Anda di halaman 1dari 7

2.3.

Transfer Pricing
2.3.1 Definisi Transfer Pricing

Transfer pricing adalah suatu kebijakan yang diatur oleh perusahaan untuk menentukan harga
transfer atas suatu transaksi, baik harga atas barang, jasa, harta tak berwujud, ataupun transaksi
finansial yang dilakukan oleh perusahaan. Transfer pricing juga didefenisikan sebagai suatu harga
jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi
penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying divison).

Terdapat dua kelompok transaksi dalam transfer pricing, yaitu intra-company dan inter-
company transfer pricing. Intra-company transfer pricing merupakan transfer pricing antardivisi

dalam satu perusahaan. Sedangkan intercompany transfer pricing merupakan transfer pricing

antara dua perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Transaksinya sendiri bisa

dilakukan dalam satu negara (domestic transfer pricing), maupun dengan negara yang berbeda

(international transfer pricing). nTransfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk


antara (intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok okeh
divisi penjual kepada divisi pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat
menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer pricing juga
sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi
laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara.

Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing (dengan harga
yang tidak sama dengan harga pasar) dapat didorong oleh alasan pajak (tax motive) maupun
bukan pajak (non-tax motive). Berbagai studi di luar Indonesia menunjukkan hal tersebut
(Carson;1979, Vaitson;1974, dalam Caves;1996). Motivasi pajak atas praktik transfer pricing
dilaksanakan dengan sedapat mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak
terendah atau minimal. Salah satu bentuk pengalihan penghasilan, misalnya dalam bentuk
pembayaran royalti karena dengan sangat langkanya standar harga (tarif) pasar atas royalti sangat
sulit bagi administrasi pajak untuk mengatasinya. Kopits (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa
paling kurang 13% pembayaran royalti dari negara bcrkcmhang (ke negara maju) merupakan
transformasi royalti menjadi dividen. Selanjutnya, sehubungan dengan harga barang (bahan)
input produksi, Lecras (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa berdasarkan studi tahun 1985
perusahaan multinasional yang beroperasi di ASEAN memakai dasar selain harga pasar dalam
menghitung transfer pricenya. Semakin mudah tingkat otonomi anggota perusahaan
multinasional di mancanegara semakin tinggi pemanfaatan strategi transfer pricing. Semakin
kurang menentu-nya lingkungan tempat operasi anggota perusahaan tersebut, semakin besar
porsi penjualan ekspor ketimbang penjualan domestik dan semakin tinggi potensi penghasilan,
maka motivasi pajak terhadap transfer pricing semakin ekstensif.

Masalah transfer pricing ini juga tidak terlepas dari fenomena bisnis perusahaan besar
yang multi unit yang akan melakukan ekspansi usaha ke luar negeri dengan mengoprasikan
usahanya secara desentralisasi dan mengimplementasikan konsep cpst-reveneu atau konsep
corporate profit center. Idealnya, konsep desentralisasi profit center tersebut merupakan pula alat
yang dapat mengukur dan menilai kinerja yang juga salah satu tujuan manajemen serta motivasi
pengelolaan unit-unit perusahaan multinasional yang bersangkutan dalam rangka mencapai
tujuan perusahaan. Di samping itu, masalah ketat/tidaknya pengawasan aparat pemerintah yang
terkait serta kebutuhan informasi, merupakan hal vang akan mendorong; pelaksanaan transfer
pricing, sehingga secara keselturuhan beberapa faktor pendorong pemicu munculnya masalah
transfer pricing tersebut adalah:

1) Pergeseran menuju desenhralisasi, divisionalisasi, dan penggunaan konsep cnrpu ratc profit
center.
2) Pemanfaatan transfer pricing dalam bisnis dan invesatsi internasional.
3) Pengawasan transfer pricing oleh aparat perpajakan dan bea cukai di beberapa negara.
4) Keperluan pengungkapan segmentasi informasi dan transaksi antar-unit dalam group perusahaan.
2.1.2. Tujuan Transfer Pricing

Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data
keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-diisi perusahaan pada waktu mereka
saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain (Henry Simamora, 1999:273) Selain tujuan
tersebut, transfer pricing terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi
manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan
tujuan perusahaan secara keseluruhan. A transfer pricing system should satisfy three objectives:
acurate performance evaluation, goal congruence, and preservation of divisional autonomy
(Joshua Ronen and George McKinney, 1970:100-101).
Sedangkan dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk,
meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan diseluruh dunia Transfer pricing can effect
overall corporate incame taxes. This is particulary true for multinational corporations (Hansen
and Mowen, 1996:496).

2.1.3. Tipe dan Metode Transfer Pricing

Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan


Multinasional dan divisionalisasi/departementasi dalam melakukan aktifitas keuangannya
adalah:

1. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)

Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan harga
transfer atas biaya variabel dan tetap yang bisa dalam 3 pemelihan bentuk yaitu : biaya penuh
(full cost), biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara biaya
variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).

2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis Transfer Pricing)

Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar
inilah merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun
keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam mengunakan transfer
pricing yang berdasarkan harga pasar.

3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)

Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam


perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer
yang diinginkan. Harga transfer negosiasian mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang
inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan
tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang dinegosiasikan.

2.1.4. Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional

Menurut Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional bertujuan:


1) Memaksimalkan penghasilan global
2) Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar
3) Evaluasi kenerja anak/cabang perusahaan manca negera
4) Penghidaran pengendalian devisa
5) Mengontrol kredibilitas asosiasi
6) Meningkatkan bagian laba joint ventura
7) Reduksi resiko moniter
8) Mengamankan cash flow anak/cabang di luar negeri
Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktek transferpricing
yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan induk (parent
company) yang terletak di Belgia memproduksi suatu produk, dengan harga pokok Rp 100. Tarif
pajak yang berlaku di negara tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak dengan
tarif yang tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk tersebut ke anak
perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan harga transfer yang sama dengan harga pokok yaitu
Rp 100, sehingga pajak yang terutang atas transaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak
perusahaan adalah Rp 0.

Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama dengan harga pokok
produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yang akan dikenakan pajak.
Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang
berlaku di negara tempat perusahaan induk berada. Kemudian barang yang sudah dibeli, dijual
oleh anak perusahaan di Puerto Rico ke anak perusahaan lain yang ada di Amerika dengan harga
transfer Rp 200. Tarif pajak yang berlaku di negara Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan
ini menimbulkan laba sebesar Rp 200. Atas laba yang timbul, seharusnya terutang pajak. Tetapi
karena tarif pajak yang berlaku di negara tersebut 0%, maka pajak yang terutang atas laba yang
dihasilkan adalah sebesar Rp 0. Kemudian barang yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang
ada di Amerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa di
negara yang sama, dengan harga jual Rp 200. Kebijaksanaan menetapkan harga jual ini
dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara yang
bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negara Amerika 35%. Selanjutnya dapat
dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi penjualan ini adalah sebesar Rp 0.

Hal ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut sama dengan harga pokok
pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas transaksi ini adalah Rp 0. Kesimpulan yang
dapat ditarik dari transaksi-transaksi di atas, adalah betapa pentingnya mengetahui tarif pajak
yang berlaku di suatu negara, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan transaksi
penjualan dan pembelian barang. Tabel di bawah ini akan memperjelas ilustrasi di atas.

