Anda di halaman 1dari 30

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI ORANG YANG

MENERIMA DANA HASIL MONEY LAUNDERING BERDASARKAN UU


TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (STUDI KASUS PUTUSAN
NOMOR 172/PID/2020/PT BNA)

Oleh

CINNDY ESRA PARAMITHA P.


D1A020121

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Sudiarto, SH., M.Hum.

Metode Penelitian Hukum A2

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2023
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 6
D. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 7
E. Orisinalitas Penelitian ............................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Umum Tentang Pertanggungjawaban Pidana ........................... 9


2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ................................................. 11
3. Tinjauan Umum Tentang Pidana dan Pemidanaan .................................. 14
4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ...................... 16

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis Penelitian ......................................................................................... 22


2. Metode Pendekatan .................................................................................. 23
3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum ............................................................. 24
4. Teknik Memperoleh Bahan Hukum ......................................................... 25
5. Analisis Bahan Hukum ............................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 26

ii
Judul : Pertanggungjawaban Pidana Bagi Orang yang Menerima Dana Hasil
Money Laundering Berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi
Kasus Putusan Nomor 172/Pid/2020/PT BNA)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan selalu mempunyai struktur sosialnya sendiri dan karena itu
mempunyai penampilannya sendiri pula yang ditentukan oleh karakteristik sosial,
politik, ekonomi masyarakat yang bersangkutan.1 Untuk Indonesia (dan negara-
negara berkembang lainnya) maka pembangunan nasional yang sedang
dilaksanakan mempunyai dampaknya pula pada timbul dan berkembangnya
kejahatan. Di Indonesia kejahatan yang berkembang tidak hanya terbatas pada
pengetahuan kejahatan jalanan (street crime) saja akan tetapi sudah timbul juga
tentang kejahatan kerah putih (white collar crime) salah satunya mengenai money
laundering atau pencucian uang.
Menurut sarah N Welling, money laundering2 dimulai dengan adanya
dirty money atau “uang kotor” atau “uang haram”. 3 N Welling menjelaskan bahwa
uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, pertama, melalui Pengelakan Pajak
(tax evasion), yaitu memperoleh uang secara legal atau halal, tetapi jumlah yang
dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit
daripada yang sebenarnya diperoleh, dan yang kedua, memperoleh uang melalui
cara-cara yang melanggar hukum, yaitu teknik-teknik yang biasa dilakukan untuk
hal itu antara lain ialah penjualan obat-obatan terlarang atau perdagangan narkoba

1
Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan
Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 2007), h. 111.
2
Lihat Tim Modul PUSDIKLAT kejaksaan RI, Modul Tindak Pidana Money
Laundering, (Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesa Pusat Pendidikan dan Pelatihan,
2009), h 4
3
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 7.
3

1
secara gelap, perjudian gelap, penyuapan, terorisme, pelacuran, perdagangan
senjata, penyelundupan minuman keras, tembakau dan pornografi, penyelundupan
imigran segelap dan kejahatan kerah putih.

Dalam perbuatan tax evasion, asal-usul semula dari uang yang


bersangkutan adalah halal tetapi uang tersebut kemudian menjadi haram karena
tidak dilaporkan kepada otoritas pajak. Sedangkan pada cara yang kedua, uang
tersebut sejak semula sudah merupakan uang haram karena perolehannya
melalui cara-cara yang illegal.4

Perbuatan seperti ini semakin meningkat manakala para pelaku


menggunakan cara-cara yang lebih canggih (sophisticated crimes) dengan
memanfaatkan sarana perbankan ataupun non perbankan yang juga menggunakan
teknologi tinggi yang memunculkan fenomena cyber laundering.5 Berdasarkan hal
di atas, Indonesia telah melakukan kriminalisasi pencucian uang 6 yaitu dengan
diundangkannya UU Nomor 25 Tahun 2003.

Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dalam Pasal 1 angka


1 didefinisikan sebagai berikut:
“Perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, menjalankan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang
diketahuimya atau patut di duga merupakan tindak hasil pidana dengan
maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah”.7

UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak


Pidana Pencucian Uang perubahan atas UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak
4
Adrian Sutedi, S.H., M.H , Tindak Pidana Pencucian Uang, Cetakan Pertama, Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2008, hlm. 43
55
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 53.
6
Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (money laundering), (Jakarta:
Universitas Indonesia fakultas Hukum Pascasarjana, 2009). Hal, 64.
7
Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, Pasal (1) Ayat (1).

2
Pidana Pencucian Uang. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang disahkan dan di undangkan
pada tanggal 22 Oktober 2010. Dalam ketentuan pasal 1 angka 1 menyatakan
bahwa: “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsu-unsur
tindak pidana sesuai dnegan ketentuan dalam Undang-Undang ini”.8
Dapat disimpulkan bahwa pencucian uang atau money laundering
merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau
organisasi terhadap dirty money atau uang haram, yaitu uang yang
perolehannya berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang tersebut dari otoritas yang
berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana. Selain itu nominal
uang yang dicuci biasanya luar biasa jumlahnya, sehingga dapat
mempengaruhi neraca keuangan nasional maupun global.
Di Indonesia sendiri pembentukan lembaga khusus yang menangani
masalah pencucian uang dibentuk pada tahun 2002 berdasarkan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Jadi secara yuridis
PPATK telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002.9
Perbankan sebagai salah satu sarana paling efektif dalam money
laundering, bagaimana lembaga keuangan ini menjadi aktivitas criminal bagi
kalangan white collar crime perlu disiasati lebih dini. Dalam praktik perbuatan
tindak pidana pencucian uang terdapat beberapa pembagian atau
pengkategorian perbuatan-perbuatan tindak pidana pencucian uang10 yang
disebut sebagai tipologi pencucian uang yang dibagi menjadi beberapa bagian
antara lain ada yang disebut dengan tipologi dasar modus orang ketiga yaitu:
dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan sesuatu perbuatan tertentu
yang diinginkan oleh pelaku pencucian uang. Perbuatan tersebut dapat dengan
menggunakan atau mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain yang bisa
8
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal (1) Ayat (1).
9
Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, Pasal 18 ayat (1).
10
Tb Irma S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, (Jakarta: MQS Publishing. 2006), h.

3
menjadi orang ketiga yang berlainan atau tidak sama dan tidak hanya satu
orang saja.
Orang ketiga tersebut dapat berbuat dan mempunyai kendaraan atas
namanya sebagai contoh adalah mobil tetapi dipakai oleh pelaku pencucian
uang atau mempunyai asset property, perusahaan dan dapat dijalankan oleh
orang ketiga tersebut ataupun oleh pelaku asli, namun namanya memakai
orang ketiga. Dalam proses pencucian uang perbuatan tersebut merupakan
pelapisan (layering).
Dalam melakukan tindak pidana pencucian uang, pelaku utama atau
pelaku aktif umumnya melibatkan pihak lain untuk melancarkan aksinya.
Dikarenakan tujuan utama dari tindakan tersebut adalah menyembunyikan
hasil dari tindak pidana, maka pelaku utama akan melakukan beberapa upaya
yang ditujukan untuk menyamarkan harta kekayaan atau mengubah bentuk
dana melalui beberapa transaksi demi mempersulit pelacakan (audit trail) asal
usul dana tersebut. Pihak-pihak yang menerima harta tersebut dapat
digolongkan sebagai pelaku pasif. Sebagaimana dimuat dalam UU No 8 tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 5 ayat 1, dengan bunyi pasal sebagai berikut:
“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”.11

Dalam konteks aturan tersebut, seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku


pasif apabila memenuhi unsur mengetahui dan patut menduga bahwa dana
tersebut berasal dari hasil kejahatan atau mengetahui tentang atau maksud untuk
melakukan transaksi.

11
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal (5) Ayat (1) .

4
Dalam Putusan Nomor 172/PID/2020/PT BNA, terdakwa Muhibut Tibri
yang merupakan keponakan dari bos mafia Internasional Murthala Ilyas
(narapidana TPPU Narkotika), warga Peudada yang kini mendekam di penjara
Nusakambangan, dihukum atas keterlibatannya dalam perkara Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU). Terdakwa di tuntut dengan pasal tentang pencucian
uang bahwa terdakwa turut serta melakukan percobaan, pembantuan dan
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang, menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menyamarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya patut diduganya merupakan hasil tindak pidana narkotika dengan
tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, yang
dilakukan Terdakwa Muhibut Tibri.

Dalam Putusan Nomor 222/Pid.Sus/2020/PN Bir yang di ucapkan dalam


sidang terbuka untuk umum pada hari Rabu 3 Juni 2020 oleh hakim ketua dengan
di damping oleh hakim anggota, terdakwa Muhibut Tibri dinyatakan terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan cara
menempatkan, mentransfer atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana narkotika”, dan
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Muhibut Tibri dengan pidana penjara
selama 6 (enam) tahun dan denda sejumlah Rp.2.000.000.000,- (dua milyar
rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 1 (satu) tahun. Kemudian, terdakwa mengajukan
permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh, dalam banding tersebut
hakim mengabulkan permohonannya dan penetapan perubahannya tanggal 26
0ktober 2020. Sehingga, dalam Putusan Nomor 172/PID/2020 PT BNA yang
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal 27 Oktober
2020, menyatakan bahwa terdakwa Muhibu t Tibri telah terbukti secra sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencucian Uang” sebagaimana
dalam dakwaan lebih subsidair, dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa

5
Muhibut Tibri dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan
denda sejumlah Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6
(enam) bulan.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin melakukan penelitian


dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Orang Yang Menerima Dana
Hasil Money Laundering Berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi
Kasus Putusan Nomor 172/PID/2022/PT BNA)”. Selain itu juga penulis ingin
mengetahui bagaimana Penerapan Pertanggungjawaban Pidana dalam Putusan
Nomor 172/PID/2020 PT BNA. Sehinnga penulis menentukan rumusan masalah
sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah
Dengan adanya permasalahan diatas, maa rumusan masalah yang dapat
diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Penerima Dana
Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun
2010 ?
2. Bagaimana Penerapan Pertanggungjawaban Pidana dalam Putusan
Nomor 172/PID/2020 PT BNA ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji dan mengetahui Pertanggungjawaban Pidana Bagi
Pelaku Penerima Dana Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010.
2. Untuk Mengetahui dan Mengkaji Penerapan Pidana dalam Putusan
Nomor 172/PID/2020/PT BNA.
Manfaat penelitian ini meliputi:
1. Secara Teoritis, penelitian ini memberikan manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya, dan pengetahuan Hukum pada

6
khususnya Pertanggungjawaban Pidana bagi orang yang menerima
Dana Hasil Money Laundering berdasarkan UU Tindak Pidana
Pencucian Uang.
2. Secara Praktis, memberikan kontribusi pemikiran bagi para pihak untuk
mengetahui Pertanggungjawaban Pidana bagi orang yang menerima
Dana Hasil Money Laundering berdasarkan UU Tindak Pidana
Pencucian Uang.

D. Ruang Lingkup Penelitian


Agar penelitian ini berjalan dengan tujuan dan dapat mengkaji secara
mendalam tentang subtansi keilmuan dari suatu penelitian maka di perlukan
pembatasan terhadap ruang lingkup penelitian, yaitu menjelaskan tentang
Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Penerima Dana Hasil Tindak Pidana
Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010 dan menjelaskan tentang
Penerapan Pidana dalam Putusan Nomor 172/PID/2020 PT BNA.

E. Orisinalitas Penelitian
Dalam proses penulisan skripsi ini, penyusun menemukan kemiripan judul
dengan penulis lainnya, yaitu:

No. Nama dan Judul Persamaan Perbedaan


1. Periansyah Objek penelitaiannya Dalam skripsi tersebut
adalah orang ketiga menggunakan tidak
Pertanggungjawaban sebagai pelaku tindak menggunakan studi kasus
Pidana Pelaku pidana penerima uang sedangkan penulis
Tindak Pidana hasil money laundering. menggunakan studi putusan
Pencucian Uang Nomor 172/PID/2020/PT
Pasif. BNA.

2. Zahrah Sumber hukum yang di Studi kasus yang digunakan


gunakan adalah dalam skripsi tersebut
Pertanggungjawaban penelitian kepustakaan, menggunakan studi kasus

7
Pidana Pihak Ketiga dan menggunakan jenis Nomor
Yang Menerima bahan hukum primer, 1089/Pid.B/2011/PNJKT.sel
Harta Kekayaan sekunder dan tersier. sedangkan penulis
Hasil Dari Tindak sedangkan penulis
Pidana Pencucian Cara mendapatkan data menggunakan studi kasus
Uang (Studi Kasus dengan teknik studi Putusan Nomor
Putusan Nomor pustaka yaitu
172/Pid/2020/PT BNA.
1089/Pid.B/2011/ pengumpulan dokumen
-Fokus penelitian dalam
PNJKT.Sel) dari berbagai macam
skripsi tersebut adalah studi
tulisan.
kasus Nomor
1089/Pid.B/2011/PNJKT.sel
sedangkan penulis focus
dalam pertanggungjawaban
pidana bagi orang yang
menerima dana hasil money
laundering berdasarkan UU
Tindak Pidana Pencucian
Uang Studi Kasus Putusan
Nomor 172/Pid/2020/PT
BNA.
3. Alfiah, Teknik pengumpulan Dalam skripsi tersebut
data yang di gunakan didasarkan menurut hukum
Tindak Pidana
adalah studi pustaka pidana islam yang mengacu
Pelaku Pasif Tindak
yaitu pengumpulan pada Al-qur’an dan hadist
Pidana Pencucian
dokumen dari berbagai sedangkan penulis menulis
Uang Menurut
macam tulisan. mengacu pada UU TPPU
Hukum Pidana Islam
Jenis bahan hukum yang Indonesia
dan Undang-Undang
digunakan merupakan Jenis penelitian dalam
Nomor 8 Tahun
bahan hukum primer, skripsi tersebut adalah jenis
2010.
skunder dan tersier. penelitian yang berbentuk

8
Deskriptif Analisis
sedangkan penulis
menggunakan jenis
penelitian Normatif

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Umum Tentang Pertanggungjawaban Pidana


a. Pengertian Tanggungjawab Pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan
(culpabilitas) yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas
kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan
dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan
untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat Menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membiarkan rasa bersalah pada
terpidana.
S.R. Sianturi mengatakan bahwa dalam bahasa asing
Pertanggungjawaban pidana disebut sebagai toerekenbaarheid, criminal
responsibility, criminal liability. Diutarakan bahwa Pertanggungjawaban
pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seorang pelaku/terdakwa

9
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau
tidak.12

b. Syarat-Syarat Pertanggungjawaban Pidana


Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu
mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang
dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-
undang.
Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan
dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan
tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan
sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya, seseorang yang
mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.
Berdasarkan hal tersebut maka Pertanggungjawaban pidana atau
kesalahan menurut hukum pidana terdiri atas tiga syarat, yaitu:13

a) Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan


dari si pembuat,
b) Adanya perbuatan melawan hukum yaitu sikap psikis pelaku yang
terkait dengan kelakuannya yaitu sengaja dan kurang hati-hati atau
lalai,
c) Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan dan
jawaban pidana bagi si pembuat.
Dalam penegakan hukum pidana maka pelaku tindak pidana wajib
bertanggung jawab perbuatan yang dilakukan sesuai dengan perbuatan yang

12
S.R Sianturi (4), Dalam Artikel Tanggung Jawab Pidana Pengemudi Kendaraan Yang
Mengakibatkan Kematian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, oleh: Agio V. Sangki,
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/346 di akses pada tanggal 29 Agustus
2015
13
Ibid, hal. 50

10
dilakukannya. menurut Moelyanto mengatakan bahwa untuk adanya
kemampuan bertanggung jawab harus ada:
a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
buruk, yang sesuai hukum dan melawan hukum
b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, yang pertama
merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu membedakan
antara perbuatan yang diperbolehkan atau tidak, sedangkan yang
kedua merupakan faktor perasaan atau kehendak (volitional
factor) Itu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan
atas mana yang diperbolehkan atau tidak, sebagai konsekuensinya,
maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya
menurut keinsyafannya tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
dia tidak mempunyai kesalahan jadi unsur kesalahan (schuld) erat
hubungannya dengan Toerekenings vat baarrheid diatas.14

Berkaitan dengan dipertanggungjawabkan perbuatan pidana


seseorang, di dalam kuhp terdapat alasan pembenar dan pemaaf. Dalam pasal
50 disebutkan bahwa:“orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang tidak boleh dipidana”.15

2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana


a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah istilah yang sering di gunakan dalam
hukum pidana. Istilah ini dikenal semenjak seringkali di pakai oleh
instansi kehakiman. Dalam perundang-undangan istilah tindak pidana
sering di artikan sebagai perbuatan pidana, yang dalam bahasa Indonesia
disebut dengan strafbaar feit.
Menurut Moeljatno dalam bukunya, asas-asas hukum pidana yang
di maksud tindak pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu

14
Moeljatno (2), Op. Cit. hal. 65
15
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Pasal (50).

11
aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman yaitu berupa tindak
pidana tertentu, bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut”. 16
Sedangkan menurut Barda Nawawi Arif, tindak pidana ialah berbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peratuan perundang-
undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam oleh
pidana.17
Pengertian tindak pidana juga di kemukakan oleh Van Hammel18
yang menyatakan bahwa tindak pidana sebagai kelakuan orang yang
merumuskan dalam undang-undang, patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan. Jika melihat pengertian-pengertian ini maka disitu dalam
pokoknya ternyata:
a) Bahwa feit dalam strafbar feith berarti handeling, kelakuan atau
tingkah laku,
b) Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesakahan
orang yang melakukan kesalahan tadi.

Mengenai yang pertama, ini berbeda dengan pengertian perbuatan


dalam perbuatan pidana. Perbuatan adalah kelakuan + kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan atau dengan pendek = kelakuan + akibat dan
bukan kelakuan saja.
Perbuatan pidana ini kiranya dapat disamakan dengan istilah
Inggris criminal act. Pertama, criminal act juga berarti kelakuan dan
akibat atau dengan kata lain akibat dari suatu kelakuan yang dilarang
hukum. Kedua, karena criminal act ini juga dipisahkan dari
pertanggungjawaban pidana pidana yang dinamakan criminal liability atau
responsibility. Untuk adanya criminal liability selain daripada melakukan
criminal act (perbuatan pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahn
(gulit). Hal tersebut dinyatakan dalam bahsa latin: actus non facit reum,

16
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka cipta, 2008, hlm, 61
17
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung,2002, hlm 81

18
Moelijanto, loc cit

12
nisi mens sit rest. (an act does not make anperson guilty, unless the mind
is guilty).19
Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan
dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada
kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas
hukum yang tertulis: tindak pidana tanpa ada kesalahan (geen straf zonder
schuld).
Dari berbagai penjelasan para sarjana mengenai pengertian tindak
pidana, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan
dimana apabila perbuatan tersebut dilakuakan/dilanggar, maka akan
diberikan sanksi kepada orang yang melakuakn perbuatan tersebut karena
telah melanggar peraturan yang berlaku.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-


unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat
yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam
alam lahir (dunia), disamping.
Biasanya dengan adanya perbuatan tertentu seperti dirumuskan
dengan unsur-unsur diatas maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu
sudah tampak dengan wajar. Sifat yang demikian ini, ialah sifat melawan
hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau
unsur tersendiri. Unsur sifat melawan hukum yang subjektif.20
Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak
terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan
tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana ternyata di atas,
perbuatan tadi sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga
tidak perlu untuk dinyatakan tersendiri. Akhirnya ditekankan, meskipun

19
http://www.definisi-pengertian.com/2015/05/definisi-dan-pengertian-tindak-
pidana.html
20
Moeljatno, Asas- Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008. hlm. 64

13
perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir, namun adakalanya
perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat sifat melawan hukum
yang subjektif.

3. Tinjauan Umum Tentang Pidana dan Pemidanaan


a. Pengertian Pidana dan Pemidanaan
Pidana dan pemidanaan adalah dua hal yang saling berkaitan erat,
berbicara tentang pemidanaan, tidak terlepas dari pengertian tentang pidana.
definisi tentang pengertian pidana tertuang dalam banyak buku, salah satunya
dalam buku tulisan an Muladi dan Barda Nawawi arief menjelaskan
pengertian pidana adalah: “Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang
pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang
sengaja dikenakan/ dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah
melakukan suatu tindak pidana”.21
Muladi dan Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa pidana
mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri sebagai berikut:
a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat lain yang tidak
menyenangkan,
b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan
yang mempunyai kekuasaan (oleh orang yang berwenang),
c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan
tindak pidana menurut undang-undang.22 .
Pidana atau hukuman ditunjukkan kepada pribadi orang yang
melakukan pelanggaran pidana. hukuman atau sanksi yang dianut dalam
hukum pidana membedakan hukum pidana dengan hukum yang lain. juga
ditunjukkan untuk memelihara keamanan, ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

21
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, 2005 hal. 1.
22
Ibid

14
Jenis-jenis atau hukuman, telah ditentukan di dalam pasal 10 KUHP
dan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pidana pokok dan pidana
tambahan. Pidana pokok terdiri dari:
a) Pidana mati;
b) Pidana penjara;
c) Pidana kurungan;
d) Pidana denda.

Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:


a) Pidana pencabutan hak-hak tertentu;
b) Pidana perampasan barang-barang tertentu;
c) Pidana pengumuman putusan hakim.

Tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (Prevention) dan retribusi


(Retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa
pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka
mengingat kejahatan kejahatan yang dilakukannya, Sanksi yang tepat akan
mencegah pada kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan
mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. Pemidanaan adalah suatu
proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/ sanksi terhadap orang yang
telah melakukan tindak kejahatan (rechtdelict) maupun pelanggaran
(wetsdelict).

Menurut P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, pada dasarnya


terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu
pemidanaan, yaitu:
a) Untuk memperbaiki pribadi dan penjahat itu sendiri,
b) Untuk membuat prang menjadi jera,
c) Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan
kejahatan lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah
tidak dapat diperbaiki lagi.

15
4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
a. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang
Asal usul istilah “pencucian uang” yang berasal dari istilah bahasa
Inggris, berasal dari istilah “money laundering” (ML). Istilah ini sendiri
pertama kali dipakai pada surat kabar dikaitkan dengan pemberitaan
mengenai skandal Watergate di Amerika Serikat pada tahun 1973, yang
melibatkan mantan Presiden Amerika Ricard M Nixon yang dalam
ucapannya mengatakan “I am not a crook”.23
Dalam konteks pengadilan atau hukum, penggunaan istilah money
laundering muncul pertama kali pada tahun 1982 dalam suatu perkara US$
4,255,625.39 (19820) 551 F Supp.341. Sejak saat itu, istilah tersebut telah di
terima dan digunakan secara luas di seluruh dunia. Pada perkembangannya
ternyata kegiatan pencucian uang ini semakin marak, seiring kegiatan haram
yang semakin marak pula seperti perdagangan obat bius, karena itu muncul
istilah narco dollar atau drug money.
Perkembangan selanjutnya, metode pencucian uang ini dilakukan
dengan cara menggunakan institusi perbankan atau pihak perantara finansial
lainnya. Uang haram tersebut dimasukkan ke dalam sistem perbankan atau
sistem penanaman modal lainnya sehingga uang tersebut bercampur baur
dengan uang lainnya, dengan demikian eksistensinya sudah semakin sulit
dilacak dan tidak teridentifikasi lagi.
Industri perbankan merupakan sasaran empuk serta dijadikan sebagai
sumber pendaur-ulangan uang kotor dan sebagai mata rantai nasional dan
internasional dalam proses pencucian uang. Sektor ini, selain menjadi
sasaran utama juga memang merupakan sasaran yang paling efektif untuk
memudahkan pencucian uang. Hal ini disebabkan bank cukup banyak
menawarkan jasa-jasa dan instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul suatu dana. Salah satu kasus

23
Ferry Aries Suranta, Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya Praktik Money
Laundering, Gramata Publishing, Jakarta, 2010, hlm. 52.

16
yang paling populer adalah kasus Bank of Credit and Commerece
International (BCCI).
Berdasarkan statistik IMF,24 hasil kejahatan yang di cuci melalui bank
di perkirakan hamper mencapai nilai sebesar US$ 1.500 milliar per tahun.
Sementara itu, menurut associated press kegiatan pencucian uang hasil
perdagangan obat bius, prostitusi, korupsi, dan kejahatan lainnya sebagian
besar diproses melalui perbankan untuk kemudian di konversikan menjadi
dana legal dan di perkirakan kegiatan ini mampu menyerap nilai US$ 600
milliar per tahun, ini berarti sama dengan 5% GDP seluruh dunia.

b. Sejarah Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia


Istilah “pencucian uang” secara umum, adalah suatu perbuatan yang
bertujuan untuk “mencuci atau membersihkan” asal usul perolehan harta
kekayaan seseorang dari suatu tindak pidana sehingga harta kekayaan
berubah status, menjadi alat pembayaran yang sah.25

Modus operandi ini telah dicegah dengan kriminalisasi pencucian


uang sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, terakhir
Undang-Undang Republik Indonesian Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.26

Banyak sistem penanganan kejahatan pencucian uang ini di proses


dengan hukum acara pidana yang bersifat khusus , karena memang asas asas
hukumnya tidak sedikit yang bersifat lex specialis. Di dalam UU ini,
dijumpai beberapa prinsip hukum yang menyimpang dari hukum formil
(KUHAP) maupun materil (KUHP dan UU tersebar).

Disadari betapa pentingnya peranan menangani secara khusus


pencucian uang, yang bersifat bebas yakni PPATK. Maka dalam UU ini

24
Yunus Husein, “Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara Kita”, Dalam
Pengembangan Perbankan, Mei-Juni 2001, hlm. 31-40.
25
Atmasamita, Op,cit,. hlm. 60.
26
Ibid

17
ditentukan mengenai kehadirannya, peranannya dan aktivitasnya untuk
memberantas pencucian uang. Perubahan terakhir dari Undang-undang
Pencucian Uang ini adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencu cian Uang. Dalam
pasal 2 Undang-undang tersebut, harta kekayaan yang berasal dari kejahatan
ditentukan secara limitatif, yaitu sebanyak 26 kejahatan.

Yurisdiksi undang-undang ini tidak terbatas pada wilayah teritorial


Indonesia, dilakukan oleh warga negara Indonesia atau warga negara asing
(WNA) dan berdampak terhadap ketertiban dan keamanan negara Indonesia
atau sebagai pelaku peserta (penyertaan).27

Salah satu ketentuan yang strategis dan baru di dalam Undang-


Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, adalah prosedur perampasan dan penyitaan
berdasarkan hukum pidana (Criminal Forfeiture) dan diikuti dengan
pembalikan beban pembuktian sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 77
sebagai berikut:“Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan,
terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan
hasil tindak pidana”.28

Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk


membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana.
Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. 29Berdasarkan
ketentuan tersebut, penegakan hukum dalam perkara tindak pidana
pencucian uang telah menganut asas pembalikan behan pembuktian terbalik
bagi seseorang dalam status sebagai terdakwa dimuka sidang pengadilan.30

27
Atmasasmita, Loc, cit.

28
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal (77)

29
Ibid, hlm. 60-61.
30
Ibid, hlm. 61.

18
Masalah praktik pelaksanaan ketentuan tersebut adalah ketentuan
tersebut belum dilengkapi dengan ketentuan hukum acara pembalikan beban
pembuktian. Prof. Dr. Romly Atmasasmita , S.H. , LL.M. berpendapat
bahwa: Istilah, “pembalikan beban pembuktian” masih menganut pemikiran
bahwa seseorang tidak diwajibkan untuk membuktikan kesalahannya,
melainkan kewajiban berada pada penuntut umum. Namun demikian,
pengertian istilah “pembuktian terbalik” atau reversal burden of proof
memang dilandaskan pada pemikiran bahwa, setiap orang berhak
memperoleh dan memiliki harta kekayaan yang diperoleh secara sah, tidak
untuk sebaliknya.31

Model pembuktian terbalik menuntut agar setiap orang yang memiliki


harta kekayaan yang diduga berasal dari kejahatan wajib membuktikan asal
usul perolehan kekayaannya. Atas dasar pemikiran ini maka orang yang
bersangkutan berkewajiban membuktikan asal usul harta kekayaan yang
diperolehnya yang bukan berasal dari tindak pidana. Pembuktian terbalik
atas harta kekayuan tersebut tidak ditujukan untuk membuktikan
“kesalahan” yang bersangkutan melainkan untuk membuktikan “keabsahan
hak kepemilikan” terdakwa.32

c. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang


Definisi-definisi dari Tindak Pidana Pencucian Uang sangatlah
beragam yang di kemukakan oleh beberapa ahli dan sumber-sumber anatara
lain sebagai berikut:
1) Basle Committee
Pada tahun 1988 mengeluarkan suatu pernyataan yang kiranya dapat di
pandang mencakup beberapa elemen penting dari money launderin,
dikatakan demikian: “Criminal and their associates use the financial
system to make payment and transfer and found from one account to
another, to hide the source and beneficial ownerhip of money and to

31
Ibid.
32
Ibid, hlm. 61-62

19
provide storage for bank-notes throught a safe-deposit facility. This
activities are commonly refered to as money laundering”.33
2) Menurut Neil Jensen
Money laundering diartikan sebagai proses perubahan keuntungan dari
kegiatan-kegitan yang melawan hukum menjadi asset keuangan dan
terlihat seolah-olah diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat legal
(Neil Jensen et al., 1995).34
3) Menurut Prof. Giavanoli
Pencucian uang diartikan suatu proses dengan mana asset-aset pelaku,
terutama aset tunai yang di peroleh dari suatu tindak pidana
dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga asset-aset tersebut seolah-
olah berasal dari sumber yang sah.35
4) Menurut Dr. Pande Silalahi
Pencucian uang adalah perbutan dengan sengaja melakukan penyetoran
atau pemindahan kekayaan (uang) yang berasal dari kejahatn atau dari
suatu tindak pidana dengan maksud menyembunyikan atau
mengaburkan asal usul dan kekayan tersebut. Dengan kata lain,
pencucian uang adalah suatu proses mentransformasikan uang haram
menjadi uang halal.
5) Menurut UU RI No. 25 Tahun 2003
Menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangakan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan,
atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.36
6) Menurut UU RI No.8 Tahun 2010

33
Ibid hlm. 6
34
Ibid.
35
Suranta, Op,cit., hlm. 45.
36
Ibid

20
Menyebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang ini, dengan hasil tindak pidana asal sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1).37

d. Modus Kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang


Menurut Reny Sjahdeini, money laundering di mulai dengan
perbuatan secara memperoleh uang kotor (dirty money). Ada dua cara utama
yang di lakukan untuk memperoleh uang kotor tersebut, yakni dengan cara
pengelakan pajak dan pelanggaran hukum pidana (kejahatan).38
Pertama: Melalui tax evasion atau pengelakan pajak. Dengan cara ini
seseorang memperoleh uang dengan cara legal, tetapi kemudian melaporkan
jumlah keuangan yang tidak sebenarnya supaya didapatkan perhitungan
pajak yang lebih sedikit dari yang sebenarnya.39
Tetapi pola tax evasion ini kemudian mengembang pada variasi yang
bersifat collusion. Sesuai dengan paparan Kligaard pada tahun 1998 dan
Kimberly Ann Eliot pada tahun 1999, bahwa modus tax evasion timbul
sebagai sebab dari mekanisme ilegal dengan cara memotong sejumlah pajak
sehingga jauh lebih murah jika membayar pajak itu sesungguhnya secara
resmi. Cara demikian, yang dapat dilakukan dengan menyogok pejabat
pajak. Akan menibulkan dua segi kriminalisasi money laundering, yakni si
wajib pajak dan si petugas pajak.40
Kedua: Melalui cara yang jelas-jelas melanggar hukum. Cara kedua
ini banyak sekali jenisnya sesuai dengan ragamnya teknik-teknik kriminal
untuk memperoleh uang. Ragam kriminal demikian dapat disebut:41
a) Perdagangan narkotika dan obat-obatan (narkoba) secara gelap (drug
trafficking),
b) Perjudian gelap (illegal gambling),
37
Ibid .
38
Siahaan, Op, cit,. hlm. 9
39
Ibid. Siahaan, Op, cit,. hlm. 9
40
Ibid. hlm, 9-10.
41
Ibid. hlm, 10.

21
c) Penyelundupan minuman keras, tembakau dan pornografi (smuggling
of contraband alcohol, tobacco pornography),
d) Penyuapan (bribery),
e) Pelacuran (prostitution).
f) Perdagangan senjata (arms trafficking),
g) Terorisme (terrorism),
h) Penyelundupan imigran gelap (people smuggling),
i) Kejahatan kerah putih (white collar crime).

Ragam-ragam memperoleh uang secara kriminal di atas dilakukan


secara bawah tanah (underground business). Sedemikian banyak ragam luas
dari kejahatan yang dinilai sebagai uang kotor tersebut seperti korupsi dan
kolusi, penghindaran atau pengelakan pajak.42 Kemudian berkembang pula
kepada modus penyimpangan lain di bidang ekspor impor, seperti
pemalsuan faktur atau dokumen, penggelapan bea masuk, pemalsuan mutu
dan volume ekspor, kolusi di bidang pajak ekspor.43

Bahkan di bidang perdagangan umum dalam bentuk pemalsuan


perhitungan harga, kualitas komoditi, satuan berat, pelaksaan pembukuan,
misalnya dengan menambah beban biaya atau mengurangi pendapatan,
termasuk sebagai praktik yang tergolong dirty money.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis Penelitian
Metode penelitian memiliki peran penting dalam sebuah penelitian,
karena dapat digunakan sebagai pedoman guna mempermudah dalam
mempelajari, menganalisis permasalahan yang diteliti. Maka sesuai dengan judul
dan rumusan masalah, jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
42
Ibid.
43
Ibid.

22
penelitian hukum Normatif. Penelitian hukum Normatif adalah penelitian yang
mencakup asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian
terhadap sinkronisasi hukum, dan penelitian terhadap sejarah hukum, khususnya
yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang menerima
dana hasil money laundering berdasarkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) metode pendekatan yaitu:
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Adalah pendekatan yang mengkaji tentang asas-asas hukum, norma-
norma hukum dan peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari
undang-undang, dokumen, buku-buku, dan sumber sumber resmi yang
berkaitan dengan penelitian ini.
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual beranjak dari perundang-undangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum. Dengan
mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu
hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang
relevan dengan isu-isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti
dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang
dihadapi.
c. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus
yang berkaitan dengan isu hukum yang di hadapi. Kasus-kasus yang di
telaah merupakan kasus yang memperoleh putusan pengadilan berkekuatan
hukum tetap (yurisprudensi). Hal pokok yag di kaji pada setiap putusan
tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan
sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu
hukum yang dihadapi.

23
3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum

Sumber hukum pada penelitian ini berasal dari studi kepustakaan


yaitu berupa buku, catatan maupun laporan dari penelitian terdahulu. Jenis
bahan hukum terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang bersifat autoratif yang berarti mempunyai


otoritas. Bahan hukum primer ini terdiri atas perundang-undangan,
catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan
dan putusan hakim.44 Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang
digunakan adalah yang ada kaitannya dengan judul penelitian ini, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 2945.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
4. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti rancangan undang-undang, berupa literature-literatur, hasil
seminar, hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan objek permasalahan
yang diteliti, atau pendapat pakar hukum.
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus
hukum, insklopedia.

4. Teknik Memperoleh Bahan Hukum


44
Ibid, hal. 141

24
Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum
berupa studi dokumen yaitu berupa teknik mengumpulan bahan hukum yang
tidak ditunjukkan langsung kepada subyek penelitian. Dokumen yang diteliti
dapat berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi, bisa berupa buku harian,
surat pribadi, laporan, notulen rapat, catatan kasus (case record) dalam
pekerjaan sosial dan dokumen lainnya.

5. Analisis Bahan Hukum


Analisis bahan hukum dalam penelitian hukum normatif, yaitu
dilakukan pengumpulan bahan kemudian pengolahan bahan hukum dengan
cara identifikasi, klasifikasi menurut sumber hierarkinya serta mengadakan
sistemisasi terhadap bahan hukum untuk dikaji atau dianalisis dengan
menggunakan penalaran hukum dan/atau dilakukan interpretasi untuk dapat
memecahkan isu hukum berdasarkan norma, doktrin, teori dan asas atau
prinsip hukum yang dikemukakan oleh ahli atau sarjana hukum terhadap
penerapan pertanggungjawaban pidana dan pertimbangan hakim terhadap
putusan yang diteliti.

25
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, Makalah, Artikel


A.S. Mamoedin, 2007, Analisis kejahatan Perbankan, Cetakan Pertama,
Jakarta: Rafflesia.
Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada.
Adrian Sutedi, S.H., M.H , 2008, Tindak Pidana Pencucian Uang, Cetakan
Pertama, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandun.
Dr. H. juni Sjafrien Jahja, SH, MH, 2012, Melawan Money Laundering Cet.2,
Visi Media, Jakarta.
Ferry Aries Suranta, 2010, Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya
Praktik Money Laundering, Gramata Publishing, Jakarta.

Mardjono Reksodiputro, 2007, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem


Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum.
Moeljatno, 2007, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka cipta.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung: Alumni.
Nawawi Arief, Barda, 2001, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
S.R Sianturi , Dalam Artikel Tanggung Jawab Pidana Pengemudi Kendaraan
Yang Mengakibatkan Kematian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, oleh:
Agio V. Sangki.
Sutan Remy Sjahdeini,2007, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pembiayaan Terorisme, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Tb Irman S, 2006, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, Jakarta: MQS
Publishing.

26
Tim Modul PUSDIKLAT kejaksaan RI,2009, Modul Tindak Pidana Money
Laundering, Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesa Pusat
Pendidikan dan Pelatihan.
Yenti Garnasih, 2009, Kriminalisasi Pencucian Uang, money laundering,
Jakarta: Universitas Indonesia fakultas Hukum Pascasarjana.
Yunus Husein, 2008, Negeri Sang Pencuci Uang, Jakarta: Pustaka Juanda
Tigalima.
Yunus Husein, 2001, “Money Laundering: Sampai Dimana Langkah Negara
Kita”, Dalam Pengembangan Perbankan.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Indonesia, Undang-Udang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana


Pencucian Uang.

Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Indonesia, Undang -Undang tentang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor


1 Tahun 1946.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.

C. Sumber Lain

http://www.definisi-pengertian.com/2015/05/definisi-dan-pengertian-tindak-
pidana.html di akses pada tanggal 16 Juni 2022

27
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/346 di akses
pada tanggal 21 Juni 2022.

28

Anda mungkin juga menyukai