Anda di halaman 1dari 34

i

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEN-


JUALAN KOSMETIK ILEGAL VIA ONLINE

Oleh
BAIQ AULIA MAHARANI
D1A020090

Dosen Pengampu : Dr. Muhaimin, SH., M. Hum

METODE PENELITIAN HUKUM A1

Program Studi Ilmu Hukum


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2023
1

DAFTAR ISI

Judul :......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................2
A. Latar Belakang................................................................................................2
B. Rumusan Masalah..........................................................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................................6
1. Tujuan Penelitian.................................................................................................6
2. Manfaat Penelitian...............................................................................................6
D. Ruang Lingkup Penelitian.............................................................................8
E. Orisinalitas Penelitian....................................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................11
1. Tindak Pidana....................................................................................................11
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana.............................................................................13
3. Tinjauan Umum Tentang Konsumen...............................................................16
4. Tinjauan Umum Tentang Pelaku Usaha..........................................................17
5. Tinjauan Umum Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan...................20
6. Tinjauan Umum Tentang Kosmetik.................................................................23
7. Tinjauan Umum Tentang Legal dan Ilegal......................................................24
8. Tinjauan Umum Tentang Via Online...............................................................26
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................27
1. Jenis penelitian...................................................................................................27
2. Metode Pendekatan............................................................................................27
3. Jenis dan Sumber Data Hukum........................................................................28
4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data................................................................29
5. Analisis Bahan Hukum......................................................................................29
6. Penyimpulan.......................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30
2

Judul :

Analisis Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penjualan Kos-

metik Ilegal Via Online

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi dibidang perindustrian dan perdagangan

nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan jasa dan/atau jasa

yang dapat dikonsumsi, ditambah lagi dengan perkembangan teknologi

komunikasi dan teknologi dibidang transportasi berhasil memperluas ru-

ang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi suatu negara. Kon-

disi ini membuat kebutuhan masyarakat atas barang dan/atau jasa semakin

mudah untuk terpenuhi serta memiliki kebebasan untuk memilih jenis dan

kualitas barang sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka.

Produk kecantikan berupa kosmetik merupakan salah satu kebu-

tuhan hidup manusia secara umum dan kaum wanita secara khusus yang

kian berkembang. Menjadi terlihat cantik dan menarik merupakan hal

yang wajar dialami oleh kelompok wanita pada era ini, sehingga banyak

wanita yang rela menghabiskan uang lebih untuk pergi ke salon dan

klinik-klinik kecantikan hanya untuk mempercantik diri agar terlihat lebih

menarik atau membeli kosmetik baik secara langsung maupun secara on-
3

line. Tidak heran jika kebutuhan kosmetik semakin meningkat dan se-

makin bervariasi dari tahun ke tahun.

Keinginan wanita untuk terlihat cantik tak jarang dimanfaatkan

oleh oknum pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab untuk meraih ke-

untungan lebih dengan memproduksi atau memperdagangkan kosmetik

yang tidak memenuhi persyaratan untuk diedarkan. Sediaan farmasi

seperti kosmetik tidak dapat diedarkan dan/atau diperdagangkan sem-

barangan tanpa melewati proses perizinan yang sudah ditentukan.

Pada dasarnya, prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mencari ke-

untungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya.

Prinsip ini sangat potensial merugikan hak-hak konsumen, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Terdapat indikasi bahwa pelaku usaha

melakukan perbuatan yang tidak bertanggunjawab dengan sengaja mem-

produksi atau mengedarkan kosmetik yang mengandung bahan berbahaya

dan tidak memiliki izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan

(BPOM). Oleh karena itu, negara mempunyai peran yang penting untuk

melindungi masyarakat yang berada pada posisi yang lemah tersebut. Un-

dang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen men-

jelaskan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang men-

jamin adanya kepentingan hukum untuk memberi perlindungan kepada se-

tiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,

baik bagi kepentingan diri sendiri, kepentingan keluarga, kepentingan

orang lain, maupun kepentingan mahluk hidup lain serta barang dan/atau
4

jasa tersebut tidak untuk diperdagangkan. Masalah perlindungan kon-

sumen tidak semata-mata permasalahan individu saja, tatapi sebenarnya

merupakan masalah bersama, bahkan masalah nasional, karena semua

orang adalah konsumen, oleh karena itu, konsep perlindengan konsumen

oleh negara artinya adalah pemerintah negara melindungi rakyat negara

tersebut.1

Pelaku usaha, baik produsen, distributor, maupun pedagang

bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,

dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa

yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis

dan setara nilainya atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan

yang sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang

berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggak waktu 7 (tujuh)

hari setelah transaksi. Namun, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 ten-

tang perlindungan konsumen mengatur bahwa pemberian ganti rugi tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pem-

buktian lebih lanjut. Pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur pidana

merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemu-

ngkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Ketentuan ini dimaksud-

kan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik.2

1
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Pranada Media, 2016,hlm.
12.
2
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia Widiasaran, Jakarta
2006, hlm. 88.
5

