Anda di halaman 1dari 13

Sesi-I

PERAYAAN, PETUGAS DAN PELAYANAN,


DAN TATA RUANG

Ars Celebrandi, Seni Merayakan Liturgi (SML), menjadi topik yang


amat penting setelah tahun-tahun Konsili Vatikan II. Mengapa?
Konsili menekankan partisipasi aktif (participatio actuosa) semua
peraya dalam liturgi. Agar partisipasi itu tepat, benar, dan indah
mutlak ada Ars Celebrandi. Topik ini mulai gencar didalami antara
lain oleh Asosiasi Ahli Liturgi di Italia pada tahun 1992 terutama
dengan terbitnya buku Celebrare in spirito e veritá - To Celebrate in
Spirit and in Truth – Merayakan dalam Roh dan Kebenaran. Tema
ini semakin merebak ketika Paus Benediktus XVI pada berbagai
kesempatan menekankan ars celebrandi. SML bukan terutama
menyangkut keterampilan manusiawi pemimpin, pelayan, dan
umat dalam melakukan kegiatan liturgi secara memukau sebab
bila demikian liturgi menjadi pementasan dan pertunjukan belaka.
Kita tidak bisa berhenti pada penampilan atau memandang liturgi
bagaikan sebuah sandiwara (drama). Kita harus melangkah maju
memasuki misteri iman dan menghayatinya. Bagaimana cara agar
kita memasuki misteri iman dan menghayatinya; merayakan
liturgi yang serius, sederhana, dan indah: inilah yang menjadi
fokus utama SML. Dengan demikian kita tidak berhenti pada ini
boleh, itu dilarang, yang sana salah, yang ini benar, melainkan
pada spiritualitas.

SML dibutuhkan dalam setiap perayaan liturgi. Empat topik yang


mendukung SML. Pertama, pengertian SML menyangkut irama
atau tata keindahan, tata perayaan, dan gaya pembawaan. Kedua,
unsur-unsur SML sehubungan dengan kristologis, eklesiologis, dan
antropologis. Ketiga, syarat-syarat yang hendaknya dihayati oleh
pelayan dan umat yakni dalam liturgi Kristus adalah selebran
utama, adanya rasa terpesona (kekaguman akan yang mulia),
memiliki paham yang benar, dan setia pada norma-norma liturgi.
Keempat, hal-hal teknis yang dibutuhkan seperti nyanyian, musik
dan pemusik, cara membaca Sabda Allah, cara membawakan doa,
menyampaikan pengantar yang tepat, homili yang berdaya guna,
dekorasi yang indah dan sederhana namun anggun sebagaimana
sifat hakiki liturgi. Keempat materi ini yang hendak kita tuangkan
dalam sebuah Pedoman Petugas Liturgi atau SML.

Konsili Vatikan II memandang istilah liturgi lebih tepat


dipadankan dengan kata “Perayaan” ketimbang kata “Upacara”.
Dalam kata “perayaan” termuat dua unsur yang menjadi hakekat
liturgi yakni “Doa” dan “Percakapan dengan Tuhan” sementara
kedua hal ini tidak selalu ada dalam suatu upacara. Dari segi
waktu, perayaan selalu menyangkut ketiga dimensi waktu:
peristiwa saat ini adalah lanjutan dari masa lalu dan peristiwa saat
ini terarah ke masa depan. Kata upacara umumnya menekankan
peristiwa masa lalu yang diperingati pada saat ini. Perayaan
menuntut keterlibatan langsung orang yang melakukannya,
sementara upacara menunjuk keterlibatan orang lain. Di kala
upacara 17 Agustus dilaksanakan, para pelaksananya tidak terlibat
dalam perjuangan para pahlawan. Di kala Ekaristi dirayakan, para
pelaksana sendiri sedang menyampaikan doa dan percakapan
langsung dengan Tuhan, bukan sekadar mengenang Yesus dulu
melakukan itu. Dengan kata lain, upacara umumnya bagaikan
sebuah drama (peristiwa masa lalu dilakonkan sekarang)
sementara perayaan bukanlah sebuah drama melainkan peristiwa
nyata, terjadi di sini dan sekarang.

