Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penyalagunaan NAPZA di Indonesia sangat memprihatimkan terlihat dengan


makin banyaknya pengguna NAPZA dari semua kalangan. Namun yang lebih
memprihatimkan penyalahgunaan NAPZA saai ini justru banyak dilakukan oleh
kalangan remaja ( BNN, 2011).

Keterlibatan remaja dalam penggunaan NAPZA menjadi momok dikalangan


masyarakat, bangsa dan negara karena pada dasarnya remaja merupakan ujung
tombak bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Hal terjadi karena remaja belum
mampu berpikir positip. Kemampuan untuk berfikir dan berprilaku positif dari kecil
akan mempengaruhi pertumbuhan individu ketika dewasa. Proses konseling dan
monitoring perlu memperhatikan preferensi dan kecenderungan klien dan menaruh
ekspetasi pada lingkungannya (Killing et al., 2015).

Semakin banyak individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan


dan ketergantungan NAPZA yaitu mengalami intoksikasi. Peran tenaga kesehatan
dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah
sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka
yang berminat pada penanggulangan NAPZA (Depkes, 2011).

Berdasarkan permasalahan yang di atas, maka diperlukan pesan tenaga


kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang sedang
dirawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat
tentang perawatan dan pencegahan kembali penyalahgunaan NAPZA pada klien.
Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan
menggunakan pendekatan dalam pemberian pelayanan yang ditujukan untuk
menjamin agar klien yang mempunyai masalah ganda dan kompleks dapat
memperoleh semua pelayanan yang dibutuhkannya secara tepat melalui manajemen
penyalahgunaan NAPZA (Livia Permata., dkk 2018).

2. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian NAPZA?
2. Jenis-jenis NAPZA?
3. Penyalahgunaan NAPZA?
4. Faktor-faktor penyalahgunaan NAPZA?
5. Dampak penyalahgunaan NAPZA?
6. Bagaimana prinsip manajemen kasus penyalahgunaan NAPZA?
7. Bagaimana komponen dasar manajemen kasus?
8. Bagaiman model-model manajemen kasus?
9. Bagaimana langkah-langkah penerapan manajemen kasus?
3. Tujuan
Tujuan umum :
Mahasiswa mampu menelaah manjemen kasus penyalahgunaan NAPZA
Tujuan khusus :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan teori kasus penyalahgunaan NAPZA.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan manajemen kasus penyalahgunaan NAPZA
3. Mahasiswa mampu memahami tujuan manajemen kasus penyalahgunaan
NAPZA
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian

NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) adalah


bahan/zat/obat yang bila masuk di dalam tubuh manusia yang mempengaruhi tubuh
terutama otak/susunan saraf pusat menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan
fungsi sosial karena kebiasaan, ketagihan (adiksi) dan ketergantungan ( dependensi)
terhadap NAPZA (Sholihah, 2015). Sedangkan menurut kemenkes (2010), NAPZA
adalah zat yang mempengaruhi struktur atau fungsi beberapa bagian tubuh orang
yang mengkomsumsinya.

Napza merupakan zat-zat kimiawi yang dimasukan ke dalam tubuh manusia


baik secara oral, dihirup, dan intravena yang dapat mengubah pikiran, suasana
hati/perasaan, dan prilaku seseorang yang mengakibatkan ketergantungan secara
fisik, psikologis dan kerusakan sistim saraf dan orang-orang lainnya (Kabain, 2020).

2. Jenis-jenis NAPZA
Menurut Dits Prasanti (2018), jenis-jenis dari NAPZA dibagi dalam 3 jenis,
yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Tiap jenisnya dibagi dalam
beberapa kelompok, yakni :
a. Narkotika
Narkotika adalah jenis zat/obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintesis maupun bukan sintesis yang menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran atau hilangnya rasa (Dits Prasanti, 2018).
Berdasarkan UU No. 22 / 1997, jenis-jenis narkotika dapat dibagi menjadi 3
golongan yaitu :
1) Golongan I
Narkotika yang hanya dapat dipergunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan
tidak ditunjukan untuk terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi
untuk menyebabkan ketergantungan.
Contoh : Heroin/putaw, kokain, ganja.
2) Golongan II
Narkotika yang berkhsiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakir dan
dapat digunakan dalam terapi yang bertujuan sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : Morfin dan petidin.
3) Golongan III
Narkoba yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalan terapi dan
bertujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : Kodein.
Berdasarkan cara pembuatannya, narkotika dibekan menjadi 3 jenis yaitu
narkotika alami, narkotika semisintesis dan narkotika sintesis (Dits Prasanti,
2018).
a) Narkotika alami
Narkotika alami adalah narkotika yang zat adiktifnya diambil dari
tumbuh-tumbuhan (alam).
Contoh : Ganja, hasis, koka, dan opium.
b) Narkotika semisintesis
Narkotika semisintesis adalah narkotika alami yang diolah dan menjadi
zat adiktifnya agar memiliki khasiat yang yang lebih kuat sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan kedokteran.
Contoh : Morfin, Kodein, heroin dan kokain.
c) Narkotika Sintesis
Narkotika sintesis adalah narkotika palsu yang dibuat dari bahan kimia
yang digunakan untuk pembiusan dan pengobatan bagi orang yang
menderita ketergantungan narkoba.
Contoh : Petidin, methadone, dan naltrexone.
b. Psikotropika
Menurut Dits Prasanti (2018), Psikotropika adalah zat atau obat bukan
narkotika, baik alamia maupun sintesis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktifitas normal dan perilaku. Berdasarkan undang-undang No. 5 tahun
1997, psikotropika dikelompokan dalam 4 golongan yakni :
1) Golongan I
Psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, belum diketahui
manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang diteliti khasiatnya.
Contoh : MDMA, ekstasi, LSD, dan STP
2) Golongan II
Psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna untuk pengobatan dan
penelitian.
Contoh :Amfetamin, metamfetamin, dan metakualon.
3) Golongan III
Psikotropika dengan daya adiksi sedang serta berguna untuk pengobatan dan
penelitian.
Contoh : Lumibal, buprenorsina, dan fkeenitrasepam.
4) Golongan IV
Psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk
pengobatan dan penelitian.
Contoh : Nitra zepam (mogadon, dumolid) dan diaepamd
c. Zat Adiktif lainnya
Zat adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkoba dan psikotropika yang dapat
menimbulkan ketergantungan. Zat adiktif ini sering pula disebut dengan zat
psikoaktif yaitu zat yang mempunyai pengaruh pada sistem saraf pusat (otak)
sehingga bila digunakan akan mempengaruhi kesadaran, perilaku, pikiran dan
perasaan. Contohnya : rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang
memabukkan dan menimbulkan ketagihan, thinner dan zat-zat lain seperti lem
kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin yang bila dihisap, dihirup, dan dicium,
dapat memabukkan (Dits Prasanti, 2018).
3. Penyalahgunaan NAPZA
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis,
paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan
gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai
untuk kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien dan mengurangi rasa
sakit. Tetapi karena efeknya “enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai
secara salah, yaitu bukan untuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat.
Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasa
ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik (Fallis,
