Anda di halaman 1dari 33

“GAMBARAN MIKROSKOPIK SEL LUKA DIABETIK

TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERIKAN


FOAM EKSTRAK DAUN EBONI (Diospyros celebica
Bakh.)”

PROPOSAL

ANDI ZULFI ANGGRAINI


G 701 19 116

PROGRAM STUDI FARMASI JURUSAN FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
AGUSTUS 2022
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang ditandai gangguan
metabolik dengan peningkatan kadar gula darah melebihi batas normal
(Perkeni, 2019), penyakit kronik ini disebabkan ketidakmampuan produksi
insulin yang berdampak pada kerusakan sistem tubuh, khususnya pembuluh
darah, saraf (WHO, 2018)

Prevalensi DM secara global diprediksi mengalami peningkatan menjadi 3


kali lipat pada tahun 2030 (Soelistijo SA. et al. 2019). Menurut data
International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2019 sekitar 463,0 juta
atau 9,3 % dari orang dewasa berusia 20-79 tahun di seluruh dunia
menderita diabetes. Pada tahun 2030 diperkirakan 578,4 juta jiwa (10,2%)
orang dewasa berusia 20–79 tahun akan hidup dengan diabetes dan pada
tahun 2045 meningkat menjadi 700,2 juta (13,3%) (IDF, 2019). IDF juga
melaporkan bahwa tahun 2019 prevalensi total DM di Asia Tenggara
sekitar 8,8%, sedangkan prevalensi pada usia 20 – 79 tahun sekitar 11,3%.
Indonesia menempati urutan pertama jumlah penderita DM di regional Asia
tenggara dengan perkiraan 10,7% dari seluruh penduduk yang berusia 20 –
79 tahun. Bila dilihat secara global penderita DM di Indonesia menempati
urutan ketujuh sebagai negara dengan prevalensi DM terbanyak di dunia
(IDF, 2019). Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013, prevalensi yang terdiagnosa DM pada usia > 15 tahun di Indonesia
sekitar 1,5 % dan. Prevalensi ini mengalami peningkatan pada Riskesdas
tahun 2018 sebesar 2% atau 713.783 jiwa dari jumlah rata – rata penduduk.
Provinsi DKI Jakarta menduduki posisi pertama dengan jumlah 3,4% diikuti
Kalimantan Timur dan Yogyakarta masing – masing 3,1% (Riskesdas,
2018).
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa angka insidensi dan
prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia akan cenderung meningkat.
World Health Organization (WHO) telah memprediksi akan terdapat
peningkatan jumlah penderita DM yang cukup besar pada tahun-tahun
mendatang, bahkan Indonesia kini telah menduduki ranking keempat
dengan jumlah penderita DM terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan
India bahkan dipredikasikan kenaikan prevalensinya dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 ( Rahman dan Setyawan,
2018)

Efek samping antidiabetika oral yang tidak diinginkan mendorong para ahli
mengembangkan sistem pengobatan tradisional untuk menurunkan kadar
glukosa darah yang relatif aman (Agoes, 1991). Berdasarkan laporan
penelitian sebelumnya (Zulfiani et al., 2013; Megawati et al., 2016), bahwa
secara empiris masyarakat suku Kaili Tara, di Desa Binangga, Kecamatan
Parigi Tengah dan Suku Kaili Ija di Desa Bora, Kecamatan Sigi Biromaru,
Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah memanfaatkan daun eboni (Diospyros
celebica Bakh) sebagai obat untuk menurunkan kadar glukosa darah
(Khaerati et al., 2020)

Obat herbal berasal dari bahan alami tumbuhan obat keluarga (TOGA) yang
saat ini menjadi pilihan gaya hidup sehat. Masyarakat cenderung memilih
pengobatan dengan memanfaatkan bahan alam karena terapi obat herbal
tidak memiliki efek samping, harganya terjangkau dan mudah untuk
didapatkan (Hamzah, 2019). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Kartini et al (2018) ekstrak daun eboni mampu menurunkan kadar glukosa
darah. Penurunan kadar glukosa darah terjadi pada ekstrak eboni dengan
dosis 500 mg/kgBB. Peningkatan efek terjadi seiring dengan peningkatan
dosis ekstrak eboni yang diberikan. Semakin tinggi dosis yang diberikan,
maka semakin besar pula efek penurunan kadar glukosa darah. Selain dapat
menurunkan kadar glukosa darah tumbuhan eboni juga memiliki kandungan
senyawa seperti flavonoid, tannin dan saponin yang memiliki aktivitas
sebagai antibakteri (Ariyanti et al., 2016)

Keterbaharuan penelitian ini yaitu memberikan gambaran mikroskopik sel


penyembuhan luka diabetik yang diberi ekstrak daun eboni Diospyros
celebica Bakh yang merupakan salah satu spesies Diospyros endemik
tumbuhan Sulawesi Tengah yang hanya tersebar di wilayah geografis
Wallacea yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai terapi
alternatif diabetes mellitus

I.2 Rumusan Masalah


Bagaimana gambaran mikroskopik sel luka diabetik tikus putih yang
diberikan foam ekstrak daun eboni

I.3 Tujuan Penelitian


Mengetahui gambaran mikroskopik sel luka diabetik tikus putih yang
diberikan foam ekstrak daun eboni

I.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat bagi masyarakat
Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat bahwa ekstrak daun
eboni (Diospyros celebica Bakh.) mempunyai pengaruh yang
menyembuhkan luka diabetik
2. Manfaat bagi peneliti
Memberikan pengetahuan dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan
mengenai ekstrak daun eboni (Diospyros celebica Bakh.) yang dapat
bermanfaat dalam bidang kesehatan dan sebagai referensi bagi
penelitian selanjutnya.
3. Manfaat bagi pendidikan
Memberikan informasi pengetahuan tentang aktivitas ekstrak daun
eboni (Diospyros celebica Bakh.) sebagai salah satu pilihan dalam
menyembuhkan luka diabetik
I.5 Hipotesis Penelitian
Ekstrak daun eboni (Diospyros celebica Bakh.) mempunyai pengaruh dalam
menyembuhkan luka diabetik
I.6 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada penelitian kali ini yaitu dibatasi hanya pada
pengujian ekstrak daun eboni (Diospyros celebica Bakh.) yang mempunyai
pengaruh terhadap penyembuhan luka diabetik pada tikus putih (Rattus
norvegicus).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Uraian Tanaman


a. Klasifikasi Tanaman Eboni (Diospyros celebica Bakh.)

Gambar 1.1 a. Pohon eboni b. Daun eboni


(Sumber: Data Primer Penelitian)
Adapun klasifikasi dari daun eboni (Diospyros celebica Bakh.) menurut
(Riswan, 2002) sebagai berikut :
Kerajaan : Tumbuh-tumbuhan
Divisi : Spermatophyta
Anak-divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak-kelas : Sympetalae
Bangsa : Ebenales
Suku : Ebenaceae
Marga : Diospyros
Jenis : Diospyros celebica Bakh.

b. Deskripsi Tanaman
Eboni (Diospyros celebica B.) adalah tanaman pohon, batang lurus
dan tegak dengan tinggi sampai dengan 40 m. Diameter batang
bagian bawah dapat mencapai 1 m, sering dengan banir (akar papan)
besar. Kulit batangnya beralur, mengelupas kecil-kecil dan berwarna
coklat hitam. Pepagannya berwarna coklat muda dan di bagian
dalamnya berwarna putih kekuning-kuningan. Daun tunggal,
tersusun berseling, berbentuk jorong memanjang, dengan ujung
meruncing, permukaan atasnya mengkilap, seperti kulit dan
berwarna hijau tua, permukaan bawahnya berbulu dan berwarna
hijau abu-abu. Bunganya mengelompok pada ketiak daun, berwarna
putih. Buahnya bulat telur, berbulu dan berwarna merah kuning
sampai coklat bila tua. Daging buahnya yang berwarna keputihan
kerap dimakan monyet, bajing atau kelelawar; yang dengan
demikian bertindak sebagai agen pemencar biji. Bijinya berbentuk
seperti baji yang memanjang, coklat kehitaman (Chen, J., at all,
2018)

c. Kandungan Kimia
Diospyros celebica Bakh mengandung golongan senyawa fenolik
metil galak (Purba, Y. R. (2019), alkaloid, flavonoid, tanin, streroid,
saponin, terpenoid dan kumarin (Ariyanti, A.,2016), dan komponen
kimia yang dapat digunakan untuk kesehatan adalah 6a, 12a-
Dihydro-6H- (1,3) dioxolo (5,6) benzofuro (3,2-c) chromen-3-ol
adalah molekul yang aktif secara biologis dengan aktivitas anti-
angiogenik. Benzene, 1,2,3-trimetoksi- 5-(2-propenil) memiliki
potensi antioksidan, antiinflamasi, efek anti-trombosis dan
hipolipidemik. 3-O-Methyl-d-glukosa memiliki sifat kekekalan
tertentu yang dapat melindungi sel B pankreas dari kerusakan
aloksan sebagai penginduksi hiperglikemia. P-Cresol berperan dalam
disfungsi endotel pada pasien uremik, dan dapat memperbaiki luka
dan mengurangi perkembangan endotel. 2-Naphthalenemethanol,
decahydro-alpha., alpha., 4a-trimethyl-8-methylene-, [2R- (alpha.,
4a alpha., 8a beta.)] - dengan khasiat obat batuk dan dahak serta
sebagai senyawa yang bersifat detoksifikasi (Chen, J., at all, 2018),

d. Khasiat
Daun eboni memiliki kandungan metabolik sekunder yang dapat
dimanfaatkan dalam bidang kesehatan karena memiliki aktivitas
biologis seperti antidiabetes, antibakteri, antijamur dan antivirus
(Boritnaban et al., 2019).

II.2 Diabetes Melitus


a. Anatomi dan Fisiologi Pankreas
Kelenjar pankreas berfungsi sebagai endokrin dan eksokrin. Sebagai
organ endokrin karena di pankreas terdapat pulau-pulau Langerhans
yang terdiri dari 3 jenis sel yaitu sel beta (B) 75 %,sel alfa (A) 20 %dan
sel delta (D) 5 %.Sekresi hormon pankreas dihasilkan oleh pulau
Langerhans. Setiap pulau Langerhans berdiameter 75-150 mikron.Sel
alfa menghasilkan glukagon dan sel beta merupakan sumber insulin,
sedangkan sel delta mengeluarkan somatostatin, gastrin dan polipeptida
pankreas. Glukagon juga dihasilkan oleh mukosa usus menyebabkan
terjadinya glikogenesis dalam hati dan mengeluarkan glukosa ke dalam
aliran darah. Fungsi insulin terutama untuk memindahkan glukosa dan
gula lain melalui membran sel ke jaringan utama terutama sel otot (heni
dan kusmiyati, 2017)
Gambar 1.2 : Anatomi Pankreas
(Sumber :Guyton dan Hall, 2006)

Kelenjar ini terletak di dalam rongga peritoneal (rongga perut) manusia dan terdiri
dari sel alpha dan sel betha. Masing-masing sel ini menghasilkan hormon tersendiri,
Heni dan Kusmiyati (2017), yaitu :
1. Sel Alpha, yang menghasilkan hormon Glukagon yang berperan
dalam produksi glukosa dalam darah.
2. Sel Betha, yang menghasilkan hormon insulin yang berperan dalam
menurunkan kadar glukosa dalam darah.
Pankreas merupakan suatu organ berupa kelenjar dengan panjang dan tebal
sekitar 12,5 cm dan tebal + 2,5 cm. Pankreas terbentang dari atas sampai ke
lengkungan besar dari perut dan biasanya dihubungkan oleh dua saluran ke
duodenum (usus 12 jari). Organ ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian
yaitu kelenjar endokrin dan eksokrin.Ada dua jaringan utama yang menyusun
pankreas yaitu :Jaringan Asini. Berfungsi untuk mensekresi getah pecernaan
dalam duodenum, dan Pulau Langerhans.Pulau Langerhans adalah kumpulan
sel berbentuk ovoid, berukuran 76×175 mm dan berdiameter 20 sampai 300
mikron tersebar di seluruh pankreas, walaupun lebih banyak ditemukan di ekor
daripada kepala dan badan pankreas. Pulau-pulau ini menyusun 1-2% berat
pankreas. Pada manusia terdapat 1-2 juta pulau. Masing-masing memiliki
pasokan darah yang besar; dan darah dari pulau Langerhans, seperti darah dari
saluran cerna tetapi tidak seperti darah dari organ endokrin lain, mengalir ke
vena hepatika. Sel-sel dalam pulau dapat dibagi menjadi beberapa jenis
bergantung pada sifat pewarnaan dan morfologinya. Pada manusia paling
sedikit terdapat empat jenis

sel: sel A (alfa), B (beta), D (delta), dan F. Sel A mensekresikan glukagon, sel
B mensekresikan insulin, sel D mensekresikan somastostatin, dan sel F
mensekresikan polipeptida pankreas. Sel B yang merupakan sel terbanyak dan
membentuk 60-70% sel dalam pulau, umumnya terletak di bagian tengah
pulau. Sel-sel ini cenderung dikelilingi oleh sel A yang membentuk 20% dari
sel total, serta sel D dan F yang lebih jarang ditemukan. Pulau-pulau yang kaya
akan sel A secara embriologis berasal dari tonjolan pankreas dorsal, dan pulau
yang kaya akan sel F berasal dari tonjolan pankreas ventral. Kedua tonjolan ini
berasal dari tempat yang berbeda di duodenum. Granula sel B adalah paket-
paket insulin dalam sitoplasma sel. Di dalam sel B molekul insulin membentuk
polimer dan juga berikatan dengan seng. Perbedaan dalam bentuk paket
mungkin disebabkan perbedaan ukuran agregat seng atau polimer insulin.
Granula A yang mengandung glukagon berbentuk relatif seragam dari spesies
ke spesies. Sel D juga mengandung banyak granula yang relatif homogen.Sel
beta yang ada di pulau langerhans memproduksi hormon insulin yang berperan
dalam menurunkan kadar glukosa darah dan secara fisiologi memiliki peranan
yang berlawanan dengan glukosa. Insulin menurunkan kadar gula darah
dengan beberapa cara. Insulin mempercepat transportasi glukosa dari darah ke
dalam sel, khususnya serabut otot rangka glukosa masuk ke dalam sel
tergantung dari keberadaan reseptor insulin yang ada di permukaan sel target.
Insulin juga mempercepat perubahan glukosa menjadi glikogen, menurunkan
glycogenolysis dan gluconeogenesis, menstimulasi perubahan glukosa atau zat
gizi lainnya ke dalam asam lemak (lipogenesis), dan membantu menstimulasi
sintesis protein.Pengaturan sekresi insulin seperti sekresi glukagon yaitu
langsung ditentukan oleh kadar gula dalam darah dan berdasarkan dari
mekanisme umpan balik (feed back negative system) (washudi dan Hariyanto,
2016).
Gambar 1.3 : Asinus dan pulau Langerhans
(Sumber : Guyton & Hall (2006))

Pulau-pulau Langerhans tersebut terdiri dari beberapa sel (Mescher,


2010) yaitu:
a. Sel α (sekitar 20%), menghasilkan hormon glucagon
b. Sel ß (dengan jumlah paling banyak 70%), menghasilkan
hormon insulin
c. Sel δ (sekitar 5-10%), menghasilkan hormon Somatostatin
d. Sel F atau PP (paling jarang), menghasilkan polipeptida
pankreas.
b. Patofisiologi Diabetes Melitus
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak akan
dapat menyerap kembali semua glukosa yang telah disaring. Oleh
karena itu ginjal tidak dapat menyerap semua glukosa yang disaring.
Akibatnya, muncul dalam urine (kencing manis). Saat glukosa berlebih
diekskresikan dalam urine, limbah ini akan disertai dengan ekskreta dan
elektrolit yang berlebihan. Kondisi ini disebut diuresis osmotik.
Kehilangan cairan yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan
buang air kecil (poliuria) dan haus (polidipsia). Kekurangan insulin
juga dapat mengganggu metabolisme protein dan lemak, yang
menyebabkan penurunan berat badan. Jika terjadi kekurangan insulin,
kelebihan protein dalam darah yang bersirkulasi tidak akan disimpan di
jaringan. Dengan tidak adanya insulin, semua aspek metabolisme lemak
akan meningkat pesat. Biasanya hal ini terjadi di antara waktu makan,
saat sekresi insulin minimal, namun saat sekresi insulin mendekati,
metabolisme lemak pada DM akan meningkat secara signifikan. Untuk
mengatasi resistensi insulin dan mencegah pembentukan glukosa dalam
darah, diperlukan peningkatan. jumlah insulin yang disekresikan oleh
sel beta pankreas. Pada penderita gangguan toleransi glukosa, kondisi
ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa
akan tetap pada level normal atau sedikit meningkat. Namun, jika sel
beta tidak dapat memenuhi permintaan insulin yang meningkat, maka
kadar glukosa akan meningkat dan diabetes tipe II akan berkembang
(Lestari.,et al, 2021)

c. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


a. Terapi Nonfarmakologi
Menurut (ADA, 2021) terapi nonfarmakologi yang dapat dilakukan
yaitu :
1. Terapi Nutrisi Medis di rumah sakit
Tujuan terapi nutrisi medis di rumah sakit adalah untuk
menyediakan kalori yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik, mengoptimalkan kontrol glikemik, mengatasi
preferensi makanan per-Enteral/Parenteral, dan memfasilitasi
pembuatan rencana pemulangan. ADA tidak mendukung
rencana makan tunggal atau persentase tertentu dari
makronutrien. Rekomendasi nutrisi saat ini menyarankan
individualisasi berdasarkan tujuan pengobatan, parameter
fisiologis, dan penggunaan obat. Rencana makan karbohidrat
yang konsisten lebih disukai oleh banyak rumah sakit karena
memfasilitasi penyesuaian dosis insulin prandial dengan
jumlah karbohidrat yang dikonsumsi. Untuk terapi nutrisi
enteral, formula khusus diabetes tampaknya lebih unggul
daripada formula standar dalam mengontrol glukosa
postprandial, A1C, dan respons insulin. Ketika masalah nutrisi
di rumah sakit kompleks, keterlibatan insulin glargine setiap
24 jam. ahli gizi ahli diet terdaftar dapat memberikan
kontribusi untuk perawatan pasien dengan mengintegrasikan
informasi tentang kondisi klinis pasien, perencanaan makan,
dan kebiasaan gaya hidup dan dengan menetapkan tujuan
pengobatan yang realistis setelah dipulangkan. Pesanan juga
harus menunjukkan bahwa pengiriman makanan dan cakupan
insulin nutrisi harus dikoordinasikan, karena variabilitasnya
sering menciptakan kemungkinan kejadian hiperglikemik dan
hipoglikemik
2. Aktivitas fisik
Kebanyakan pasien dengan diabetes mendapat manfaat dari
aktivitas fisik secara teratur. Aerobik olahraga meningkatkan
sensitivitas insulin, sedikit meningkatkan kontrol glikemik di
mayoritas individu, mengurangi risiko CV, berkontribusi
terhadap penurunan berat badan atau pemeliharaan, dan
meningkatkan kesejahteraan. Tujuan aktivitas fisik termasuk
setidaknya 150 menit per minggu sedang (jantung maksimal
50% -70% rate) latihan intensitas tersebar setidaknya 3 hari
seminggu dengan tidak lebih dari 2 hari di antara kegiatan.
Selain itu, latihan ketahanan/kekuatan direkomendasikan
setidaknya dua kali seminggu selama pasien tidak memiliki
proliferatif retinopati diabetik.
3. Manajemen diri di rumah sakit
Manajemen diri diabetes di rumah sakit mungkin sesuai untuk
pasien tertentu. Kandidat termasuk pasien remaja dan dewasa
yang berhasil melakukan manajemen mandiri diabetes di
rumah, dan yang keterampilan kognitif dan fisiknya diperlukan
untuk berhasil mengelola insulin sendiri dan melakukan
pemantauan glukosa darah sendiri tidak terganggu. Selain itu,
mereka harus memiliki asupan oral yang memadai, mahir
dalam memperkirakan karbohidrat, menggunakan beberapa
suntikan insulin harian atau infus insulin subkutan terus
menerus (CSI), memiliki kebutuhan insulin yang stabil, dan
memahami manajemen hari sakit. Jika manajemen diri akan
digunakan, protokol harus mencakup persyaratan bahwa
pasien, staf perawat, dan dokter setuju bahwa pasien mandiri.
manajemen sudah sesuai. Jika CSII atau CGM akan digunakan,
disarankan kebijakan dan prosedur rumah sakit yang
menggambarkan pedoman untuk terapi CSII, termasuk
perubahan tempat infus.
4. standarisasi untuk situasi khusus
pasien yang menerima makanan enteral atau teral yang
membutuhkan insulin, rejimen harus mencakup cakupan
kebutuhan basal, prandial, dan pemasyarakatan. Sangat penting
bahwa pasien dengan diabetes tipe 1 terus menerima insulin
basal bahkan jika pemberian makan dihentikan. Perkiraan
kebutuhan basal yang masuk akal dapat dibuat dari dosis
preadmisi insulin kerja lama atau menengah atau persentase
dari total kebutuhan harian yang ditetapkan di rumah sakit
(biasanya 30-50% dari total dosis insulin harian). Dengan tidak
adanya pemberian dosis insulin sebelumnya, titik awal yang
masuk akal adalah dengan menggunakan 5 unit NPH/detemir
insulin subkutan setiap 12 jam atau 10 unit insulin. Untuk
pasien yang menerima makanan tabung terus menerus, total
nutrisi harian com. pon dapat dihitung sebagai 1 unit insulin
untuk setiap 10-15 g karbohidrat per hari atau sebagai
persentase dari total dosis insulin harian saat pasien diberi
makan (biasanya 50-70% dari total dosis insulin harian).
Insulin korektif juga harus diberikan secara subkutan setiap 6
jam menggunakan insulin reguler manusia atau setiap 4 jam
menggunakan insulin kerja cepat seperti lispro, aspart, atau
glulisine. Untuk pasien yang menerima makanan bolus enteral,
sekitar 1 unit insulin manusia biasa atau insulin kerja cepat per
10-15 g karbohidrat harus diberikan secara subkutan sebelum
setiap pemberian makan. Cakupan insulin korektif harus
ditambahkan sesuai kebutuhan sebelum setiap pemberian
makan. Untuk pasien yang menerima nutrisi parenteral perifer
atau sentral terus menerus, insulin reguler manusia dapat
ditambahkan ke dalam larutan, terutama jika >20 unit insulin
korektif telah dibutuhkan dalam 24 jam terakhir. Dosis awal 1
unit insulin reguler manusia untuk setiap 10 g dekstrosa telah
direkomendasikan dan harus disesuaikan setiap hari dalam
larutan. Insulin korektif harus diberikan secara subkutan.
Untuk panduan pemberian makan re-enteral/parenteral penuh,
pembaca dianjurkan untuk membaca artikel ulasan yang
merinci topik ini.

b. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis terdiri atas obat yang diminum oral dan bentuk
suntikan. Berikut adalah obat antidiabetes non-insulin umum antara lain
golongan biguanida. Biguanida adalah salah satu kelas utama obat
antidiabetes, di antaranya metformin. Metformin merupakan obat paling
umum dan menjadi lini pertama untuk penderita DM dan telah terbukti
bermanfaat dalam mengurangi angka kematian akibat DM tipe 2 karena
dapat meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan glukosa darah,
menekan risiko hipoglikemia dan kardiovaskuler serta merupakan
satusatunya agen hipoglikemik untuk meningkatkan hasil makrovaskular
(19). Sulfonilurea merupakan obat yang banyak digunakan sebagai terapi
lini kedua dalam pengobatan pasien DM tipe 2 yang tidak mengalami
obesitas berat, yang bekerja langsung pada sel pulau untuk menutup
saluran K+ yang sensitif terhadap ATP dan merangsang sekresi insulin
( Widiasari, et a. 2021)

d. Diabetes mellitus Tipe 2


Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diabetes mellitus adalah
penyakit metabolik kronis, penyakit yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah, yang seiring waktu menyebabkan kerusakan pada jantung,
pembuluh darah, mata, ginjal dan saraf. Lebih dari 90% kasus diabetes
mellitus adalah DMT2, suatu kondisi ditandai dengan defisiensi sekresi insulin
oleh sel pulau pankreas, resistensi insulin jaringan (IR) dan respon sekretori
insulin kompensasi yang tidak memadai. Perkembangan penyakit membuat
insulin sekresi tidak mampu mempertahankan homeostasis glukosa,
menghasilkan hiperglikemia. Pasien dengan DMT2 adalah: sebagian besar
ditandai dengan obesitas atau memiliki persentase lemak tubuh yang lebih
tinggi, didistribusikan secara dominan di daerah perut. Dalam kondisi ini,
jaringan adiposa mempromosikan IR melalui berbagai inflamasi mekanisme,
termasuk peningkatan pelepasan asam lemak bebas (FFA) dan deregulasi
adipokin (Garcia, et al. 2020)

II.3 Luka Diabetik


Luka Diabetik atau yang disebut juga ulkus diabetik merupakan luka yang
terjadi pada penderita diabetes sebagai akibat dari adanya gangguan perfusi
pada jaringan, gangguan persarafan peripheral, dan proses inflamasi yang
memanjang, serta infeksi kuman yang berlebih sehingga menyebabkan
kematian jaringan yang luas (nekrosis). Hal tersebut sesuai dengan kondisi
luka pasien yang mengalami proses inflamasi yang panjang, mengalami
infeksi dan adanya jaringan yang mati. Pada dasarnya proses penyembuhan
luka merupakan proses fisiolgis tubuh yaitu sel jaringan hidup yang akan
beregenerasi kembali ke struktrur sebelumnya. Proses penyembuhan luka
terdiri dari 3 fase, yaitu fase inflamasi yang terjadi pada hari ke 0-3 atau
sampai hari ke 5, fase proliferasi (fase granulasi) yang terjadi pada hari ke
ke-2 sampai hari ke-24, dan fase maturasi yang terjadi pada hari ke-24
hingga 1 tahun atau lebih ( Primadani dan Nurrahmatika, 2021).
Salah satu sistem yang paling populer klasifikasi adalah Ulkus Wagner
Sistem Klasifikasi, yang didasarkan pada kedalaman luka dan luasnya
nekrosis jaringan. Beberapa penulis telah mencatat kelemahan dari sistem
ini karena hanya akun untuk kedalaman dan penampilan luka dan tidak
mempertimbangkan kehadiran iskemia atau infeksi. Sistem Universitas
Texas adalah sistem klasifikasi lain yang membahas kedalaman ulkus dan
termasuk adanya infeksi dan iskemia. Luka pada peningkatan kelas dan
tahap lebih sedikit kemungkinan sembuh tanpa perbaikan vaskular atau
amputasi ( Clayton w., et al, 2022).

Menurut Primadina N., et al, (2019) fase penyembuhan luka ditinjau dari
aspek mekanisme seluler :
1. Fase inflamasi awal (homeostasis)
Pada saat jaringan terluka, pembuluh darah yang terputus pada luka akan
menyebabkan pendarahan, reaksi tubuh pertama sekali adalah berusaha
menghentikan pendarahan dengan mengaktifkan faktor koagulasi intrinsik dan
ekstrinsik, yang mengarah ke agregasi platelet dan formasi clot vasokontriksi,
pengerutan ujung pembuluh darah yang putus (retraksi) dan reaksi
haemostasis. Reaksi haemostasis akan terjadi karena darah yang keluar dari
kulit yang terluka akan mengalami kontak dengan kolagen dan matriks
ekstraseluler, hal ini akan memicu pengeluaran platelet atau dikenal juga
dengan trombosit mengekspresi glikoprotein pada membran sel sehingga
trombosit tersebut dapat beragregasi menempel satu sama lain dan membentuk
massa (clotting). Pada saat yang bersamaan sebagai akibat agregasi trombosit,
pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi selama 5 sampai dengan 10
menit, akibatnya akan terjadi hipoksia, peningkatan glikolisis dan penurunan
PH yang akan direspon dengan terjadinya vasodilatasi. Lalu akan terjadi
migrasi sel leukosit dan trombosit ke jaringan luka yang telah membentuk
scaffold tadi.
2. Fase inflamasi akhir (LAGH PHASE)
Setelah hemostasis tercapai, sel radang akut serta neutrofil akan menginvasi
daerah radang dan menghancurkan semua debris dan bakteri. Dengan adanya
neutrofil maka dimulai respon keradangan yang ditandai dengan cardinal
symptoms, yaitu tumor, kalor, rubor, dolor dan functio laesa. Netrofil, limfosit
dan makrofag adalah sel yang pertama kali mencapai daerah luka. Fungsi
utamanya adalah melawan infeksi dan membersihkan debris matriks seluler
dan benda-benda asing .Agen kemotaktik seperti produk bakteri, yaitu DAMP
(Damage Associated Molecules Pattern) dan PAMP (Pathogen Spesific
Associated Molecules Pattern), complement factor, histamin, prostaglandin,
dan leukotriene. Agen ini akan ditangkap oleh reseptor TLRs (toll like
receptor) dan merangsang aktivasi jalur signalling intraseluler yaitu jalur NFκβ
dan MAPK. Pengaktifan jalur ini akan menghasilkan ekspresi gen yang terdiri
dari sitokin dan kemokin pro-inflamasi yang menstimulasi leukosit untuk
ekstravasasi keluar dari sel endotel ke matriks provisional. Leukosit akan
melepaskan bermacam-macam faktor untuk menarik sel yang akan memfagosit
debris, bakteri, dan jaringan yang rusak, serta pelepasan sitokin yang akan
memulai proliferasi jaringan. Leukosit yang terdapat pada luka di dua hari
pertama adalah neutrofil, biasanya terdeteksi pada luka dalam 24 jam sampai
dengan 36 jam setelah terjadi luka. Sel ini membuang jaringan mati dan bakteri
dengan fagositosis. Netrofil mensekresi sitokin pro inflamasi seperti TNF-α,
IL-1β, IL-6 juga mengeluarkan protease untuk mendegradasi matriks
ekstraseluler yang tersisa. Setelah melaksanakan fungsi fagositosis, neutrofil
akan difagositosis oleh makrofag atau mati. Pada hari ke tiga luka, monosit
berdiferensiasi menjadi makrofag masuk ke dalam luka melalui mediasi
monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1). Makrofag akan menggantikan
peran polimorfonuklear sebagai sel predominan. Platelet dan faktor-faktor
lainnya menarik monosit dari pembuluh darah. Ketika monosit mencapai lokasi
luka, maka ia akan dimatangkan menjadi makrofag.
3. Fase proliferase
Terdapat tiga fase utama pada profilasi :
a. Neoangiogenesis
Angiogenesis merupakan pertumbuhan pembuluh darah baru yang terjadi
secara alami di dalam tubuh, baik dalam kondisi sehat maupun patologi
(sakit). Pada proliferasi terjadi angiogenesis disebut juga sebagai
neovaskularisasi, yaitu proses pembentukan pembuluh darah baru,
merupakan hal yang penting sekali dalam langkah-langkah penyembuhan
luka. Jaringan di mana pembentukan pembuluh darah baru. terjadi,
biasanya terlihat berwarna merah (eritem) karena terbentuknya kapiler-
kapiler di daerah itu. Selama angiogenesis, sel endotel memproduksi dan
mengeluarkan sitokin.
b. Fibroblast
Fibroblas memiliki peran yang sangat penting dalam fase ini. Fibroblas
memproduksi matriks ekstraselular yang akan mengisi kavitas luka dan
menyediakan landasan untuk migrasi keratinosit. Dengan bantuan matrix
metalloproteinase (MMP-12), fibroblas mencerna matriks fibrin dan
menggantikannya dengan glycosaminoglycan (GAG). Dengan berjalannya
waktu, matriks ekstraselular ini akan digantikan oleh kolagen tipe III yang
juga diproduksi oleh fibroblas. Kolagen ini tersusun atas 33% glisin, 25%
hidroksiprolin, dan selebihnya berupa air, glukosa, dan galaktosa.
Hidroksiprolin berasal dari residu prolin yang mengalami proses
hidroksilasi oleh enzim prolyl hydroxylase dengan bantuan vitamin C.
Hidroksiprolin hanya didapatkan pada kolagen, sehingga dapat dipakai
sebagai tolok ukur banyaknya kolagen dengan mengalikan hasilnya dengan
7,8. Selanjutnya kolagen tipe III akan digantikan oleh kolagen tipe I pada
fase maturasi. Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag seperti
vascular endothelial growth factor (VEGF), fibroblas growth factor (FGF)-
2, angiopoietin-1, dan thrombospondin akan menstimulasi sel endotel
membentuk neovaskular melalui proses angiogenesis.
c. Re-epitelisasi
Pada tepi luka, lapisan single layer sel keratinosit akan berproliferasi
kemudian bermigrasi dari membran basal ke permukaan luka. Ketika
bermigrasi, keratinosit akan menjadi pipih dan panjang dan juga
membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang. Mereka akan berikatan
dengan kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan reseptor spesifik
integrin. Kolagenase yang dikeluarkan keratinosit akan mendisosiasi sel
dari matriks dermis dan membantu pergerakan dari matriks awal. Sel
keratinosit yang telah bermigrasi dan berdiferensiasi menjadi sel epitel ini
akan bermigrasi di atas matriks provisional menuju ke tengah luka, bila
sel-sel epitel ini telah bertemu di tengah luka, migrasi sel akan berhenti dan
pembentukan membran basalis dimulai.
4. Fase maturase
Pada fase ini terjadi keseimbangan antara proses sintesis dan degradasi kolagen
serta matriks ekstraseluler. Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim
kolagenasedan kemudian diserap. Sisanya akan mengerut sesuai tegangan yang
ada.Hasil akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang pucat, tipis, lemas, dan
mudah digerakkan dari dasarnya. Saat kadar produksi dan degradasi kolagen
mencapai keseimbangan, maka mulailah fase maturasi dari penyembuhan
jaringan luka. Fase ini dapat berlangsung hingga 1 tahun lamanya atau lebih,
tergantung dari ukuran luka dan metode penutupan luka yang dipakai. Selama
proses maturasi, kolagen tipe III yang banyak berperan saat fase proliferasi
akan menurun kadarnya secara bertahap, digantikan dengan kolagen tipe I yang
lebih kuat. Serabut-serabut kolagen ini akan disusun, dirangkai, dan dirapikan
sepanjang garis luka. Fase remodelling jaringan parut adalah fase terlama dari
proses penyembuhan. Sintesis dan degradasi kolagen dan matriks ekstraseluler
terjadi secara simultan dan biasanya terjadi keseimbangan antara kedua proses
hingga 3 minggu setelah terjadinya luka sebelum akhirnya terjadi kestabilan.

II.4 Patofisiologi Luka Diabetik


Kehilangan sensasi protektif akibat neuropati perifer pada IKD merupakan
faktor pemicu dan pendahulu terbentuknya ulkus pada kaki. Ulkus atau
kerusakan pada lapisan epitel kulit merupakan pintu masuk terjadinya
infeksi. Kerusakan saraf sebagai pemicu ulkus, dapat melibatkan saraf
sensoris, motoric maupun otonom. Ketidakseimbangan motoric oleh karena
motor neuropati, menyebabkan terjadinya atrofi otot, dislokasi bantalan
lemak, dan akhirnya terjadi deformitas pada kaki, seperti; foot drop,
clawed/hammer toes, equinus varus/valgus. Deformitas pada kaki
menyebabkan terbentuknya daerah pada kaki yang mengalami tekanan
abnormal, sehingga rentan terhadap trauma. Hilangnya sensasi pada kulit
kaki menngakibatkan ketidakmampuan mencegah terjadinya trauma, atau
adanya trauma yang tak disadari yang memperburuk keadaan. Area kaki
yang. menjadi tumpuan saat berjalan dan menahan beban mengalami
penekanan dan gesekan berulang sehingga. Ditambah dengan hilangnya
fungsi kelenjar keringat dan lemak menjadikan kulit kaki menjadi kering
dan mengalami hyperkeratosis, sehingga lebih mudah pecah dan menjadi
sumber masuknya bakteri. (Dinata dan Yasa, 2021)
II.6 Hewan Uji
a. Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Hewan coba atau hewan uji adalah hewan yang dikembangbiakkan
untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus putih merupakan
hewan yang sering digunakan dalam penelitian medis sebagai hewan
percobaan dikarenakan memiliki kemampuan adaptasi yang baik dan
tahan perlakuan yang di berikan. Selain itu, tikus juga mempunyai
kesamaan secara fisiologis dengan manusia. Keuntungan dari
menggunakan tikus sebagai hewan percobaan yaitu harganya relative
murah, mudah berkembang biak, mudah dipegang dan mudah
didapatkan. Tikus putih ini biasanya digunakan untuk mempelajari
dan memahami keadaan patologis yang kompleks misalnya digunakan
dalam penelitian penyakit diabetes (Angria, 2019).

b. Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus)


Menurut Sadgala (2010) Klasifikasi dari Tikus putih (Rattus
norvegicus) yaitu sebagai berikut
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Species : Rattus norvegicus L
c. Data Biologi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
No Kondisi Biologi Jumlah
.
1. Berat badan Berat badan
- Jantan - 300-500 gr
- Betina - 250-300 gr

2. Lama hidup 2,5-3 tahun


3. Temperatur tubuh 37,5 ᵒC
4. - Kebutuhan air - 8-11 ml/100 grBB
- Kebutuhan makanan - 10gr/100 grBB
- Umur dewasa - 50-60 hari
5. Volume darah 57-7- ml/kg
6. Tekanan darah
- Sistolik - 84-174 mmHg
- Diastolik - 58-145 mmHg
7. Frekuensi jantung 330-480/menit
8. Frekuensi respirasi 66-11/menit
9. Tidal Volume 0,6-1,25 mm
10. Kadar glukosa darah 50-135 mg/dl

Tabel 1.1 Data Biologi Tikus Putih (Rattus norvegivus)


(Sumber : Subandi (2018))

II.7 Aloksan
Aloksan adalah salah satu salah satu zat diabetogenik yang bersifat toksik
terutama terhadap sel beta pankreas dan jika. diberikan kepada hewan
percobaan maka hewan percobaan tersebut dapat menjadi diabetes.
Mekanisme kerusakan sel beta pankreas oleh aloksan diawali dengan
oksidasi gugus sulfidril dan pembentukan radikal bebas. Aloksan bereaksi
dengan dua gugus -SH yang berikatan pada bagian sisi dari protein atau
asam amino membentuk ikatan disulfida sehingga menginaktifkan protein
yang berakibat pada gangguan fungsi protein tersebut (Amani dan
Mustarichie, 2018)
Aloksan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 2,4,5,6-pyrimidinetetrone) adalah
derivat pirimidin oksigen yang hadir sebagai aloksan hidrat dalam larutan
(Rohilla & Ali, 2012). Aloksan adalah senyawa kimia tidak stabil yang
berupa derivat pirimidin, dan merupakan salah satu zat yang umum yang
digunakan untuk menginduksi diabetes melitus. Aloksan memiliki efek
merusak sel β pankreas karena dapat menghasilkan radikal oksigen dalam
jumlah yang besar (Xing et al., 2015).

Efek diabetes aloksan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 5,6-dioxyuracil)


terutama disebabkan ambilan cepat oleh sel beta dan pembentukan radikal
bebas, dimana sel beta memiliki mekanisme pertahanan yang buruk untuk
radikal bebas tersebut. Aloksan direduksi menjadi asam dialuric dan
kemudian teroksidasi kembali menjadi aloksan, menciptakan siklus redoks
untuk regenerasi radikal superoksida yang mengalami dismutasi untuk
membentuk hidrogen peroksida dan selanjutnya membentuk radikal
hidroksil yang sangat reaktif dan menyebabkan fragmentasi DNA sel beta.
Aloksan juga diambil oleh hati, tetapi hati memiliki perlindungan yang lebih
baik untuk oksigen reaktif dan oleh karena itu hati tidak rentan terhadap
kerusakan. Mekanisme lain kerusakan sel beta oleh aloksan termasuk
oksidasi gugus SH yang essensial, terutama dari glukokinase dan gangguan
dalam homeostasis kalsium intraseluler Dosis pada tikus berkisar dari 50
sampai 200 mg/kg dan pada mencit dari 40 hingga 200 mg/kg BB,
tergantung pada strain dan rute pemberian dimana pemberian ip dan
s.cmembutuhkan hingga tiga kali lebih besar dari dosis dengan rute i.v.
dosis 100 mg/kg BB telah digunakan untuk membuat diabetes jangka
panjang pada kelinci Perlu dicatat bahwa aloksan memiliki indeks dosis
diabetogenic yang sempit, sehingga overdosis ringan bisa menyebabkan
toksisitas umum, terutama untuk ginjal (Stevani, H, 2020)
II.8 Ekstraksi
Pemilihan teknik ekstraksi bergantung pada bagian tanaman yang akan
disektraksi dan bahan aktif yang diinginkan. Oleh karena itu, sebelum
ekstraksi dilakukan perlu diperhatikan keseluruhan tujuan melakukan
ekstraksi. Tujuan dari suatu proses ekstraksi adalah untuk memperoleh suatu
bahan aktif yang tidak diketahui, memperoleh suatu bahan aktif yang sudah
diketahui, memperoleh sekelompok senyawa yang struktur sejenis,
memperoleh semua metabolit sekunder dari suatu bagian tanaman dengan
spesies tertentu, mengidentifikasi semua metabolit sekunder yang terdapat
dalam suatu mahluk hidup sebagai penanda kimia atau kajian metabolisme.
Sebaiknya untuk analisis fitokimia, harus digunakan jaringan tanaman yang
segar. Beberapa menit setelah dikumpulkan, bahan tanaman itu harus
dicemplungkan ke dalam alkohol mendidih. Kadang-kadang, tanaman yang
ditelaah tidak tersedia dan bahan mungkin harus disediakan oleh seruang
pengumpul di benua lain. Dalam hal demikian, jaringan yang diambil segar
harus disimpan kering di dalam kantung plastik dan biasanya akan tetap
dalam keadaan baik untuk dianalisis setelah beberapa hari dalam perjalanan
dengan pos udara. Beberapa bahan obat Aryuveda, seperti asava dan arista
dibuat dengan teknik fermentasi dalam mengekstrak bahan aktifnya.
Ekstraksi dilakukan dengan merendam. bagian tanaman baik dalam bentuk
serbuk atau dekoksi selama waktu tertentu sehingga terjadi fermentasi dan
pembentukan alkohol secara insitu. Pada saat bersamaan, juga terjadi
ekstraksi bahan aktif dari bagian tanaman tersebut. Alkohol yang terbentuk
juga berfungsi sebagai pengawet. Jika fermentasi dilakukan dalam bejana
dari tanah liat, maka bejana tersebut sebaiknya bukan yang baru atau bejana
tersebut harus pernah digunakan terlebih dahulu untuk merebus air. Dalam
skala besar, tong kayu, ceret porselin atau tangki dari logam digunakan
sebagai pengganti bejana dari tanah liat. Dalam Aryuveda, teknik ekstraksi
ini belum dibakukan. Namun dengan perkembangan teknologi fermentasi
yang semakin mutakhir, teknik ekstraksi ini dapat dibakukan dalam
produksi bahan aktif dari tanaman obat. (Endarini, 2016)
BAB III
METODE PENELITIAN

III.1 Etik Penelitian


Etik penelitian diperoleh dari Komite Etik Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako berdasarkan usulan
yang diajukan oleh tim peneliti.

III.2 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen laboratorium, yaitu daun
eboni (Diospyros celebica Bakh.) yang telah dibersihkan dan dihaluskan
kemudian diekstraksi lalu diuji aktivitas ekstrak daun eboni (Diospyros
celebica Bakh.) terhadap gambaran mikroskopik sel luka diabetic pada tikus
(Rattus norvegicus).

III.3 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian


a. Lokasi Penelitian
Tempat penelitian ini akan di lakukan di Laboratorium Farmakognosi-
Fitokimia, Laboratorium Farmasetika dan Laboratorium Farmakologi-
Biofarmasi Jurusan Farmasi, FMIPA, Universitas Tadulako, Palu,
Sulawesi Tengah.
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dalam kurun waktu selama 2 bulan, mulai
dari bulan Juli November 2022-Agustus 2022.
III.4 Alat dan Bahan Penelitian
a. Alat
Penelitian ini menggunakan alat-alat seperti kandang tikus, botol
minum tikus, wadah gel, toples kaca, sonde, dispo, gunting, sudip,
botol coklat, lumpang dan alu, pencukur bulu, pisau bedah, base mold,
kaset embedding, oven, mikroskop.

b. Bahan
Bahan-bahan yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu Ekstrak
daun eboni (Diospyros celebica Bakh.), aquadest, alkohol 96, 70,
aloksan, air mineral, handscoon, masker, kapas, kertas perkamen, kertas
saring, aluminium foil, kertas label, Na-CMC, makanan tikus, tissue,
cotton bud, kasa steril, alkohol 70 %, ketamin, NaCl 0,9 %,
glibenklamid, nbf 10%, alcohol absolut, paraffin cair, xylol, eosin Y,
hematoksilin, foam
c. Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu
hewan uji tikus putih (Rattus norvegicus).

III.5 Populasi dan sampel penelitian


a. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh tikus putih (Rattus norvegicus)
yang berada pada satu area.
b. Sampel
Penentuan sampel menurut ketentuan WHO adalah dengan
jumlah sampel minimal 5 ekor untuk setiap kelompok perlakuan
(Jusman & Halim, 2009).
(n – 1) (t - 1) ≥ 15
(n – 1) (5 - 1) ≥ 15
(n – 1) (4) ≥ 15
4n - 4 ≥ 15
4n ≥ 19
N ≥ 4,75
Dari uraian di atas diperoleh hasil N (Jumlah hewan Uji tiap kelompok)
adalah lebih besar dari atau sama dengan 5, sehingga peneliti
menggunakan 5 ekor tiap kelompok.

c. Kriteria Hewan Uji


Pengambilan sampel didasarkan pada kriteria inklusi dan eksklusi
sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
a. Tikus putih galur wistar
b. Berat badan 180-250 gram
c. Umur 2-4 bulan
2. Kriteria Eksklusi
a. Tikus tampak sakit
b. Terdapat abnormalitas tikus yang tampak
c. Tikus mati

III.6 Tahapan Penelitian


a. Pengambilan dan Pengolahan Sampel
Daun Eboni (Diospyros celebica Bakh.) yang digunakan diperoleh dari
Desa Binangga, Kecamatan Parigi Tengah, Kabupaten Parigi Moutong,
Provinsi Sulawesi Tengah. Bagian daun eboni yang digunakan yaitu
daun eboni yang berwarna hijau tua. Daun eboni dipisahkan terlebih
dahulu dari kotoran yang menempel kemudian di cuci hingga bersih
dengan menggunakan air mengalir. Kemudian daun eboni dikeringkan
dengan cara di angin-anginkan. Setelah daun eboni telah kering, daun
eboni dipilah untuk memisahkan kotoran yang mungkin ada pada saat
proses pengeringan. Kemudian simplisia daun eboni dibuat serbuk
dengan cara di blender.
b. Pembuatan Ekstrak Daun Eboni
Pembuatan ekstrak daun eboni dilakukan dengan metode ekstraksi
perkolasi. Pada ekstraksi dengan metode perkolasi ini menggunakan 1
kg serbuk kering daun eboni yang sebelumnya direndam terlebih dahulu
dengan pelarut etanol 96% didalam beakerglass selama 3 jam.
Dipindahkan kedalam perkolator sedikit demi sedikit, tuang larutan
penyari secukupnya sampai cairan masih terdapat selapis cairan
penyari. Tutup perkolator dan biarkan selama 24 jam. Perkolat
dibiarkan menetes dan tambahkan berulang-ulang cairan penyari hingga
jernih. Perkolat diuapkan diatas rotary evaporator hingga didapatkan
ekstrak kental (Ramonah et al., 2017).
c. Pembuatan Bahan Penginduksi (Aloksan)
Ditimbang serbuk aloksan sebanyak 130 mg, dimasukkan dalam labu
takar 10 ml, kemudian ditambahkan larutan NaCl 0,9 % dikocok hingga
homogen dan dicukupkan volumenya garis tanda (Khaerati et al., 2020)
d. Induksi Aloksan
Induksi diabetik dilakukan dengan pemberian suntikan aloksan
monohidrat 130 mg/kgBB secara intraperitonial, setelah sebelumnya
tikus dipuasakan selama 12 jam. 72 jam setelah pemberian aloksan,
darah diambil dari vena ekor dan kadar glukosa darah puasa diperiksa
menggunakan glucometer. Tikus percobaan dianggap diabetik apabila
kadar glukosa darah puasa > 200 mg/dL (Sinaga et al., 2019).
e. Pembuatan Luka Eksisi
Luka dibuat pada bagian dorsal dari badan tikus. Sebelum di beri
perlakuan tikus di bius dengan ketamin 6,5 mg/kgBB hingga pingsan
lalu bulu tikus di cukur di sekitar tempat yang akan dibuat luka.
Kemudian dilakukan desinfeksi menggunakan etanol 70 % di sekitar
tempat yang akan dibuat luka. Lalu dengan hati-hati dibuat luka eksisi
dengan memotong bagian kulit berbentuk lingkaran dengan diameter di
kedelaman 2 cm menggunakan pisau bedah (Sinaga et al., 2019).
f. Perlakuan Terhadap Hewan Uji
1. Pengambilan sampel
Pengambilan sampel kulit hewan uji dilakukan setelah tikus
mengalami luka dan setelah pemberian foam ekstrak daun eboni.
Tikus pada setiap kelompok dianastesi dengan eter. Pada bagian
luka diabetic dibuat eksisi dengan kedalaman sampai subkutan dan
fiksasi dengan buffer formalin 10% didiamkan selama 24
(laut,m.,et al, 2019).

Kemudian di dehidrasi dan berturut-turut dubersihkan dengan satu


sesi larutan (3 kali formalin 10%, alcohol 70%, alkohol 96%,
alcohol absolut, xylol dan 2 kali paraffin cair). Sampel kemudian
dibloking dengan paraffin cair, setelah didinginkan di potong
dengan tipis blok paraffin. Untuk pewarnaan dilakukan dengan
cara, direndam dalam xylol l, ll, lll, masing-masing 5 menit.
Terakhir di rendam dalam alcohol absolut l, ll, lll selama 5 menit.
Sebelum direndam dalam larutan HE (15 menit), dilakukan
perendaman dalam aquades selama 1 menit. Sampel kembali
direndam dalam aquades (1 menit), kemudian 5-7 menit dalam acid
alcohol 10%, dua kali dalam aquades selama 1 menit dan 15 menit.
Setelah itu diwarnai dengan eosin. Preparat yang telah diwarnai
kemudian direndam dalam alcohol absolut l, ll selama 5 menit.
(Gunawan., S, A, dkk. 2019).
2. Pengamatan mikroskopik
Pengamatan histologi jaringan kulit dilakukan untuk mengamati
luka ulkus secara mikroskopis pada kerapatan kolagen jaringan
kulit dengan menggunakan alat mikroskop cahaya. Pengamatan
kepadatan kolagen dilakukan dengan skoring histologi jaringan
kulit pada 1 lapang pandang dengan perbesaran objektif 40 x 10.
Parameter pengamatan yang dilakukan yaitu mengamati
perkembangan pemulihan luka secara histologi yaitu kerapatan
kolagen pada jaringan kulit (Azizah dan Qomariyah, 2021).

g. Analisis Data
Data yang diperoleh berupa gambarn mikroskopik pada masing-masing
kelompok perlakuan dianalisis secara statistik dengan Uji One Way
Anova pada tingkat kepercayaan 95 %. Dilanjutkan dengan uji Post
Hoc Duncan untuk perbedaan yang bermakna antar perlakuan.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes A. 1991. Pengobatan tradisional di Indonesia. Medika 17(8): 632


Ariyanti, Budiarso, E., Budi, A. S., W, I., & Kusuma. (2016). Analisis Fitokimia
Ekstrak Kayu Eboni ( Diospyros Celebica Bakh .). Warta Rimba, 4, 61–68.
Angria, N. (2019). Undur-undur (myrmelon sp.) Sebagai Antidiabetik
Ponorogo:Uwais Inspirasi Indonesia.
Amani dan Mustharichie. (2018). Aktivitas Antihiperglikimia Beberapa Tanaman
Di Indonesia. 16(1). Universitas Padjadjaran
Boritnaban., et al. (2019). Metabolite Profiling of Ebony (Diosphyros celebica
Bakh) Leves and Wood Extracts Using. International journal of
Neuroscience, 168 (1-9)
Chen, J., Ni, C., Lou, J., & Peng, W. (2018). Molekul dan fungsi rosewood:
Diospyros celebica. Jurnal Kimia Arab , 11 (6), 756-762.
Dinata dan Yasa. (2021). Tatalaksana Terkini Infeksi Kaki Diabetes. 1(2).
https://doi.org/1023887/gm.v1il2.39304
Endarini, (2016). Farmakognosi dan Fitokimia. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia : Jakarta Selatan.
Garcia., et al. (2020). Pathophysiology of type 2 Diabetes Melitus. International
journal of moleculer science. www.mdpi.com/journal/ijms
Gunawan., S, A, dkk. (2019). Histopatologi Kulit pada Kesembuhan Luka Insisi
Tikus Putih Pasca Pemberian Extracelluler Matrix (ECM) yang Berasal dari
Vesica Urinaria. 247-6637. Indonesia Medicus Veterius.
Guyton , & Hall. (2006). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology
William Schmit. Bandung: EGC
Hamzah, D. F. (2019). Analisis Penggunaan Obat Herbal Pasien Diabetes Mellitus
Tipe Ii Di Kota Langsa Diza. Jurnal Jumantik, Vol. 4 No., 168–177.
Heni dan Kusmiyati. (2017). Bahan Ajar Kebidanan. Anatomi dan fisiologi.
Kementrian kesehatan Republik Indonesia. 121-131.
Kartini, K., Khumaidi, A., Khaerati, K., & Ihwan. (2018). Ekstrak Etanol Daun
Eboni Menurunkan Kadar Glukosa Darah Tikus Jantan yang Diinduksi
Aloksan. jurnal veteriner, 19(36), 329–334.
Khaerati, K., Amini, D., & Ihwan. (2020). Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Air-
Etanol, n-Heksan, dan Etil Asetat Uwi Banggai (Dioscorea alata L.)
Dengan Metode Induksi Aloksan Pada Mencit Jantan (Mus musculus).
Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy) (e-Journal),
6(2), 243–252. https://doi.org/10.22487/j24428744.2020.v6.i2.15154
Lestari., et al. (2021). Diabetes Melitus: Review Etiologi, Patofisiologi, Gejala
penyabab, cara pemeriksaan, cara pengobatan dan cara pencegahan. (238).
http://journal.uin-alauddin.ac.id/indwx.php/psb
Mescher, A. L. (2010). Junqueira’s Basic Histology text and Atlas (12th Edition).
Mc Graw Hill Medical
Primadani dan Nurrahmatika. (2021). Proses Penyembuhan luka kaki Diabetek
Dengan Perawatan Luka Metode moist wound Healing. 2 (1).
https://doi.org/10.26714/nm.v2i1.6255
Primadani., N, et al. (2019). Proses Penyembuhan Luka Di Tinjau Dari Aspek
Mekanisme Seluler dan Molekuler. Qanun Medika. 3 (1).
Purba, Y. R. (2019). Isolasi dan Identifikasi Golongan Senyawa Fenolik dari
Daun Tumbuhan Daun Kayu Hitam (Diosphyros celebica Bakh)
Ramonah., et al. (2017). Determinasi Total Flavonoid, Total Fenolik, Dan
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Insulin (smallanthus
sonchifolius) Dengan Metode Perkolasi. Media Farmasi Indonesia, 15(1)
1585-1592.
Riswan, S. (2002). Kajian Biologi Eboni (Diosphyros celebica Bakh). Berita
Biologi, volume 6.
Sadgala, Y. (2010). Merawat Hamster Menggemaskan.jakarta Selatan: Agro
Media Pustaka.
Subandi, I. (2018). Profil Protein Ovarium Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Betina
Setelah Pemberian Ekstrak Etanol Daun Sisik Naga (Pyrrosia
Piloselloides). Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Sinaga., et al. (2019). Efektivitas Suplementasi Ekstrak Dagingn Ikan Bujuk
(Channa Lucius) dalam mempercepat Penyembuhan Luka Diabetik.
Majalah Farmasetika, 4 (Suppl 1), 195-200.
Washudi dan Hariyanto., k. (2016). Biomedik Dasar. Kementrian kesehatan
Republik Indonesia. 259-260
Widiasari., et al. (2021). Diabetes mellitus Tipe-2: Faktor Resiko, Diagnosa, dan
Tatalaksana. Ganesha medicina jornal. Vol 1. No 2. (117-118).
Xing., et al. (2015). Antidiabetic Activity of Differently Regioselective Chitosan
Sulfates in Aloxan-Induced Diabetic rats. Marine Drugs, 3072-3090.
https://doi.org/10.3390/md13053072
Zulfiani, Yuniaty E, Pitopang R. 2013). Kajian Etnobotani Suku Kaili Tara Di
Desa Binangga Kecamatan Parigi Tengah Kabupaten Parigi Moutong
Sulawesi Tengah. Biocelebes 7(1): 67-74.

Anda mungkin juga menyukai