Maka isu yang ditemukan penulis pada permasalahan di atas adalah

kaitan ini, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha yang terus

berkembang membutuhkan suatu aturan yang memberikan kepastian ter-

hadap tanggung jawab, hak, dan kewajiban dari semua pihak. Sementara

faktanya, ternyata beberapa pelaku usaha tidak melaksanakan sesuai den-

gan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kon-

sumen. Sehingga hal ini melanggar hak konsumen demi mendapatkan in-

formasi yang jelas dan benar tentang produk kosmetik yang digunakannya.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti

lebih lanjut dengan alasan penulis sebagai pengguna kosmetik aktif dapat

memberikan pengetahuan lanjut tentang bagaimana analisis hukum ter-

hadap pelaku usaha kosmetik yang sengaja memproduksi atau

mengedarkan kosmetik illegal dapat dijatuhkan pidana, dengan judul

penelitian “Analisis Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pen-

jualan Kosmetik Ilegal Via Online”


6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penyusun menge-

mukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap

pelaku tindak pidana penjualan kosmetik illegal?

2. Bagaimana analisis hukum terhadap pelaku tindak pidana penjualan

kosmetik illegal via online?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Maka berdasarkan uraian latar belakang masalah dan rumusan masalah di

atas penelitian ini di lakukan dengan tujuan :

a. Untuk menjelaskan dan menganalisis pertimbangan Hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penjualan kos-

metik illegal

b. Untuk menjelaskan dan menganalisis penerapan pidana terhadap

pelaku tindak pidana penjualan kosmetik illegal via online tinjauan

hukum pasal 62 jo. Pasal 8 ayat (1) huruf A Undang-Undang no. 8

tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis
7

Untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai derajat S-1 program

studi ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Mataram. Dan

hasil dari penelitian ini di harapakan mampu di jadikan sebagai re-

frensi bagi para pihak yang ingin melanjutkan penelitian ini dalam

tahap lebih lanjut.

b. Manfaat Teoritis

Dari hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan kontribusi

terhadap perkembangan ilmu hukum terutama dalam pengemban-

gan hukum pidana untuk mengetahui apa saja yang dapat menjerat

pelaku usaha tindak pidana pengedar kosmetik illegal.

c. Manfaat Praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi pelaku usaha

agar dapat berhati-hati dalam memilah dan memilih macam

kosmetik yang akan dijual, diharapkan sesuai dengan per-

syaratan dan ketentuan yang sudah diatur dan tidak melanggar

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen.

2) Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan

masyarakat khususnya pengguna kosmetik agar dapat lebih

waspada dalam memilih produk kosmetik yang dibelinya .


8

D. Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak menimbulkan penafsiran yang lebih luas dan lebih

terarah dalam melakukan penelitian ini, maka di perlukan pembatasan

ruang lingkup penelitian yang sesuai dengan latar belakang yang menjadi

dasar pemikiran serta rumusan masalah yang menjadi fokus utama dalam

kajian penelitian ini. Maka ruang lingkup penelitian ini di batasi pada per-

soalan yang menyangkut tentang bagaimana analisis hukum terhadap

pelaku tindak pidana.

E. Orisinalitas Penelitian

No Nama/ Judul Tulisan Persamaan Perbedaan

1 Novia Oktareza Wardani, Persamaan pada Perbedaan antara


Penegakan Hukum Pidana penulisan/penelitian penelitian yang
Terhadap Pelaku Usaha antara penyusun penyusun teliti dengan
Kosmetik Ilegal dengan Novia Ok- Novia Oktareza Wardani
tareza Wardani adalah terletak pada
adalah sama-sama obyek kajian. Maksud-
membahas dan nya adalah, bahwa
meneliti mengenai penyusun lebih kepada
pelaku usaha kos- anilisis sebuah putusan
metik ilegal Nomor 84/Pid.Sus/
2020/PN.Mtr. untuk
mencaritahu bagaimana
penerapan dari Pasal 62
jo. Pasal 8 ayat (1) Huruf
A Undang-Undang No 8
tahun 1999 tentang per-
lindungan konsumen
Sedangkan Novia Ok-
tareza Wardani berfokus
pada bagaimana dite-
gakannya hukum pidana
terhadap pelaku usaha
9

kosmetik illegal di
lingkungan POLDA
JAWA TENGAH.

2 Bayu Ardiyusman, Pene- Persamaan peneli- Perbedaan penelitian


gakan Hukum Pidana Ter- tian antara penyusun dengan Vinna
hadap Produk Kosmetik penyusun dengan Sri Yuniarti adalah,
(Pemutih Wajah) Yang Bayu Ardiyusman penyusun membahas
Mengandung Zat Berba- adalah sama-sama mengenai adalah terletak
haya di Kota Pekanbaru meneliti/membahas pada objek kajian. Mak-
tentang bagaimana sudnya adalah, bahwa
penegakan hukum penyusun lebih kepada
pidana terhadap anilisis sebuah putusan
produk kosmetik. Nomor 84/Pid.Sus/
2020/PN.Mtr.
untuk mencaritahu
bagaimana penerapan
dari Pasal 62 jo. Pasal 8
ayat (1) Huruf A Un-
dang-Undang No 8 tahun
1999 tentang perlindun-
gan konsumen. Sedan-
gkan Bayu Ardiyusman
berfokus pada
bagaimana ditegakannya
hukum pidana terhadap
pelaku usaha kosmetik
illegal di wilayah Kota
Pekanbaru
3 Salma Nurul Faudah, Per- Persamaan, antara Perbedaan penelitian
tanggung Jawaban Pidana penelitian penyusun penyusun dengan Salma
Penjual Kosmetik Illegal dengan Salma Nu- Nurul Faudah adalah,
Yang Mengandung Bahan rul Faudah adalah bahwa penyusun men-
Berbahaya Terhadap sama-sama garah pada memper-
Kerugian Konsumen Per- meneliti atau mem- tanyakan dan mencari-
spektif Hukum Positif dan bahas mengenai tahu bagiamana diterap-
Hukum Islam (Analisis Pu- perlindungan kon- kannya Pasal 62 jo. Pasal
tusan Nomor 39/Pid.Sus/ sumen. 8 ayat (1) Huruf A Un-
2019/PN Unr) dang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang per-
10

lindungan konsumen ter-


hadap pelaku tindak pi-
dana yang di putus pada
putusan hakim No: 84/
Pid.Sus/2020/PN.Mtr.
Sedangkan Salma Nurul
Faudah mempertanyakan
dan mencaritau
bagaimana pertanggung-
jawaban pidana yang
ditinjau dari dua per-
spektif hukum yaitu
HUKUM POSITIF dan
HUKUM ISLAM ter-
hadap pelaku tindak pi-
dana yang diputus oleh
hakim pada putusan No:
39/Pid.Sus/2019/PN
Unr.

Dalam penelitian ini yang membedakan penelitian penyusun den-

gan penelitian yang telah di uraikan diatas adalah pada obyek kajian

penulis yang lebih mengarah pada bagaimana penerapan pidana terhadap

pelaku tindak pidana penjualan kosmetik illegal via online.

Tabel orisinalitas di atas adalah upaya penyusun untuk menyam-

paikan kepada seluruh pihak dalam hal bahwa, penyusunan ini merupakan

murni hasil dari proses penelitian ilmiah yang di lakukan oleh penyusun

dengan menggunakan metodologi Normatif dan tentunya menggunakan

kajian-kajian Pustaka dengan data primer dan sekunder yang terukur dan

memiliki nilai ketertarikan terhadap permasalahan yang akan dikaji se-

hingga terhindar dari plagiarisme.


11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan istilah dalam ilmu hukum yang mempunyai

pegnertian yang abstrak. Dalam hukum pidana Belanda dikenal istilah den-

gan “strafbaar feit” yang didalam bahasa Indonesia memiliki terjemahan

dengan berbagai istilah, karena tidak ada penetapan penerjemahan istilah

yang diberikan oleh pemerintah untuk istilah tersebut yang menimbulkan

berbagai pandangan untuk menyamakan istilah “strafbaar feit”, seperti

“peristiwa pidana”, “perbuatan pidana”, dan berbagai istilah lain.

Menurut Simons, strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang di-

ancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan

dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertang-

gung jawab.i3

Van Hamel merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan orang

(Menseliike Gedraging) yang merumuskan dalam wet yang bersifat

melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan den-

gan kesalahan.4

Menurut Pompe, Strafbaar feit merupakan suatu pelanggaran norma

(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan

tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan


3
I Made Widnyana, Hukum Pidana, Penerbit Fikahati Aneska, Jakarta, 2010, hlm, 34
4
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 96
12

hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib

hukum.5 Sedangkan Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah

peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa tersebut

suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nolaten-

negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatau

atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa (recht-

feit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur

oleh hukum.6

Sedangkan dalam hukum islam, tindak pidana (jarimah) diartikan

sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak yang diancam oleh

Allah SWT dengan hukuman hudud atau takzir. Larangan-larangan syarak

tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau

meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.7

Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan, yang berasal dari ba-

hasa latin yakni kata delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delict

tecantum sebagai berikut :

”delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena

merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang (tindak pidana).8

Penulis dapat berkesimpulan bahwa tindak pidana atau delik adalah

sebuah perbuatan melawan hukum yang rumusan-rumusan delik yang da-

pat dikenakan sanksi pidana atau perbuatan yang dapat dipidana.


5
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum PIdana, Rangkang Education, Yogyakarta, 2012, hlm.
20
6
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 6
7
Achmad Ali, Yusril Versus Criminal Justice System, PT. Umitoha Ukhuwah
Grafika, Makassar, 2010, hlm. 48.
8
Sudarsono, Kamus Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 92
13

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pada dasarnya, dalam setiap tindak pidana harus memiliki unsur-unsur

lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang

ditimbulkan atas perbuatan tersebut. Dimana unsur-unsur tindak pidana da-

pat dibedakan dari dua aspek, yaitu :

a. Unsur Tindak Pidana Menurut Ahli

Beberapa ahli hukum mengemukakan beberapa rumusan tindak

pidana, begitu pula dengan unsur-unsur yang ada dalam tindak pi-

dana.

Kemudian menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-

unsur, yakni:

1. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia)

2. Yang bertentangan dengan peraturan Perundang-Undan-

gan

3. Diadakan tindak penghukuman.9

Dan Moeljatno dalam bukunya, mengemukakan bahwa perbu-

atan pidana (tindak pidana) terdiri dari beberapa unsur atau elemen,

yaitu:10

1. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan


9
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja grafindo Persada, Jakarta,
2010, hlm. 80
10
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 69.
14

3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana

4. Unsur melawan hukum yang objektif.

5. Unsur melawan hukum yang subjektif

Adapun unsur-unsur tindak pidana menurut jonkers, yaitu:

1. Perbuatan

2. Melawan hukum (yang berhubungan dengan)

3. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat)

4. Dipertanggungjawabkan.

b. Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, da-

pat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:

1. Unsur tingkah laku

2. Unsur melawan hukum

3. Unsur kesalahan

4. Unsur akibat konstitutif

5. Unsur keadaan yang menyertai

6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana

9. Unsur objek hukum tindak pidana

10. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana

11. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.


15

Dari uraian diatas dapat disimpulkan unsur-unsur dari suatu tindak

pidana, yaitu:

a. Unsur Objektif

Unsur objektif yaitu unsur yang terdapat di luar si pelaku.

Yang terdiri dari, yaitu :

1) Sifat melanggar hukum.

2) Kualitas dari pelaku.

3) Kausalitas.

b. Unsur subjektif

Unsur subjektif yaitu unsur yang terdapat atau melekat pada

diri pelaku atau yang dihubungkan dengan diri pelaku. Yang

terdiri dari, yaitu:

1) Kesengajaan atau kelalaian.

2) Maksud dari suatu percobaan atau

poging seperti yang dimaksud dalam

Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3) Berbagai maksud seperti yang terdapat

dalam kejahatan pencurian, penipuan, pe-

merasan, pemalsuan, dan lain-lain.

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti

yang terdapat dalam kejahatan menurut

Pasal 340 KUHP.


16

5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308


KUHP.

3. Tinjauan Umum Tentang Konsumen

Penjelasan yang terdapat dalam Pasal 1 Angka 2 UUPK meny-

atakan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang

tersedia didalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Az. Nasution menegaskan beberapa Batasan tentang konsumen, yaitu:11

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan

atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang membutuhkan

barang dan/jasa lain untuk diperdagangkan (dengan tujuan

komersial);

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan

menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi ke-

butuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan

tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kon-

sumen merupakan setiap individu atau kelompok sebagai pe-

makai barang atau jasa yang digunakan untuk memenuhi kebu-

tuhan dan keinginan mereka sehari-hari dan tidak diperjualbe-

likan kembali.
11
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
2014, Hlm. 3.
17

4. Tinjauan Umum Tentang Pelaku Usaha

Pelaku usaha merupakan perorangan atau sekelompok orang yang

membuat suatu barang atau produk dan menjual barang atau produk terse-

but agar mendapat keuntungan. Dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 8 Tahun

1999 disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan

usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbadan hukum

yang didirikan yang berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai

bidang ekonomi.

Menurut UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan praktek Mo-

nopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan pengertian “Pelaku

usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berben-

tuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berke-

dudukan atau melakukan kegiatan wilayah dalam hukum Negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama, melalui perjanjian. menye-

lenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”. Dari kedua

pengertian tersebut terdapat kesamaan dari pengertian pelaku usaha.

Pada penjelasan Undang-Undang yang termaksud dalam pelaku

usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang,

distributor dan lain-lain. Kajian atas perlindungan terhadap konsumen


18

tidak dapat dipisahkan dari telah terhadap hak-hak dan kewajiban pro-

dusen. Berdasarkan Directive, pengertian “produsen” meliputi:12

1) Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang

manufaktur mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian

yang timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat,

termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang

merupakan komponen dalam proses produksinya.

2) Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk.

3) Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun

tanda-tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai

produsen dari suatu barang.

Perlindungan konsumen juga mengatur tentang hak dan kewajiban

bagi para pelaku usaha. Hal ini dimaksudkan agar para pelaku usaha dapat

menjalankan usahanya dengan benar. Hak pelaku usaha dalam Pasal 6

UUPK, yaitu:

1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepa-

katan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan.

2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan kon-

sumen

yang beritikad tidak baik.

12
Celia Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Kosumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
Hlm. 41
19

3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen.

Kewajiban pelaku usaha dalam Pasal 7 UUPK, yaitu:

1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan ju-

jur serta tidak diskriminatif.

3) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang

dan/atau jasa yang berlaku.

4) Memberikan konpensasi, ganti rugi, apabila barang dan/jasa

yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai den-

gan perjanjian.

Didalam UUPK terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan sys-

tem tanggung jawab produk dalam hokum perlindungan konsumen di In-

donesia, yaitu ketentuan Pasal 19 UUPK merumuskan tanggung jawab

produsen sebagai berikut:

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan.

2) Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat

berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau

jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kese-


20

hatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan keten-

tuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

3) Pemberian ganti rugi yang dilaksanakan dalam tenggang waktu

7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana disebutkan pada ayat (1)

dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntu-

tan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai

adanya unsur kesalahan. Ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha

dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan ke-

salahan konsumen.

5. Tinjauan Umum Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan

Badan pengawas obat dan makanan atau yang biasa disingkat den-

gan BPOM adalah Lembaga di Indonesia yang bertugas untuk mengawasi

peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia. Badan ini dibentuk

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Kewenangan, Sususan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pe-

merintahan Non departemen.

Sebagaimana beberapa kali sudah diubah dengan Peraturan Presi-

den Nomor 80 Tahun 2017. Fungsi dan tugas badan ini untuk mengatur

makanan, suplemen makanan, obat-obatan produk biofarmasi, transfusi

darah, piranti medis untuk terapi dengan radiasi, produk kedokteran

hewan, dan kosmetik.


21

Awal mula didirikannya Badan Pengawas Obat dan Makanan ini

karena Indonesia dianggap memerlukan system pengawasan terhadap obat

dan makanan yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah,

dan mengawasi produk-produk termasuk untuk melindungi keamanan ke-

selamatan dan kesehatan konsumennya baik dalam negeri maupun luar

negeri maka dari situ mulailah dibentuk Badan Pengawas Obat dan

Makanan yang mampu memiliki jaringan nasional dan internasional serta

memiliki kewenangan dalam penegakan hukum dan memiliki kredibilitas

professional yang tinggi. Dilain sisi banyaknya iklan yang mempro-

mosikan secara terus menurus dan mendorong konsumen agar mengkon-

sumsi produk secara berlebihan sehingga memungkinkan meningkatnya

resiko dengan implikasi yang luas pada kesehatan dan keselamatan kon-

sumen.

Tugas dari badan pengawas obat dan makanan, dilihat berdasarkan

pasal 2 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan

Pengawas Obat dan Makanan Mempunyai Tugasnya diantaranya:

a. Badan Pengawas Obat dan Makanan mempunyai tugas menye-

lenggarakan tugas pemerintah dibidang pengawasan Obat dan

Makanan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan.

b. Obat dan makanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri

atas obat, bahan obat, narkotika, psikotrapika, precursor, zat

adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pan-

gan olahan.
22

Tidak hanya itu pada Pasal 2 Peraturan Kepala Pengawas Obat dan

Makanan Nomor 14 Tahun 2014 unit pelaksanaan teknis dilingkungan

Badan Pengawas Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan ke-

bijakan dibidang pengawasan obat dan makanan yang meliputi pen-

gawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika serta pengawasan

atas keamanan pangan dan bahan berbahaya.12 Dalam melaksanakan tu-

gasnya Badan Pengawas Obat dan Makanan juga mempunyai fungsi utama

yang dijelaskan dalam Pasal 3 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat

dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM, antara lain:

a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dibidang pen-

gawasan obat dan makanan.

b. Pelaksanaan kebijakan tertentu dibidang pengawasan obat dan

makanan.

c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam melaksanakan tugas

badan pengawas obat dan makanan.

d. Pemantauan, pemberian bimbingan serta pembinaan terhadap

kegiatan instansi pemerintah dibidang pengawas obat dan

makanan.

e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum

dibidang perencanaan umum, ke-tata-usahaan, organisasi, dan

tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persediaan, per-

lengkapan, dan rumah tangga.


23

6. Tinjauan Umum Tentang Kosmetik

Kosmetik dikenal manusia sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad

ke-19 pemakaian kosmetik mulai mendapat perhatian, selain digunakan

untuk kecantikan kosmetik juga digunakan untuk Kesehatan.13

Kosmetik berasal dari bahasa Yunani yaitu Kosmetikos yang berarti

menghias dan mengatur. Pada dasarnya kosmetik adalah bahan campuran

yang kemudian diaplikasikan pada anggota tubuh bagian luar seperti epi-

dermis kulit, kuku, rambut, bibir, gigi, dan sebagainya dengan tujuan un-

tuk menambah daya tarik, melindungi, memperbaiki sehingga penampilan-

nya lebih dari semula.14

Definisi kosmetik dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Republik In-

donesia Nomor 1175/MENKES/PER/2010 berbunyi “kosmetika adalah

bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar

tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian

luar) atau gigi dan membrane mukosa mulut terutama untuk member-

sihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau

badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik” sedan-

gkan definisi kosmetik dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Kese-

hatan Nomor 445/MENKES/PER/V/1998 Tentang Bahan, Zat, Pewarna,

Substratum, Zat Pengawet, dan Tabir Surya, yang berbunyi “kosmetika

adalah panduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian tubuh luar

13
Retno Iswari Trianggono dan Fatma Latifah, Buku pegangan ilmu Pengetahuan Kos-
metik, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2007,Hlm 7-8
14
Alison Haynes, Dibalik Wajah Cantik : Fakta Tentang Manfaat Dan Resiko Kosmetik,
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta, 1997, Hlm. 184
24

(kulit, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin luar), gigi dan rongga mulut

untuk memberikan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melin-

dungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan, tetapi

tidak dimaksudkan untuk mengobati atau dapat menyembuhkan suatu

penyakit.

Setelah melihat penjelasan mengenai pengertian kosmetik seperti

yang diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kosmetik adalah bagian

dari kehidupan manusia yang semakin berkembang. Kosmetik mempunyai

peran penting bagi kecantikan, tapi juga untuk memperbaiki, mencegah

dan juga untuk tetap menjaga Kesehatan kulit bagi penggunanya.

Bahan utama yang digunakan untuk kosmetik adalah bahan dasar

yang berkasiat, bahan aktif dan ditambah bahan tambahan lain seperti ba-

han pewarna, bahan pewangi, pada pencampuran bahan-bahan tersebut

harus memenuhi kaidah pembuatan kosmetik ditinjau dari berbagai segi

teknologi, kimia dan lainnya.15

7. Tinjauan Umum Tentang Legal dan Ilegal

Pengertian legalitas yang memiliki kata dasar "Legal‟ adalah suatu

hal yang sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan atau hukum.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Legalitas mempunyai

arti perihal keadaan sah atau keabsahan. Berarti legalitas adalah berbicara

mengenai suatu perbuatan atau benda yang diakui keberadaannya selama

tidak ada ketentuan yang mengatur.


15
Wasitaatmaja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Unversitas Indonesia Press, Jakarta,
1997,Hlm. 52
25

Jika berbicara mengenai asas legalitas, menurut Kitab Undang Un-

dang Hukum Pidana (KUHP) makna asas legalitas ini seperti disebutkan

dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang pada intinya suatu perbuatan tidak da-

pat dinilai pidana kecuali telah diatur oleh kekuatan Perundang-Undangan

yang telah ada, atau sesuai dengan adegium yang berbunyi non obligat lex

nisi promulgate atau yang mempunyai arti suatu hukum tidak mengikat ke-

cuali telah diberlakukan.

Sedangkan pengertian ilegalitas berasal dari kata “ilegal‟ yang

artinya tidak legal, tidak sah, tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Un-

dangan atau hukum. Ilegal merupakan lawan kata dari legal. Suatu perbu-

atan atau benda dapat dikatakan ilegal apabila perbuatan atau benda terse-

but tidak dibenarkan oleh suatu peraturan Perundang-Undangan yang

berlaku.

Kedudukan hukum memiliki pemahaman bahwasannya dimana su-

atu subyek hukum ataupun obyek hukum berada. Dengan memiliki ke-

dudukan, subyek hukum ataupun obyek hukum dapat melakukan tindakan

dan wewenang sebagaimana statusnya. Sehingga, kedudukan hukum

adalah suatu status atau posisi dimana suatu subyek hukum atau obyek

hukum ditempatkan agar memiliki fungsi dan tujuan. Selain itu juga ke-

dudukan hukum merupakan penentu bagaimana subyek hukum atau obyek

hukum dapat melakukan kegiatan yang diperbolehkan atau tidak diper-

bolehkan.
26

8. Tinjauan Umum Tentang Via Online

Kalimat “via online” sudah barang tentu menjadi kalimat yang

cukup Popular dan diketahui oleh banyak orang. Kalimat Via Online itu

sendiri terdiri dari 2 (dua) suku kata, yaitu “Via” dan “Online”, bahwa

berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk kata “Via”

artinya adalah melalui, sedangkan untuk Kata Online terdiri dari dua kata,

yaitu On (Inggris) yang berarti hidup atau didalam, dan Line (Inggris) yang

berarti garis, lintasan, saluran atau jaringan. Secara bahasa online bisa diar-

tikan “didalam jaringan” atau dalam koneksi. Online adalah keadaan

terkoneksi dengan jaringan internet. Dalam keadaan online, kita dapat

melakukan kegiatan secara aktif sehingga dapat menjalin komunikasi, baik

komunikasi satu arah seperti membaca berita dan artikel dalam website

maupun komunikasi dua arah seperti chatting dan saling berkirim email.
27

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian hukum normatif (legal research) biasanya “hanya”

merupakan studi dokumen, yakni menggunakan sumber bahan hukum

yang berupa peraturanperundang-undangan, keputusan/ketetapan pengadi-

lan, kontrak/perjanjian/akad, teori hukum, dan pendapatpara sarjana. Nama

lain dari penelitian hukum normative adalah penelitian hukum doktrinal,

juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut

penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan

hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum.

Disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen, dise-

babkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat

sekunder yang ada di perpustakaan.16

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah:

1. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach), yaitu pen-

dekatan yang berusaha mengkaji dan menelaah berbagai Un-

dang-Undang serta regulasi yang berkaitan dengan penelitian

yang akan di lakukan.

16
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Cet. Pertama, Mataram University Press, Mataram, 2020,
Hlm. 45-46.
28

2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach), merupakan pen-

dekatan yang bersumber dari pendapat para ahli, pendapat para

sarjana, maupun pendapat para ahli hukum.

Dengan metode ini penyusun mencoba mengetahui bagaimana

analisis hukum terhadap pelaku tindak pidana dengan Pasal 62 jo. Pasal 8

Ayat (1) Huruf A Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindun-

gan Konsumen

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data primer dan skunder, yaitu data yang penyusun peroleh dari penelitian

kepustakaan dan dokumen, yang merupakan peraturan-peraturan Perun-

dang-Undangan dan/atau aturan turunannya yang memiliki keterkaitan

dengan penelitian penyususn dan pendapat para ahli yang terdapat pada

buku-buku, jurnal-jurnal dan internet yang dapat mendukung argumentasi

dari penyusun. Adapun data-data tersebut, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

konsumen

 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

 Peraturan BPOM Nomor 23 Tahun 2019 tentang Persyaratan

Teknis Bahan Kosmetika


29

 Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.08.11.07331

Tahun 2011 tentang Metode Analisi Kosmetika

b. Bahan Hukum Skunder

Bahan Hukum Sekunder; yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-Undang,

buku teks, hasil-hasil penelitian dalam jurnal dan majalah, atau pen-

dapat para pakar di bidang hukum.

c. Bahan Hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan

hukum sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklope-

dia, dan ensiklopedia hukum.17

4. Teknik dan Pengumpulan Bahan Hukum

Tehnik pengumpulan bahan hukum atau data sekunder dalam

penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap ba-

han-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

maupun bahan hukum tersier dan atau bahan nonhukum. Penelusuran ba-

han hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, menden-

garkan, maupun penelusuran bahan hukum melalui media internet atau

website.18 Studi pustaka yaitu dilakukan dengan teknik dokumentasi yaitu

mengumpulkan bahan-bahan bacaan yang relevansinya sama dengan

masalah yang diteliti yakni mengumpulkan bahan-bahan hukum yang ter-

17
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Cet. Pertama, Mataram University Press, Mataram, 2020,
Hlm. 61-62.
18
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Cet. Pertama, Mataram University Press, Mataram, 2020,
Hlm. 65.
30

diri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier. Setiap bahan hukum ini harus diperiksa ulang validitas dan realibil-

itasnya, sebab, hal ini sangat menentukan hasil penelitian.

5. Analisis Bahan Hukum

Analisis yang digunakan dalam penelitian normatif menggunakan


metode analisis yang bersifat kualitatif yaitu dengan cara melakukan inter-
pretasi (penafsiran) terhadap bahan-bahan hukum yang telah diolah. Peng-
gunaan metode interpretasi (penafsiran) ini bertujuan untuk menafsirkan
hukum, apakah terhadap bahan hukum tersebut khususnya bahan hukum
primer terdapat kekosongan norma hukum, antinomi norma hukum dan
norma hukum yang kabur (pen. tidak jelas).19

Analisis kualitatif adalah analisis data yang didasarkan atas perhitungan


atau angka atau kuantitas (jumlah), misalnya menggunakan angka statistik.
Sedangkan analisis kualitatif merupakan analisis data yang tidak menggu-
nakan angka melainkan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) den-
gan kata-kata atas temuan dan karenanya ia lebih mengutamakan mutu
(kualitas) dari data, dan bukan kuantitas. Dan pada analisis bahan hukum
dalam penelitian normatif menggunakan analisis kualitatif.

6. Penyimpulan

Seluruh bahan hukum yang telah dikumpulkan, kemudian dipilih

atau dipilah dan diolah selanjutnya ditelaah dan dianalisis sesuai dengan

isu hukum yang dihadapi, untuk kemudian menarik suatu kesimpulan.

Penyimpulan atau penarikan kesimpulan terhadap penelitian hukum

dibedakan menjadi 2 (dua) metode penarikan penyimpulan yakni metode

penyimpulan secara deduktif dan induktif. Untuk penelitian hukum nor-


19
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, Cet. Pertama, Mataram University Press, Mataram, 2020,
Hlm. 68.
31

matif biasanya disimpulkan dengan menggunakan metode deduktif yaitu

menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap

permasalahan konkrit yang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 2010. Yusril Versus Criminal Justice System. Makassar :


PT. Umitoha Ukhuwah Grafika.

Chazawi, Adami. 2010. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta : Raja


Grafindo Persada.

Hamzah, Andi. 2010. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Rineka


Cipta.

Hartanti, Evi. 2009. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika.

Haynes, Alison. 1997. Dibalik Wajah Cantik : Fakta Tentang Manfaat Dan
Resiko Kosmetik. Jakarta : Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

Ilyas, Amir. 2012. Asas-Asas Hukum PIdana. Yogyakarta : Rangkang Ed-


ucation.

Kristiyanti, Celia Tri Siwi. 2009. Hukum Perlindungan Kosumen. Jakarta :


Sinar Grafika.

Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta.

Muhaimin. 2020. Metode Penelitian Hukum. Mataram : Mataram Univer-


sity Press.

Nasution, Az. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar.


Jakarta : Diadit Media.

Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : PT.


Gramedia Widiasaran.

Sudarsono. 2007. Kamus Hukum. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Trianggono, Retno Iswari dan Fatma Latifah. 2007.Buku Pegangan Ilmu


Pengetahuan Kosmetik. Jakarta : Gramedia Pustaka.
32

Wasitaatmaja. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta : Unversitas


Indonesia Press

Widnyana, I Made. 2010. Hukum Pidana. Jakarta : Penerbit Fikahati


Aneska.

Zulham. 2016. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana


Pranada Media.
i

Anda mungkin juga menyukai