Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Acquired Immune Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan
infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh
manusia akibat infeksi virus HIV. Penyakit HIV/AIDS telah menjadi pandemi
yang mengkhawatirkan masyarakat, karena disamping belum ditemukan obat
dan vaksin pencegahan, penyakit ini juga memiliki fase asimptomatik
(tanpa gejala) perjalanan penyakitnya yang menyebabkan orang yang
terinfeksi penyakit HIV/AIDS tidak terlihat gejala penyakitnya yang
menyebabkan orang yang terinfeksi penyakit HIV/AIDS tidak terlihat gejala
penyakitnya pada 5-10 tahun pertama. Hal tersebut menyebabkan pola
perkembangannya seperti fenomena gunung es dimana kasus yang ditemukan
sedikit tetapi kenyataannya lebih banyak jumlah yang menderita (Masriadi,
2014).
Di Negara Indonesia, penyakit HIV/AIDS memiliki laju penyebaran
yang cukup cepat. Peningkatan penyebaran kasus HIV/AIDS pada bayi/anak
disebabkan adanya transmisi vertical dari ibu ke bayi/anak. Kasus penderita
HIV/AIDS pada bayi/anak dilaporkan mencapai 1,5 hingga 2 juta penderita.
Sedangkan kasus bayi/anak yang baru terinfeksi HIV sebanyak 190.000 kasus.
(Mansyur, 2020). Kasus dan jumlah kematian anak dengan HIV mencapai
120.000 (Acacio et al, 2018; Ramdhanie, 2019).
Sebagian besar anak-anak mendapatkan infeksi vertical dari ibu yang
menderita HIV/AIDS selama kehamilan, persalinan atau menyusui (Vranda &
Mothi, 2013; WHO, 2021). Sedangkan kasus penderita HIV/AIDS pada anak
dan remaja juga masih tergolong cukup tinggi angka insidennya. UNAIDS
juga memperkirakan pada tahun 2019, kasus anak remaja (15-24 tahun)
dengan HIV/AIDS mencapai 1.700.000 dengan perkiraan terendah dan
tertinggi (1.100.000-2.400.000) dengan total penderita anak laki-laki sebanyak
740.000 (540.000-990.000) dan perempuan 1.000.000 (550.000-1.400.000)
(UNAIDS 2021).
Hingga saat ini pada tahun 2020, kasus HIV/AIDS pada anak
cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2018.
UNAIDS juga mengatakan bahwa insiden kasus HIV/AIDS pada anak-anak
usia (0-14 tahun) mengalami penurunan secara substansial dengan jumlah
kasus dengan jumlah estimasi penurunan lebih dari 60% yaitu kisaran 450.000
(300.000-700.000) hingga 160.000. Gambaran kasus infeksi vertikal
HIV/AIDS dari ibu dan anak dapat menyebabkan dampak immunosupresi
serta meningkatkan risiko yang mengancam jiwa pada anak (Acacio et al.,
2018; Slogrove et al., 2020a).
HIV/AIDS telah menjadi ancaman secara global yang signifikan bagi
anak-anak dan remaja karena dapat menyebabkan berbagai masalah yang
dapat mengganggu tumbuh kembangnya, seperti fisik, psikologis, dan
hambatan hubungan sosial (Vranda & Mothi, 2013). Anak-anak dengan
infeksi HIV/AIDS membutuhkan waktu pengobatan seumur hidup. Tentunya
hal ini banyak menimbulkan masalah psikologis seperti cemas, merasa
terisolasi, depresi. Hal ini akan diperparah dengan adanya stigma di
masyarakat yang karena takut menularkan penyakit di masyarakat.
Kompleksitas masalah psikologis yang dihadapi oleh para anak-anak
dengan HIV/AIDS akan semakin diperburuk masalah ekonomi yang
kebanyakan dalam taraf miskin. Dari aspek sosial akibat adanya stigma di
masyarakat dapat berdampak mengganggu perkembangan sosial. Biasanya
anak dengan HIV/AIDS ketika bermain bersama temannya akan mendapatkan
perundungan atau bullying. Jika kondisi tersebut terus-menerus dialami oleh
anak yang terinfeksi HIV/AIDS, maka anak-anak tidak dapat bertumbuh dan
berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan (Domlyn et al., 2020).
Gambaran kasus masalah mental pada anak-anak yang terinfeksi
HIV/AIDS memang tidak dapat digambarkan secara langsung kecuali dari
laporan orang tua. Gangguan yang paling umum ditemukan adalah gangguan
kecemasan, diikuti oleh gangguan perhatian atau hiperaktif, gangguan
perilaku, gangguan penyangkalan, dan gangguan mood. Bayi yang tidak
terinfeksi HIV lahir dari orang tua yang terinfeksi HIV melaporkan kejadian
6,17 kasus psikiatri per 1000 orang-tahun. Ini secara signifikan lebih dari
kejadian 1,70 kasus per 1000 orang-tahun pada populasi pediatrik
umum. Hal ini juga terlihat bahwa pengetahuan tentang status seropositivitas
HIV dan setelah mengalami peristiwa kehidupan yang signifikan keduanya
secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko rawat inap psikiatri
(Slogrove et al., 2020b).
Oleh karena itu sangat diperlukan adanya informasi tentang masalah
psikososial bagi masyarakat sehingga dapat memberikan dukungan kepada
bayi dan anak yang terifeksi HIV/AIDS untuk tetap mendapatkan hak-hak
maupun berhasil dalam menjalani pengobatan (Lentoor, 2017).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep medis pada anak dan remaja dengan HIV/AIDS?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada anak dan remaja dengan
HIV/AIDS?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep medis pada anak dan remaja dengan HIV/AIDS
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada anak dan remaja
dengan HIV/AIDS
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Medis


1. Definisi HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut human (manusia)
karena virus ini hanya menginfeksi manusia, immune-deficiency karena
efek virus ini sifatnya menurunkan kemampuan sistem kekebalan tubuh.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) ini masuk dalam golongan virus
karena salah satu karakteristiknya yaitu tidak mampu memproduksi diri
sendiri, melainkan memanfaatkan sel-sel lain dalam tubuh. Human
Immunodeficiency Virus (HIV) menyerang sel darah putih manusia dan
menyebabkan turunnya kekebalan tubuh sehingga mudah terserang
penyakit. Virus ini merupakan penyebab penyakit AIDS.
(Desmawati, 2013).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh kita
untuk melawan gejala penyakit yang datang (Green, 2016).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yaitu sekumpulan
gejala penyakit yang timbul karena kekebalan tubuh yang menurun
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Akibat
menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat
mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada
kulit, saluran pencernaan, otak, dan kanker. Kondisi ini juga disebut ketika
sel CD4 sudah benar-benar rusak sehingga kekebalan tubuh seseorang
sangat rentan sekali terjadi infeksi penyakit menular lainnya.
(Keller Dwiyanti, 2019).

