Makalah Kelompok Psikologi Abnormal Kelompok 2
Makalah Kelompok Psikologi Abnormal Kelompok 2
DOSEN PENGAMPU
Andy Chandra, S.Psi M.Psi, Psikolog
Disusun oleh:
DEPARTEMEN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah dengan judul “Berbagai Metode Penanganan Perilaku Abnormal” ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami mengucapkan banyak terima kasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah
Psikologi Abnormal. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan agar menambah
pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman maka kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempuraan makalah ini. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Dalam makalah ini akan dibahas berbagai metode
penanganan perilaku abnormal yang paling umum digunakan yaitu
studi kasus, penelitian epidemiologis, metode korelasional, dan
berbagai tipe eksperimen. Berbagai metode tersebut bervariasi
dalam hal seberapa banyak pengumpulan data deskriptif yang sesuai
dimungkinkan dan sejauh mana para peneliti dapat menyimpulkan
berbagai hubungan klausal.
1.3. Manfaat
Manfaat dari penulisan tentang metode penanganan perilaku
abnormal yaitu untuk membantu dalam menyebarkan informasi
tentang berbagai pendekatan yang tersedia untuk mengatasi perilaku
abnormal, sehingga masyarakat dapat memperoleh pengetahuan
yang lebih luas tentang cara-cara untuk mendukung individu yang
mengalami masalah ini. Membantu individu dan keluarga memahami
pilihan perawatan yang ada, sehingga mereka dapat membuat
keputusan yang terinformasi dan sesuai dengan kebutuhan dan
preferensi masing-masing. Dapat memberikan panduan dan
wawasan kepada profesional kesehatan mental, membantu mereka
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dalam membantu
pasien dengan tantangan ini. Selain itu pembahasan ini juga dapat
membantu mengurangi stigma seputar masalah kesehatan mental.
Hal ini dapat mendorong pembicaraan terbuka dan mengakhiri
stereotip negatif terkait dengan gangguan mental.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
6) Penilaian Fungsi Sosial dan Kesehariannya: Sangat penting untuk menilai
bagaimana gangguan mental memengaruhi fungsi sosial dan kehidupan
sehari-hari seseorang. Ini termasuk hubungan interpersonal, peran dalam
pekerjaan, sekolah, dan aktivitas sehari-hari yang berbeda.
7) Diagnosis dan Perencanaan Perawatan: Jika ada gangguan mental,
profesional kesehatan mental dapat membuat diagnosis berdasarkan data
asesmen dan merencanakan perawatan yang tepat, yang dapat termasuk
terapi obat, terapi psikologis, atau metode lainnya.
4
melakukan observasi yang memberikan kontribusi untuk dasar ilmu
pengetahuan ilmiah yang dapat diulang atau dapat diandalkan. Reliabilitas
sangat penting untuk diagnosis dan pengukuran. Dalam proses penelitian,
kredibilitas sama pentingnya. Apa pun yang diamati harus dapat diulang,
artinya harus muncul dalam berbagai kondisi berulang kali. Di mana pun dan
kapan pun, suatu peristiwa harus dapat dimunculkan ulang dalam berbagai
kondisi yang disebutkan di atas. Para ilmuwan akan meragukan keabsahan
observasi pertama jika kejadian tersebut tidak dapat diulang.
2.1.2 Peran Teori
Serangkaian gagasan yang disebut teori disusun dengan tujuan untuk
memberikan penjelasan tentang berbagai fenomena. Tujuan utama ilmu
pengetahuan adalah mengubah teori menjadi data, biasanya melalui
penerapan hubungan sebab-akibat. Hasil penelitian empiris memungkinkan
untuk menguji teori. Teori sendiri dapat sangat membantu penelitian dengan
merekomendasikan pengumpulan data tambahan. Secara lebih spesifik,
suatu teori memungkinkan pembuatan berbagai hipotesis, yaitu perkiraan apa
yang seharusnya terjadi jika teori itu benar. Hipotesis-hipotesis ini kemudian
harus diuji dalam penelitian. Misalnya, jika Anda ingin menyelidiki teori klasik-
conditioning tentang fobia, Anda akan memulai sebagai peneliti dengan
membuat hipotesis khusus berdasarkan teori tersebut. Jika, misalnya, teori
klasik pembentukan benar, individu dengan fobia harus memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mengalami pengalaman traumatis. dengan
keadaan yang mereka takut dibandingkan dengan orang lain dalam
masyarakat, seperti naik pesawat terbang. Anda dapat menentukan apakah
hipotesis Anda benar, mendukung teori tersebut, atau tidak benar dengan
mengumpulkan data mengenal frekuensi pengalaman traumatis dengan
stimuli yang difobiakan pada individu yang menderita fobia dan
membandingkannya dengan data mengenai individu yang tidak menderita
fobia.
Terciptanya suatu teori mungkin merupakan bagian paling sulit dan
paling sulit dipahami dari proyek ilmiah. Sebagai contoh, ada kenyataan
bahwa seorang ilmuwan hanya menggunakan data yang telah dikumpulkan
dan kemudian membuat keputusan sederhana bahwa cara berpikir tertentu
terhadap data adalah yang paling efisien dan menguntungkan.Teori
membentuk ilmuwan. Para ilmuwan sering memanfaatkan konsep-konsep
teoritis, kondisi-kondsi, atau proses-proses yang tidak dapat diamati dan
disimpulkan dari data yang dikumpulkan untuk memformulasikan suatu teori.
Tidak hanya represi, tetapi juga rasa takut sebagai respon antara (mediasi
untuk respons).
teoritis didasarkan pada informasi yang diamati.Konsep teoritis juga
dapat memberikan gambaran tentang berbagai hubungan yang telah
diketahui. Orang-orang yang menjalani ujian, menunggu kejutan listrik, atau
berbicara dengan teman memiliki telapak tangan yang berkeringat, tangan
5
yang bergetar, dan jantung yang berdetak cepat. Mereka menjawab bahwa
mereka tegang ketika ditanya tentang perasaan mereka. Kita juga dapat
mengatakan bahwa individu tersebut merasa cemas karena semua keadaan
itu, dan kecemasan tersebut akhirnya menyebabkan tangan bergetar, jantung
berdetak lebih cepat, telapak tangan berkeringat, dan ketegangan. 5.1 a
menunjukkan berbagai hubungan, dan 5.1 b menunjukkan kecemasan
sebagai konsep teoretis yang menjelaskan apa yang telah diamati. Gambar
pertama sangat kompleks dibandingkan dengan gambar kedua.
Konsep teoritis didasarkan pada informasi yang telah diamati; konsep
teoritis juga dapat memberikan gambaran tentang berbagai hubungan yang
telah diketahui. Telapak tangan mereka berkeringat, tangan mereka bergetar,
dan jantung mereka berdetak cepat saat menjalani ujian, menunggu kejutan
listrik, atau berbicara dengan teman. Ketika ditanya tentang perasaan
mereka, mereka menjawab bahwa mereka tegang. Kita juga dapat
mengatakan bahwa orang itu cemas karena semua keadaan itu, yang pada
gilirannya menyebabkan telapak tangan berkeringat, jantung berdetak lebih
cepat, tangan bergetar, dan ketegangan. 5.1 a menunjukkan berbagai
korelasi, dan 5.1 b menunjukkan kecemasan sebagai konsep teoretis yang
menjelaskan apa yang telah diamati. Gambar pertama tidak sekompleks
gambar kedua.
2.1.3 Studi Kasus
Mempelajari satu orang sekaligus dan mencatat informasi rinci
tentangnya adalah metode pengamatan manusia yang paling umum
dan telah terbukti sejak lama. Suatu studi kasus yang menyeluruh
akan memasukkan sejarah keluarga, latar belakang pendidikan,
riwayat pekerjaan, riwayat perkawinan, dan berbagai detail tentang
pertumbuhan, penyesuaian, kepribadian, perjalanan hidup, dan
keadaan saat ini. Paradigma yang dianut oleh ahli klinis dalam
menentukan jenis informasi yang dikumpulkan dan dimasukkan dalam
studi kasus adalah hal yang penting untuk diingat. Mengambil satu
contoh, studi kasus yang ditulis oleh ahli klinis psikoanalisis mencakup
lebih banyak informasi tentang masa kecil klien dan perselisihan
dengan orang tuanya daripada studi kasus yang ditulis oleh praktisi
behaviorisme. Studi kasus yang ditulis oleh ahli klinis yang berpraktik
dapat kurang memiliki kendali dan objektivitas penelitian dibandingkan
dengan metode lain, tetapi penjelasan deskriptif sangat penting dalam
studi perilaku abnormal. Secara khusus, studi kasus digunakan:
1. untuk memberikan deskripsi rinci mengenai fenomena yang jarang
terjadi atau tidak biasa dan mengenai berbagai metode atau prosedur
penting dan sering kali baru dalam wawancara, diagnosis, dan
penanganan;
2. untuk melemahkan aspek-aspek proposisi teoretis tertentu yang
6dianggap universal
6
3. untuk menyusun hipotesis yang dapat diuji melalui penelitian
terkendali (Davison & Lazarus, 1994).
Memberikan Deskripsi Rinci. Studi kasus dapat mencakup lebih
banyak detail daripada metode penelitian lain karena berkaitan dengan
individu tunggal. Dalam riwayat kasus yang terkenal tentang
kepribadian ganda, yang ditulis oleh Thigpen dan Cleckley pada tahun
1954, pasien Eve White digambarkan sebagai memiliki tiga
kepribadian berbeda. Buku berjudul The Three Faces of Eve berisi
deskripsi yang mereka berikan tentang kasus tersebut. Ringkasan
singkat berikut menunjukkan berbagai momen di mana kepribadian-
kepribadian tersebut muncul, serta apa yang diketahui masing-masing
kepribadian tentang yang lain.
Namun, informasi yang diperoleh dari studi kasus kadang-
kadang patut dipertanyakan. Memang, seorang wanita bernama Chris
Sizemore—alias Eve yang sebenarnya—menulis buku yang
menantang laporan kasus Thigpen dan Cleckley (Sizemore & Pittillo,
1977). Dia mengatakan bahwa perpecahan kepribadiannya terus
terjadi setelah melakukan terapi dengan mereka. Secara keseluruhan,
terdapat 21 orang asing yang berbeda yang menggantikan dirinya
pada waktu yang berbeda. Selain itu, Sizemore menyatakan bahwa
sembilan kepribadian tersebut muncul sebelum Eve Black,
bertentangan dengan laporan Thigpen dan Cleckley. Kelompok
kepribadian, yang biasanya terdiri dari tiga, akan menghilang dan
digantikan oleh kepribadian baru.
Seluruh hidupnya dipenuhi dengan perubahan cepat yang
melemahkan dan perjuangan untuk menguasai seluruh
kepribadiannya. Setelah mengidentifikasi tiga kepribadian yang
diantisipasinya sebagai trio terakhir, Chris Sizemore akhirnya
menyadari bahwa kepribadian-kepribadian tersebut adalah bagian
dari dirinya sendiri dan bukan orang asing. Setelah itu, dia
memutuskan untuk menceritakan kisahnya sebagai cara untuk
menghadapi penderitaan yang dia alami di masa lalu.
Studi kasus yang tidak memadai digunakan sebagai bukti yang
mendukung suatu gagasan atau teori. Studi kasus tidak dapat
digunakan untuk menghilangkan hipotesis lain. Untuk
menggambarkan masalah ini, mari kita lihat contoh seorang ahli klinis
yang membuat obat baru untuk depresi, mengujinya pada seorang
klien, dan menemukan bahwa setelah sepuluh minggu, depresinya
sembuh. Walaupun menarik untuk mengatakan bahwa terapi berhasil,
kesimpulan ini tidak dapat dibenarkan karena beberapa hal lain dapat
menjadi penyebab kesembuhan.Dalam kehidupan pasien, keadaan
stres dapat berakhir dengan sendirinya, atau depresi mungkin secara
alami tidak bertahan lama—dan sebagian besar demikian. Oleh
7
karena itu, peningkatan klinis ini mungkin dapat dijelaskan oleh
hipotesis lain yang masuk akal. Data yang dikumpulkan dari studi
kasus tidak memungkinkan untuk mengidentifikasi faktor utama yang
menyebabkan perubahan tersebut.
Menyusun Hipotesis. Studi kasus mungkin tidak banyak
membantu membenarkan hipotesis, tetapi mereka sangat penting
untuk menyusun hipotesis. Dengan melihat riwayat hidup pasien, para
ahli klinis dapat mempelajari bagaimana memahami dan
menginterpretasikan situasi yang berbeda, dan pada akhirnya mereka
dapat membuat hipotesis penting yang tidak terungkap dalam
penelitian.
Studi kasus sangat bermanfaat dalam situasi klinis di mana
fokusnya hanya pada satu orang. Beberapa peneliti dalam bidang
psikologi klinis dan kepribadian berpendapat bahwa dasar studi
psikologi adalah berbagai karakteristik individu. Untuk penelitian
individualistik, riwayat kasus adalah cara terbaik untuk melakukannya.
Namun, studi kasus digunakan secara terbatas, dan hukum universal
biasanya digunakan untuk menjelaskan fenomena. Informasi yang
dikumpulkan tentang seseorang tidak dapat mengungkap nilai-nilai
yang dimiliki setiap individu. Selain itu, studi kasus tidak dapat
memberikan bukti yang memadai tentang berbagai hubungan sebab-
akibat.
2.1.4 Riset Epidemologis
Penelitian epidemiologis adalah studi tentang frekuensi dan
distribusi gangguan dalam populasi. Dalam penelitian epidemiologis,
data yang dikumpulkan dihubungkan dengan tingkat rata-rata
gangguan dan kemungkinan korelasi antara keduanya dalam sampel
besar atau populasi. Gambaran umum tentang gangguan dan
variabilitasnya tergantung pada faktor sosial dan budaya dapat
diperoleh dengan menggunakan data ini.
Penelitian epidemiologis berfokus untuk menentukan tiga ciri
gangguan sebagai berikut.
1.Prevalensi proporsi dalam suatu populasi yang mengalami
gangguan tersebut pada satu titik atau periode waktu
2.Insiden-jumlah kasus baru dalam gangguan tersebut yang
terjadi dalam periode tertentu, biasanya satu tahun.
3.Faktor risiko-berbagai kondisi atau variabel yang, jika ada,
meningkatkan kemungkinan perkembangan gangguan
8
berskala besar, yang menggunakan wawancara sistematis untuk
mengumpulkan informasi tentang prevalensi beberapa diagnosis
gangguan mental (Kessler et al., 1994). Tabel 5.1 menampilkan
beberapa data penelitian, termasuk apa yang disebut sebagai tingkat
prevalensi sepanjang hidup, yaitu proporsi sampel yang mengalami
gangguan sejak wawancara dimulai. Tabel tersebut menunjukkan
bahwa depresi mayor dan alkoholisme memiliki prevalensi yang lebih
tinggi sepanjang hidup dibandingkan dengan episode manik atau
gangguan panik.
Mengetahui faktor risiko dapat membantu menentukan sumber
gangguan yang sedang diteliti. Sebagai contoh, perempuan
mengalami dua kali lebih banyak depresi daripada laki-laki. Jenis
kelamin menjadi faktor risiko depresi. Kita akan melihat bagaimana
pengetahuan tentang faktor risiko ini menghasilkan teori tentang
depresi yang mengatakan bahwa depresi terkait dengan cara kaum
perempuan lebih banyak mengatasi stres daripada kaum laki-laki.
Selain itu, hasil penelitian epidemiologis dapat menghasilkan berbagai
hipotesis yang dapat diuji secara lebih mendalam melalui penggunaan
berbagai teknik penelitian lainnya.
2.1.5 Metode Korelasi
Metode korelasional sering digunakan dalam penelitian
epidemiologis dan dalam beberapa studi lain yang menggunakan
sampel yang lebih kecil. Metode ini menunjukkan hubungan antara
dua variabel atau lebih. Banyak penelitian tentang psikopatologi
bergantung pada metode ini.
Penelitian korelasional mengukur variabel-variabel yang diteliti
secara langsung; ini membedakan metode ini dari penelitian
eksperimental, di mana peneliti mengubah dan mengontrol variabel-
variabel tersebut.
Kita menggunakan desain korelasional atau eksperimental
untuk menunjukkan perbedaan ini dan meneliti peran stres dalam
gangguan seperti hipertensi. Dalam studi korelasional, kami dapat
mengukur tingkat stres individu dengan meminta mereka mengisi
kuesioner atau melakukan wawancara tentang situasi stres yang
mereka alami baru-baru ini. Selanjutnya, hasil pengukuran tekanan
darah individu akan dihubungkan dengan stres. Sebaliknya, dalam
studi eksperimental, eksperimenter akan menciptakan atau
memanipulasi stres di dalam laboratorium. Sebagai contoh, beberapa
partisipan dapat diminta untuk berpidato di depan umum tentang
aspek penampilan mereka yang mereka anggap paling tidak menarik
selama pengukuran tekanan darah mereka (lihat Gambar 5.2).
9
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menemukan banyak
contoh korelasi. Pendidikan berkorelasi dengan pendapatan; semakin
tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pendapatan. Tinggi badan
juga cenderung berkorelasi secara positif dengan berat badan: orang
yang lebih tinggi biasanya memiliki berat badan yang lebih
besar.Selanjutnya, pertanyaan yang diberikan oleh berbagai
penelitian korelasional adalah sebagai berikut: "Apakah variabel X dan
variabel Y berasosiasi dalam beberapa cara sehingga keduanya
berubah bersamaan (korelasi)?" Dengan kata lain, pertanyaan yang
diajukan memiliki hubungan. Misalnya, "Apakah skizofrenia
berhubungan dengan kelas sosial?" atau "Apakah skor yang diperoleh
dalam berbagai ujian universitas berhubungan dengan kecemasan
menjalani ujian tersebut?"
Mengevaluasi korelasi Untuk mengetahui korelasi, setiap
peserta ditanyai tentang tinggi dan berat badan mereka.
10
badan dan berat badan setiap peserta (Tabel 5.2). Kemudian, untuk
menghitung koelisien korelasi, yang ditunjukkan dengan simbol r,
dihitung kekuatan hubungan antara kedua rangkaian observasi. Nilai
statistik ini berkisar antara -1.00 dan +1.00 dan menunjukkan skala
dan arah hubungan. Nilai r +1.00 atau -1.00 menunjukkan hubungan
tertinggi yang memungkinkan atau hubungan sempurna, sedangkan
nilai r.00 menunjukkan bahwa kedua variabel tidak memiliki
hubungan. Kedua variabel dianggap memiliki hubungan positif jika r
positif; dengan kata lain, jika nilai variabel X meningkat, nilai variabel
Y meningkat juga cenderung meningkat. Berdasarkan data yang
ditunjukkan pada Tabel 5.2, korelasi antara tinggi badan dan berat
badan adalah +.88, yang menunjukkan korelasi positif yang kuat;
peningkatan berat badan sebanding dengan peningkatan tinggi
badan. Sebaliknya, hubungan antara kedua variabel dianggap negatif
jika nilai r negatif. Ini berarti bahwa jika skor salah satu variabel
meningkat, skor variabel lainnya cenderung menurun. Sebagai
contoh, ada korelasi negatif antara rata-rata indeks prestasi dan
jumlah jam yang dihabiskan untuk menonton televisi.
Seringkali, memperjelas grafik dengan memasukkan
hubungan. Gambar 5.3 menunjukkan diagram scatter (acak) korelasi
positif dan negatif, serta berbagai variabel yang tidak relevan. Dalam
diagram ini, setiap titik dihubungkan dengan dua nilai tertentu, yaitu
nilai variabel X dan variabel Y. Semua titik berada pada satu garis
lurus dalam hubungan sempurna, tetapi jika kita hanya tahu satu nilai
variabel pada seseorang, kita dapat dengan mudah mengetahui nilai
variabel lainnya. Sama dengan itu, hanya ada sedikit tingkat acak di
sekitar garis korelasi sempurna ketika korelasi relatif besar. Jika
korelasi semakin rendah, nilai cenderung semakin tersebar dan
teracak. Dalam kasus di mana korelasi mencapai nilai 00, informasi
tentang nilai satu variabel tidak memberikan informasi apa pun
tentang nilai variabel lain.
Signifikansi Statistik. Sejauh ini, kami telah mengetahui
bahwa skala koefisien korelasi menunjukkan kekuatan hubungan
antara dua variabel. Namun, para ilmuwan ingin melakukan penilaian
yang lebih akurat tentang signifikansi korelasi dan menggunakan
konsekuensi signifikansi statistik untuk tujuan ini. Korelasi yang secara
statistik signifikan didefinisikan sebagai korelasi yang tidak mungkin
terjadi secara kebetulan dan oleh karena itu diakui secara resmi oleh
para ilmuwan.
Dalam penelitian psikologis, tingkat signifikansi 05, yang
biasanya ditulis sebagai p≤05 (p adalah probabilitas), dianggap
memiliki signifikansi statistik untuk suatu korelasi. Secara umum,
kemungkinan hasil yang signifikan secara statistik meningkat jika nilai
11
koefisien korelasi meningkat. Sebagai contoh, suatu korelasi dengan
nilai 0,80 memiliki kemungkinan yang jauh lebih besar daripada yang
memiliki nilai 40. Jumlah observasi yang dilakukan juga menentukan
apakah korelasi tersebut memiliki signifikansi statistik. Nilai korelasi,
atau r, yang diperlukan untuk mencapai signifikansi statistik meningkat
seiring dengan jumlah observasinya. Sebagai contoh, dalam kasus di
mana jumlah observasi yang signifikan, suatu korelasi dengan nilai r =
0.30 dianggap signifikan secara statistik.
Variabel X Variabel X
Positif sempurna (+1.00) Positif sempurna (-1.00)
Variabel X
12
Gambar 5.3 Diagram acak menunjukkan berbagai derajat
hubungan korelasional
13
dari dua variabel yang berkorelasi satu sama lain? Sebagai contoh,
ada korelasi antara diagnosis skizofrenia dan kelas sosial: lebih
banyak orang dari kelas bawah didiagnosis menderita skizofrenia
daripada orang dari kelas menengah dan atas. Salah satu alasan
mungkin untuk peningkatan prevalensi skizofrenia adalah berbagai
faktor yang memengaruhi kualitas hidup orang-orang di kelas sosial
terbawah. Meskipun demikian, hipotesis kedua, yang mungkin sama
logisnya, telah diajukan.
Mungkin pola perilaku yang tidak teratur pada penderita
skizofrenia menyebabkan mereka miskin dan berprestasi rendah di
sekolah dan tempat kerja.
2.1.6 Eksperimental
Beralih ke metode eksperimental untuk mencari faktor-faktor
yang menyebabkan asosiasi dan hubungan yang ditemukan dalam
penelitian korelasional.Eksperimen umumnya dianggap sebagai
metode yang paling efektif untuk mengidentifikasi hubungan kausal
antara berbagai kejadian. Eksperimen ini mencakup penempatan
peserta secara acak ke dalam berbagai kondisi yang diamati,
manipulasi variabel bebas, dan pengukuran variabel tergantung
(dependent). Eksperimen adalah metode yang paling umum
digunakan dalam psikopatalogi untuk menilai efek terapi.
Kita mulai dengan mempelajari elemen dasar penelitian
eksperimental. Pertama, mari kita lihat bagian penting dari desain dan
temuan penelitian tentang cara mengekspresikan emosi tentang
berbagai peristiwa traumatik yang terkait dengan kesehatan
(Pennebaker, Kiecolt Glaser, & Glaser, 1988).
Ciri-ciri Dasar Desain Eksperimental. Contoh di atas
menggambarkan berbagai ciri lasar suatu eksperimen.
1. Peneliti umumnya mengawali dengan hipotesis eksperimental,
apa yang mereka asumsikan akan terjadi bila suatu variabel
tertentu dimanipulasi. Pennebaker dan para koleganya
mengajukan hipotesis bahwa mengekspresikan emosi tentang
kejadian menyedihkan di masa lalu akan meningkatkan
kesehatan.
14
mempunyai kesempatan yang sama untuk ditempatkan
dalam salah satu kondisi.
4. Peneliti mengatur pengukuran variabel tergantung
(dependent) yang diharapkan bergantung pada atau
berubah sejalan dengan manipulasi variabel bebas.
Variabel tergantung dalam studi di atas adalah jumlah
kedatangan ke pusat kesehatan.
5. Bila ditemukan perbedaan antara dua kelompok, peneliti
dikatakan telah meng-hasilkan suatu efek eksperimental.
15
psikoterapi. Penelitian tidak valid secara internal jika hasilnya tidak
dapat diatribusikan secara meyakinkan pada variabel bebas.
Sebaliknya, penelitian memiliki validitas internal jika hasilnya dapat
diatribusikan secara meyakinkan pada manipulasi variabel bebas.
Pada contoh sebelumnya, validitas internal dapat ditingkatkan
dengan memasukkan suatu kelompok kontrol. Ada kemungkinan
bahwa kelompok seperti itu terdiri dari individu dengan tingkat
kecemasan tinggi yang tidak menerima penanganan terapeutik.
Standar untuk mengukur dampak variabel bebas akan berasal dari
perubahan tingkat kecemasan di kelompok kontrol. Kelompok
eksperimental yang menerima terapi dan kelompok kontrol yang tidak
menerima terapi memiliki kemungkinan yang sama untuk berubah jika
perubahan tingkat kecemasan disebabkan oleh peristiwa tertentu
dalam lingkungan yang tidak dipengaruhi oleh intervensi
terapeutik.Sebaliknya, jika tingkat kecemasan kelompok yang
menerima terapi lebih rendah setelah enam bulan dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang tidak menerima terapi, maka
perbedaan ini dapat dikaitkan dengan terapi.
Oleh karena itu, menggunakan kelompok kontrol tidak selalu
berarti bahwa organisasi internal itu benar. Kita melakukan penelitian
tambahan tentang terapi dan perawatan di dua bangsal asien psikiatri
di rumah sakit. Seorang peneliti dapat memilih satu bangsal untuk
melakukan penanganan eksperimental dan satu bangsal lainnya
untuk digunakan sebagai kontrol. Peneliti ingin menunjukkan bahwa
pasien di satu bangsal mendapatkan perawatan sementara pasien di
bangsal lain tidak. Oleh karena itu, mereka membandingkan frekuensi
perilaku menyimpang dalam kedua kelompok tersebut.Jika tidak,
peneliti tidak dapat menarik kesimpulan ini secara sah karena ada
hipotesis lain yang tidak dapat ditolak.
Metode ini mengurangi kemungkinan bahwa perbedaan yang
terjadi di antara dua kelompok setelah penanganan berasal dari
perbedaan yang disebabkan oleh proses sampel daripada efek
eksperimen yang sebenarnya.
Selain itu, mengatasi nis perancu yang dijelaskan dalam
contoh sebelumnya tentang penanganan gi tingkat kecemasan tinggi
dapat dicapai dengan menggunakan penempatan acak dan kelompok
kontrol. Ketika kelompok disusun dengan penempatan ak, kelompok
terapi dan kontrol memiliki kemungkinan yang sama untuk mengalami
masalah seperti menyelesaikan situasi stres. Tidak ada alasan untuk
berpikir bahwa kelompok tertentu akan mengalami tingkat stres
kehidupan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok lainnya.
Eksperimen Pennebaker yang dijelaskan sebelumnya menggunakan
penempatan ik.
16
Efek Placebo. Efek placebo dipertimbangkan dalam penelitian
eksperimen tentang efek terapi biologis atau psikologis. Bukan bagian
aktif dari penanganan, istilah ini mengacu pada perbaikan kondisi fisik
atau mental pasien yang dapat meningkatkan harapan pasien untuk
perawatan. J. D. Frank (1978) mengaitkan efek placebo dengan
penyembuhan karena percaya pada masyarakat prailmiah atau
nonilmiah. Selama berabad-abad, penderita sakit berziarah ke
tempat-tempat suci dan meminum ramuan yang terkadang tidak
menyenangkan dengan harapan bahwa itu akan memperbaiki
kesehatan mereka.Itu terjadi kadang-kadang.
Banyak orang menganggap manfaat penanganan pla-cebo
sebagai sesuatu yang tidak nyata atau terbaik kedua. Apa yang baik
untuk seseorang yang menderita sakit kepala akibat tegang jika
mereka menelan satu pil yang tidak memiliki efek kimiawi atau
psikologis? Namun demikian, efek placebo kadang-kadang besar dan
bertahan lama (a.l., Walsh dkk., 2002). Selain itu, efek placebo
mungkin bertanggung jawab atas banyak penemuan dalam penelitian
tentang penanganan: ketika obat baru diperkenalkan untuk pertama
kalinya, obat itu memiliki hasil yang lebih baik daripada berbagai obat
yang muncul beberapa tahun kemudian. Nilai placebo dapat
meningkat karena antusiasme awal terhadap suatu penanganan.
Dalam penelitian obat, efek placebo umumnya terjadi dan diterima.
Untuk ilustrasi, diperkirakan bahwa di antara Pasien depresi yang
mendapatkan hasil yang baik dari pengobatan antidepresan seringkali
hanya menerima placebo (Kirsch, 2000; Stewart dkk.,1998).
Walaupun demikian, sulit untuk menerapkan hasil penelitian
tentang placebo kimia ke penelitian tentang placebo psikologis.
Sekadar berharap bantuan dapat menjadi komponen aktif dalam
psikoterapi. Kenapa? Jika teori yang dianut oleh terapis berpendapat
bahwa ekspektansi positif adalah bahan aktif, perbaikan yang terjadi
tidak dianggap sebagai efek placebo. Dalam penelitian tentang efek
psikoterapi, Lambert, Shapiro, dan Bergin (1986) mempertahankan
gagasan bahwa "faktor-faktor placebo" harus diganti dengan gagasan
tentang "faktor-faktor umum".
Penelitian tentang efek psikoterapi sering menggunakan
kelompok kontrol placebo daripada kelompok kontrol tanpa
penanganan karena pentingnya efek placebo. Kelompok pasien ini
biasanya berkonsultasi dengan seorang terapis secara teratur dan
mendapatkan dukungan dan dorongan; namun, mereka tidak
mendapatkan bahan aktif dari jenis terapi yang sedang dipelajari,
seperti pemaparan bertahap terhadap situasi yang mengerikan dalam
terapi behavioral untuk fobia.
17
Dalam desain kelompok kontrol placebo, para pasien
ditempatkan secara acak ke dalam kelompok penanganan atau
placebo. Ini mencegah bias karena baik para peneliti maupun pasien
tidak tahu ke jalam mana setiap pasien ditempatkan. Design ini
dikenal sebagai prosedur double blind karena baik peneliti maupun
pasien tidak tahu siapa yang ditempatkan dalam kelompok
penanganan maupun kelompok kontrol placebo.
Penelitian psikoterapi menunjukkan bahwa pasien dalam
kelompok kontrol placebo mengalami peningkatan yang lebih besar
daripada pasien dalam kelompok tanpa penanganan. Peningkatan ini
seringkali tidak sebesar pasien dalam kelompok penanganan
(Lambert dkk., 1986). Psikoterapi umumnya berfokus pada
memberikan dukungan dan dorongan.
Suatu penelitian yang membandingkan jenis terapi tertentu
dengan tanpa terapi sama sekali dan menemukan bahwa terapi
menyebabkan perbaikan lebih besar memang menunjukkan bahwa
mendapatkan terapi lebih baik daripada tidak menerima perawatan
sama sekali. Ini adalah temuan penting. Terapi biasanya bertujuan
untuk memperbaiki hal-hal tertentu, seperti menghilangkan
pertahanan-pertahanan seseorang, membantu mereka aktualisasi diri,
meningkatkan tanggung jawab mereka atas keputusan mereka,
mengurangi rasa takut, dan sebagainya. Suatu studi memerlukan
kelompok kontrol pasien yang memiliki harapan untuk mendapat
pertolongan dan percaya bahwa sesuatu yang berharga dan
bermanfaat akan dilakukan untuk mereka untuk menentukan apakah
proses-proses tersebut berfungsi secara efektif.
Meskipun demikian, penggunaan kelompok kontrol placebo
menimbulkan beberapa masalah. Pertama, ada masalah etis karena
tidak ada penanganan yang efektif pada beberapa pasien seperti
yang terjadi pada kelompok kontrol tanpa penanganan. Kedua, dapat
sulit untuk melakukan studi kelompok kontrol placebo double
blind.Sebagai contoh, efek samping pengobatan yang digunakan
untuk mengobati psikopatologi biasanya lebih besar daripada efek
placebo. Dengan demikian, baik peneliti maupun pasien dapat
mengetahui siapa yang menerima penanganan aktif dan siapa yang
menerima placebo pada akhirnya (Salamone, 2000).Terakhir,
mendapatkan persetujuan adalah masalah. Para peserta penelitian
potensial harus diberitahu tentang detail penelitian.
Faktor-faktor yang disebutkan di atas mendorong para peneliti
untuk mengabaikan kelompok kontrol placebo dan tanpa penanganan
(a.l., Rothman & Michels, 1994). Kelompok eksperimental dapat
dibandingkan dengan kelompok kontrol placebo, bukan dengan
kelompok yang menerima penanganan baru.
18
Validitas Eksternal. Salah satu pengukuran validitas
eksternal adalah sejauh mana hasil setiap penelitian dapat digunakan
untuk hal-hal di luar eksperimen. Jika para peneliti dapat
membuktikan bahwa metode tertentu membantu kelompok pasien
tertentu, mereka pasti ingin menyimpulkan bahwa metode yang sama
akan efektif untuk pasien dengan kondisi yang sama, pada waktu dan
tempat yang berbeda.Sebagai contoh, Pennebaker dan rekan-
rekannya berharap bahwa temuan mereka dapat digeneralisasi ke
kasus ekspresi emosi lain (seperti bercerita pada teman dekat), dalam
berbagai situasi, dan pada individu yang tidak terlibat dalam
eksperimen.
Sangat sulit untuk menentukan validitas eksternal atau
generalisabilitas hasil eksperimen psikologis. Sebagai contoh, hanya
dengan mengetahui bahwa dia adalah subjek eksperimen psikologis,
dia sering kali mengubah perilakunya. Akibatnya, hasil yang diperoleh
dalam laboratorium mungkin tidak dapat secara otomatis diperoleh
dalam lingkungan alami. Selain itu, hasil penelitian dengan hewan
laboratorium seperti tikus seringkali digeneralisasi ke manusia (lihat
diskusi selanjutnya tentang analogi). Karena banyaknya perbedaan
antara Homo sapiens dan Rattus norvegicus, generalisasi semacam
itu memang berbahaya. Karena tidak ada metode yang tepat untuk
menjawab berbagai pertanyaan terhadap validitas eksternal, para
peneliti harus berhati-hati dalam hal seberapa besar temuan mereka
dapat digeneralisasikan.Melakukan penelitian yang sama dalam
lingkungan baru adalah pilihan terbaik. dengan peserta baru sehingga
penemuan dapat digeneralisasikan atau terbatas.
Eksperimen Analogi. Eksperimen dianggap sebagai metode
yang paling efektif untuk mengidentifikasi hubungan sebab akibat.
Metode eksperimental biasanya digunakan untuk mengevaluasi
keberhasilan berbagai terapi psikopatologi; ini telah terbukti sebagai
alat yang sangat efektif untuk menentukan apakah suatu terapi
mampu mengurangi penderitaan pasien.
Misalnya, seorang peneliti berpendapat bahwa hubungan
seorang anak dengan ibunya yang sangat emosional dan tergantung
menyebabkan gangguan kecemasan umum. Hipotesis ini memerlukan
uji eksperimental yang memasukkan anak-anak balita secara acak ke
dalam salah satu dari dua kelompok ibu! Para ibu dalam satu
kelompok akan dilatih secara menyeluruh untuk memastikan mereka
mampu menciptakan lingkungan yang sangat emosional yang
menyebabkan ketergantungan berlebihan pada anak-anak mereka.
Para ibu dalam kelompok lain akan dilatih untuk menghindari
membangun hubungan yang semacam itu dengan anak-anak yang
mereka asuh. Setelah para peserta dalam setiap kelompok dewasa,
19
peneliti akan menentukan berapa banyak dari mereka yang
mengalami gangguan kecemasan menyeluruh.
Desain eksperimental semacam itu pasti memiliki banyak
masalah praktis. Namun demikian, masalah praktis jarang merupakan
masalah penting yang harus kita ambil perhatian. Penelitian tentang
penyebab perilaku abnormal terkadang dilakukan dalam bentuk
eksperimen analog. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membawa
fenomenon yang terkait—suatu analogi—ke dalam laboratorium untuk
dipelajari lebih lanjut karena eksperimen yang sebenarnya sedang
dilakukan saat ini. dapat diperoleh hasil yang memiliki validitas
internal yang baik. Karena fenomena aktual yang diminati peneliti
belum dipelajari, masalah validitas eksternal dapat ditekankan.
Karena variabel bebas menggambarkan pengalaman orang
dalam kehidupan nyata dan variabel tergantung mewakili masalah
klinis, penting untuk menginterpretasi studi ini. Apakah faktor yang
terjadi di lingkungan alami sebanding dengan faktor yang ditemukan
di laboratorium? Apakah masuk akal untuk membandingkan
peningkatan kece-masan atau depresi dengan kondisi klinis yang
sebenarnya? Hasil eksperimen ini harus diinterpretasi dan digene-
ralisasikan dengan hati-hati meskipun dapat memberikan informasi
penting tentang bagaimana psikopatologi berasal.
Para peserta yang dipilih dalam studi analogi yang berbeda
dipilih karena dianggap memiliki kesamaan dengan pasien yang
mendapatkan diagnosis khusus. Sebagai contoh, banyak penelitian
melibatkan siswa karena mereka menerima skor tinggi dalam
kuesioner yang mengukur kecemasan atau depresi.Pertanyaannya
adalah apakah siswa yang agak cemas atau depresi, yang tidak
mengalami gangguan klinis, sebanding dengan siswa dengan
gangguan kecemasan atau depresi mayor.
Sebuah eksperimen dianggap sebagai analogi karena caranya
digunakan, bukan karenanya. Data yang diperoleh dari berbagai studi
semacam ini sangat siap untuk mempelajari perilaku menghindari
pada seekor tikus putih. Namun, data tersebut bukan data analogi jika
kita membahasnya hanya pada perilaku tikus. Mereka dapat dianggap
sebagai data analogi hanya jika kita menerapkannya ke bidang lain,
seperti kecemasan pada manusia.
20
Penelitian yang telah dibahas sebelumnya. Seperti halnya studi
kasus, tidak ada kelompok kontrol yang dapat digunakan untuk
membandingkan satu subjek. Selain itu, generalisasi menjadi sulit
karena hasil penelitian mungkin berkaitan dengan aspek khusus dari
perilaku individu yang diteliti. Dengan demikian, studi terhadap satu
individu tampaknya tidak mungkin menghasilkan hasil apa pun yang
memiliki validitas internal atau eksternal, bahkan dalam tingkat
terkecil. Namun, studi eksperimental dengan subjek tunggal mungkin
merupakan metode penelitian yang berguna untuk tujuan tertentu
(Hersen & Barlow, 1976).
Contohnya adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Tate
dan Baroff (1966) untuk mengurangi perilaku melukai diri sendiri pada
Sam, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun. Si anak melukai diri
sendiri dengan menampar wajahnya sendiri, membenturkan
kepalanya ke dinding dan lantai, dan menendang diri sendiri. Sam
tidak benar-benar anti sosial meskipun tindakannya bertujuan untuk
melukai dirinya sendiri. Tampak jelas bahwa ia senang berinteraksi
dengan orang lain dan akan dengan senang hati merangkul dan
duduk dipangkuan mereka. Para peneliti menggunakan perilaku kasih
sayang ini sebagai ide untuk melakukan penanganan eksperimental.
Studi tersebut berlangsung selama dua puluh hari. Selama lima
hari pertama, setiap hari, tindakan melukai diri Sam diamati dan
dicatat. Selama lima hari berikutnya, setiap hari, dua orang dewasa
menemani Sam berjalan-jalan singkat di kampus. Selama berjalan-
jalan, mereka berbicara dengan Sam dan terus menggandeng
tangannya. Ketika mereka melihat bahwa tindakan Sam melukai diri
sendiri, mereka segera melepaskan tangan Sam dari tangannya dan
tidak menyentuhnya hingga tiga detik. Hasil dari tindakan melukai diri
sendiri juga dicatat. Para eksperimen kembali ke prosedur lima hari
pertama selama bagian eksperimen berikutnya. Berjalan-jalan
dihentikan, dan perilaku melukai diri Sam hanya diobsevasi. Setelah
itu, dalam lima hari terakhir, para peserta kembali ke prosedur
eksperimental mereka; berbagai tindakan penguatan menghasilkan
perubahan besar dalam perilaku yang tidak dikehendaki.
Dalam desain eksperimen seperti ini, yang biasanya disebut
desain reversal atau ABAB, beberapa aspek perilaku peserta diukur
dalam waktu tertentu:
1.selama periode waktu awal, yaitu titik mula (A);
2. selama satu periode ketika penanganan dilakukan (B);
3. selama pengulangan kondisi yang terdapat pada periode titik
mula (A);
4. terakhir, selama pemberian kembali manipulasi eksperimental
(B).
21
Jika perilaku selama periode eksperimen berbeda dari perilaku
selama periode titik awal, jika kondisi yang dimanipulasi dihentikan
selama eksperimen, dan jika perilaku berubah saat penanganan
kembali dilakukan, maka hanya ada sedikit keraguan bahwa
perubahan tersebut disebabkan oleh manipulasi dan bukan faktor-
faktor kebetulan atau tidak dapat dikendalikan.
Namun, metode reversal tidak selalu dapat digunakan karena
kondisi awal seorang peserta mungkin tidak dapat diperbaiki, seperti
pada penanganan yang bertujuan untuk mencapai perubahan yang
bertahan lama, tujuan dari seluruh intervensi terapeutik.
Mengembalikan kondisi awal pasien juga dianggap tidak etis dalam
banyak studi tentang prosedur terapeutik. Sebagian besar terapis
akan sangat enggan untuk mengambil tindakan apa pun yang dapat
mengembalikan perilaku, sehingga klien hanya meminta terapi untuk
membuktikan bahwa penanganan tertentu benar-benar mengubah
perilaku. Sayangnya, masalah-masalah tersebut dihindari oleh desain
eksperimental yang berbeda untuk subjek tunggal lainnya.
Jika perilaku selama periode eksperimen berbeda dari perilaku
selama periode titik awal, jika kondisi yang dimanipulasi dihentikan
selama eksperimen, dan jika perilaku berubah saat penanganan
kembali dilakukan, maka hanya ada sedikit keraguan bahwa
perubahan tersebut disebabkan oleh manipulasi daripada faktor
kebetulan atau tidak dapat dikendalikan.
Namun, metode reversal tidak selalu dapat digunakan karena
kondisi awal seorang peserta mungkin tidak dapat diperbaiki, seperti
pada penanganan yang bertujuan untuk mencapai perubahan yang
bertahan lama, tujuan dari seluruh intervensi terapeutik.
Mengembalikan kondisi awal pasien juga dianggap tidak etis dalam
banyak studi tentang prosedur terapeutik. Sebagian besar terapis
akan sangat enggan untuk mengambil tindakan apa pun yang dapat
mengembalikan perilaku, sehingga klien hanya meminta terapi untuk
membuktikan bahwa penanganan tertentu benar-benar mengubah
perilaku. Sayangnya, masalah-masalah tersebut dihindari oleh desain
eksperimental yang berbeda untuk subjek tunggal lainnya.
2.1.8 Desain Gabungan
Dalam desain gabungan, teknik penelitian eksperimental dan
korelasional dapat digabungkan. Dalam setiap kondisi eksperimental,
peserta yang tidak tumpang tindih dan berasal dari dua atau lebih
populasi berbeda ditempatkan. Salah satu variabel klasifikatori adalah
pasien skizofrenia atau fobia; variabel ini tidak dimanipulasi atau
dibuat oleh peneliti, dan hanya dapat dikaitkan dengan kondisi yang
dimanipulasi, yang merupakan variabel eksperimental sebenarnya.
22
Kita lihat contoh penelitian tentang pengaruh tiga jenis terapi
(variabel eksperimental) pada pasien yang dibagi menjadi dua
kelompok berdasarkan tingkat keparahan penyakit mereka (variabel
klasifikatori atau korelasional). Pertanyaannya adalah apakah hasil
pengobatan bervariasi tergantung pada seberapa parah penyakitnya.
Gambar 5.6 menunjukkan hasil hipotesis studi tersebut. Gambar 5.6a
menunjukkan hasil tidak menguntungkan yang akan dihasilkan jika
pasien tidak dibagi menjadi kelompok dengan penyakit parah dan
kelompok dengan penyakit ringan. Penanganan tiga mencapai tingkat
perbaikan tertinggi ketika seluruh pasien digabungkan dalam satu
kelompok. Oleh karena itu, penanganan 3 akan menjadi pilihan jika
tidak ada informasi tentang perbedaan karakteristik pasien. Namun,
jika parahnya penyakit pasien dipertimbangkan, penanganan 3 tidak
lagi menjadi terapi pilihan untuk setiap pasien.Namun, seperti yang
ditunjukkan pada Kesimpulan yang tidak menguntungkan yang akan
dihasilkan jika pasien tidak dibagi ke dalam kelompok yang memiliki
penyakit yang parah dan kelompok yang memiliki penyakit yang
kurang parah digambarkan pada Gambar 5.6a. Penanganan 3
menghasilkan tingkat perbaikan tertinggi ketika seluruh pasien
digabungkan ke dalam satu kelompok. Dengan demikian, jika tidak
ada informasi tentang perbedaan karakteristik pasien, penanganan 3
akan menjadi pilihan, tetapi ketika parahnya penyakit pasien
dipertimbangkan, penanganan 3 tidak lagi merupakan terapi pilihan
untuk setiap pasien.Namun, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
5.6b, penanganan 1 akan dipilih untuk pasien yang penyakitnya tidak
terlalu parah, dan penanganan 2 akan dipilih untuk pasien yang
penyakitnya lebih parah. Oleh karena itu, desain gabungan dapat
membantu menentukan penanganan yang paling cocok untuk masing-
masing kelompok pasien.
Salah satu variabel—keparahan penyakit dalam contoh di
atas—tidak dimani-pulasi; sebaliknya, itu adalah variabel klasifikatori
atau korelasional. Ini penting untuk diingat ketika kita
menginterpretasikan hasil desain gabungan. Oleh karena itu,
sejumlah masalah yang telah kita bahas sebelumnya terkait dengan
interpretasi korelasi yang telah kita bahas sebelumnya, khususnya
kemungkinan bekerjanya variabel ketiga, juga muncul saat
menginterpretasikan hasil desain gabungan.
23
2.2 Studi Kasus
2.2.1 Identitas Partisipan
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 43 tahun
No. RM : 04.40.77
Ruang Rawat : Sibual-buali
Tanggal Rawat : 3 Februari 2022
Informan : Pasien dan Buku status
2.2.4 Fisik
Klien tidak memiliki keluhan fisik, saat dilakukan pemeriksaan
tandatanda vital, didapatkan hasil TD : 120/73 mmHg ; N : 88x/i ; S :
36,50
C ; P : 20x/i. Klien memiliki tinggi badan 155cm dan berat badan 60
Kg
2.2.5 Psikososial
1. Genogram
Klien merupakan anak ke 6 dari enam bersaudara. Klien belum
menikah dan tinggal sendirian. Kedua orangtuanya telah meninggal
dunia.
2. Konsep Diri
a. Gambaran Diri : Klien menyukai seluruh bagian tubuhnya
b. Identitas : Klien seorang laki-laki dan bekerja sebagai petani
c. Peran : Klien mengakui belum memenuhi perannya sebagai anak
24
d. Ideal diri : Klien ingin menjadi orang hebat dan sukses
e. Harga diri : Klien merasa malu dan tidak dihargai karena tidak
mempunyai pekerjaan dan belum menikah hingga saat ini
Masalah Keperawatan : Harga Diri rendah
3. Hubungan sosial
a. Orang yang berarti : Abangnya
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat : klien tidak
ikut dalam kegiatan kelompok
c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain : klien
mengatakan sulit berinteraksi dengan orang lain dan lebih suka
menyendiri Masalah Keperawatan : Isolasi Sosial
4. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan : Klien beragama kristen dan yakin dengan
agamanya
b. Kegiatan ibadah : Selama dirumah sakit klien jarang berdoa
Masalah Keperawatan : Defisit Spiritual
2.2.6 Status Mental
1. Penampilan : klien tidak rapi, rambut panjang dan berantakan.
2. Pembicaraan : klien bicara dengan lambat
3. Aktivitas motorik : klien mengatakan bisa melakukan aktivitas
sehari-hari
4. Suasana perasaan : klien merasa sedih dan ingin segera pulang
5. Afek : afek wajah sesuai dengan topic pembicaraan
6. Interaksi selama wawancara : klien kooperatif saat wawancara
7. Persepsi : klien mengatakan bahwa ia mendengar bisikan-bisikan
yang menyuruhnya untuk berbicara kotor dan berteriak
8. Proses pikir : klien mampu menjawab apa yang ditanya
9. Isi pikir : klien dapat mengontrol isi pikirnya, klien tidak
mengalami gangguan isi pikir dan tidak masalah
10.Tingkat kesadaran : klien tidak mengalami gangguan orientasi,
klien mengenali orang, waktu, dan tempat
11.Memori : klien mampu menceritakan kejadian di masa lalu dan
yang baru terjadi.
12.Tingkat konsentrasi berhitung : klien mampu berkonsentrasi dalam
perhitungan sederhana tanpa bantuan orang lain.
13.Kemampuan : klien dapat membedakan hal yang baik dan yang
buruk (mampu melakukan penilaian)
14.Daya tilik diri : klien tidak mengingkari penyakit yang diderita
klien mengetahui bahwa dia sedang sakit dan dirawat di rumah
sakit jiwa.
Masalah keperawatan : Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi
Pendengaran.
2.2.7 Mekanisme Koping
25
Klien mengalami mekanisme koping adaptif yaitu pasien dapat
berbicara baik dengan orang lain.
2.2.8 Masalah Psikososial Dan Lingkungan
Klien mengatakan sulit berteman dengan orang lain karena pasien
selalu ingin menyendiri.
Masalah keperawatan : Isolasi Sosial (menarik diri)
2.2.9 Pengetahuan Kurang Tentang Gangguan Jiwa
Klien tidak mengetahui tentang gangguan jiwa yang dialaminya
danobat yang dikonsumsinya.
26
3. PEMBAHASAN
3.1 Pengkajian
27
tidak dihargai dan gagal menjalankan perannya sebagai anak, ia juga malu
dengan umurnya yang sudah 43 tahun masih belum menikah. Hal ini
membuat klien merasa tidak berguna dan lebih suka menyendiri sampai
muncullah suara suara
ditelingannya yang mengganggu. Dalam pengkajian ini, penulis menemukan
kesenjangan karena ditemukan. Pada kasus Tn.S klien mendengar bisikan-
bisikan aneh, bicara sendiri, mengarahkan telinga ke tempat tertentu, tampak
mondar-mandir, dan tampak gelisah. Tanda dan gejala yang muncul tersebut
tidak semua mencakup dengan yang ada diteori klinis dari halusinasi (Elvira,
2020). Akan tetapi terdapat faktor predisposisi maupun presipitasi yang
menyebabkan kekambuhan penyakit yang dialami oleh Tn.S. Tindakan
keperawatan terapi generalis yang dilakukan pada Tn.S adalah strategi
pertemuan pertama sampai pertemuan empat. Strategi pertemuan pertama
meliputi mengidentifikasi isi, frekuensi, jenis, dan respon klien terhadap
halusinasi serta melatih cara menghardik halusinasi. Strategi pertemuan
kedua yang dilakukan pada Tn.S meliputi melatih cara mengedalikan
halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Strategi pertemuan
yang ketiga adalah menyusun jadwal kegiatan bersama-sama dengan klien.
Strategi pertemuan keempat adalah mengajarkan dan melatihTn.S cara
minum obat yang teratur.
28
diaplikasikan kepada klien salama 4 hari. Intervensi inovasi dapat dilakukan
sesuai SOP yang telah dibuat sedangkan untuk intervensi keperawatan pada
masalah keperawatan harga diri rendah kronik hanya dapat
diimplementasikan kepada klien selama 2 hari karena penulis harus terus
menerus mengulang tindakan keperawatan intervensi SP gangguan sensori
persepsi: halusinasi dan intervensi inovasi terapi penerimaan dan komitment
(acceptance and commitment therapy) agar klien lebih memahami dan lebih
bisa mengaplikasikan intervensi tersebut apabila klien mengalami halusinasi
(Avidha, & Fitriani 2018).
3.4 Evaluasi:
Tinjauan teoritis evaluasi yang diharapkan adalah sebagai berikut: pasien
mempercayai perawat sebagai terapis, pasien menyadari bahwa yang
mereka alami tidak ada
objeknya, dapat menemukan halusinasi dan mengontrolnya dengan
mengahardik, berbicara, beraktivitas, dan menggunakan obat secara teratur.
Tinjauan kasus evaluasi menunjukkan bahwa klien mampu mengendalikan
dan mengidentifikasi halusinasi, mampu berkomunikasi dengan orang lain,
mampu mengikuti jadwal yang dibuat bersama, dan memahami penggunaan
obat yang benar. Selain itu, dapat dilihat dari setiap evaluasi asuhan
keperawatan bahwa Tn. S mengalami penurunan gejala setiap hari selama
proses interaksi.
3.5 Implementasi
Pada tahap implementasi, penulis hanya menangani satu masalah
keperawatan, yaitu diagnosa keperawatan utama—halusinasi pendengaran.
Untuk diagnosa gangguan persepsi sensori halusinasi, strategi keperawatan
digunakan.
mengidentifikasi isi, frekuensi, waktu, perasaan, dan respons halusinasi.
Kemudian ada beberapa strategi pertemuan yang digunakan: menghardik
untuk mengontrol halusinasi, minum obat secara teratur, memberi saran
minum obat, dan melatih klien melakukan semua kegiatan yang
direncanakan. Karena klien kooperatif, mampu mengingat, dan
mempraktikkan dengan baik, penulis menemukan bahwa hampir tidak ada
hambatan dalam melakukan tindakan dari SP-1 hingga SP-4.
3.6 Kesimpulan:
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Selama proses pengkajian, perawat menggunakan komunikasi terapeutik
dan membangun hubungan saling percaya antara mereka dan pasien
mereka. Klien Tn. S. mengalami gejala halusinasi seperti mendengar suara-
suara, gelisah, sulit tidur, tampak tegang, mondarmandir, tidak dapat
mempertahankan kontak mata, sedih, malu, putus asa, menarik diri, marah,
dan lainnya. Faktor risiko pada Tn. S adalah riwayat gangguan jiwa
29
sebelumnya. 2. Diagnosa keperawatan yang diberikan pada kasus Tn. S
adalah halusinasi pendengaran, harga diri rendah, isolasi sosial, dan regimen
teraupetik yang tidak efektif.
Namun, dalam implementasi, penulis berkonsentrasi pada masalah utama—
halusinasi pendengaran.
3. Strategi pertemuan untuk pasien dengan halusinasi pendengaran dan
isolasi sosial disesuaikan dalam perencanaan dan pelaksanaan keperawatan.
4. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kemampuan klien dengan halusinasi
pendengaran telah meningkat, dan perencanaan dan pelaksanaan
keperawatan telah disesuaikan dengan pendekatan ini.
mengontrol halusinasi yang dialami dan berdampak pada pengurangan gejala
halusinasi pendengaran.
3.7 Saran
1. Bagi Perawat Diharapkan dapat menerapkan komunikasi terapeutik dalam
pelaksanaan strategi pertemuan 1-4 pada klien dengan halusinasi sehingga
dapat mempercepat proses pemulihan klien.
2. Bagi Pasien Laporan ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi
pendengaran.
30
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendekatan ilmiah menghendaki bahwa gagasan dan ide
disampaikan secara jelas, tepat, dapat diuji, dan dapat diulang.
Berbagai teori ilmiah memberikan penjelasan terhadap data yang
diamati, yang dapat diuji, dan juga membantu penelitian dengan
menyarankan studi tambahan yang diperlukan.
Studi kasus, epidemiologi, studi korelasional, dan berbagai jenis
eksperimen adalah metode penelitian ilmiah yang paling umum
digunakan untuk menyelidiki perilaku abnormal. Dalam psikopatologi,
studi kasus klinis sangat penting. Metode ini digunakan untuk
memberikan penjelasan mendalam tentang fenomena yang tidak
biasa atau langka, serta teknik dan prosedur baru. Ini juga digunakan
untuk membuat hipotesis yang dapat diuji dengan penelitian
terkendali. Namun, data studi kasus mungkin tidak akurat dan tidak
banyak tidak sah, dan tidak memiliki signifikansi dalam menunjukkan
bukti yang mendukung suatu gagasan. Penelitian epidemiologis
mengumpulkan data tentang prevalensi, insiden, dan faktor risiko
yang meningkatkan kemungkinan terkena gangguan dalam populasi.
Karena diagnosis merupakan variabel klasifikatori dan bukan
variabel eksperimen yang dimanipulasi, metode korelasional sangat
penting untuk penelitian tentang penyebab perilaku abnormal. Metode
statistik yang digunakan dalam studi korelasional memungkinkan kita
untuk mengetahui seberapa banyak dua atau lebih variabel
berkorelasi atau berubah satu sama lain. Walaupun ada keinginan
besar untuk melakukan studi korelasional, sebagian besar hasilnya
tidak dapat diinterpretasi secara sah dalam hal hubungan sebab
akibat. Kesusahan tersebut berasal dari masalah direksionalitas dan
variabel ketiga.
Metode eksperimen melibatkan perubahan variabel bebas dan
evaluasi menyeluruh dampak variabel tergantung. Eksperimen dimulai
dengan pengujian hipotesis. Peserta biasanya dimasukkan secara
acak ke dalam salah satu dari dua kelompok: kelompok eksperimental
yang melakukan manipulasi variabel bebas dan kelompok kontrol
yang tidak melakukannya. Para peneliti dapat menyimpulkan bahwa
variabel bebas memberikan pengaruh jika perbedaan antara
kelompok eksperimental dan kelompok kontrol ditemukan pada
variabel tergantung selama semua kondisi yang diperlukan dipenuhi.
Sebuah eksperimen memiliki validitas internal hanya jika efeknya
dapat diatribusikan dengan yakin pada perubahan variabel bebas.
31
Dalam penelitian psikoterapi, kelompok kontrol placebo sering
digunakan. Pasien dalam kelompok ini menerima dukungan dan
dorongan, tetapi bukan dalam bentuk yang diharapkan sebagai subjek
terapi.
Hanya dengan melakukan eksperimen yang sama dalam bidang
aktual yang diminati, situasi dan individu yang tidak diteliti dalam
eksperimen dapat diukur.
32
Daftar Pustaka
Davison, G. C., Fajar, N., Kring, A. M., & Neale, J. M. (2018). Psikologi
Abnormal
(N. Fajar (ed.); 5th ed.). Raja Grafindo Persada.
Elvira, H, P. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. H Dengan
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran Di Ruang Kampar
Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi Riau. Poltekkes Kemenkes Riau.
http://Repository.Pkr.Ac.Id/Id/Eprint/464
Pardede Jek Amidos, dkk, (2022). Penerapan Terapi Generalis (SP 1-4)
Pada Penderita Skizofrenia Dengan Masalah Halusinasi Di Ruang Sibual-
buali: Studi Kasus. Universitas Sari Mutiara Indonesia.
33