaritas yang dikemukakan Finnis didasarkan pada prinsip


kewajaran praktis, yang penting untuk membina kebaikan bersama suatu komunitas. Teori
keadilan dibagi menjadi keadilan distributif dan komutatif, dengan distribusi yang adil secara
distributif menjadi wajar berdasarkan kategori-kategori penting yang relevan dengan keadilan.
Finnis berpendapat kepemilikan pribadi, termasuk alat produksi, sebagai persyaratan keadilan.
Namun, tidak ada bukti yang diberikan untuk mendukung aturan pengalaman manusia ini,
karena ini digunakan sebagai hipotesis. Argumen mengenai keadilan kepemilikan pribadi tidak
ditujukan pada properti yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, namun pada
properti yang merupakan bagian dari alat produksi. Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi
membuat sebagian individu kehilangan hak untuk menentukan nasib sendiri dalam produksi
dan distribusi barang. Dalam hal ini, konsep keadilan Finnis lebih dekat dengan keadilan liberal
yang mengacu kepada kepemilikan sebagai suatu bentuk keadilan namun dititikberatkan
kepada distribusi (penyebaran).

b. Kegagalan Finnis dalam Menjelaskan Konsep Keadilan Distributif

Penjelasan Finnis tentang keadilan distributif gagal menjawab argumen lintas kategori,
yang muncul ketika merekonsiliasi rekomendasi-rekomendasi yang saling bertentangan. Ia
mengizinkan kemungkinan kelahiran, peluang, dan bakat untuk menentukan pemilihan pemilik
alat produksi dan berpendapat bahwa redistribusi kekayaan harus dibenarkan dalam kaitannya
dengan kebaikan bersama. Namun, hal ini tidak memenuhi tuntutan keadilan, seperti yang
ditunjukkan oleh pengalaman Nazi Jerman, Rusia Stalinis, dan politik tas di Afrika Selatan.

Argumen Finnis bergantung pada penggantian sudut pandang orang yang masuk akal
secara praktis dengan 'sudut pandang internal' non-moral yang terlibat dalam argumen ini.

15
Penjelasan Hart merumuskan kandungan minimum hukum kodrat sebagai ciri sistem hukum,
yang memungkinkan beroperasinya prinsip-prinsip dasar moralitas yang dirangkum sebagai
Rule of Law. Namun, Finnis berpendapat bahwa sudut pandang internal ini tidak memadai
untuk transisi dari tatanan sosial pra-hukum yang bersifat adat ke tatanan hukum. Argumen
Finnis valid terhadap yurisprudensi positivis, namun mengisi kesenjangan dengan merujuk
pada sikap subyektif individu membuat kesalahan serupa, meskipun sifatnya berlawanan,
seperti Holmes. Sudut pandang internal sangat penting untuk memahami kesinambungan dan
keberlangsungan hukum, namun sudut pandang ini tidak cukup untuk melakukan transisi dari
tatanan sosial pra-hukum yang bersifat adat ke tatanan hukum.

- Alternatif Keadilan dalam Pandangan John Rawls dan Teori Hukum Alam
Kontemporer

Dari satu sudut pandang yaitu hukum alam yang “minimalis” 16


Rawls mungkin bisa
dikatakan sebagai pemikir hukum alam. Misalnya, teori Rawls mencakup gagasan bahwa ada
“barang-barang sosial primer” tertentu, yang merupakan “hal-hal yang dianggap diinginkan
oleh manusia rasional, apa pun yang diinginkannya.” Barang-barang utama ini mencakup “hak
dan kebebasan, peluang dan kekuasaan, pendapatan dan kekayaan” serta “rasa harga diri.” Apa
pun yang tercakup dalam hal ini, hal ini memerlukan setidaknya “teori tentang sifat manusia
yang diartikulasikan dengan lebih atau kurang jelas.” 17 Selain itu, asumsi Rawls tentang nilai
relatif perdamaian sosial, di satu sisi, dan upaya mencapai tatanan sosial berdasarkan konsepsi
kebenaran yang komprehensif, di sisi lain, juga memerlukan beberapa teori tentang sifat
manusia.

Rawls menjawab: prosedur harus dibuat pada posisi asali yang diandaikan ada oleh
orang-orang yang tak memihak, yang berada di balik selubung ketidaktahuan. Menurut Rawls,
sambil berada dalam posisi asali kita dapat menyetujui prinsip-prinsip keadilan berikut ini.

1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling
luas yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-kebebasan yang sejenis untuk semua
orang, dan

2. Ketidaksamaan sosial dan ekonomis diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan


terutama orang-orang yang minimal beruntung, dan serentak juga melekat pada

16
Russell Hittinger, 1999, Liberalism and the American Natural Law Tradition, Wake Forest Law Review, hlm.
25
17
Hittinger, 1990, Liberalism and American Natural Law, Wake Forest L.Rev, hlm. 481

16
jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam keadaan yang
menjamin persamaan peluang yang fair.18

Tentang hubungan kedua prinsip itu, lebih lanjut Rawls menjelaskan bahwa prinsip
pertama (kebebasan yang sedapat mungkin sama) harus diberi prioritas mutlak. Prinsip ini
tidak boleh dikalahkan oleh prinsip-prinsip lain. Sedangkan prinsip kedua b (persamaaan
peluang yang fair), harus ditempatkan di atas prinsip kedua a (prinsip perbedaan).

Pada skala nilai dalam masyarakat adil yang dicita-citakan Rawls, paling atas harus
ditempatkan hak-hak kebebasan, yaitu hak-hak asasi manusia; lalu harus dijamin peluang yang
sama bagi semua warga untuk memangku jabatan penting; dan akhirnya perbedaan sosial-
ekonomi tertentu dapat diterima demi peningkatan kesejahteraan bagi orang-orang yang
minimal beruntung. Dalam keadilan sebagai fairness, posisi kesetaraan asali berkaitan dengan
kondisi alam dalam teori tradisional kontrak sosial. Posisi asali ini bukan sebagai kondisi
historis maupun kondisi primitive kebudayaan. Ia dipahami sebagai situasi hipotesis yang
dicirikan mengarah kepada konsepsi keadilan tertentu. Pandangan ini bersifat interpretatif dan
tergantung pada tujuan atau nilai-nilai tertentu. Dalam konteks pemikiran Rawls, beberapa
solusi atau alternatif yang mungkin dipertimbangkan adalah:

1. Kritik dan Perkembangan Teori Hukum Alam:

Sebagai alternatif, beberapa pemikir mungkin merasa bahwa pendekatan hukum alam,
meskipun minimalis, tetap memiliki kelemahan atau kurangnya ketangguhan untuk
menanggapi keragaman masyarakat modern. Alternatif dapat mencakup pengembangan teori
hukum alam yang lebih inklusif atau kontekstual.

2. Pemikiran Kritis terhadap "Barang-barang Sosial Primer":

Beberapa kritikus mungkin berpendapat bahwa konsep "barang-barang sosial primer"


Rawls terlalu umum atau ambigu. Sebagai solusi, pemikiran yang lebih rinci atau analitis
tentang hak, kebebasan, peluang, kekayaan, dan rasa harga diri bisa diusulkan untuk
memberikan kerangka yang lebih jelas.

3. Pengembangan Teori Sifat Manusia:

Alternatif lain adalah mendukung atau mengembangkan teori sifat manusia yang
mendasari argumen Rawls. Ini bisa melibatkan penelitian lebih lanjut atau penggalian lebih

18
Keep Bertens, 2000, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, hlm 103-104

17
dalam terhadap pandangan-pandangan etika atau psikologi yang mendukung asumsi-asumsi
dasar tentang manusia yang mendasari teori tersebut.

4. Inklusivitas dan Keragaman Nilai:

Beberapa pemikir mungkin ingin melihat lebih banyak inklusivitas dalam teori keadilan
sosial. Alternatif dapat mencakup upaya untuk memasukkan lebih banyak perspektif dan nilai-
nilai dalam penentuan "barang-barang sosial primer," agar lebih mencerminkan keragaman
masyarakat.

5. Pertimbangan Terhadap Konteks Global:

Solusi atau alternatif lain mungkin melibatkan perluasan pandangan Rawls untuk
mencakup pertimbangan terhadap konteks global. Mungkin ada upaya untuk mengadopsi
pendekatan yang lebih kosmopolitan atau mengakui keterkaitan antara keadilan sosial dalam
batas-batas nasional dan global.

6. Pertimbangan Terhadap Kritik terhadap Demokrasi:

Sebagai respons terhadap kritik terhadap pandangan Rawls yang menganggap remeh
rezim demokratis, alternatif mungkin melibatkan pertimbangan kritis terhadap prinsip-prinsip
demokrasi dan eksplorasi ide-ide alternatif untuk mencapai keadilan sosial.

