Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS KRIMINALISASI DAN DEKRIMINALISASI YANG TERJADI DALAM

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Oleh :

Arya Permana Salaka 2000024255

Maliki Sirojudin Agani 2000024323

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

FAKULTAS HUUKUM

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara yang berdaulat dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Merupakan
suatu kewajiban bahwa Negara Indonesia mampu memberi tempat yang layak untuk
warga negaranya, Tempat yang dimaksud adalah suatu hak yang diterima oleh seluruh
warga negara maupun penajabat serta tidak merugikan satu sama lain. Oleh karena itu
juga, Indonesia membuat sebuah peraturan yang lebih baru dari tahun ke tahun. Hal itu
bertujuan untuk mengatur warga negaranya demi tujuan yang ingin dicapai bersama,
Serta demi kemaslahatan rakyat bersama peraturan itu dibuat dan berlaku bagi seluruh
warga negara tanpa memandang derajat apapu. Namun pada kenyataan yang sebenarnya
peraturan demi peraturan yang dibuat untuk warga negara tersebut kemudian dituding
sebagai suatu hal yang merugikan warga negara dan mengutungkan bagi pejabat tinggi
yang membuat aturan tersebut serta jajarannya. Dalam hal ini akan membahas
kriminalisasi dan dekriminalisasi atas peraturan perundang-undangan. Kriminalisasi,
menurut Sudarto, dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai
perbuatan yang dapat dipidana. Proses itu diakhiri dengan terbentuknya undang-undang,
dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Dekriminalisasi
merupakan kebalikan dari kriminalisasi yaitu suatu proses dimana terdapat suatu
perbuatan yang dianggap sebagai sebuah kejahatan karena dilarang dalam peraturan
perundang-undangan, kemudian ketentuan tersebut sudah dianggap bukan lagi sebagai
sebuah kejahatan. Membahas suatu kriminalitas yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan maupun KUHP. Ada beberapa hal yang membutuhkan pertimbangan, Tiga
prinsip kriminalisasi Hukum yang menetapkan perbuatan pidana dengan ancaman
pidana, yaitu: (1) asas legalitas; (2) Asas subsidiaritas, dan (3) asas
persamaan/kesamaan. 1. Pengetahuan dasar legalitas, asas yang hakikatnya terkandung
dalam ungkapan nullum delictu, nulla puisi sie praevia lege poenali diusulkan oleh von
Feurbach. Kalimat ini berarti "tidak ada tindakan Siapa yang dapat dihukum selain
hukum pidana saat ini Ada sebelum tindakan. “Asas legalitas artinya Yang terpenting
dalam hukum pidana, terutama asas-asas utama dalam hukum pidana Penentuan
hukuman pidana. Dalam teori hukum pidana, asas legalitas memiliki enam fungsi.
Pertama, pada hakekatnya asas legalitas bertujuan untuk memberdayakan Memberikan
informasi tentang larangan kepada masyarakat seluas-luasnya hukum pidana sehingga
mereka dapat mengatur perilaku mereka Kedua, menurut aliran klasik, asas legalitas
memiliki fungsi sebagai berikut: Membatasi ruang lingkup hukum pidana. Pada saat
yang sama, dalam proses modern Asas Legalitas sebagai Alat Pencapaian Tujuan
Konservasi Masyarakat. Peran asas legalitas adalah untuk menjamin status hukum
Rakyat melawan negara (penguasa). Ini adalah interpretasi tradisional sama sekali
mengesampingkan arti asas legalitas Dirancang oleh para ahli hukum pidana abad
kedelapan belas. Selanjutnya mengenai dekriminnalisasi yang terjadi dalam peraturan
perundang-undangan maupun KUHP dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu.
Dekriminalisasi bukan murni adalah dekriminalisasi terhadap suatu delik dalam
peraturan perundang-undangan (undang-undang dan/atau peraturan daerah), dengan
ketentuan delik tersebut diatur kembali dalam peraturan perundang-undangan yang
baru. Oleh karena itu, dalam aspek dekriminalisasi bukan murni, suatu delik masih
tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum (legal). Dekriminalisasi
murniadalahdekriminalisasi terhadap suatu delik dalam peraturan perundangundangan
(undang-undang dan/atau peraturan daerah), dengan ketentuan delik tersebut sudah
dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan putusan pengadilan atau
peraturan perundang-undangan yang yang baru. Dekriminalisasi bersyarat adalah
dekriminalisasi terhadap suatu delik dalam undang-undang dan/atau peraturan daerah
dengan menegaskan syarat tertentu dalam hal berlakunya suatu delik secara legal.
Melalui kedua pengertia tersebut dapat ditarik bahwasanya peraturan yang sudah dibuat
atau masih dalam rencana memiliki esensi yang memberatka bagi warga negara.
Bahkan dituding membungkam serta membunuh nilai-nilai demokrasi yang hingga saat
ini masih terus diperjuangka.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah implikasi pasal-pasal KUHP terhadap kebebasan berpendapat warga
Negara Indonesia setelah berlaku pada Desember 2025 ?
2. Bagaimana efektivitas kriminalisasi dan dekriminalisasi yang terjadi dalam
peraturan perundang-undangan terhadap keberlangsungan hidup warga Negara
Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN

Dalam KUHP baru mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi.
Hal ini dapat kita lihat salah satu bukti dalam hal ini adalah pasal 309 RUU KUHP perihal berita
bohong dan pasal 328-329 perihal contempt of court. Ada juga beberapa pasal yang disorot
karena memiliki kemungkinan mengancam kebebasan berpendapat seluruh elemen warga negara
serta masyarakat berkembang. Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan
Wakil Presiden Pasal 218 Dalam pasal 218 ayat 1 disebutkan Setiap Orang yang Di Muka
Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda
paling banyak kategori IV. Pasal ini bertentangan dengan prinsip hukum hak asasi manusia,
khususnya berkaitan dengan doktrin Prinsip-Prinsip Siracusa1 terkait pembatasan yang memiliki
legitimasi, selain pula tak sejalan dengan prinsip perlindungan kebebasan ekspresi terkait dengan
kritik terhadap pejabat public. Pasal 219. Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau
menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman
sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang
berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden
dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Padahal pada sebelumnya Indonesia telah menerapkan peraturan mengenai hal demokrasi dan
kebebasan berpendapat oleh seluruh masyarakat. UUD 45 Pasal 28E ayat 3 yaitu “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.Hak untuk
menyatakan pendapat di muka umum juga dilindungi oleh UndangUndang Hak Asasi Manusia
No. 39 Tahun 1999 pasal 32 menyatakan: “Setiap orang berhak untuk berpendapat, menyatakan
dan menyebarluaskan pendapat menurut hati nuraninya, dengan lisan, dan atau secara tertulis
melalui media cetak dan elektronik, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, kesusilaan,
ketertiban umum, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” Pasal ini mengandung arti bahwa
warga negara Indonesia memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya tanpa rasa takut
karena dijamin oleh undang-undang. Namun pasal UU No. 9 Tahun 1998 mengatakan bahwa
kebebasan yang dimaksud adalah memperhatikan standar yang berlaku dan dapat
dipertanggungjawabkan. Di Indonesia, kebebasan berpendapat harus digunakan secara
bertanggung jawab sesuai standar yang sudah ditetapkan. Tentu hal ini melanggar konstitusional
yang tela dipahami dan dilaksanakan bersama sejak dahulu hingga sekarang. Akan tetapi pada
kenyataannya pejabat tinggi tersebut membuat banyak dalih dengan membuat peraturan yang
tidak sesuai kepada warga negara tapi sangat sesuai dengannya karena bertujuan untuk
melindungi dirinya dan kebebasan sebagai pejabat tinggi negara.
BAB III

KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai