Tugas RMK 2 - Kelompok 3 - Yuridiksi Pemajakan
Tugas RMK 2 - Kelompok 3 - Yuridiksi Pemajakan
“Yurisdiksi Pemajakan: Yuridiksi Domisi, Yuridiksi Sumber, Kewajiban Pajak WPDN &
WPLN, Dimensi Internasional dan Keringanan Pajak Berganda”
Oleh : Kelompok 3
DEPARTEMEN AKUNTANSI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
A. Pengantar Yuridiksi
Yuridiksi adalah hak pemajakan suatu negara terhadap yang diterima atau diperoleh oleh
warga negaranya baik yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri maupun warga negara
asing yang bersumber dari dalam negeri.
Sehubungan dengan yuridiksi pemajakan, Martha (1989) menyebut ada empat teori justifikasi
legal hak pemajakan suatu negara yaitu :
1. Realistis atau empiris menyatakan bahwa teori realistis adalah kewenangan fisik untuk
dapat melaksanakan yuridiksinya terhadap orang atau harta yang berada dalam wilayah
kekuasaannya, sedangkan teori empiris menyebut bahwa, yuridiksi pemajakan bukan
semata-mata karena kekuasaan fisik tetapi cenderung didasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2. Etis atau restributif menyatakan bahwa pemajakan pada hakikatnya merupakan
kontraprestasi atau imbalan (return) atas manfaat dan kemudahan yang diperoleh dari
negara.
3. Kontraktual menekankan bahwa pada dasarkan pemajakan merupakan pembayaran atas
barang dan jasa yang diterima dari negara pemungut pajak dengan asumsi bahwa antara
pemegang yuridiksi pemajakan dengan subjek pajak terhadap suatu kontrak (perjanjian
tidak tertulis).
4. Soverenitas menegaskan pemajakan adalah suatu bentuk pelaksanaan dari yuridiksi,
sedangkan yuridiksi tersebut merupakan atribut (kelengkapan) dari soverenitas.
a. Azas domisili
Berdasarkan azas domisili, subjek pajak dikenakan pajak di negara tempat subjek pajak
tersebut berdomisili. Umumnya, negara ini menerapkan prinsip world wide income , yaitu
penghasilan akan dikenakan pajak di negara domisili, baik yg diperoleh dari dalam negeri
maupun luar negeri. Indonesia termasuk negara yg menggunakan azas ini.
b. Azas sumber
Berdasarkan azas sumber, pajak dikenakan berdasarkan tempat sumber penghasilan
berasal.
c. Azas kewarganegaraan
Berdasarkan azas kewarganegaraan, pengenaan pajak didasarkan pada status
kewarganegaraan seseorang. Jadi setiap org yg menjadi warga negara di suatu negara akan
dikenakan pajak di negara tsb, walaupun penghasilannya diterima dari negara lain.
Amerika Serikat termasuk negara yang menganut azas ini.
d. Azas campur dari azas-azas diatas
Negara-negara yang menganut azas ini yaitu menganut campuran dari beberapa azas diatas.
e. Azas teritorial
Berdasarkan azas ini, pajak dikenakan atas penghasilan yg diperoleh di wilayah (teritorial)
suatu negara. Jadi yg dikenakan pajak hanya atas penghasilan yg diperoleh dalam wilayah
negara tsb, sehingga atas penghasilan yg diperoelh dari luar negeri tsb tidak dikenakan
pajak
1. Subjektif
Memperhatikan status wajib pajak (tempat tinggal/domisili, keberadaan atau niat dalam
kasus wajib pajak orang pribadi ; tempat pendirian atau kedudukan dalam kasus badan)
disebut yuridiksi domisili (domiciliary jurisdiction).
2. Objektif
Mendasarkan pada letak geografis sumber penghasilan disebut yuridiksi sumber
B. Yuridiksi Pemajakan Ada 2 yaitu
Yurisdiksi pemajakan menurut Owen (1980) dan Ongwamuhana (1991) adalah merupakan
kewenangan suatu negara untuk merumuskan dan memberlakukan ketentuan perpajakan.
Yurisdiksi sendiri terbagi menjadi 2 yaitu, yurisdiksi domisili dan yurisdiksi sumber.
1. Yurisdiksi Domisili
Yurisdiksi domisili yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara
tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas
hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di mana saja
sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Yurisdiksi
domisili disebutkan juga merupakan hak pemajakan yang didasarkan kepada siapa yang
memperoleh penghasilan (berorientasi hanya pada subjek pajak). Indonesia sendiri menganut
prinsip domisili sebagaimana dituangkan dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a Undang-undang Pajak
Penghasilan:
Pasal 2 (3) Yang dimaksud Subjek Pajak dalam negeri adalah:
(a) orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus depalan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
(b) Badan menyebut dua criteria penentu yurisdiksi domisili Indonesia atas badan yaitu
tempat pendirian dan tempat kedudukan. Setiap badan yang didirikan di Indonesia
merupakan WPDN. Menurut Frommel (1987) dan Van Raad (1986) suatu badan, pada
umumnya dapat dianggap memperoleh status hokum (kewarganegaraan atau
nasionalitas) di neagar berdasarkan hukum siapa badan tersebut didirikan
(incorporated). Akibatnya semua badan yang didirikan di Indonesia, tanpa
memperhatikan tempat manajemen, usaha atau kedudukannya, merupakan WPDN
Indonesia.
Berdasar ketentuan yang berlaku (Kep 701 tahun 2001) tempat kedudukan suatu badan
dapat menunjuk pada:
a. Tempat kantor pimpinan perusahaan dan pusat administrasi dan keuangan
(sebagaimana tercantum dalam Akte Pendirian)
b. Tempat kantor pinjaman perusahaan
c. Tempat kedudukan menurut keadaan sebenarnya yang ditentukan Direktur Jenderal
Pajak
Namun selain itu mungkin petunjuk tentang tempat kedud ukan suatu badan juga dapat
diperoleh dari:
Implikasi dari criteria tempat kedudukan ialah bahwa semua badan yang (dianggap)
bertempat kedudukan di Indonesia, tanpa memperhatikan tempat pendiriannya,
merupakan WPDN Indonesia. Secara administrative, tampak bahwa criteria tempat
kedudukan lebih efektif daripada criteria nasionalitas. Penerapan standar kembar
yuridiksi domisili berdasarkan tempat pendirian dan tempat kedudukan atas badan dapat
menyebabkan terjadinya residensi ganda dari suatu badan.
2. Yurisdiksi Sumber
Yaitu hak pemajakan yang didasarkan kepada objek penghasilan tersebut berada atau
diperoleh (sumber penghasilan berada/terletak di Indonesia, berorientasi kepada objek pajak).
Pasal 2 (4) PPh menegaskan yuridiksi sumber (source jurisdiction) yang berlaku di Indonesia.
Selaras dengan norma yang diterima secara global (misalnya, Surrey (1987) dan Van Raad
(1986)) yuridiksi sumber Indonesia mendasarkan pada dua unsur:
• Menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan
• Menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.
UU PPh menegaskan bahwa apakah seseorang telah menjalankan suatu aktivitas ekonomi
secara signifikan (lumayan) ditentukan dengan keberadaan BUT. Apabila aktivitas ekonomi
tersebut sudah mencapai tingkat BUT sebagaimana diatur dalam Pasal 2(5), Indonesia dapat
mengenakan pajak atas penghasilan dari kegiatan tersebut seperti pemajakan dan penghasilan
atau usaha yang dijalankan oleh orang Indonesia. Dalam bahasa UU PPh, aktivitas ekonomi
ini dapat berupa menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bebas.apabila dalam P3B Model
OECD sebelum tahun 2000 terdapat dua konsep, yaitu permanent establishment (untuk usaha)
dan pangkalan tetap (untuk profesi), maka dalam rumusan UU PPh kedua konsep tersebut
diintegrasikan dalam satu konsep BUT (yang berlaku baik untuk usaha maupun pekerjaan
bebas profesi).
Namun dengan penghapusan ketentuan Pasal 14 tentang pangkalan tetap (fixed base),
dalam P3B model OECD 2000 telah terjadi integrasi konsep BUT dengan pangkalan tetap.
Sehingga dala P3B model OECD sekarang ini yang berlaku hanya konsep BUT saja. Secara
umum (Surrey, 1987 dan American Law Institue, 1987) terdapat asumsi bahwa yuridiksi
sumber dianggap lebih utama dari yuridiksi domisili. Argument yang mendukung hal itu ialah,
antara lain bahwa karena factor pemroduksi penghasilan terletak di Negara sumber dan
kemungkinan Negara tersebut telah memberikan perlindungan dan menciptakan keadaan yang
mendukung terjadinya produksi penghasilan, maka Negara tersebut sudah sepantasnya
mempunyai hak pertama dan utama untuk memanen (memajaki) penghasilan tersebut.
Pemikiran bahwa hak pemajakan oleh Negara sumber lebih punya prioritas (primary taxing
rights) untuk didahulukan dari hak pemajakan Negara domisili sumber sebagai pemegang hak
pemajakan sekunder (secondary taxing rights) dimaksud juga diaplikasikan secara
internasional termasuk Amerika (Drenrberg, 1989) dan Singapura (CCH, 1993). Dengan
merujuk pada prinsip yang berterima secara internasional atas asumsi tersebut, maka hak
pemajakan Indonesia atas penghasilan yang sumbernya (dianggap) berada di Negara tersebut
mempunyai prioritas untuk didahulukan dari Negara pemegang yurisdiksi domisili.
Sehubungan dengan hal itu, Indonesia dapat merumuskan ketentuan pemajakan sumber
(source taxation) dengan asumsi bahwa Negara pemegang yurisdiksi domisili (kalau
mengenakan pajak atas penghasilan sumber Indonesia) akan menyediakan keringanan atas
pajak ganda yang akan terjadi.
Menurut Ongwamuhana (1991), yurisdiksi sumber mendasarkan pada suatu asumsi bahwa
negara sumber memberikan kontribusi kepada perusahaan milik bukan WPDN untuk
memperoleh penghasilan dari Negara tersebut. Implikasi dari yurisdiksi sumber ialah bahwa
Indonesia secara sah dapat memungut pajak dari orang pribadi atau badan bukan WPDN yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari kegiatan atau sumber yang terletak di Indonesia.
Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu diperoleh, lebih berhak mengenakan pajak
atas hasil yang ke luar dari sumber itu, tak pandang manakala orang yang memiliki sumber itu
berada (di luar negeri yang mengenakan pajak). Yurisdiksi sumber disebutkan juga sebagai
hak pemajakan yang didasarkan kepada objek penghasilan tersebut berada atau diperoleh
(sumber penghasilan berada/terletak di Indonesia, berorientasi kepada objek pajak). Pada
Indonesia sendiri untuk yurisdiksi sumber menganut asas sumber yang tersirat dalam Pasal 26
UU PPh, yaitu sebagai berikut:
Pasal 26
1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang
dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong
pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto pihak yang wajib membayarkan:
a. Dividen;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri,
dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
Contoh Yurisdiksi Domisili dan Yurisdiksi Sumber
• Tuan Iwan seorang warga negara indonesia (WNI) memperoleh bunga dari Tuan Hadi
di Tangerang sebesar Rp20.000.000,-. Dalam hal ini maka Indonesia berhak memajaki
Tuan Iwan menggunakan yurisdiksi domisili dan juga yurisdiksi sumber.
• Mr. Roco warga negara Australia memperoleh bunga dari Tuan Mahpud di Bandung
sebesar Rp50.000.000,- maka Indonesia berhak memajaki Mr. Roco berdasarkan
yurisdiksi sumber dan Australia juga berhak memajaki berdasarkan yurisdiksi domisili.
C. Bentuk Usaha Tetap
Istilah “bentuk usaha tetap” dalam UU PPh dapat disetarakan dengan ekspresi “permanent
establihment” yang terdapat dalam P3B. Dalam bahasa P3B, istilah tersebut dipakai untuk
menentukan hak pemajakan negara sumber atas penghasilan dari bisnis (dan profesi) yang
dijalankan oleh bukan WPDN. William dan Patrick menyatakan bahwa istilah permanent
establihsment (PE) merupakan sebagai ambang batas atau kriteria yang memungkinkan suatu
negara sumber untuk secara legal dapat memajaki penghasilan dari bisnis transnasional. Sebagai
titik ambang batas, maka setiap usaha dan kegiatan transnasional yang belum memenuhi kriteria
BUT dibebaskan dari pengenaan pajak di negara sumber. Hal ini bukan berarti penghasilan
tersebut bebas dari pemajakan dengan alasan bahwa sesuai dengan kelaziman internasional
penghasilan tersebut hanya dikenakan pajak oleh negara domisili pengusaha karena aktivitas
pemberi pennghasilan tersebut secar signifikan masih dijalankan di negara dimaksud.
BUT sebagai titik ambang batas pemajakan merupakan kristalisasi dari aktivitas ekonomi
WPLN yang sudah pantas untuk diminta berpartisipasi dalam sistem perpajakan karena sudah
setara dengan aktivitas yang dijalankan oleh orang pribadi atau badan WPDN sehubungan dengan
terdapatnya risiko berusaha agar usaha tersebut tidak secara prematur dikenakan pajak. Hak
demikian akan memberikan tenggang waktu bagi perusahaan pemula atau marjinal agar bisa hidup
dan berkembang dahulu. Karena kativitas ekonomi tersebut merupakan salah satu unnsur
pembentuk yurisdiksi sumber maka adanya BUT memberikan pertalian fiskal objektif dan
yurisdiksi sumber bagi negara tempat BUT.
Walaupun terhadap WPLN yang memperoleh pengahsilan usaha melalui BUT di Indonesia
administrasi pengenaan pajak dilakukan dengan penetapan (SPT dan SKP), namun sebagai
subjek pajak sui generis BUT yang dimilliki WPLN orang pribadi tidak diberikan PTKP
oleh UU PPh. Hal ini berbeda dengan perusahaan orang pribadi WPDN yang kepadanya
diberikan PTKP.