Anda di halaman 1dari 4

Asal usul HIV dan AIDS

HIV diyakini pertama kali ditemukan di Kinshasa, Republik Demokratik Kongo pada tahun
1920. Pada saat itu dilaporkan adanya penyebaran infeksi virus simian immunodeficiency
viruses dari simpanse dan gorila kepada manusia (Panji, 2015). Semenjak itu kasus kematian
mendadak dengan gejala-gejala khas hilang dan dianggap tidak menjadi ancaman.
Keresahan kembali terjadi pada tahun 1981, yakni ketika ditemukan infeksi pneumocystis
carinii pneumonia (PCP) pada lima orang pemuda homoseksual yang sebelumnya tidak
memiliki masalah kesehatan di Los Angeles (Lupitasari, 2020). Pada akhir tahun ini pula
pertama kali didapati kasus PCP pada orang yang menggunakan narkoba suntik.

Terkait cara penularan yang diketahui selama ini, pada awal tahun 1982 pakar menyebut
penyakit ini dengan istilah gay-related immune deficiency. Namun pada bulan september,
CDC akhirnya menamakan penyakit tersebut dengan istilah Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS). Hal ini karena diperkirakan penyebaran penyakit ini tidak semata-mata
dapat ditularkan oleh perilaku seksual sesama jenis saja. Tahun 1984 dikampanyekan bahwa
penyakit ini sangat menular melalui penggunaan jarum suntik secara bersama. Hal tersebut
menjadi pukulan telak bagi dunia kesehatan yang pada saat itu masih sering menggunakan
satu jarum suntik untuk beberapa pasien (Lupitasari, 2020). Berbagai cara dilakukan untuk
menghentikan penyebaran penyakit mematikan ini. Namun setiap tahun jumlah penderita
semakin meningkat. Untuk itu pada tanggal 1 Desember 1988, WHO mencanangkan tanggal
tersebut sebagai hari AIDS sedunia dan peringatan ini diperingati setiap tahunnya agar
masyarakat dunia senantiasa waspada akan penyakit tersebut.

Penemuan kasus AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987. Sejak kasus
AIDS pertama kali ditemukan di hingga tahun 1996 jumlah kasus HIV positif di Indonesia
yakni sebanyak 381 dan untuk AIDS sebanyak 154 kasus. Kasus AIDS mendapat respon dari
pemerintah setelah seorang pasien berkebangsaan Belanda meninggal di Rumah Sakit
Sanglah Bali. Namun sebenarnya pada tahun 1985, sudah ada pasien Rumah Sakit Islam
Jakarta yang diduga menderita AIDS. Oleh karena kasus pertama kali ditemukan pada
seorang homoseksual, ada dugaan bahwa pola penyebaran AIDS di Indonesia serupa dengan
di negara-negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, gejala AIDS ini ditemukan pada
pasien-pasien yang memiliki latar belakang sebagai sebagai Pekerja Seks Perempuan serta
pelanggannya.

Pada tahun 1990, diketahui bahwa model penyebaran HIV/AIDS tidak hanya pada melalui
hubungan homoseksual namun juga heteroseksual. Prosentase terbesar pengidap HIV/AIDS
ditemukan pada kelompok usia produktif yakni sebesar 82,9%, sedangkan kecenderungan
cara penularan yang paling banyak adalah melalui hubungan seksual berisiko , yang terbagi
dari heteroseksual 62,6% dan pria homoseksual/biseksual 33,1% (Spiritia, 2009). Kini hingga
akhir tahun 2020 tercatat sebanyak 37,7 juta kasus dengan rata-rata penambahan sebanyak
1,5 juta kasus HIV/AIDS di Indonesia setiap tahunnya (Putri, 2021).
Penyebab penularan HIV dan AIDS

1. Berhubungan Seksual Tanpa Pengaman

Hubungan seksual merupakan penyebab utama penularan HIV/AIDS yang paling umum
terjadi karena virus dapat menular melalui cairan sperma dan lendir vagina. Berhubungan
seksual dengan penderita HIV memiliki risiko tertular paling tinggi. Sebaiknya hindari
bergonta-ganti pasangan dan gunakan kondom untuk keamanan Anda.

2. Penggunaan Jarum Suntik Bersama

Jarum suntik tidak steril merupakan salah satu media penularan virus HIV/AIDS. Penularan
virus HIV melalui jarum suntik banyak terjadi pada pengguna narkoba yang menggunakan
jarum suntik secara bergantian. Hal ini disebabkan oleh jarum yang digunakan oleh
penderita HIV digunakan oleh orang lainnya, sehingga virus juga ditularkan ke orang yang
menggunakan jarum tersebut.

3. Alat Tato atau Tindik Tidak Steril

Sama halnya dengan jarum suntik, pembuatan tato di bagian tubuh merupakan salah satu
penyebab utama penularan HIV/AIDS. Ini karena alat tato juga menggunakan jarum suntik,
bila dipakai secara bergantian meningkatkan risiko terkena HIV dari orang sebelumnya.
Penting bagi Anda untuk memastikan jarum steril sebelum melakukan tato atau tindik.

4. Transplantasi Organ Tubuh dari Penderita HIV

Penularan virus HIV/AIDS dapat terjadi melalui proses transplantasi organ tubuh, misalnya
ketika seseorang mendapat transplantasi organ dari penderita HIV/AIDS, virus di dalam
organ tersebut dapat masuk ke dalam tubuh pasien. Hal ini perlu diwaspadai baik oleh
petugas medis maupun pasien dengan memastikan seluruh kondisi kesehatannya terlebih
dahulu. Tak hanya itu, transfusi darah tanpa melalui proses screening bisa menularkan HIV
pada Anda.

5. Pekerja Rumah Sakit Lebih Rentan

Bekerja di rumah sakit sakit meningkatkan risiko seseorang tertular virus HIV/AIDS. Ini
karena mereka yang bekerja sebagai petugas medis cenderung melakukan kontak dengan
darah atau jarum suntik yang telah terkontaminasi virus HIV/AIDS. Meskipun petugas medis
telah melakukan beragam pengamanan dengan baik, risiko ini tetap harus diwaspadai.

6. ASI dari Ibu HIV

Virus HIV dapat ditularkan melalui ASI dari ibu dengan HIV/AIDS, maka dari itu perlu
pertimbangan dokter mengenai pemberian ASI pada bayi. Agar kondisi ini tidak terjadi pada
bayi Anda nantinya, konsultasikan dengan dokter kandungan Anda untuk memulai program
kehamilan. Tes HIV juga dapat dilakukan bagi mereka yang telah menginjak masa kehamilan.
7. Diturunkan dari Ibu ke Janin dalam Kandungan

HIV dapat ditularkan oleh ibu hamil yang menderita HIV kepada janin selama di dalam
kandungan. Akibatnya janin yang terlahir ke dunia berisiko mengalami HIV karena virus
dapat menembus sawar plasenta. Untuk mencegahnya, sebaiknya segera konsultasikan
dengan dokter.

Tahap HIV dan AIDS masuk sampai mati

1. Periode masa jenderla Periode masa jendela yaitu periode di mana pemeriksaan tes
antibody HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah masuk ke
dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum
cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium karena kadarnya belum
memadai. ANtibodi terhadap HIV biasanya baru muncul dalam 3-6 minggu hingga 12
minggu setelah infeksi primer.Periode jendela sangat penting diperhatikan karena
pada periode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada
orang lain. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada periode ini sebaiknya
yang mampu mendeteksi antigen p18, p24, p31, p36, gp120, gp41
2. Fase infeksi akut Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang
menghasilkan virus-virus baru (virion) dengan jumlah hingga berjuta-juta virion.
Viremia dari begitu banyak virion tersebut dapat memicu munculnya sindrom infeksi
akut dengan gejala yang mirip penyakit flu atau infeksi mononukleosa. Diperkirakan
bahwa sekitar 50-70 persen orang yang terinfeksi HIV mengalami sindrom infeksi
akut selama 3-6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum, yakni: Demam
Faringitis Limfadenopati Artralgia Mialgia Letargi Malaise Nyeri kepala Mual Muntah
Diare Anoreksia Penurunan berat badan juga sering menimbulkan kelainan pada
sistem saraf meski paparan HIV baru terjadi pada stadium infeksi yang masih awal.
Kondisi itu, antara lain bisa menyebabkan: Meningitis Ensefalitis Neuropati perifer
Mielopati Sementara, gejala pada dematologi atau kulit, yaitu ruam makropapuler
eritematosa dan ulkus mukokutan.
3. Fase infeksi laten Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya
virus dalam sel dendritik folikuler (SDF) di pusat germinativum kelenjar limfa dapat
menyebabkan virion dapat dikenalikan, gejala hilang, dan mulai memasuki fase
laten. Pada fese ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di
plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfa dan
terjadi replikasi di kelenjar limfa. Fase infeksi laten berlangsung rata-rata sekitar 8-10
tahun (dapat 3-13 tahun) setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke-8 setelah terinfeksi
HIV, penderita mungkin akan mengalami berbagai gejala klinis, berupa: Demam
Banyak berkeringat pada malam hari Kehilangan berat badan kurang dari 10 persen
Diare Lesi pada mukosa dan kulit berulang Penyakit infeksi kulit berulang Gejala ini
merupakan tanda awal munuculnya infeksi oportunistik. Pembengkakan kelenjar
limfa dan diare secara terus-menerus termasuk gejala infeksi oportunistik
4. Fase infeksi kronos (AIDS) Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfa
terus terjadi replikasi virus HIV yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena
banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfa adalah sebagai perangkap virus menurun atau
bahkan hilang dan virus dicurahkan ke dalam darah. Pada fese ini terjadi
peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respons
imum tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan tersebut. Sementara,
limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang kian banyak. Penurunan
limfosit ini mengakibatkan sistem imun menurun dan penderita semakin rentan
terhadap berbagai penakit infeksi sekunder Perjalanan penyakit kemudian semakin
progresif yang mendorong ke arah AIDS. Infeksi sekunder yang sering menyertai, di
antaranya adalah: Pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocytis carinii
Tuberkulosis Sepsis Toksoplasmosis ensefalitis Diare akibat kriptisporidiasis Infeksi
virus sitomegalo Infeksi virus herpes Kandidiasis esophagus Kandidiasis trachea
Kandidiasis bronchus atau paru-paru Infeksi jamur jenis lain, misalnya
histoplasmosis, koksidiodomikosis Kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis
kanker, yakni kanker kelenjar getah bening dan kanker sarcoma Kaposi’s. Pada tahap
ini, penderita HIV/AIDS harus segera dibawa ke dokter dan menjalani terapi anti-
retroviral virus (ARV). Terapi ARV bakal mengandalikan virus HIV di dalam tubuh
sehingga dampak infeksi bisa ditekan. Meski demikian, HIV sebenarnya dapat
dikenalikan sedini mungkin sehingga bisa menekan peluang timbulnya AIDS. Maka
dari itu, sangat dianjurkan bagi masyarakat yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS
untuk melakukan cek darah sedini mungkin. Masyarakat yang termasuk berisiko
tinggi, di antaranya yakni pengguna narkoba dengan jarum suntik, kerap berganti
pasangan dan berhubungan seks tanpa kondom.

Perilaku yang beresiko tinggi terjangkit HIV AIDS

1. Berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seks


2. Pecandu narkoba
3. Melakukan hubungan seks dengan orangyang terjangkit penyakit hiv
4. Penerima transfusi darah ilegal

Pencegahan tertularnya HIV AIDS

1. Melakukan Hubungan Seksual yang Aman.


2. Menghindari Penggunaan Jarum Suntik Bersama.
3. Melakukan Sunat untuk Pria.
4. Menghindari Penggunaan Obat-Obatan Terlarang.
5. Rutin Melakukan Skrining HIV.
6. Terbuka dengan Pasangan.

Anda mungkin juga menyukai