2013)
Menurut Sumiati (2012), ketergantungan terhadap NAPZA dibagi menjadi 2,
yaitu :
1)Ketergantungan Fisik
Ketergantungan fisik yaitu keadaan bila seseorang mengurangi atau
menghentikan penggunaan NAPZA tertentu yang bisa digunakan, maka akan
mengalami gejala putus zat ( Sumiati, 2012).
2)Ketergantungan Psiklogis
Ketergantungan psikologis yaitu keadaan bila berhenti menggunakan NAPZA
tertentu, seseorang akan mengalami kerinduan yang kuat untuk menggunakan
NAPZA tersebut walaupun ia tidak mengalami gejala fisik (Sumiati, 2012).
4. Faktor Penyalahgunaan NAPZA
Menurut Daniel (2013), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
timbulnya penyalahgunaan narkotika diantaranya sebagai berikut :
1)Faktor individu
a) Mental yang lemah
b) Strees dan depresi
c) Ingin tahu dan coba-coba
d) Mencari sensasi dan tantangan
2)Faktor sosial budaya
a) Broken home
b) Kurangnya perhatian orang tua pada anak
c) Terlalu memanjakan anak
d) Pendidikan keras terhadap anak
e) Kurangnya komunikasi dan keterbukaan
3)Faktor Lingkungan
a) Salah bergaul
b) Ikut-ikutan
5. Tahap Pemakaian NAPZA
Menurut Arfian (2016), tahapan pemakaian NAPZA sebagai berikut:
a) Tahap Pemakaian Coba-Coba (Eksperimental)
Tahap pemakaian coba-coba (eksperimental) disebabkan karena pengaruh
kelompok sebaya yang besar sehingga menimbulkan rasa ingin tahu atau
coba-coba. Pada tahap ini, biasanya terjadi keinginan untuk mencoba
mengisap rokok, ganja atau minuman alcohol lainya (Arfian, 2016).
b) Tahap Pemakaian Sosial
Tahap pemakaian sosial dimulai dari pergaulan yang mendorong rasa
ingin diakui atau diterima pada suatu kelompok. Pada tahap ini, mula-
mula NAPZA dapat diperoleh dengan gratis atau dibeli dengan harga
murah (Arfian, 2016).
c) Tahap Pemakaian Situasional
Tahap pemakaian situasional terjadi ketika merasa kesepian dan stress
sehingga pemakaian NAPZA menjadi cara mengatasi masalah yang
mendorong pemakai berusaha memperoleh NAPZA secara aktif (Arfian,
2016).
d) Tahap Habituasi (Kebiasaan)
Tahap habituasi (kebiasaan) bisa disebut dengun penyalahgunaan NAPZA
yang menyebabkan perubahan pada tubuh dan gaya hidup yang dipakai
secara teratur atau sering. Pemakai lebih mudah tersinggung, sensitive,
pemarah, sulit tidur, sulit tidur, minat atau cita-cita mulai menghilang
serta lebih suka menyendiri (Arfian, 2016).
e) Tahap Ketergantungan
Tahap ketergantungan mampu menimbulkan sakaw atau gejala putus zat
yakni dalam pasokan NAPZA yang cukup, pemakai tampak sehat
meskipun sebenarnya sakit akan tetapi apabila pasokan NAPZA dikurangi
atau dihentikan maka akan timbul gejala sakit yang tampok (Arfian,
2016).
6. Dampak Penyalahgunaan NAPZA
Menurut Arfian (2016), dampak dari penyalahgunaan NAPZA sebagai berikut:
a) Kondisi Fisik
1) Ganja Mampu menurunkan daya tahan sehingga mudah terinfeksi,
dan memburuk aliran darah.
2) Kokain: Aritmia jantung, ulkus/perforasi sekat hidung, anemia,dan
penurunan berat badan.
3) Alkohol : Gangguan lambung, kanker usus, gangguan hati, gangguan
otot jantung dan saraf, gangguan metabolisme, cacat janin, dan
gangguan seksual.
4) Bahan campuran / pelarut: Infeksi dan emboli.
b) Kehidupan Mental/Emosional
1) Alkohol: Gangguan perilaku tidak wajar.
2) Ganja: Sindrom amotivasional.
3) Amfetamin: Depresi dan bunuh diri.
c) Kehidupan Sosial
1) Prestasi menurun.
2) Terganggunya hubungan anggota keluarga dan teman dekat.
3) Terjadi tindak criminal.
4) Keretakan rumah tangga dan percemian,
7. Manajemen Kasus Penyalahgunaan NAPZA
Manajemen kasus adalah suatu cara yang terancama, terkoordinasi, dan teruji
untuk memaksimalkan suatu efisiensi dan produktivitas dalam melaporkan serta
menginvestigasikan bermacam- macam kasus (Greene, 2012). Sedangkan menurut
Livia et all (2018), manajemen kasus merupakan suatu pendekatan dalam
pemberian pelayanan yang ditujukan untuk menjamin agar klien yang mempunyai
masalah ganda dan kompleks dapat memperoleh semua pelayanan yang dibutuhkan
secara tepat.Pada kasus ini yakni seseorang yang meminta atau mencari
pertolongan dalam masalah / kasus penyalahgunaan NAPZA. Menurut Garcia
Reyes (2013), manajemen kasus ini dapat dilakukan dengan upaya pencegahan,
meliputi :

a)Pencegahan primer

Pencegahan primer / dini ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok /


komunitas yang memiliki resiko tinggi terhadap penyalahgunaan NAPZA
untuk melakukan intervensi waspada dan memiliki ketahanan agar tidak
menggunakan NAPZA (Arfian, 2016).

b) Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok /


komunitas yang sudah menyalahgunakan NAPZA melalui proses
pengobatan (Arfian, 2016).

c)Pencegahan tersier

Pencegahan tertier ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok /


komunitas yang sudah pernah menyalahgunakan NAPZA dan telah
mengikuti program terapi dan rehabilitasi untuk menjaga agar tidak
kambuh (Arfian, 2016). Menurut Gita et al. (2018), selain upaya
pencegahan manajemen kasus penyalahgunaan NAPZA dapat dilakukan
dengan pengobatan terapi dan rehabilitasi. Untuk pengobatan terapi
menggunakan detoksifikasi untuk mengurangi upaya atau menghentikan
gejala potus zat. Sedangkan rehabilitasi / pemulihan merupakan upaya
kesehatan yang dilakukan secara utuh melalui pendekatan nonmedis,
psikologis, dan religi agar pengguna NAPZA yang mengalami
ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional secara optimal
(Gita et al., 2018).

8. Prinsip Manajemen Kasus Penyalahgunaan NAPZA


Menurut Gita et al. (2018), prinsip-prinsip yang digunakan dalam
manajemen kasus penyalahgunaan NAPZA, yakni:
a) Individualisasi pelayanan (individualization of services)
Prinsip individualisasi menganggap setiap individu berbeda satu. dengan
yang lainnya, sehingga perlu penyesuaian cara memberi bantuan dengan
setiap klien guna mendapatkan hasil yang diinginkan (Gita et al., 2018).
b) Pelayanan komprehensif (comprehensiveness of service)
Pelayanan diberikan tidak hanya terfokus pada klien, tetapi juga sistem
klien (lingkungan) yang mempengaruhi keberadaan klien, agar tercita
suasana yang kondusif bagi kehidupan klien (Gita et al., 2018).
c) Kemandirian (fostering autonomy)
Menurut Gita et al., (2018), pelayanan yang diberikan bertujuan agar
klien mampu hidup normal dan mampu mengatasi masalahnya sendiri.
d) Keberlanjutan pelayanan (continuity of care)
Pelayanan dilakukan sesuai dengan tahapan pelayanan yang dimulai dari
pendekatan awal sampai dengan terminasi yang berakhir dengan
kemandirian klien (Gita et al., 2018).
e) Penerimaan
Prinsip ini mengemukakan bahwa seorang harus menerima klien tanpa
menghakimi klien tersebut terlebih dahulu sehingga klien dapat merasa
lebih percaya diri dan tidak kaku dalam berbicara untuk mengungkapkan
perasaan dan permasalahan yang dialami (Gita et al., 2018).
f) Komunikasi
Prinsip komunikasi berkaitan dengan kemampuan menangkap informasi
ataupun pesan yang dikemukakan oleh klien baik dalam verbal atau
nonverbal (Gita et al., 2018).
g) Kerahasiaan
Kerahasiaan dimaksudkan sebagai pertukaran informasi antara
sekelompok orang dan menyembunyikanya terhadap orang lain yang
bukan anggota kelompok tersebut (Gita et al., 2018).
9. Komponen Dasar Manajemen Kasus
Menurut Gita et al. (2018), komponen dasar yang ada pada manajemen kasus,
yakni:
a) Assesment
Tim manajemen kasus mengadakan prescreening terhadap klien, untuk
menentukan klien yang ikut dalam program manajemen kasus yang
dilakukan. Hal-hal mendasar dalam penentuan prescreening:
1) Keadaan medis psikiatri klien.
2) Ada tidaknya dukungan keluarga terhadap program ini dapat
berpengaruh pada keikutsertaan klien. Assesment yang bersifat
komprehensif menjadi penting dalam manajemen kasus.
Assesment ini dapat diperoleh dari:
1) Hasil observasi dan evaluasi perkembangan tingkah laku klien selama
masa perawatan.
2) Informasi dari keluarga atau orang yang dekat dengan klien.
3) Hasil masukan atau pendapat dari klien tentang hal-hal yang menjadi
masalah bagi dirinya
b) Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap untuk menyum dan mengembangkan
layanan yang menyeluruh untuk klien sesu dengan hasil assessment. Hasil
dari assessment kemudian diaman menjadi formulasi masalah dan
ditetapkan prioritas masalah yang digunakan untuk menyusun
perencanaan (Gita et al., 2018)
c) Pelaksanaan/Implementasi
Pada tahap ini, mulai dilaksanakan pelaksanaan dari perencanaan yang
ada untuk memberikan pelayanan kepada klien dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan klien (Gita et al., 2018).
d) Pengawasan/Monitoring
Pada tahap ini, dilakukan monitoring dari pelayanan yang telah diberikan
kepada klien meliputi kuantitas dan kualitas pelayanan, efektivitas biaya,
pelaksanaan pelayanan, dan kebutuhan klien (Gita et al, 2018)
e) Pendampingan
Pada tahap ini, dilakukan pendampingan dan bimbingan lanjut kepada
klien selama program manajemen kasus (Gita et al., 2018).
f) Terminasi
Pada tahap ini, dipersiapakn klien untuk mengakhiri program dari
manajemen kasus melalui masa transisi dan dilepaskan untuk mengikuti
program tanpa pendampingan dan dinyatakan telah keluar dari program
(Gita et al., 2018).
10. Model-Model Manajemen Kasus
Model manajemen kasus disesuaikan dengan kebutuhan klien. Menurut
Salomon (1992), ada 4 model yang sering digunakan dalam manejemen kasus,
yakni:
a) Expanded Broker Model
Pada model ini, klien dihubungkan dengan pelayanan lain dalam
komunitas untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan klien dengan
menggunakan elemen penilaian, perencanaan, pelaksanaan, dan
pendampingan (Gita et al., 2018).
b) Rehabilitation Model
Pada model ini, cenderung membantu klien untuk mencapai sukses pada
lingkungan yang dipilih yang menfokuskan pada perkembangan
keterampilan (Gita et al. 2018)
c) Personal Strenghth Model/Development Acquisition Model Pada model
ini mempunyai 2 dasar yang dijadikan pedoman yaitu menjadi orang yang
sukses dan perilaki individu yang bergantung pada sumber individu yang
tersedia (Gila et al., 2018).
d) Full Support Model
Model ini mempunyai fungsi untuk menyediakan jasa pelayanan yang
dibutuhkan klien yang bergabung pada tim multidisiplin yang terdiri dari
spesialis berbagai jasa pelayanan (Gita et al., 2018)
11. Langkah-Langkah Penerapan Manajemen Kasus
Menurut Gita et al. (2018). langkah-langkah yang dapat diterapkan dalam
manajemen kasus, yakni:
a) Orientasi dan identifikasi klien
b) Assement informasi dan memahami situasi klien.
c) Merencanakan program pelayanan.
d) Menghubungkan dan mengkoordinasikan pelayanan.
e) Memberikan pelayanan tindak lanjut dan monitoring.
f) Memberikan support pada klien.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan


sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah
dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku
psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi
karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat
untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan
tanda ketergantungan fisik.

B. Saran

Masalah pencegahan penyalahgunaan NAPZA bukanlah menjadi tugas dari


sekelompok orang saja, melainkan menjadi tugas kita bersama. Upaya pencegahan
penyalahgunaan NAPZA yang dilakukan sejak dini sangatlah baik, tentunya dengan
pengetahuan yang cukup tentang penanggulangan tersebut. Peran orang tua dalam
keluarga dan juga peran pendidik di sekolah sangatlah besar bagi pencegahan
penaggulangan terhadap NAPZA
DAFTAR PUSTAKA

Arfian, Z. (2016) Gambaran Pelaksanaan Therapeutic Community Tahap Orientasi


Pada Penyalahgunaan Napza Di Ipwl Ypi Nurul Ichsan Al Islami Kab.
Purbalingga 2008, 11-29.
http://repository.ump.ac.id/2258/3/ZICO ARFIAN BAB II.pdf

Daniel, S. dan B. (2013). Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35


Tahun 2009 tentang Narkotika. Sinar Grafika
http://eprints.umm.ac.id/39568/3/BAB II.pdf

Dits Prasanti, D. R. F. (2018). Narkoba Dan Penanggulangan Narkoba.

Pembentukan Anak Usia Dini: Keluarga, Sekolah. Dan Komunitas, 2(2), 15.

Fallis, A. (2013). Universitas Sumatra Utara. Journal of Chemical Information and


Modeling, 53(9), 1689-1699.

Garcia Reyes, L. E. (2013). Upaya Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA.

Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689-1699.

Gita, L. P., Anggraini, L., & Permata, R. B. (2018) Manajemen Kasus

Pada Klien Penyalahgunaan NAPZA. 4(1710142010026), 1-21.

Greene, J. (2012). The Encyclopedia of Police Science (3rd ed.). Routledge.


https://www.worldcat.org/title/encyclopedia-of-police-
science/oclc/71241846
Kabain, A. (2020). Peran Keluarga, Guru, dan Sekolah Menyelamatkan Anak dari
Pengaruh Napza (Tim Editor Umum (ed.); Edisi Digi). ALPRIN

https://www.google.co.id/books/edition/Peran Keluarga Guru dan Se kolah


Menyelam/N9EAEAAAQBAJ? hl=id&gbpv-1&kptab overview

Klien, A. K., & Narkoba, K. (2005). Asuhan Keperawatan Klien dengan

Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkoba (NAPZA). 1-18.

Pendidikan, J. P. (2016). Penyalahgunaan napza di kalangan remaja (studi

kasus pada 2 Siswa di MAN 2 Kota Bima). 2, 26-32.

PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (Edisi 1 Ce).


Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia,

PPNI, T. P. S. D. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Edisi 1

Ce). Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI, T. P. S. D. (2019), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Edisi 1 Ce).


Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Sholihah, Q. (2015). Efektivitas Program P4Gn Terhadap Pencegahan


Penyalahgunaan Napza. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10(2), 153.
https://doi.org/10.15294/kemas.v1012.3376

Anda mungkin juga menyukai