Anda di halaman 1dari 13

RMK PERPAJAKAN INTERNASIONAL

“Yurisdiksi Pemajakan: Yuridiksi Domisi, Yuridiksi Sumber, Kewajiban Pajak WPDN &
WPLN, Dimensi Internasional dan Keringanan Pajak Berganda”

Oleh : Kelompok 3

Deswilola Felicita Baan (A031201067)

Febryanthi Setia Ningsi (A031201061)

Salsabila Ramadhani (A031201070)

Triwani Emba Mayungallo (A031201075)

Miftahul Fuji Amalia Burhan (A031201119)

Sultan Fathulhaq (A031201005)

Dzul Fadhilati (A031201156)

DEPARTEMEN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2023
A. Pengantar Yuridiksi

Yuridiksi adalah hak pemajakan suatu negara terhadap yang diterima atau diperoleh oleh
warga negaranya baik yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri maupun warga negara
asing yang bersumber dari dalam negeri.

Sehubungan dengan yuridiksi pemajakan, Martha (1989) menyebut ada empat teori justifikasi
legal hak pemajakan suatu negara yaitu :

1. Realistis atau empiris menyatakan bahwa teori realistis adalah kewenangan fisik untuk
dapat melaksanakan yuridiksinya terhadap orang atau harta yang berada dalam wilayah
kekuasaannya, sedangkan teori empiris menyebut bahwa, yuridiksi pemajakan bukan
semata-mata karena kekuasaan fisik tetapi cenderung didasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2. Etis atau restributif menyatakan bahwa pemajakan pada hakikatnya merupakan
kontraprestasi atau imbalan (return) atas manfaat dan kemudahan yang diperoleh dari
negara.
3. Kontraktual menekankan bahwa pada dasarkan pemajakan merupakan pembayaran atas
barang dan jasa yang diterima dari negara pemungut pajak dengan asumsi bahwa antara
pemegang yuridiksi pemajakan dengan subjek pajak terhadap suatu kontrak (perjanjian
tidak tertulis).
4. Soverenitas menegaskan pemajakan adalah suatu bentuk pelaksanaan dari yuridiksi,
sedangkan yuridiksi tersebut merupakan atribut (kelengkapan) dari soverenitas.

Yuridiksi pemajakan atas penghasilan seseorang didasarkan pada :

1. Status personal (personal allegiance) atau subjek (subjective attachment)


2. Kaitan ekonomis (economic allegiance), yang dapat berupa menjalankan usaha atau
kegiatan profesional serta penerimaan penghasilan yang bersumber di negara pemungut
pajak serta
3. Adanya kepemilikan kekayaan (property) yang terletak di negara pemungut pajak.
Menurut Rochmat Sumintro asas pemajakan adalah :

a. Azas domisili
Berdasarkan azas domisili, subjek pajak dikenakan pajak di negara tempat subjek pajak
tersebut berdomisili. Umumnya, negara ini menerapkan prinsip world wide income , yaitu
penghasilan akan dikenakan pajak di negara domisili, baik yg diperoleh dari dalam negeri
maupun luar negeri. Indonesia termasuk negara yg menggunakan azas ini.
b. Azas sumber
Berdasarkan azas sumber, pajak dikenakan berdasarkan tempat sumber penghasilan
berasal.
c. Azas kewarganegaraan
Berdasarkan azas kewarganegaraan, pengenaan pajak didasarkan pada status
kewarganegaraan seseorang. Jadi setiap org yg menjadi warga negara di suatu negara akan
dikenakan pajak di negara tsb, walaupun penghasilannya diterima dari negara lain.
Amerika Serikat termasuk negara yang menganut azas ini.
d. Azas campur dari azas-azas diatas
Negara-negara yang menganut azas ini yaitu menganut campuran dari beberapa azas diatas.
e. Azas teritorial
Berdasarkan azas ini, pajak dikenakan atas penghasilan yg diperoleh di wilayah (teritorial)
suatu negara. Jadi yg dikenakan pajak hanya atas penghasilan yg diperoleh dalam wilayah
negara tsb, sehingga atas penghasilan yg diperoelh dari luar negeri tsb tidak dikenakan
pajak

Yuridiksi Pemajakan di Indonesia (Pasal 2 UU PPh)

