Anda di halaman 1dari 6

Sakramen (Katolik)

Sakramen, sebagaimana difahami oleh Gereja katolik, merupakan tanda yang terlihat, yang dapat
ditangkap oleh panca indera, yang dilembagakan oleh Yesus dan dipercayakan kepada Gereja, sebagai
sarana yang dengannya rahmat ilahi diindikasikan oleh tanda yang diterimakan, yang membantu pribadi
penerimanya untuk menjadi lebih sempurna dalam kekudusan, dan berkontribusi kepada pertumbuhan
Gereja dalam amal-kasih dan kesaksian.
Meskipun tidak semua pribadi menerima semua sakramen, sakramen-sakramen secara keseluruhan
dipandang sebagai sarana penting untuk keselamatan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat
tertentu dari tiap sakramen tersebut, contohnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja,
pengampunan dosa-dosa, atau pun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa efek dari suatu sakramen itu sah ex opere operato (oleh kenyataan
bahwa sakramen itu dilayankan), tanpa memperhitungkan kekudusan pribadi orang bawahan yang
melayankannya; kurang layaknya kondisi penerima untuk menerima rahmat yang dianugerahkan tersebut
dapat menghalangi efektivitas sakramen itu untuk yang bersangkutan; sakramen memerlukan
sahnya iman, meskipun kata-kata dan elemen-elemen ritualnya, menyuburkan, menguatkan dan memberi
ekspresi untuk iman (Kompendium Katekismus Gereja Katolik, 224).
Gereja katolik mengajarkan sahnya tujuh sakramen, dan diurutkan dalam Katekismus Gereja Katolik
(KGK) sebagai berikut:
 Pembaptisan: KGK 1213–1284

 Penguatan, juga disebut Krisma (KGK 1289): KGK 1285–1321

 Ekaristi: KGK 1322–1419

 Rekonsiliasi(umumnya disebut "Pengakuan Dosa"): KGK 1422–1498

 Pengurapan orang sakit: KGK 1499–1532

 Imamat: KGK 1536–1600

 Pernikahan: KGK 1601–1666

Penjelasan tiap sakramen tersebut berikut ini terutama didasarkan atas Kompendium Katekismus Gereja
Katolik.

Daftar konten
 1 Sakramen-sakramen Inisiasi

 1.1 Pembaptisan

 1.2 Penguatan

 1.3 Ekaristi

 2 Sakramen-sakramen Penyembuhan

 2.1 Rekonsiliasi

 2.2 Pengurapan Orang Sakit

 3 Sakramen-sakramen Panggilan

 3.1 Imamat

 3.2 Pernikahan

 4 Validitas dan keabsahan pelayanan sakramen-sakramen

 5 Para Pelayan-Sakramen Biasa dan Luar Biasa

 6 Referensi
Sakramen-sakramen Inisiasi
Pembaptisan
Pembaptisan merupakan sakramen pertama dan mendasar dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini
dilayankan dengan metode menyelamkan si penerima ke dalam cairan atau dengan mencurahkan (tidak
sekedar memercikkan) cairan ke atas kepala si penerima "dalam nama Allah Bapa dan Allah
Putra dan Roh Kudus " (Matius 28:19). Orang bawahan sakramen ini kebanyakan
seorang uskup atau imam, atau (dalam Gereja Latin, namun tidak demikian halnya dalam Gereja Timur)
seorang diakon.
Dalam kondisi darurat, siapapun yang berniat untuk melakukan apa yang dilakukan Gereja, bahkan jika
orang itu bukanlah seorang Kristiani, dapat membaptis.
Pembaptisan membebaskan penerimanya dari dosa asal serta semua dosa pribadi dan dari hukuman
akibat dosa-dosa tersebut, dan menciptakan orang yang dibaptis itu mengambil anggota dalam
kehidupan Tritunggal Allah melewati "rahmat yang menguduskan" (rahmat pembenaran yang
mempersatukan pribadi yang bersangkutan dengan Kristus dan Gereja-Nya).
Pembaptisan juga menciptakan penerimanya mengambil anggota dalam imamat Kristus dan merupakan
landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen.
Pembaptisan menganugerahkan kebajikan-kebajikan "teologis" (iman, harapan dan kasih) dan karunia-
karunia Roh Kudus. Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang
tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus.
Penguatan
Penguatan atau Krisma merupakan sakramen ketiga dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini diberikan
dengan metode mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak yang telah dicampur sejenis balsam,
yang memberinya aroma khas, didampingi doa khusus yang menunjukkan bahwa, baik dalam variasi
Barat maupun Timurnya, karunia Roh Kudus menandai si penerima seperti sebuah meterai. Melewati
sakramen ini, rahmat yang diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan diperdalam" . [1]

Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam kondisi layak
(artinya lepas sama sekali dari dosa-maut apapun yang dikenal dan yang belum diakui) supaya dapat
menerima efek sakramen tersebut. Orang bawahan sakramen ini merupakan seorang uskup yang
ditahbiskan secara sah; jika seorang imam (presbiter) melayankan sakramen ini — sebagaimana yang
biasa dilakukan dalam Gereja-Gereja Timur dan dalam keadaan-keadaan istimewa (seperti pembabtisan
orang matang atau seorang anak kecil yang sekarat) dalam Gereja Ritus-Latin (KGK 1312–1313) —
hubungan dengan jenjang imamat di atasnya ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan
nama krisma atau myron) yang telah diberkati oleh uskup dalam perayaan Kamis Putih atau pada hari
yang dekat dengan hari itu. Di Timur sakramen ini dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di
mana administrasi kebanyakan dikhususkan untuk orang-orang yang sudah dapat memahami guna
pentingnya, sakramen ini ditunda sampai si penerima sampai usia awal kedewasaan; kebanyakan setelah
yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi, sakramen ketiga dari inisiasi Kristiani.
Kian lama kian dipulihkan urut-urutan tradisional sakramen-sakramen inisiasi ini, yakni diawali dengan
pembaptisan, selanjutnya penguatan, barulah Ekaristi.
Sakramen Penguatan diberikan dengan metode mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak yang
telah dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, didampingi doa khusus yang menunjukkan
bahwa, baik dalam variasi Barat maupun Timurnya, karunia Roh Kudus menandai si penerima seperti
sebuah meterai. Melewati sakramen ini, rahmat yang diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan
diperdalam". [1]

Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam kondisi layak
(artinya lepas sama sekali dari dosa-maut apapun yang dikenal dan yang belum diakui) supaya dapat
menerima efek sakramen tersebut. Orang bawahan sakramen ini merupakan seorang uskup yang
ditahbiskan secara sah; jika seorang imam (presbiter) melayankan sakramen ini — sebagaimana yang
biasa dilakukan dalam Gereja-Gereja Timur dan dalam keadaan-keadaan istimewa (seperti pembabtisan
orang matang atau seorang anak kecil yang sekarat) dalam Gereja Ritus-Latin (KGK 1312–1313) —
hubungan dengan jenjang imamat di atasnya ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan
nama krisma atau myron) yang telah diberkati oleh uskup dalam perayaan Kamis Putih atau pada hari
yang dekat dengan hari itu. Di Timur sakramen ini dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di
mana administrasi kebanyakan dikhususkan untuk orang-orang yang sudah dapat memahami guna
pentingnya, sakramen ini ditunda sampai si penerima sampai usia awal kedewasaan; kebanyakan setelah
yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi, sakramen ketiga dari inisiasi Kristiani.
Kian lama kian dipulihkan urut-urutan tradisional sakramen-sakramen inisiasi ini, yakni diawali dengan
pembaptisan, selanjutnya penguatan, barulah Ekaristi.
Ekaristi
Ekaristi merupakan sakramen (yang kedua dalam inisiasi Kristiani) yang dengannya umat Katolik
mengambil anggota dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus serta ikut serta dalam pengorbanan diri-Nya.
Aspek pertama dari sakramen ini (yakni mengambil anggota dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus) disebut
pula Komuni Suci. Roti (yang harus terbuat dari gandum, dan yang tidak diberi ragi dalam ritus
Latin, Armenia dan Ethiopia, namun diberi ragi dalam kebanyakan Ritus Timur) dan anggur (yang harus
terbuat dari buah anggur) yang dipergunakan dalam ritus Ekaristi, dalam iman Katolik, ditransformasi
dalam segala hal kecuali bentuknya yang kelihatan menjadi Tubuh dan Darah Kristus, perubahan ini
disebut transubstansiasi.
Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi orang bawahan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak
antaraku pribadi Kristus sendiri. Diakon serta imam kebanyakan merupakan orang bawahan Komuni Suci,
umat awam dapat diberi wewenang dalam lingkup terbatas sebagai orang bawahan luar biasa Komuni
Suci. Ekaristi dipandang sebagai "sumber dan puncak" kehidupan Kristiani, tindakan pengudusan yang
paling istimewa oleh Allah terhadap umat beriman dan tindakan penyembahan yang paling istimewa oleh
umat beriman terhadap Allah, serta sebagai suatu titik dimana umat beriman terhubung dengan liturgi di
surga. Betapa pentingnya sakramen ini sehingga partisipasi dalam perayaan Ekaristi (Misa) dipandang
sebagai kewajiban pada setiap hari Ahad dan hari raya khusus, serta dianjurkan untuk hari-hari yang lain.
Dianjurkan pula untuk umat yang berpartisipasi dalam Misa untuk, dalam kondisi rohani yang layak,
menerima Komuni Suci. Menerima Komuni Suci dipandang sebagai kewajiban sekurang-kurangnya
setahun sekali selama saat Paskah.

