Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH STUDI KONSTITUSI

“BENTUK UNDANG-UNDANG”.

DOSEN PENGAMPUH :
HERMAN NAYOAN SH, M.Hum
JOVANO DEIVID OLEYVER PALENEWEN S.I.P, M.A.

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 4 :

Raisa Putri Gallang 210811030021

Josua Mangi 210811030139

Adamjordan Lendo 210811030157

Viona Goni 210811030145

Adriana Dalita 210811030118

Novita Tambayong 20081103114

Claudia Mananggel 210811030126

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan kekuatan sehingga Kelompok dapat menyelesaikan Makalah ini tepat pada
waktunya.

Terimakasih tidak lupa pula kelompok ucapkan kepada Dosen Pengampuh mata
kuliah Studi Konstitusi yang telah melimpahkan ilmu serta waktu nya untuk
membimbing kami hingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Bentuk
Undang-Undang”.

Kelompok menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena
itu kepada semua pembaca dimohon saran dan kritik yangbersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini dan di Ucapkan Terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik demi
sempurnanya makalah ini, Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................2
Daftar Isi...................................................................................................................3
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................5
1.3 Tujuan...........................................................................................................5
Bab II Pembahasan
2.1 Undang-Undang dan Sistem Hukum..................................................................6
2.2 Bentuk Undang-Undang ....................................................................................7
2.3 Prosedur Pembentukan Undang-Undang.........................................................10
Bab III Penutup
3.1 Pembahasan......................................................................................................14
3.2 Kesimpulan.......................................................................................................15
3.3 Kritik Dan Saran...............................................................................................16
3.4 Daftar Pustaka..................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai telaah sejarah perundang-undangan (wetshistorie), dapat


dikemukakan bahwa sejak proklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia
telah melewati 4 kali berlakunya Undang-Undang Dasar, yaitu:
(1) Undang-Undang Dasar 1945;
(2) KonstitusiRepublik Indonesia Serikat;
(3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan;
(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
diubah(diamendemen) dengan empat kali perubahan.

UUD 1945 sebelum perubahan tidak menjelaskan tentang pembentukan


undang-undang dengan lengkap, melainkan hanya menegaskan bahwa
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan DPR, Sementara itu mengenai proses pembentukan undang-
undang hanya menyebutkan bahwa rancangan undang-undang yang tidak
mendapat persetujuan DPR tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
berikutnya. UUD 1945 mengalami empat kali perubahan fundamental dalam
waktu relatif sangat pendek. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberi
wewenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasas 1945,
sebagai perwujudan keinginan rakyat untukmelakukan reformasi
di bidang hukum. Saat ini undang-undang memberikan bentuk yuridis
terhadap campur tangan sosial yang dilakukan oleh pembentuknya untuk
mewujudkan cita-cita dan tujuan negara.
Undang-undang kini tidak lagi terutama berfungsi memberi bentuk kristalisasi
kepada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, melainkan memberikan
bentuk bagi tindakan politik yang menentukan arah perkembangan nilai-nilai
tersebut. Dalam uraian diatas maka dalam kesempatan ini penulis akan
membuat suatu Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Apa itu
Proses, menurut menurut kamus besar Bahasa Indonesia Pengertian proses
adalah rangkaian suatu tindakan. Jadi proses pembentukan undang-undang
adalah rangkaian tindakan dalam membentuk suatu peraturan perundang-
undangan. Rangkaian bagaimana sesuatu peraturan tersebut dilakukan dan
pastilah terdapat tata cara dalam melaksanakanya. Pembentukan perundang-
undang adalah syarat bagi suatu negara untuk membentuk hukum nasional.
Pembentukan peraturan undang-undangan hanya dapat terwujud apabila
didukung oleh metode yang baik, yang mengikat semua lembaga yang
berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Konsep pembentukan
perundang- undangan harus sejalan dengan ideologi negara yaitu Pancasila.
Selain itu pembentukan undang-undang juga harus mengutamakan hak asasi
manusia. Dengan kata lain perundang-undangan harus menyetarakan seluruh
rakyat Indonesia tanpa memandang ras, status sosial atau agama.

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan peraturan


Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.
Peraturan Perundang-Undang adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota adalah peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan
bersama Bupati/Walikota.

Sedangkan hierarki Peraturan Daerah dalam sistem Peraturan Perundang-


Undangan di Indonesia pada saat ini secara tegas diatur dalam Pasal 7 Ayat(1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

1 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. 2 Ibid, pasal 1 (2) 3 Ibid, pasal 1 (8)

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses pembentukan perundang-undangan di Indonesia ?
2. Bagaimana prinsip dalam membentuk dan menerapkan undang-undang ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui proses pembentukan perundang-undangan di Indonesia
2. Mengetahui prinsip dalam membentuk dan menerapkan undang-undang
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Undang-Undang Dan Sistem Hukum


Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya,
proses pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum
yang dianut olehnegara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk
mengkaji pembentukan undang-undang secara komprehensif, haruslah dimulai
dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri.Lawrence M. Friedman
mengemukakan untuk memahami sistem hukum dapat dilihatdari unsur yang
melekat pada sistem hukum itu sendiri, yakni:
“Sistem hukum mempunyai unsur-unsur, yaitu: struktur hukum (legal
structure),substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture)”.
Lebih lanjut dikemukakan, bahwa untuk mempermudahkan pemahaman
tentangsistem hukum, dapat dilakukan dengan:“mengambarkan ketiga unsur
sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan strukturhukum seperti mesin.
Substansi adalah apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh mesin.Budaya hukum
adalah siapa saja yang ingin mematikan dan menghidupkan mesin ituserta
memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Satu saja komponen
pendukungtidak berfungsi maka niscaya sistem mengalami disfunction
(kepincangan).Dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia, khusunya pada
masa Orde Baru,dengan memodifikasi serta memasukan unsur lain dalam
pembangunan hukum, kompenensistem hukum yang dikemukakan Friedman juga
menjadi acuan. Pada Seminar Hukum Nasional Keenam yang diselengarakan oleh
Badan Hukum Nasional (BPHN), pada tahun 1994, ditetapkan adanya empat
kelompok atau aspek pembahasan utama dalam pembangunanhukum di Indonesia,
yaitu:
Budaya hukum, dengan rincian pembahasan tentang pengembangan sistem
filsafathukum nasional, pembinaan kesadaran, dan perilaku budaya hukum
nasional, penigkatansumber daya manusia dibidang hukum melalui pendidikan
dan pelatihan hukum.
Materi Hukum, dengan uraian subtema tentang, pengembangangan hukum tertulis
peraruran perundangan-undangan Indonesia, pengembangan yurisprudensi tetap,
serta pengembangan hukum kebiasaan. Lembaga dan Aparatur Hukum, dengan
uraian subtema terdiri dari, pengembangan dan penataan kembalihubungan antar
lembaga-lembaga hukum di bidang penegakan hukum, pembinaan hubungan antar
lembaga-lembaga hukum dan pelayanan hukum, serta kerjasama negara/
organisasi internasional.
Pengembangan Sarana dan Prasarana Hukum, dengan Sub-Subtema, peningkatan
fungsidan peranan kepustakaan hukum, pembinaan sistem dokumentasi dan
informasi hukum,serta moderenisasi sarana dan prasarana hukum.Adanya
pemahaman mengenai perngertian dari sistem hukum, dan kaitanya dengan
peroses pembentukan undang-undang, diharapkan akan berpengaruh pada
ditempatkanya pembentukan undang-undang, sebagai bagian utama proses
berjalanya sistem hukum. Akantetapi, pengembangan substansi hukum melalui
pembentukan, juga amat tergantung pada pengembangan sistem kelembagaan
hukum atau struktur hukum yang ada. Selain itu,keberhasilan dan berkembangnya
sistem hukum juga akan sangat ditentukan oleh budayahukum yang ada.

2.2 Bentuk Undang-Undang

1. Kepala Surat
Kepala surat adalah bentuk formal penulisan atau format kertas pengesahan suatu
undang-undang. Dari segi formatnya itu, Undang-Undang Republik Indonesia
selama ini mempunyai kepala surat yang didahului oleh lambang Bintang di
antara lingkaran Padi dan Kapas disertai dengan kata-kata Presiden Republik
Indonesia. Dengan kepala surat yang demikian, berarti lembaga yang menerbitkan
Undang-Undang Republik Indonesia adalah Presiden. Kerangka undang-undang
terdiri atas:
a. Judul
Judul PUU memuat keterangan mengenai jenis, nomor,
tahun pengundangan atau penetapan, dan nama PUU.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN
2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG
UNDANGAN;

➢ Pada nama PUU perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di


depan judul PUU yang diubah.
➢ Pada nama PUU pencabutan ditambahkan kata pencabutan di
depan judul PUU yang dicabut.
➢ Pada nama Perpu yang ditetapkan menjadi UU, ditambahkan kata
penetapan di depan judul PUU yang ditetapkan dan diakhiri dengan
frasa menjadi UU,
➢ Pada nama PUU pengesahan perjanjian atau persetujuan
internasional, ditambahkan kata pengesahan di depan nama
perjanjian atau persetujuan internasional yang
akan disahkan.

b. Pembukaan
➢ Pembukaan PUU terdiri atas:
➢ Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa
➢ Jabatan Pmbentuk PUU
➢ Konsideran
➢ Dasar Hukum
➢ Diktum

c. Batang Tubuh
Ketentuan Umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
Ketentuan Umum berisi:
A. Batasan pengertian atau definisi;
B. Singkatan atau akronim; dan/atau
C. Mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.

Materi pokok yang diatur


Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab
ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokan bab,
materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal atau
beberapa pasal ketentuan umum.

d. Penutup
Penutup merupakan bagian akhir PUU yang memuat:
A. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan PUU dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia,
Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita
Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota;
B. Penandatanganan pengesahan atau penetapan PUU;
C. Pengundangan atau penetapan PUU; dan
D. Akhir bagian penutup.

e. Penjelasan; dan
➢ Setiap Undang-Undang dan Peraturan Daerah diberi penjelasan.
➢ PUU di bawah UU (selain perda) dapat diberi penjelasan jika
diperlukan.
➢ Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk PUU atas
norma tertentu dalam batang tubuh. Penjelasan sebagai sarana
untuk memperjelas norma dalam batang tubuh, tidak boleh
mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang
dimaksud.
➢ Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk
membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan
rumusan yang berisi norma.
➢ Penjelasan tidak boleh mengakibatkan terjadinya perubahan
terselubung terhadap ketentuan PUU
➢ Judul penjelasan sama dengan judul PUU yang diawali dengan
frasa penjelasan atas yang ditulis denga huruf kapital.
➢ Penjelasan PUU terdiri atas penjelasan umum dan penjelasan
pasal demi pasal.
➢ Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar
belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan PUU yang
telah tercantum dalam butir konsideran, asas,
tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam batang tubuh
PUU.
➢ Rumusan penjelasan pasal demi pasal memerhatikan hal-hal
sebagai berikut:
A. Tidak bertentangan dengan materi pokok;
B. Tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian
norma;
C. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok;
D. Tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian
yang telah dimuat dalam ketentuan umum, dan/atau
E. Tidak memuat rumusan pendelegasian.

f. Lampiran
➢ Dalam hal PUU memerlukan lampiran, hal tersebut dinyatakan
dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari PUU.
➢ Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar,
peta, dan sketsa.
➢ Dalam hal PUU memerlukan lebih dari satu lampiran, tiap
lampiran diberi nomor urut dengan menggunakan angka romawi.
➢ Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang
diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan
rata kiri.
➢ Pada halaman terakhir tiap lampiran harus dicantumkan nama dan
tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menetapkan PUU
ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan disudut kanan bawah
dan diakhiri dengan tanda baca koma setelah nama pejabat yang
mengesahkan atau menetapkan PUU.

Setiap undang-undang harus dirumuskan dengan judul tertentu. Dalam rumusan


judul itu dimuat kete-rangan mengenai jenis, nomor, tahun pengesahan, pene-
tapan, atau pengundangan, dan nama resmi undang-undang yang bersangkutan.
Dalam praktik di berbagai negara, judul undang-undang kadang-kadang terdiri
atas judul panjang (long title) dan judul singkat (short title). Akan tetapi, dalam
praktik diIndonesia sejak dulu, biasanya judul undang-undang hanya dibuat
pendek. Yang penting judul tersebut mencerminkan substansi undang-
undang bersangkutan.

2. Pembukaan (Preambule)
Judul dan panjangnya judul seringkali dipakai pula sebagai pengganti pembukaan
(preambule). Jika naskah undang-undang dasar dan piagam biasanya dimulai
dengan “preambule” atau pembukaan, maka naskah undang-undang biasa
dirumuskan tanpa pembukaan. Namun, dalam hal pembukaan itu dirumuskan,
seperti dalam undang-undang yang bersifat khusus atau dalam undang-undang
dasar, maka pada pokoknya pembukaan itu adalah merupakan kalimat pengantar
dimana objek,maksud dan tujuan undang-undang yang bersangkutan dibentuk
diuraikan.
3. Konsideran
Konsideran yang terdapat dalam setiap undang-undang, pada pokoknya, berkaitan
dengan 5 (lima) landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yangterkandung di
dalam undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diaturoleh
undang-undang itu. Kelima landasan dimaksud adalah landasan yang
bersifatfilosofis, sosiologis, politis, dan landasan juridis, serta landasan yang
bersifatadministratif. Empat landasan pertama, yaitu landasan filosofis, sosiologis,
politis, dan juridis bersifat mutlak, sedangkan satu landasan terakhir, yaitu
landasan administratif dapat bersifat fakultatif. Mutlak, artinya, harus selalu ada
dalam setiap undang-undang.Sedangkan landasan administratif tidak mutlak harus
selalu ada. Dicantumkan tidaknya landasan administratif itu tergantung kepada
kebutuhan. Bahkan, kadang-kadang landasan filosofis juga tidak dibutuhkan
secara mutlak.
4. Landasan Filosofis
Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan(ideal
norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan
bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Karena itu, undang-undang dapat
digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-
nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
melalui pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan dalam kenyataan. Karena
itu, cita-cita filosofis yang terkandung dalam undang-undang itu hendaklah
mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat bangsa yang
bersangkutan itu sendiri.
5. Ketentuan Umum (Interpretation Clause)
Dalam praktik di Indonesia, “Definition Clause” atau “Interpretation Clause”
biasanya disebut dengan Ketentuan Umum. Dengan sebutan demikian,
seharusnya, isi yang terkandung di dalamnya tidak hanya terbatas kepada
pengertian-pengertian operasional istilah-istilah yang dipakai seperti yang biasa
dipraktikkan selama ini.Dalam istilah “Ketentuan Umum” seharusnya termuat
pula hal-hal lain yang bersifatumum, seperti pengantar, pembukaan, atau
“preambule” undang-undang. Akan tetapi, telah menjadi kelaziman atau kebiasaan
sejak dulu bahwa setiap undang-undang selalu didahului oleh “Ketentuan Umum”
yang berisi pengertian atas istilah-istilah yang dipakai dalam undang-undang yang
bersangkutan. Dengan demikian, fungsi ketentuanumum ini persis seperti
“definition clause” atau “interpretation clause” yang dikenal di berbagai negara
lain.
6. Ketentuan Khusus atau “Provisio”
Di antara ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang, kadang-kadang terdapat
ketentuan yang bersifat khusus. Ketentuan dimaksud biasa dirumuskan secara
khusus dan berbeda daripada substansi pokok materi undang-undang yang bersifat
umum. Pasal-pasal khusus itu biasanya dirumuskan dalam seksi atau sub-
bab tersendiri yang berisi norma kekecualian terhadap ketentuan pokok dalam
seksi atau sub-babutama (the main section). Ketentuan pasal-pasal demikian itu
biasa dinamakan sebagai“provisio” yang dibedakan dari ke-tentuan pada
umumnya yang dalam bahasa Inggris disebut “provision”. Kata “provision” ini
dalam bahasa Indonesia biasanya kita terjemahkan dengan “keten-tuan”,
sedangkan “provisio” dapat saja kita terjemahkan dengan istilah “ketentuan
khusus” atau kita sebut “provi-sio” saja. Pada prinsipnya,ketentuan yang disebut
“provi-sio” tersebut merupakan suatu kualifikasi tertentu terhadap norma hukum
yang bersifat umum yang terdapat dalam suatu seksi atau sub bab undang-undang.
7. Ketentuan Tambahan
Ketentuan Tambahan (Additional Provisions) atau Ketentuan Lain-Lain adalah
ketentuan yang berisi tambahan norma terhadap substansi pokok yang hendak
diatur dalam undang-undang. Biasanya, Ketentuan Tambahan ini ditempatkan
dalam bab yang tersendiri sebelum Ketentuan Penutup atau bahkan sebelum
Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup. Sesuai dengan kebutuhan, kadang-
kadang ketentuan tambahan ini dapat pula dimuat dalam Ketentuan Penutup.
Namun, pada umumnya ketentuan tambahan dimuat dalam bab tersendiri, yaitu
Bab Ketentuan Tambahan sebelum Bab Ketentuan Peralihan. Dinamakan sebagai
ketentuan tambahan (additional provisions) karena isinya memang bukan
substansi yang bersifat utama atau pokok, melainkan hanya menyangkut hal-hal
lain yang seharusnya menjadi materi undang-undang lain.
8. Ketentuan Peralihan
Ketentuan Peralihan adalah ketentuan yang berisi norma peralihan yang berfungsi
mengatasi kemungkinan terjadinya kekosongan hukum sebagai akibat peralihan
normatif dari ketentuan lama ke ketentuan baru. Ketentuan peralihan ini memuat
penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat
peraturan perundang-undangan yang baru mulai berlaku agar peraturan
perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan
permasalahan hukum. Apabila diperlukan penulisan ketentuan peralihan itu
dituangkan dalam bab yang tersendiri, yaitu sesudah ketentuan pidana dan
sebelum ketentuan penutup. Jika tidak diperlukan bab yang tersendiri, maka
ketentuan peralihan itu biasanya ditempatkan sebagai ketentuan terakhir sebelum
pasal yang memuat ketentuan penutup.
9. Ketentuan Penutup
Ketentuan Penutup berbeda dari Kalimat Penutup. Dalam undang-undang,yang
biasanya dirumuskan sebagai Ketentuan Penutup adalah ketentuan yang
berkenaan dengan pernyataan mulai berlakunya undang-undang atau mulai
pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang. Ketentuan penutup dalam suatu
undang-undang dapat memuat ketentuan pelaksanaan yang bersifat eksekutif atau
legislatif. Yang bersifat eksekutif misalnya, menunjuk pejabat tertentu yang diberi
kewenangan untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum, atau untuk
mengeluarkan dan mencabut perizinan, lisensi, atau konsesi, pengangkatan dan
memberhentikan pegawai, dan lain sebagainya. Sedangkan yang bersifat legislatif,
misalnya, memberi wewenang untuk membuat peraturan pelaksanaan lebih lanjut
(delegation of rule-making power) dari apa yang diatur dalam peraturan undang-
undang yang bersangkutan.
10. Lampiran
Peraturan perundang-undangan dapat dilengkapi dengan lampiran. Lampiran-
lampiran itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari naskah peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam hal peraturan perundang-
undanganmemerlukan lampiran, maka hal itu harus dinyatakan dengan tegas
dalam batang tubuh disertai pernyataan yang menegaskan bahwa lampiran
tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan. Pada akhir lampiran, harus dicantumkan nama dan
tanda tangan pejabat yang mengesahkan/menetapkan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.

2.3 Prosedur Pembentukan Undang-Undang


1.Perencanaan Undang-Undang
Perencanaan penyusunan UU dalam Prolegnas merupakan skala prioritas program
pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional
yang integralistik, baik dalam konteks pembentukan UU maupun peraturan di
bawah UU. Penyusunan daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas didasarkan
atas:
a. Perintah UUD NKRI Tahun 1945;
b. Perintah Ketetapan MPR;
c. Perintah UU lainya;
d. Sistem perencanaan pembangunan nasional;
e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f. Rencana pembangunan jangka menegah;
g. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;
h. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Penyusunan Prolegnas memuat judul RUU, materi yang diatur, dan
keterkaitanya dengan peraturan perundang-undangan lainya. Materi yang
diatur dan keterkaitanya dengan peraturan perundang-undang lainya
merupakan keteranganmengenai konsep RUU yang meliputi:
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
c. Jangkawan dan arah peraturan.

2. Penyusunan Undang-Undang
Didalam tahap penyusunan UU, proses penyusunanya dilakukan mulai dari
perencanaan rancangan UU berdasarkan daftar prioritas Prolegnas. Selanjutnya
penyiapan RUU yang diajukan oleh Presiden atau DPR.Dalam pengajuan RUU,
baik yang berasal dari DPR, Presiden atau DPD harus disertai Naskah Akademik.
UU PPP menjadikan Naskah Akademik sebagai persyaratan dalam pengajuan
sebuah RUU, kecuali terhadap RUU, mengenai:
a. APBN;
b. Penetapan Perpu; atau
c. Pencabutan UU atau pecabutan Perpu;
yang cukup disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan meteri
muatan yang diatur. Kemudian hal penting yang terkait dengan Naskah Akademik
adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 44 UU PPP bahwa penyusunan
Naskah Akademik yang tercantum dalam Lampiran 1 UU PPP, sehingga
didapatkan formula Naskah Akademik yang sama, baik dari sisi sistematika,
teknis penyusunanya maupun kedalam substansi yang akan diatur. Untuk
memastikan bahwa penyusunan RUU berjalan baik seusuai prosedur dan teknik
penyusunan perundang-undangan, maka diatur ketentuan bahwa setiap RUU
yangdiajukan kepada DPR oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau
DPD harus dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
RUU oleh BadanLegislasi DPR RI. Demikian halnya terhadap RUU yang
diajukan oleh Presiden yang penyiapanya dilakukan oleh menteri atau pimpinan
lembaga pemerintahan nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas tanggung
jawabnya, dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
RUU oleh Menteri Hukumdan HAM. Ketentuan mengenai pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapankonsepsi RUU didalam Pasal 46 dan 47 UU PPP
diatur lebih jelas, tersetruktur, danmasing-masing terintegrasi didalam peraturan
DPR maupun Perpres tentang tata caramempersiapkan RUU.

3.Pembahasan Rancangan Undang-Undang


Ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU PPP menjelaskan bahwa pembahasan
RUUdilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Hal ini
sesuai bunyi Pasal 20 ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945, yakni “Setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama”. Adapun pelibatan atau keikutsertaan DPD dalam pembahsan RUU
hanya dilakukan apabila RUU yangdibahas berkaitan dengan:
a. Otonomi daerah;
b. Hubungan pusat dan daerah;
c. Pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah;
d. Pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya; dan
e. Perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan hanya pada pembicara
tingkatI (Satu), kemudian dalam pembahsan tersebut DPD diwakili oleh alat
kelengkapan yangmembidangi materi muatan RUU tersebut.

5. Pengesahan Rancangan Undang-Undang


Sesuai ketentuan Pasal 72 PPP bahwa RUU yang telah disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Peresiden untuk
disahkan menjadiUU. Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Penentuan
tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal
yang berkaitan dengan teknis penulisan RUU kelembaran resmi Presiden sampai
dengan penandatangan pengesahan UU oleh Presiden dan penandatanganan
sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara RepublikIndonesia (LNRI) oleh
Mentri Hukum dan HAM.

6. Pengundangan
Pengundangan peraturan perundang-undangan didalam UU PPP tetap dilakuakan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara
Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita
Daerah.Penempatan peraturan perundang-undangan didalam Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia hanya berupa batang
tubuh peraturan perundang-undangan. Sementara penjelasan peraturan perundang-
undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dimuat dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Demikian pula penjelasan peraturan
perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia
dimuat dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.Untuk melaksanakan
pengundangan peraturan perundangan-undangan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia.

7. Penyebarluasan
Penyebaraluasan Prolegnas, RUU, dan UU merupakan kegiatan untuk
memberikan informasi dan/atau memproleh masukan masyarakat serta para
pemangku kepentingan mengenai Prolegnas dan RUU yang sedang disusun,
dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan
atau tanggapan terhadap Prolegnas dan RUUtersebut atau memahami UU yang
telah diundangkan. Kegiatan penyebarluasan tersebut dilakukan melalui media
elektroknik dan/atau media cetak. Ketentuan pasal 89 UU PPP lebih progresif
dalam penyebarluasan, bukan hanya kewenagan pemerintah semata, melainkan
penyebarluasan dilakukan secara bersama olehDPR dan pemerintah. Didalam UU
ini diatur bahwa penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan
pemerintah yang dikordinasikan oleh Badan Legislasi DPR.Penyebarluasan RUU
yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/Badan Legislasi
DPR. Sementara penyebarluasan RUU yang berasal dari presiden dilaksankan
olehinstansi pemrakarsa. Demikian halnya terkait ketentuan Pasal 90 UU PPP
diatur bahwa penyebarluasan UU yang telah diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) dilakukan secarara bersama-sama oleh DPR
dan pemerintah. Dalam hal UU yang berkaitan disahkan berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaranserta
penggabungan daerah, pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka
penyebarluasan UU tersebut dapat dilakukan juga oleh DPD.
BAB III
PENUTUP

3.1 Pembahasan
Undang-undang adalah peraturan perundangan, yang dalam pembentukannya
Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Ketentuan tersebut diatur dalam UUD
1945Pasal5 Ayat 1 "Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang
kepada DPR",Pasal20 Ayat 1 "DPR memegang kekuasaan membentuk UU" dan
Pasal 20 Ayat 2 "SetiapRUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama". dalam tahapan pembentukan peraturan perundangan
haruslah meninjau dari segi aspek dan bagaimana proses dan tahapan
pembentukan peraturan itu dapat dijalankan . Undang-undang juga harusmemiliki
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan , khususnya dalam ranah
keindonesiaan, terdiri atas:
Cita Hukum Indonesia;
Asas Negara Berdasarkan Hukum;
AsasPemerintahan Berdasarkan Sistem Konstitusi; dan Asas-asas lainya.
Proses pembentukanundang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum
yang dianut oleh negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk
mengkaji pembentukan undang-undang secara komprehensif, haruslah dimulai
dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri. Di Indonesia sendiri dalam proses dan
tahapan pembentukan undang-undang dapat ditinjau mulai dari bentuk undang-
undang itu sendiri yang terdiri dari:
a. kepala surat,
b. pembukaan,
c. konsideren,
d. landasan filosofis,
e. ketentuan umum,
f. ketentuan khusus,
g. ketentuantambahan,
h. ketentuan peralihan,
i. ketentuan penutup dan
j. lampiran.
Dari bentuk undang-undang tersebut merupakan isi dari undang-undang itu
sendiri sebagaimana undang-undang itu dibentuk. Materi muatan dan bahasa
undang-undang dalam peraturan perundang-undangan juga sangat perumusan
norma-norma peraturan perundang-undangan yang dikonsepsikan secara
umum. Semakin tinggi kedudukan sesuatu peraturan perundang-undangan,
semakin rendah kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin
rinci dan konkrit pula materi muatanya. Kesemuanya itu mencerminkan
adanya tingkatan-tingkatan tentang materi muatan peraturan perundang-
undangan dimana undang-undang merupakan salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan yang paling luas jangkauanya. Dan penggunaan bahasa
dalamundang-undang haruslah baik dan benar, tidak multi tafsir, tidak
berlebihan, harus ada(subyek, obyek, predikat dan keterangan), mengandung
norma larangan, dan kejelasan sanksi. Penjelasan ringkas pembentukan
undang-undang:
1.Tahapan Perencanaan Peraturan Presiden No. 61 Th 2005 tentang Tata Cara
penyusunan dan Pengelolaan program Legislasi Nasional.
2. Tahapan Penyiapan Rancangan Undang-UndangRUU dari Pemerintah
berdasarkan Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang TataCara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan peraturan Pemerintah, dan
Rancangan Peraturan Presiden.
3. Tahap Pembahasan di DPRBerdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPRRI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
4. Tahap PengesahanMenurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan PeraturanPerundang-undangan dan Peraturan Presiden No. 1 Th.
2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan, Peraturan
perundang-undangan.
5. Tahap PengundanganMenurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden No. 1
Th. 2007 tentang Pengesahan, pengundangan, dan Penyebarluasan, Peraturan
Perundang-undangan.

3.2 Kesimpulan
Pembentukan undang-undang harus mempunyai dasar hukum dikarenakan,
Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Dalam
pembentukan undang-undang harus diketahui sistem hukum apa yang dipakai
oleh negara terssebut. Pembentukan undang-undang mengalami ketidak
jelasan arti dan penjabarannya dalam perumusan pembuatannya, sistemtika
yang tidak baik dan bahasa yangsukar dimengerti. Politik sering melakukan
intervensi atas pembuatan undang-undang dan pelaksanaan hukum.
Proses pembentukan undang-undang dibagi menjadi dua yakni, Atas inisiatif
Presiden yang prosesnya dimulai dari perencanaan melalui prolegnas,
pembahasan ditingkat pemerintah, pembahasan ditingkat DewanPerwakilan
Rakyat, pengundangan, sosialisasi, penyebarluasan melalui berbagai media.
Atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat yang prosenya dimulai dari
perencanaanmelalui prakarsa Dewan Perwakiilan Rakyat dengan persetujuan
Presiden, pembahasan, pengundangan, sosialisasi, penyebarluasan
melalui berbaga media.

3.3 Kritik Dan Saran


Kelompok sebagai penyusun sekaligus penulis makalah ini sepenuh nya sadar
bahwa makalah yang saya buat ini sangat jauh dari kata sempurna. Maka dari
itu kelompok memohon maaf apabila ada kekurangan dan juga kesalahan yang
terdapat dalam Makalah ini, Kritik dan saran dari pembaca akan sangat
membantu kelompok agar bisa lebih teliti dan lebih baik ke depannya.

3.4 Daftar Pustaka


Dalimunthe, Dermina. "Proses Pembentukan Undang-Undang Menurut UU No. 12
Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan." Jurnal AL-
MAQASID:
Jurnal Ilmu Kesyariahan dan Keperdataan 4.2 (2018): 59-75. Yani, Ahmad,
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif Jakarta:Konstitusi
Press (2013).UU NO. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai