Toksoplasmiosis Kel5
Toksoplasmiosis Kel5
TOKSOPLASMOSIS
Disusun Oleh :
Cindy Marcheila P20624522009
Dila Siti Nabila P20624522013
Ega Ratna Melia P20624522014
Komalasari P20624522026
Yunani P20624522039
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
parasitologi kebidanan . Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Toksoplasmosis bagi para pembaca dan penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Adi Wibowo, M.Si.,Apt yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini. .
Kelompok 5
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
iii
Pencegahan terhadap toksoplasmosis dapat dilakukan dengan cara memasak daging sampai matang,
menjaga kebersihan makanan dan minuman, serta kontrol serologi pada ibu hamil. Jika kontak
dengan kucing serta memiliki kebiasaan mengelus kucing hendaknya mencuci tangan dengan sabun
dan air mengalir. Jika memiliki kebiasaan berkebun hendaknya mencuci tangan dengan sabun dan
air yang mengalir setelah berkebun.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi penyakit Toksoplasmosis
3. Untuk mengetahui analisis situasi kasus dan hasil penelitian dari Toksoplasmosis
1.4 Manfaat
Penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi :
• Manfaat bagi Penulis
Manfaat penulisan makalah Toksoplasmiosis bagi penulis yaitu dapat menambah wawasan
untuk masa depan.
• Manfaat bagi Kampus
Penulisan makalah ini diharapkan dapat dijadikan referensi akademis dan tambahan sumber
di perpustakaan.
• Manfaat bagi Masyakarat
Dapat di jadikan sebagai penambahan wawasan tentang Toksoplasmosis dan akan
iv
memberikan efek positif apabila masyarakat sudah mengetahui banyak tentang
Toksoplasmosis itu sendiri.
v
vi
BAB II
PEMBAHASAN
viii
infeksi, umumnya penyakit yang didapat akan lebih berat. Pada toksoplasmosis yang terjadi di bulan-
bulan terakhir kehamilan, parasit tersebut umumnya akan ditularkan ke fetus tetapi infeksi sering
subklinis pada saat lahir.
Pada ibu hamil yang mengalami infeksi primer, mula-mula akan terjadi parasitemia, kemudian darah
ibu yang masuk ke dalam plasenta akan menginfeksi plasenta (plasentitis). Infeksi parasit dapat
itularkan ke janin secara vertikal. Takizoit yang terlepas akan berproliferasi dan menghasilkan fokus-
fokus nekrotik yang menyebabkan nekrosis plasenta dan jaringan sekitarnya, sehingga
membahayakan janin dimana dapat terjadi ekspulsi kehamilan atau aborsi.
GEJALA KLINIK
Toksoplasmosis akuisita biasanya bersifat asimtomatik. Bila seorang ibu hamil mendapat infeksi
primer, kemungkinan 50% bayi yang dilahirkan menderita toksoplasmosis kongenital, yang
umumnya hanya bermanifestasi sebagai limfadenopati asimtomatik pada kelenjar getah bening leher
bagian belakang, dapat menyebar atau terlokalisasi pada satu nodul di area tertentu. Tanda dan gejala
yang sering timbul pada ibu hamil ialah demam, sakit kepala, dan kelelahan. Beberapa pasien
menunjukkan tanda mononucleosis like syndrome seperti demam, ruam makulopapular (Blueberry
muffin) yang mirip dengan kelainan kulit pada demam tifoid. Pada janin, transmisi toksoplasmosis
kongenital terjadi bila infeksi Toxoplasma gondii didapat selama masa gestasi. Terdapat korelasi
positif yang sangat bermakna antara isolasi toksoplasma dari jaringan plasenta dan infeksi neonatus.
Korelasi ini merupakan hasil penelitian otopsi toksoplasmosis kongenital dan mengindikasikan
bahwa infeksi tersebut didapat melalui sirkulasi uteroplasenta. Sekitar setengah dari wanita yang
terinfeksi toksoplasmosis dapat menularkan infeksi melintasi plasenta ke janin in utero. Transmisi
penyakit ke janin lebih jarang terjadi pada awal kehamilan, namun infeksi pada awal kehamilan ini
dapat menyebabkan gejala yang lebih parah pada janin, meskipun ibunya tidak merasakan tanda dan
gejala infeksi toksoplasma. Terdapat trias klasik pada toksoplasmosis kongenital berat, yaitu:
hidrosefalus, korioretinitis, dan kalsifikasi intrakranial. Pada bayi baru lahir yang bergejala, salah satu
atau keseluruhan tanda dari trias klasik mungkin timbul, disertai gejala infeksi lainnya meliputi
hepatosplenomegali, ikterus, trombositopenia, limfadenopati, dan kelainan susunan saraf pusat. Lesi
pada mata merupakan salah satu manifestasi yang paling sering pada toksoplasmosis kongenital.
Gambaran lesi toksoplasmosis okular ialah adanya fokus nekrosis pada retina. Pada fase akut, lesi ini
timbul sebagai bercak putih kekuningan di fundus dan biasanya berhubungan dengan ruam pada
vitreus. Gejala yang timbul pada infeksi mata antara lain penglihatan kabur, fotofobia, nistagmus,
strabismus epifora, dan katarak. Manifestasi neurologik pada anak menunjukkan gejala-gejala
neurologik termasuk kalsifikasi intrakranial, hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental, dan
mikrosefalus. Fungsi intelektual anak yang terinfeksi juga mengalami penurunan. Sekuele yang
didapatkan pada bayi baru lahir dapat dikategorikan atas sekuele ringan dan berat. Pada sekuele
ix
ringan, ditemukan sikatriks korioretinal tanpa gangguan visus atau adanya kalsifikasi serebral tanpa
diikuti kelainan neurologik. Pada sekuele berat, terjadi kematian janin intrauterin atau neonatal,
adanya sikatriks korioretinal dengan gangguan visus berat atau kelainan neurologik.
x
trimester pertama. Spiramisin tidak dapat melewati plasenta, dan sebaiknya tidak digunakan sebagai
monoterapi pada kasus yang diduga telah terjadi infeksi pada janin. Sampai saat ini, tidak terdapat
fakta bahwa obat ini bersifat teratogenik. Pada wanita yang diduga mengalami infeksi toksoplasma
akut pada trimester pertama atau awal trimester kedua, spiramisin diberikan hingga persalinan
meskipun hasil pemeriksaan PCR negatif. Hal ini berdasarkan teori yang menyatakan bahwa
kemungkinan infeksi janin dapat terjadi pada saat kehamilan dari plasenta yang sebelumnya telah
terinfeksi di awal kehamilan.
Spiramisin diberikan hingga persalinan juga pada pasien dengan hasil pemeriksaan cairan
amnion negatif, karena secara teoritis kemungkinan infeksi janin dapat terjadi pada kehamilan lanjut
dari plasenta yang terinfeksi pada awal kehamilan. Untuk ibu hamil yang memiliki kemungkinan
infeksi tinggi atau infeksi janin telah terjadi, pengobatan dengan spiramisin harus ditambahkan
pirimetamin, sulfadiazin, dan asam folat setelah usia kehamilan 18 minggu. Pada beberapa pusat
pengobatan, penggantian obat dilakukan lebih awal (usia kehamilan 12-14 minggu). Spiramisin
sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap antibiotik makrolid. Sejumlah kecil
ibu hamil menunjukkan gejala gangguan saluran cerna atau reaksi alergi. Dosis spiramisin yang
diberikan ialah 3 gram/hari.
• Pengobatan dengan pirimetamin, sulfadiazin, dan asam folat
Kombinasi pirimetamin, sulfadiazin, dan asam folat diindikasikan untuk ibu hamil yang
mengalami infeksi Toxoplasma gondii akut pada akhir trimester kedua (> 18 minggu) atau pada
trimester ketiga. Kombinasi ini juga diindikasikan untuk ibu hamil dengan infeksi janin atau janin
dengan toksoplasmosis kongenital yang terdeteksi melalui ultasonografi. Pirimetamin bersifat
teratogenik dan penggunaannya dikontraindikasikan pada trimester pertama. Pirimetamin dapat
menyebabkan depresi sumsum tulang belakang sehingga perlu dilakukan perhitungan jumlah sel
darah lengkap untuk mencegah toksisitas hematologi. Tingkat kejadian toksoplasmosis kongenital
pada bayi ibu hamil yang terinfeksi sebelum kehamilan hampir tidak pernah ditemukan. Di beberapa
negara, pengobatan tetap diberikan pada ibu hamil sehat dengan diagnosis infeksi T. gondii laten. Hal
tersebut didasarkan fakta bahwa kondisi imun setiap individu berbeda, fluktuatif, dan tidak dapat
terkontrol sebelumnya. Reaktivasi mungkin saja terjadi ketika imunitas seseorang menurun, terutama
pada ibu hamil yang memiliki kondisi untuk berbagi nutrisi dengan janinnya. Selain itu, aviditas IgG
setiap individu juga belum tentu tinggi dan matang meskipun infeksi terjadi setelah bertahun-tahun
yang lalu. Jika pemberian terapi ditunda hingga hasil pemeriksaan aviditas IgG pada trimester
pertama hasil IgG dan IgM (-), maka infeksi terjadi akibat reaktivasi. Untuk lebih memastikan bahwa
infeksi tidak terjadi, maka pemberian terapi menggunakan spiramisin tetap dilakukan. Disamping itu
risiko minimal spiramisin tidak menghalangi penggunaannya sebagai terapi pada trimester pertama.
Pirimetamin merupakan anti parasit yang secara kimiawi dan farmakologi menyerupai trimetroprim.
xi
Didalamnya terdapat zat aktif diaminopirimidin yang bekerja sebagai inhibitor poten dari dihidrofolat
reduktase dan bekerja secara sinergis dengan sulfonamid. Dosis pirimetamin 25-50 g per oral sekali
sehari dan dikombinasikan dengan sulfonamid selama 1-3 minggu, kemudian dosis obat dikurangi
setengah dari dosis sebelumnya, dan terapi dilanjutkan 4-5 minggu. Kekurangan asam folat akan
memicu agranulositosis, sehingga pemberian pirimetamin harus bersama dengan asam folat.
Sulfadiazin merupakan golongan sulfonamida dengan masa kerja sedang.
Mekanisme kerjanya bersifat bakteriostatik dengan menghambat sintesis asam folat, serta
menghambat enzim yang membentuk asam folat dan para amino benzoic acid (PABA). Sebagian
bahan ini menginaktivasi enzim seperti dehidrogenase atau karboksilase yang berperan pada respirasi
bakteri. Dosis pemberian 2-4 gram per oral sehari sekali selama 1-3 minggu, kemudian dosis
dikurangi setengah dari dosis
sebelumnya dan terapi dilanjutkan hingga 4-5 minggu.
• Pengobatan pada bayi
Kombinasi sulfadiazin, pirimetamin, dan asam folat biasanya diberikan untuk bayi yang lahir dari ibu
dengan hasil positif pada cairan amnionnya atau yang sangat dicurigai menderita T. gondii. Dosis
pirimetamin 2 mg/kgBB/hari (maksimal 50 mg), dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari untuk 2-6 bulan, dan
setelah itu 1 mg/kgBB/hari 3 kali perminggu. Dosis sulfadiazin 50 mg/kgBB setiap 12 jam, dan dosis
asam folat 5 – 20 mg 3 kali perminggu.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii golongan protozoa
yang sifatnya obligat intraseluler yang pertama kali ditemukan adalah Nicole dan Splendore pada
tahun 1908 padahewan pengerat (tenodactylus gundii) di Tunisia Afrika dan pada seekor kelinci di
Brazil dan disebut sebagai kehamilan. Menurut data WHO (2012) Lebih dari 300 juta orang di daerah
tropis menderita toksoplasmosis (WHO, 2012). Kasus toksoplasmosis pada manusia di Indonesia
berkisar antara 43 - 88%, sedangkan pada hewan berkisar antara 6 – 70%. Prevalensi toksoplasmosis
di Indonesia diduga terus meningkat seiring dengan perubahan pola hidup yang ada pada masyarakat
PENYEBAB
Infeksi Toxoplasma gondii dengan kejadian infertilitas disebabkan karena Oosyct Toxoplasma gondii
yang masuk kedalam tubuh manusia berada pada stadium takizoit secara terus menerus yang
disebabkan oleh menurunnya imunitas tubuh pada wanita pasangan usia subur, takizoit yang aktif
dapat masuk kedalam jaringan endometrium, dimana takizoit akan memperbanyak diri pada jaringan
endometrium, perbanyakan dari takizoit akan dapat menimbulkan luka pada jaringan endometrium
sehingga terjadinya endometritis, terjadinya endometritis pada uterus dapat menghalangi
terbentuknya plasenta sehingga tidak dapat terjadinya kehamilan
HASIL ANALISIS
Menunjukkan hasil analisis Chi-square untuk melihat hubungan infertilitas dengan counfounding
lama/usia pernikahan dengan kejadian toksoplasmosis pada wanita sudah menikah dan diperoleh
hasil yang menunjukkan bahwa seorang wanita yang sudah menikah ≥5 tahun secara signifikan
berhubungan dengan toksoplasmosis dan lebih berisiko 5-6 kali lebih besar kemungkinan (OR =
5.646, p=0.000 < 0.05) mengalami penyakit toksoplasmosis dibanding wanita yang sudah menikah <
5 tahun dengan nilai OR > 1 yang berarti bahwa variable tersebut dapat meningkatkan risiko
terjadinya toksoplasmosis pada wanita yang sudah menikah (ibu ataupun calon ibu). Atau wanita
yang sudah menikah ≥5 tahun setidaknya memiliki risiko paling minimal 2-3 kali dan risiko paling
maksimal 11 kali (CI 95%, lower= 2.838, upper= 11.231) lebih berisiko mengalami penyakit
toksoplasmosis dibanding wanita yang sudah menikah <5 tahun. Sedangkan berdasarkan riwayat sulit
hamil/infertilitas atau wanita sudah menikah yang aktif melakukan hubungan seks dengan
pasangannya ± 6 bulan – 12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi namun tidak memiliki kemampuan
untuk mengandung dan melahirkan (11) secara signifikan berhubungan dengan toksoplasmosis dan
xiv
lebih bersiko 0.4 kali lebih besar kemungkinan (OR= 0.416, p=0.020 < 1 yang berarti bahwa variable
tersebut menurunkan risiko dan memberikan efek pencegahan terhadap kejadian penyakit
toksoplasmosis pada wanita yang sudah menikah (ibu ataupun calon ibu). Atau wanita yang sudah
menikah dan memiliki riwayat sulit hamil setidaknya memiliki risiko paling minimal 0.1-0.2 kali dan
risiko paling maksimal 0.8-0.9 kali (CI 95%, lower= 0.199, upper= 0.873) lebih berisiko mengalami
toksoplasmosis dibanding wanita yang tidak sulit hamil.
Sebagian besar distribusi anti toxoplasma IgG dan IgM diamati menurut kelompok usia menunjukkan
hasil yang lebih tinggi pada kelompok usia yang lebih tua. Hal ini disebabkan karena kelompok usia
tua memiliki waktu lama dalam kontak dengan tanah, memotong daging, kontak dengan hewan
domestik dirumah, khususnya kucing beserta semua faktor risiko lainnya yang dapat meningkatkan
kemungkinan pemaparan terhadap agen-agen mikroba seperti parasite Toxoplasma Gondii. Dengan
bertambahnya usia dan gejala sisa patologis lebih tinggi dan lebih mungkin terjadi toxoplasmosis .
Infeksi toxoplasma yang berlangsung terus menerus dapat menginfeksi saluran telur wanita. Bila
saluran ini menyempit atau tertutup, sel telur yang telah dihasilkan oleh indung telur (ovarium) tidak
dapat sampai ke rahim untuk dibuahi oleh sperma. Bila berlangsung terus menerus dapat
menyebabkan kemandulan. Infeksi Toxoplasma gondii dengan kejadian infertilitas disebabkan karena
Oosyct Toxoplasma gondii yang masuk kedalam tubuh manusia berada pada stadium takizoit secara
terus menerus yang disebabkan oleh menurunnya imunitas tubuh pada wanita pasangan usia subur,
takizoit yang aktif dapat masuk kedalam jaringan endometrium, dimana takizoit akan memperbanyak
diri pada jaringan endometrium, perbanyakan dari takizoit akan dapat menimbulkan luka pada
jaringan endometrium sehingga terjadinya endometritis, terjadinya endometritis pada uterus dapat
menghalangi terbentuknya plasenta sehingga tidak dapat terjadinya kehamilan.
A. Pengobatan
Pada orang yang sudah menikah dan tidak sedang hamil atau mengalami gangguan kekebalan
tubuh, toksoplasmosis umumnya ringan dan tidak memerlukan perawatan medis. Namun, pada
toksoplasmosis yang sampai menimbulkan gejala, dokter akan memberikan pengobatan sesuai
kondisinya. Berikut adalah penjelasannya:
Jika pasien mengalami infeksi toksoplasmosis akut dengan gejala, dokter dapat meresepkan beberapa
obat berikut ini:
xv
1. Pyrimethamine, Pyrimethamine adalah obat antiparasit yang digunakan untuk mengobati
toksoplasmosis, yaitu penyakit akibat infeksi
parasit Toxoplasma gondii. Pyrimethamine dapat digunakan untuk mengobati
toksoplasmosis pada ibu hamil. untuk menghambat pertumbuhan gondii dengan cara
menghambat penyerapan asam folat di dalam tubuh.
2. Leucovorin, Leucovorin adalah obat untuk menangani efek samping dari obat-obatan yang
dapat menghambat kerja asam folat, seperti methotrexate atau pyrimethamine. Pada kondisi
tertentu, obat ini juga dapat membantu pengobatan anemia megaloblastik akibat kekurangan
asam folat. untuk mengurangi efek samping pyrimethamine
3. Sulfadiazine yang dikombinasikan pyrimethamine, untuk mengobati toksoplasmosis
Sulfadiazine adalah obat antibiotik untuk menangani infeksi bakteri. Selain itu, sulfadiazine
bisa digunakan dalam pencegahan kekambuhan demam rematik, dan jika dikombinasikan
dengan pyrimethamine, dapat digunakan untuk mengobati toksoplamosis.
4. Azithromycin, untuk mengatasi toksoplasmosis pada pasien yang alergi terhadap
sulfadiazine.Azithromycin bermanfaat untuk mengobati infeksi bakteri pada berbagai bagian
tubuh, seperti saluran pernapasan, paru-paru, mata, kulit, telinga, tenggorokan, amandel, dan
alat kelamin. Obat ini hanya boleh digunakan dengan resep dokter
B. Pencegahan
Berdasarkan riwayat sulit hamil/infertilitas atau wanita sudah menikah yang aktif melakukan
hubungan seks dengan pasangannya ± 6 bulan – 12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi namun
tidak memiliki kemampuan untuk mengandung dan melahirkan (11) secara signifikan berhubungan
dengan toksoplasmosis dan lebih bersiko 0.4 kali lebih besar kemungkinan (OR= 0.416, p=0.020 < 1
yang berarti bahwa variable tersebut menurunkan risiko dan memberikan efek pencegahan terhadap
kejadian penyakit toksoplasmosis pada wanita yang sudah menikah (ibu ataupun calon ibu). Atau
wanita yang sudah menikah dan memiliki riwayat sulit hamil setidaknya memiliki risiko paling
minimal 0.1-0.2 kali dan risiko paling maksimal 0.8-0.9 kali (CI 95%, lower= 0.199, upper= 0.873)
lebih berisiko mengalami toksoplasmosis dibanding wanita yang tidak sulit hamil.
xvi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Toksoplasmosis merupakan salah satu penyakit yang harus diwaspadai oleh calon Ibu
sebelum merencanakan kehamilan karena dapat menyebabkan gangguan pada kehamilan dan dapat
menyebabkan kecacatan bahkan kematian pada janin. Oleh karena itu, calon Ibu perlu mengetahui
langkah-langkah pencegahan parasit Toksoplasma agar dapat mengurangi resiko infeksi. Akan tetapi,
kesadaran target audiens akan bahaya dari Toksoplasmosis terbilang masih rendah karena adanya
keterbatasan pengetahuan dan informasi yang tersedia.
Toksoplasmosis pada perempuan hamil menyebabkan terjadinya abortus, lahir mati, dan
kelainan kongenital. Deteksi dini dan pengobatan toksoplasmosis pada kehamilan sangat diperlukan
untuk mencegah penularan dari ibu ke janin. Pencegahan terhadap Toxoplasma gondii merupakan
langkah paling utama dengan menjaga higienitas baik dari makanan maupun kontak dengan hewan
dan lingkungan.
3.2 Saran
Perlu untuk dilakukan adanya pengembangan dan pembaruan informasi mengenai Toksoplasmosis
guna menghasilkan sebuah informasi yang lebih konkrit dan utuh.
xvii
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, R., Djaenudin, N. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang. Cet I. Jakarta: EGC.
Rohmawati, I. dan Wibowo, A. 2013. Hubungan Kejadian Abortus dengan Toxoplasmosis di
Puskesmas Mentaras Kabupaten Gresik. Jurnal Biometrika dan Kependudukan. 2(2): 173–
181.
Suparman, E. 2012. Toksoplasmosis Dalam Kehamilan. Jurnal Biomedik. 4(1): 13-19.
Syaikudin, A. Dan Nurdian, Y. 2017. Immunological Reaction and Inflammatory Response in
Congenital Toxoplasmosis Can Cause Hearing Disorder.
Putri, D. S. A., Salsabela, A., Wahyuliswari, D., dan Nurdian, Y. 2017. Risiko Arthtritis pada
Toxoplasmosis.
Agustian, N. F. B. and Nurdian, Y. 2017. The Relationship between Toxoplasma gondii Infection
and Behavioral Change in Humans.
Harari, R. R. B., Goodwin, E., and Casoy J. 2017. Adverse Event Profile of Pyrimethamine-Based
Therapy in Toxoplasmosis: Systematic Review.Drugs R. D. doi: 10.007/s4026801702068
Nurdian, Y. 2018. Buku Ajar Pengantar Parasitologi Agromedis. Universitas Jember: Fakultas
Kedokteran.
xviii