1. Subjektif
Memperhatikan status wajib pajak (tempat tinggal/domisili, keberadaan atau niat dalam
kasus wajib pajak orang pribadi ; tempat pendirian atau kedudukan dalam kasus badan)
disebut yuridiksi domisili (domiciliary jurisdiction).
2. Objektif
Mendasarkan pada letak geografis sumber penghasilan disebut yuridiksi sumber
B. Yuridiksi Pemajakan Ada 2 yaitu
Yurisdiksi pemajakan menurut Owen (1980) dan Ongwamuhana (1991) adalah merupakan
kewenangan suatu negara untuk merumuskan dan memberlakukan ketentuan perpajakan.
Yurisdiksi sendiri terbagi menjadi 2 yaitu, yurisdiksi domisili dan yurisdiksi sumber.
1. Yurisdiksi Domisili
Yurisdiksi domisili yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara
tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas
hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di mana saja
sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Yurisdiksi
domisili disebutkan juga merupakan hak pemajakan yang didasarkan kepada siapa yang
memperoleh penghasilan (berorientasi hanya pada subjek pajak). Indonesia sendiri menganut
prinsip domisili sebagaimana dituangkan dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a Undang-undang Pajak
Penghasilan:
Pasal 2 (3) Yang dimaksud Subjek Pajak dalam negeri adalah:
(a) orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus depalan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
(b) Badan menyebut dua criteria penentu yurisdiksi domisili Indonesia atas badan yaitu
tempat pendirian dan tempat kedudukan. Setiap badan yang didirikan di Indonesia
merupakan WPDN. Menurut Frommel (1987) dan Van Raad (1986) suatu badan, pada
umumnya dapat dianggap memperoleh status hokum (kewarganegaraan atau
nasionalitas) di neagar berdasarkan hukum siapa badan tersebut didirikan
(incorporated). Akibatnya semua badan yang didirikan di Indonesia, tanpa
memperhatikan tempat manajemen, usaha atau kedudukannya, merupakan WPDN
Indonesia.
Berdasar ketentuan yang berlaku (Kep 701 tahun 2001) tempat kedudukan suatu badan
dapat menunjuk pada:
a. Tempat kantor pimpinan perusahaan dan pusat administrasi dan keuangan
(sebagaimana tercantum dalam Akte Pendirian)
b. Tempat kantor pinjaman perusahaan
c. Tempat kedudukan menurut keadaan sebenarnya yang ditentukan Direktur Jenderal
Pajak

Namun selain itu mungkin petunjuk tentang tempat kedud ukan suatu badan juga dapat
diperoleh dari:

• Tempat kedudukan statuter (sesuai dengan akta pendirian)


• Tempat manajemen (pusat atau efektif)
• Lokasi kantor pusat (nyata atau terdaftar)
• Tempat domisili pengurus
• Tempat pertemuan pimpinan

Implikasi dari criteria tempat kedudukan ialah bahwa semua badan yang (dianggap)
bertempat kedudukan di Indonesia, tanpa memperhatikan tempat pendiriannya,
merupakan WPDN Indonesia. Secara administrative, tampak bahwa criteria tempat
kedudukan lebih efektif daripada criteria nasionalitas. Penerapan standar kembar
yuridiksi domisili berdasarkan tempat pendirian dan tempat kedudukan atas badan dapat
menyebabkan terjadinya residensi ganda dari suatu badan.

2. Yurisdiksi Sumber
Yaitu hak pemajakan yang didasarkan kepada objek penghasilan tersebut berada atau
diperoleh (sumber penghasilan berada/terletak di Indonesia, berorientasi kepada objek pajak).
Pasal 2 (4) PPh menegaskan yuridiksi sumber (source jurisdiction) yang berlaku di Indonesia.
Selaras dengan norma yang diterima secara global (misalnya, Surrey (1987) dan Van Raad
(1986)) yuridiksi sumber Indonesia mendasarkan pada dua unsur:
• Menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan
• Menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.

UU PPh menegaskan bahwa apakah seseorang telah menjalankan suatu aktivitas ekonomi
secara signifikan (lumayan) ditentukan dengan keberadaan BUT. Apabila aktivitas ekonomi
tersebut sudah mencapai tingkat BUT sebagaimana diatur dalam Pasal 2(5), Indonesia dapat
mengenakan pajak atas penghasilan dari kegiatan tersebut seperti pemajakan dan penghasilan
atau usaha yang dijalankan oleh orang Indonesia. Dalam bahasa UU PPh, aktivitas ekonomi
ini dapat berupa menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bebas.apabila dalam P3B Model
OECD sebelum tahun 2000 terdapat dua konsep, yaitu permanent establishment (untuk usaha)
dan pangkalan tetap (untuk profesi), maka dalam rumusan UU PPh kedua konsep tersebut
diintegrasikan dalam satu konsep BUT (yang berlaku baik untuk usaha maupun pekerjaan
bebas profesi).

Namun dengan penghapusan ketentuan Pasal 14 tentang pangkalan tetap (fixed base),
dalam P3B model OECD 2000 telah terjadi integrasi konsep BUT dengan pangkalan tetap.
Sehingga dala P3B model OECD sekarang ini yang berlaku hanya konsep BUT saja. Secara
umum (Surrey, 1987 dan American Law Institue, 1987) terdapat asumsi bahwa yuridiksi
sumber dianggap lebih utama dari yuridiksi domisili. Argument yang mendukung hal itu ialah,
antara lain bahwa karena factor pemroduksi penghasilan terletak di Negara sumber dan
kemungkinan Negara tersebut telah memberikan perlindungan dan menciptakan keadaan yang
mendukung terjadinya produksi penghasilan, maka Negara tersebut sudah sepantasnya
mempunyai hak pertama dan utama untuk memanen (memajaki) penghasilan tersebut.
Pemikiran bahwa hak pemajakan oleh Negara sumber lebih punya prioritas (primary taxing
rights) untuk didahulukan dari hak pemajakan Negara domisili sumber sebagai pemegang hak
pemajakan sekunder (secondary taxing rights) dimaksud juga diaplikasikan secara
internasional termasuk Amerika (Drenrberg, 1989) dan Singapura (CCH, 1993). Dengan
merujuk pada prinsip yang berterima secara internasional atas asumsi tersebut, maka hak
pemajakan Indonesia atas penghasilan yang sumbernya (dianggap) berada di Negara tersebut
mempunyai prioritas untuk didahulukan dari Negara pemegang yurisdiksi domisili.
Sehubungan dengan hal itu, Indonesia dapat merumuskan ketentuan pemajakan sumber
(source taxation) dengan asumsi bahwa Negara pemegang yurisdiksi domisili (kalau
mengenakan pajak atas penghasilan sumber Indonesia) akan menyediakan keringanan atas
pajak ganda yang akan terjadi.

Menurut Ongwamuhana (1991), yurisdiksi sumber mendasarkan pada suatu asumsi bahwa
negara sumber memberikan kontribusi kepada perusahaan milik bukan WPDN untuk
memperoleh penghasilan dari Negara tersebut. Implikasi dari yurisdiksi sumber ialah bahwa
Indonesia secara sah dapat memungut pajak dari orang pribadi atau badan bukan WPDN yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari kegiatan atau sumber yang terletak di Indonesia.
Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu diperoleh, lebih berhak mengenakan pajak
atas hasil yang ke luar dari sumber itu, tak pandang manakala orang yang memiliki sumber itu
berada (di luar negeri yang mengenakan pajak). Yurisdiksi sumber disebutkan juga sebagai
hak pemajakan yang didasarkan kepada objek penghasilan tersebut berada atau diperoleh
(sumber penghasilan berada/terletak di Indonesia, berorientasi kepada objek pajak). Pada
Indonesia sendiri untuk yurisdiksi sumber menganut asas sumber yang tersirat dalam Pasal 26
UU PPh, yaitu sebagai berikut:

Pasal 26

1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang
dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong
pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto pihak yang wajib membayarkan:
a. Dividen;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri,
dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
Contoh Yurisdiksi Domisili dan Yurisdiksi Sumber
• Tuan Iwan seorang warga negara indonesia (WNI) memperoleh bunga dari Tuan Hadi
di Tangerang sebesar Rp20.000.000,-. Dalam hal ini maka Indonesia berhak memajaki
Tuan Iwan menggunakan yurisdiksi domisili dan juga yurisdiksi sumber.
• Mr. Roco warga negara Australia memperoleh bunga dari Tuan Mahpud di Bandung
sebesar Rp50.000.000,- maka Indonesia berhak memajaki Mr. Roco berdasarkan
yurisdiksi sumber dan Australia juga berhak memajaki berdasarkan yurisdiksi domisili.
C. Bentuk Usaha Tetap

Istilah “bentuk usaha tetap” dalam UU PPh dapat disetarakan dengan ekspresi “permanent
establihment” yang terdapat dalam P3B. Dalam bahasa P3B, istilah tersebut dipakai untuk
menentukan hak pemajakan negara sumber atas penghasilan dari bisnis (dan profesi) yang
dijalankan oleh bukan WPDN. William dan Patrick menyatakan bahwa istilah permanent
establihsment (PE) merupakan sebagai ambang batas atau kriteria yang memungkinkan suatu
negara sumber untuk secara legal dapat memajaki penghasilan dari bisnis transnasional. Sebagai
titik ambang batas, maka setiap usaha dan kegiatan transnasional yang belum memenuhi kriteria
BUT dibebaskan dari pengenaan pajak di negara sumber. Hal ini bukan berarti penghasilan
tersebut bebas dari pemajakan dengan alasan bahwa sesuai dengan kelaziman internasional
penghasilan tersebut hanya dikenakan pajak oleh negara domisili pengusaha karena aktivitas
pemberi pennghasilan tersebut secar signifikan masih dijalankan di negara dimaksud.

BUT sebagai titik ambang batas pemajakan merupakan kristalisasi dari aktivitas ekonomi
WPLN yang sudah pantas untuk diminta berpartisipasi dalam sistem perpajakan karena sudah
setara dengan aktivitas yang dijalankan oleh orang pribadi atau badan WPDN sehubungan dengan
terdapatnya risiko berusaha agar usaha tersebut tidak secara prematur dikenakan pajak. Hak
demikian akan memberikan tenggang waktu bagi perusahaan pemula atau marjinal agar bisa hidup
dan berkembang dahulu. Karena kativitas ekonomi tersebut merupakan salah satu unnsur
pembentuk yurisdiksi sumber maka adanya BUT memberikan pertalian fiskal objektif dan
yurisdiksi sumber bagi negara tempat BUT.

D. Kewajiban Pajak WPDN & WPLN


1. WPND
Untuk orang pribadi yang merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri, kewajiban subjektifnya
dimulai pada saat dia dilahirkan, berada atau mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia dan berakhir pada saat dia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya. Dengan demikian, seorang bayi yang dilahirkan di Indonesia, secara Undang-
Undang telah memenuhi kewajiban subjektif. Namun karena belum memiliki penghasilan
belum memiliki kewajiban objektif sehingga belum dapat ditetapkan sebagai wajib pajak.
Sedangkan untuk Badan sebagai subjek pajak dalam negeri, kewajiban subjektifnya
dimulai pada saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, dan akan berakhir pada saat
badan tersebut dibubarkan atau tidak berdomisili lagi di Indonesia. Ketika suatu badan didirikan
di Indonesia, pada saat itu juga telah muncul kewajiban subjektif PPh-nya. Begitupun, ketika
suatu badan berdomisili di Indonesia, ketika itu juga badan tersebut telah memiliki kewajiban
subjektif. Untuk Bentuk Usaha Tetap (BUT), kewajiban subjektifnya timbul sejak BUT tersebut
didirikan dan menjalankan kegiatan di Indonesia, dan berakhir sejak BUT tersebut dibubarkan
atau tidak menjalankan kegiatan lagi di Indonesia.
2. WPLN
Untuk subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, kewajiban subjektifnya
dimulai ketika menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir sampai
dengan orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
Dengan kata lain, untuk subjek pajak luar negeri, penentuan saat dimulainya kewajiban
subjektif adalah pada saat timbulnya hubungan ekonomis subjek pajak luar negeri dengan
Indonesia, di mana hubungan ekonomis ini dilihat dari perolehan atau penerimaan penghasilan
dari sumber penghasilan di Indonesia.
3. Perbedaan Kewajiban WPDN & WPLN
Adapun perbedaan kewajiban antara WPDN dengan WPLN adalah sebagai berikut:
• WPDN dikenakan pajak atas penghasilan global (worldwide principle), sedangkan
WPLN dikenakan pajak terbatas atas penghasilan yang diperoleh dari sumber di
Indonesia (territorial principle).
• WPDN dikenakan pajak dari penghasilan neto (net basis of taxation) dengan tarif
umum (progresif), sedangkan WPLN dikenakan pajak dari penghasilan bruto (gross
basis taxation) dengan tarif sepadan (flat rate).
• WPDN wajib menyampaikan SPT, sedangkan WPLN tidak wajib menyampaikan SPT
karena potongan pajaknya dianggap final.
• WPDN dikenakan pajak dengan assessment (ketetapan), sedangkan WPLN (kecuali
yang menjalankan usaha dengan BUT yang juga dikenakan berdasar SPT dan
ketetapan) pada umumnya dikenakan pajak dengan metode pemotongan pajak
(withholding system) oleh pihak ketiga.

Walaupun terhadap WPLN yang memperoleh pengahsilan usaha melalui BUT di Indonesia
administrasi pengenaan pajak dilakukan dengan penetapan (SPT dan SKP), namun sebagai
subjek pajak sui generis BUT yang dimilliki WPLN orang pribadi tidak diberikan PTKP
oleh UU PPh. Hal ini berbeda dengan perusahaan orang pribadi WPDN yang kepadanya
diberikan PTKP.

E. Cakupan Geografis Pemajakan Penghasilan


Yurisdiksi domisili dapat berlaku atas semua orang pribadi yang bertempat tinggal, berada
atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia baik orang tersebut warga negara Indonesia
maupun orang asing. Demikian juga dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Karena hak pemajakan Indonesia didasarkan atas pertalian personal subjek pajak maka
menurut Martha (1989) sesuai dengan kelaziman internasional, negara tersebut dibenarkan untuk
memperluas pengenaan pajak atas penghasilan dari mana pun diperoleh. Sementara itu, yurisdiksi
sumber yang merujuk pada pertalian fiskal objektif memberikan hak pemajakan kepada negara
tempat sumber penghasilan berada.
F. Dimensi Internasional Aplikasi Yurisdiksi
1. Pemajakan atas Penghasilan dari Transaksi Transnasional
Transaksi transnasional dapat berupa transaksi keluar dari (outbound) atau masuk ke
(inbound) Indonesia. Pemajakan atas penghasilan dari transaksi keluar merujuk kepada
perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima WPDN dari menjalankan
usaha (melakukan kegiatan) atau dari investasi di luar Indonesia. Karena mendasarkan pada
pertalian subjektif, Indonesia dapat mengaplikasikan yurisdiksi pemajakan terhadap WPDN
dengan menjangkau objek yang berada di luar wilayah negara tersebut (ekstra teritorial).
Atas transaksi keluar, Indonesia mengenakan pajak berdasarkan yurisdiksi domisili. Semua
WPDN dikenakan pajak atas penghasilan global termasuk penghasilan dari usaha dan kegiatan
serta investasi di mancanegara. Sehubungan dengan penghasilan dari usaha di manca negara,
berdasarkan argumen netralitas pemajakan atas sumber (source neutrality).
2. Keterbatasan Jangkauan Yurisdiksi
Pada dasarnya, menurut Knechtle (1979) setiap negara termasuk Indonesia bebas dari
pembatasan legal negara asing untuk merumuskan sistem perpajakan yang diinginkannya.
Sebagai negara berdaulat, Indonesia dapat mengatur seberapa jauh jangkauan kewajiban
perpajakan seseorang. Sesuai dengan soverenitas fiskal yang dimiliki, negara tersebut dapat
merumuskan pemajakan terhadap subjek dan objek yang berada di luar wilayah kedaulatannya.
Namun pemikiran demikian, oleh Martha (1989) dianggap suatu konsep yang kurang tepat.
Yang tidak terbatas itu adalah soverenitas, yurisdiksi tidak dapat dipersamakan dengan
soverenitas. Pemikiran Martha didukung oleh Van Raad (1986) yang menyatakan bahwa secara
umum terdapat batas legal (legal restriction) atas pemajakan terhadap orang pribadi warga
negara lain atau yang bertempat tinggal atau residen negara lain dan objek di manca negara.
Pembatasan tersebut dapat berasal dari hukum internasional atau supranasional atau dari
ketentuan umum dari undang-undang domestik negara dimaksud. Selain itu, penegakan
(enforcement) yurisdiksi fiskal dan hasil dari pelaksanaan klaim pemajakan manca negara akan
terbentur dengan beberapa hambatan legal maupun faktual. Secara faktual, pelaksanaan
yurisdiksi pemajakan hanya dapat berlaku efektif apabila subjek dan objek dimaksud berada di
bawah wilayah kekuasaan Indonesia. Apabila subjek dan objek tersebut berada di luar
jangkauan administrasi pajak, secara praktis, pelaksanaan administrasi perpajakan (penetapan,
penagihan, pengawasan, dan sebagainya) akan banyak mengalami kesulitan.
Pelaksanaan kewenangan fiskal oleh suatu negara juga terhambat oleh ketentuan hukum
publik internasional yang menyatakan bahwa suatu negara hanya kompeten mengatur setiap
subyek atau obyek maupun kejadian yang mempunyai kaitan dengan wilayahnya (Knechtle
1979). Prinsip cakupan tentorial tersebut membatasi jangkauan aplikasi hukum administratif
termasuk hukum pajak suatu negara. Apabila tidak ada pengaturan dalam perjanjian bilateral
atau multilateral, kegiatan pelaksanaan pemajakan ke luar wilayah dapat menimbulkan
benturan pengaturan dengan otoritas pemajakan manca negara. Selain kesulitan dalam
penagihan pajak domestik ke luar Negeri (collection of domestic tax abroad), konfirmasi atau
pembuktian fakta perpajakan di luar negeri juga merupakan hal yang tidak mudah dilaksanakan.
Selain kedua pembatasan tersebut, secara legal sebagai penambah dari pembatasan di atas,
dalam ketentuan domestik (misalnya pidana) dalam rangka melindungi kedaulatan suatu
negara, kegiatan pencarian fakta (termasuk pajak), tanpa sepengetahuan negara, juga pada
umumnya tidak diperbolehkan. Apalagi menyangkut rahasia usaha dan profesi tentu tidak
dengan mudah untuk dapat diabaikan suatu negara lain. Setiap negara pemungut pajak
mempunyai alasan tertentu untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan nasionalnya.
G. Keringanan Pajak Berganda
Yurisdiksi pemajakan atas penghasilan dari orang pribadi atau badan dapat didasarkan atas
status personal wajib pajak (residence principle) atau atas sumber dari penghasilan yang akan
dikenakan pajak (source principle). Sementara yurisdiksi pemajakan yang dibangun atas dasar
sumber penghasilan memberikan hak pemajakan limitatif atau teritorial, yurisdiksi berdasar
status personal memberikan hak pemajakan penuh tidak terbatas atas penghasilan global wajib
pajak. Karena kebanyakan negara pemungut pajak pada umumnya membangun yurisdiksi
pemajakan berdasar kedua prinsip tersebut maka hal ini akan menimbulkan benturan yurisdiksi
antarnegara pemungut pajak. Multisitas keterkaitan pajak dapat menyebabkan satu fakta
ekonomi misalnya penghasilan dikenakan pajak oleh negara sumber dan oleh Indonesia.
Penerapan hak pemajakan atas penghasilan global yang bernuansa pemajakan ekstratorial
kepada orang yang mempunyai pertalian pajak personal oleh Indonesia dapat menyebabkan
terjadinya pajak berganda internasional (PBI). Pajak berganda terjadi karena negara sumber
(pada umumnya) telah mengenakan (memotong) pajak atas penghasilan dari orang (WPDN)
yang dikenakan pemajakan atas penghasilan global oleh Indonesia. PBI pada umumnya
dianggap dapat menghambat mobilitas sumber daya ekonomi global karena menambah beban
pajak wajib pajak. Oleh karena itu, untuk meningkatkan mobilitas global usaha, modal dan
sumber daya manusia PBI perlu dieliminasi. Sebagai pemegang yurisdiksi domisili dengan hak
pengenaan sekunder pajak (secondary tax claim) atas penghasilan global, selaras dengan
kebiasaan internasional, Indonesia berkewajiban untuk menyediakan keringanan PBI. Untuk
tujuan itu, Pasal 24 UU PPh memberikan keringanan PBI dalam bentnk kredit pajak luar negeri
berdasarkan metode ordinary yang dihitung per country basis. Pengkreditan pajak luar negeri
ini merupakan refleksi kebijakan netralitas ekspor kapital yang secara berkelanjutan dianut oleh
Indonesia. Seperti negara berkembang lainnya, sudah selayaknya Indonesia melindungi pasaran
investasi domestik agar tidak ditinggalkan para pemodal domestik. Ketentuan pelaksanaan
pemberian kredit pajak luar negeri diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan
No.164 tahun 2002. Kredit pajak tersebut tersedia bagi WPDN yang membayar atau terutang
pajak kepada negara selain Indonesia atas penghasilan di sana.
Daftar Referensi

Universitas Bina Darma. “Yurisdiksi Pemajakan”.


http://eprints.binadarma.ac.id/5500/1/Yuridiksi%20Pemajakan.pdf

Yuridiksi Pemajakan dan Hukum Pajak Internasional


https://repository.unikom.ac.id/49535/1/Pajak%20Internasional%20BAB%202%2C3.ppt
x

Laura Yohan, Dkk (2015). “Yuridiksi Pemajakan” Universitas Andalas


https://www.scribd.com/doc/261620958/YURISDIKSI-PEMAJAKAN

Anda mungkin juga menyukai