Anda di halaman 1dari 18

Mengenal Warna-

Warna Liturgis

Warna Hijau
Warna Merah
Warna Kuning (Emas) atau Putih
Warna Ungu
Warna Hitam
Warna Rose
Pengantar
Kerap kita tidak lagi menyadari, mungkin karena
amat terbiasa, bahwa hidup kita banyak diwarnai
oleh warna-warni. Tata gerak dan perasaan kita
diwakilkan oleh pilihan warna kita. Sederhana
saja, kalau kita mau melayat, spontan kita memilih
pakaian bercorak agak gelap atau hitam; ketika
kita melihat warna pakaian orang lain spontan kita
berkomentar: “Ah….tabrak lari (maksudnya warna
atasan tidak cocok dengan warna celana)”; atau
ketika kita lagi senang, kita suka warna-warni
yang lebih cerah, mis. Putih, merah jambu d.l.l.
Warna memang punya arti dan kiranya punya
ketersambungan dengan gerak jiwa kita.
Inilah yang disebut simbolisasi dengan warna.
Walau, arti/makna warna kerap dipengaruhi
oleh situasi, dan budaya di mana kita tinggal
toh ada juga warna-warna yang punya arti
luas dan umum dipahami orang kebanyakan.
Misalnya putih sebagai lambang kesucian,
keagungan, hijau lambang kehidupan d.l.l.
Warna adalah simbol. Simbol terwujud dalam
realitas sehari-hari, tapi punya makna yang
lebih dalam dari sekedar realitas yang tampak.
Inilah alasan Gereja menggunakan aneka warna
dalam liturginya yaitu untuk menampung
ekspresi-ekspresi manusiawi untuk membantu
umat sampai pada Yang Ilahi. Dengan warna
liturgi, sifat dasar misteri iman yang sedang
dirayakan terungkap, dan sekaligus menegaskan
perjalanan hidup kristiani sepanjang tahun
liturgi.
Sejarah Pemakaian Warna

Pada zaman kuno, bahan pewarna diambil


dari getah keong merah. Getah ini
dimasak dengan jumlah dan waktu
tertentu. Kombinasi proses inilah yang
menghasilkan aneka warna yang berbeda.
Semakin lama dimasak, warna yang
dihasilkan akan semakin gelap. Harga
Warna gelap ini biasanya cukup mahal
karena biaya dan waktu pembuatannya
lebih besar.
Pada masa itu, warna-warna liturgis
didominasi oleh warna-warna yang gelap.
Alasannya adalah karena warna gelap itu lebih
mahal. Ini mau menunjukkan dan menekankan
kemeriahan dan tingginya nilai sebuah
perayaan liturgis. Pada abad IX atau X, tehnik
pembuatan warna seperti ini mulai
ditinggalkan. Orang mulai beralih pada bahan
perwarna yang lebih mudah dicari dan
prosesnya lebih mudah yaitu getah dari
tumbuh-tumbuhan tertentu.
Sekitar tahun 1200-an, jenis warna liturgi resmi
ditetapkan. Namun ketetapan yang sifatnya
lebih mengikat baru tahun 1570 bersamaan
dengan berlakunya buku Missale Romanum
Pius VI. Buku ini sedikit dibaharui, berikut
dengan ketetapan tentang warna liturgi, pada
tahun 1970 bersamaan dengan berlakunya buku
Missale Romanum Paulus VI.
Warna-Warna Liturgis
Warna hijau dikenakan dalam Masa
Biasa (Inggris: Ordinary Time). Masa
Biasa ini jatuh sesudah Masa Paskah,
mulai Hari Minggu Pentakosta sampai
hari Sabtu sebelum Hari Minggu
Pertama Masa Adven. Masa Biasa
berpusat pada masa tiga tahun karya
misi Kristus di tengah masyarakat; ini
dilihat dari bacaan-bacaan Injil yang
biasanya mengisahkan ajaran-ajaran
dan mukjizat-mukjizat Tuhan di bumi.