Drama akan berhasil sungguh ditentukan oleh keterampilan para


aktor melakonkan peran seturut skenario. Aktor itu tidak harus
berkepribadian sama dengan yang diperankannya. Pertunjukan
amat mementingkan penampilan yang memukau penonton.
Keterampilan dan penampilan dalam liturgi hanyalah pendukung
isi, bukan yang utama. Karena itu pelayan liturgi mestilah tetap
menyadari ia bukan sedang memainkan sebuah drama pun bukan
sedang melangsungkan pertunjukan. Utama dan terpenting ialah
ia bersama umat sedang berdoa dan bercakap-cakap dengan Allah.
Agar doa dan percakapan itu sungguh terarah, dibutuhkan alat
tolong yakni tata perayaan. Dengan ini semakin jelas bahwa tata
perayaan, norma atau aturan yang ada, bukanlah tujuan melainkan
sarana agar umat mengalami doa dan percakapan rohani dengan
Allah.

Merayakan Ekaristi secara Baik dan Benar sangat terkait dengan


Ars Celebrandi. Setiap pada ajaran yang termuat dalam Misale
Romawi dan serasi dengan citarasa umat setempat yang
merayakannya. Bila kita berbicara tentang SML maka ada tiga kata
penting: Ritme, Tata Perayaan, dan Gaya/Cara yang menampakkan
keindahan (visual, auditif, dan motorik). Selain itu segala sarana
yang dibutuhkan haruslah mendukung.

SML ialah Gereja merayakan liturgi yang serius, sederhana, dan


indah.

Liturgi sebagai Perayaan

Perayaan Liturgi adalah tindakan kudus yang dilaksanakan oleh


Kristus dan Gereja (Umat Allah). Perayaan ini adalah tindakan
bersama (komunitas) tetapi dipimpin oleh seorang pelayan
tertahbis. Ia adalah Uskup, Imam atau Diakon. Ia memimpin
komunitas dalam pribadi Kristus (in persona Christi).

Dalam liturgi kita mengenang Yesus dan menghadirkan pribadi


dan karya-Nya, khususnya kematian dan kebangkitan-Nya, untuk
kemuliaan Allah dan untuk kebaikan manusia. Demikian Yesus,
Allah dan manusia, Pengantara antara Allah dengan manusia,
melaksanakan tugas imamat-Nya. Yesus bersama dengan Gereja
menyampaikan kemuliaan kepada Allah dan serentak membawa
keselamatan bagi manusia.
Dalam liturgi dilambangkan dan direalisasikan pengudusan
manusia melalui tanda-tanda lahiriah dan dilaksanakan ibadat
kepada Allah.

Perayaan Liturgi terutama Ekaristi dan juga sakramen lainnya serta


Liturgi Harian (Liturgia Horarum) dilaksanakan sesuai dengan
Tahun Liturgi.

Setiap perayaan liturgi adalah dialog antara Allah dan Umat.


Dalam liturgi Allah berbicara kepada Umat melalui bacaan-bacaan
Kitab Suci. Umat menanggapi-Nya dengan nyanyian dan doa.
Demikianlah bacaan, nyanyian, dan doa menjadi komponen-
kompomen (unsur-unsur) setiap liturgi. Beberapa tindakan devosi
tidak memiliki kualitas ini, karena itu Gereja tidak menyebutnya
sebagai tindakan liturgi, sekalipun dilaksanakan bersama dan
dipimpin oleh seorang tertahbis. Itu disebut “ulah kesalehan” dan
yang paling dikenal adalah Rosario dan Jalan Salib.
Dasar teologis pelayanan dalam liturgi

Landasan teologis untuk pelayanan liturgi Kristen ditemukan


dalam kristologi dan eklesiolgi1. Misteri Paska Kristus, kematian
dan kebangkitan Penebus yang menyelamatkan, harus dihadirkan
dan dinyatakan di dunia setelah kenaikan Kristus, sampai akhir
zaman. Demikian keselamatan yang direncanakan oleh Allah bagi
manusia. Hal ini dimungkinkan karena Yesus sendiri menghendaki
keselamatan itu dihadirkan di tengah komunitas orang beriman,
Gereja. Kehadiran Kristus dalam Gereja-Nya terlaksana melalui
Sabda dan Sakramen (pemuliaan Allah dan pengudusan manusia).
SC menggarisbawahi dimensi kristologis dan eklesial dari liturgi
dengan mengakui bahwa “dalam karya seagung itu, saat Allah
dimuliakan secara sempurna dan manusia dikuduskan, Kristus
selalu menggabungkan Gereja dengan diri-Nya” (SC 7).

Misteri keselamatan Kristus digenapi sekali dan untuk selamanya.


Hal ini diaktualisasikan dalam liturgi Gereja pada waktu tertentu
di tempat tertentu. Sekalipun demikian Kehadiran Kristus dalam
liturgi bukan merupakan reproduksi peristiwa keselamatan
dengan semua sejarahnya; Ia hadir secara misteri dalam liturgi.
Tepatnya, sengsara, kematian, dan kebangkitan Kristus dinyatakan
dan diaktualisasi secara sakramental melampaui ruang dan waktu 2.
Dalam arti luas, pelayan (petugas) liturgi adalah semua umat
beriman yang berkumpul pada suatu tempat. Mereka merayakan
misteri penyelamatan Kristus dengan ambilbagian secara aktif
dalam peristiwa liturgi. Semua ambilbagian secara aktif seturut
tugas masing-masing, tidak lebih dan tidak kurang (lih. PUMR, 5).
Maka semua anggota jemaat yang mengikuti liturgi, dengan
kehadirannya sendiri, melaksanakan fungsi pelayanan dalam
tindakan liturgis. Sesungguhnya melalui Sakramen Inisiasi semua

1 Bdk. E. SCHILLEBEECKX, Christ, the Sacrament of Encounter with God, Sheed and Ward,
New York 1963 dan A. DULLES, Models of the Church, Doubleday, New York 1974.
2 Bdk. The Sacramental Plan of Salvation, dlm. J.P. SCHANZ, Introduction to the Sacraments,
Pueblo, New York 1983, 25-39, yang mengikuti arah O. CASEL, The Mystery of Christian
Worship, Newman Press, Westminister MD 1962.
umat telah dikuduskan ke dalam Imamat Umum. Imamat Umum
ini memberi hak dan kewajiban kepada umat beriman untuk
berpartisipasi secara aktif dalam liturgi. Keterlibatan itu ditata
dalam berbagai peran yang bersifat pelayanan (munus
ministeriale).

Tetapi seperti dikatakan dalam Kitab Suci (bdk. Rom 12, 4) dan
dari tradisi Gereja, orang-orang terbaptis itu tidak semuanya
berperan sama dan juga tidak melaksanakan pelayanan yang sama
di dalam Gereja. Hal ini tampak dengan jelas dan dengan cara
tertentu dalam liturgi Gereja sekarang ini. Hal ini ditegaskan
secara eksplisit dalam SC, “Pada perayaan-perayaan Liturgi setiap
anggota, entah pelayan (pemimpin) entah umat, hendaknya dalam
menunaikan tugas hanya menjalankan, dan melakukan seutuhnya,
apa yang menjadi perannya menurut hakekat perayaan serta
kaidah-kaidah liturgi” (No. 28). Singkatnya, jelas bahwa berbagai
pelayanan dilaksanakan dalam liturgi demi kebaikan jemaat yang
sedang beribadat.

Agar perayaan liturgi itu terlaksana sebagai ungkapan iman Gereja


maka dibutuhkan sejumlah pelayan yang dapat dikategorikan
dalam empat tingkatan: tertahbis, terlantik, deputati dan dihunjuk.
Semua melaksanakan peran tertentu yang menggambarkan hidup
beriman umat setempat dalam kesatuan dengan seluruh Gereja.

1 Pelayan Tertahbis

Pelayan yang pertama ada dalam Gereja ialah Uskup, Imam, dan
Diakon. Mereka ditahbiskan melaui penumpangan tangan.
Pentahbisan itu dilaksanakan di tengah-tengah komunitas kaum
beriman dan demi kebaikan mereka (bdk. Kis 6, 6; 13, 3; 2 Tim 1, 6).
Tradisi menunjukkan bahwa dalam abad II, ketiga tahbisan itu
disebut episkopat, presbiterat, dan diakonat. memperoleh
pengakuan dan kepentingan umum bagi Gereja. Uskup, Imam, dan
Diakon ditahbiskan untuk kehidupan dan perkembangan Gereja
dalam liturgi.
2 Pelayan Terlantik

Pelayan terlantik adalah Akolit dan Lektor. Mereka menerima


pelantikan melalui ritus yang menyatakan pelayanan mereka
untuk Gereja dalam liturgi.

Sejak tahun 1972 Akolit dan Lektor tidak lagi dipandang hanya
sebagai jenjang atau tangga menuju Imamat. Tugas ini dapat juga
diberikan kepada awam laki-laki yang bukan calon Imam. Masih
berlaku juga calon Imam sebelum menerima tahbisan harus lebih
dahulu dilantik menjadi Akolit dan Lektor. Akolit dan Lektor
(calon Imam maupun tidak) dilantik dalam liturgi untuk bertugas
dalam liturgi. Tugas mereka digariskan dalam Surat Apostolik
Paulus VI, Ministeria quaedam (1972).

3 Pelayan “Deputati”: Pembagi Komuni

Surat Apostolik Paulus VI, Immensae caritatis (1973), memberi


kemungkinan awam terpilih menjadi pembagi komuni dalam
situasi-situasi khusus. Setelah melalui seleksi dan persiapan,
petugas ini diangkat oleh Uskup untuk periode tertentu seturut
ritus liturgi yang disahkan oleh Gereja. Awam terpilih ini disebut
Pelayan Luar Biasa Komuni Suci atau lebih jelas dalam bahasa
Indonesia Pelayan tak Lazim. Disebut demikian sebab pelayan
biasa (lazim) pembagi komuni adalah Uskup, Imam, dan Diakon
(Kongregasi Klerus, Kerja Sama Awam dan Imam dalam Pastoral,
Roma, 1997). Ketetap ini kembali ditegaskan dalam PUMR dan
Redemptionis Sacramentum.

Pelayan pembagi komuni ini juga termasuk Akolit (Kan 230) hanya
bertugas bila kebutuhan obyektif menuntut, misalnya jumlah
umat begitu banyak sementara Pelayan Tertahbis saat itu hanya
satu orang. Ketika Pelayan Biasa ini (tertahbis) ada dalam jumlah
yang cukup, pelayan tak lazim tidak bertugas. Seandainya pelayan
tak lazim belum atau akolit belum ada sementara jumlah umat
sangat banyak dalam suatu perayaan, Imam yang memimpin
liturgi boleh menugaskan umat tertentu hanya untuk kesempatan
itu (ad actum).

4 Pelayan yang Dihunjuk

Selain pelayan yang sudah disebut di atas, sejumlah umat


melaksanakan tugas lain dalam liturgi. Mereka ini disebut pelayan
yang dihunjuk, Recognized Liturgical Ministries, atau umumnya
dikenal dengan istilah Petugas Liturgi (PUMR menyebutnya
Petuga-petugas Lain): 1) Misdinar, 2) Pembaca, 3) Pemazmur, 4)
Paduan Suara atau Kor, 5) Organis atau pemusik, 6) Solis/Cantores
atau Dirigen, 7) Komentator, 8) Kolektor, 9) Penyambut Jemaat,
10) Caeremoniarius, 11) Koster.

Pedoman Umum Buku Missa melihat nilai komentator liturgis,


“Pelayan ini bertugas untuk menerangkan dan mengomentari agar
umat siap dan mengerti perayaan tertentu” (No. 68a). Dalam
melaksanakan tugas ini sebenarnya komentator sedang
melaksanakan tugas diakon dalam ibadah. Harus diingat bahwa
kehadiran komentator hanya menurut kebutuhan; tidak selalu
harus ada. Komentator harus memberi pengarahan yang singkat,
padat dan tepat. Di beberapa Gereja kebiasan lama ostiarius
(penjaga pintu) dirombak menjadi pelayan penerimaan. Fungsi
utamanya ialah menerima umat beriman, khususnya anggota-
anggota baru atau para pengunjung, dan juga pengarah massa
seperti pada waktu perarakan, kolekte, komuni dst, dan juga
bertugas untuk mencegah orang yang tidak pantas menerima
komuni (karena ekskomunikasi misalnya). Selain tugas ini
dihunjuk juga petugas-petugas di tempat-tempat suci (tempat
yang disediakan bagi umat yang ingin berdoa secara khusus).
Tugas ini dapat juga dijalankan oleh sakristan walaupun tugasnya
lebih luas dari itu. Dia dan/atau bersama anggota komunitas
lainnya dapat mempersiapkan tempat ini.
Gereja dan Ketentuannya

Gedung gereja adalah tanda rohani kehadiran umat kristiani di


suatu tempat. Pembangunannya haruslah mempertimbangkan
suasana alam dan seni budaya setempat.

Gereja Katedral dan Paroki haruslah didedikasikan sementara yang


lain sekurang-kurangnya diberkati. Gereja Katedral adalah gereja
induk dari semua gereja yang ada di Keuskupan.

Gereja sebagai tanda kerohanian haruslah dibangun seturut


struktur organiknya yang mengungkapkan berbagai tugas. Karena
itu gereja dan susunannya harus menggambarkan jemaat dan
mendukung pelaksanaan tugas masing-masing secara serasi.

Gereja ditata sedemikian rupa agar memiliki bagian-bagian


berikut:
● Ruang umat yang berada di sekitar atau di depan altar.

● Ruang Paduan Suara yang berada di bagian ruang jemaat


untuk menunjukkan bahwa orang-orang yang ada di situ
adalah bagian dari umat. Dari ruang ini hendaknya liturgi
dapat diikuti. Anggota paduan suara dan alat-alat musik
ditempatkan di ruang ini.
● Pelataran Suci (Pelataran Suci): Ini adalah tempat untuk
kaum tertahbis, dan pelayan lain disebut di atas yang
melaksanakan tugas di sekitar pelataran suci. Di tempat ini
ada altar, ambo, dan kursi.

Barang Liturgi dan Peralatan


Wadah air suci (acquasantiera) ditempatkan pada pintu masuk
gereja. Dengan demikian dimungkinkan membuat tanda salib
dengan air suci ketika memasuki gereja sebagai kenangan akan
baptisan.

Altar adalah meja Tuhan, di atasnya dilaksanakan kudus Ekaristi


yang menghadirikan kurban salib. Altar boleh tetap atau geser.
Altar tetap, dididikasi, sementara altar geser dapat dididikasi atau
diberkati. Di bawah altar dapat ditempat reliqui orang kudus,
sehingga tampak bersatu dengan pengorbanan Kristus. Atar dapat
didekorasi dengan bunga indah yang ditempatkan di kiri atau/dan
kanan altar, bukan menutup altar, dan juga bukan di atas altar.
Dalam Masa Adven dekorasi bunga haruslah sederhana dan dalam
Masa Puasa dilarang ada bunga.

Ambo adalah tribun kecil dengan mimbar dari mana Sabda Allah
dibacakan. Lebih nyaman bila ambo itu tetap bukan geser. Ke
tempat ini naik pelayan Sabda dan tempat ini hanyalah untuk
bacaan, mazmur tanggapan, Pujian Paska, homili, dan doa umat
(doa universal). Untuk lainnya seperti komentator, pengumuman
haruslah melaksanakan tugas dari mimbar lain

Ruang Pengakuan Doasa (confessionale) adalah tempat di mana


Imam memimpin perayaan Sakramen Tobat. Ada kursi dan tempat
berlutut. Ruang ini hendaknya lebih memungkinkan ada kontak
antara Imam dan Peniten.

Kredens adalah meja kecil atau meja khusus yang diletakkan di


samping kiri atau kanan pelataran suci. Di atasnya diletakkan roti
dan anggur serta semua yang dibutuhkan untuk perayaan tertentu.
Kredens bukan ditempatkan di dekat/samping altar.

Bejana Baptis adalah wadah yang berukuran cukup besar, berisi


air (diam atau mengalir) untuk pembaptisan. Pemberkatan air
dilaksanakan pada Malam Paska (dan air yang digunakan selama
Masa Paska) atau pada saat pembaptisan (dan air hanya digunakan
untuk perayaan ini). Bejana Baptis ditempatkan di ruang
pembaptisan (baptisterium), lebih tepat di pintu masuk gereja
untuk memaknai pembaptisan sebagai pintu masuk ke dalam
komunitas kristiani.

Gambar/patung Kudus seperti gambar Tuhan, Bunda Maria dan


orang kudus, ditempatkan di gereja sedemikian rupa sehingga
umat tertolong menghayati misteri yang dirayakan di situ.
Gambar/patung haruslah dalam jumlah terbatas dan bijaksana,
cantik/indah dan pantas serta harus menumbuhkan kesalehan
seluruh umat.

Kursi Imam Selebran sedikit ditinggikan di pelataran suci di luar


altar dan ambo. Dari sinilah Imam memimpin doa selama Ritus
Pembuka, Liturgi Sada, dan secara fakultatif Ritus Penutup. Kursi
Diakon ditempatkan di dekat kursi Imam. Kursi untuk imam-
imam lain juga harus ditata di sekitarnya yang terpisah dari kursi
para pelayan lainnya. Bila pelayan buku (yang memegang buku
perayaan) tidak ada, maka sebuah mimbar kecil dapat
ditempatkan di depan tempat duduk Imam. Katedra Uskup
haruslah lebih anggun/agung dan sedikit lebih ditinggikan.