Tabel : Praktik Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional

Perusahaan Induk Anak Perusahaan di Anak Perusahaan


di Belgia Puerto Rico di Amerika
Penjualan $ 100 $ 200 $ 200
Harga Pokok Penjualan $ 100 $ 100 $ 200
Laba $ 0 $ 100 $ 0
Tarif Pajak 42% 0% 0%
Pajak Terutang $ 0 $ 0 $ 0
Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari Pemerintah
setempat, karena terkadang anak perusahaan yang didirikan dalam suatu negara, hanya bersifat
sebagai transit place atau tempat persingahan semata. Suatu survey yang dilakukan oleh Ernst &
Young LLp, 1999 menemukan bahwa masalah transfer pricing merupakan masalah utama dalam
bidang perpajakan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan-perusahaan
multinasional di seluruh dunia. Oleh karena itu banyak kantor akuntan publik melakukan
auditcompliance, untuk melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini yang memang
berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan. Gambar berikut ini akan
memperlihatkan persentase dilakukannya audit compliance pada perusahaanperusahaan
multinasional yang tersebar di berbagai negara besar di dunia.
Biasanya cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara dengan adanya transfer
pricing adalah membuat suatu kewenangan, dimana pemerintah diberikan wewenang untuk
menentukan kembali dengan cara me-realokasikan kembali jumlah laba dan biaya-biaya yang
timbul di perusahaan multinasional yang notabene punya beberapa divisi, sehingga laba dan
biaya-biaya yang timbul sebagai hasil transaksi antar divisi tersebut yang ditengarai sebagai
suatu praktek transfer pricing yang bisa meminimalkan pajak terutang dapat di cegah. U.S.-
Based multinationals are subject to Internal Revenue Code Section 482 on the pricing of
intercompany transactions. This section gives the IRS the authority to reaalocate income and
deductions among divisions if it believes that such reallocation will reduce potentiak tax evasion.
(Hansen and Mowen, 1996:543). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam IRS, apabila terjadi
transaksi antar divisi dalam perusahaan multinasional atau terjadi transaksi dalam perusahaan
yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang berlaku adalah harga yang timbul
apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak di luar perusahaan atau dengan kata
lain, transaksi dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak punya hubungan istimewa. That is, the
transfer pricing set should match the price that would be set if the transfer were being made by
unrelated parties, adjusted for diffrences that have a measurable effect on the price. (Hansen and
Mowen, 1996:543).

2.2 Pengertian dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang


perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat
perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan
dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang
timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan
berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis
transaksi yang sedang dihadapi.
Payung hukum persetujuan penghindaran pajak berganda atau P3B ini adalah Pasal 32A
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh). Berdasarkan pasal ini Pemerintah berwenang untuk
melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda
dan pencegahan pengelakan pajak.
2.2.1. Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Dari isi Pasal 32A UU PPh ini jelas bahwa dilakukannya perundingan dengan negara lain
untuk membuat perjanjian perpajakan ini memiliki dua tujuan utama yaitu pertama menghindari
pengenaan pajak berganda (avoidance of double taxation) dan yang kedua adalah mencegah
pengelakan pajak (prevention of fiscal evasion). Di samping dua tujuan utama tersebut, terdapat
pula tujuan lain yang sebenarnya merupakan akibat bila dua tujuan utama di atas dicapai. Dalam
penjelasan Pasal 32A UU PPh juga ditegaskan bahwa perjanjian perpajakan yang dilakukan
pemerintah ini adalah dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan
negara lain. Suatu perjanjian perpajakan atau tax treaty bertujuan pula untuk mendorong arus
modal, teknologi, dan keahlian ke suatu negara. P3B juga akan memberikan kepastian hukum
kepada Wajib Pajak, memperlancar transaksi ekonomi antar negara dan meningkatkan kerjasama
antar negara.

2.2.2. Menghindari Pajak Berganda (Double Taxation)


Dalam menerapkan ketentuan perpajakan, yurisdiksi perpajakan suatu negara akan
berinteraksi dengan yurisdiksi perpajakan negara lainnya. Interaksi dua yurisdiksi perpajakan
dua negara ini biasanya akan menimbulkan pajak berganda. Pajak berganda ini timbul karena
dua yurisdiksi perpajakan mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang dimiliki oleh
subjek pajak yang sama. Misalkan seseorang bernama Mr. X yang merupakan warga negara A
mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara B. Ketentuan pajak negara A akan
mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh warganegaranya dari manapun sumber
penghasilan tersebut. Di lain pihak, ketentuan pajak negara B juga mengenakan pajak terhadap
penghasilan yang bersumber dari negaranya walaupun penerimanya bukan warga negara atau
bukan penduduk negara B. Nah dalam kasus ini Mr. X akan dikenakan pajak dua kali oleh
negara A dan negara B.
Pajak berganda juga bisa timbul jika seseorang atau badan memenuhi definisi sebagai
subjek pajak dalam negeri (residence) dua negara. Dengan kondisi ini maka orang atau badan ini
akan dikenakan pajak dua kali juga atas seluruh penghasilannya. Masalah ini biasa dikenal
dengan istilah masalah dual residence. Untuk memecahkan masalah akibat penerapan ketentuan
perpajakan dua negara, maka kedua negara perlu melakukan perundingan untuk membuat
persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B). Dalam P3B ini nantinya akan diatur tentang
hak pemajakan masing-masing negara untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Dalam kasus dual
residence, suatu P3B akan membuat ketentuan sedemikian sehingga seseorang atau badan hanya
akan menjadi residence (subjek pajak dalam negeri) dari satu negara saja. Ketentuan ini biasa
disebut Tie Breaker Rule yang biasanya dimuat dalam Pasal 2 P3B.
Dalam P3B juga biasanya akan diatur mengenai corresponding adjutment dalam kasus
transfer pricing serta memuat ketentuan tentang metode penghilangan pajak berganda.
Corresponding adjutment mengandung makna bahwa jika satu negara melakukan koreksi harga
dalam suatu transaksi dengan lawan transaksi di negara lain, maka negara lain juga harus
melakukan koreksi sebaliknya agar pengenaan pajak tidak berganda.

2.2.3. Mencegah Pengelakan Pajak


Menghindari pajak bisa dilakukan dalam bentuk tax avoidance dan tax evasion. Tax
avoidance biasanya dilakukan masih dalam koridor ketentuan perpajakan. Apabila penghindaran
ini dilakukan masih sesuai dengan maksud dari pembuat ketentuan, maka penghindaran ini tidak
menjadi masalah. Namun demikian, jika penghindaran ini dilakukan dengan ”mengakali”
peraturan yang tidak sesuai dengan maksud pembuat undang-undang maka jenis penghindaran
ini perlu dipermasalahkan.
Contoh dari pengindaran pajak yang mengakali ketentuan ini misalnya dengan membuat
modal sebagai pinjaman dengan harapan dividen bisa disebut bunga sehingga bisa dibiayakan.
Praktek menggunakan harga transfer (transfer pricing) dalam transaksi internasional dengan
menggeser laba ke negara dengan low tax rate juga merupakan salah satu jenis penghindaran
pajak seperti ini. Dalam kasus lain, bentuk penghindaran pajak ini bisa berupa membuat
transaksi yang semu walaupun legal form nya benar. Transaksi semu ini dimaksudkan untuk
mendapatkan manfaat dari suatu tax treaty dimana jika transaksi dilakukan dengan cara yang
seharusnya maka dia tidak akan mendapat manfaat dari suatu tax treaty. Pendirian conduit
company, paperbox company atau special purpose company biasanya digunakan untuk
mendapatkan manfaat suaty tax treaty.
Penghindaran pajak dalam bentuk tax evasion bermakna penghindaran pajak dengan
melanggar ketentuan pajak seperti tidak melaporkan penghasilan atau membebankan biaya fiktif.
Dengan demikian, tax evasion berdimensi illegal dan kriminal. Untuk mencegah terjadinya
penghindaran dan pengelakan pajak dalam suatu transaksi internasional, suatu perjanjian
perpajakan biasanya memuat ketentuan tentang pertukaran informasi. Informasi dari negara lain
dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus penghindaran atau pengelakan pajak seperti
kasus treaty shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang tidak semestinya), kasus transfer
pricing ataupun kasus tindak pidana perpajakan.

Anda mungkin juga menyukai