Kesimpulan

Perbedaan prinsip keadilan antara John Rawls serta hukum alam kontemporer terletak
pada sisi institusionalisme. Rawls menekankan pada keadilan terletak dalam fairness yang
terdapat dalam prosedur-prosedur yang diatur di dalam hukum/keputusan politik yang dapat
menjamin kepentingan semua orang. Bagi Rawls, negara merupakan entitas yang wajib
menciptakan keadilan itu sendiri. Negara haruslah membuat seperangkat aturan yang
menciptakan keadilan hingga terciptanya kondisi yang fair antara semua pihak yang tidak
berdasarkan kesamaan namun berdasarkan diferensia atau kebedaan antara setiap orang setelah
terpenuhi hak-hak dasarnya dikarenakan manusia berada di posisi yang tidak sama sehingga
memunculkan tingkat pemenuhan yang berbeda juga yang mana dikritik terlalu indvidualistis.

Sedangkan, hukum alam terutama pendekatan kontemporer seperti yang ditekankan


oleh Finnis terletak pada kebebasan yang dimiliki oleh manusia dalam hal kepemilikan sesuatu
yang berlandaskan nilai moral serta penentuan nasib sendiri (kebebasan). Persilangan antara
pandangan Rawls dengan teori hukum alam kontemporer terkait keadilan terlihat pada aspek
keadilan yang lebih concern terhadap pemenuhan keadilan individu. Jika kita merujuk kembali

18
kepada apa itu ‘keadilan’, banyak pandangan dan pendekatan yang mengajukan ide-idenya
terkait konsep keadilan tersebut. Keadilan yang diajukan Rawls dan teori hukum alam
kontemporer memberikan perluasan khazanah diskursus terkait keadilan dalam politik, hukum,
dan sosial. Rawls maupun para pemikir hukum alam, lebih menggaris bawahi terhadap
pemenuhan keadilan yang lebih cenderung individualistik yang mengacu pada setiap orang
sebagai objeknya. Kedua pendekatan tersebut melihat individu adalah hal dasar dalam
terpenuhinya keadilan yang merata. Kritik terhadap kedua pendekatan tersebut merupakan
pengisian gap terhadap apa yang tidak terjawab di kedua pendekatan tersebut seperti kurangnya
perhatian terhadap keadilan dalam lingkup yang lebih luas seperti kelompok/masyarakat serta
pewujudan dari keadilan itu sendiri.

19
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, Kees. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 103-104.

Crowe, Michael Bertram. The Changing Profile Of The Natural Law. (Springer, 1977).

George, Robert P. “Recent Criticism of Natural Law Theory.” The University of Chicago Law
Review, Vol. 53, hlm. 1372-1378

Hittinger, Russell. 1999, Liberalism and the American Natural Law Tradition, Wake Forest
Law Review, hlm. 25

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. (Jogjakarta: Pustaka Kanisius, 1995).. Hlm 82

Katzner, Louis I. “The Original Position and the Veil of Ignorance”, dalam H. Gene Blocker
dan Elizabeth H. Smith (eds.), John Rawls’ Theory of Social Justice. An Introduction,
Athens, Ohio University Press, 1976.

Kerruish, Vallerie . “Philosophical Retreat : A Criticism Of John Finnis' Theory Of Natural


Law” Western Australia Law Review, hlm. 225-240

Mertokusumo, Sudikno. Bahan Ajar Mata Kuliah Teori Hukum. (Yogyakarta : Program
Pascasarjana Fakultas Hukum, Jurusan Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, 2002).

Nozick, Robert. Anarchy, State, and Utopia, Basic Books. (New York: 1974)

Rawls, John. A Theory of Justice. Harvard University Press (Massachusetts: 1971).

Salman, Otje. Filsafat Hukum, Perkembangan dan Dinamika Masalah. (Bandung : Reflika
Aditama, 2010). Hlm 40

Stanford Encyclopedia of Philosophy Internet Encyclopedia of Philosophy The Journal of


Political Philosophy.

Suadi, Amran. Filsafat Hukum, Refleksi Pancasila, Hak Azasi Manusia dan Etika. (Jakarta :
PrenaMedia Group, 2019).Hal 75

20

Anda mungkin juga menyukai