Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan dan perceraian merupakan dua hal yang sangat bertolak
belakang. Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria
dan wanita sebagai suami isteri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari
kehidupan bersama suami isteri tersebut.
Ketika mendengar kata perceraian atau putusnya perkawinan, yang
muncul pertama kali dalam benak kita adalah sepasang suami istri yang
tadinya bersama menjadi berpisah satu sama lain, bahkan si suami maupun si
istri bisa menikah dengan orang lain setelah peristiwa tersebut terjadi. Itu yang
terlihat secara dhohirnya. Namun, Islam mendefinisikan perceraian seimbang
dengan kata putusnya perkawinan yang dibenarkan keberadaanya dalam
keadaan tertentu jika terdapat hal-hal yang akan menimbulkan kemudharatan
jika hubungan perkawinan tetap dilanjutkan.
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan
tanggung jawab bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat di luar hak dan
kewajibannya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya
dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu rumah
tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam memberikan
jalan keluar berupa perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan
yang halal, namun Allah sangat membenci perceraian tersebut.
Lalu bagaimana dengan istilah terhentinya perkawinan? Pernahkah kita
mendengar istilah ini sebelumnya?
Ada dua istilah dalam Islam yakni putusnya perkawinan dan terhentinya
perkawinan. Perbedaan konsep antara keduanya juga membuat hukum yang
ada di dalamnya berbeda. Dalam makalah kali ini, penulis hanya akan
membatasi pembahasan pada istilah terhentinya perkawinan menurut Islam

1
2

yakni Zhihar, Ila’, dan Li’an yang masih diperlukan penjelasan yang lebih
rinci.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Zhihar, Ila’, dan Li’an?
2. Apakah hukum dan dasar hukum Zhihar, Ila’, dan Li’an?
3. Apakah rukun dan syarat Zhihar, Ila’, dan Li’an?
4. Apakah akibat hukum Zhihar, Ila’, dan Li’an?
5. Apakah ketentuan dan keterangan lain tentang Zhihar, Ila’, dan Li’an?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui pengertian, hukum dan dasar hukum, rukun dan
syarat, akibat hukum dan kaffarah dari bentuk-bentuk terhentinya perkawinan
yakni Zhihar, Ila’, dan Li’an.
3

BAB II

PEMBAHASAN
A. Zhihar (‫)الظها ر‬
1. Pengertian
Zhihar secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang secara arti kata
berarti “punggung”.1 Penggunaan kata “punggung” dan bukan anggota
badan yang lain melainkan hanya karena kata tersebut digunakan untuk
suatu yang dikendarai atau diracak.2 Dalam hal ini, istri merupakan
seseorang yang dipimpin (yang maknanya sama dengan yang diracak) oleh
laki-laki yaitu suaminya.
Secara istilah, al-Mahalli dalam Syarh Minhaj al-Thalibin (al-
Mahalli dalam Amir, 2006: 259) merumuskan definisi Zhihar sebagai
berikut:
Artinya: Suami menyamakan istrinya dengan mahramnya.
Terdapat 3 kata pokok yang menjelaskan hakikat Zhihar, yaitu:
1. Pertama: kata “menyamakan” (tasybih) yang mengandung arti zhihar
itu merupakan tindakan seseorang untuk menyamakan atau
menganggap sama, meskipun yang dianggap sama itu menurut
hakikatnya adalah berbeda.
2. Kedua: kata “suami” menjelaskan bahwa yang melakukan penyamaan
atau yang menganggap sama adalah suami terhadap istrinya, bukan
yang lain, atau istri yang menyamakan suaminya, bukan disebut
zhihar.
3. Ketiga: kata “mahramnya” atau orang yang haram dikawininya,
mengandung arti orang kepada siapa istrinya disamakannya adalah
orang-orang yang haram dikawininya. Hal itu mengandung arti bahwa
bila suami menyamakan istrinya dengan orang yang tidak haram

1
Ibid., h. 259
2
Ibid.

3
4

dikawininya, seperti saudara sepupunya atau perempuan lain yang


tidak ada hubungan mahram, tidak disebut zhihar.3
Dalam sumber lain, zhihar didefinisikan sebagai ucapan seorang
laki-laki yang mengharamkan istrinya bagi dirinya dengan menyerupakan
keharamannya seperti ibunya, saudara perempuannya, atau salah satu
mahramnya dan tidak diikuti talak.4 Pengertian ini menambahkan kualitas
zhihar yang sesungguhnya adalah yang tidak diikuti talak.
Terdapat pula definisi lain yang menjelaskan secara praktis bentuk
dari zhihar itu, yaitu:
Ucapan seorang laki-laki kepada istrinya: “Engkau bagi saya seperti
punggung ibu saya”.5
Jika kata-kata diatas ini digunakan sebagai bentuk penghormatan
kepada istrinya sama seperti ia menghormati ibunya, maka tidak
membawa akibat hukum apa-apa.6 Bisa jadi ketika si suami berusaha
untuk memuji istrinya dan juga menyanjungnya.
Namun, orang Arab jahiliyah terbiasa menggunakan kata-kata
tersebut untuk menceraikan istrinya dengan jalan mengharamkan istrinya
untuk digauli sama seperti haramnya ibunya untuk digauli. 7 Bahkan
hukum zhihar ini pada masa jahiliyah menjadikan haram selamanya
kemudian berpisahlah laki-laki dan istrinya dan peristiwa itu masih terjadi
dalam masa Islam.8

2. Hukum dan Dasar Hukum


Hukum zhihar, berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah haram. 9
Dasarnya adalah sebagai berikut:

3
Ibid., h. 260
4
Ali Yusuf as-Subki, ‫ نظام السرة في االسالم‬, Alih bahasa oleh Nur Khozin, Fiqh Keluarga, (AMZAH:
Jakarta, 2012), h. 360
5
Amir Syarifuddin, Loc. Cit.,
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ali Yusuf as-Subki, Loc. Cit.,
9
Amir Syarifuddin, Op. Cit., h. 261
5

a. Kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang menyamakan istrinya


dengan ibunya, seperti yang terdapat dalam surat al-Mujadilah ayat 2
yang berbunyi:

Artinya:

Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya


sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka
tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka
sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

b. Dari segi sangsi dan ancaman Allah dengan memberatkan kaffarah


terhadap pelakunya yang melanggar apa yang dilakukannya itu, seperti
yang tercantum dalam ayat al-Mujadilah ayat 3 yang berbunyi:

Artinya;

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik


kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang
diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

3. Tujuan dan Hikmah Hukum


Dengan hukum tersebut diatas, Islam bertujuan supaya suami tidak
begitu mudah bermain-main dengan urusan perkawinan dan tidak merusak
serta menyakiti istri dengan tindakan yang dapat merusak kehidupan
rumah tangga dan hubungan dalam keluarga.

4. Rukun dan Syarat


Berikut merupakan rukun yang harus terpenuhi oleh sebuah
perbuatan hukum untuk dapat dikatakan sebagai zhihar sehingga dapat
diberlakukan hukum zhihar atasnya seperti yang dirincikan oleh Amir
dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (2006: 262-269)
yakni:
a. Suami yang mengucapkan zhihar (Muzhahir)
Adapun syaratnya adalah suami yang telah baligh, berakal, dan
berbuat dengan kehendak dan kesadarannya sendiri.
6

b. Perempuan yang kepadanya diucapkan zhihar oleh suaminya


(Muzhahar minhu)
Muzhahar minhu atau perempuan yang terkena zhihar adalah
istrinya. Syaratnya yakni istri yang terikat dalam tali perkawinan
dengan laki-laki yang menzhiharnya. Seorang perempuan disebut istri
jika telah melangsungkan akad nikah.10
c. Perempuan yang disamakan dengan istri (muzhahar atau musyabbah
bih)
Syarat utama bagi perempuan yang disamakan dengan istri itu
adalah ibu dari suami karena alasan haramnya zhihar itu adalah
mengharamkan istrinya untuk digauli sebagaimana haramnya
menggauli perempuan yang secara hukum haram dikawininya.11
d. Ucapan zhihar
Ucapan resmi dan yang telah disepakati oleh ulama sebagai
zhihar adalah:
1) “Engkau dalam pandanganku adalah seperti punggung ibuku.”
2) Atau ucapan suami kepada istrinya: ‫ انت على كظهر امي‬12

5. Hukum yang berlaku terhadap zhihar


Bila suami telah mengucapkan ucapan zhihar kepada istrinya dan
juga telah memenuhi syarat sebagaimana disebutkan di atas, maka untuk
selanjutnya suami tidak boleh menggauli istrinya sampai ia membayar
kaffarah.
Bergaul disini dalam arti melakukan hubungan kelamin. Hal ini
yang disepakati oleh oleh ulama berdasarkan dalil yang kuat dari al-
Qur’an. Mengenai pergaulan lain seperti mendapat kesenangan di luar
hubungan kelamin berciuman, bersentuhan, atau yang lainnya terdapat
perbedaan yakni: (1) diharamkan selama belum membayar kaffarah,

10
Ibid., h. 264
11
Ibid., h. 266
12
Ibid., h. 268
7

pendapat dari Abu Bakar, al-Zuhriy, Imam Malik, Hanafiyah dan satu
pendapat Syafi’iyah dengan alasan bahwa ucapan yang mengharamkan
hubungan kelamin juga menjangkau kepada yang berdekatan dengan itu
(Ibnu Qudamahm VIII dalam Amir, 2006: 270) dan diperkuat oleh
pendapat Ali dalam bukunya Nizham al-Israh fii al-Islam—yang
diterjemahkan oleh Nur Khozin dengan judul Fiqh Keluarga—yakni
keduanya (suami dan istri) haram untuk bersentuhan sebelum
mengeluarkan kaffarah (Ali, 2012: 363); dan/atau (2) tidak diharamkan,
pendapat dari Imam Abu Hanifah, Ishaq, dan pendapat kedua dari Imam
Syafi’iy karena al-massu dalam ayat berarti hubungan kelamin dan tidak
menjangkau kepada yang lainnya (Ibnu Qudamah dalam Amir, 2006:
270).

6. Kaffarah
Kaffarah adalah kewajiban agama yang dipikulkan kepada
seseorang sebagai risiko atas kesalahan dan pelanggaran yang
dilakukannya yang mana dalam hal ini, pelaku zhihar diwajibkan
membayar kaffarah karena zhihar dianggap agama sebagai sebuah
pelanggaran.13 Bahkan Ali menyebutkan kaffarah ini untuk menghapus
kemungkaran ini (baca: zhihar).14
Adanya kewajiban dan bentuk kafffarah zhihar ini didasarkan
kepada firman Allah pada surat al-Mujadilah ayat 3 dan 4 yang berbunyi:
Artinya:
(3) Orang-orang (suami) yang menzhihar istrinya kemudian ingin
kembali, maka merdekakanlah hamba sahaya sebelum keduanya
bergaul. Demikianlah mereka diberi pengajaran dan Allah Maha
Tahu terhadap apa yang kamu lakukan. (4) Jika dia tidak
mendapatkannnya (hamba sahaya), maka hendaklah dia berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bergaul. Maka jika dia
tidak mampu berpuasa hendaklah dia member makan enam puluh
orang miskin. Demikian supaya dia beriman kepada Allah dan
13
Ibid., h. 270
14
Ali Yusuf as-Subki, Op. Cit., h. 363
8

Rasul-Nya. Demikianlah ketentuan Allah dan bagi orang kafir


adalah azab yang pedih.

Dan juga diperkuat dengan hadits Nabi di antaranya dari Salamah


bin Shakhr yang dikeluarkan oleh Ahmad dan empat perawi hadit selain
an-Nasa’I dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud yang
berkata (Amir, 2006: 272):
Artinya:
Salamah bin Shakhr berkata: Telah datang bulan Ramadhan saya
khawatir akan menggauli istri saya, maka saya menzhiharnya.
Pada suatu malam terbuka pada di hadapan saya sesuatu, maka
saya menggaulinya. Berkata Nabi SAW kepada saya:
“Merdekakanlah hamba sahaya”. Saya berkata: “saya tidak
memilikinya kecuali hanya yang ada pada saya”. Nabi berkata:
“Puasalah dua bulan berturut-turut”. “Saya tidak dapat
melakukannya”. Nabi berkata, “Beri makanlah satu gantang
tamar untuk 60 orang miskin.”15

Jadi, secara singkat bentuk kaffarah zhihar adalah sebagai berikut


a. Memerdekakan hamba sahaya.
b. Puasa dua bulan berturut-turut.
c. Memberikan makan 60 orang miskin (tiap-tiap orang ¼ sa’ fitrah atau
¾ liter (Rasjid, 2012: 412)

Atau secara lebih rinci berdasarkan ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi
yang telah dicantumkan sebbelumhya, bentuk kaffarah zhihar adalah
sebagai berikut:

a. Memerdekakan hamba sahaya yakni hamba sahaya yang beriman,


sehat, dan kuat hanya bekerja pada satu orang.
b. Bila tidak memperolehnya, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan puasa selama dua bulan berturut-turut. Yang telah
melakukan puasa tersebut adalah orang-orang yang secara hukum
memnuhi syarat untuk melakukan puasa Ramadahan, atau meng-
qadha-nya bila ada yang batal.

15
Amir Syarifuddin, Op. Cit., h. 273
9

Adapun orang yang tidak mungkin melakukan puasa karena tua


Bangka atau orang sakit yang tidak ada harapan akan sembuh dan
kalau tidak puasa Ramadhan dia hanya wajib membayar diyat, maka
tidak wajib melakukan puasa dua bulan berturut-turut, namun
kewajibannya adalah memberi makan orang miskin.
Berturut-turut pun memiliki maksud adalah secara
bersambungan tanpa terputus yang mana apabila dalam masa itu
terputus—karena dia tidak dapat berpuasa karena ada uzur—maka ia
harus melanjutkan puasanya untuk setelah hilangnya halangan
tersebut. Namun apabila ia tidak melakukan puasa karena adanya uzur,
maka dia harus mengulangi lagi puasa dua bulan tersebut.16
c. Memberi makan 60 orang miskin masing-masing satu mud atau
sekadar keperluan makan untuk sehari.
Terdapat beberapa perbedaan di antara beberapa ulama yakni:
(1) 60 orang, masing-masing satu mud: ini merupakan pendapat
jumhur ulama dengan alasan itulah yang terdapat secara jelas dalam al-
Qur’an kecuali bila memang jumlah orang miskin tidak sampai
sebanyak itu; atau (2) untuk keperluan 60 orang dengan kadar satu
mud, meskipun jumlah orangnya/penerimanya tidak mencapai 60
orang: ini merupakan pendapat kalangan Hanafiyah yang tidak
memandang kata 60 tersebut secara ketat sehingga memaknainya
dengan boleh member makan satu atau beberapa orang asalkan jumlah
keseluruhannya mencapai ukuran makan 60 orang miskin.17

16
Ibid.
17
Ibid., h. 275
10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah
terputusnya perkawinan dan terhentinya perkawinan sangatlah berbeda
sehingga perbedaannya tersebut menyebbabkan akibat hukum yang berbeda
pula. Bentuk terhentinya perkawinan ada tiga yakni Zhihar, Ila’, dan Li’an.
Zhihar terdapat pada kondisi dimana suami tidak boleh menggauli
istrinya karena ia telah menyamakan istrinya dengan ibunya dan ia dapat
meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah membayar kaffarah yang
mana bentuk kaffarah zhihar adalah memerdekakan seorang budak sebelum
melakukan hubungan suami isteri; atau berpuasa dua bulan berturut-turut; atau
memberi makan 60 orang miskin dengan catatan ia tidak mampu melakukan
yang pertama lalu yang kedua baru bisa yang ketiga.

B. Saran

Dari sumber yang diperoleh akhirnya penulis ingin menyampaikan


saran kepada pembaca bila akan menyampaikan :

1. Kita harus memahami sumber terlebih dahulu agar saat


menyampaikan tidak akan keliru
2. Saat menyampaikan kita harus tahu banyak tentang bersuci dalam
ajaran islam.
11

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat II. Pustaka Setia:
Bandung.
as-Subki, Ali Yusuf. 2012. ‫ نظام السرة في االسالم‬, Alih bahasa oleh Nur Khozin, Fiqh
Keluarga. AMZAH: Jakarta.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2011. Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi,
Maliki, Syafi’i, Hambali. Alih bahasa oleh A.B. Masykur dkk. Lentera:
Jakarta.
Ramulyo, Idris. 2002. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1978 dan Kompilasi Hukum Islam. Bumi Aksara:
Jakarta.
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqih Islam: Hukum Fiqh Lengkap. Sinar Baru
Algesindo: Bandung.
Syarifudin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Kencana Prenada Media
Group: Jakarta.
Nasir, Muhammad. Perceraian.
http://makalahhukumislamlengap.blogspot.com/2013/12/perceraian.html,
diposkan pada pukul 02:54 tanggal 28 Desember 2013 dan diakses pada
pukul 08:18 tanggal 15 Maret 2015.

Anda mungkin juga menyukai