Anda di halaman 1dari 43

PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1

PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

2.1. UMUM

Dalam tahap perencanaan dan juga tahap pengumpulan data standar yang dipakai :

1) Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, No 038/T/BM/1997.

2) Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997

3) Road Desain System (RDS), 1994

4) Buku-buku Standar dan Penunjang lainnya

2.2. KRITERIA PERENCANAAN KEBUTUHAN LAJUR

Dalam menentukan kebutuhan lajur, faktor yang penting adalah besarnya volume lalu
lintas yang akan lewat. Kinerja lalu lintas ditentukan oleh besarnya Degree of
Saturation (DS) dimana Nilai DS didapatkan dengan rumus dibawah ini :

DS = Q / C

dimana :

Q = volume lalu lintas yang lewat (smp/jam)

C = kapasitas jalan (smp/jam)

Besarnya kapasitas (C) adalah :

C = Co X FCw X FCsp X FCsf


dimana :
C = Kapasitas ( smp/jam )
Co = Kapasitas dasar ( smp/jam )
FCw = Faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp = Faktor penyesuaian pemisah arah ( untuk jalan yang tak terbagi )

LAPORAN AKHIR | Halaman-1


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
FCsf = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan.

Besarnya kapasitas dasar ( Co ) adalah seperti tabel dibawah ini :

Tabel 2.1. Kapasitas Dasar Pada Jalan luar Kota 2 Lajur 2 Arah ( 2/2 UD )
Tipe jalan / Kapasitas Dasar
Tipe Alinemen Total kedua arah ( smp/jam )
Dua lajur tak terbagi
Datar 3.100
Bukit 3.000
Gunung 2.900
Sumber : MKJI, 1997

Dalam kenyataannya lebar efektif jalan tidak semua dalam kondisi ideal. Maka
diperlukan faktor penyesuaian lebar jalan. Besarnya faktor penyesuaian lebar jalan
untuk jalan 2 arah 2 lajur seperti tercantum dalam tabel dibawah ini :

Tabel 2.2. Faktor Penyesuaian Lebar Jalan ( FCw )


Lebar Efektif Jalur
Tipe Jalan
Lalu lintas ( WC ) FCw
Total Dua Arah
5 0.69
6 0.91
7 1.00
Dua Lajur Dua Arah
8 1.08
9 1.15
10 1.21
11 1.27
Volume lalu lintas untuk kedua arah bisa sama atau tidak sama. Untuk jalan yang
tanpa median, maka diperlukan faktor penyesuaian akibat prosentasi arah arus lalu
lintas. Besarnya faktor penyesuaian akibat pemisah arah diberikan dalam tabel
dibawah ini :

Tabel 2.3. Faktor Penyesuaian Akibat Pemisahan Arah ( FCsp )


Pemisah Arah SP ( % - % ) 50 - 50 55 - 45 60 – 40 65 - 35 70 – 30
FCsp Dua lajur 2/2 1.00 0.97 0.94 0.91 0.88
Empat lajur 4/2 1.00 0.975 0.95 0.925 0.90

Kondisi ideal suatu ruas jalan bila dikanan kiri jalan tidak terdapat hambatan
samping, yang berupa orang menyeberang, kegiatan dipinggir jalan, parkir dipinggir
jalan dan angkot yang berhenti untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.
Hambatan samping dibagi dalam beberapa kelas yaitu :

LAPORAN AKHIR | Halaman-2


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
1) Sangat Rendah ( VL ), pada daerah pedesaan, pedesaan pertanian atau belum
dikembangkan.
2) Rendah ( L ). Pedesaan ada beberapa bangunan dan kegiatan samping jalan.
3) Menengah ( M ), kampung dan kegiatan pemukiman.
4) Tinggi ( H ), kampung beberapa kegiatan pasar.
5) Sangat Tinggi ( VH ), semi perkotaan, banyak pasar dan kegiatan niaga.

Besarnya faktor penyesuaian akibat hambatan samping ( FCsf ), seperti tertera dalam
tabel dibawah ini :

Tabel 2.3. Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan Samping ( FCsf )


Tipe Kelas ( FCsf )
Jalan Hambatan Lebar Bahu Efektif Ws
Samping < 0.5 1.0 1.5 >2.0
2/2 UD VL 0.97 0.99 1.00 1.02
4/2 UD L 0.93 0.95 0.97 1.00
M 0.88 0.91 0.94 0.98
H 0.84 0.87 0.91 0.95
VH 0.80 0.83 0.88 0.93
Volume lalu - lintas dalam perencanaan jalan sering dinyatakan sebagai Lalu - Lintas
Harian Rata-rata ( LHR ) dengan satuan kendaraan/hari atau smp/hari. Volume
kendaraan juga bisa dinyatakan dalam satuan kendaraan/jam atau smp/jam.
Besarnya Volume lalu lintas (Q), berasal dari survey LHR (kendaraan/hari)

Q = k x LHR (kendaraan/jam)

Dimana nilai k faktor untuk jalan antar kota adalah sebagai berikut :
Tabel 2.4. Faktor K
Faktor K ( %
LHR ( smp/hari )
)
> 50.000 4–6
30.000 – 50.000 6–8
10.000 – 30.000 6-8
5.000 – 10.000 8 – 10
1.000 – 5.000 10 – 12
< 1.000 12 – 16

Volume lalu lintas terdiri dari berbagai jenis atau golongan kendaraan. Untuk
menyamakan kesemua jenis kendaraan dalam satuan yang sama, maka diperlukan
suatu angka konversi atau angka ekuivalen yang sering disebut dengan Ekuivalen

LAPORAN AKHIR | Halaman-3


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
Mobil Penumpang (EMP). Sehingga bila jumlah suatu jenis kendaraan dikalikan nilai
EMP, maka satuannya menjadi Satuan Mobil Penumpang (SMP).

Besarnya nilai EMP sangat dipengaruhi dimensi kendaraan, kecepatan kendaraan dan
medan yang dilalui. MKJI 1997 telah menetapkan nilai EMP untuk berbagai jenis
kendaraan untuk jalan luar kota ( Inter Urban Road), yaitu seperti pada tabel dibawah
ini :

Tabel 2.5. Nilai EMP Jalan Dua Jalur Dua Arah Tak Berbagi
Arus Nilai EMP
Tipe Total Sepeda Motor
Alinemen ( Kend MHV LB LT Lebar Jalur lalu lintas ( m)
/ jam ) <6m 6–8m >8m
Datar 0 1.2 1.2 1.8 0.8 0.6 0.4
800 1.8 1.8 2.7 1.2 0.9 0.6
1350 1.5 1.6 2.5 0.9 0.7 0.5
> 1900 1.3 1.5 2.5 0.6 0.5 0.4
Bukit 0 1.8 1.6 5.2 0.7 0.5 0.3
650 2.4 2.5 5.0 1.0 0.8 0.5
1100 2.0 2.0 4.0 0.8 0.6 0.4
>1600 1.7 1.7 3.2 0.5 0.4 0.3
Gunung 0 3.5 2.5 6.0 0.6 0.4 0.2
450 3.0 2.3 5.5 0.9 0.7 0.4
900 2.5 2.5 5.0 0.7 0.5 0.3
> 1350 1.9 2.2 4.0 0.5 0.4 0.3
Besarnya nilai DS sangat mempengaruhi tingkat pelayanan jalan. Semakin kecil nilai
DS, maka jalan terkesan lengang, dan sebaliknya bila nilai DS mendekati nilai 0,80
jalan tersebut harus sudah diperlebar atau dilakukan traffic management.

Prediksi tingkat pertumbuhan lalu lintas (i) didapat dari data lalu lintas (LHR) tahun
sebelumnya :

di mana :

= LHR tahun ke n

= LHR tahun awal (ke 0)

LAPORAN AKHIR | Halaman-4


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
2.3. PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

2.3.1 Kriteria Desain

1. Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan

a. Jalan Arteri :Jalan yang melayani angkutan utama dengan


ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara efisien.

b. Jalan Kolektor : Jalan Yang melayani angkutan


pengumpul/pembagi dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-
rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

c. Jalan Lokal : Jalan yang melayani angkutan setempat


dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah
jalan masuk tidak dibatasi.

2. Klasifikasi Menurut Kelas Jalan

1) Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk


menerima beban lalu-lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST)
dalam satuan ton.

2) Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan


klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.6 (Pasal
11,PP.No.43/1993).
Tabel 2.6. Klasifikasi menurut kelas jalan
Muatan Sumbu Terberat,
Fungsi Kelas
MST (ton)
Arteri I  10
II  10
III A 8
Kolektor III A 8
III B

3. Klasifikasi Menurut Medan Jalan

1). Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan


medan yang diukur tegak lurus garis kontur.

LAPORAN AKHIR | Halaman-5


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
2). Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat
dalam 2.7
Tabel 2.7. Klasifikasi menurut medan jalan
Kemiringan Medan
No. Jenis Medan Notasi
(%)
1. Datar D <3
2. Perbukitan B 3 – 25
3. Pegunungan G > 25

3). Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan


keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan
mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana
jalan tersebut.

4). Klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan

Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai PP. No. 26/1985


adalah jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jan Kabupaten/kotamadya, Jalan desa
dan Jalan Khusus.

4. Kendaraan Rencana

Kendaraan rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori :

1) Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang.

2) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as.

3) Kendaraan Besar, diwakili oleh truk semi trailer.

2.8. Dimensi Kendaraan Rencana


DIMENSI RADIUS
RADIUS
KATEGORI KENDARAAN TONJOLAN PUTAR
TONJOLA
KENDARAAN (cm) (cm) (cm)
N
RENCANA Tingg Leb Panja Depa Belaka Min Max
(cm)
i ar ng n ng
Kend. Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780
Kend. Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Kend. Besar 410 260 2100 1.20 90 290 1400 1370
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK) 1997

5. Kecepatan Rencana

LAPORAN AKHIR | Halaman-6


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
1). Kecepatan rencana VR pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
sebagai dasar perencanan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan –
kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang
cerah, lalu lintas yan lengang dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.

2). VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel III.5.

3). Untuk kondisi medan yang sulit, V R suatu segmen jalan dapat diturunkan
dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.

Tabel 2.9. Kecepatan Rencana VR


Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Klasifikasi Medan Jalan
Kecepatan Rencana, VR km/jam
Fungsi
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 - 50 20 – 30
6. Jarak Pandang
Jarak pandang dikenal ada 2 macam, yaitu :

1) Jarak Pandang Henti (Jh)

2) Jarak Pandang Menyiap


Jarak Pandang minimum menurut TPGJAK 1997 sebagai berikut:
VR min
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
Jh min (m) 250 175 120 75 55 40 27 16
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK) 1997

Sedang jarak pandang menyiap sebagai berikut :


VR min
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
Jh min (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK) 1997

2.3.2. Alinyemen Horizontal


Ada 3 bentuk alinemen horizontal yaitu :
1) Full Circle
2) Spiral - Circle - Spiral
3) Spiral – Spiral

1. Full Circle

LAPORAN AKHIR | Halaman-7


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
Full Circle hanya dapat dipilih untuk radius lengkung yang besar, di mana super
elevasi (kemiringan) yang dibutuhkan < 3%. Jari-jari minimum tikungan yang
tidak memerlukan lengkung peralihan adalah sebagai berikut :

VR min
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
R min (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK) 1997

PH

TC
Ec

M
Lc
TC CT

1 1

2 2
Rc Rc

Gambar 2.1. Full Circle

Karena lengkung hanya berbentuk busur lingkaran saja, maka pencapaian


superelevasi dilakukan sebagian pada jalan lurus dan sebagian lagi pada bagian
lengkung, karena tidak ada lengkung peralihan, maka dipakai lengkung peralihan
fiktif (Ls’). Diagram super elevasi untuk Full – Circle sebagai berikut :

LAPORAN AKHIR | Halaman-8


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

TC CT

Ls’ Ls’

I ¾ Ls’ ¼ Ls’ e LUAR % II ¼ Ls’ ¾ Ls’


e I
en=-2% e DALAM % en = -2%
I II
BAGIAN LURUS BAGIAN LENGKUNG BAGIAN LURUS
2% -2% + e % L-2% e%
POT I - I POT TC c POT II – II

Gambar 2.2. Diagram Superelevasi Full – Circle

2. Spiral – Circle – Spiral

Karena ada kendala menggunakan R yang besar, maka lengkung yang digunakan
adalah Spiral – Circle – Spiral (S – C – S). Dengan tipe S – C – S, maka terdapat
lengkung peralihan yang menghubungkan bagian lurus (tangen) dengan lengkung
sederhana (Circle) yang berbentuk spiral (Clothoid). Dengan rumus :

Dimana = 0,14 s/d 0,24

Di dekat jari-jari minimum yang boleh dipergunakan dan bisa ditabelkan sebagai berikut:
VR min
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)
R min (m) 600 370 210 110 80 50 30 15
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota (TCPGJAK) 1997

LAPORAN AKHIR | Halaman-9


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

Gambar 2.3. Lengkung S – C – S

Jika panjang lengkung peralihan dari Ts ke Sc adalah Ls dan R pada Sc adalah Rc,
maka :

Besarnya sudut spiral pada Sc adalah :

(dalam derajat)

Bila sudut busur lingkaran

LAPORAN AKHIR | Halaman-10


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

Untuk lengkung S – C – S sebaiknya besarnya Lc  20 cm

Gambar 2.4. Diagram Superelevasi S-C-S

3. Spiral – Spiral

Lengkung horizontal bentuk spiral-spiral (S – S) adalah lengkung tanpa busur


lingkaran (Lc = 0). Rumus-rumus untuk S – C – S dapat digunakan dengan

Lengkung S–S sebaiknya dihindari kecuali keadaan terpaksa.

TS

k ES

SC=CS
P P
TS S S ST

RC
RC RC

Gambar 2.5. Spiral-spiral

LAPORAN AKHIR | Halaman-11


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

TS SC = CS ST

Sumbu Jalan Luar e max luar Sumbu Jalan

e min dalam

- 2% - 2%

Ls Ls

-2% - 2% e max -2% -2%

Gambar 2.6. Diagram Superelevasi Spiral – Spiral

2.3.3. Alinyemen Vertikal

Perubahan dari satu kelandaian ke kelandaian lain dilakukan dengan menggunakan


lengkung vertikal. Jenis lengkung vertikal :

1) Lengkung vertikal Cembung

2) Lengkung vertikal Cekung

a. d. Ev = -
Ev = +

g1 = - g2 = + g1 = + g2 = -

g2 = +
b. e.
f.
g1 = - g1 = -
g2 = -

g2 = +

c. g2 = + g2 = -

g1 = +

Gambar 2.7. Macam-macam Lengkung Vertikal

LAPORAN AKHIR | Halaman-12


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

Besarnya :

di mana | g2 - g1 | = Selisih kelandaian mutlak (harga +)


= Panjang lengkung vertikal

PTV
PPV g2 % B
Q Ev

y
g1 % P

PLV y
A Lv

½ Lv

Gambar 2.8. Lengkung Vertikal


Panjang lengkung vertikal untuk bentuk cembung tergantung :

1) Jarak pandang henti atau menyiap

2) Kebutuhan akan drainase

3) Kebutuhan kenyamanan perjalanan

Sedang panjang lengkung vertikal cekung tergantung :

1) Jarak penyinaran lampu kendaraan

2) Jarak pandangan bebas di bawah bangunan

3) Persyaratan drainase

4) Kenyamanan pengemudi

5) Keluwesan bentuk

2.3.4. Pelebaran Tikungan

LAPORAN AKHIR | Halaman-13


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan konsistensi geometric
jalan agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan di bagian lurus.

Pelebaran jalan di tikungan mempertimbangkan :

1) Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya.

2) Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan melakukan gerakan
melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus memenuhi gerak
perputaran kendaraan Rencana sedemikian sehingga proyeksi kendaraan tetap
pada lajurnya.

3) Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana.

4) Pelebaran yang lebih kecil dari 0,6 meter dapat diabaikan.

Besarnya pelebaran jalan di tikungan ditetapkan pada tabel :

Tabel 2.10. Lebar jalur 2x3,50m, 2 arah atau 1 arah

R Kecepatan Rencana Vd (km/jam)


(m) 50 60 70 80 90 100 110 120
1500 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1
1000 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2
750 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.2 0.3 0.3
500 0.2 0.3 0.3 0.4 0.4 0.5 0.5
400 0.3 0.3 0.4 0.4 0.5 0.5
300 0.3 0.4 0.4 0.5 0.5
250 0.4 0.5 0.5 0.6
200 0.6 0.7 0.8
150 0.7 0.8
140 0.7 0.8
130 0.7 0.8
120 0.7 0.8
110 0.7
100 0.8
90 0.8
80 1.0
70 1.0

LAPORAN AKHIR | Halaman-14


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

Tabel 2.11. Lebar jalur 2x3,00m, 2 arah atau 1 arah


R Kecepatan Rencana Vd (km/jam)
(m) 50 60 70 80 90 100 110
1500 0.3 0.4 0.4 0.4 0.4 0.5 0.6
1000 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.6
750 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.8 0.8
500 0.8 0.9 0.9 1.0 1.0 1.1 0.1
400 0.9 0.9 1.0 1.0 1.1 1.1
300 0.9 1.0 1.0 1.1
250 1.0 1.1 1.1 1.2
200 1.2 1.3 1.3 1.4
150 1.3 1.4
140 1.3 1.4
130 1.3 1.4
120 1.3 1.4
110 1.3
100 1.4
90 1.4
80 1.6
70 1.7

2.3.5. Lajur Pendakian

1) Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truck-truck yang bermuatan


berat atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari kendaraan lain pada
umumnya, agar kendaraan lain dapat mendahului kendaraan lambat tersebut
tanpa harus berpindah Lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan.

2) Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian
yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relative padat.

3) Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

a). disediakan pada jalan arteri atau kolektor,

b). apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000 SMP/hari, dan
persentase truk > 15 %.

4) Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana.

LAPORAN AKHIR | Halaman-15


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
5) Lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan
serongan sepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian
dengan serongan sepanjang 45 meter.

6) Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,5 km.

POTONGAN MEMANJANG

30 M 45 M > 200 M 50 M 45 M
LAJUR PENDAKIAN

TAMPAK ATAS

Gambar 2.9. Tipikal Lajur Pendakian

Jarak Antara 2 Lajur Pendakian


Minimum 1.5 KM

POTONGAN MEMANJANG

SERONG MINIMUM 1,5 KM SERONG


AKHIR 45 M
AWAL
PENDAKIAN PENDAKIAN
LAJUR PENDAKIAN 1 LAJUR PENDAKIAN 2

TAMPAK ATAS

Gambar 2.10. Jarak Antar 2 (dua) Lajur Pendakian

LAPORAN AKHIR | Halaman-16


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
2.4. PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN

2.4.1. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

A. Tebal Perkerasan Lentur Cara RDS

The Road Work Design System (RDS) merupakan bagian dari Integrated Road
Management System (IRMS) yang telah dikembangkan oleh BIPRAN Ditjen Bina
Marga sejak tahun 1983, sampai sekarang sudah berkali-kali mengalami perbaikan
sampai pada RDS 1994. Untuk perencanaan tebal perkerasan jalan, baik untuk
jalan baru, pelebaran maupun overlay, maka diperlukan data sebagai berikut :

1) Data Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR)

2) California Bearing Ratio (CBR) tanah dasar

3) Data bahan Perkerasan jalan yang dipergunakan

4) Nilai IRI atau RCI pada jalan lama (untuk overlay)

5) Benkleman Beam Deflection atau nilai kondisi sisa dari lapisan existing (untuk
overlay)

1. Data LHR

Data lalu lintas dipergunakan untuk menghitung Equivalent Standard Axle Load
(ESAL). Disamping itu pertumbuhan lalu lintas (i) dan umur rencana jalan (n)
juga diperlukan.