Warna hijau adalah warna alam dan


pepohonan; ia menyerupai warna
tunas-tunas muda yang menyembul
pada awal musim semi. Ia adalah
warna kehidupan dan harapan baru,
melambangkan harapan yang ada
pada diri kita setelah dicurahkannya
Roh Kudus pada hari Pentakosta.
Pada hari Pentakosta ini Sang
Penolong yang dijanjikan hadir di
tengah-tengah kita, dan lahir pulalah
Gereja Katolik, yaitu Tubuh Kristus,
tanda Kerajaan Allah di bumi,
sekaligus satu-satunya Pengantin
Perempuan Tuhan.
Warna Hijau
Warna Merah
Merah sebagai warna liturgis dikenakan pada
hari-hari berikut:
Hari Minggu Palma
Hari Jumat Agung
Hari Minggu Pentakosta
Perayaan-perayaan Sengsara Tuhan
Pesta para rasul dan pengarang Injil (kecuali Santo
Yohanes yang tidak dimartir)
Perayaan-perayaan para martir

Jika kita cermati, sebagian besar hari-hari itu


memiliki persamaan, yaitu DARAH. Warna merah,
yang adalah warna darah, merupakan lambang
pengorbanan Kristus dan para martir-Nya. Melalui
warna merah, kita diingatkan akan Darah Kudus
yang telah tercurah bagi kita di kayu salib. Kita
yang telah berdosa melawan Dia, telah ditebus-Nya
sehingga semua yang percaya pada-Nya beroleh
hidup kekal.
Kita pun juga dikuatkan oleh jasa-jasa para martir Gereja.
Saat ini mereka sudah hidup bersama Allah di surga,
namun senantiasa mendoakan kita, Gereja yang masih
berziarah di bumi, agar kelak kita juga bisa ikut
merayakan Perjamuan Anak Domba di surga. Warna
merah darah para martir memberi kita semangat untuk
meniru kesaksian mereka dalam mengikuti Kristus sampai
mati.

Selain itu, merah juga melambangkan API, sesuai dengan


Hari Raya Pentakosta. Lidah-lidah api adalah lambang
Roh Kudus; api inilah yang mengobarkan iman para rasul
sehingga mereka berani mewartakan Kristus kepada
sahabat maupun musuh. Iman mereka menyala-nyala dan
memukau semua yang mendengar kesaksian mereka,
sehingga semakin banyaklah jiwa yang dimenangkan bagi
Kristus.
Warna Kuning (Emas) atau Putih
Warna kuning (emas) atau putih
dikenakan pada:
Masa Natal
Masa Paskah
Perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali
peringatan sengsara-Nya)
Pesta-pesta Santa Perawan Maria, para
malaikat, dan para kudus yang bukan martir
Pesta Pertobatan Santo Paulus Rasul (25
Januari)
Pesta Takhta Santo Petrus Rasul (22
Februari)
Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis (24
Juni)
Pesta Santo Yohanes Rasul dan Pengarang
Injil (27 Juni)
Hari Raya Semua Orang Kudus (1
November)
Misa Arwah (opsional)
Kuning atau putih melambangkan sukacita dan kemenangan, kekudusan dan
kemurnian, serta cahaya ilahi. Melalui kedua warna ini, kita diingatkan akan
peristiwa-peristiwa gembira dalam kehidupan Tuhan Yesus dan Bunda-Nya, serta
juga kesucian para orang kudus yang patut kita teladani. Peristiwa-peristiwa
gembira menunjukkan kepada kita bagaimana memperoleh kebahagiaan sejati,
yaitu dengan mendengarkan dan mematuhi Kehendak Allah. Kebahagiaan ala
Kristen adalah kebahagiaan yang berlandaskan kepercayaan akan janji setia Allah
melalui suka dan duka, tidak melulu gejolak emosi yang hanya sementara saja.
Putih juga adalah lambang kebangkitan, maka warna ini digunakan pada Masa
Paskah untuk memperingati kebangkitan Kristus seturut Kitab Suci. Warna putih,
walaupun boleh dikenakan saat Misa arwah secara teologis tidaklah tepat untuk
mengenakan warna tersebut. juga tidak memberikan ketentuan warna apa yang
harus menjadi prioritas, semua disamakan dalam status opsional. Namun, warna
yang seharusnya digunakan ialah warna hitam.
Warna putih dan kuning dipakai pada masa Paskah dan Natal, hari-hari raya, pesta
dan peringatan Tuhan Yesus kecuali peringatan sengsara-Nya. Warna ini juga
dipakai pada hari raya, pesta dan peringatan St. Perawan Maria, para malaikat,
para kudus (bukan martir), misalnya hari raya semua orang kudus (1 November),
tahta St. Petrus (22 Februari), bertobatnya Paulus Rasul (25 Januari) d.l.l.
Warna Ungu
Warna ungu paling sering dikenakan selama
Masa Adven dan Masa Prapaskah, serta juga
dapat dikenakan dalam Misa Arwah sebagai
pengganti warna hitam.
Ungu umumnya merupakan simbol
kebijaksanaan, keseimbangan, sikap hati-hati,
dan mawas diri. Itulah sebabnya ungu dipakai
untuk masa Adven dan Prapaskah. Pada masa
khusus ini, semua orang kristen diundang
untuk bertobat, mawas diri dan
mempersiapkan diri untuk perayaan agung
yaitu Natal dan Paskah.
Dalam liturgi arwah, warna ungu juga dipakai
untuk mengganti warna hitam. Ini
melambangkan penyerahan diri, pertobatan,
mohon belas kasih dan kemurahan Tuhan atas
saudara yang telah meningggal dan tentu bagi
semua umat beriman.
Warna Hitam
Warna hitam mungkin sekarang jarang sekali dipergunakan,
namun warna ini juga merupakan salah satu warna liturgis Gereja.
Warna hitam biasanya digunakan saat:
Peringatan Arwah Semua Orang Beriman
Misa Arwah
Hitam adalah warna yang melambangkan duka atas kematian,
serta gelapnya makam orang mati. Lalu mengapa Gereja
mengenakan warna yang murung ini?
Warna hitam mengingatkan kita akan realita ini, serta
kemungkinan terburuk yang kita hadapi apabila kita tidak
berusaha hidup kudus. Jika kita menganggap keselamatan itu
“otomatis”, kapan kita mau serius mengikuti ajaran-ajaran
Kristus? Maka, baiklah kita saling mendoakan dan menguatkan
agar kita semua boleh mendapatkan kebahagiaan abadi bersama
Allah dan para kudus di surga. Jangan lupa juga untuk
mendoakan mereka yang masih berada di Api Penyucian; mereka
ini jiwa-jiwa suci yang rendah hati, yang belum merasa pantas
untuk menikmati surga sehingga rela dimurnikan terlebih dahulu.
Doakanlah supaya Allah berkenan untuk segera menghadiahkan
surga kepada mereka.
Warna Rose
Merah jambu merupakan warna transisi dari ungu ke merah. Dalam
liturgi di daerah ini (KAM), merah jambu hampir tidak pernah
digunakan. Warna ini tepatnya dipakai menjelang Natal yaitu
Minggu Adven III dan IV. Pada masa ini ajakan Yohanes Pembaptis
”Gaudete (bersukacitalah)!” untuk menyambut Yesus lebih
mendominasi suasana.
Warna rose hanya digunakan pada Hari Minggu Ketiga Masa
Adven, yang disebut sebagai Minggu Gaudete; dan Hari Minggu
Keempat Masa Prapaskah, yang disebut Minggu Laetare. Untuk
Masa Adven, kita mungkin ingat bahwa warna rose ini cocok
dengan rangkaian lilin Adven, yang terdiri dari 3 lilin ungu dan 1
lilin rose.
Warna rose mengingatkan kita bahwa kita sudah memasuki
pertengahan masa penantian kita. Rose adalah warna kebahagiaan,
sebab waktu penantian kita tidak lama lagi. Kita meyakini janji setia
Allah akan keselamatan yang datang melalui Mesias, yaitu Tuhan
kita Yesus Kristus.
Namun perlu diingat bahwa warna rose dikelilingi oleh warna ungu;
maksudnya, kita harus tetap menjaga sikap hati dalam suasana tobat
dan penyesalan, agar layak dan pantas menyambut kelahiran
Mesias, serta kebangkitan-Nya yang membawa keselamatan dan
hidup abadi.
Penutup

Harus dikatakan bahwa warna-warna liturgis


sangat dipengaruhi oleh budaya Eropa yang
mengalami empat musim. Prinsipnya,
penggunaan warna bukanlah hal yang amat
fundamental. Dalam penerapan pastoral,
perlu dicari warna-warna lokal yang punya
makna sama dengan yang dihayati dalam
liturgi katolik. Dengan demikian, liturgi akan
semakin terasa dan hidup di hati umat. Ini
menjadi tugas kita bersama.
Sebagai bahan Refleksi kita:

Mengapa kita perlu mengikuti kaidah-


kaidah liturgis seperti ini?
SEKIAN
DAN
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai