Anda di halaman 1dari 16

Mata Kuliah : PEMASARAN SOSIAL KESEHATAN

Dosen : Dr. Shanti Riskiyani. SKM, M.Kes

REVIEW :
PROGRAM UPAYA MENGURANGI STIGMA TERKAIT KESEHATAN
MENTAL PADA KALANGAN REMAJA DENGAN PENDEKATAN
PEMASARAN SOSIAL DI NEGARA-NEGARA ASIA DAN INDONESIA

Disusun oleh :

JAYA
K012221001

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
ABSTRAK

Stigma terhadap gangguan jiwa merupakan prasangka yang sering


menimbulkan diskriminasi dan berdampak signifikan terhadap kehidupan
penderita gangguan jiwa. Ini menciptakan hambatan untuk mencari bantuan
dan tetap berhubungan dengan layanan kesehatan mental. Stigma didukung
oleh sikap negatif terhadap penyakit jiwa secara umum, dan terhadap orang
sakit jiwa secara khusus, menciptakan budaya malu karena menderita
gangguan kejiwaan. Dengan melihat kondisi demikian, sudah saatnya
penggunaan layanan kesehatan mental dibuat maksimal dengan cara
meningkatkan kesadaran masyarakat akan gangguan kesehatan mental.
Namun, pada kenyataannya penggunaan layanan kesehatan mental secara
maksimal masih terhalang dengan adanya stigma kepada penderita gangguan
mental yang datang baik dari individu itu sendiri maupun lingkungan sosial.
Telah banyak penelitian yang menunjukan masalah kesehatan mental di
kalangan remaja dapat meningkat baik dalam prevalensi maupun keparahan
namun masih terbatas penelitian yang melakukan ulasan atau review terkait
upaya mengurangi stigma terkait kesehatan mental pada kalangan remaja
dengan pendekatan pemasaran sosial di negara-negara Asia dan Indonesia.
Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode tinjauan pustaka
untuk mengumpulkan informasi (literatur) dari berbagai sumber. Hasil : Secara
keseluruhan program dalam rangka mereduksi stigma kesehatan mental pada
remaja menitik beratkan produknya yaitu tentang pengetahuan dan literasi
tentang Kesehatan mental untuk menurunkan stigma negative kesehatan
mental pada remaja sedangkan promosi yang dilakukan cukup beragam
dengan menggunakan komunikasi massal dan selektif.
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesehatan mental atau kesehatan jiwa merupakan aspek penting
dalam mewujudkan kesehatan secara menyeluruh. Kesehatan mental
juga penting diperhatikan selayaknya kesehatan fisik. There is no health
without mental health, sebagaimana definisi sehat yang dikemukakan
oleh World Health Organization (WHO) bahwa “health as a state of
complete physical, mental and social well-being and not merely the
absence of disease or infirmity.”(Ayuningtyas, Misnaniarti and Rayhani,
2018)
Kesehatan mental merupakan bagian integral dari definisi
kesehatan. Kesehatan mental yang baik memungkinkan orang untuk
memenuhi potensi mereka, mengelola tekanan hidup yang normal,
bekerja secara produktif, serta dapat memberikan sumbangsih atau
kontribusi di komunitas mereka. Terganggunya kesehatan mental akan
membuat kondisi individu secara keseluruhan mengalami masalah.
World Health Organization (WHO) (2013) mengartikan masalah
kesehatan mental sebagai kondisi dimana seseorang mengalami
penderitaan, disabilitas (ketidakmampuan), atau morbiditas (keadaan
tidak sehat) karena gangguan mental, neurologis dan penggunaan zat,
yang mana hal tersebut dapat timbul karena faktor genetik, biologis, dan
psikologis individu serta kondisi sosial yang merugikan serta faktor
lingkungan. Gangguan pada kesehatan mental jika tidak berhasil
ditanggulangi berisiko menjadi lebih serius (Abdi Mahsa Rizqi, 2019)
Menurut laporan WHO (2018) masalah kesehatan mental yang
paling umum di dunia adalah depresi yang diperkirakan dimiliki oleh
sekitar 300 juta individu secara global. Kemudian diikuti oleh gangguan
afektif bipolar yang diperkirakan dimiliki oleh 60 juta individu, demensia
dengan 50 juta individu, dan skizofrenia beserta gangguan psikosis
lainnya yang diperkirakan dimiliki oleh 23 juta orang di seluruh dunia.
Sedangkan untuk di Indonesia sendiri, menurut data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2018, ada peningkatan yang signifikan pada
prevalensi gangguan jiwa berat dari tahun 2013 sebesar 1,7% menjadi
7% pada 2018 (Riskesdas, 2018). Prevalensi gangguan mental
emosional dilihat dari data Riskesdas 2013 mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun 2007 yang sebelumnya sebesar 11,6%
menjadi 6,0%. Namun data Riskesdas 2018 kembali menunjukkan
peningkatan prevalensi menjadi 9,8%. (Abdi Mahsa Rizqi, 2019)
Peningkatan tersebut mengantarkan Indonesia menjadi urutan ke-6
dalam gangguan kesehatan mental dan kejiwaan secara keseluruhan
dan urutan ke-4 untuk tingkat penderita gangguan mental depresi
secara global (Maya, 2021).
Terjadinya masalah Kesehatan mental kebanyakan berkembang
pada usia 20-an. Perkembangan masalah gangguan mood terjadi rata-
rata 25% pada usia 18, sedangkan masalah gangguan kecemasan,
rata-rata 75% mulai terjadi pada usia 21, dan secara keseluruhan, 75%
individu yang mengembangkan gangguan kesehatan mental
mengalaminya ketika berusia 24 tahun. Usia tersebut mengacu pada
remaja, yang merupakan kelompok dengan risiko masalah kesehatan
yang tinggi dan memiliki potensi untuk membutuhkan penanganan (Ali,
2020)
Remaja lebih mungkin untuk mengalami kecemasan dan depresi,
tetapi kebanyakan dari individu-individu tersebut tidak mencari bantuan
psikologis jika memerlukan, selain itu remaja memiliki tingkat self-stigma
yang tinggi dan literasi yang rendah berkenaan dengan masalah
psikologis dan layanan profesional (Ali, 2020)
Stigma terhadap gangguan jiwa merupakan prasangka yang
sering menimbulkan diskriminasi dan berdampak signifikan terhadap
kehidupan penderita gangguan jiwa. Ini menciptakan hambatan untuk
mencari bantuan dan tetap berhubungan dengan layanan kesehatan
mental. Stigma didukung oleh sikap negatif terhadap penyakit jiwa
secara umum, dan terhadap orang sakit jiwa secara khusus,
menciptakan budaya malu karena menderita gangguan kejiwaan.
Dengan melihat kondisi demikian, sudah saatnya penggunaan
layanan kesehatan mental dibuat maksimal dengan cara meningkatkan
kesadaran masyarakat akan gangguan kesehatan mental. Namun,
pada kenyataannya penggunaan layanan kesehatan mental secara
maksimal masih terhalang dengan adanya stigma kepada penderita
gangguan mental yang datang baik dari individu itu sendiri maupun
lingkungan sosial.
Telah banyak penelitian yang menunjukan masalah kesehatan
mental di kalangan remaja dapat meningkat baik dalam prevalensi
maupun keparahan namun masih terbatas penelitian yang melakukan
ulasan atau review terkait upaya mengurangi stigma terkait kesehatan
mental pada kalangan remaja dengan pendekatan pemasaran sosial di
negara-negara Asia dan Indonesia

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat dirumuskan
sebagai berikut: Bagaimana gambaran tentang upaya mengurangi
stigma terkait kesehatan mental pada kalangan remaja dengan
pendekatan pemasaran sosial di negara-negara Asia dan Indonesia

C. TUJUAN
Melakukan tinjauan literatur yang komprehensif terkait program reduksi
stigma terkait kesehatan mental di kalangan remaja dan analisis bauran
pemasaran sosial terhadap program.
D. MANFAAT
Mengidentifikasi program di negara Asia dan Indonesia terkait upaya
mereduksi stigma terkait kesehatan mental di kalangan remaja dan
analisis bauran pemasaran sosial terhadap program.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan metode tinjauan pustaka untuk
mengumpulkan informasi (literatur) dari berbagai sumber seperti jurnal
ilmiah, laporan penelitian, dan artikel terkait. Sumber-sumber ini meliputi
studi empiris, panduan praktik terbaik, dan inisiatif pemerintah yang telah
dilakukan untuk mengurangi stigma terkait kesehatan mental pada remaja
di negara-negara Asia dan Indonesia.

.
III. HASIL
REVIEW UPAYA MENGURANGI STIGMA TERKAIT KESEHATAN MENTAL PADA
KALANGAN REMAJA DENGAN PENDEKATAN PEMASARAN SOSIAL DI BEBERAPA NEGARA
ASIA DAN INDONESIA

BAURAN PEMASARAN
NEGARA PROGRAM
PRODUK PLACE PRICE PROMOTION
Thailand 'SmileYo Mind' Mengubah Universitas Sasaran Kampanye melalui
keyakinan tentang di Thailand menyediakan waktu Media Sosial,
kesehatan mental, dan biaya untuk Platform e-learning,
membangun mengikuti Lokakarya dan
kesadaran tentang Kampanye, Media Cetak
penyakit mental, Lokakarya dan jika Pendidikan (Buku)
dan menciptakan terjadi perubahan
sistem pendukung perilaku maka
untuk mendorong mereka harus
pencarian menyediakan waktu
pertolongan untuk mengunjungi
layanan Kesehatan
mental untuk
mendapatkan
konseling dan
pengobatan
Malaysia Kampanye dan Meningkatkan Universitas Sasaran Kampanye melalui
Aksi Pengetahuan dan di Malaysia menyediakan waktu poster promosi
literasi tentang dan biaya untuk Kesehatan mental,
Kesehatan mental mengikuti tagar media sosial,
untuk menurunkan Kampanye, bedah bedah buku,
stigma negative buku, pemutaran pemutaran film
kesehatan mental film dan jika terjadi
pada remaja perubahan perilaku
maka mereka harus
menyediakan waktu
untuk mengunjungi
layanan Kesehatan
mental untuk
mendapatkan
konseling dan
pengobatan
Filipina ‘Bright Side’ literasi kesehatan Universitas Sasaran Pembelajaran
mental untuk di Filipina menyediakan waktu interaktif dan
mengurangi stigma dan biaya untuk informasi tentang
dan identifikasi dini mengikuti kesehatan, kisah
masalah Kampanye dan jika sukses dari siswa,
Kesehatan mental terjadi perubahan pesan motivasi
perilaku maka harian, buku harian
mereka harus pribadi, dan
menyediakan waktu permainan terapi
untuk mengunjungi untuk strategi
layanan Kesehatan koping. Cetak
mental untuk informasi dan sesi
mendapatkan informasi berbasis
konseling dan universitas
pengobatan
Jepang ‘Smile Mengatasi Universitas Sasaran Lokakarya, web dan
Because We masalah di Jepang menyediakan waktu aplikasi, pamflet,
Care’ penanganan, dan biaya untuk pertemuan
keterampilan mengikuti mingguan
sosial, dan Kampanye,
kesehatan mental lokakarya,
mengases web,
aplikasi dam pamflet
dan jika terjadi
perubahan perilaku
maka mereka harus
menyediakan waktu
untuk mengunjungi
layanan Kesehatan
mental untuk
mendapatkan
konseling dan
pengobatan
Indonesia 'Friends for Peningkatan Universitas Sasaran Edukasi melalui
Life' pengetahuan dan di menyediakan waktu materi cetak, color
literasi tentang Indonesia dan biaya untuk run, talk show,
Kesehatan mental mengikuti kompetisi, kanal
untuk menurunkan Kampanye, Edukasi radio kesehatan
stigma negative melalui materi mental, dan media
kesehatan mental cetak, color run, talk sosial. Menanam
pada remaja show, kompetisi, 'pohon komitmen',
kanal radio untuk ruang kerja
kesehatan mental, siswa yang ramah
dan media sosial. lingkungan. Aplikasi
Menanam 'pohon 'Sweet Talk' dengan
komitmen' serta konselor sebaya
beberapa aplikasi sukarelawan terlatih
dan jika terjadi dan panggilan
perubahan perilaku tindak lanjut.
maka mereka harus Aplikasi lain untuk
menyediakan waktu informasi, skrining
untuk mengunjungi diri, jurnal harian,
layanan Kesehatan dan berkomunikasi
mental untuk langsung dengan
mendapatkan siswa secara global,
konseling dan dan pakar
pengobatan kesehatan mental
setempat.

Sumber Data : (Withers et al., 2022)

Hasil matriks diatas diperoleh dengan melakukan seleksi program dan negara dari jurnal “Reducing stigma associated
withmental health problems among university students in the Asia-Pacific: A video content analysis of student-driven
proposals”. Secara keseluruhan program dalam rangka mereduksi stigma kesehatan mental pada remaja menitik
beratkan produknya yaitu tentang pengetahuan dan literasi tentang Kesehatan mental untuk menurunkan stigma
negative kesehatan mental pada remaja sedangkan promosi yang dilakukan cukup beragam dengan menggunakan
komunikasi massal dan selektif.
IV. PEMBAHASAN
Menurut para ahli, pemasaran sosial pada dasarnya merupakan
aplikasi startegi pemasaran komersil untuk “menjual” gagasan dalam
rangka mengubah sebuah masyarakat oleh sebab itu apabila seseorang
atau organisasi ingin memasarkan produknya maka ia harus mempelajari
seni “menjual” diri dengan mempraktikkan prinsip-prinsip promosi tanpa
memaksa, memahami dan menerapkan positioning secara tepat,
memahami branding dan diferensiasi. Dengan melakukan ketiga hal
tersebut maka seseorang atau organisasi telah menjalankan marketing
dengan benar. Hermawan menyebutnya dengan istilah 3i marketing
triangle yaitu positioning (cara sasaran/public yang hendak diubah
perilakunya mendefenisikan perusahaan/organisasi dengan competitor),
differentiation (perbedaan) dan bran (keunikan, ketajaman dan fokus
sebuah produk dibandingkan dengan produk lainnya bisa berupa logo yang
unik) (Decy situngkir, SKM, 2020)
Rumusan strategi pemasaran sendiri disingkat dalam 4 P tambah 1
C dan digambarkan dalam bentuk dua lingkaran konsentris yang berpusat
pada komsumen dan dikelilingi oleh bauran pemasaran. Empat unsur
pokok yaitu produk, harga, tempat dan promosi, untuk memenuhi dan
memuaskan kebutuhan konsumen keempat unsur tersebut harus
dikembangkan dan dikelola secara terpadu (Notoatmojo, 2014)
Pemasaran sosial dianggap tepat diimplementasikan pada
Kesehatan masyarakat, karena semua program Kesehatan memerlukan
perubahan perilaku sosial. Sosial marketing secara garis besar tidak jauh
berbeda dengan commercial marketing. Salah satu yang membedakan
adalah bahwa pemasaran sosial menjajakan perilaku dan bertujuan
membuat konsumen mengubah perilakunya kepada perilaku yang ia
tawarkan yakni perilaku Kesehatan (Notoatmojo, 2014)
Sebagaimana konsep pendekatan terhadap program kesehatan
lain, konsep pemasaran sosial dalam Kesehatan Mental merupakan salah
satu konsep yang diupayakan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat. Bila dampak yang dihasilkan berpengaruh pada
masyarakat secara luas dan otoritas yang dikeluarkan juga dimaksudkan
untuk mengintervensi masyarakat, bukan perorangan maka kita dapat
menggolongkan produk tersebut sebagai produk dari pemasaran sosial.
Lebih jauh Manoff menguraikan dua belas Langkah yang perlu dilakukan
dalam pelaksanaan pemasaran sosial dalam bidang Kesehatan, yaitu :
1. Identifikasi masalah-masalah Kesehatan dalam kelompok sasaran.
2. Penetapan prioritas masalah.
3. Telaah gagasan atau pesan apa dan pemasaran yang bagaimana yang
diperlukan untuk pemecahan masalah tersebut.
4. Menetapkan siapa yang akan menjadi khalayak atau sasaran
pemasaran
5. Melakukan suatu penelitian terhadap khalayak sasaran tersebut. Untuk
mengetahui bagaimana sikapnya terhadap gagasan yang akan
dipasarkan dan untuk mengetahui apakah ada segi-segi tertentu yang
tidak dapat diterima (Resistance points).
6. Menetapkan tujuan secara spesifik.
7. Rencanakan kegiatan pemasaran.
8. Melakukan uji coba untuk mengetahui reaksi pasar/sasaran.
9. Perbaikan rencana pemasaran dan isi gagasan/pesan sesuai dengan
hasil uji coba.
10. Membakukan rumusan gagasan atau pesan serta pola pemasaran atau
distribusi yang dianggap akan menjangkau khalayak sasaran secara
luas.
11. Melakukan koordinasi dengan program-program lain yang relevan.
12. Melakukan evaluasi dampak pemasaran tersebut dan modifikasi sesuai
dengan hasil evaluasi.
Setelah desain dan konsep pemasaran melahirkan sebuah produk,
maka langkah selanjutnya adalah melakukan upaya memperkenalkan
produk dan meningkatkan adopsi produk kepada konsumen. Untuk itu perlu
membedakan konsumen sebagai individu dan konsumen sebagai massa
karena komunikasi yang digunakan berbeda dimana individu menggunakan
komunikasi selektif dan komunikasi antar pribadi sedangkan massa
menggunakan komunikasi massa.
Salah satu strategi pemasaran sosial yang kondusif untuk
menjangkau masyarakat yang lebih luas adalah menggunakan media
massa yang memiliki fungsi: memberikan informasi, menghibur,
mengiklankan, mempengaruhi, dan kultur. Salah satu media massa yang
saat ini cukup efektif penggunaannya dan mewakili 5 fungsi tersebut adalah
televisi. Banyak bentuk program pemasaran sosial di televisi. Salah satu
program yang cukup efektif dan berpengaruh dalam pemasaran sosial
adalah iklan layanan masyarakat.
Namun, penggunaan komunikasi selektif juga dapat digunakan untuk
mengisi suplemen keterbatasan dari komunikasi massa yang tidak mungkin
memberikan pesan khusus untuk segmen konsumen tertentu. Melalui
komunikasi selektif dimungkinkan terjadinya pemberian informasi dan
persuasi yang spesifik pada kelompok segmen tertentu dengan cara
interaktif dan fleksibel. Jalur komunikasi ini digunakan untuk segmen pasar
yang lebih tajam/spesifik.
Stigma terhadap gangguan jiwa merupakan prasangka yang sering
menimbulkan diskriminasi dan berdampak signifikan terhadap kehidupan
penderita gangguan jiwa. Ini menciptakan hambatan untuk mencari
bantuan dan tetap berhubungan dengan layanan kesehatan mental. Stigma
didukung oleh sikap negatif terhadap penyakit jiwa secara umum, dan
terhadap orang sakit jiwa secara khusus, menciptakan budaya malu karena
menderita gangguan kejiwaan.
Pemasaran sosial memiliki peran yang penting dalam menurunkan
stigma negatif terkait kesehatan mental. Dalam masyarakat saat ini, stigma
masih menjadi kendala utama yang dihadapi oleh individu khususnya
remaja yang mengalami masalah kesehatan mental. Stigma ini dapat
menyebabkan diskriminasi, isolasi sosial, dan hambatan dalam mencari
perawatan yang tepat. Dengan menggunakan strategi pemasaran sosial
yang tepat, stigma negatif kesehatan mental dapat dikurangi secara
signifikan. Hal ini akan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif,
memotivasi individu khususnya remaja untuk mencari bantuan, dan
memastikan bahwa mereka yang membutuhkan mendapatkan perawatan
yang mereka perlukan.

V. KESIMPULAN
Dari hasil review terhadap berbagai program dalam menurunkan
(mereduksi) stigma negative terhadap Kesehatan mental pada remaja di
negara-negara Asia dan Indonesia dan analisis bauran pemasaran
terhadap program yang telah dilakukan, maka dapat kemudian membuat
sebuah kesimpulan sebagai berikut :
1. Pemasaran sosial dapat digunakan untuk menyediakan informasi yang
akurat dan relevan tentang kesehatan mental kepada masyarakat.
Kampanye pemasaran dapat memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang penyebab, gejala, dan pengobatan kesehatan mental, sehingga
mengurangi ketidaktahuan dan keraguan yang seringkali menjadi
penyebab stigma.
2. Pemasaran sosial dapat berperan dalam mempromosikan pesan-pesan
yang mengurangi stigma dan menggantinya dengan pemahaman yang
lebih empatik dan inklusif. Kampanye dapat menggambarkan individu
dengan masalah kesehatan mental sebagai orang yang berdaya, kuat,
dan berpotensi untuk pulih sepenuhnya. Dengan demikian, persepsi
masyarakat tentang kesehatan mental dapat berubah dari negatif
menjadi lebih positif.
3. Melalui pemasaran sosial, kesehatan mental dapat diperkenalkan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan secara
keseluruhan. Kampanye dapat menekankan bahwa perawatan
kesehatan mental sama pentingnya dengan perawatan fisik. Dengan
memperkuat ide bahwa masalah kesehatan mental adalah hal yang
umum dan dapat dialami oleh siapa saja, stigma dapat dikurangi dan
orang-orang lebih mungkin mencari bantuan yang mereka butuhkan.
4. Pemasaran sosial juga dapat membantu membangun dukungan dan
solidaritas dalam masyarakat. Kampanye dapat mempromosikan
pesan-pesan tentang pentingnya dukungan sosial bagi individu dengan
masalah kesehatan mental. Melalui pendekatan yang positif dan
inklusif, pemasaran sosial dapat memperkuat hubungan antara individu-
individu, keluarga, dan komunitas dalam mendukung mereka yang
mengalami kesehatan mental yang buruk.
5. Pemasaran sosial dapat membantu dalam memperbaiki aksesibilitas
terhadap layanan kesehatan mental yang memadai. Kampanye dapat
menyebarkan informasi tentang layanan yang tersedia, mengurangi
stigma terkait mencari bantuan, dan mempromosikan program-program
yang menawarkan perawatan yang terjangkau dan dapat diakses oleh
semua lapisan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdi Mahsa Rizqi (2019) ‘Pengaruh Self-Stigma dan Publig Stigma
Terhadap Help-Seeking Behavior pada Remaja dengan Tingkat Kesehatan
Mental di Samarinda’, Universitas 17 Agustus Samarinda, 5(1), pp. 1–23.
Ali, N. (2020) ‘Pengaruh Teknik Self-Management Untuk Mengurangi
Perilaku Kecanduan Game Online Pada Siswa Kelas Xi Di Man Pinrang’.
Available at:
http://eprints.unm.ac.id/17461/%0Ahttp://eprints.unm.ac.id/17461/1/NURHIDA
YAH ALI.pdf.
Ayuningtyas, D., Misnaniarti, M. and Rayhani, M. (2018) ‘Analisis Situasi
Kesehatan Mental Pada Masyarakat Di Indonesia Dan Strategi
Penanggulangannya’, Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(1), pp. 1–10.
Available at: https://doi.org/10.26553/jikm.2018.9.1.1-10.
Decy situngkir, SKM, M.K.K.. (2020) ‘Modul Pemasaran sosial’, Modul
Universitas Esa Unggul, (Ksm 112), p. 15.
Maya, N. (2021) ‘Kontribusi Literasi Kesehatan Mental dan Persepsi Stigma
Publik terhadap Sikap Mencari Bantuan Profesional Psikologi’, Gadjah Mada
Journal of Psychology (GamaJoP), 7(1), p. 22. Available at:
https://doi.org/10.22146/gamajop.58470.
Withers, M. et al. (2022) ‘Reducing stigma associated with mental health
problems among university students in the Asia-Pacific: A video content
analysis of student-driven proposals’, International Journal of Social
Psychiatry, 68(4), pp. 827–835. Available at:
https://doi.org/10.1177/00207640211007511.

Anda mungkin juga menyukai