Lalu lintas digolongkan menjadi beberapa :

1) Mobil + Bus Ringan + Truck Ringan (M+B+T)

2) Bus Berat (HB)

3) Truck Sedang (MT)

4) Truck Berat dan Trailler (HT)

ESAL Total = ESAL (M+B+T) + ESAL (MT) + ESAL (HB) + ESAL (HT)

ESAL (M+B+T) = LHR(M+B+T) x (1+i)(T1 + ½-T0)

ESAL untuk truck sedang, truck berat dan bus berat

LAPORAN AKHIR | Halaman-17


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

= Koefisien VDF
= 64 → untuk MT
69 → untuk HB dan HT
= Faktor jumlah Jalur Rencana

Untuk menghitung Nilai ESAL dapat digunakan Diagram Alir ( Flow Chart ) di
bawah. Disamping itu nilai VDF untuk masing-masing jenis kendaraan bisa
menggunakan Rumus umum pada tabel di bawah. Besarnya VDF bisa dicari
dengan cara ESA MST. VDF telah ditentukan berdasarkan surat PPT No
PR.05.02 – Pd5/062 tanggal 21 Juni 2004.

LAPORAN AKHIR | Halaman-18


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
Koefisien VDF ( Vi )
DATA RUAS
Jalan Jalan Arteri Kolektor Naik
No.Ruas Arteri Naik Turun/ Turun
Medan Datar Datar Kolektor pegunungan
Pegunungan Datar atau jalan
Sumber Data
Nama Proyek HB 0.025 0.020 0.014

MT 0.039 0.024 0.009

Survey Lalu Lintas HT 0.091 0.005 -


DATA Thn Perhit. LL T0
WAKTU Tahun LL Pertama T1
Umur Rencana L
Umur Tengah LHR Subrutin
Perhitungan M+B+T M+B+T T0,T1,L
Lalin HB HB M+B+T
(LHR 2 arah) MT MT r1 (M + B + T) ( 1 + r1) ( T1 + L/2 . T0)
HT dan TT HT

T.Tingkat M+B+T r1
Pertumbuhan HB r2
Lalin MT r3
HT dan TT r4
LHR Sub - Rutin

(1+r1)T1-T0 LHR1 ( 1+r1 )L - 1 X 365 x FJJR


Perhit. ESA untuk Bis Besar LHR1 ……………
r1

Perhit. ESA untuk Truk Medium

T,L,Tx
Perhit. ESA untuk Truk Berat VDF Proyeksi Sub – Rutin
VDF UMUR
Vi. ( T1 + L/2 - Tx )
Pertengahan
 ESA x 10 6 = LHRi. VDF/106 Tx = 64 untuk MT
Tx = 69 untuk HB dan TT

2 x ESA x 106 Hasil Diambil


Sumbu jalan LHR Umur Tengah untuk Desain
Mendukung 1000  ESA x 106 LHR Modul Perkerasan
LHR 2 arah atau
lebar 4.5

Gambar 2.11. Diagram Menghitung Nilai ESAL

2. CBR Tanah Dasar

Data CBR sangat penting sekali dalam menyusun perencanaan, baik untuk
perkerasan baru maupun pelebaran jalan (widening). Data CBR bisa didapat
dengan pengujian di laboratorium. Lapisan tanah yang diselidiki berkedalaman

LAPORAN AKHIR | Halaman-19


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
antara 0,75 – 1,00 m di bawah elevasi permukaan jalan rencana pada beberapa
titik pengujian.

CBR yang dipakai = CBR rata-rata – (1 x SD)

3. Data Bahan Perkerasan Jalan

Bahan perkerasan jalan, masing-masing mempunyai nilai koefisien kekerasan


(Strength Coeffisien) dan nilai Gravel Equivalent. Besarnya nilai Strength
Coeffisien dan nilai Gravel Equivalent bisa dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.11. Strength Coeffisien dan Nilai Gravel Equivalent

Pavement Kondisi Visual Strength Gravel


Material Material Coeffisien Eq

HRS Surfacing i. Sound 0,28 2,2


MS 450 – 850 kg ii. Badly Cracked 0,13 1,0
ATB or ATBL i. Sound 0,25 2,0
MS > 450 kg ii. Badly Cracked 0,12 1,0
Penetration i. Sound 0,20 1,6
Macadam ii. Detereoreted old 0,10 0,8
Agregat base i. Good crushed rock 0,14 1,1
Course CBR = 100%
ii. Class A base 0,125 1,0
CBR = 80%
iii. Sub base Class B 0,10 0,8
CBR = 25%
Soil Cement Base i. Sound, Strong 0,164 1,3
UCS > 24 kg/cm2
ii. UCS > 7 kg/cm2 0,14 1,1
Telford Base Large Isolated Cobbles 0,10 0,8
Boulders

4. Nilai IRI dan Nilai RCI

Untuk mendapatkan data tentang kekasaran ( roughness) suatu permukaan jalan


lama (nilai IRI), maka dilakukan tes NAASRA atau kondisi permukaan jalan lama dinilai secara
visual sehingga didapat nilai RCI, dengan menggunakan pedoman skala sebagai berikut :

LAPORAN AKHIR | Halaman-20


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
Kondisi Permukaan Jalan
RCI Tipe-tipe Permukaan yang
Aspal Ditinjau Secara
Khas atau Khusus
Visual
8 – 10 Sangat rata dan teratur Hot Mix yang baru (Lataston,
Laston) setelah peningkatan
dangan menggunakan beberapa
lapisan
7–8 Sangat baik, umumnya rata Hot Mix setelah pemakaian
beberapa tahun atau hot-mix yang
baru diletakkan sebagai satu
lapisan tipis di atas Penetrasi
Macadam (Lapen)
6–7 Baik Lapisan tipis lama dari hot mix,
Lasbutag baru
5–6 Cukup, sedikit sekali atau Penetrasi Macadam baru, Latasbum
tidak ada lubang-lubang tapi baru, Lasbutag setelah pemakaian
permukaan jalan tidak rata beberapa tahun
4–5 Jelek kadang-kadang ada Lapen setelah pemakaian 2 atau 3
lubang tapi permukaan jalan tahun, Latasbum baru,
tidak rata pemeliharaan jelek, berkerikil
3–4 Rusak, bergelombang, Semua tipe perkerasan yang tidak
banyak lubang dipelihara sejak lama
2–3 Rusak berat, banyak lubang Semua tipe perkerasan yang tidak
dan seluruh daerah dipelihara sejak lama
perkerasan hancur
1 Tidak bisa dilewati kecuali Jalan tanah dengan drainase jelek,
jeep gandar dobel tipe perkerasan yang tidak
dipelihara sama sekali
5. Nilai Kondisi Umur Sisa Jalan Lama

Bila test Benkleman Beam tidak dapat dilaksanakan, maka kondisi umur sisa
perkerasan dapat dinilai secara visual berdasarkan kondisi permukaan jalan,
kondisi pondasi atas jalan dan kondisi pondasi bawah jalan. Nilai sisa dari
kondisi masing-masing lapis dinyatakan dalam prosen (%).

 Perencanaan Tebal Overlay

Lapis overlay terdiri dari 2 lapis utama yaitu :

1) Lapis Pembentuk Permukaan (Layer Shape)

2) Lapis Struktur (Overlay Requirement)

LAPORAN AKHIR | Halaman-21


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
Besarnya Lapis Pembentuk adalah sebagai berikut :

dimana :

= Lebar Pavement dalam cm

= Kemiringan rencana : 2%

= Lapis penutup minimum 2 cm

Sedangkan tabel Overlay Requirement adalah :

dimana :

D = lendutan yang dipakai/rencana

L = nilai ESAL total

 Perencanaan Tebal Perkerasan Baru

Pada pelebaran jalan (widening) maupun pembuatan jalan baru, untuk


menentukan tebal perkerasannya dipakai rumus :

t sub base = 10(1,873 - 0,105 x CBR) + 13,555 log (ESAL)

t sub base = 1.t1 + 2.t2 + 3.t3 + 4.t4 + ...........

dimana :

 = Gravel Equivalent tiap lapis

t = tebal dalam cm tiap lapis

B. Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen

Dasar perhitungannya berasal dari buku : Petunjuk Tebal Perkerasan Lentur Jalan
Raya dengan Metode Analisa Komponen SKBI-2.3.28.1987 UDC:625.73(02), yang
disingkat PTPLJR. Tahap-tahap perencanaan yang perlu dilakukan adalah :

1) Menghitung nilai LHR selama masa pelaksanaan, dengan rumus :

LHR(akhir pelaksanaan) = LHR(awal umur rencana)(1+i)n

2) Menghitung nilai LHR umur rencana, dengan rumus :

LAPORAN AKHIR | Halaman-22


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
LHR(akhir umur rencana) = LHR(awal umur rencana)(1+i)n

3) Menghitung angka Ekivalen (E) masing-masing kendaraan dengan rumus


sebagai berikut :

Angka ekivalen sumbu tunggal : E =

Angka ekivalen sumbu ganda : E = 0,086

Angka ekivaln sumbu triple : E = 0,053

4) Menghitung Lintas Ekivalen Permulaan (LEP) dengan rumus :

LEP = n(f=1) LHRj . Cj . Ej

dimana :

LHRj = lalu lintas harian rata-rata pada masa pelaksanaan

Cj = koefisien distribusi

Ej = angka ekivalen

j = jenis kendaraan

5) Menghitung Lintas Ekivalen Akhir (LEA) dengan rumus :

LEA = n(f=1) LHRj . (1+i)n . Cj . Ej

dimana :

LHRj = lalu lintas harian rata-rata pada umur rencana

Cj = koefisien distribusi

Ej = angka ekivalen

j = jenis kendaraan

n = umur rencana

6) Menghitung Lintas Ekivalen Tengah (LET) dengan rumus :

LET = 0,5 (LEP + LEA)

7) Menghitung Lintas Ekivalen Rencana (LER) dengan rumus :

LAPORAN AKHIR | Halaman-23


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
LER = LET x FP

dimana :

FP = Faktor Penyesuaian (FP = UR/10)

UR = Umur rencana

8) Menghitung Faktor Regional (FR)

Dihitung terlebih dahulu :

Prosentase kendaraan berat = Jml kendaraan yang berat total  13 ton x 100%

Jumlah kendaraan

Kemudian dilihat iklimnya dan dibandingkan dengan prosentase kelandaian


sehingga akan diperoleh nilai faktor regionalnya.

9) Menghitung Indeks Permukaan (IP)

Dari nilai LER yang diperoleh, dapat dicari nilai IP-nya dengan melihat dalam
PTPLJR.

10) Menghitung Indeks Permukaan pada awal Umur Rencana (IPo)

Setelah ditentukan bahan-bahan yang digunakan untuk lapis perkerasan, maka


dapat diketahui nilai IPo-nya dengan melihat dalam daftar PTPLJR.

11) Menghitung Daya Dukung Tanah (DDT)

Nilai DDT diperoleh dari grafik korelasi antara DDT dan CBR.

12) Menghitung Indeks Tebal Permukaan (IPT)

Setelah diperoleh LER, DDT dan FR maka dari nomogram PTPLJR, akan diperoleh
nilai ITP.

Setelah diketahui ITP, maka dari daftar PTPLJR akan diperoleh nilai koefisien
kekuatan relatif (a). Dan dari daftar PTPLJR akan diperoleh nilai batas-batas
minimum tebal lapis perkerasan (D).

Dengan menggunakan rumus sebagai berikut, maka akan diperoleh salah satu
nilai D yang diinginkan.

ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)

dimana :

LAPORAN AKHIR | Halaman-24


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
a1, a2, a3 = koefisien relatif bahan perekerasan

D1, D2, D3 = tebal masing-masing perkerasan

2.4.2. Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku

Perkerasan kaku (rigit pavement) hanya akan dipergunakan pada tempat-tempat


tertentu seperti pada daerah persimpangan jalan. Acuan perencanaan menggunakan
Petunjuk Perancangan Perkerasan Kaku (Beton Semen) Nomor : 009/T/BNK/1990,
Ditjen Bina Marga Departemen PU Jakarta. Langkah-langkah perhitungan perkerasan
kaku sebagai berikut :

1) Menghitung volume lalu lintas (LHR) yang diperkirakan akan menggunakan jalan
tersebut pada akhir umur rencana.

2) Menghitung volume dan komposisi lalu lintas harian tahun pembukaan/awal


rencana sesuai konfigurasi sumbu.

3) Menghitung jumlah kendaraan niaga (JKN) selama umur rencana (n tahun)


dengan rumus persamaan :

JKN = 365 x JKNH x R

Dimana :

JKNH : adalah jumlah kendaraan niaga harian pada saat jalan dibuka, hanya
kendaraan 5 ton (bus dan truck)

R : adalah faktor pertumbuhan lalu lintas yang besarnya tergantung pada


faktor pertumbuhan lalu lintas tahunan (i) dan umur rencana (n).

R = (1+i)n/log (1+i)

4) Menghitung tebal perkerasan menggunakan tabel dan grafik.

 Menghitung total fatique untuk seluruh konfigurasi beban sumbu, untuk harga k
tanah dasar tertentu dengan rumus:

TF = (1-n) (Ni/Ni)  100%

dimana :

i = semua beban sumbu yang diperhitungkan

Ni = Pengulangan beban yang terjadi untuk kategori beban i

Ni = Pengulangan beban yang diijinkan untuk kategori beban yang


bersangkutan.

LAPORAN AKHIR | Halaman-25


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
Ni didapat dari perbandingan antara lti/MR

dimana :

lt/MR  0,50, maka Ni = 

lt/MR  0,51, maka Ni = 400.000

 Menghitung tulangan dan sambungan

a. Menghitung penulangan pada beton bersambung dengan menggunakan


rumus :

As = (1200.F.L.H)/Fs

dimana :

As = luas tulangan yang dibutuhkan (cm2/m lebar).

F = koefisien gesek plat beton dengan pondasi di bawah.

L = jarak sambungan (m).

H = tebal plat yang ditinjau (m).

Fs = tegangan tarik baja (kg/cm2).

Bila L  13 m, maka As = 0,1 = 0,1% x h x b

b. Menghitung penulangan pada beton menerus dengan menggunakan rumus :

Ps = {(100.Fb)/(Fy-NFb)} (1,3-0,2F)

dimana :

Ps = prosentase tulangan memanjang terhadap penampang beton.

Fb = kuat tarik beton (0,4 – 0,5 MR)

Fy = tegangan leleh baja

N = Ey/Eb adalah modulus elastis baja/beton -> 6–15

F = koefisien gesek antara beton dan pondasi

Ps minimum = 0,6%

Selanjutnya dilakukan kontrol terhadap jarak retakan kritis dengan


menggunakan rumus :

Lce = Fb2/{N.p2.u.Fp (s.Eb-Fb)}

LAPORAN AKHIR | Halaman-26


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
dimana :

Lce = jarak antar retakan teoritis

Fb = kuat tarik beton (0,4 – 0,5 MR)

N = Ey / Eb adalah modulus elastisitas baja/beton

p = luas tulangan memanjang / m2

u = 4/d (keliling / luas tulangan)

Fp = tegangan lekat antara tulangan dengan beton :


2,16  bk / d

s = koefisien susut beton (400 x 10-6)

Eb = modulus elastisitas beton : 16.600  bk

Adapun gambar potongan konstruksi perkerasan kaku tersebut adalah


sebagai berikut :

Gambar 2.12. Tipikal Konstruksi Perkerasan Kaku

2.5. PERENCANAAN PERSIMPANGAN SEBIDANG

1. Umum

1) Persimpangan adalah bagian yang terpenting dari jalan perkotaan sebab


sebagian besar dari efisiensi, keamanan, kecepatan, biaya operasi dan
kapasitas lalu lintas tergantung pada perencanaan persimpangan. Setiap

LAPORAN AKHIR | Halaman-27


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
persimpangan mencakup pergerakan lalu lintas menerus dan lalu lintas yang
saling memotong pada satu atau lebih dari kaki persimpangan dan mencakup
juga pergerakan perputaran. Pergerakan lalu lintas ini dikendalikan dengan
berbagai cara, bergantung pada jenis persimpangannya.

2) Tujuan utama dari perencanaan persimpangan adalah mengurangi


kemungkinan tubrukan antara kendaraan bermotor, pejalan kaki, sepeda dan
fasilitas-fasilitas lain yang memberikan kemudahan, kenyamanan dan
ketenangan terhadap pemakai jalan yang melalui persimpangan. Perencanaan
harus mengikuti lintasan aslinya dan karakteristik pemakai jalan.

2. Volume Rencana

Pada prinsipnya, persimpangan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga


dapat menampung volume perencanaan tiap jam (VJP) pada jalan tersebut. Bila
volume lalu lintas pada mulanya diperkirakan kecil sekali, maka pada tahap
pertama, untuk sementara dasar perencanaan volume lalu lintas 5 – 10 tahun
dapat digunakan dengan memperhatikan pelaksanaan konstruksi tahap
selanjutnya.

3. Kontrol / Pengendalian Lalu Lintas pada Persimpangan

1) Untuk persimpangan satu bidang ada 4 jenis kontrol lalu lintas yang dapat
digunakan, yaitu :

a. Jenis tanpa pengaturan lalu lintas

b. Jenis Pengaturan dengan rambu peringatan (Yield)

c. Jenis Pengaturan Berhenti (Stop)

d. Jenis Pengaturan dengan lampu lalu lintas (Traffic Light)

Perencanaan simpang satu bidang harus dikoordinasi dengan perencanaan


kontrol lalu lintas.

2) Pada jalan dengan kecepatan rencana = 60 km/jam atau lebih, kontrol berhenti
dan atau rambu peringatan tidak dapat digunakan.

4. Kecepatan Rencana

Kecepatan rencana menjelang persimpangan, pada prinsipnya sama dengan


kecepatan rencana bagian jalan/kakinya. Bila perlu kecepatan rencana dari lalu

LAPORAN AKHIR | Halaman-28


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
lintas menerus dapat dikurangi sampai 20 km/jam sehubungan dengan adanya
jalur-jalur pembantu dan atau median-median.

5. Alinyemen dan Konfigurasi

1) Persimpangan harus direncanakan dengan baik agar pertemuan jalan dari


persimpangan mendekati sudut atau sama dengan 90. Sudut pertemuanantara
60 sampai 90 masih diijinkan.

2) Jalan yang menyebar pada suatu persimpangan merupakan bagian dari


persimpangan disebut kaki persimpangan.

Pada umumnya persimpangan dari 2 jalan mempunyai 4 kaki. Pada prinsipnya,


pada persimpangan sebidang, banyaknya kaki persimpangan jangan sampai
lebih dari 5.

3) Pada prinsipnya pertemua (stagger junction) atau pertemuan (break junction)


harus dihindarkan. Dalam hal keadaan di atas tidak bisa dihindari, interval jarak
kaki yang dibutuhkan harus lebih dari 40 m. Untuk stagger junction, sudut
pertemuan yang dibutuhkan kurang dari 30.

4) Arus lalu lintas utama sedapat mungkin dilayani dengan jalur yang lurus atau
hampir lurus.

6. Jarak antara Persimpangan

Jarak antara 2 persimpangan harus diusahakan sejauh mungkin. Jarak minimum


harus ditentukan sehingga lebih panjang dari hal dibawah ini :

1) panjang bagian menyusup

2) antrian pada lampu lalu lintas

3) jalur belok kanan atau jalur perlambatan

4) batas konsentrasi pengemudi

7. Jari-jari Minimum

Jari-jari as jalur lalu lintas di sekitar persimpangan sesuai dengan kecepatan


rencana dan jenis kontrol lalu lintas dinyatakan dalam tabel berikut :

Kecepatan Jalan Utama Jalan yang menyilang


Rencana Standar Minimum (dengan stop kontrol)

LAPORAN AKHIR | Halaman-29


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
(km/jam) (m) (m)
80 280 -
60 150 60
50 100 30
40 60 15
30 30 15
20 15 -
8. Landai Maksimum

Untuk keamanan dan kenyamanan lalu lintas, kelandaian di sekitar persimpangan


diusahakan serendah mungkin. Landai maksimum diusahakan tidak lebih dari 2%.

9. Jalur Belok Kanan

Semua persimpangan sebidang harus dilengkapi dengan jalur belok kanan kecuali,
untuk hal-hal berikut :

1) Larangan belok kanan pada persimpangan.

2) Jalan tipe II, kelas III atau kelas IV dengan kapasitas yang dapat menampung
volume lalu lintas puncak.

3) Jalan 2 jalur dengan kecepatan rencana 40 km/jam atau kurang, dimana


volume rencana per jam kendaraan kurang dari 200 kend/jam dan
perbandingan kendaraan belok kanan kurang dari 20% dari volume rencana
tiap jam (DHV).

4) Panjang jalur belok kanan dapat ditentukan dengan menjumlahkan panjang


taper dan panjang jalur antrian (storage section).

L = lt + ls

dimana :

L = panjang jalur belok kanan (m)

lt = panjang taper (m)

ls = panjang jalur antrian (m)

5) Panjang taper adalah nilai terbesar antara panjang yang diperlukan pada
pergeseran dari lalu lintas menerus sampai jalur belok kanan (lc) dan panjang
yang diperlukan untuk memperlambat kendaraan (ld).

lt = max (lc, ld)

LAPORAN AKHIR | Halaman-30


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
dimana :

lt = panjang taper (m)

lc = panjang yang diperlukan untuk pergeseran jalur (m)

ld = panjang yang diperlukan untuk memperlambat kendaraan (m)

6) Panjang yang diperlukan untuk pergeseran jalur dihitung dengan memakai


rumus :

lc = v . dw/6

dimana :

lc = panjangnya diperlukan untuk perlambatan (m)

v = kecepatan rencana (km/jam)

dw = latheral shift (sama dengan lebar jalur belok kanan) (m)

7) Panjang jalur antrian pada persimpangan tanpa lampu lalu lintas dihitung
dengan rumus berikut didasarkan pada jumlah kendaraan yang akan masuk
persimpangan setiap 2 menit pada jam sibuk.

ls = 2 . M . S

dimana :

ls = panjang storage section (m)

M = rata-rata kendaraan yang belok kanan (kend/menit)

S = head distance rata-rata (m)

Catatan : Rata-rata dibandingkan terhadap perbandingan jumlah bus dan


truck terhadap total kendaraan.

Untuk bus dan truck; S = 12 m

Untuk kendaraan lainnya; S= 6m

jika bus/truck tidak ada; S= 7m

Untuk persimpangan yang ada lampu lalu lintasnya, panjang storage section =
1,5 m dikalikan rata-rata kendaraan yang antri per cycle, yang diproyeksikan
pada volume jam rata-rata perencanaan.

ls = 1,5 . N . S

LAPORAN AKHIR | Halaman-31


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
dimana :

ls= panjang storage section (m)

N= banyak kendaraan belok kanan rata-rat (kend/cycle)

S = head distance rata-rata (m)

Untuk Gambar ini :

lt = max (lc, ld)

= ld

Gambar 2.13. Panjang Taper

PERSIMPANGAN

A. TYPICAL PERTIGAAAN

LAPORAN AKHIR | Halaman-32


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

Catatan :

1) Lebar L1 untuk pertigaan tanpa lampu lalu lintas ditentukan oleh kapasitas lalu
lintas dari pertigaan dan untuk pertigaan dengan lampu lalu lintas ditentukan
oleh perhitungan kapasitas lampu lalu lintas.

2) Lebar L2 tidak kurang dari lebar rencana yang ditentukan atau tidak kurang
dari L2.

3) Lebar absolut minimum untuk L4 = 2,75 m


atau : L4 = L1 – L3  2,75 m

PERSIMPANGAN
TYPICAL PEREMPATAN TANPA JALUR PERLAMBATAN/PERCEPATAN

LAPORAN AKHIR | Halaman-33


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

PERSIMPANGAN

B. TYPICAL SUDUT PEREMPATAN (INTERSECTION)

DENGAN JALUR PERLAMBATAN/PERCEPATAN

LAPORAN AKHIR | Halaman-34


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

Catatan :

1) Untuk ketentuan marka lihat standar pada marka.

2) Dipakainya taper dan storage tergantung analisa lalu-lintas.

PERSIMPANGAN
C. JALUR BELOK KANAN DARI JALAN BERMEDIAN

LAPORAN AKHIR | Halaman-35


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

KECEPATAN V
JALUR PERLAMBATAN MIN * PANJANG MIN. TAPER *
(KM/J)
(M) L = V x dw/6m

40 15 20
60 30 30

Panjang jalur tunggu : Ls = 2 x M x S m tanpa lampu LL

Ls = 1,5 x N x S m dengan lampu LL

M = Jumlah rata-rata kendaraan belok kanan/menit

N = Jumlah rata-rata kendaraan belok kanan/putaran (cycle)

S = Jarak antara kendaraan (m)

Catatan : – Ketentuan marka, lihat standar marka jalan

* Bila panjang taper > dari jalur perlambatan marka panjang taper dianggap
sebagai jalur perlambatan

PERSIMPANGAN
D. JALUR BELOK KANAN DARI JALAN BERMEDIAN
1. JALUR PERLAMBATAN TANPA JALUR TUNGGU (STORAGE)

LAPORAN AKHIR | Halaman-36


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

 Penentuan R min ditetapkan berdasarkan Single Unit Truck.


 Untuk perencanaan khusus periksa Peraturan Perencanaan Geometrik.

PERSIMPANGAN
2. JALUR PERLAMBATAN DENGAN JALUR TUNGGU (STORAGE)

LAPORAN AKHIR | Halaman-37


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015

 Bila panjang taper > dari jalur perlambatan maka panjang taper
dianggap sebagai jalur perlambatan

 Bila panjang taper > dari jalur perlambatan maka panjang taper
dianggap sebagai jalur perlambatan

Catatan :

 Ketentuan marka,lihat standar marka jalan

 Penentuan R min, ditetapkan berdasarkan Single Unit Truck

2.6. PERENCANAAN SALURAN DRAINASE

LAPORAN AKHIR | Halaman-38


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
Saluran Drainase adalah bangunan yang bertujuan mengalirkan air dari badan jalan
secepat mungkin agar tidak menimbulkan bahaya dan kerusakan pada jalan. Dalam
banyak kejadian, kerusakan konstruksi jalan disebabkan oleh air, baik itu air
permukaan maupun air tanah. Air dari atas badan jalan yang dialirkan kesamping kiri
dan atau kanan jalan ditampung dalam saluran samping ( side ditch) yang bertujuan
agar air mengalir lebih cepat dari air yang mengalir diatas permukaan jalan dan juga
bertujuan untuk bisa mengalirkan kejenuhan air pada badan jalan. Dalam
merencanakan saluran samping harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1) Mampu mengakomodasi aliran banjir yang direncanakan dengan kriteria tertentu


sehingga mampu menegeringkan lapis pondasi.

2) Saluran sangat baik diberi penutup untuk mencegah erosi maupun sebagai trotoar
jalan.

3) Pada kemiringan memanjang, harus mempunyai kecepatan rendah untuk


mencegah erosi tanpa menimbulkan pengendapan.

4) Pemeliharaan harus bersifat menerus.

5) Air dari saluran dibuang ke outlet yang stabil kesungai atau tempat pengaliran
yang lain.

6) Perencanaan drainase harus mempertimbangkan faktor ekonomi, faktor keamanan


dan segi kemudahan dalan pemeliharaan.
2.6.1. Ketentuan-ketentuan
1) Sistem drainase permukaan jalan terdiri dari : Kemiringan melintang perkerasan
dan bahu jalan, selokan samping, gorong-gorong dan saluran penangkap, seperti
gambar berikut :

Gambar 2.14. Sistem Drainase Permukaan setiap 100 m

2) Kemiringan melintang normal (en)perkerasan jalan untuk lapis permukaan aspal


adalah 2 % - 3 %, sedangkan untuk bahu jalan diambil + 2 %.

LAPORAN AKHIR | Halaman-39


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
3) Selokan samping jalan

 Kecepatan aliran maksimum yang dijinkan untuk material dari pasangan batu
dan beton adalah 1,5 m/detik.

 Kemiringan memanjang (i) maksimum yang dijinkan untuk material dari


pasangan batu adalah 7,5 %.

 Pematah arus diperlukan untuk mengurangi kecepatan aliran bagi selokan


samping yang panjang dengan kemiringan cukup besar. Pemasangan jarak
antar pematah arus dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.12. Jarak Pematah Arus

i (%) 6 (%) 7% 8% 9% 10 %

L (m) 16 10 8 7 6

 Penampang minimum selokansamping adalah 0.50 m 2


4) Gorong – gorong pembuang air
 Kemiringan gorong-gorong adalah 0.5 % - 2 %
 Jarak maksimum antar gorong-gorong pada daerah datar adalah 100 dan
daerah pegunungan adalah 200 m.

 Diameter minimum adalah 80 cm.

2.6.2. Perhitungan Debit Aliran

1) Intensitas curah hujan (I)

Data yang diperlukan dalah data curah hujan maksimum tahunan, paling sedikit
n=10 tahun dengan periode ulang tahun. Rumus menghitung Intensitas curah
hujan menggunakan analisa distribusi frkwensi sbb:

I = ¼ . ( 90 % . Xr )

Keterangan :

Xr = besar curah hujan

x = nilai rata-rata aritmatik curah hujan


Sx = Standar deviasi

LAPORAN AKHIR | Halaman-40


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
Yr = variabel yang merupakan fungsi dari perode ulang, diambil = 1.4999.

Yn = variabel yang merupakan fungsi dari n, diambil 0.4952 untuk n = 10

Sn = standar deviasi, merupakan fungsi dari n, diambil 0.49496 untuk n = 10

I = intensitas curah hujan (mm/jam)

Waktu konsentrasi (Tc) dihitung dengan rumus :

Tc = t1 + t2
0.167
t1 =

t2 =

Keterangan : Tc = waktu konsentrasi (menit)

t1 = waktu inlet (menit)

t2 = waktu aliran (menit)

Lo = Jarak dari titik terjauh dari saluran drainase (m)

L = panjang saluaran (m)

nd = koefisien hambatan , diambil 0.013 untuk lapis permukaan aspal

s = kemiringan daerah pengaliran

v = kecepatan air rata-rata disaluran (m/detik)

2) Luas daerah pengaliran dan batas-batasnya sesuai dengan yang terlihat pada
gambar berikut :

Gambar 2.15. Batas-Batas Daerah Pengaliran

Batas daerah pengaliran yang diperhitungkan L= L1 + L2 + L3 (m)

Keterangan : L1 = dari as jalan sampai tepi perkerasan

L2 = dari tepi perkerasan sampai tepi bahu jalan.

LAPORAN AKHIR | Halaman-41


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
L3 = tergantung kebebasan samping dengan panjang
maksimum 100 m.

3) Harga Koefisien pengaliran (C) dihitung berdasarkan kondisi permukaan yang


berbeda-beda.

C=

Keterangan :

C1 = Koefisien untuk jalan aspal = 0.70

C2 = Koefisien untuk bahu jalan (tanah berbutir kasar ) = 0.65

C3 = koefisien untuk kebebasan samping (daerah pinggir kota) = 0.60

A1, A2, A3 = luas masing-masing bagian.

4) Untuk menghitung debit pengaliran, digunakan rumus sebagai berikut :

Q=

Keterangan :

Q = debit pengaliran (m3/detik)

C = koefisein pengaliran

I = Intensitas hujan (mm/jam)

A = luas daerah pengaliran (km2)

2.6.3. Perhitungan Dimensi Saluran dan Gorong-Gorong

Dimensi saluaran dan gorong-gorong ditentukan atas dasar Fe = Fd

1) Luas penampang basah berdasarkan debit aliran (Fd)

Fd = m2

2) Luas penampang basah yang paling ekonomis (Fe)

 Saluran bentuk segiempat

Rumus : Fe = b.d syarat : b = 2 . d

R = d/2

 Gorong-gorong

LAPORAN AKHIR | Halaman-42


PR 01 – PERENCANAAN TEKNIS JALAN DAN PENANGANAN LONGSORAN 1
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 2015
Rumus : Fe = 0.685 D2 syarat : d = 0.8 . D

P=2r

R=F/P

Keterangan :

Fe = Luas penampang basah ekonomis (m2)

b = lebar saluaran (m)

d = kedalaman air (m)

R = jari-jari hidrolis (m)

D = diameter gorong-gorong (m)

r = jari-jari gorong-gorong (m)

3) Tinggi jagaan (w) untuk saluran segi empat w =

4) Perhitungan kemiringan saluran

Rumus : I =

Keterangan :

i = kemiringan saluran

v = kecepatan aliran air (m/detik)

n = koefisien kekasaran manning, (saluran pasangan batu) = 0.025

LAPORAN AKHIR | Halaman-43

Anda mungkin juga menyukai