Pertanggungjawaban Pidana Bagi Orang Yang Menerima Dana Hasil Money Laundering Berdasarkan Uu Tindak Pidana Pencucian Uang
Pertanggungjawaban Pidana Bagi Orang Yang Menerima Dana Hasil Money Laundering Berdasarkan Uu Tindak Pidana Pencucian Uang
Oleh
JUDUL ................................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN
ii
Judul : Pertanggungjawaban Pidana Bagi Orang yang Menerima Dana Hasil
Money Laundering Berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi
Kasus Putusan Nomor 172/Pid/2020/PT BNA)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan selalu mempunyai struktur sosialnya sendiri dan karena itu
mempunyai penampilannya sendiri pula yang ditentukan oleh karakteristik sosial,
politik, ekonomi masyarakat yang bersangkutan.1 Untuk Indonesia (dan negara-
negara berkembang lainnya) maka pembangunan nasional yang sedang
dilaksanakan mempunyai dampaknya pula pada timbul dan berkembangnya
kejahatan. Di Indonesia kejahatan yang berkembang tidak hanya terbatas pada
pengetahuan kejahatan jalanan (street crime) saja akan tetapi sudah timbul juga
tentang kejahatan kerah putih (white collar crime) salah satunya mengenai money
laundering atau pencucian uang.
Menurut sarah N Welling, money laundering2 dimulai dengan adanya
dirty money atau “uang kotor” atau “uang haram”. 3 N Welling menjelaskan bahwa
uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, pertama, melalui Pengelakan Pajak
(tax evasion), yaitu memperoleh uang secara legal atau halal, tetapi jumlah yang
dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit
daripada yang sebenarnya diperoleh, dan yang kedua, memperoleh uang melalui
cara-cara yang melanggar hukum, yaitu teknik-teknik yang biasa dilakukan untuk
hal itu antara lain ialah penjualan obat-obatan terlarang atau perdagangan narkoba
1
Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan
Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 2007), h. 111.
2
Lihat Tim Modul PUSDIKLAT kejaksaan RI, Modul Tindak Pidana Money
Laundering, (Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesa Pusat Pendidikan dan Pelatihan,
2009), h 4
3
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 7.
3
1
secara gelap, perjudian gelap, penyuapan, terorisme, pelacuran, perdagangan
senjata, penyelundupan minuman keras, tembakau dan pornografi, penyelundupan
imigran segelap dan kejahatan kerah putih.
2
Pidana Pencucian Uang. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang disahkan dan di undangkan
pada tanggal 22 Oktober 2010. Dalam ketentuan pasal 1 angka 1 menyatakan
bahwa: “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsu-unsur
tindak pidana sesuai dnegan ketentuan dalam Undang-Undang ini”.8
Dapat disimpulkan bahwa pencucian uang atau money laundering
merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau
organisasi terhadap dirty money atau uang haram, yaitu uang yang
perolehannya berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang tersebut dari otoritas yang
berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana. Selain itu nominal
uang yang dicuci biasanya luar biasa jumlahnya, sehingga dapat
mempengaruhi neraca keuangan nasional maupun global.
Di Indonesia sendiri pembentukan lembaga khusus yang menangani
masalah pencucian uang dibentuk pada tahun 2002 berdasarkan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Jadi secara yuridis
PPATK telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002.9
Perbankan sebagai salah satu sarana paling efektif dalam money
laundering, bagaimana lembaga keuangan ini menjadi aktivitas criminal bagi
kalangan white collar crime perlu disiasati lebih dini. Dalam praktik perbuatan
tindak pidana pencucian uang terdapat beberapa pembagian atau
pengkategorian perbuatan-perbuatan tindak pidana pencucian uang10 yang
disebut sebagai tipologi pencucian uang yang dibagi menjadi beberapa bagian
antara lain ada yang disebut dengan tipologi dasar modus orang ketiga yaitu:
dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan sesuatu perbuatan tertentu
yang diinginkan oleh pelaku pencucian uang. Perbuatan tersebut dapat dengan
menggunakan atau mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain yang bisa
8
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal (1) Ayat (1).
9
Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, Pasal 18 ayat (1).
10
Tb Irma S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, (Jakarta: MQS Publishing. 2006), h.
3
menjadi orang ketiga yang berlainan atau tidak sama dan tidak hanya satu
orang saja.
Orang ketiga tersebut dapat berbuat dan mempunyai kendaraan atas
namanya sebagai contoh adalah mobil tetapi dipakai oleh pelaku pencucian
uang atau mempunyai asset property, perusahaan dan dapat dijalankan oleh
orang ketiga tersebut ataupun oleh pelaku asli, namun namanya memakai
orang ketiga. Dalam proses pencucian uang perbuatan tersebut merupakan
pelapisan (layering).
Dalam melakukan tindak pidana pencucian uang, pelaku utama atau
pelaku aktif umumnya melibatkan pihak lain untuk melancarkan aksinya.
Dikarenakan tujuan utama dari tindakan tersebut adalah menyembunyikan
hasil dari tindak pidana, maka pelaku utama akan melakukan beberapa upaya
yang ditujukan untuk menyamarkan harta kekayaan atau mengubah bentuk
dana melalui beberapa transaksi demi mempersulit pelacakan (audit trail) asal
usul dana tersebut. Pihak-pihak yang menerima harta tersebut dapat
digolongkan sebagai pelaku pasif. Sebagaimana dimuat dalam UU No 8 tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 5 ayat 1, dengan bunyi pasal sebagai berikut:
“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”.11
11
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal (5) Ayat (1) .
4
Dalam Putusan Nomor 172/PID/2020/PT BNA, terdakwa Muhibut Tibri
yang merupakan keponakan dari bos mafia Internasional Murthala Ilyas
(narapidana TPPU Narkotika), warga Peudada yang kini mendekam di penjara
Nusakambangan, dihukum atas keterlibatannya dalam perkara Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU). Terdakwa di tuntut dengan pasal tentang pencucian
uang bahwa terdakwa turut serta melakukan percobaan, pembantuan dan
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang, menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menyamarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya patut diduganya merupakan hasil tindak pidana narkotika dengan
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, yang
dilakukan Terdakwa Muhibut Tibri.
5
Muhibut Tibri dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan
denda sejumlah Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6
(enam) bulan.
B. Rumusan Masalah
Dengan adanya permasalahan diatas, maa rumusan masalah yang dapat
diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Penerima Dana
Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun
2010 ?
2. Bagaimana Penerapan Pertanggungjawaban Pidana dalam Putusan
Nomor 172/PID/2020 PT BNA ?
6
khususnya Pertanggungjawaban Pidana bagi orang yang menerima
Dana Hasil Money Laundering berdasarkan UU Tindak Pidana
Pencucian Uang.
2. Secara Praktis, memberikan kontribusi pemikiran bagi para pihak untuk
mengetahui Pertanggungjawaban Pidana bagi orang yang menerima
Dana Hasil Money Laundering berdasarkan UU Tindak Pidana
Pencucian Uang.
E. Orisinalitas Penelitian
Dalam proses penulisan skripsi ini, penyusun menemukan kemiripan judul
dengan penulis lainnya, yaitu:
7
Pidana Pihak Ketiga dan menggunakan jenis Nomor
Yang Menerima bahan hukum primer, 1089/Pid.B/2011/PNJKT.sel
Harta Kekayaan sekunder dan tersier. sedangkan penulis
Hasil Dari Tindak sedangkan penulis
Pidana Pencucian Cara mendapatkan data menggunakan studi kasus
Uang (Studi Kasus dengan teknik studi Putusan Nomor
Putusan Nomor pustaka yaitu
172/Pid/2020/PT BNA.
1089/Pid.B/2011/ pengumpulan dokumen
-Fokus penelitian dalam
PNJKT.Sel) dari berbagai macam
skripsi tersebut adalah studi
tulisan.
kasus Nomor
1089/Pid.B/2011/PNJKT.sel
sedangkan penulis focus
dalam pertanggungjawaban
pidana bagi orang yang
menerima dana hasil money
laundering berdasarkan UU
Tindak Pidana Pencucian
Uang Studi Kasus Putusan
Nomor 172/Pid/2020/PT
BNA.
3. Alfiah, Teknik pengumpulan Dalam skripsi tersebut
data yang di gunakan didasarkan menurut hukum
Tindak Pidana
adalah studi pustaka pidana islam yang mengacu
Pelaku Pasif Tindak
yaitu pengumpulan pada Al-qur’an dan hadist
Pidana Pencucian
dokumen dari berbagai sedangkan penulis menulis
Uang Menurut
macam tulisan. mengacu pada UU TPPU
Hukum Pidana Islam
Jenis bahan hukum yang Indonesia
dan Undang-Undang
digunakan merupakan Jenis penelitian dalam
Nomor 8 Tahun
bahan hukum primer, skripsi tersebut adalah jenis
2010.
skunder dan tersier. penelitian yang berbentuk
8
Deskriptif Analisis
sedangkan penulis
menggunakan jenis
penelitian Normatif
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau
tidak.12
12
S.R Sianturi (4), Dalam Artikel Tanggung Jawab Pidana Pengemudi Kendaraan Yang
Mengakibatkan Kematian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, oleh: Agio V. Sangki,
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/346 di akses pada tanggal 29 Agustus
2015
13
Ibid, hal. 50
10
dilakukannya. menurut Moelyanto mengatakan bahwa untuk adanya
kemampuan bertanggung jawab harus ada:
a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
buruk, yang sesuai hukum dan melawan hukum
b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, yang pertama
merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu membedakan
antara perbuatan yang diperbolehkan atau tidak, sedangkan yang
kedua merupakan faktor perasaan atau kehendak (volitional
factor) Itu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan
atas mana yang diperbolehkan atau tidak, sebagai konsekuensinya,
maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya
menurut keinsyafannya tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
dia tidak mempunyai kesalahan jadi unsur kesalahan (schuld) erat
hubungannya dengan Toerekenings vat baarrheid diatas.14
14
Moeljatno (2), Op. Cit. hal. 65
15
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Pasal (50).
11
aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman yaitu berupa tindak
pidana tertentu, bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut”. 16
Sedangkan menurut Barda Nawawi Arif, tindak pidana ialah berbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peratuan perundang-
undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam oleh
pidana.17
Pengertian tindak pidana juga di kemukakan oleh Van Hammel18
yang menyatakan bahwa tindak pidana sebagai kelakuan orang yang
merumuskan dalam undang-undang, patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan. Jika melihat pengertian-pengertian ini maka disitu dalam
pokoknya ternyata:
a) Bahwa feit dalam strafbar feith berarti handeling, kelakuan atau
tingkah laku,
b) Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesakahan
orang yang melakukan kesalahan tadi.
16
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka cipta, 2008, hlm, 61
17
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung,2002, hlm 81
18
Moelijanto, loc cit
12
nisi mens sit rest. (an act does not make anperson guilty, unless the mind
is guilty).19
Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan
dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada
kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas
hukum yang tertulis: tindak pidana tanpa ada kesalahan (geen straf zonder
schuld).
Dari berbagai penjelasan para sarjana mengenai pengertian tindak
pidana, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan
dimana apabila perbuatan tersebut dilakuakan/dilanggar, maka akan
diberikan sanksi kepada orang yang melakuakn perbuatan tersebut karena
telah melanggar peraturan yang berlaku.
19
http://www.definisi-pengertian.com/2015/05/definisi-dan-pengertian-tindak-
pidana.html
20
Moeljatno, Asas- Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008. hlm. 64
13
perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir, namun adakalanya
perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat sifat melawan hukum
yang subjektif.
21
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, 2005 hal. 1.
22
Ibid
14
Jenis-jenis atau hukuman, telah ditentukan di dalam pasal 10 KUHP
dan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pidana pokok dan pidana
tambahan. Pidana pokok terdiri dari:
a) Pidana mati;
b) Pidana penjara;
c) Pidana kurungan;
d) Pidana denda.
15
4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
a. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang
Asal usul istilah “pencucian uang” yang berasal dari istilah bahasa
Inggris, berasal dari istilah “money laundering” (ML). Istilah ini sendiri
pertama kali dipakai pada surat kabar dikaitkan dengan pemberitaan
mengenai skandal Watergate di Amerika Serikat pada tahun 1973, yang
melibatkan mantan Presiden Amerika Ricard M Nixon yang dalam
ucapannya mengatakan “I am not a crook”.23
Dalam konteks pengadilan atau hukum, penggunaan istilah money
laundering muncul pertama kali pada tahun 1982 dalam suatu perkara US$
4,255,625.39 (19820) 551 F Supp.341. Sejak saat itu, istilah tersebut telah di
terima dan digunakan secara luas di seluruh dunia. Pada perkembangannya
ternyata kegiatan pencucian uang ini semakin marak, seiring kegiatan haram
yang semakin marak pula seperti perdagangan obat bius, karena itu muncul
istilah narco dollar atau drug money.
Perkembangan selanjutnya, metode pencucian uang ini dilakukan
dengan cara menggunakan institusi perbankan atau pihak perantara finansial
lainnya. Uang haram tersebut dimasukkan ke dalam sistem perbankan atau
sistem penanaman modal lainnya sehingga uang tersebut bercampur baur
dengan uang lainnya, dengan demikian eksistensinya sudah semakin sulit
dilacak dan tidak teridentifikasi lagi.
Industri perbankan merupakan sasaran empuk serta dijadikan sebagai
sumber pendaur-ulangan uang kotor dan sebagai mata rantai nasional dan
internasional dalam proses pencucian uang. Sektor ini, selain menjadi
sasaran utama juga memang merupakan sasaran yang paling efektif untuk
memudahkan pencucian uang. Hal ini disebabkan bank cukup banyak
menawarkan jasa-jasa dan instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul suatu dana. Salah satu kasus
23
Ferry Aries Suranta, Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya Praktik Money
Laundering, Gramata Publishing, Jakarta, 2010, hlm. 52.
16
yang paling populer adalah kasus Bank of Credit and Commerece
International (BCCI).
Berdasarkan statistik IMF,24 hasil kejahatan yang di cuci melalui bank
di perkirakan hamper mencapai nilai sebesar US$ 1.500 milliar per tahun.
Sementara itu, menurut associated press kegiatan pencucian uang hasil
perdagangan obat bius, prostitusi, korupsi, dan kejahatan lainnya sebagian
besar diproses melalui perbankan untuk kemudian di konversikan menjadi
dana legal dan di perkirakan kegiatan ini mampu menyerap nilai US$ 600
milliar per tahun, ini berarti sama dengan 5% GDP seluruh dunia.
24
Yunus Husein, “Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara Kita”, Dalam
Pengembangan Perbankan, Mei-Juni 2001, hlm. 31-40.
25
Atmasamita, Op,cit,. hlm. 60.
26
Ibid
17
ditentukan mengenai kehadirannya, peranannya dan aktivitasnya untuk
memberantas pencucian uang. Perubahan terakhir dari Undang-undang
Pencucian Uang ini adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencu cian Uang. Dalam
pasal 2 Undang-undang tersebut, harta kekayaan yang berasal dari kejahatan
ditentukan secara limitatif, yaitu sebanyak 26 kejahatan.
27
Atmasasmita, Loc, cit.
28
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal (77)
29
Ibid, hlm. 60-61.
30
Ibid, hlm. 61.
18
Masalah praktik pelaksanaan ketentuan tersebut adalah ketentuan
tersebut belum dilengkapi dengan ketentuan hukum acara pembalikan beban
pembuktian. Prof. Dr. Romly Atmasasmita , S.H. , LL.M. berpendapat
bahwa: Istilah, “pembalikan beban pembuktian” masih menganut pemikiran
bahwa seseorang tidak diwajibkan untuk membuktikan kesalahannya,
melainkan kewajiban berada pada penuntut umum. Namun demikian,
pengertian istilah “pembuktian terbalik” atau reversal burden of proof
memang dilandaskan pada pemikiran bahwa, setiap orang berhak
memperoleh dan memiliki harta kekayaan yang diperoleh secara sah, tidak
untuk sebaliknya.31
31
Ibid.
32
Ibid, hlm. 61-62
19
provide storage for bank-notes throught a safe-deposit facility. This
activities are commonly refered to as money laundering”.33
2) Menurut Neil Jensen
Money laundering diartikan sebagai proses perubahan keuntungan dari
kegiatan-kegitan yang melawan hukum menjadi asset keuangan dan
terlihat seolah-olah diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat legal
(Neil Jensen et al., 1995).34
3) Menurut Prof. Giavanoli
Pencucian uang diartikan suatu proses dengan mana asset-aset pelaku,
terutama aset tunai yang di peroleh dari suatu tindak pidana
dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga asset-aset tersebut seolah-
olah berasal dari sumber yang sah.35
4) Menurut Dr. Pande Silalahi
Pencucian uang adalah perbutan dengan sengaja melakukan penyetoran
atau pemindahan kekayaan (uang) yang berasal dari kejahatn atau dari
suatu tindak pidana dengan maksud menyembunyikan atau
mengaburkan asal usul dan kekayan tersebut. Dengan kata lain,
pencucian uang adalah suatu proses mentransformasikan uang haram
menjadi uang halal.
5) Menurut UU RI No. 25 Tahun 2003
Menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangakan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan,
atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.36
6) Menurut UU RI No.8 Tahun 2010
33
Ibid hlm. 6
34
Ibid.
35
Suranta, Op,cit., hlm. 45.
36
Ibid
20
Menyebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang ini, dengan hasil tindak pidana asal sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1).37
21
c) Penyelundupan minuman keras, tembakau dan pornografi (smuggling
of contraband alcohol, tobacco pornography),
d) Penyuapan (bribery),
e) Pelacuran (prostitution).
f) Perdagangan senjata (arms trafficking),
g) Terorisme (terrorism),
h) Penyelundupan imigran gelap (people smuggling),
i) Kejahatan kerah putih (white collar crime).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian memiliki peran penting dalam sebuah penelitian,
karena dapat digunakan sebagai pedoman guna mempermudah dalam
mempelajari, menganalisis permasalahan yang diteliti. Maka sesuai dengan judul
dan rumusan masalah, jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
42
Ibid.
43
Ibid.
22
penelitian hukum Normatif. Penelitian hukum Normatif adalah penelitian yang
mencakup asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian
terhadap sinkronisasi hukum, dan penelitian terhadap sejarah hukum, khususnya
yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang menerima
dana hasil money laundering berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) metode pendekatan yaitu:
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Adalah pendekatan yang mengkaji tentang asas-asas hukum, norma-
norma hukum dan peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari
undang-undang, dokumen, buku-buku, dan sumber sumber resmi yang
berkaitan dengan penelitian ini.
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual beranjak dari perundang-undangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Dengan
mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu
hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang
relevan dengan isu-isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti
dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang
dihadapi.
c. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus
yang berkaitan dengan isu hukum yang di hadapi. Kasus-kasus yang di
telaah merupakan kasus yang memperoleh putusan pengadilan berkekuatan
hukum tetap (yurisprudensi). Hal pokok yag di kaji pada setiap putusan
tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan
sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu
hukum yang dihadapi.
23
3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum
24
Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum
berupa studi dokumen yaitu berupa teknik mengumpulan bahan hukum yang
tidak ditunjukkan langsung kepada subyek penelitian. Dokumen yang diteliti
dapat berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi, bisa berupa buku harian,
surat pribadi, laporan, notulen rapat, catatan kasus (case record) dalam
pekerjaan sosial dan dokumen lainnya.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
Tim Modul PUSDIKLAT kejaksaan RI,2009, Modul Tindak Pidana Money
Laundering, Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesa Pusat
Pendidikan dan Pelatihan.
Yenti Garnasih, 2009, Kriminalisasi Pencucian Uang, money laundering,
Jakarta: Universitas Indonesia fakultas Hukum Pascasarjana.
Yunus Husein, 2008, Negeri Sang Pencuci Uang, Jakarta: Pustaka Juanda
Tigalima.
Yunus Husein, 2001, “Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara
Kita”, Dalam Pengembangan Perbankan.
B. Peraturan Perundang-Undangan
C. Sumber Lain
http://www.definisi-pengertian.com/2015/05/definisi-dan-pengertian-tindak-
pidana.html di akses pada tanggal 16 Juni 2022
27
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/346 di akses
pada tanggal 21 Juni 2022.
28