Tabernakel adalah tempat hosti kudus disimpan setelah Misa dan


untuk penjagaan (penyimpanan itu) dibuat kunci pengaman. Arti
kata tabernakel adalah tenda untuk mengingat tanda pertemuan
dalam Perjanjian Lama. Di tempat ini Allah menampakkan diri
dan membuat diri-Nya dekat dengan umat-Nya. Tabernakel,
beragam bentuknya, ditempatkan pada satu bagian gereja yang
sungguh mulia/agung, dapat dilihat, dihiasi dengan indah dan
cocok untuk tempat berdoa.

Pendidikan Liturgis bagi Pelayan


SC telah mengambil berbagai aspek penting dalam menentukan
semua pelayan liturgis Gereja: 1) Hakekat liturgi menunjukkan
bahwa “tindakan-tindakan liturgi bukanlah tindakan perorangan,
tetapi perayaan Gereja” sebagai sakramen kesatuan yakni umat
kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para uskup” (SC 26).
2) Ada berbagai pelayan dalam perayaan liturgi karena itu, “entah
pelayan (pemimpin) entah umat, hendaknya dalam menunaikan
tugas hanya menjalankan, dan melakukan seutuhnya, apa yang
menjadi peranannya menurut hakekat perayaan serta kaidah-
kaidah liturgi (SC 28). 3) Semua pelayan, dalam menjalankan
tugasnya dalam liturgi, “hendaknya menunaikan tugas dengan
saleh, tulus dan saksama, sebagaimana layak untuk pelayanan
seluhur itu, dan sudah semestinya dituntut dari mereka oleh umat
Allah” (SC 29). 4) Untuk memenuhi tugas ini, perlulah bahwa para
pelayan itu “secara mendalam diresapi semangat liturgi, masing-
masing sekadar kemampuannya, dan dibina untuk membawakan
peran mereka dengan tepat dan rapih” (SC 29).

Karena itu, jelaslah bahwa kehendak baik saja dari pihak pelayan-
pelayan itu baik laicus maupun clerus, tidaklah memadai. Setiap
pelayanan harus memiliki sifat pelayan, pendidikan yang benar
dan hidup yang layak untuk tugas resmi gerejani.

Tidak perlu terlalu diragukan pentingnya pendidikan yang benar


bagi semua pelayan-pelayan liturgis. Mereka bukan saja harus
mengetahui liturgi, tetapi juga fungsi masing-masing tugas,
keterbatasan dan tuntutan-tuntutannya. Setiap pelayan harus pula
belajar memakai dengan serasi perlengkapan yang dipakai selama
perayaan liturgis. Para imam harus akrab dengan ritus-ritus dan
seperti diakon mereka harus meningkatkan pengetahuan dan
kecintaan mereka terhadap Injil. Para lektor harus diarahkan
membaca secara publik. Para pemusik juga demikian. Pelayan-
pelayan khusus ekaristi harus sadar akan kesakralan tugas mereka,
sebagai contoh, membawa komuni kepada orang sakit dan orang-
orang lanjut usia.
Tujuan Pelayanan

Walaupun liturgi, yang merefleksikan hakekat Gereja, disusun


secara hirarkis tetapi hakekatnya bukanlah klerikal. Para uskup,
imam dan diakon bukan merayakan liturgi secara eksklusif dan
mereka tidak melupakan pentingnya peranan aktif kaum awam
terbapatis. Justru karena hakekat jemaat sebagai tubuh Kristus
maka dibutuhkan berbagai pelayan yang bekerjasama secara
harmoni dengan tujuan agar tindakan liturgi dihayati.

Pelbagai pelayanan ini menandakan kekayaan dan hakekat Gereja


sendiri dengan pelbagai kharismanya. Memang benar bahwa ada
perbedaan di antara semua pelayan-pelayan di setiap tindakan
liturgi, hal itu tidak harus dihayati sebagai sumber perbedaan atau
kompetisi, tetapi sungguh sebagai kekayaan jemaat yang
berkumpul dalam ibadah. Selain itu, terdapat kesatuan ekklesial
dalam pelbagai tugas pelayanan jika diterima perbedaan-
perbedaan yang wajar di antara para pelayan di seluruh komunitas
dan jika perbedaan ini tidak diinterpretasikan dalam arti
ketaksetaraan ekklesial atau sosial. Memang terdapat pelbagai
pelayan liturgis (tertahbis, dilantik atau dihunjuk), tetapi setiap
orang mempunyai fungsi tertentu di saat jemaat berkumpul untuk
doa liturgis. Tujuan umum pelayanan-pelayanan liturgis ini ialah
mempermudah, menolong komunitas dalam ibadah Allah dan
dalam pengudusan umat Allah.

Anda mungkin juga menyukai