BAB I AIDS Siap Presentase
BAB I AIDS Siap Presentase
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Acquired Immune Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh
manusia akibat infeksi virus HIV. Penyakit HIV/AIDS telah menjadi pandemi
yang mengkhawatirkan masyarakat, karena disamping belum ditemukan obat
dan vaksin pencegahan, penyakit ini juga memiliki fase asimptomatik
(tanpa gejala) perjalanan penyakitnya yang menyebabkan orang yang
terinfeksi penyakit HIV/AIDS tidak terlihat gejala penyakitnya yang
menyebabkan orang yang terinfeksi penyakit HIV/AIDS tidak terlihat gejala
penyakitnya pada 5-10 tahun pertama. Hal tersebut menyebabkan pola
perkembangannya seperti fenomena gunung es dimana kasus yang ditemukan
sedikit tetapi kenyataannya lebih banyak jumlah yang menderita (Masriadi,
2014).
Di Negara Indonesia, penyakit HIV/AIDS memiliki laju penyebaran
yang cukup cepat. Peningkatan penyebaran kasus HIV/AIDS pada bayi/anak
disebabkan adanya transmisi vertical dari ibu ke bayi/anak. Kasus penderita
HIV/AIDS pada bayi/anak dilaporkan mencapai 1,5 hingga 2 juta penderita.
Sedangkan kasus bayi/anak yang baru terinfeksi HIV sebanyak 190.000 kasus.
(Mansyur, 2020). Kasus dan jumlah kematian anak dengan HIV mencapai
120.000 (Acacio et al, 2018; Ramdhanie, 2019).
Sebagian besar anak-anak mendapatkan infeksi vertical dari ibu yang
menderita HIV/AIDS selama kehamilan, persalinan atau menyusui (Vranda &
Mothi, 2013; WHO, 2021). Sedangkan kasus penderita HIV/AIDS pada anak
dan remaja juga masih tergolong cukup tinggi angka insidennya. UNAIDS
juga memperkirakan pada tahun 2019, kasus anak remaja (15-24 tahun)
dengan HIV/AIDS mencapai 1.700.000 dengan perkiraan terendah dan
tertinggi (1.100.000-2.400.000) dengan total penderita anak laki-laki sebanyak
740.000 (540.000-990.000) dan perempuan 1.000.000 (550.000-1.400.000)
(UNAIDS 2021).
Hingga saat ini pada tahun 2020, kasus HIV/AIDS pada anak
cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2018.
UNAIDS juga mengatakan bahwa insiden kasus HIV/AIDS pada anak-anak
usia (0-14 tahun) mengalami penurunan secara substansial dengan jumlah
kasus dengan jumlah estimasi penurunan lebih dari 60% yaitu kisaran 450.000
(300.000-700.000) hingga 160.000. Gambaran kasus infeksi vertikal
HIV/AIDS dari ibu dan anak dapat menyebabkan dampak immunosupresi
serta meningkatkan risiko yang mengancam jiwa pada anak (Acacio et al.,
2018; Slogrove et al., 2020a).
HIV/AIDS telah menjadi ancaman secara global yang signifikan bagi
anak-anak dan remaja karena dapat menyebabkan berbagai masalah yang
dapat mengganggu tumbuh kembangnya, seperti fisik, psikologis, dan
hambatan hubungan sosial (Vranda & Mothi, 2013). Anak-anak dengan
infeksi HIV/AIDS membutuhkan waktu pengobatan seumur hidup. Tentunya
hal ini banyak menimbulkan masalah psikologis seperti cemas, merasa
terisolasi, depresi. Hal ini akan diperparah dengan adanya stigma di
masyarakat yang karena takut menularkan penyakit di masyarakat.
Kompleksitas masalah psikologis yang dihadapi oleh para anak-anak
dengan HIV/AIDS akan semakin diperburuk masalah ekonomi yang
kebanyakan dalam taraf miskin. Dari aspek sosial akibat adanya stigma di
masyarakat dapat berdampak mengganggu perkembangan sosial. Biasanya
anak dengan HIV/AIDS ketika bermain bersama temannya akan mendapatkan
perundungan atau bullying. Jika kondisi tersebut terus-menerus dialami oleh
anak yang terinfeksi HIV/AIDS, maka anak-anak tidak dapat bertumbuh dan
berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan (Domlyn et al., 2020).
Gambaran kasus masalah mental pada anak-anak yang terinfeksi
HIV/AIDS memang tidak dapat digambarkan secara langsung kecuali dari
laporan orang tua. Gangguan yang paling umum ditemukan adalah gangguan
kecemasan, diikuti oleh gangguan perhatian atau hiperaktif, gangguan
perilaku, gangguan penyangkalan, dan gangguan mood. Bayi yang tidak
terinfeksi HIV lahir dari orang tua yang terinfeksi HIV melaporkan kejadian
6,17 kasus psikiatri per 1000 orang-tahun. Ini secara signifikan lebih dari
kejadian 1,70 kasus per 1000 orang-tahun pada populasi pediatrik
umum. Hal ini juga terlihat bahwa pengetahuan tentang status seropositivitas
HIV dan setelah mengalami peristiwa kehidupan yang signifikan keduanya
secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko rawat inap psikiatri
(Slogrove et al., 2020b).
Oleh karena itu sangat diperlukan adanya informasi tentang masalah
psikososial bagi masyarakat sehingga dapat memberikan dukungan kepada
bayi dan anak yang terifeksi HIV/AIDS untuk tetap mendapatkan hak-hak
maupun berhasil dalam menjalani pengobatan (Lentoor, 2017).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep medis pada anak dan remaja dengan HIV/AIDS?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada anak dan remaja dengan
HIV/AIDS?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep medis pada anak dan remaja dengan HIV/AIDS
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada anak dan remaja
dengan HIV/AIDS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Etiologi HIV/AIDS
Penyebab dari HIV/AIDS adalah golongan virus retro yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Salah satu faktor penularan HIV
adalah penularan dari ibu pengidap HIV kepada anak, baik selama
kehamilan, persalinan maupun selama menyusui. Hingga saat ini kejadian
penularan dari ibu ke anak sudah mencapai 2,6 % dari seluruh kasus HIV-
AIDS yang dilaporkan ke Indonesia. Ada tiga faktor utama yang
berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor ibu,
bayi/anak dan tindakan obstetrik.
a. Faktor ibu
1) Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat
persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu
menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu
ke anak.
2) Jumlah sel CD4 ibu
Ibu dengan jumlah CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV
semakin besar.
3) Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat,
vitamin D, kalsium, zat besi, mineral selama hamil berdampak
bagi kesehatan ibu dan janin akibatnya dapat meningkatkan risiko
ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
4) Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi
saluran reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
5) Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis,
abses dan luka di putting payudara dapat meningkatkan risiko
penularan HIV melalui ASI sehingga tidak disarankan untuk
memberikan ASI kepada bayinya dan dapat di sarankan diberikan
susu formula untuk asupan nutrisinya.
b. Faktor bayi
1) Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih
rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan
tubuhnya belum berkembang dengan baik.
2) Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan
semakin besar.
3) Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika
diberikan ASI
c. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir di jalan lahir.
Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari
ibu ke anak selama persalinan adalah :
1) Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada
persalinan melalui bedah sesar (seksio sesaria)
2) Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan
HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama
terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
3) Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban
pecah kurang dari 4 jam
4) Tindakan episotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan
risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu.
3. Patofisiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh virus HIV. Masa inkubasi AIDS
diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50
% orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala AIDS selama 5
tahun pertama dan mencapai 70% dalam 10 tahun akan mendapat AIDS.
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu
singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya
terjadi infeksi virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah
putih yang disebut limfosit. Materi genetic virus dimasukan ke dalam
DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembang biak dan pada
akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru.
Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan
menghancurkannya. (Anwar Hafis, 2014).
Virus menempel pada limfosit yang memiliki satu reseptor protein
yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah
sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih
manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4
biasnya disebut CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong
berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem
kekebalan tubuh (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik)
yang kesemuanya membantu menghancurkan limfosit T penolong,
sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya
terhadap infeksi dan kanker. (Anwar Hafis, 2014).
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T
penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang
yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada
beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV jumlahnya menurun
sebanyak 40-50%, selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV
kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat didalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus didalam
darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita.
Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit pada orang lain terus
berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang
rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang berisiko
tinggi menderita AIDS 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah
limfosit CD4 biasanya menurun drastis. Jika keduanya mencapai 200
sel/Ml darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi (Anwar
Hafis, 2014).
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B
(limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan
produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk
melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak
banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada
AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam
mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang. (Anwar Hafis,
2014).
Setelah virus HIV masuk kedalam tubuh dibutuhkan waktu selama
3-6 bulan sebelum titer antibody terhadap HIV positif. Fase ini disebut
periode jendela (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti
berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer
antibodinya terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten).
Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang
lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit
infeksi HIV sampai menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26
bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif.
(Anwar Hafis, 2014).
4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis yang dapat ditemukan dalam pengkajian pada bayi
dan anak dengan infeksi HIV dapat bervariasi. Sebelum timbul infeksi
oportunistik dan atau keganasan, penderita HIV infeksi pada anak
biasanya memperlihatkan gejala awal yang ditandai oleh (Hockenberry
dkk, 2022) :
a. Demam
b. Penurunan berat badan lebih dari 10 %
c. Malaise
d. Keringat malam
e. Diare kronik atau berulang
f. Lemah
g. Limfadenopati
h. Nyeri sendi atau otot
i. Kndidiasis oral
5. Komplikasi HIV/AIDS
Komplikasi yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) adalah memperlemah sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan
penderita banyak terserang infeksi dan kanker. Infeksi umum yang
biasanya terjadi pada pasien HIV/AIDS (Budhy, 2017) :
a. Tuberculosis (TBC)
b. Sitomegalovirus
Cytomegalovirus (CMV) merupakan jenis virus herpes yang dapat
menginfeksi seseorang dengan sistem kekebalan tubuh lemah dalam
kurun waktu lama. Jika tidak ditangani sedini mungkin, ODHA yang
terjangkit infeksi cytomegalovirus bisa mengalami gangguan
penglihatan karena adanya peradangan retina, pneumonia akut,
masalah pencernaan dan ensefalitis (radang otak)
c. Kandidiasis
Kandidiasis merupakan komplikasi dari infeksi HIV/AIDS yang
timbul karena adanya infeksi jamur yang bernama candida albicans.
Infeksi jamur ini dapat terjadi pada permukaan kulit, mulut serta alat
kelamin. Gejala dari kandidiasis yang muncul akan beragam
tergantung di area tubuh mana infeksi jamur tersebut terjadi. Ketika
infeksi jamur terjadi di mulut, gejala kandidiasis yang timbul adalah
munculnya bercak putih pada lidah, pipi bagian dalam, serta langit-
langit mulut. Selain itu, kandidiasis pada mulut ini akan menyebabkan
penderitanya merasa nyeri ketika menelan. Ketika terjadi pada alat
kelamin, gejala kandidiasis yang timbul yaitu munculnya rasa nyeri
serta terbakar ketika buang air kecil. Selain itu, kandidiasis yang
terjadi pada alat kelamin wanita akan memunculkan keputihan
(vaginal discharge) tidak normal. Jika terjadi di permukaan kulit,
kandidiasis akan menyebabkan rasa gatal hebat serta munculnya ruam
pada bagian lipatan seperti selangkangan, ketiak, dan lain sebagainya.
d. Meningitis kriptokokus
Meningitis kriptokokus merupakan komplikasi HIV/AIDS yang
muncul karena adanya infeksi jamur crypctococcus neformans dan
Cryptococcus gattii pada selaput otak dan sum-sum tulang belakang.
Apabila tidak diobati, meningitis kriptokokus bisa mengakibatkan
kondisi yang cukup serius seperti gangguan pendengaran, kerusakan
otak hingga koma.
e. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang paling
umum pada pasien HIV/AIDS yang tidak mendapatkan profilaksis
yang tepat.
f. Kriptosporidiosis
g. Kanker
h. Sindrom wasting
i. Komplikasi neurologis
j. Penyakit ginjal
7. Penatalaksanaan HIV/AIDS
a. Perawatan
Perawatan pada saat terinfeksi HIV/AIDS (Ardiyanti, Lusiana, &
Megasari, 2015) :
1) Suportif dengan cara mengusahakan gizi yang cukup, hidup sehat
dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi
2) Menanggulangi infeksi oportunitik atau infeksi lain serta
keganasan yang ada
3) Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat
menghambat enzim reverse transcriptase (RT) dengan bermigrasi
ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV.
4) Mengatasi dampak psikososial
5) Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan
penyakit, prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
6) Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus
selalu memperhatikan perlindungan universal atau keseluruhan
b. Pengobatan
Penatalaksanaan pada HIV/AIDS selama ini hanya dikonsentrasikan
pada terapi umum dan terapi khusus dengan mengendalikan
antiretroviral therapy (ART). Antiretroviral (ARV) merupakan bagian
dari treatment HIV/AIDS untuk menurunkan risiko penularan HIV,
mencegah infeksi berkembang, meningkatkan kualitas hidup penderita
(Kemenkes RI, 2014).
Sasaran yang menerima ARV :
Terapi ARV terdiri dari
1. Terapi ARV lini pertama
a. Terapi ARV pada penderita yang belum pernah mendapatkan
terapi ARV (pada dewasa dan anak)
AZT atau TDF + 3 TC (atau FTC) + EVF atau NVP
ARV Formula
Panduan TDF + 3 TC Tablet TDF Dewasa : 1 tablet,
pilihan (atau FTC + 300 mg + 1 x sehari
EFV dalam 3TC 300 mg Anak : 88>35 kg :
bentuk KDT + EFV 600 1 tablet, 1x sehari
mg
Panduan AZT + 3TC + Tablet 300 Dewasa : 1 tablet
alternatif EFV (atau mg + 3TC 2 x sehari, EFV
NVP) 150 mg + 1 x sehari
EFV 600 mg Anak : sesuai
berat badan
Panduan TDF + 3 TC Tablet TDF Dewasa : 1 tablet,
alternatif (atau FTC) + 300 mg + 1 x sehari, untuk
NVP 3TC 300 mg NVP 1 x sehari
+ NVP 200 (selama 14 hari
mg pertama) dan
seterusnya 2 x
sehari
Anak sesuai berat
badan
8. Pencegahan HIV/AIDS
Pemerintah Indonesia telah meresmikan 4 pilar (4 prong) dalam program
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Empat pilar tersebut meliputi
pencegahan penularan, pencegahan kehamilan pada ODHA, pencegahan
penularan dari ibu ke anak dan dukungan. Empat pilar secara lengkap
antara lain (Kemenkes RI, 2013) :
a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi
Pencegahan primer dalam menurunkan angka penularan HIV ke anak
adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi yaitu rentan waktu 15-49 tahun.
Implementasi kegiatan pencegahan primer antara lain :
1) Menyebarluaskan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
tentang HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi baik individu atau
kelompok
2) Mobilisasi masyarakat
Implementasi dalam mobilisasi masyarakat antara lain melibatkan
semua unsur masyarakat dan petugas lapangan dalam rangka KIE
sebagai pemberi informasi ke masyarakat dengan topic pencegahan
dan pengurangan risiko penularan HIV secara umum dari ibu ke
anak serta menghilangkan stigma dan diskriminasi pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA).
3) Layanan tes HIV
4) Dukungan untuk perempuan yang negatif HIV
Kegiatan dalam rangka memberikan dukungan perempuan yang
negatif HIV antara lain :
a) Ibu hamil yang hasil tesnya HIV negatif perlu didukung agar
status dirinya tetap HIV negative
b) Menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV
c) Membuat pelayanan KIA yang bersahabat untuk pria sehingga
mudah dan dapat diakses oleh suami/pasangan ibu hamil
d) Mengadakan kegiatan konseling berpasangan pada saat
kunjungan ke layanan KIA
e) Peningkatan pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil
dan mendorong dialog yang lebih terbuka antara suami dan
istri/pasangannya tentang perilaku seksual yang aman
f) Memberikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami
bahwa dengan melakukan hubungan seksual yang tidak aman
dapat berakibat pada kematian calon bayi, istri dan dirinya
sendiri
g) Menyampaikan informasi kepada pasangan laki-laki atau
suami tentang pentingnya memakai kondom untuk mencegah
penularan HIV
10. Patway
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data awal pengkajian
Pada pengkajian anak HIV positif atau AIDS pada anak rata-rata
dimasa perinatal sekitar 9 – 17 tahun, keluhan utama dapat berupa :
1) Demam dan diare yang berkepanjangan
2) Tachipnae
3) Batuk
4) Sesak nafas
5) Hipoksia
b. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan mata
a) Adanya cotton wool spot (bercak katun wol) pada retina
b) Retinitis sitomegalovirus
c) Khoroiditis toksoplasma
d) Infeksi pada tepi kelopak mata
e) Mata merah, perih, gatal, berair, banyak secret serta berkerak
f) Lesi pada retina dengan gambaran bercak/eksudat kekuningan,
tunggal/multiple
2) Pemeriksaan mulut
a) Adanya stomatitis gangrenosa
b) Peridonitis
c) Sarkoma kaposi pada mulut dimulai sebagai bercak merah
datar kemudian menjadi biru dan sering pada platum
3) Pemeriksaan telinga
a) Adanya otitis media
b) Adanya nyeri
c) Kehilangan pendengaran
4) Sistem pernafasan
a) Adanya batuk yang lama dengan atau tanpa sputum
b) Sesak nafas
c) Tachipnea
d) Hipoksia
e) Nyeri dada
f) Nafas pendek waktu istirahat
g) Gagal nafas
5) Pemeriksaan sistem pencernaan
a) Berat badan menurun
b) Anoreksia
c) Nyeri pada saat menelan
d) Kesulitan menelan
e) Bercak putih kekuningan pada mukosa mulut
f) Faringitis
g) Kandidiasis esofagus
h) Kandidiasis mulut
i) Selaput lendir kering
j) Hepatomegali
k) Mual dan muntah
l) Pembesaran limfa
6) Pemeriksaan sistem kardiovaskular
a) Suhu tubuh meningkat
b) Nadi cepat, tekanan darah meningkat
c) Gejala gagal jantung kongestiv sekunder akibat kardiomiopatik
karena HIV
7) Pemeriksaan sistem integumen
a) Adanya varicela (lesi yang sangat luas vesikel yang besar)
b) Haemoragie
c) Nyeri panas serta malaise
8) Pemeriksaan sistem perkemihan
a) Didapatkan air seni yang berkurang
b) Annuri
c) Proteinuria
d) Adanya pembesaran kelenjar parotis
e) limfadenopati
9) Pemeriksaan sistem neurologi
a) Adanya sakit kepala
b) Samnolen
c) Sukar berkonsentrasi
d) Perubahan perilaku
e) Nyeri otot
f) Kejang-kejang
g) Encelopati
h) Gangguan psikomotor
i) Penurunan kesadaran
j) Delirium
k) Keterlambatan perkembangan
10) Pemeriksaan sistem muskuluskeletal
a) Nyeri persendian
b) Letih, gangguan gerak
c) Nyeri otot
2. Diagnosa Keperawatan
a. Diare (D.0020) berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal, iritasi
gastrointestinal, proses infeksi
b. Defisit nutrisi (D.0019) berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan makanan
c. Hipovolemia (D.0023) berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
d. Hipertermia (D.0130) berhubungan dengan proses penyakit
(mis. infeksi)
e. Bersihan jalan napas tidak efektif (D.0001) berhubungan dengan
hipersekresi jalan napas, sekresi yang tertahan
f. Pola napas tidak efektif (D.0005) berhubungan dengan hambatan
upaya napas
g. Gangguan tumbuh kembang (D.0106) berhubungan dengan
inkonsistensi respon
h. Intoleransi Aktivitas (D.0056) berhubungan dengan kelemahan
3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
(SDKI)
1. Diare (D.0020) Eliminasi Fekal (L.04033) Manajemen Diare
berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi Tindakan
inflamasi keperawatan selama … x 24 Observasi
gastrointestinal, iritasi jam maka eliminasi fekal Identifikasi penyebab
gastrointestinal, proses membaik dengan kriteria diare (mis. inflamasi
infeksi ditandai dengan : hasil : gastrointestinal, iritasi
DS : Kontrol pengeluaran gastrointestinal, proses
Urgency feses meningkat infeksi, malabsorpsi,
Nyeri Urgency menurun ansietas, stress, efek
kram/abdomen Nyeri abdomen obat-obatan,
DO : menurun pemberian botol susu)
Defekasi lebih Kram abdomen Identifikasi riwayat
dari 3 kali dalam menurun pemberian makanan
24 jam Konsistensi feses Identifikasi gejala
Edukasi
Anjurkan makanan
porsi kecil dan sering
secara bertahap
Anjurkan menghindari
makanan pembentuk
gas, pedas dan
mengandung laktosa
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
obat antimotilitas (mis.
loperamid,
difenoksilat)
Kolaborasi pemberian
obat pengeras feses
(mis. atapulgit,
smektil, kaolin-pektin)
Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasogastrik jika
asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan (mis. pereda
nyeri, antiemetic), jika
perlu
Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu
Hematokrit oral
meningkat Edukasi
Takipnea Terapeutik
Sediakan lingkungan
Kulit terasa
yang dingin
hangat
Longgarkan atau
lepaskan pakaian
Basahi dan kipasi
pernukaan tubuh
Berikan cairan oral
Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika
mengalami
hiperhidrosis (keringat
berlebih)
Lakukan pendinginan
eksternal (mis. selimut
hipotermia atau
kompres dingin pada
dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi
Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu
efektif karakteristik)
Dispnea menurun
Tidak mampu Terapeutik
Ortopnea menurun
batuk Atur posisi semi
Sulit bicara menurun
fowler atau fowler
Sputum berlebih Sianosis menurun
Pasang perlak dan
Mengi, wheezing Gelisah menurun
bengkok di pangkuan
dan/atau ronkhi Frekuensi napas
pasien
kering membaik
Buang secret pada
Mekonium di
jalan napas (pada Pola napas membaik tempat sputum
neonatus) Edukasi
Gelisah Jelaskan tujuan dan
Sianosis prosedur batuk efektif
Anjurkan batuk
dengan kuat langsung
setelah tarik napas
dalam yang ke -3
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu
6. Pola napas tidak efektif Pola Napas (L.01044) Setelah Manajemen jalan napas
(D.0005) berhubungan dilakukan intervensi Tindakan
dengan hambatan upaya keperawatan selama ….x 24 Observasi :
napas yang ditandai jam maka pola napas 1. Monitor pola napas
dengan membaik dengan kriteria 2. Monitor bunyi napas
DS : hasil : tambahan (mis.
Dispnea Ventilasi semenit gurgling, mengi,
Ortopnea meningkat wheezing, ronkhi
Objektif Kapasitas vital kering)
lambat Meminimalkan
Edukasi
Jelaskan orang tua
dan/atau pengasuh
tentang milestone
perkembangan anak
dan perilaku anak
kolaborasi
Rujuk untuk
konseling, jika perlu
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan tahapan melakukan rencana
tindakan sesuai kondisi pasien. Implementasi sepenuhnya mengacu pada
rencana tindakan yang disusun. Tindakan keperawatan berupa perawatan
langsung maupun tindakan kolaboratif lainnya, penyuluhan kesehatan dan
juga rujukan jika pasien membutuhkan perawatan lanjutan (Teli, 2018).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahapan yang membandingkan
antara hasi implementasi dengan kriteri hasil yang ditetapkan untuk
melihat keberhasilannya (Teli, 2018).
BAB III
PEBUTUP
A. Kesimpulan
HIV/AIDS menjadi masalah serius karena bukan hanya merupakan
masalah kesehatan, tetapi juga masalah ekonomi, sosial, dan lain-lain.
HIV/AIDS telah menjadi ancaman secara global yang signifikan bagi anak-
anak dan remaja karena dapat menyebabkan berbagai masalah yang dapat
mengganggu tumbuh kembangnya, seperti fisik, psikologis, dan hambatan
hubungan sosial (Vranda & Mothi, 2013). Anak-anak dengan infeksi
HIV/AIDS membutuhkan waktu pengobatan seumur hidup. Tentunya hal ini
banyak menimbulkan masalah psikologis seperti cemas, merasa terisolasi,
depresi.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA