1.pedoman TBC
1.pedoman TBC
A. Latar belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai inventaris
bagi pemabngunan dumber daya manusia yang produktif secara social dan ekonomis. Untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut telah diselenggarakan berbagai upaya kesehatan
secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu menempatkan puskesmas sebagai penanggung jawab
penyelenggara upaya kesehatan tingkat pertama.
Puskesmas sebagai suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat
pengembangan kesehatan masyarakat, juga membina peran serta masyarakat, disamping memberikan
playanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk
kegiatan pokok, mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan
masyarakat.
Salah satu upaya kegiatan pokok di puskesmas adalah program pengendalian dan pencegahan
TB Paru pada masyarakat. Upaya pengendalian Tuberkolosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung
sejak sebelum kemerdekaan. Setelah perang dunia kedua, secara terbatas melalui 20 balai
pengobatan dan 15 sanatorium yang pada umumnya berada dipulau Jawa.
Setelah perang kemerdekaan, diagnosis ditegakkan TB bedasarkan foto toraks dan pengobatan
pasien dilakukan secara rawat inap. Pada era tersebtu sebenarnya World Health Organization (WHO)
telah merekomendasikan upaya Diagnosis melalui pemeriksaan dhak langsung dan pengobatan
menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang baru saja ditemukan yaitu :INH, PAS, dan
Strptomisin serta metode pengobatan pasien dengan pila rawat jalan. Era tahun 1960-1970 menandai
diawalinya uapaya pengendalian TB secara modern dengan dibentuknya Subdid TB pada tahun
1967 dan susunannya suatu pedoman Nasional pengendalian TB. Pada era awal tersebut penata
laksanaan dilakukan melalui puskesmas dengan Rumah Sakit debagai pusat rujukan untuk penata
laksanaan kasus-kasus sulit. Pada tahun 1977 mulai diperkenalkan pengobatan jangka pendek (6
Bulan) dengan menggunakan paduan OAT yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol.
Beberpa kegiatan uji pendahuluan yang dilakukan menunjukkan hasil kesembuhan yang cukup
tinggi. Atas dasar keberhasilan uji tersebut mulai tahun 1995 secara Nasional strategi DOTS
diterapkan bertahap melalui puskesmas.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan untuk meningkatkan drajat kesehatan masyarakat.
2. Tujuan Khusus :
a. Meningkatkan penjaringan suspek dan penemuan kasus baru BTA +
b. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit TBC
c. Mengurangi angka kejadian TBC di masyarakat melalui penemuan kasus secara dini
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penemuan kasus baru TBC
e. Membentuk patisipan aktif ( Toma, Toga, Kader) untuk mendukung penemuan kasus
C. Ruang Lingkup
1. Pelayan P2 TB dalam gedung
a. Pelayanan rawat jalan (konsling dan pemeriksaan suspek)
b. Pelayaanan rawat inap (asuhan keperawatan pada pasien suspek maupun BTA +)
2. Pelayanan TB Paru luar gedung
a. Follow Up pada pasien positif TB.Paru
b. Deteksi dini penyakit Tb. Paru Dimasyarakat
c. Pelacakan TB mangkir
d. Pemeriksaan kontak serumah
e. Penyuluhan TB di sekolah, kelompok masyarakat potensial, Toma, Toga, dan Kader
2. Pemanfaatan Teknologi
- Media komunikasi HP untuk melakukan komunikasi dengan Kader atau sasaran
- Memanfaatkan Komputer dengan program SITB untuk sistim pelaporan
H. Penutup
Demikian Pedoman pelayanan program TB Paru ini dibuat sebagai pedoman/acuan dalam
pelaksanaan pelayanan program TB Paru di puskesmas Tanah Merah
HJ.PETTY RISMAWATI,S.Tr.Keb,M.K.M
NIP. 19680621 198809 2 001
PEDOMAN PENYELENGGARAAN
PROGRAM KESEHATAN JIWA DI PUSKESMAS LENEK
A. Latar belakang
Ganguan jiwa dan perilaku, menurut The World Health Report 2001, dialami kira-kira 25%
dari seluruh penduduk pada suatu masa dari hidupnya dan lebih dari 40% diantaranya didiagnosis
secara tidak tepat sehingga menghabiskan biaya untuk pemeriksaan laboratorium dan pengobatan
yang tidak tepat. Ganguan jiwa dan perilaku dialami pada suatu ketika oelh kira-kira 10% pupulasi
orang dewasa. Dalam laporan itu dikutip juga penelitian yang menemukan bahwa 24% dari pasien
yang mengunjungi dokter pada pelayanan kesehatan dasar ternyata mengalami ganguan jiwa. Enam
puluh Sembilan persen (69%) dari pasien tersebut datang dengan keluhan-keluhan fisik dan banyak
diantaranya ternyata tidak ditemukan gangguan fisiknya.
Indonesia telah menghadapi berbagai traspormasi dan transisi di berbagai bidang yang
mengakibatkan terjadinya perubahan gaya hidup, pola perilaku dan tata nilau kehidupuan. Dalam
bidang kesehatan terjadi transisi di berbagai bidang yang mengakibatkan terjadinya perubahan gaya
hidup, pola perilaku dan tatanilai kehidupan. Dalam bidang kesehatan terjadi transisi epidemiologis
di masyarakat dari kelompok penyakit menular ke kelopok penyakit tidak menular termasuk berbagai
jenis ganguan akibat perilaku manusia dan ganguan jiwa.
Masalah kesehatan jiwa juga menimbuklkan dampak social antara lain angka kekerasan,
criminalitas, bunuh diri, penganiyayan anak, perceraian, kenakalan remaja, penyalah gunaan zat,
HIV/AIDS, perjudian, pengangutan dll. Oelh karena itu masalah kesehatan jiwa perlu ditangani
secara serius
Dari hasil surfei kesehatan rumah tangga (SKRT Tahun 1965) yang dilakukan oeleh Balitbang
Departemen Kesehatan RI dengan menggunakan rancangan sampel dari susenas BPS terdapat 65.664
Rumah tangga menunjukkan bahwa Vrepalensi ganguan jiwa per 1000 anggota rumah tangga adalah
sbb:
Ganguan mental Emosional (15 Tahun atau lebih): 140/1000
Ganguan Mental Emosional (5-14 Tahun) 104/1000
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati
kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekana, dan ganguan jiwa lain yang
dapat menggangu kesehatan jiwa.
2. Tujuan Khusus :
a. Meningkatkan penemuan kasus orang dengan masalah kejiwaan secara dini di
masyarakat.
b. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang ganguan jiwa
c. Mengurangi angka kejadian ganguan jiwa berat (ODGJ) di masyarakat melalui
penemuan kasus secara dini
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penemuan kasus ganguan jiwa
e. Membentuk patisipan aktif ( Toam, Toga, Kader) untuk mendukung penemuan kasus
C. Ruang Lingkup
1. Pelayan kesehatan jiwa dalam gedung
a. Pelayanan rawat jalan paska rawat inap di RSJ (Pemberian KIE)
b. Pelayaanan rujukan ke RSJ
2. Pelayanan Kesehatan Jiwa luar gedung
a. Pelacakan kasus jiwa
b. Kunjungan rumah kasus jiwa
c. Sosialisasi ganguan jiwa
d. Orientasi kader kesehatan jiwa
H. Penutup
Demikian Pedoman pelayanan program Kesehatan Jiwa ini dibuat sebagai pedoman/acuan
dalam pelaksanaan pelayanan program Kesehatan Jiwa di puskesmas Tanah Merah.
Tanah Merah, Januari 2022
Kepala UPT Puskesmas Tanah Merah
HJ.PETTY RISMAWATI,S.Tr.Keb,M.K.M
NIP. 19680621 198809 2 001
PEDOMAN PENYELENGGARAAN
PROGRAM P2 KUSTA DI PUSKESMAS LENEK
A. PENDAHULUAN
Penyakit kusta adalah penyakit kronik (menular menahun) yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang
kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot,
tulang dan testis.
Penyakit kusta jarang sekali ditemukan pada bayi. Angka kejadian penyakit kusta
meningkat sesuai umur dengan puncak kejadian pada umur 10-20 tahun (Depkes RI, 2006).
Penyakit kusta dapat mengenai semua umur dan terbanyak terjadi pada umur 15-29 tahun.
Serangan pertama kali pada usia di atas 70 tahun sangat jarang terjadi.
Kejadian penyakit kusta pada laki-laki lebih banyak terjadi dari pada wanita, kecuali di
Afrika, wanita lebih banyak terkena penyakit kusta dari pada laki-laki (Depkes RI, 2006).
Menurut Louhennpessy dalam Buletin Penelitian Kesehatan (2007) bahwa perbandingan penyakit
kusta pada penderita laki-laki dan perempuan adalah 2,3 : 1,0, artinya penderita kusta pada laki-
laki 2,3 kali lebih banyak dibandingkan penderita kusta pada perempuan. Menurut Noor dalam
Buletin Penelitian Kesehatan (2007) penderita pria lebih tinggi dari wanita dengan
perbandingannya sekitar 2 : 1.
Penderita penyakit kusta menimbulkan gejala yang jelas pada stadium lanjut dan cukup
didiagnosis dengan pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan bakteriologi. Ada 3 tanda – tanda utama
yang dapat menetapkan diagnosis penyakit kusta yaitu: Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa,
penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, dan adanya bakteri tahan asam di
dalam kerokan jaringan kulit. Pemeriksaan kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan.
Apabila ditemukan pada seseorang salah satu tanda - tanda utama seperti diatas maka orang
tersebut dinyatakan menderita kusta (Depkes, 2006).
Di Puskesmas/ Rumah sakit, penderita akan mendapatkan terapi anti kusta Multi Drug
Therapy (MDT) agar tidak menjadi sumber penularan, selain menghindari kemungkinan cacat
menjadi besar.
D. PENCEGAHAN PRIMER
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena
penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan
penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan
penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit
kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang
belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga
penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006)
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti
pem’berian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan
bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta
sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta
sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di
Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi
BCG tersebut (Depkes RI, 2006).
E. PENCEGAHAN SEKUNDER
Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,
menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya
cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta
terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan
kepada orang lain (Depkes RI, 2006).
F. Tujuan
1. Tujuan umum
Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik terhindar dari
penyakit menular terutama penyakit kusta,
2. Tujuan Khusus :
a. Meningkatkan penemuan kasus dengan kusta secara dini di masyarakat.
b. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta
c. Mengurangi angka kejadian penyakit kusta di masyarakat melalui penemuan kasus
secara dini
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penemuan kasus kusta
e. Membentuk patisipan aktif ( Toam, Toga, Kader) untuk mendukung penemuan kasus
G. Ruang Lingkup
1. Pelayan kesehatan jiwa dalam gedung
a. Pelayanan rawat jalan dalam penemuan kasus kusta
b. Upaya Pelayaanan rujukan yang bersipat spesialistik
2. Pelayanan kasus kusta luar gedung
a. Pelacakan kasus kusta
b. Kunjungan rumah pasien rehabilitasi kusta
c. Sosialisasi penyakit kusta
d. Orientasi kader kesehatan dalam pengenalan penyakit kusta
2. Target Program
CDR Kusta 100%
I. Sumber Daya
1. Sumber Daya Manusia
Pelayanan P2 Kusta di puskesmas dikelola/dilaksanakan oleh pemegang program P2 Kusta
dan pendamping program sebanyak 2 orang terdiri dari 1 Orang Perawat PNS (S1
Keperawatan) dan 1 Orang Tenaga Perawat (D3 Keperawatan Tenaga Job)
2. Sumber Daya Sarana dan Prasarana
- Ruang Program P2 Kusta
HJ.PETTY RISMAWATI,S.Tr.Keb,M.K.M
NIP. 19680621 198809 2 001