Sakramen-sakramen Penyembuhan
Rekonsiliasi
Sakramen rekonsiliasi merupakan yang pertama dari kedua sakramen penyembuhan, dan juga disebut
Sakramen Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat, dan Sakramen Pengampunan . Sakramen ini merupakan
[2]

sakramen penyembuhan rohani dari seseorang yang telah dibaptis yang terjauhkan dari Allah karena
telah berbuat dosa. Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas
dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara
spirutual akan berarti untuk seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam
yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan
penyilihan.
"Banyak dosa yang merugikan sesama. Seseorang harus melakukan melakukan apa yang mungkin
dilakukannya guna memperbaiki kerusakan yang telah terjadi (misalnya, mengembalikan barang yang
telah dicuri, memulihkan nama baik seseorang yang telah difitnah, memberi tukar rugi kepada pihak yang
telah dirugikan). Keadilan yang sederhana pun menuntut yang sama. Akan tetapi dosa juga merusak dan
melemahkan si pendosa sendiri, serta hubungannya dengan Allah dan sesama. Si pendosa yang bangkit
dari dosa tetap harus memulihkan sepenuhnya kesehatan rohaninya dengan melakukan lagi sesuatu
untuk memperbaiki kesalahannya: beliau harus 'melakukan silih bagi' atau 'memperbaiki kerusakan
akibat' dosa-dosanya. Penyilihan ini juga disebut 'penitensi'" (KGK 1459). Pada awal abad-abad
Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini
kebanyakan melibatkan suatu tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan
sebagian perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya.
Imam yang bersangkutan terikat oleh "meterai pengakuan dosa", yang tak boleh dirusak. "Oleh
karenanya, benar-benar salah jika seorang konfesor (pendengar pengakuan) dengan metode apapun
mengkhianati peniten, untuk gagasan apapun, baik dengan perkataan maupun dengan perlintasan lain"
(kanon 983 dalam Hukum Kanonik). Seorang konfesor yang secara langsung merusak meterai
sakramental tersebut otomatis dikenai ekskomunikasi (hukuman pengucilan) yang hanya dapat dicabut
oleh Tahta Suci (kanon 1388).
Pengurapan Orang Sakit
Pengurapan Orang Sakit merupakan sakramen penyembuhan yang kedua. Dalam sakramen ini seorang
imam mengurapi si sakit dengan minyak yang khusus diberkati untuk upacara ini. "Pengurapan orang
sakit dapat dilayankan untuk setiap umat beriman yang, karena telah sampai penggunaan cara
melakukan sesuatu budi, mulai berada dalam bahaya yang dikarenakan sakit atau usia lanjut" (kanon
1004; KGK 1514). Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan menciptakan
sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang.
Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya untuk orang-orang yang berada dalam sakratul
maut, sehingga dikenal pula sebagai "Pengurapan Terakhir", yang dilayankan sebagai salah satu dari
"Ritus-Ritus Terakhir". "Ritus-Ritus Terakhir" yang lain merupakan pengakuan dosa (jika orang yang
sekarat tersebut secara fisik tidak memungkinkan untuk mengakui dosanya, karenanya minimal diberikan
absolusi, yang tergantung pada sah atau tidaknya penyesalan si sakit atas dosa-dosanya), dan Ekaristi,
yang bilamana dilayankan kepada orang yang sekarat dikenal dengan sebutan "Viaticum", sebuah kata
yang guna aslinya dalam bahasa Latin merupakan "bekal perjalanan".

Sakramen-sakramen Panggilan
Imamat
Imamat atau Pentahbisan merupakan sakramen yang dengannya seseorang menjadi uskup, imam, atau
diakon, sehingga penerima sakramen ini dibaktikan sebagai citra Kristus. Hanya uskup yang boleh
melayankan sakramen ini.
Pentahbisan seseorang menjadi uskup menganugerahkan kegenapan sakramen Imamat untuknya,
menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para rasul, dan memberi beliau misi untuk mengajar,
menguduskan, dan menuntun, didampingi kepedulian dari semua Gereja.
Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus antaraku Kepala Gereja dan
Imam Agung, serta menganugerahkan untuknya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk
merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis yang lain, teristimewa Ekaristi.
Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus antaraku Orang bawahan
semua orang, menempatkan beliau pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada
kegiatan yang dipekerjakan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan
dalam memberitakan firman Allah.
Orang-orang yang berkeinginan menjadi imam dituntut oleh Hukum Kanonik (Kanon 1032 dalam Kitab
Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program seminari yang selain memuat studi filsafat dan teologi
sampai lulus, juga mencakup suatu program formasi yang mencakup pengarahan rohani, berbagai
retreat, pengalaman apostolat (semacam Kuliah Kerja Nyata), dst. Babak pendidikan sebagai persiapan
untuk pentahbisan sebagai diakon permanen diatur oleh Konferensi Wali Gereja terkait.
Pernikahan
Pernikahan atau Perkawinan, seperti Imamat, merupakan suatu sakramen yang mengkonsekrasi
penerimanya guna suatu misi khusus dalam pembangunan Gereja, serta menganugerahkan rahmat demi
perampungan misi tersebut. Sakramen ini, yang dipandang sebagai suatu tanda cinta-kasih yang
menyatukan Kristus dengan Gereja, menetapkan di selang kedua pasangan suatu ikatan yang bersifat
permanen dan eksklusif, yang dimeteraikan oleh Allah. Dengan demikian, suatu pernikahan selang
seorang pria yang sudah dibaptis dan seorang wanita yang sudah dibaptis, yang dimasuki secara sah dan
telah disempurnakan dengan persetubuhan, tidak dapat diceraikan sebab di dalam kitab
suci tertulis Justru karena ketegaran hatimulah karenanya Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.
Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia. Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu berharap keterangan pula kepada
Yesus tentang hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: ”Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan
perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan
kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina." (Mrk. 10:1–12)
Sakramen ini menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang mereka perlukan
untuk sampai kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka serta untuk menghasilkan dan mengasuh
anak-anak mereka dengan penuh tanggung jawab. Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan
imam (atau saksi lain yang ditunjuk oleh Gereja) serta saksi-saksi yang lain, meskipun dalam
tradisi teologis Gereja Latin yang melayankan sakramen ini merupakan kedua pasangan yang
bersangkutan.
Demi kesahan suatu pernikahan, seorang pria dan seorang wanita harus mengutarakan niat dan
persetujuan-bebas (persetujuan tanpa paksaan) masing-masing untuk saling memberi diri seutuhnya,
tanpa memperkecualikan apapun dari hak-milik esensial dan maksud-maksud perkawinan. Jika salah satu
dari keduanya merupakan seorang Kristen non-Katolik, karenanya pernikahan mereka hanya dinyatakan
sah jika telah memperoleh izin dari pihak berwenang terkait dalam Gereja Katolik. Jika salah satu dari
keduanya merupakan seorang non-Kristen (dalam guna belum dibaptis), karenanya diperlukan izin dari
pihak berwenang terkait demi sahnya pernikahan.

Validitas dan keabsahan pelayanan sakramen-sakramen


Sebagaimana dijelaskan di atas, efek dari sakramen-sakramen timbul ex opere operato (oleh kenyataan
bahwa sakramen-sakramen tersebut dilayankan). Karena Kristus sendiri yang bertugas melewati
sakramen-sakramen, karenanya efektivitas sakramen-sakramen tidak tergantung pada kelayakan si orang
bawahan.
Meskipun demikian, sebuah pelayanan sakramen yang dapat dipersepsi akan invalid, jika orang yang
bertindak antaraku orang bawahan tidak memiliki kuasa yang diperlukan untuk itu, contohnya jika
seorang diakon merayakan Misa. Sakramen-sakramen juga invalid jika "materi" atau "formula"nya kurang
sesuai dari pada yang seharusnya. Materi merupakan benda materiil yang dapat dipersepsi, seperti cairan
(bukannya anggur) dalam pembaptisan atau roti dari tepung gandum dan anggur dari buah anggur
(bukannya kentang dan bir) untuk Ekaristi, atau tindakan yang nampak. Formula merupakan pernyataan
verbal yang menyertai pemberian materi, seperti (dalam Gereja Barat), "N., Aku membaptis engkau
dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus". Lebih jauh lagi, jika si orang bawahan positif
mengeluarkan sebagian aspek esensial dari sakramen yang dilayankannya, karenanya sakramen tersebut
invalid. Syarat terakhir berada di belakang penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal
validitas imamat Anglikan.
Sebuah sakramen dapat dilayankan secara valid, namun tidak sah, jika suatu syarat yang diharuskan oleh
hukum tidak dipenuhi. Kasus-kasus yang sah contohnya pelayanan sakramen oleh seorang imam yang
tengah dikenai hukuman ekskomunikasi atau suspensi, dan pentahbisan uskup tanpa mandat dari Sri
Paus.
Hukum kanonik merinci halangan-halangan (impedimenta) untuk menerima sakramen imamat dan
pernikahan. Halangan-halangan sehubungan dengan sakramen imamat hanya menyangkut soal
keabsahannya, tetapi "suatu halangan yang bersifat membatalkan dapat menjadikan seseorang tidak
berkapasitas untuk secara valid untuk mengikat suatu akad pernikahan" (kanon 1073).
Dalam Gereja Latin, hanya Tahta Suci yang secara otentik dapat mengeluarkan pernyataan bilamana
hukum ilahi melarang atau membatalkan suatu pernikahan, dan hanya Tahta Suci yang berwenang untuk
menetapkan untuk orang-orang yang sudah dibaptis halangan-halangan pernikahan (kanon 1075).
Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk
berkonsultasi dengan (namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan
halangan-halangan (Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792).
Jika suatu halangan timbulnya hanya karena persoalan hukum Gerejawi belaka, dan bukannya
menyangkut hukum ilahi, karenanya Gereja dapat memberikan dispensasi dari halangan tersebut.
Syarat-syarat untuk validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta lepas sama sekali dari
paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat akad pernikahan dilakukan di
hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili mereka, dan di hadapan dua
orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja
efeknya.
Sah tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat
permanen. Nasihat ini telah diekspresikan di Barat dengan citra-citra dari karakter atau tanda, dan di
Timur dengan sebuah meterai (KGK 698). Akan tetapi, jika sah keraguan tentang validitas dari pelayanan
satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut, karenanya dapat dipergunakan suatu formula kondisional
pemberian sakramen misalnya: "Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …"

Para Pelayan-Sakramen Biasa dan Luar Biasa


Para Orang bawahan Sakramen dalam Gereja Katolik
Sakramen Orang bawahan Biasa Orang bawahan Luar Biasa
umat awam yang didelegasikan oleh
uskup, imam atau diakon; tetapi kebanyakan
Pembaptisan uskup, atau siapapun dalam kondisi
dikhususkan untuk imam paroki setempat
darurat
(dalam Gereja Barat) imam yang
uskup, vikaris jendral (vikjen) atau
Penguatan diberikan wewenang oleh hukum
(dalam Gereja Katolik Ritus Timur) imam
Gereja atau izin khusus
Ekaristi uskup atau imam tidak sah
akolit yang diberi wewenang (jika
Ekaristi (pembagian) klerus tidak mencukupi)
uskup, imam, atau diakon
– Komuni Suci umat awam (jika klerus atau akolit tidak
mencukupi)
orang bawahan luar biasa Komuni Suci
Ekaristi
uskup, imam, atau diakon atau orang lain yang ditunjuk oleh
(pengunjukan)
pejabat gereja lokal
Rekonsiliasi uskup atau imam tidak sah
Pengurapan orang
uskup atau imam tidak sah
sakit
Uskup (untuk gagasan keabsahan, sekurang-
Imamat kurangnya harus sah tiga orang uskup dalam tidak sah
suatu pentahbisan uskup)
suami dan istri (tradisi Barat); imam yang
Pernikahan tidak sah
menjalankan tugas (tradisi Timur)
Referensi
1. ^ a b KGK 1303
2. ^ KGK 1423–1424
Pranala luar
 (id) Katekismus Gereja Katolik tentang Ketujuh Sakramen
 (id) Referensi Sakramen dalam Kitab Suci
 (Inggris)Tanda-Tanda dan Instrumen-Instrumen Rahmat Allah dari Ketujuh Sakramen Katolik

Anda mungkin juga menyukai