2. Etiologi HIV/AIDS
Penyebab dari HIV/AIDS adalah golongan virus retro yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Salah satu faktor penularan HIV
adalah penularan dari ibu pengidap HIV kepada anak, baik selama
kehamilan, persalinan maupun selama menyusui. Hingga saat ini kejadian
penularan dari ibu ke anak sudah mencapai 2,6 % dari seluruh kasus HIV-
AIDS yang dilaporkan ke Indonesia. Ada tiga faktor utama yang
berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor ibu,
bayi/anak dan tindakan obstetrik.
a. Faktor ibu
1) Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat
persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu
menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu
ke anak.
2) Jumlah sel CD4 ibu
Ibu dengan jumlah CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV
semakin besar.
3) Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat,
vitamin D, kalsium, zat besi, mineral selama hamil berdampak
bagi kesehatan ibu dan janin akibatnya dapat meningkatkan risiko
ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan
jumah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
4) Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi
saluran reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
5) Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis,
abses dan luka di putting payudara dapat meningkatkan risiko
penularan HIV melalui ASI sehingga tidak disarankan untuk
memberikan ASI kepada bayinya dan dapat di sarankan diberikan
susu formula untuk asupan nutrisinya.
b. Faktor bayi
1) Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih
rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan
tubuhnya belum berkembang dengan baik.
2) Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan
semakin besar.
3) Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika
diberikan ASI
c. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir di jalan lahir.
Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari
ibu ke anak selama persalinan adalah :
1) Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada
persalinan melalui bedah sesar (seksio sesaria)
2) Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan
HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama
terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
3) Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban
pecah kurang dari 4 jam
4) Tindakan episotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan
risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu.

Penyebaran HIV pada usia muda makin memprihatinkan. Fakta ini


menunjukkan bahwa penderita AIDS paling banyak menyerang pada
remaja yang masih berusia produktif. Awal masa remaja berlangsung
kira-kira dari 13 tahun sampai 16 tahun, dan akhir usia remaja bermula
dari usia 16 tahun sampai 18 tahun. Artinya, pada usia-usia tersebut,
remaja sangat rentan terkena pengaruh-pengaruh dari luar, seperti
penyalahgunaan narkoba, salah memilih teman dalam pergaulan yang
berujung pada pergaulan bebas. Masih banyak remaja jaman sekarang
yang belum mengetahui bahaya-bahaya yang ditimbulkan akibat
melakukan seks diluar nikah atau melakukan seks secara tidak sehat.
HIV/AIDS dapat menular kepada siapa saja. Maka dari itu, banyak
orang yang salah persepsi atau menganggap bahwa seseorang yang
terkena penyakit HIV/AIDS sangat berbahaya. Bahkan mereka tidak
segan-segan untuk mencaci maki, mengolol-olok, menghina bahkan
mengusir penderita HIV/AIDS dari tempat tinggalnya.

3. Patofisiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh virus HIV. Masa inkubasi AIDS
diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50
% orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala AIDS selama 5
tahun pertama dan mencapai 70% dalam 10 tahun akan mendapat AIDS.
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu
singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya
terjadi infeksi virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah
putih yang disebut limfosit. Materi genetic virus dimasukan ke dalam
DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembang biak dan pada
akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru.
Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan
menghancurkannya. (Anwar Hafis, 2014).
Virus menempel pada limfosit yang memiliki satu reseptor protein
yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah
sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih
manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4
biasnya disebut CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong
berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem
kekebalan tubuh (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik)
yang kesemuanya membantu menghancurkan limfosit T penolong,
sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya
terhadap infeksi dan kanker. (Anwar Hafis, 2014).
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T
penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang
yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada
beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV jumlahnya menurun
sebanyak 40-50%, selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV
kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat didalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus didalam
darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita.
Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit pada orang lain terus
berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang
rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang berisiko
tinggi menderita AIDS 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah
limfosit CD4 biasanya menurun drastis. Jika keduanya mencapai 200
sel/Ml darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi (Anwar
Hafis, 2014).
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B
(limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan
produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk
melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak
banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada
AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam
mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang. (Anwar Hafis,
2014).
Setelah virus HIV masuk kedalam tubuh dibutuhkan waktu selama
3-6 bulan sebelum titer antibody terhadap HIV positif. Fase ini disebut
periode jendela (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti
berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer
antibodinya terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten).
Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang
lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit
infeksi HIV sampai menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26
bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif.
(Anwar Hafis, 2014).

4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis yang dapat ditemukan dalam pengkajian pada bayi
dan anak dengan infeksi HIV dapat bervariasi. Sebelum timbul infeksi
oportunistik dan atau keganasan, penderita HIV infeksi pada anak
biasanya memperlihatkan gejala awal yang ditandai oleh (Hockenberry
dkk, 2022) :
a. Demam
b. Penurunan berat badan lebih dari 10 %
c. Malaise
d. Keringat malam
e. Diare kronik atau berulang
f. Lemah
g. Limfadenopati
h. Nyeri sendi atau otot
i. Kndidiasis oral

Bayi-bayi yang terinfeksi HIV pada periode neonatal, biasanya


memperlihatkan tanda dan gejala penyakit sebelum berumur 1 tahun
berupa (Hockenberry dkk, 2022) :
a. Gagal untuk bertumbuh (failure to thrive)
b. Perkembangan terlambat
c. Stomatitis yang berulang atau menetap
d. Pneumonitis interstisial yang kronik
e. Pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali)
f. Diare kronik berulang
g. Limfadenopati
h. Infeksi berat dan berulang seperti sepsis dan meningitis
i. Parotitis
Tanda dan gejala lainnya yang dapat ditemukan pada anak dengan infeksi
HIV/AIDS diantaranya tubuh pendek, malnutrisi dan kardiomiopati.
Gangguan sistem saraf pusat akibat infeksi HIV/AIDS dapat berupa deficit
neuropsikologi, gangguan perkembangan, gangguan motorik, gangguan
komunikasi dan perubahan perilaku (Hockberry dkk, 2022).

5. Komplikasi HIV/AIDS
Komplikasi yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) adalah memperlemah sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan
penderita banyak terserang infeksi dan kanker. Infeksi umum yang
biasanya terjadi pada pasien HIV/AIDS (Budhy, 2017) :
a. Tuberculosis (TBC)
b. Sitomegalovirus
Cytomegalovirus (CMV) merupakan jenis virus herpes yang dapat
menginfeksi seseorang dengan sistem kekebalan tubuh lemah dalam
kurun waktu lama. Jika tidak ditangani sedini mungkin, ODHA yang
terjangkit infeksi cytomegalovirus bisa mengalami gangguan
penglihatan karena adanya peradangan retina, pneumonia akut,
masalah pencernaan dan ensefalitis (radang otak)
c. Kandidiasis
Kandidiasis merupakan komplikasi dari infeksi HIV/AIDS yang
timbul karena adanya infeksi jamur yang bernama candida albicans.
Infeksi jamur ini dapat terjadi pada permukaan kulit, mulut serta alat
kelamin. Gejala dari kandidiasis yang muncul akan beragam
tergantung di area tubuh mana infeksi jamur tersebut terjadi. Ketika
infeksi jamur terjadi di mulut, gejala kandidiasis yang timbul adalah
munculnya bercak putih pada lidah, pipi bagian dalam, serta langit-
langit mulut. Selain itu, kandidiasis pada mulut ini akan menyebabkan
penderitanya merasa nyeri ketika menelan. Ketika terjadi pada alat
kelamin, gejala kandidiasis yang timbul yaitu munculnya rasa nyeri
serta terbakar ketika buang air kecil. Selain itu, kandidiasis yang
terjadi pada alat kelamin wanita akan memunculkan keputihan
(vaginal discharge) tidak normal. Jika terjadi di permukaan kulit,
kandidiasis akan menyebabkan rasa gatal hebat serta munculnya ruam
pada bagian lipatan seperti selangkangan, ketiak, dan lain sebagainya.
d. Meningitis kriptokokus
Meningitis kriptokokus merupakan komplikasi HIV/AIDS yang
muncul karena adanya infeksi jamur crypctococcus neformans dan
Cryptococcus gattii pada selaput otak dan sum-sum tulang belakang.
Apabila tidak diobati, meningitis kriptokokus bisa mengakibatkan
kondisi yang cukup serius seperti gangguan pendengaran, kerusakan
otak hingga koma.
e. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang paling
umum pada pasien HIV/AIDS yang tidak mendapatkan profilaksis
yang tepat.
f. Kriptosporidiosis
g. Kanker
h. Sindrom wasting
i. Komplikasi neurologis
j. Penyakit ginjal

6. Pemeriksaan Diagnosis HIV/AIDS


Pemeriksaan diagnosis HIV dapat dilakukan dengan pemeriksaan
serologis dan virologis. (Kemenkes RI, 2019).
a. Pemeriksaan serologis
Mendeteksi HIV dengan mengetahui antibody dan antigen dengan
pemeriksaan serologi yaitu :
1) Rapid immunochromatography test (tes cepat)
2) EIA (enzim immunoassay)
b. Pemeriksaan virologis
Pada pemeriksaan ini HIV dideteksi dengan pemeriksaan DNA dan
RNA HIV :
1) Bayi berusia < 18 bulan
2) Infeksi HIV primer
3) Pasien dengan keadaan terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi
negatif namun gejala klinis menunjukkan gejala AIDS
4) Konfirmasi hasil inkonklusif atau hasil yang berbeda pada dua
pemeriksaan laboratorium

7. Penatalaksanaan HIV/AIDS
a. Perawatan
Perawatan pada saat terinfeksi HIV/AIDS (Ardiyanti, Lusiana, &
Megasari, 2015) :
1) Suportif dengan cara mengusahakan gizi yang cukup, hidup sehat
dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi
2) Menanggulangi infeksi oportunitik atau infeksi lain serta
keganasan yang ada
3) Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan
dideosinukleotid yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat
menghambat enzim reverse transcriptase (RT) dengan bermigrasi
ke DNA virus, sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV.
4) Mengatasi dampak psikososial
5) Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan
penyakit, prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
6) Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus
selalu memperhatikan perlindungan universal atau keseluruhan

b. Pengobatan
Penatalaksanaan pada HIV/AIDS selama ini hanya dikonsentrasikan
pada terapi umum dan terapi khusus dengan mengendalikan
antiretroviral therapy (ART). Antiretroviral (ARV) merupakan bagian
dari treatment HIV/AIDS untuk menurunkan risiko penularan HIV,
mencegah infeksi berkembang, meningkatkan kualitas hidup penderita
(Kemenkes RI, 2014).
Sasaran yang menerima ARV :
Terapi ARV terdiri dari
1. Terapi ARV lini pertama
a. Terapi ARV pada penderita yang belum pernah mendapatkan
terapi ARV (pada dewasa dan anak)
AZT atau TDF + 3 TC (atau FTC) + EVF atau NVP

b. Pemberian ARV pada penderita HIV dewasa dan 5 tahun

ARV Formula
Panduan TDF + 3 TC Tablet TDF Dewasa : 1 tablet,
pilihan (atau FTC + 300 mg + 1 x sehari
EFV dalam 3TC 300 mg Anak : 88>35 kg :
bentuk KDT + EFV 600 1 tablet, 1x sehari
mg
Panduan AZT + 3TC + Tablet 300 Dewasa : 1 tablet
alternatif EFV (atau mg + 3TC 2 x sehari, EFV
NVP) 150 mg + 1 x sehari
EFV 600 mg Anak : sesuai
berat badan
Panduan TDF + 3 TC Tablet TDF Dewasa : 1 tablet,
alternatif (atau FTC) + 300 mg + 1 x sehari, untuk
NVP 3TC 300 mg NVP 1 x sehari
+ NVP 200 (selama 14 hari
mg pertama) dan
seterusnya 2 x
sehari
Anak sesuai berat
badan

c. Terapi ARV pada anak < 5 tahun

Pilihan NRTI ke-1 Pilihan NRTI ke-2 Pilihan NNRTI


Zidovudin (AZT) Lamivudin (3TC) Nevirapin (NVP)
Stavudin (d4T) Evavirenz (EFV)
Tenofovir (TDF)

d. Terapi ARV pada bayi

Kriteria Dosis Zidofudin


Bayi cukup bulan Zidofudin 4 mg/kgBB/12 jam
selama 6 minggu atau dengan
dosis disederhanakan :
 Berat lahir 2000-2499 g =
10 mg 2 x sehari
 Berat lahir ≥2500 g = 15 mg
2 x sehari
Bayi dengan berat < 2000 g
mendapat dosis mg/kg,
disarankan dengan dosis awal 2
mg/kg sekali sehari
Bayi premature < 30 minggu Zidofudin 2 mg/kgBB/12 jam
selama 4 minggu pertama,
kemudian 2 mg/kgBB/8 jam
selama 2 minggu
Bayi premature 30-35 Zidofudin 2 mg/kgBB/12 jam
minggu selama 2 minggu pertama,
kemudian 2 mg/kgBB/8 jam
selama 2 minggu, lalu
4 mg/kgBB/12 jam selama
2 minggu

2. Terapi ARV lini kedua (Kemenkes RI, 2019)


a. Terapi ARV lini kedua pada dewasa dan remaja

Regimen lini Pilihan regimen lini ke-2


pertama yang
digunakan
TDF + 3TC (atau AZT + 3 TC + LPV/r
FTC) + EFV VHB AZT + 3TC + TDF + LPV/r
TDF + 3TC (atau TB AZT + 3TC + LPV/r dosis ganda
FTC) + NVP
AZT + 3TC + TDF + 3TC (atau) + LPV/r
EFV
AZT+3TC+NVP VHB AZT + 3TC + TDF + LPV/r
d4T + 3TC + EFV TB TDF + 3TC (atau) + LPV/r dosis
d4T + 3TC + NVP ganda
b. Terapi ARV pada anak

Panduan Terapi Lini Pertama Pilihan Regimen Lini ke-2


Panduan ABC+3TC+LPV/r AZT + 3TC + EFV
berbasis LPV/r AZT+3TC+LPV/r ABC atau TDF + 3TC
(atau FTC) + EFV
Panduan ABC atau TDF + AZT + 3TC + LPV/r
berbasis NNRTI 3TC (atau FTC) +
EFV (atau NVP)
AZT + 3TC + ABC + TDF + 3TC (atau
EFV (atau NVP) FTC) + LPV/r

Terapi TDF hanya diberikan pada anak > 2 tahun

3. Terapi ARV lini ke tiga


Apabila terjadi kegagalan dalam pengobatan lini kedua dapat
dilakukan terapi lini ke tiga. Penentuan kegagalan pengobatan lini
kedua dinilai dari pemeriksaan laboratorium dengan kriteria
virologis. Pada pengobatan lini ke tiga harus dilakukan konsultasi
dengan RS yang menjadi rujukan yang memiliki fasilitas
penanganan HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2014).
Panduan lini ke tiga yaitu :
1. Dewas/anak
ETR + RAL + DRV/r
2. Bayi baru lahir
Pada bayi baru lahir dari ibu penderita HIV, bayi menerima
ASI atau susu formula dapat diberikan ziovudin pada 12 jam
pertama selama 6 minggu.

8. Pencegahan HIV/AIDS
Pemerintah Indonesia telah meresmikan 4 pilar (4 prong) dalam program
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Empat pilar tersebut meliputi
pencegahan penularan, pencegahan kehamilan pada ODHA, pencegahan
penularan dari ibu ke anak dan dukungan. Empat pilar secara lengkap
antara lain (Kemenkes RI, 2013) :
a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi
Pencegahan primer dalam menurunkan angka penularan HIV ke anak
adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi yaitu rentan waktu 15-49 tahun.
Implementasi kegiatan pencegahan primer antara lain :
1) Menyebarluaskan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
tentang HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi baik individu atau
kelompok

2) Mobilisasi masyarakat
Implementasi dalam mobilisasi masyarakat antara lain melibatkan
semua unsur masyarakat dan petugas lapangan dalam rangka KIE
sebagai pemberi informasi ke masyarakat dengan topic pencegahan
dan pengurangan risiko penularan HIV secara umum dari ibu ke
anak serta menghilangkan stigma dan diskriminasi pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA).
3) Layanan tes HIV
4) Dukungan untuk perempuan yang negatif HIV
Kegiatan dalam rangka memberikan dukungan perempuan yang
negatif HIV antara lain :
a) Ibu hamil yang hasil tesnya HIV negatif perlu didukung agar
status dirinya tetap HIV negative
b) Menganjurkan agar pasangannya menjalani tes HIV
c) Membuat pelayanan KIA yang bersahabat untuk pria sehingga
mudah dan dapat diakses oleh suami/pasangan ibu hamil
d) Mengadakan kegiatan konseling berpasangan pada saat
kunjungan ke layanan KIA
e) Peningkatan pemahaman tentang dampak HIV pada ibu hamil
dan mendorong dialog yang lebih terbuka antara suami dan
istri/pasangannya tentang perilaku seksual yang aman
f) Memberikan informasi kepada pasangan laki-laki atau suami
bahwa dengan melakukan hubungan seksual yang tidak aman
dapat berakibat pada kematian calon bayi, istri dan dirinya
sendiri
g) Menyampaikan informasi kepada pasangan laki-laki atau
suami tentang pentingnya memakai kondom untuk mencegah
penularan HIV

b. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan


dengan HIV
Ibu dengan HIV/AIDS positif (ODHA) harus mendapatkan akses
pelayanan tentang KIE dan sarana kontrasepsi yang aman dalam
rangka mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu
mendorong ibu dan pasangan untuk menggunakan kondom sehingga
hubungan seksual yang aman bisa terjadi.
c. Pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu hamil dengan HIV ke bayi
yang dikandungnya
Kegiatannya meliputi :
1) Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV
2) Diagnosis HIV
3) Pemberian terapi antiretroviral
4) Persalinan yang aman
5) Tata laksana pemberian makanan bagi bayi dan anak
6) Menunda dan mengatur kehamilan
7) Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak
8) Pemeriksaan diagnostic HIV pada anak
d. Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
dengan HIV beserta anak dan keluarganya
Dukungan psikologis dan sosial diperlukan karena perawatan ibu dan
bayi dengan HIV positif akan dilakukan sepanjang hayat. Stigma dan
diskriminasi yang mungkin diterima ibu. Faktor kerahasiaan status
HIV ibu perlu dijaga serta harus ada dukungan ke anak dan keluarga
sebagai support system terdekat (Kemenkes RI, 2013).

Pencegahan HIV/AIDS pada remaja menurut anjuran WHO :


a. Pendidikan kesehatan reprodukdi untuk remaja dan dewasa muda
b. Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai
kelompok sasaran
c. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik
d. Paket pencegahan komprehensif bagi pengguna narkoba
e. Program Pendidikan agama dan pelatihan keterampilan hidup, layanan
pengobatan infeksi menular seksual (IMS), promosi kondom di
lokalisasi pelacuran di panti pijat
f. Pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling, dukungan
untuk anak jalanan dan pengerantasan prostitusi anak, integrasi
program pencegahan dan perawatan dan dukungan ODHA
9. Diagnosis Dini Infeksi Padab Anak dan Remaja
Diagnosis infeksi HIV virologis secara dini pada anak dan remaja
a. Memungkinkan ditentukan secara dini mereka yang terinfeksi HIV,
sebagai langkah pertama dalam menyediakan pengobatan dan
perawatan untuk mereka
b. Memungkinkan ditentukan mereka yang terpajan HIV tetapi tidak
terinfeksi, untuk memudahkan tindak lanjut dengan perawatan dan
langkah pencegahan untuk membantu memastikan mereka tetap tidak
tertular
c. Membantu penggunaan sumber daya esensial secara efektif dengan
mengutamakan ketersediaan ART pada anak yang membutuhkannya
d. Memperbaiki kesejahteraan psiko-sosial keluarga dan anak,
mengurangi kemungkinan timbulnya stigma, diskriminasi dan
kesukaran psikologis untuk anak yang tidak terinfeksi HIV dan
meningkatkan kemungkinan mereka diasuh sebagai anak yatim-piatu
e. Memudahkan perencanaan kehidupan untuk orangtua dan/atau anak
yang terinfeksi

10. Patway
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data awal pengkajian
Pada pengkajian anak HIV positif atau AIDS pada anak rata-rata
dimasa perinatal sekitar 9 – 17 tahun, keluhan utama dapat berupa :
1) Demam dan diare yang berkepanjangan
2) Tachipnae
3) Batuk
4) Sesak nafas
5) Hipoksia

Kemudian diikuti dengan adanya perubahan :


1) Berat badan dan tinggi badan yang tidak naik
2) Diare lebih dari 1 bulan
3) Demam lebih dari 1 bulan
4) Mulut dan faring dijumpai bercak putih
5) Limfadenopati yang menyeluruh
6) Infeksi yang berulang (otitis media, faringitis)
7) Batuk yang menetap (> 1 bulan)
8) Dermatitis yang menyeluruh
Pada riwayat penyakit dahulu adanya riwayat transfusi darah (dari
orang yang terinfeksi HIV/AIDS). Pada ibu atau hubungan seksual.
Kemudian pada riwayat penyakit keluarga dapat dimungkinkan :
1) Adanya orangtua yang terinfeksi HIV/AIDS atau penyalahgunaan
obat
2) Adanya riwayat ibu selama hamil terinfeksi HIV
3) Adanya penularan terjadi pada minggu ke 9 hingga minggu ke 20
dari kehamilan
4) Adanya penularan pada proses melahirkan
5) Terjadinya kontak darah dan bayi
6) Adanya penularan setelah lahir dapat terjadi melalui ASI
7) Adanya kejanggalan pertumbuhan (failure to thrifeS)
Pada pengkajian faktor resiko anak dan bayi tertular HIV diantaranya :
1) Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual
2) Bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan yang berganti-ganti
3) Bayi yang lahir dari ibu dengan penyalahgunaan obat melalui vena
4) Bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah
yang berulang
5) Bayi atau anak yang terpapar dengan alat suntik atau tusuk bekas
yang tidak steril
6) Anak remaja yang berhubungan seksual yang berganti-ganti
pasangan

Gambaran klinis pada anak nonspesifik seperti :


1) Gagal tumbuh
2) Berat badan menurun
3) Anemia
4) Panas berulang
5) Limfadenopati
6) Adanya infeksi oportunitis yang merupakan infeksi oleh kuman,
parasit, jamur atau protozoa yang menurunkan fungsi immun pada
immunitas selular seperti adanya kandidiasis pada mulut yang
dapat menyebar ke esofagus, adanya peradagan paru, encelofati,
dll

b. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan mata
a) Adanya cotton wool spot (bercak katun wol) pada retina
b) Retinitis sitomegalovirus
c) Khoroiditis toksoplasma
d) Infeksi pada tepi kelopak mata
e) Mata merah, perih, gatal, berair, banyak secret serta berkerak
f) Lesi pada retina dengan gambaran bercak/eksudat kekuningan,
tunggal/multiple
2) Pemeriksaan mulut
a) Adanya stomatitis gangrenosa
b) Peridonitis
c) Sarkoma kaposi pada mulut dimulai sebagai bercak merah
datar kemudian menjadi biru dan sering pada platum
3) Pemeriksaan telinga
a) Adanya otitis media
b) Adanya nyeri
c) Kehilangan pendengaran
4) Sistem pernafasan
a) Adanya batuk yang lama dengan atau tanpa sputum
b) Sesak nafas
c) Tachipnea
d) Hipoksia
e) Nyeri dada
f) Nafas pendek waktu istirahat
g) Gagal nafas
5) Pemeriksaan sistem pencernaan
a) Berat badan menurun
b) Anoreksia
c) Nyeri pada saat menelan
d) Kesulitan menelan
e) Bercak putih kekuningan pada mukosa mulut
f) Faringitis
g) Kandidiasis esofagus
h) Kandidiasis mulut
i) Selaput lendir kering
j) Hepatomegali
k) Mual dan muntah
l) Pembesaran limfa
6) Pemeriksaan sistem kardiovaskular
a) Suhu tubuh meningkat
b) Nadi cepat, tekanan darah meningkat
c) Gejala gagal jantung kongestiv sekunder akibat kardiomiopatik
karena HIV
7) Pemeriksaan sistem integumen
a) Adanya varicela (lesi yang sangat luas vesikel yang besar)
b) Haemoragie
c) Nyeri panas serta malaise
8) Pemeriksaan sistem perkemihan
a) Didapatkan air seni yang berkurang
b) Annuri
c) Proteinuria
d) Adanya pembesaran kelenjar parotis
e) limfadenopati
9) Pemeriksaan sistem neurologi
a) Adanya sakit kepala
b) Samnolen
c) Sukar berkonsentrasi
d) Perubahan perilaku
e) Nyeri otot
f) Kejang-kejang
g) Encelopati
h) Gangguan psikomotor
i) Penurunan kesadaran
j) Delirium
k) Keterlambatan perkembangan
10) Pemeriksaan sistem muskuluskeletal
a) Nyeri persendian
b) Letih, gangguan gerak
c) Nyeri otot

2. Diagnosa Keperawatan
a. Diare (D.0020) berhubungan dengan inflamasi gastrointestinal, iritasi
gastrointestinal, proses infeksi
b. Defisit nutrisi (D.0019) berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan makanan
c. Hipovolemia (D.0023) berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
d. Hipertermia (D.0130) berhubungan dengan proses penyakit
(mis. infeksi)
e. Bersihan jalan napas tidak efektif (D.0001) berhubungan dengan
hipersekresi jalan napas, sekresi yang tertahan
f. Pola napas tidak efektif (D.0005) berhubungan dengan hambatan
upaya napas
g. Gangguan tumbuh kembang (D.0106) berhubungan dengan
inkonsistensi respon
h. Intoleransi Aktivitas (D.0056) berhubungan dengan kelemahan

3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)
(SDKI)
1. Diare (D.0020) Eliminasi Fekal (L.04033) Manajemen Diare
berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi Tindakan
inflamasi keperawatan selama … x 24 Observasi
gastrointestinal, iritasi jam maka eliminasi fekal  Identifikasi penyebab
gastrointestinal, proses membaik dengan kriteria diare (mis. inflamasi
infeksi ditandai dengan : hasil : gastrointestinal, iritasi
DS :  Kontrol pengeluaran gastrointestinal, proses
 Urgency feses meningkat infeksi, malabsorpsi,
 Nyeri  Urgency menurun ansietas, stress, efek
kram/abdomen  Nyeri abdomen obat-obatan,
DO : menurun pemberian botol susu)
 Defekasi lebih  Kram abdomen  Identifikasi riwayat
dari 3 kali dalam menurun pemberian makanan
24 jam  Konsistensi feses  Identifikasi gejala

 Feses lembek membaik invaginasi (mis.

atau cair  Frekuensi defekasi tangisan keras,

 Frekuensi membaik kepucatan pada bayi)

peristaltik  Monitor warna,


 Peristaltik usus
meningkat volume, frekuensi, dan
membaik
 Bising usus konsistensi tinja

hiperaktif  Monitor tanda dan


gejala hypovolemia
(mis. takikardia, nadi
teraba lemah, tekanan
darah turun, turgor
kulit turun, mukosa
mulut kering, CRT
melambat, BB
menurun)
 Monitor iritasi dan
ulserasi kulit di daerah
perianal
 Monitor jumlah
pengeluaran diare
 Monitor keamanan
penyiapan makanan
Terapeutik
 Berikan asupan cairan
oral (mis. larutan
garam gula, oralit,
pedialyte, renalyte)
 Pasang jalur intravena
 Berikan cairan intra
vena (mis. ringer
asetat, ringer laktat,
jika perlu)
 Ambil sampel darah
untuk pemeriksaan
darah lengkap dan
elektrolit
 Ambil sampel feses
untuk kultur, jika perlu

Edukasi
 Anjurkan makanan
porsi kecil dan sering
secara bertahap
 Anjurkan menghindari
makanan pembentuk
gas, pedas dan
mengandung laktosa
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
obat antimotilitas (mis.
loperamid,
difenoksilat)
 Kolaborasi pemberian
obat pengeras feses
(mis. atapulgit,
smektil, kaolin-pektin)

2. Defisit Nutrisi (D.0019) Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nutrisi


berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi Tindakan
ketidamampuan keperawatan selama … x 24 Observasi
mengabsorbsi nutrien, jam maka status nutrisi  Identifikasi status
peningkatan kebutuhan membaik dengan kriteria nutrisi
metabolisme ditandai hasil :  Identifikasi alergi dan
dengan  Porsi makan yang intoleransi makanan
DS : dihabiskan meningkat  Identifikasi makanan
 Cepat kenyang  Serum albumin disukai
setelah makan meningkat  Identifikasi kebutuhan
 Kram/nyeri  Perasaan cepat kalori dan jenis nutrien
abdomen kenyang menurun  Identifikasi perlunya
 Nafsu makan  Nyeri abdomen penggunaan selang
nasogatrik
menurun menurun  Monitor asupan
DO :  Berat badan membaik makanan
 Berat badan  Indeks massa tubuh  Monitor berat badan
menurun minimal (IMT) membaik  Monitor hasil
10 % dibawah  Frekuensi makan pemeriksaan
rentang ideal membaik laboratorium
 Bising usus  Nafsu makan Terapeutik
hiperaktif membaik  Lakukan oral hygiene
 Membran  Bising usus membaik sebelum makan, jika
mukosa pucat perlu
 Membrane mukosa
 Serum albumin  Fasilitasi menentukan
membaik
turun pedoman diet (mis.
piramida makanan)
 Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
 Berikan makanan
tinggi serat mencegah
konstipasi
 Berikan makanan
tinggi kalori dan tinggi
protein
 Berikan suplemen
makanan, jika perlu

 Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasogastrik jika
asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
 Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan (mis. pereda
nyeri, antiemetic), jika
perlu
 Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu

3. Hipovolemia (D.0022) Status Cairan (L.03028) Manajemen Hipovolemia


berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi Tindakan
kehilangan cairan aktif keperawatan selama … x 24 Observasi
ditandai dengan jam maka status cairan  Periksa tanda dan
DS : membaik dengan kriteria gejala hipovolemia
 Merasa lemah hasil : (mis. frekuensi nadi
 Mengeluh haus  Kekuatan nadi meningkat, nadi teraba
DO : meningkat lemah, tekanan darah

 Frekuensi nadi  Turgor kulit menurun, tekanan nadi

meningkat meningkat menyempit, turgor

 Nadi teraba  Output urine kulit menurun,

lemah meningkat membran mukosa

 Tekanan darah  Frekuensi nadi kering, volume urin


menurun membaik menurun, hematokrit
 Tekanan nadi  Tekanan darah meningkat, haus,
menyempit membaik lemah)
 Turgor kulit  Tekanan nadi  Monitor intake dan
menurun membaik output cairan
 Membran  Membran mukosa Terapeutik
mukosa kering membaik  Hitung kebutuhan

 Volume urin cairan

menurun  Berikan asupan cairan

 Hematokrit oral

meningkat Edukasi

 Pengisian vena  Anjurkan

menurun memperbanyak asupan


cairan oral
 Status mental
Kolaborasi
berubah
 Kolaborasi pemberian
 Suhu tubuh
cairan IV isotonis
meningkat
(mis. NACL, RL
 Konsentrasi urin
 Kolaborasi pemberian
meningkat
cairan koloid (mis.
 Berat badan turun
albumin, plasmanate)
tiba-tiba

4. Hipertermia (D.0130) Termoregulasi (L.14134) Manajemen Hipertermia


berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Tindakan
dehidrasi, proses keperawatan selama ... x 24 Observasi
penyakit (mis. infeksi, jam maka termoregulasi  Identifikasi penyebab
kanker) dibuktikan membaik dengan kriteria hipertermia (mis.
dengan hasil : dehidrasi, terpapar
lingkungan panas,
DS : tidak tersedia  Menggigil menurun penggunaan inkubator)
DO :  Kulit merah menurun  Monitor suhu tubuh
 Suhu tubuh diatas  Kejang menurun  Monitor kadar
nilai normal  Suhu tubuh membaik elektrolit
 Kulit merah  Monitor haluaran urine
 Suhu kulit membaik
 Kejang  Monitor komplikasi

 Takikardi akibat hipertermia

 Takipnea Terapeutik
 Sediakan lingkungan
 Kulit terasa
yang dingin
hangat
 Longgarkan atau
lepaskan pakaian
 Basahi dan kipasi
pernukaan tubuh
 Berikan cairan oral
 Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika
mengalami
hiperhidrosis (keringat
berlebih)

 Lakukan pendinginan
eksternal (mis. selimut
hipotermia atau
kompres dingin pada
dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
 Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
 Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu

5. Bersihan jalan napas Bersihan Jalan Nafas Latihan batuk efektif


tidak efektif (D.0001) (L.01001) Setelah Observasi
berhubungan dengan dilakukan tindakan  Identifikasi
hipersekresi jalan napas, keperawatan selama ....x 24 kemampuan batuk
sekresi yang tertahan jam maka bersihan jalan  Monitor adanya retensi
yang ditandai dengan : nafas meningkat dengan sputum
DS : kriteria hasil :  Monitor tanda dan
 Dispnea  Batuk efektif gejala infeksi saluran
 Sulit bicara meningkat napas

 Ortopnea  Produksi sputum


menurun
 Monitor input dan

DO :  Mengi menurun output cairan

 Batuk tidak  Whezing menurun (mis. jumah dan

efektif karakteristik)
 Dispnea menurun
 Tidak mampu Terapeutik
 Ortopnea menurun
batuk  Atur posisi semi
 Sulit bicara menurun
fowler atau fowler
 Sputum berlebih  Sianosis menurun
 Pasang perlak dan
 Mengi, wheezing  Gelisah menurun
bengkok di pangkuan
dan/atau ronkhi  Frekuensi napas
pasien
kering membaik
 Buang secret pada
 Mekonium di
jalan napas (pada  Pola napas membaik tempat sputum
neonatus) Edukasi
 Gelisah  Jelaskan tujuan dan
 Sianosis prosedur batuk efektif

 Bunyi napas  Anjurkan tarik napas

menurun dalam melalui hidung

 Frekuensi napas selama 4 detik, ditahan

berubah selama 2 detik,

 Pola napas kemudian keluarkan

berubah dari mulut dengan


bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8
detik
 Anjurkan mengulang
tarik napas dalam
hingga 3 kali

 Anjurkan batuk
dengan kuat langsung
setelah tarik napas
dalam yang ke -3
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu

Manajemen jalan napas


Tindakan
Observasi :
1. Monitor pola napas
2. Monitor bunyi napas
tambahan (mis.
gurgling, mengi,
wheezing, ronkhi
kering)
3. Monitor sputum
(jumlah, warna,
aroma)
Terapeutik
 Pertahankan kepatenan
jalan napas dengan
head-til dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga
trauma servikal)
 Posisikan semi fowler
atau fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
 Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
 Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
 Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi
 Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi
 Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

6. Pola napas tidak efektif Pola Napas (L.01044) Setelah Manajemen jalan napas
(D.0005) berhubungan dilakukan intervensi Tindakan
dengan hambatan upaya keperawatan selama ….x 24 Observasi :
napas yang ditandai jam maka pola napas 1. Monitor pola napas
dengan membaik dengan kriteria 2. Monitor bunyi napas
DS : hasil : tambahan (mis.
 Dispnea  Ventilasi semenit gurgling, mengi,
 Ortopnea meningkat wheezing, ronkhi
Objektif  Kapasitas vital kering)

 Penggunaan otot meningkat 3. Monitor sputum

bantu pernapasan  Diameter thoraks (jumlah, warna,

 Fase ekspirasi anterior – posterior aroma)


meningkat Terapeutik
memanjang  Tekanan ekspirasi 1. Pertahankan kepatenan
 Pola napas meningkat jalan napas dengan
abnormal (mis.  Tekanan inspirasi head-til dan chin-lift
takipnea, meningkat (jaw-thrust jika curiga
bradipnea,  Dispnea menurun trauma servikal)
hiperventilasi,  Penggunaan otot 2. Posisikan semi fowler
kussmaul, bantu napas menurun atau fowler
cheyne-stokes)  Pemanjangan fase 3. Berikan minum hangat
 Pernapasan ekspirasi 4. Lakukan fisioterapi
purse-lip  Ortopnea menurun dada, jika perlu
 Pernapasan 5. Lakukan penghisapan
 Pernapasan pursed –
cuping hidung lendir kurang dari 15
lip menurun
 Diameter thoraks detik
 Pernapasan cuping
anterior-posterior hidung menurun
meningkat  Frekuensi napas
6. Lakukan
 Ventilasi semenit membaik
hiperoksigenasi
menurun  Kedalaman napas
sebelum penghisapan
 Kapasitas vital membaik
endotrakeal
menurun  Ekskursi dada
7. Keluarkan sumbatan
 Tekanan membaik
benda padat dengan
ekspirasi
forsep McGill
menurun
8. Berikan oksigen, jika
 Tekanan inspirasi
perlu
menurun
Edukasi
 Ekskursi dada
1. Anjurkan asupan
berubah
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika perlu

7. Gangguan Tumbuh Status Perkembangan Perawatan Perkembangan


Kembang (D.0106) (L.10101) Setelah (1.10339)
berhubungan dengan dilakukan tindakan Tindakan
DS : tidak tersedia keperawatan selama ….x 24 Observasi
DO : jam maka status  Identifikasi pencapaian
 Tidak mampu perkembangan membaik tugas perkembangan
melakukan dengan kriteria hasil : anak
keterampilan atau  Keterampilan/perilaku  Identufikasi isyarat
perilaku sesuai sesuai usia meningkat perilaku dan fisiologis
usia (fisik,  Kemampuan yang ditunjukkan anak
bahasa, motorik, melakukan perawatan (mis. lapar, tidak
psikososial) diri meningkat nyaman)
 Pertumbuhan Terapeutik
fisik terganggu  Pertahankan sentuhan
 Tidak mampu seminimal mungkin
melakukan pada bayi premature
perawatan diri  Berikan sentuhan yang
sesuai usia bersifat gentle dan

 Afek datar tidak ragu-ragu

 Respon sosial  Meminimalkan nyeri

lambat  Meminimalkan

 Kontak mata kebisingan ruangan


 Pertahankan
terbatas lingkungan yang
 Nafsu makan mendukung
menurun perkembangan optimal
 Lesu  Motivasi anak
 Mudah marah berinteraksi dengan

 Regresi orang lain

 Pola tidur  Sediakan aktivitas

terganggu pada yang memotivasi anak

bayi berinteraksi dengan


anak lainnya

Edukasi
 Jelaskan orang tua
dan/atau pengasuh
tentang milestone
perkembangan anak
dan perilaku anak
kolaborasi
 Rujuk untuk
konseling, jika perlu

8. Intoleransi Aktivitas Toleransi Aktivitas (L.05047) Manajemen Energi


(D.0056) berhubungan Setelah dilakukan intervensi Tindakan
dengan keperawatan selama … x 24 Observasi
ketidakseimbangan jam maka toleransi aktivitas  Identifikasi gangguan
antara suplai dan meningkat dengan kriteria fungsi tubuh yang
kebutuhan oksigen, hasil : mengakibatkan
kelemahan ditandai  Frekuensi nadi kelelahan
dengan meningkat  Monitor kelelahan
DS :  Saturasi oksigen fisik dan emosional
 Mengeluh lelah meningkat  Monitor pola dan jam
 Dispnea  Kemudahan dalam tidur
saat/setelah melakukan aktivitas
aktivitas sehari-hari meningkat  Monitor lokasi dan

 Merasa tidak  Keluhan lelah ketidaknyamanan

nyaman setelah menurun selama melakukan

beraktivitas  Dispnea saat aktivitas aktivitas

 Merasa lemah menurun


DO :  Dispnea setelah
 Frekuensi aktivitas menurun
jantung  Perasaan lemah Terapeutik
meningkat >20 menurun  Sediakan lingkungan
% dari kondisi nyaman dan rendah
istirahat stimulus (mis. cahaya,
 Gambaran EKG suara, kunjungan)
menunjukkan  Lakukan latihan
aritmia rentang gerak pasif
saat/setelah dan/atau aktif
aktivitas  Berikan aktivitas
 Gambaran EKG distraksi yang
menunjukkan menenangkan
iskemia  Fasilitasi duduk disisi
 Sianosis tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
 Anjurkan
menghubungi perawat
jika tanda dan gejala
kelelahan tidak
berkurang
 Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi kelelahan

Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan tahapan melakukan rencana
tindakan sesuai kondisi pasien. Implementasi sepenuhnya mengacu pada
rencana tindakan yang disusun. Tindakan keperawatan berupa perawatan
langsung maupun tindakan kolaboratif lainnya, penyuluhan kesehatan dan
juga rujukan jika pasien membutuhkan perawatan lanjutan (Teli, 2018).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahapan yang membandingkan
antara hasi implementasi dengan kriteri hasil yang ditetapkan untuk
melihat keberhasilannya (Teli, 2018).
BAB III

PEBUTUP

A. Kesimpulan
HIV/AIDS menjadi masalah serius karena bukan hanya merupakan
masalah kesehatan, tetapi juga masalah ekonomi, sosial, dan lain-lain.
HIV/AIDS telah menjadi ancaman secara global yang signifikan bagi anak-
anak dan remaja karena dapat menyebabkan berbagai masalah yang dapat
mengganggu tumbuh kembangnya, seperti fisik, psikologis, dan hambatan
hubungan sosial (Vranda & Mothi, 2013). Anak-anak dengan infeksi
HIV/AIDS membutuhkan waktu pengobatan seumur hidup. Tentunya hal ini
banyak menimbulkan masalah psikologis seperti cemas, merasa terisolasi,
depresi.

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai