Anda di halaman 1dari 216

UNIVERSITAS INDONESIA

ADVOKASI SATUAN TUGAS BURUH MIGRAN ASEAN


(TASK FORCE ON ASEAN MIGRANT WORKERS) TERHADAP
ASEAN DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK BURUH
MIGRAN (2007-2010)

TESIS

AGUNG SETIYO WIBOWO


1306347673

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM PASCASARJANA
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN IINTERNASIONAL
DEPOK
JUNI 2015

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


UNIVERSITAS INDONESIA

ADVOKASI SATUAN TUGAS BURUH MIGRAN ASEAN


(TASK FORCE ON ASEAN MIGRANT WORKERS) TERHADAP
ASEAN DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK BURUH
MIGRAN (2007-2010)

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada program studi Ilmu Hubungan Internasional

AGUNG SETIYO WIBOWO


1306347673

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM PASCASARJANA
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN IINTERNASIONAL
DEPOK
JUNI 2015

ii

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


iii

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


iv

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat
menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Sains jurusan Ilmu Hubungan
Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
penulisan tesis ini tidak akan diselesaikan tepat waktu dengan mudah. Oleh karena
itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dra. Ani W. Soetjipto, MA selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya dengan tulus dalam penyusunan
tesis ini;
2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia yang telah mendukung biaya pendidikan S2
melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Calon
Dosen;
3. Bapak Mansur, Ibu Siti Fatimah, kakak, adik, dan segenap anggota keluarga
yang telah memberikan dukungan material maupun moral;
4. Bapak Theodore Permadi Rachmat yang membuat penulis dapat ‘mencicipi’
pendidikan S1 melalui Paramadina Fellowship
5. Keluarga besar SWA Media Group dan AndrewTani & Co. yang telah
mencurahkan dukungan luar biasa selama penulis belajar di Universitas
Indonesia;
6. Segenap mahasiswa S2 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia
lintas angkatan yang menjadi teman terbaik untuk bertukar pikiran mengenai
urusan personal maupun professional. Khususnya kepada Puji Nugroho,
Elbram Apriyanto, Arie Raditya, Andrea Prisca, Ni Luh Bayu Purwa Eka
Payani, Muhammad Ikbal, Desak Putu Sinta Suryani, Aprianisah Fitri,
Rachmayani, dan Puti Parameswari.
7. Keluarga besar POMOSDA, Kompas Gramedia, Anakkampus.org,
Universitas Paramadina, ASEAN Secretariat, Partnership for Governance

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


8. Reform (Kemitraan), dan Schlumberger yang menjadi mitra penulis untuk
menempa diri di dunia kerja;
9. Keluarga besar Young Leaders for Indonesia (YLI) –McKinsey & Company
yang menjadi motivasi dan inspirasi tiada henti untuk terus berprestasi;
10. Rekan-rekan Kampusgw.com, Paramadina Fellowship (PF), Beswan BPP-
DN Calon Dosen 2013, Sekolah Politik Kerakyatan KIBAR, Parmagz,
HIMAHI Paramadina, Young on Top Campus Ambassador, Ikatan Duta
Budaya dan Pariwisata Indonesia (IDBUDPARINDO), Ikatan Raka Raki Jawa
Timur (IRARI) dan KSP POMOSDA yang membantu perjalanan penulis
dalam mengenali diri sendiri dan bersosial;
11. Dan segenap institusi dan sahabat yang turut andil dalam mewarnai kehidupan
penulis.

Akhir kata, semoga sumbangan pemikiran dalam tesis yang tak seberapa ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia
tercinta.

Depok, 26 Juni 2015

Agung Setiyo Wibowo

vi

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


vii

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


ABSTRAK

Nama : Agung Setiyo Wibowo


Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Judul : Advokasi Task Force on ASEAN Migrant Workers (TF-AMW)
Terhadap ASEAN dalam Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran
(2007-2010)

Tesis ini membahas mengenai advokasi Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN
(TF-AMW) terhadap ASEAN dalam perlindungan hak-hak buruh migran periode
2007-2010. TF-AMW merupakan suatu jejaring masyarakat sipil yang berupaya
menekan ASEAN sebagai organisasi regional guna mengadopsi instrumen yang
dibuatnya agar seluruh negara di Asia Tenggara meratifikasi standar internasional
dalam perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran. Dengan metode
kualitatif, penelitian ini berupaya menganalisis bagaimana jejaring TF-AMW
terbentuk, bagaimana strategi advokasi yang diterapkan untuk mengadvokasi
ASEAN, dan bagaimana hasil dari advokasi tersebut. Penelitian ini menarik
kesimpulan bahwa belum berhasilnya advokasi TF-AMW dipicu oleh terbatasnya
ruang politik dari ASEAN kepada kelompok masyarakat sipil, dominannya
norma-norma ASEAN Way yang sebenarnya mencerminkan bagaimana organisasi
ini memandang hak-hak buruh migran sebagai isu HAM, dan tidak adanya
momentum politik.

Kata Kunci: Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN, hak-hak buruh migran,
ASEAN, jejaring advokasi masyarakat sipil

viii
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


ABSTRACT

Name : Agung Setiyo Wibowo


Study Program: International Relations
Title : The Advocacy of Task Force on ASEAN Migrant Workers
(TF-AMW) to ASEAN in Protection of the Rights of Migrant
Workers (2007-2010)

This thesis discusses the advocacy of Task Force on ASEAN Migrant


Workers (TF-AMW) to ASEAN in protecting the rights of migrant workers from
2007 to 2010. TF-AMW is a civil society network which pushes ASEAN, as a
regional organization, to adopt its instrument so that all Southeast Asian countries
ratify the international standard of protection and promotion the rights of migrant
workers. Applying the qualitative method, this research aims at analyzing the
network of TF-AMW is formed, its strategies of advocacy to ASEAN, and the
result of the advocacy. This research concludes that TF-AMW’s advocacy has not
yet succeeded due to lack of political space from ASEAN to civil
society group, the dominance of ASEAN Way norms which actually reflect the
regional organization views toward the rights of migrant workers as part of human
rights issue, and absence of political momentum.

Keywords: Task Force on ASEAN Migrant Workers, the rights of migrant


workers, ASEAN, civil society advocacy network

ix
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS………………………………...iii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………....iv
KATA PENGANTAR………………………………………………………….....v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………………..vii
ABSTRAK………………………………………………………………………viii
ABSTRACT………………………………………………………………………ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………………....x
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………...xii
DAFTAR TABEL………………………………………………………………..xv

1. PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………….9
1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian…………………………………...9
1.3.1 Tujuan Penelitian……………………………………………...9
1.3.2 Signifikansi Penelitian……………………………………….10
1.4 Tinjauan Pustaka…………………………………………………...10
1.4.1 Peran Aktor Non-Negara di ASEAN………………………..10
1.4.2 Tata Kelola Pemerintahan Regional dalam Perlindungan Buruh
Migran……………………………………………………….14
1.4.3 Jejaring Advokasi Masyarakat Sipil dalam Pembangunan
Mekanisme HAM ASEAN…………………………………..16
1.4.4 Jejaring Advokasi Masyarakat Sipil dalam Perlindungan Hak-
Hak Masyarakat Adat ASEAN………………………………19
1.4.5 Lemahnya Daya Tawar Masyarakat Sipil dalam Pembangunan
Masyarakat ASEAN yang Pro-HAM………………………..22
1.5 Kerangka Pemikiran…………………………………………………27
1.5.1 Teori Konstruktivisme……………………………………….27
1.5.2 Konsep Jejaring Advokasi Transnasional…………………...30
1.5.3 Konsep Hak Asasi Manusia………………………………….36
1.6 Model Penelitian…………………………………………………….37
1.7 Metodologi Penelitian……………………………………………….37
1.8 Asumsi Penelitian dan Hipotesis Penelitian…………………………39
1.8.1 Asumsi Penelitian……………………………………………39
1.8.2 Hipotesis Penelitian………………………………………….40
1.9 Sistematika Penulisan………………………………………………..40

2. DINAMIKA ISU BURUH MIGRAN DI ASIA TENGGARA………...42


2.1 Pola dan Karakteristik Migrasi di Asia Tenggara…………………...44
2.2 Tren Arus Migrasi di Asia Tenggara………………………………...50
2.3 Tata Kelola Migrasi di Asia Tenggara………………………………54
2.4 Pelanggaran Hak-hak Buruh Migran di Asia Tenggara……………..62
x
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


2.4.1 Studi Kasus Negara Pengirim Buruh Migran: Indonesia dan
Filipina……………………………………………………….62
2.4.2 Studi Kasus Negara Penerima Buruh Migran: Thailand,
Malaysia dan Singapura……………………………………..67

3. ADVOKASI SATUAN TUGAS BURUH MIGRAN ASEAN


TERHADAP ASEAN UNTUK MENGADOPSI INSTRUMEN
PERLINDUNGAN DAN PEMAJUAN HAK-HAK BURUH
MIGRAN…………………………………….……………………………78
3. 1 SAPA Sebagai Arena Transnasional………………………………...79
3. 2 Hubungan Antara SAPA, FORUM-ASIA, dan Satuan Tugas Buruh
Migran ASEAN……………………………………..……………….87
3. 3 Sejarah Pembentukan Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN dan
Rekomendasinya dalam Pembuatan Instrumen Perlindungan dan
Pemajuan Hak-hak Buruh Migran…………………………………...89
3. 4 Strategi Advokasi Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN terhadap
ASEAN untuk Mengadopsi Instrumen Perlindungan dan Pemajuan
Hak-hak BuruhMigran……………………………………..……....100
3.4.1 Menggelar Musyawarah Organisasi Masyarakat Sipil-Serikat
Pekerja dengan Para Pemangku Kepentingan……..…….....102
3.4.2 Meluncurkan Buku “Proposal Masyarakat Sipil: Kerangka
Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-
Hak Buruh Migran” ……..……...……..……...……..……..113
3.4.3 Memanfaatkan Forum Masyarakat Sipil Transnasional……115
3.4.4 Merangkul Sekretariat ASEAN……..……...……..……......124

4. FAKTOR-FAKTOR BELUM BERHASILNYA ADVOKASI SATUAN


TUGAS BURUH MIGRAN ASEAN TERHADAP ASEAN DALAM
PERLINDUNGAN HAK-HAK BURUH MIGRAN…………………..130
4.1 Kuatnya Pengaruh ASEAN Way pada Proses Perumusan Instrumen
ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak Buruh
Migran…………………...……..……......……..……...……..…….130
4.2 Lemahnya Posisi Kelompok Masyarakat Sipil dalam Tata Kelola
Buruh Migran ASEAN……..……...……..……......……..…….......143
4.3 Tidak Adanya Momentum Politik yang Mendukung Advokasi Satuan
Tugas Buruh Migran ASEAN..……...……..……......……..……....150
4.4 Minimnya Mobilisasi Sumber Daya dalam Advokasi Satuan Tugas
Buruh Migran ASEAN..……...……..……......……..……...............154

5. PENUTUP……………………………………………………………….159
5. 1. Kesimpulan..……...……..……......……..…….... ..……...……..….159
5. 2. Keterbatasan Penelitian..……...……..……......……..…….... ..…...161
5. 3. Saran..……...……..……......……..…….... ..……...……..………...162

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….....163
LAMPIRAN………………………………………………………....................174

xi
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


DAFTAR SINGKATAN

ACSC ASEAN Civil Society Conference


ACMW ASEAN Committee on the Implementation of the ASEAN
Declaration on the Protection and Promotion of the Rights
of Migrant Workers
ACWC ASEAN Commission on the Promotion and Protection of
the Rights of Women and Children
ADB Asian Development Bank
AFAS ASEAN Framework Agreement on Services
AFF ASEAN Football Federation
AFHF ASEAN Federation of Heart Foundation
AFMA ASEAN Federation of Mining Association
AFML ASEAN Forum on Migrant Labour
AHPADA ASEAN Handicraft Promotion and Development
Association
AHRC Asian Human Rights Commission
AICHR ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights
AIMW ASEAN Instrument on the Protection & Promotion of the
Rights of Migrant Workers
AIPP Asia Indigenous People Pact
ALIRAN Aliran Kesedaran Negara
ALMM ASEAN Labour Ministers Meeting
AMC Asian Migrant Centre
AMM ASEAN Ministerial Meeting
ANNI Asian NGO Network on Human Rights Institution
APA ASEAN’s People Assembly
APEC Asia-Pacific Economic Cooperation
APHR ASEAN Parliamentarian for Human Rights
APF ASEAN People’s Forum
APLWD Asia Pacific Forum on Women, Law and Development
APWSL Asian Pacific Workers Solidarity Links
AS Amerika Serikat
ASCC ASEAN Socio-Cultural Community
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
ASEAN-ISIS ASEAN-Institutes of Strategic and International Studies
ASEM Asia-Europe Meeting
ASETUC ASEAN Service Employee’s Trade Union Council
AsiaDHRRA Asian Partnership for the Development of Human
Resources in Rural Asia
BIMP-EAGA Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East
ASEAN Growth Area
BNP2TKI Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia
BWC Batam Workers Centre
CARAM Coordination of Action Research on AIDS and Mobility
xii
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


CAYC Committee for ASEAN Youth Cooperation
CEDAW Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women
CHR Commission on Human Rights
CIDA Canadian International Development Agency
CIMW Center for Indonesian Migrant Workers
CPR Committee Permanent Representatives
CRC Convention on the Rights of the Child
DUHAM Deklarasi Universal HAM
EFMA Employment of Foreign Manpower Act
FES Fredrich Ebert Stiftung
FOMEMA Foreign Workers’ Medical Examination Monitoring
Agency
FPIC Free, Prior and Informed Consent
GDG Gender and Development Group
GDP Gross Domestic Product
GMS Greater Mekong Subregion
GUF Global Union Federations
HAM Hak Asasi Manusia
HIV/AIDS Human immunodeficiency virus infection and acquired
immune deficiency syndrome
HOME Humanitarian Organization for Migration Economics
HPA Hanoi Plan of Action
HRWG Human Rights Working Group
IAI Initiative for ASEAN Integration
ILO International Labour Organization
IOM International Organization for Migration
IPTF Indigenous Peoples Task Force on ASEAN
KOMNASHAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
KONTRAS Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
KOPBUMI Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
LFTU Lao Federation of Trade Union
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
LUKI Lembaga Uji Kompetensi Independen
LYU Laos Youth Union
MAP Migrant Assistance Program
MFA Migrant Forum in Asia
MMN Mekong Migration Network
MNP Movement of Natural Person
M-TAG Migrant Technical Assistance Group
MWG Migrant Working Group
NGO Non Governmental Organization
OHCHR Office of the High Commissioner on Human Rights
Ormas Organisasi Kemasyarakatan
Ornop Organisasi Non-Pemerintah
OWWA Overseas Workers Welfare Administration
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
xiii
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


PJTKI Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia
PKB Perjanjian Kerja Bersama
POEA Philippine Overseas Employment Administration
RA Republic Act
RSC Regional Steering Committee
RI Republik Indonesia
SAARC South Asian Association for Regional Cooperation
SAPA Solidarity for Asian People’s Advocacy
SBSI Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
SBMI Serikat Buruh Migran Indonesia
SEACA Southeast Asian Committee for Advocacy
SEARCH Southeast Asia Regional Cooperation in Human
Development
SLOM Senior Labor Officials Meeting
SUARAM Suara Rakyat Malaysia
SUHAKAM Suruhanjaya Hak Asasi Manusia
TAC Treaty of Amity and Cooperation
TFDP Task Force Detainees of the Philippines
TF-AHR Task Force on ASEAN and Human Rights
TF-AMW Task Force on ASEAN Migrant Workers
TWC2 Transient Workers Count Too
TWN Third World Network
UN United Nations
UNDRIP UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
UNI-APRO Union Network International Asia-Pacific Regional
Organization
UNIAP United Nations Inter-Agency Project on Human Trafficking
UNIFEM United Nations Development Fund for Women
VAP Vientiane Action Programme

xiv
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Migrasi Intra-ASEAN Dari Masa Ke Masa………46


Tabel 2.2 Jumlah Pekerja Migran di Asia Tenggara Berdasarkan Negara Asal
dan Tujuan…………………………………..……………………50
Tabel 2.3 Beberapa Perjanjian Bilateral Intra-ASEAN Tentang Migrasi
Pekerja…………………………………..………………………..56
Tabel 2.4 Ratifikasi Konvensi mengenai Pekerja Migran di ASEAN……...59
Tabel 3.1 Komitmen Organisasi Pemrakarsa TF-AMW……………………91
Tabel 3.2 Parameter Kondisi Kerja yang Adil dan Layak Bagi Buruh
Migran…………………………………..………………………..96

xv
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan


Globalisasi ekonomi merupakan pendorong pesatnya laju migrasi di
seluruh penjuru dunia baik secara legal maupun illegal. Dalam lima dekade
terakhir, jumlah orang-orang yang bekerja di luar negara asal meningkat hampir
tiga kali lipat yaitu dari 75 juta pada tahun 1960 menjadi 214 juta pada tahun 2010
atau sebanding dengan 3,1 persen populasi dunia. 1 Dengan jumlah sebesar itu,
jika dikumpulkan setara dengan negara berpenduduk terbesar kelima dunia.
Secara umum, konsentrasi terbesar buruh migran masih berpusat di negara-negara
berpendapatan tinggi seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Singapura dan Saudi
Arabia. 2
Asia Tenggara merupakan salah satu simpul migrasi paling penting di
dunia di mana terjadi perpindahan penduduk karena dorongan pekerjaan ke dalam
dan di luar kawasan. Setiap tahunnya Filipina saja mengirimkan ratusan ribu
tenaga kerja terampil dan terdidik ke Asia Timur dan Timur Tengah. Jutaan buruh
migran Indonesia sebagian besar tersebar di Malaysia, Saudi Arabia, Hongkong,
Singapura dan Taiwan. Orang-orang Vietnam menyebar di pusat-pusat
manufaktur di Malaysia, Korea Selatan dan Taiwan. Adapun Thailand menjadi
negara tujuan para tenaga kerja yang datang dari Kamboja, Laos dan Myanmar. 3
Pada tahun 2005 diperkirakan 13,5 juta buruh migran global berasal dari
Asia Tenggara dengan sekitar 40 persen atau 5,3 juta di antaranya bekerja di
sesama negara anggota ASEAN. Aliran ini berkontribusi terhadap remitansi
sejumlah 39,55 miliar Juta Dolar AS. Pada tahun 2008 buruh migran memenuhi
30 persen dari lapangan pekerjaan di Singapura, 20 persen di Malaysia, dan

1
Asia Pacific Forum of National Human Rights Institutions, Promoting and Protecting the Rights
of Migrant Workers: The Role of National Human Rights Institutions, (Sydney: Asia Pacific
Forum of National Human Rights Institutions, 2010), hlm. viii.
2
Square Eye, “Welcoming the stranger - migrant workers in a globalised economy”, dalam
http://clients.squareeye.net/uploads/anglican/documents/AnglicanAlliance_Migrants_20130830.pd
f (diakses pada 17 September 2014 pukul 07.31 WIB).
3
Philippine Institute for Development Studies, “Different Streams, Different Needs and Different
Impacts: Managing International Labor Migration in ASEAN”, Policy Brief No. 05 (Makati City:
Philippine Institute for Development Studies, 2012), hlm. 1-3.
1
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


2

diperkirakan lebih tinggi prosentasenya di Brunei Darussalam. Sebagian besar


buruh migran di Asia Tenggara bekerja di sektor informal, rawan dalam
perdagangan manusia, banyak yang tidak berdokumen, berketerampilan rendah,
dan mayoritas merupakan perempuan. 4
Kecuali Brunei Darussalam dan Singapura, seluruh negara anggota
ASEAN merupakan negara pengirim buruh migran. Malaysia dan Thailand berada
dalam posisi yang unik karena merupakan negara pengirim sekaligus penerima
buruh migran. Adapun Filipina, Indonesia, Vietnam, dan Myanmar merupakan
negara pengirim buruh migran ke sesama negara Asia Tenggara maupun ke
negara-negara di luar ASEAN. Belakangan ini Kamboja dan Laos juga menjadi
negara pengirim buruh migran, khususnya ke Thailand. 5
Di luar faktor ekonomi, di beberapa negara ASEAN migrasi juga didorong
oleh faktor politik. Misalnya, imigran permanen dari Kamboja dan Laos tidak
sedikit yang merupakan para pengungsi yang melarikan diri dari negara-negara
pasca-konflik seperti Vietnam dan Myanmar. Ketika imigran telah menetap di
negara tujuan, mereka enggan untuk kembali ke negara asal walaupun situasi
politik dan keamanan telah membaik. 6 Sebagian besar buruh migran Asia
Tenggara merupakan pekerja tidak terampil dan tidak berpendidikan tinggi yang
bertumpu ke dalam tiga sektor utama yaitu pembantu rumah tangga, konstruksi
bangunan, serta perkebunan, perikanan maupun kehutanan.
Buruh migran di seluruh penjuru dunia – termasuk Asia Tenggara –
menghadapi dua permasalahan utama. Pertama, terkait dengan pembayaran yaitu
tidak dibayar, dibayar di bawah standar yang ditetapkan, dan pengurangan upah
yang tidak sah. Kedua, terkait dengan kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan
kerja yang berhubungan dengan akomodasi, jam kerja yang panjang dan bahaya di
tempat kerja. 7

4
UN Women Asia Pacific Regional Office, Managing Labor Migration in ASEAN: Concerns for
Women Migrant Workers, (Bangkok: UN Women Asia Pacific Regional Office, 2013), hlm. 11-
16.
5
Ibid.
6
Gloria O. Pasadilla, “Social Security and Labor Migration in ASEAN, Research Policy Brief 34,
(Tokyo: Asian Development Bank Institute, 2011), hlm.8.
7
Nicola Piper, “Governance of Migration and Transnationalisation of Migrants’ Rights: An
Organisational Perspective”, COMCAD Arbeitspapiere - Working Papers No. 22, (Bielefeld:
Center on Migration, Citizenship and Development; 2007), hlm. 6-7.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


3

Untuk mewujudkan integrasi kawasan yang berorientasi rakyat, perlu


adanya peran dari masyarakat sipil. Hal tersebut penting dalam pembangunan
Masyarakat ASEAN 2015 mengingat sejak berdiri ASEAN dikenal sebagai
organisasi yang hanya didominasi oleh elit negara (state-centric) 8 sehingga
keberadaannya kurang menyerap aspirasi dari rakyatnya. Dalam konteks buruh
migran, peran masyarakat sipil sangat diperlukan untuk menjadi penyeimbang
kepentingan antar pemerintah sehingga tercipta suatu rezim yang benar-benar
mengakomodasi masyarakat.
Migrasi antar negara-negara ASEAN dipandang penting dalam konteks
integrasi regional, harmonisasi institusional, konektivitas infrastruktur, informasi
pasar kerja dan komersialisasi. Mengingat karakteristik umum migrasi di Asia
Tenggara ialah feminisasi migrasi buruh, meningkatnya migrasi tidak reguler dan
tanpa dokumen, dan eksploitasi buruh; mekanisme perlindungan buruh migran
baik yang legal maupun illegal perlu dikembangkan baik di tingkat nasional
maupun regional. ASEAN sebagai organisasi kawasan mulai telah mengakui
pentingnya migrasi buruh yang ditunjukkan dengan lahirnya Deklarasi Cebu.
Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN mengakomodasi aliran bebas buruh
migran terampil, sedangkan Cetak Biru Masyarakat Sosial Budaya ASEAN
menganjurkan perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran.
Pada kenyataannya, selama ini beragam pelanggaran terhadap hak-hak
buruh migran di Asia Tenggara masih diselesaikan secara bilateral atau sesuai
dengan kebijakan nasional masing-masing. Oleh karena itu, perlindungan dan
pemajuan hak-hak buruh migran masih sangat lemah. Salah satu faktor terpenting
dari fenomena tersebut ialah enggannya kemauan politik negara pengirim maupun
negara penerima buruh migran untuk meratifikasi Standar Dasar Perburuhan yaitu
Declaration on the Fundamental Principles and Rights at Work. 9 Deklarasi yang
dikeluarkan oleh Organisasi Buruh Dunia (ILO) ini memiliki empat pilar dasar
yaitu 1) kebebasan berserikat dan pengakuan secara efektif terhadap hak untuk
berunding bersama, 2) penghapusan segala bentuk kerja paksa, 3) penghapusan

8
Anak Agung Banyu Perwita, “ASEAN Charter and a more people-centric grouping”, The Jakarta
Post, July 15 2008.
9
International Labour Organization, “ILO Declaration on the Fundamental Principles and Rights
at Work”, dalam http://www.ilo.org/ declaration/lang--en/index.htm (diakses pada 22 Februari
2015 pukul 11.01 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


4

kerja anak secara efektif, dan 4) penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan
jabatan. Deklarasi tersebut mewajibkan setiap negara untuk memenuhi 8
Konvensi Dasar Perburuhan ILO: 10 1) Konvensi No. 87/1948 Tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama,
2), Konvensi No. 98/1949 Tentang Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding
Bersama, 3) Konvensi No. 29/1930 Tentang Kerja Paksa, 4) Konvensi No.
105/1957 Tentang Penghapusan Kerja Paksa, 5) Konvensi No. 138/1973 Tentang
Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, 6) Konvensi No. 182/1999
Tentang Dampak Pekerjaan Buruk Bagi Para Pekerja Anak, 7) Konvensi No.
100/1951 Tentang Upah Yang Sama Untuk Pekerjaan Yang Sama, dan 8)
Konvensi No. 111/1958 Tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan.
Sampai tahun 2014, negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung
dalam ASEAN belum sepenuhnya meratifikasi 8 Konvensi Dasar Perburuhan ILO
dengan rincian sebagai berikut: 11
1. Indonesia: telah meratifikasi 8 konvensi
2. Filipina: telah meratifikasi 8 konvensi
3. Kamboja: telah meratifikasi 8 konvensi
4. Singapura: baru meratifikasi 5 konvensi yaitu No. 98, 29, 138, 182, dan
100
5. Malaysia: baru meratifikasi 5 konvensi yaitu No. 98, 29, 138, 182, dan 100
6. Thailand: baru meratifikasi 5 konvensi yaitu No. 29, 105, 138, 182, dan
100
7. Vietnam: baru meratifikasi 5 konvensi yaitu No. 29, 138, 182, 100 dan 111
8. Laos: baru meratifikasi 3 konvensi yaitu No. 29, 138 dan 182
9. Myanmar: baru meratifikasi 2 konvensi yaitu No. 87 dan 29
10. Brunei Darussalam: baru meratifikasi 1 konvensi yaitu No. 182
Selain 8 Konvensi Dasar Perburuhan di atas, terdapat sejumlah konvensi
tambahan yang secara spesifik mengatur tentang buruh migran. Hal tersebut
tercantum jelas dalam International Convention on the Protection of the Rights of

10
“Standar Internasional Perburuhan”, dalam https://sites.google.com/site/pekerjaanbaik/ berita/
standarinternasionalperburuhan (diakses pada 24 Februari 2015).
11
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “ASEAN must recognize domestic work as ‘work’,”
dalam http://www.workersconnection.org/ articles.php?more=143 (diakses pada 24 Februari 2015
pukul 09.23 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


5

All Migrant Workers and Member of Their Families yang disahkan melalui
Resolusi Majelis Umum PBB 45/158 pada 18 Desember 1990. 12 Konvensi ILO
yang terkait ialah 1) Konvensi mengenai Migrasi untuk Bekerja (No.97), 2)
Konvensi mengenai Migrasi Dalam Keadaan Teraniaya dan Pemajuan
Kesempatan dan Perlakuan bagi Buruh Migran (No.143), dan 3) Konvensi
mengenai Penyalur Tenaga Kerja Swasta (No.181).
Walaupun seluruh negara anggota ASEAN telah menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak serta-merta seluruh negara tersebut
meratifikasi konvensi-konvensi di atas. Hal itu berkaitan dengan kepentingan
masing-masing negara khususnya dalam peningkatan perlindungan,
penghormatan, pemajuan dan pemenuhan HAM, khususnya hak seluruh buruh
migran dan anggota keluarganya. Karena setiap negara yang telah meratifikasi
konvensi tersebut diwajibkan melakukan harmonisasi hukum nasional dan
menyampaikan laporan implementasinya kepada Komite Perlindungan Hak-Hak
Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Sejauh ini hanya Filipina,
Indonesia dan Kamboja yang telah meratifikasi International Convention on the
Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families.
Bahkan, untuk Convention 189 Decent Work for Domestic Workers baru Filipina
yang telah meratifikasinya.
Sebagai sebuah organisasi regional, ASEAN seharusnya berkomitmen
untuk memajukan keadilan sosial, pekerjaan yang layak, perlindungan sosial dan
pelaksanaan yang efektif dari Standar Perburuhan Internasional – setidaknya
standar minimum – untuk mengatasi ketidakadilan, pelecehan dan eksploitasi
semua pekerja untuk memastikan bahwa kemakmuran dibagi secara adil dengan
semua. Terlebih lagi dengan telah lahirnya Piagam ASEAN, organisasi ini harus
mengakui bahwa buruh migran bukanlah komoditas yang hanya berorientasi
bisnis. Oleh karena itu, harus diciptakan peluang yang adil bagi seluruh warga
Asia Tenggara untuk bekerja dalam kebebasan, keamanan, dan martabat.

12
Office of the High Commissioner for Human Rights, “International Convention on the
Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families”, dalam
http://www2.ohchr.org/english/bodies/cmw/cmw.htm (diakses pada 18 Oktober 2014 pukul 15.56
WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


6

Ketidakseimbangan kekuasaan dalam negosiasi perjanjian bilateral antara


negara pengirim dan penerima sering mengarah pada pelanggaran hak-hak buruh
migran karena kurangnya perlindungan hukum dan ketidaksetaraan. Hak-hak
pekerja migran dilanggar dalam semua tahap siklus migrasi dari pra-
keberangkatan sampai kembali ke negara asal. Sebuah instrumen regional penting
untuk mengatur kesepakatan baru guna menegakkan hak-hak buruh migran,
hukum dan kebijakan yang diselaraskan dengan Standar Buruh Internasional, dan
keadilan sosial yang terjamin untuk semua pekerja dan keluarganya.
Sebagai tindak lanjut Vientiane Action Programme 13 dalam perlindungan
buruh migran, pada pada KTT ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina pada tanggal 13
Januari 2007 ditandatangani ASEAN Declaration on the Protection and
Promotions of the Rights of Migrant Workers atau yang lebih dikenal dengan
Deklarasi Cebu. 14 Pada deklarasi ini, baik negara pengirim maupun negara
penerima buruh migran di ASEAN sepakat untuk mendukung cita-cita
Masyarakat ASEAN 2015 dengan memajukan potensi penuh daan martabat buruh
migran dalam asas kebebasan, kesetaraan, dan stabilitas sesuai dengan undang-
undang, peraturan, dan kebijakan masing-masing negara anggota ASEAN, serta
Deklarasi Universal HAM (DUHAM) 1948 dan beragam instrumen turunannya
yang terkait.
Lahirnya Deklarasi Cebu 2007 mengharuskan ASEAN untuk membuat
instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran di Asia Tenggara.
Mengingat sebuah instrumen ASEAN yang mengikat secara hukum wajib
diterapkan oleh setiap negara anggotanya. Dalam perkembangannya muncul
beragam interpretasi dari diksi “instrumen” dalam Deklarasi Cebu. Dalam
pandangan negara pengirim buruh migran seperti Indonesia, instrumen diartikan

13
Vientiane Action Programme (VAP) ialah penerus Hanoi Plan of Action (HPA) yang
diimplementasikan pada periode 2004-2010, sebagai sebuah instrumen untuk menyatukan dan
menghubungkan strategi maupun tujuan dari tiga pilar Masyarakat ASEAN 2015 yaitu politik-
keamanan, sosial-budaya, dan ekonomi. VAP merupakan sebuah kendaraan untuk membangun
masyarakat ASEAN melalui integrasi yang komprehensif. Lihat “Chairman’s Statement of the 10th
ASEAN Summit Vientiane, 29 November 2004”, dalam http://www.asean.org/news/item/chairman-s-
statement-of-the-10th-asean-summit-vientiane-29-november-2004 (diakses pada 8 Maret 2015 pukul 10.13 WIB).
14
“ASEAN Declaration on the Protection and Promotions of the Rights of Migrant Workers”,
dalam http://www.asean.org/communities/asean-political-security-community/item/asean-
declaration-on-the-protection-and-promotion-of-the-rights-of-migrant-workers-3 (diakses pada 8
Maret 2015 pukul 11.50 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


7

sebagai sebuah “perjanjian internasional.” Sedangkan dalam pandangan negara-


negara penerima buruh migran ia diartikan tidak lebih dari sebuah “panduan”
yang secara hukum tidak mengikat. 15
Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN (Task Force on ASEAN Migrant
Workers) atau yang dikenal dengan TF-AMW merupakan salah satu jejaring yang
paling gigih mengadvokasi perlindungan buruh migran di ASEAN. Jejaring yang
juga bagian dari jejaring Solidarity for Asian People’s Advocacy (SAPA) sejak
tahun 2006 ini senantiasa memantau perkembangan kebijakan ASEAN dalam
buruh migran, mengkritisi, mengambil langkah-langkah untuk mempengaruhi
ataupun mengubah kebijakan dengan mempromosikan ide-ide yang berpihak
kepada masyarakat sipil. 16
Di satu sisi, TF-AMW mengadvokasi pembangunan peraturan maupun
kebijakan migran regional dengan standar internasional yaitu ILO. Di sisi yang
lain, mendesak ASEAN untuk memiliki instrumen sendiri untuk perlindungan
buruh migran. Sejak awal didirikan, TF-AMW mempengaruhi ASEAN untuk
memandang migran bukan sebagai masalah, akan tetapi sebagai korban dan
kelompok yang rentan dengan beragam pelanggaran dan eksploitasi. Jejaring ini
juga mendesak ASEAN untuk memandang buruh migran sebagai manusia yang
perlu dilindungi hak-hak dasarnya, bukan hanya komoditas yang mendukung
kepentingan ekonomi. 17
TF-AMW dibentuk untuk memfasilitasi pemajuan, implementasi dan
pemantauan penjabaran dari Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran yang tertulis dalam Viantiane Action
Programme. Salah satu misi utama TF-AMW ialah mendesak ASEAN Committee
on the Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers (ACMW) 18 yang dimandatkan oleh

15
Ben Perkasa Drajat, “An ASEAN Way of Protecting Indonesian Migrant Workers”, The Jakarta
Post, May 3 2012.
16
Dorottya Atol, NGOs As Norm-Constructors: The Human Rights Activism of Asian NGOs and
Their Role in Shaping The Regional Human Rights Discourse (Dissertation, University of Western
Sydney, 2010), hlm.195.
17
Ibid.
18
ACMW dibentuk untuk memastikan efektifitas implementasi komitmen Deklarasi dan
memfasilitasi pembangunan instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak
Buruh Migran. ACMW dibentuk dengan struktur: 1) terdiri dari satu perwakilan senior masing-
masing negara anggota ASEAN dan Sekretariat ASEAN, 2) dibantu oleh satu perwakilan instansi

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


8

ASEAN untuk mengadopsi Kerangka Instrumen ASEAN tentang Perlindungan


dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran yang dibuat oleh TF-AMW. 19
TF-AMW telah menggelar sejumlah musyawarah nasional dan regional
yang menghasilkan proposal berisi 192 rekomendasi sebagai kerangka instrumen.
Proposal tersebut secara resmi disampaikan kepada Sekretariat ASEAN pada 12
Mei 2009 bertepatan dengan Senior Officials Labour Meeting (SLOM) ke-6 di
Vientiane. 20 Beberapa rekomendasi utamanya ialah 1) instrumen secara hukum
harus mengikat seluruh negara ASEAN dan mengkomodasi seluruh buruh migran
tanpa memandang status atau negara asal; 2) instrumen harus mengamanatkan
negara-negara ASEAN untuk menjalankan kebijakan migrasi nasional yang
komprehensif dan koheren yang sejalan dengan prinsip dan standar perburuhan
internasional; 3) instrumen mewajibkan negara-negara anggota ASEAN untuk
menjalankan undang-undang perlindungan buruh migran; dan 4) instrumen harus
berdasarkan prinsip non-diskriminasi dan ditunjang oleh kebijakan, proses dan
praktek yang sensitif gender.
Sayangnya, langkah TF-AMW tidak sebagaimana yang diharapkan.
Dalam ACMW negara-negara anggota ASEAN terpecah menjadi dua kelompok
yaitu pengirim dan penerima buruh migran. Kelompok pengirim terdiri dari enam
negara yaitu Indonesia, Filipina, Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar
sedangkan kelompok penerima buruh migran yakni Malaysia, Singapura,
Thailand dan Brunei Darussalam. Kepentingan, komitmen dan pendekatan kedua
kelompok dalam memandang isu dan masalah buruh migran saling berlawanan
sehingga tidak mudah untuk membuat instrumen yang dapat mengakomodasi
keduanya.

pemerintah yang terkait dari masing-masing negara anggota, 3) melapor kepada Senior Labor
Officials Meeting (SLOM), 4) diketuai oleh perwakilan negara yang memegang kepemimpinan
ASEAN Standing Committee, dan 5) disediakan bantuan kesekretariatan dari Sekretariat ASEAN.
Lihat “Statement of the Establishment of the ASEAN Committee on the Implementation of the
ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers”, dalam
http://www.asean.org/communities/asean-political-security-community/item/statement-of-the-establishment-of-the-asean-
committee-on-the-implementation-of-the-asean-declaration-on-the-protection-and-promotion-of-the-rights-of-migrant-workers
(diakses pada 8 Maret 2015 pukul 11.22 WIB).
19
Civil Society Proposal: ASEAN Framework Instrument on the Protection and Promotion of the
Rights of Migrant Workers, (Singapore: Task Force on ASEAN Migrant Workers, 2009), hlm.117.
20
Ibid., hlm.9.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


9

Pada Senior Labor Official Meeting (SLOM) 2008 di Singapura,


kelompok negara pengirim berharap untuk memasukkan baik buruh migran
berdokumen maupun tidak berdokumen dalam definisi buruh migran. Sebaliknya,
kelompok negara penerima hanya menerima buruh migran yang sah dan
berdokumen. Kelompok negara pengirim berkepentingan untuk membuat
instrumen yang secara hukum mengikat, sedangkan kelompok negara penerima
buruh migran hanya mengharap instrumen sebagai panduan yang secara hukum
tidak mengikat. 21 Karena pertemuan di Singapura tersebut berakhir dengan
kebuntuan, pada Desember 2009 pertemuan lanjutan diwakili oleh empat negara
yaitu Indonesia dan Filipina di kelompok pengirim dan Malaysia dan Thailand di
kelompok penerima buruh migran, yang juga berakhir dengan kebuntuan. 22 Pada
tahun 2010, pertemuan ACMW lanjutan juga kembali menghasilkan kebuntuan
sehingga proses negosiasi kembali ke formasi awal yaitu kesepuluh negara
anggota ASEAN.

1.2 Rumusan Masalah


Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN beranggotakan organisasi
masyarakat sipil di hampir seluruh negara di Asia Tenggara. Jejaring ini telah
menerapkan berbagai strategi advokasi agar Kerangka Instrumen dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran yang dibuatnya diadopsi
oleh ASEAN. Namun, sampai target waktu yang ditentukan, hasil advokasi TF-
AMW belum sesuai yang diharapkan. Mempertimbangkan penjelasan tersebut,
maka rumusan pertanyaan penelitian yaitu: “mengapa advokasi TF-AMW
terhadap ASEAN untuk mengadopsi instrumen perlindungan hak-hak buruh
migran belum berhasil (2007-2010)?

1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah untuk menjelaskan peran aktor non-negara
dalam jaringan advokasi untuk perlindungan hak-hak buruh migran terhadap

21
Ben Perkasa Drajat, op.cit.
22
Tess Bacalla, “ASEAN locks horns on migrant workers’ right”, dalam http://verafiles.org/asean-
locks-horns-on-migrant-workers-rights/ (diakses pada 17 November 2014).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


10

institusi regional yaitu ASEAN. Aktor non-negara yang dimaksud ialah Satuan
Tugas Buruh Migran ASEAN (Task Force on ASEAN Migrant Workers) yang
menggunakan kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memperjuangkan hak-
hak buruh migran. Aktor ini menekan ASEAN sebagai organisasi regional untuk
mengadopsi instrumen perlindungan hak-hak buruh migran yang telah dibuatnya.

1.3.2 Signifikansi Penelitian


Secara empiris penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya kajian
mengenai jejaring masyarakat sipil transnasional yang mempengaruhi tata kelola
regional ASEAN, khususnya dalam advokasi perlindungan dan pemajuan hak-hak
buruh migran. Secara konseptual, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman bahwa aktor non-negara khususnya masyarakat sipil berperan dalam
pembangunan Masyarakat ASEAN 2015. Adapun secara praktis, penelitian ini
dapat memberi masukan kepada pemerintah Indonesia bahwa sudah saatnya buruh
migran yang menyumbang remitansi besar dilindungi hak-haknya.

1.4 Tinjauan Pustaka


Sampai proposal penelitian ini ditulis, belum ada satu pun penelitian yang
membahas secara spesifik, rinci, dan komprehensif mengenai advokasi Satuan
Tugas Buruh Migran ASEAN (TF-AMW) dalam perlindungan dan pemajuan hak-
hak buruh migran ASEAN pada periode 2007-2010. Walaupun demikian, sudah
ada beberapa penelitian atau tulisan yang membahas mengenai peran aktor non-
negara di ASEAN, tata kelola pemerintahan regional dalam perlindungan buruh
migran, jejaring advokasi masyarakat sipil dalam pembangunan mekanisme
HAM ASEAN, jejaring advokasi masyarakat sipil dalam perlindungan hak-hak
masyarakat adat ASEAN dan lemahnya daya tawar masyarakat sipil dalam
pembangunan masyarakat ASEAN pro-HAM. Studi pustaka tersebut dapat
dimanfaatkan untuk mempermudah analisis dalam penelitian ini.

1.4.1 Peran Aktor Non-Negara di ASEAN


Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) didirikan pada 8
Agustus 1967 oleh lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


11

dan Filipina. Lima negara berikutnya yaitu Brunei Darussalam, Laos, Myanmar,
Kamboja dan Vietnam kemudian bergabung dalam waktu yang tidak bersamaan.
Dalam Deklarasi Bangkok disebutkan beberapa tujuan didirikannya ASEAN 23,
tiga di antaranya ialah 1) mempercepat pertumbuhan, kemajuan sosial dan
perkembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara; 2) memelihara perdamaian
dan stabilitas dengan menjunjung tinggi hukum dan hubungan antara negara-
negara di Asia Tenggara; dan 3) meningkatkan kerjasama yang aktif dan saling
membantu dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi dan administrasi.
Pada tahun 1997 negara-negara Asia Tenggara berkomitmen untuk
membentuk sebuah masyarakat yang tertuang dalam pernyataan ASEAN Vision
2020. Bali Concord II pada tahun 2003 menyepakati untuk mempercepat
terwujudnya Masyarakat ASEAN pada tahun 2015 dengan tiga pilar yaitu politik-
keamanan, ekonomi dan sosial-budaya. 24 Kemajuan tersebut diperkuat dengan
ratifikasi Piagam ASEAN pada 15 Desember 2008 25 yang memberikan status
hukum dan kerangka kelembagaan, menyediakan akuntabilitas dan kepatuhan,
menetapkan target yang jelas bagi visi organisasi dan mencerminkan norma,
aturan dan nilai-nilai ASEAN.
Ada banyak tulisan yang secara umum membahas mengenai peran aktor
non-negara di ASEAN. Namun, salah satu tulisan yang secara spesifik
menganalisis peran masyarakat sipil ialah berjudul The Role of Non-State Actors
in ASEAN karya Alexander Chandra dalam buku Revisiting Asian Regionalism
yang diterbitkan pada tahun 2006. Menurut Chandra, sebelum krisis ekonomi
(1997-1998), sebagian besar organisasi masyarakat sipil di ASEAN – di luar
masyarakat akademik dan bisnis – tidak terlibat atau tertarik dalam isu-isu
regionalisme maupun proses pengambilan keputusannya. Kelompok masyarakat
sipil memandang ASEAN sebagai sebuah organisasi elit yang disetir oleh

23
The ASEAN Secretariat, “The ASEAN Declaration (Bangkok Declaration) Bangkok, 8 August
1967”, dalam http://www.asean.org/news/item/the-asean-declaration-bangkok-declaration#
(diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 14.32 WIB).
24
The ASEAN Secretariat, “Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II)”, dalam
http://www.asean.org/ news/item/declaration-of-asean-concord-ii-bali-concord-ii# (diakses pada
12 Oktober 2014 pukul 14.48 WIB).
25
The ASEAN Secretariat, “ASEAN Charter”, dalam http://www.asean.org/asean/asean-charter
(diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 14.49 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


12

kepentingan pemerintah. 26 Walaupun ada beberapa organisasi masyarakat sipil


yang dilibatkan dalam beragam jejaring regional, sebagian kegiatan hanya fokus
pada kampanye dan advokasi terhadap isu-isu multilateralisme yang
bersinggungan dengan organisasi-organisasi internasional seperti Bank Dunia,
Dana Moneter Internasional dan Organisasi Perdagangan Dunia. Sebaliknya,
ASEAN dianggap sebagai organisasi yang lemah atau memiliki sedikit
kepentingan untuk menyejahterakan masyarakat Asia Tenggara.
Terdapat beberapa faktor mengapa kelompok masyarakat sipil belakangan
ini tertarik untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan atau advokasi
beragam isu di tataran ASEAN. Pertama, cita-cita ASEAN untuk mewujudkan
Masyarakat ASEAN pada tahun 2015. Kedua, meningkatnya kesadaran bahwa
ASEAN merupakan sebuah platform untuk mempengaruhi kebijakan di tataran
regional. Walaupun pandangan yang berlaku ialah bahwa kebijakan regional
ditentukan oleh politik domestik, organisasi regional mempengaruhi kebijakan di
tataran nasional. Ketiga, seiring dengan makin meningkatnya kesadaran terkait
bahaya kebijakan ASEAN terhadap negara-negara anggota, organisasi-organisasi
masyarakat sipil juga mengakui potensi manfaat yang ASEAN dapat tawarkan
kepada negara-negara anggotanya. Apalagi ASEAN masih dapat eksis pada krisis
ekonomi 1997-1998 dan mampu mempertahankan stabilitas ekonomi dan
perdamaian yang menjadikannya sebagai salah satu organisasi regional paling
berhasil di dunia. 27
Selama bertahun-tahun terdapat beragam forum yang dimanfaatkan oleh
masyarakat sipil untuk terlibat isu-isu ASEAN. Walaupun demikian belum ada
konsolidasi di antara jejaring masyarakat sipil. Sejauh ini terdapat dua forum
formal besar di ASEAN yang mewadahi aspirasi masyarakat sipil yaitu ASEAN’s
People Assembly (APA) dan ASEAN Civil Society Conference (ACSC). Di antara
dua itu, APA lebih diakui oleh ASEAN karena dimasukkan dalam Program Aksi
Vientiane (VAP) yang ditandatangani pada KTT ASEAN ke-10 di Laos pada 29

26
Alexander Chandra, “The Role of Non-State Actors in ASEAN”, dalam Revisiting Asian
Regionalism, (Bangkok: Focus on the Global South, 2006), hlm.71-82.
27
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


13

November 2004. Baik ACSC maupun SAPA dapat dianggap sebagai forum dan
jejaring alternatif untuk terlibat dengan ASEAN. 28
Pada ACSC pertama di Malaysia tahun 2005, organisasi-organiasasi
masyarakat sipil mulai membentuk jejaring baru. Sejumlah organisasi non-
pemerintah terlibat dalam kegiatan tersebut seperti Solidarity for Asian People’s
Advocacy (SAPA), FORUM-ASIA, Southeast Asian Committee for Advocacy
(SEACA), Third World Network (TWN), dan Asian Partnership for the
Development of Human Resources in Rural Asia (AsiaDHRRA). Pada ACSC
kedua di Filipina tahun 2006 dipelopori oleh SAPA. Berbeda dengan pertemuan
di Malaysia, para pertemuan ini tidak didukung oleh pemerintah tuan rumah. Pada
ACSC ketiga di Singapura tahun 2007 diselenggarakan oleh SAPA yang mana
sebelumnya pemerintah Singapura menggelar kegiatan serupa dengan nama yang
sama. Bahkan pada tahun ini ASEAN’s People Assembly (APA) diselenggarakan
di Filipina dan melaporkan hasilnya ke ASEAN-ISIS (Institutes of Strategic and
International Studies). Hal ini menunjukkan tidak solidnya jejaring masyarakat
sipil di ASEAN karena adanya beragam kegiatan yang tumpang tindih dengan
tujuan yang sama. 29
Menyadari pentingnya melibatkan masyarakat sipil dalam pembangunan
Masyarakat ASEAN, dalam Cetak Biru Masyarakat Sosial Budaya ASEAN
disebutkan bahwa ASEAN berencana untuk meningkatkan kesadaran yang lebih
besar dan nilai-nilai bersama dengan semangat persatuan dalam keragaman di
semua tingkat masyarakat. ASEAN berupaya untuk membangun sebuah
organisasi yang berorientasi masyarakat di mana orang-orang merupakan pusat
pembangunan masyarakat. 30

28
Ibid.
29
Simon Tay and Lim May-Ann, “Assessment and Overview: ASEAN and Regional Involvement
of Civil Society,” Singapore Institute of International Affairs, dalam
http://www.siiaonline.org/download.aspx?URL=~/UploadedFiles/Downloads_Downloads_63aa18
286c4946b8880528692d9805af.PDF&FileName=Downloads_63aa18286c4946b8880528692d980
5af.PDF (diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 16.52 WIB).
30
The ASEAN Secretariat, “ASEAN Socio-Cultural Community,” dalam http://www.asean.org/
communities/asean-socio-cultural-community (diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 15.27 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


14

1.4.2 Tata Kelola Pemerintahan Regional dalam Perlindungan Buruh


Migran
Sejauh ini belum banyak kajian yang fokus membahas jejaring masyarakat
sipil di Asia Tenggara dalam advokasi hak-hak buruh migran di ASEAN. Kajian-
kajian sebelumnya lebih banyak membahas mengenai perjanjian kerjasama
bilateral mengenai penempatan tenaga kerja, fenomena buruh migran tidak
berdokumen, hubungan antara perdagangan perempuan dengan buruh migran,
beragam pelanggaran yang sering dihadapi buruh migran, advokasi hak buruh
migran di satu negara, dan kritik terhadap ASEAN setelah mengeluarkan
Deklarasi mengenai Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran pada
Januari 2007. Penelitian mengenai jejaring advokasi transnasional dalam
pemajuan dan perlindungan hak buruh migran di ASEAN penting untuk dilakukan
untuk menganalisis peran aktor non-negara dalam pembangunan Masyarakat
ASEAN, khususnya dalam mempengaruhi pembuatan keputusan yaitu rezim yang
mengatur hak-hak buruh migran. Apalagi sejauh ini ACMW yang didirikan untuk
mengembangkan instrumen tersebut belum banyak berperan.
Peneliti terdahulu yang pernah sedikit menyinggung mengenai gerakan
sosial transnasional dalam advokasi kebijakan ASEAN terhadap hak-hak buruh
migran ialah Jenina Joy Chavez dalam tulisannya yang berjudul Transnational
Social Movements in ASEAN Policy Advocacy: The Case of Regional Migrants’
Rights Policy. Chavez menjelaskan proses globalisasi dalam tiga dekade terakhir
terhadap negara-negara Asia Tenggara dalam konteks ekonomi, politik dan sosial.
Ketika proses tersebut membeku, gerakan sosial transnasional yang sebelumnya
tidak mampu menembus Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN),
mulai memberikan perhatian secara serius untuk pentas regional. Chavez fokus
terhadap dua gerakan sosial transnasional yang berpengaruh yaitu Migrant Forum
in Asia (MFA) yang terlibat dalam advokasi internasional maupun regional dan
Task Force on ASEAN Migrant Workers (TF-AMW) yang fokus terhadap
advokasi regional. Dua jejaring tersebut berupaya menanggapi struktur politik

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


15

yang unik dalam konteks regionalisme Asia Tenggara melalui mobilisasi struktur,
kerangka aksi kolektif dan beragam cara pertentangan lainnya. 31
Jenina Joy Chaves juga menulis di artikel lainnya yang berjudul Regional
Governance of Migration: ASEAN’s Conundrum and Spaces for Civil Society
Intervention. Dalam tulisan ini, Chaves menjelaskan lambatnya kemajuan
instrumen ASEAN dalam perlindungan buruh migran yang salah satunya
disebabkan oleh masih dipakainya perjanjian kerja bilateral dan nota kesepahaman
antar negara anggota di Asia Tenggara. Terlebih lagi sangat sulit untuk menilai
efektifitas dua hal tersebut karena dokumen-dokumennya biasanya tidak dapat
diakses oleh publik dan nihilnya repositori pusat. Dari data yang dapat diakses
pun lebih banyak mengenai prosedur rekrutmen dan peraturan aliran migrasi. Di
sisi lain, dokumen mengenai mekanisme perlindungan dan kesejahteraan buruh
migran maupun mekanisme pemantauan dan penegakannya sulit diakses. 32
Peneliti selanjutnya yang mendukung pembahasan di atas ialah Andy Hall
pada tahun 2011 dengan tulisannya yang berjudul Migrant Workers’ Rights to
Social Protection in ASEAN: Case Studies of Indonesia, Philippines, Singapore
and Thailand. Menurut Andy, sebenarnya dalam Peta Jalan Masyarakat ASEAN
2015 telah disebutkan bahwa terdapat empat aksi dalam pilar politik-keamanan
dan sosial-budaya yang merupakan salah satu langkah strategis dalam
perlindungan dan pemajuan hak-hak buru migran. Pertama, bekerjasama erat
dengan upaya badan-badan sektoral dalam pembangunan AIMW. Kedua,
memperkuat kerjasama ASEAN dalam perlindungan buruh migran perempuan.
Ketiga, menyediakan jasa konsultasi guna mengembangkan kapasitas negara-
negara anggota dalam mengelola program tenaga kerja di luar negeri. Keempat,
menyediakan pelatihan/bantuan teknis/pembangunan kapasitas pada tahun 2011

31
Jenina Joy Chavez, Transnational Social Movements in ASEAN Policy Advocacy: The Case of
Regional Migrants’ Rights Policy, (Geneva: United Nations Research Institute for Social
Development, 2013), hlm. 3.
32
Jenina Joy Chavez, “Regional governance of migration: ASEAN’s conundrum and spaces for
civil society intervention”, dalam Rethinking regionalisms in times of crises: A collection of
activists’ perspectives from Latin America, Asia, Africa and Europe (Bangkok: Focus on the
Global South, 2013), hlm.94-99.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


16

guna mewujudkan prosedur dan dokumentasi emigrasi/imigrasi yang jelas dan


mudah, aman dan teratur. 33

1.4.3 Jejaring Advokasi Masyarakat Sipil dalam Pembangunan Mekanisme


HAM ASEAN
Seiring dengan wacana cita-cita Masyarakat ASEAN 2015, peran
masyarakat sipil dalam mewujudkan cita-cita tersebut meningkat. Salah satu isu
yang paling menarik perhatian kelompok masyarakat sipil ialah HAM. Hal ini
tidak terlepas dari gagasan ASEAN dalam membentuk mekanisme HAM yang
telah mencuat untuk pertama kalinya pada tahun 1993. 34
Task Force on ASEAN and Human Rights/TF-AHR (Satuan Tugas
ASEAN dan HAM) merupakan jejaring masyarakat sipil dengan fokus advokasi
kebijakan HAM ASEAN. Berdiri pada saat Regional Consultation on ASEAN
and Human Rights pertama di tahun 2007, TF-AHR beranggotakan tidak kurang
dari 70 LSM. 35 Jejaring ini dirintis oleh FORUM-ASIA bersama dengan Migrant
Forum in Asia dan International Women’s Right Action Watch Asia-Pacific.
Adapun misinya ialah untuk mendesak negara-negara anggota ASEAN
bertanggungjawab terhadap penghormatan HAM domestik dan internasional, dan
mewujudkan mekanisme HAM ASEAN lebih akuntabel dan efektif.
Pada tahun 2008 jejaring ini menggelar 10 musyawarah nasional di tujuh
negara anggota ASEAN dan enam lokakarya. Jejaring ini juga menyelenggarakan
Regional Consultation on ASEAN and Human Rights kedua di Jakarta pada
Agusutus 2008 dengan 75 peserta dari sepuluh negara anggota ASEAN. Hasil dari
kegiatan tersebut kemudian disampaikan pada ASEAN Ministerial Meeting dan

33
Andy Hall, Migrant Workers’ Rights to Social Protection in ASEAN: Case Studies of Indonesia,
Philippines, Singapore and Thailand, (Singapore: Friedrich-Ebert-Stiftung Office for Regional
Cooperation in Asia, 2011), hlm.24-28.
34
Working Group on ASEAN Human Rights Mechanism, “Joint Communiqué of the 26th
ASEAN Ministerial Meeting,” dalam http://www.aseanhrmech.org/downloads/1993 _Joint _
Communique.pdf (diakses pada 26 Maret 2015 pukul 20.51 WIB).
35
Asian Forum for Human Rights and Development, “Letter to the Secretary of the Human Rights
Sub-Committee of the Joint Standing Committee on Foreign Affairs, Defense and Trade’, dalam
http://www.FORUMASIA.org/news/press_releases/ pdfs/ Submission %20on% 20AHRB % 20 to
%20Australian%20Parliament%20House%20Dec%202008.pdf (diakses pada 26 Maret 2015
pukul 21.02 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


17

High Level Penel ke-41 untuk mempengaruhi para pengambil keputusan ASEAN
dalam bentuk draf Kerangka Acuan Mekanisme HAM ASEAN. 36
Dengan pendekatan bottom-up dalam melancarkan advokasinya, ada dua
tujuan TF-AHR didirikan. Pertama, mendorong dibentuknya mekanisme HAM
ASEAN. Kedua, membentuk badan HAM ASEAN yang di kemudian hari
terwujud yaitu ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights
(AICHR).
Dalam perkembangannya, hasil advokasi TF-AHR tidak sebagaimana
yang diharapkan. ASEAN bersikukuh dengan menegaskan bahwa intervensi
terhadap urusan domestik negara-negara anggotanya tidak dibenarkan. Pada
konteks ini, ASEAN mempolitisasi isu HAM mengingat HAM dapat menjadi alat
untuk mewujudkan kepentingan nasional. Untuk menyikapi hal itu, TF-AMW
menerapkan kerangka moral dengan menerjemahkan nilai-nilai HAM sebagai
sebuah tujuan akhir yaitu keadilan, kesetaraan, toleransi dan kebenaran yang
saling terkait.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa ASEAN memprioritaskan prinsip
kedaulatan nasional dan elitisme antarpemerintah yang enggan menerima
masukan dari aktor-non negara, berbagai informasi atau mengizinkan
keterlibatannya dalam diskusi maupun proses pengambilan keputusan.
Menanggapi sikap ASEAN, TF-AHR bersikeras untuk terus menggulirkan
wacana mengenai mekanisme HAM walaupun ASEAN kerap kali menolak
kehadiran mereka. Hal ini bertentangan dengan komitmennya untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat ddalam proses pembangunan Masyarakat
ASEAN. 37
Kendati usaha TF-AHR untuk berinteraksi dengan ASEAN dan High
Level Panel tidak pernah pudar, proses pembentukan mekanisme HAM ASEAN

36
Asia-Pacific Human Rights Information Center, “The Process of Establishing an ASEAN
Human Rights Body,” dalam http://www.hurights.or.jp/asia-pacific/053/03.html diakses pada 26
Maret 2015 pukul 20.45 WIB.
37
Association of Southeast Asian Nations, “Press Release: Outcome of the ASEAN Foreign
Ministers Meeting with the High-Level Panel (HLP) on Human Rights Body and the ASEAN
Foreign Ministers Meeting with the High Level Legal Experts’ Group on Follow-up to the
ASEAN Charter (HLEG),” S-4/2552, 42nd ASEAN Ministerial Meeting (Phuket, Thailand, 17-23
July 2009), dalam http://www.42ammpmc.org/pdf- AMM/19PRAS_HLP_HLEG.pdf (diakses
pada 26 Maret 2015 pukul 21.12 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


18

38
sebagian besar masih tertutup untuk mereka. High Level Panel sendiri hanya
menggelar dua musyawarah dengan perwakilan masyarakat sipil pada September
2008 dan Maret 2009. Bahkan diskusi yang semula direncanakan melibatkan
masyarakat sipil, dibatalkan dengan alasan tidak produktif.
TF-AHR juga mengkritik kurangnya indepedensi badan HAM. Oleh
karena itu, jejaring ini sejak awal penyusunan draf Kerangka Acuan mendesak
agar badan HAM bebas dari campur tangan politik dan intervensi pemerintah.
ASEAN didesak untuk mengikuti standar internasional, merujuk kepada prinsip-
prinsip Paris, dan menitikberatkan pentingnya fungsi independen. 39
Meskipun desakan TF-AHR untuk mewujudkan mekanisme HAM
ASEAN tak pernah surut, pada akhirnya High Level Panel memutuskan bahwa
badan HAM terdiri dari perwakilan yang hanya mewakili kepentingan negara,
bukan ASEAN ataupun masyarakat sipil. Norma “ASEAN Way” dalam konteks
ini sangat relevan mengingat badan HAM yang akhirnya terbentuk bernama
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights dengan basis antar-
pemerintah. Hal ini mencerminkan bahwa negara-negara anggota ASEAN
mempolitisasi HAM karena enggan melepaskan kendali atas kebijakan HAM
nasional. Jika perwakilan independen terwujud dalam Komisi sebagaimana yang
diusulkan oleh TF-AHR, mereka akan mengkritik rekam jejak HAM masing-
masing anggota ASEAN. Suatu kondisi yang tidak mungkin jika anggota Komisi
merupakan perwakilan resmi pemerintah.
Akibat masih berlakunya prinsin non-intervensi, mandat perlindungan
pada AICHR sulit untuk diwujudkan. Selain kurangnya independensi anggota
Komisi, dalam Kerangka Acuan AICHR juga hanya menjelaskan mengenai fungsi
promosi sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menindaklanjuti kasus
pelanggaran HAM. Hal ini mendorong TF-AHR meluncurkan kampanye dan

38
Solidarity for Asian People’s Advocacy, “Submission from the Second Regional Consultation
on ASEAN and Human Rights to the High Level Panel on the Establishment of the ASEAN
Human Rights Body,” Art. 15 (a) (7 August 2008), dalam www.FORUM-ASIA.org/.../1st-CS-
Submission-TOR-AHRB-2008-Sept(2).pdf (diakses pada 26 Maret 2015 pukul 21.15 WIB).
39
Office of the High Commissioner for Human Rights, “Principles Relating to the Status of
National Institutions (The Paris Principles),” (20 December 1993), dalam
http://www2.ohchr.org/english/law/parisprinciples.htm (diakses pada 26 Maret 2015 pukul 21.17
WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


19

petisi bahwa AICHR bagaikan “macan ompong” karena ketidakmampuan untuk


mencegah dan menyelesaikan pelanggaran HAM. 40
TF-AHR mendesak agar AICHR benar-benar mampu menjalankan fungsi
perlindungan HAM. Oleh karena itu, jejaring ini mengadvokasi agar Komisi
tersebut memiliki mekanisme pengaduan, peran investigasi, menjalankan
kunjungan-negara, menyiapkan sistem peringatan diri, dan memberikan sanksi
bagi ketidakpatuhan. 41 Sementara itu, ASEAN tetap pada pendiriannya yaitu
prinsip kedaulatan nasional dan non-intervensi.

1.4.4 Advokasi Masyarakat Sipil dalam Perlindungan Hak-Hak


Masyarakat Adat ASEAN
Indigenous Peoples Task Force on ASEAN (IPTF) atau Satuan Tugas
Masyarakat Adat ASEAN merupakan sebuah jejaring longgar dari organisasi dan
para pemimpin masyarakat adat di Asia Tenggara. 42 Tujuan utama IPTF dibentuk
ialah untuk mengkoordinasikan dan mengarusutamakan hak-hak maupun isu-isu
masyarakat adat kepada organisasi masyarakat sipil yang lebih luas terlibat
dengan ASEAN dan melobi pemerintah masing-masing guna melindungi dan
memajukan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat adat di tingkat nasional, dan
regional, dan membangun kapasitas pemimpin masyarakat adat untuk terlibat
dengan ASEAN.
Jejaring ini tersebar hampir di seluruh negara Asia Tenggara. Adalah Asia
Indigenous Peoples Pact (Thailand), Cambodia Indigenous Youth Association
(Kamboja), Indigenous Community Support Organization (Kamboja), Indigenous
People NGO Network (Kamboja), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

40
Asian Forum for Human Rights and Development, “Civil Society Wants ASEAN Human Rights
Body with “Teeth”,” (3 March 2009), dalam http://www.FORUMASIA.org/index.php?option
=com_content & task =view&id=2086&Itemid=32 (diakses pada 26 Maret 2015 pukul 21.24
WIB).
41
SAPA Task Force on ASEAN and Human Rights, “Submission to the High Level Panel on the
Establishment of an ASEAN Human Rights (HLP) during the HLP- Civil Society Dialogue
Session: Key Points of Concern on the Draft Terms of Reference (TOR) of the ASEAN human
rights body (AHRB),” (JW Marriot Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia, 20 March 2009), dalam
http://www.FORUMASIA.org/news/press_releases/pdfs/3rd-CS-Submission-TOR-AHRB-2009-
Mar.pdf (diakses pada 26 Maret 2015 pukul 21.28 WB).
42
NGO Resource Centre Vietnam, “Submission of the Indigenous Peoples Task Force on ASEAN
and AIPP to the Drafting of the ASEAN Human Rights Declaration”, dalam
http://www.ngocentre.org.vn/webfm_send/3565 (diakses pada 29 Maret 2015 pukul 13.25 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


20

(Indonesia), Gender Development Association (Laos), Jaringan Orang Asal Se-


Malaysia (Malaysia), Shan Women’s Network (Myanmar), SPECTRUM
(Myanmar), Cordillera Peoples Alliance (Filipina), Kalipunan ng Katutubong
Mamamayan ng Pilipinas (Filipina), Hmong Association (Thailand), Network of
Indigenous Peoples in Thailand (Thailand), Inter-Mountain People’s Education
and Culture in Thailand (Thailand), CORADP (Vietnam), dan Center for
Sustainable Development in Mountain Areas (Vietnam). Secara struktural, IPTF
dipimpin oleh Asia Indigenous People Pact (AIPP) 43 dengan misi utama
mendesak ASEAN untuk memperhatikan sejarah ditolaknya hak-hak adat, hak
menentukan nasib sendiri, tata kelola pemerintahan sendiri dan integritas budaya
di tingkat internasional.
IPTF mewakili lebih dari 100 juta masyarakat adat dengan beragam
budaya dan identitas. Definisi masyarakat adat yang diperjuangkan pun beragam
seperti etnis minoritas, suku bukit, komunitas adat, orang asli, dan kelompok
etnis. Mereka memiliki persamaan nasib seperti ketidakadilan sejarah, pengucilan,
diskriminasi, dan asimilasi yang dipaksakan. Oleh karena itu, jejaring ini
memperjuangkan keunikan identitas, tata kelola pemerintahan sendiri, mata
pencaharian tradisional, dan sistem manajemen sumber daya, serta insitutsi sosial-
budaya di tengah arus utama politik nasional, budaya, sistem ekonomi dan
kerangka hukum. 44
Sebagaimana jejaring organisasi masyarakat di kawasan lain, IPTF
memperjuangkan pengakuan identitas, budaya, dan hak-hak melekat sebagai
warga negara. Hal ini didorong oleh fakta bahwa masih banyak masyarakat adat

43
Asia Indigenous People Pact (AIPP) merupakan sebuah organisasi regional yang dibentuk pada
tahun 1988 oleh gerakan masyarakat adat dan didirikan sekretariatnya pada tahun 1992. Organisasi
ini berkomittmen untuk memajukan dan membela hak-hak masyarakat adat dan hak asasi manusia
secara umum. Selama bertahun-tahun AIPP telah melobi dan mengadvokasi pada isu-isu hak
masyarakat adat di berbagai tingkat, memperkuat para pemimpin dan organisasi masyarakat adat
melalui pembangunan kapasitas, dan memperluas cakupannya ke banyak organisasi masyarakat
adat, ahli masyarakat adat, advokat dll. Dalam perkembangannya, organisasi ini membesar dengan
anggota tidak kurang dari 47 di 14 negara Asia dengan rincian 14 organisasi nasional, 15 sub-
nasional, dan 18 lokal. 6 anggota di antaranya merupakan Organisasi Perempuan Adat dan 4
Organisasi Pemuda Adat. Ia juga mewakili seluruh negara Asia Tenggara, kecuali Singapura dan
Brunei Darussalam. Lihat http://www.aippnet.org/index.php/about-us (diakses pada 31 Maret 2015
pukul 05.56 WIB).
44
Asia Indigineous People Pact, “Promote And Protect Rights to Land, Territory, Resources And
Development Of Indigenous Peoples and Ethnic Minorities (IP/EM) in ASEAN”, dalam
http://www.aippnet.org/index.php/human-rights/763-statement-of-indigenous-peoples-a-ethnic-
minorities-ipaem-of-asean (diakses pada 29 Maret 2015 pukul 13.20 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


21

yang tidak dapat menikmati hak-hak pribadi secara penuh tanpa pengakuan hak-
hak kolektif. Oleh karena itu mendesak ASEAN untuk mengadopsi dan
mengamalkan secara penuh UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
(UNDRIP).
IPTF membingkai hak-hak masyarakat adat sebagai bagian integral standar
HAM internasional. Sehingga, advokasi yang diupayakan ialah mendesak
ASEAN mengakui dan memasukkan hak-hak masyarakat adat ke dalam dokumen
dan cetak biru. Secara spesifik dan eksplisit, IPTF mendorong ASEAN
memasukkan pengakuan identitas dan keragaman budaya maupun UNDRIP
dalam Deklarasi HAM ASEAN. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan
hubungan kerjasama dan harmoni antara negara dan masyarakat adat. Selain itu,
juga berkontribusi untuk mewujudkan perdamaian, keadilan sosial, kesetaraan,
demokrasi, dan pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan visi ASEAN
sebagai organisasi yang berpusat pada rakyat, peduli dan berbagi.
Selain itu, IPTF juga mendesak ASEAN untuk melakukan beberapa hal. 45
Pertama, memasukkan Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebagai hak
masyarakat adat dalam hukum dan kebijakan nasional guna memastikan
implementasi program dan proyek terkait. Kedua, mengakui, menghormati dan
memajukan kontribusi masyarakat adat dan etnis minoritas terhadap kearifan lokal
dalam manajemen sumber daya berkelanjuan untuk adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim. Ketiga, mendirikan dan menegakkan mekanisme efektif untuk
mencari ganti rugi dan akses terhadap keadilan termasuk pendekatan pluralisme
hukum terkait kerusakan proyek masa lalu dan kini yang tidak bermusyawarah
dengan masyarakat adat. Keempat, membentuk menakisme efektif di tingkat
lokal, nasional dan regional untuk partisipasi masyarakat adat dalam seluruh
proses pengambilan keputusan, termasi tata kelola pemerintahan. Kelima,
mendorong seluruh negara anggota ASEAN meratifikasi Convention on the
Elimination of all Forms of Racial Discrimination dan memastikan
implementasinya. Keenam, menempatkan focal person perwakilan masyarakat
adat dalam AICHR dalam rangka mendirikan sebuah kelompok kerja masyarakat

45
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


22

adat untuk penghormatan, pemajuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat


dengan UNDRIP dalam ASEAN menjelang Masyarakat ASEAN 2015.
Sayangnya, advokasi IPTF tidak sepenuhnya berjalan sesuai rencana.
Salah satunya ialah advokasinya terhadap perumusan Deklarasi HAM ASEAN.
Menurut jejaring ini, sebagai sebuah standar HAM yang menyeluruh di kawasan
Asia Tenggara, deklarasi tersebut seharusnya di bawah standar HAM
internasional khususnya dalam konteks kewajiban dan tanggungjawab negara
dalam menjunjung tinggi universalitas, non-derogability, dan pelaksanaan HAM
oleh warga. Walaupun seluruh negara anggota ASEAN telah mengadopsi
UNDRIP pada tahun 2007, deklarasi tersebut tidak mencantumkan pengakuan
masyarakat adat berbeda dari mayoritas, diskriminasi secara sistematis, dan
dieksploitasi melalui nihilnya pengakuan serta pelanggaran hak-hak kolektif. 46
IPTF kecewa karena ASEAN tidak melibatkan masyarakat sipil –
khususnya kelompok masyarakat adat – secara tulus dalam proses penyusunan
draf Deklarasi HAM ASEAN. 47 Bahkan, perwakilan masyarakat adat juga tidak
diundang dan dilarang menghadiri musyawarah untuk memberikan masukan dan
kritik dalam penyusunan draf Deklarasi oleh AICHR. Walaupun demikian, IPTF
tetap memberikan rekomendasi terkait Deklarasi untuk mengakui hak-hak
masyarakat adat dan hak-hak kolektif, khususnya mengenai hak ulayat, wilayah
dan sumberdaya, dan penentuan nasib sendiri. Rekomendasi tersebut disampaikan
secara pribadi kepada perwakilan AICHR meskipun pada akhirnya tidak
mendapatkan jawaban secara resmi.

1.4.5 Lemahnya Daya Tawar Masyarakat Sipil dalam Pembangunan


Masyarakat ASEAN Pro-HAM
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand mendirikan
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada 8 Agustus 1967 dengan
46
Indigineous People Human Rights Defenders Network, “Indigenous Peoples Statement on The
Asean Human Rights Declaration”, dalam http://iphrdefenders.net/component/content/article/34-
iphrd/iphr-doc/187-indigenous-peoples-statement-on-the-asean-human-rights-declaration (diakses
pada 29 Maret 2015 pukul 13.34 WIB).
47
64 organisasi masyarakat sipil akar rumput, nasional, regional dan internasional mendesak
negara-negara ASEAN untuk menunda diberlakukannya Deklarasi HAM ASEAN. Lihat “Civil
society rejects flawed ASEAN Human Rights Declaration“, dalam https://www.fidh.org/
International-Federation-for-Human-Rights/asia/asean/Civil-society-rejects-flawed-ASEAN-
12429 diakses pada 29 Maret 2015 pukul 13.38 WIB.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


23

tujuan awal untuk menjaga stabilitas politik dan mempercepat pertumbuhan


ekonomi di kawasan Asia Tenggara. 48 Brunei Darussalam menjadi anggota
keenam pada Januari 1984. Kemudian disusul oleh empat negara Indocina
berturut-turut yaitu Vietnam pada Juli 1995, Laos dan Myanmar pada Juli 1997,
dan Kamboja pada April 1999. Dilihat dari sejarah pendirian maupun
perkembangannya, ASEAN bersifat state-centric dengan partisipasi masyarakat
sipil yang sangat terbatas.
Pada seperempat abad berdirinya, ASEAN belum serius menegakkan
penghormatan HAM mengingat masih banyak terjadinya konflik antar negara di
Asia Tenggara. Komitmen awal terhadap penegakan HAM mulai terlihat pada
tahun 1993 ketika para Menteri Luar Negeri ASEAN menyepakati dibentuknya
sebuah mekanisme regional HAM. 49 Sepuluh tahun kemudian komitmen tersebut
dikuatkan dengan adanya Bali Concord II yang sejalan dengan cita-cita
Masyarakat ASEAN.
Pada Juni 2004 para Menteri Luar Negeri mengadopsi Declaration on the
Elimination of Violence Against Women in the ASEAN Region. Lima bulan
sebelumnya para Kepala Negara mengadopsi ASEAN Declaration Against
Trafficking in Persons Particularly Women and Children dan Vientiane Action
Program (VAP) pada 29 November 2003. 50 Pada VAP inilah ditetapkan sebuah
prinsip yang lebih rinci untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN dengan tiga pilar
yaitu politik-keamanan, sosial-budaya, dan ekonomi. Dalam VAP dijelaskan
bahwa ASEAN perlu menjalankan program kolaboratif yang konsisten dengan
PBB dan atau deklarasi maupun konvensi ASEAN mengenai hak-hak perempuan,
anak, dan buruh migran.

48
Lihat “The ASEAN Declaration (Bangkok Declaration) Bangkok, 8 August 1967”, dalam
http://www.asean.org/news/item/the-asean-declaration-bangkok-declaration (diakses pada 28
Maret 2015 pukul 20.21 WIB).
49
The ASEAN Secretariat, “Joint Communique of the Twenty-Sixth ASEAN Ministerial Meeting,
Singapore, 23-24 July 1993”, dalam http://www.asean.org/communities/asean-political-
securitycommunity/item/joint-communique-of-the-twenty-sixth-asean-ministerial-meeting-
singapore-23-24-july-1993 (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 20.57 WIB).
50
Centre for International Law – National University of Singapore, 2004 Vientiane Action
Programme 2004-2010, ASEAN (Nov. 29, 2004), dalam http://cil.nus.edu.sg/
rp/pdf/2004%20Vientiane%20Action%20Programme%202004-2010-pdf.pdf (diakses pada 28
Maret 2015 pukul 21.01 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


24

Pada 20 November 2007 ditandatangani Piagam ASEAN. Piagam ini


menjadi tonggak berubahnya ASEAN dari sebuah organisasi yang longgar
menjadi sebuah organisasi yang berlandaskan hukum dan bersifat people-
centered, yaitu organisasi yang melibatkan partisipasi masyarakat di negara-
negara ASEAN untuk melaksanakan kesepakatan yang tercantum di dalamnya. 51
Pada Piagam ASEAN Pasal 1 Ayat 7 disebutkan bahwa negara-negara yang
tergabung dalam ASEAN berkomitmen untuk memperkuat demokrasi,
meningkatkan tata kepemerintahan yang baik dan aturan hukum, dan memajukan
serta melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental,
dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari Negara-Negara
Anggota ASEAN. 52
Lahirnya Piagam ASEAN begitu berarti bagi pembangunan organisasi
kawasan Asia Tenggara ini, khususnya dalam upaya penegakan HAM. Hal ini
tidaklah berlebihan mengingat baru ada empat negara anggota ASEAN yang
memiliki insitusi HAM nasional yaitu KOMNASHAM Indonesia (1993),
SUHAKAM Malaysia (2000), CHR Filipina (1987), dan Khamakarn Sit Thailand
(2001). Walaupun demikian, hanya ada enam negara anggota yang mendukung
dicantumkannya ayat mengenai HAM dalam Pigam ASEAN yaitu Indonesia,
Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura dan Brunei Darussalam. Sementara itu
sisanya enggan menerimanya. 53
Setelah melalui proses yang panjang, pada 23 Oktober 2009 ASEAN
secara resmi meluncurkan AICHR di sela-sela KTT ASEAN ke-15 di Cha-am
Hua Hin, Thailand. 54 Sebagaimana yang diprediksi oleh kelompok LSM, AICHR
tak lebih dari sebuah lembaga konsultatif dan forum dialog yang memiliki fokus

51
Tabloid Diplomasi, “Piagam ASEAN Mendorong Kesiapan Nasional Melaksanakan Komitmen
Regional”, dalam http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/51-april-2008/463-piagam-
asean-mendorong-kesiapan-nasional-melaksanakan-komitmen-regional.html (diakses pada 21.12
WIB).
52
The ASEAN Secretariat, “Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara”, dalam
http://www.asean.org/archive/AC-Indonesia.pdf (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 21.15 WIB).
53
Abubakar Eby Hara, “The Development of an ASEAN Human Rights Perspective and the
formation of Asean Intergovernmental Commission on Human rights (AICHR)”, dalam
http://www.icird.org/publications?task=file&action=download&path=%5BDIR_PUBLICATIONS
_PAPER%5D01_abubakarebyhara_fullpaper.pdf (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 21.35 WIB).
54
The ASEAN Secretariat, “Cha-Am Hua Hin Declaration On The Intergovernmental
Commission On Human Rights”, dalam http://www.asean.org/images/ archive/ documents
/Declaration-AICHR.pdf diakses pada 28 Maret 2015 pukul 21.58 WIB.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


25

pada penelitian, pelatihan dan lokakarya HAM. Berdirinya lembaga ini kurang
melibatkan partisipasi masyarakat sipil sebagaimana yang dijanjikan pada Piagam
ASEAN. Selain itu, AICHR mendapatkan kritikan keras karena tidak memiliki
mandat untuk perlindungan HAM, wewenang untuk menyelidiki kasus maupun
menghukum pelaku pelanggaran, 55 dan mekanisme pengaduan. Bahkan, dari
sepuluh anggota komisi AICHR periode pertama hanya dua di antaranya yang
berasal dari unsur masyarakat sipil yaitu Rafendi Djamin (Indonesia) dan
Sriprapha Petcheramesree (Thailand).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa ASEAN masih setengah hati dalam
merangkul masyarakat sipil guna mewujudkan Masyarakat ASEAN 2015 yang
people-centered. Hal ini dibuktikan dengan minimnya organisasi masyarakat sipil
yang terdaftar dan berafiliasi dengan Sekretariat ASEAN. 56 Dari ribuan Ornop
atau LSM yang ada di seluruh Asia Tenggara, sampai akhir Maret 2015, hanya 58
yang diakui oleh Sekretariat ASEAN. 57 Jumlah ini sama sekali tidak dapat
mewakili kepentingan lebih dari 615 juta rakyat ASEAN.
Lemahnya posisi dan daya tawar masyarakat sipil dalam pembangunan
Masyarakat ASEAN 2015 diperparah dengan norma yang dianut oleh ASEAN
yaitu ASEAN Way. Adalah suatu norma yang ditopang oleh proses interaksi
berdasarkan kerahasian, informalitas, non-konfrontatif 58, pengambilan keputusan
berlandaskan musyawarah untuk mencapai mufakat, dan menghindari
pembangunan institusi yang mengikat secara hukum. Norma tersebut ditunjang
oleh Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang lahir pada 24 Februari 1976

55
Ary Hermawan, “AICHR: ASEAN’s Journey to Human Rights”, The Jakarta Post, January 11,
2010, dalam http://www.thejakartapost.com/news/2010/01/11/aichr-asean%E2%80%99s-journey-
human-rights.html (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 22.14 WIB).
56
Organisasi masyarakat sipil yang terdaftar atau berafiliasi dengan Sekretariat ASEAN diartikan
sebagai sebuah organisasi non-profit yang dibuat oleh orang ASEAN, secara alami atau yuridis,
dijalankan untuk memajukan, memperkuat, dan membantu mewujudkan maksud dan tujuan
kerjasama ASEAN dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, medis, dan
teknologi, yang dapat bergabung dengan ASEAN. Lihat “Guidelines on ASEAN's Relations with
Civil Society Organisations (CSOs)”, dalam http://www.uni-global-post.org/upload/ meeting _in
_manila_verweis8.pdf (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 22.45 WIB).
57
The ASEAN Secretariat, “Register of ASEAN-Affiliated CSOs”, dalam
http://www.asean.org/archive/6070.pdf (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 22.46 WIB).
58
Ade M. Wirasenjaya and Ratih Herningtyas, ”ASEAN Way – at the crossroads”, The Jakarta
Post, July 17, 2013, dalam http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/17/asean-way-crossroads
.html (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 23.03 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


26

dengan enam prinsip yaitu: 59 1) saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan,


dan integritas wilayah semua bangsa; 2) setiap negara berhak memelihara
keberadaannya dari campur tangan, subversi, dan kekerasan dari kekuatan luar; 3)
tidak mencampuri urusan domestik negara lain; 4) menyelesaikan perbedaan
pendapat dan pertikaian dengan cara perdamaian; 5) menolak ancaman
penggunaan kekerasan dan 6) kerjasama yang efektif di antara negara anggota.
ASEAN Way menjadi perekat yang mampu menjalin kepercayaan antar
negara anggota ASEAN dengan menghindari konfrontasi ketika mengambil suatu
keputusan. Di sisi lain, norma ini justru mencegah integrasi yang sesungguhnya
khususnya dalam konteks penegakan HAM. ASEAN Way mampu
menyeimbangkan ambisi politik negara-negara anggota ASEAN dengan menjaga
kedaulatan. Negara-negara anggota dapat saling bekerjasama dalam bidang
politik-keamanan, ekonomi, maupun sosial-budaya selama urusan yurisdiksi
domestik mereka tidak diganggu.
Eksistensi Piagam ASEAN, Kerangka Acuan AICHR dan Deklarasi HAM
ASEAN menunjukkan bahwa sejak tahun 1993 pembangunan sebuah rezim HAM
yang diwujudkan dalam AICHR dipengaruhi oleh ASEAN Way. 60 Pertama,
mayoritas perwakilan AICHR bertindak atas nama pemerintah sehingga
berlawanan dengan wacana untuk mewujudkan mekanisme HAM yang kredibel.
Kedua, usulan kelompok masyarakat sipil untuk mewujudkan sistem perlindungan
HAM diabaikan. Ketiga, walaupun negara-negara ASEAN terlibat dalam sistem
pemantauan HAM internasional, kepatuhan terhadap standar universal sangat
rendah. Ketiga hal tersebut menunjukan bahwa wacana pemerintah untuk
mewujudkan perlindungan HAM hanya isapan jempol yang dibuktikan dengan
rendahnya kualitas instrumen terkait HAM dan demokrasi.
Kelima subtopik tinjauan pustaka di atas dapat meningkatkan pemahaman
penulis dalam menjawab pertanyaan mengenai bagaimana strategi yang dilakukan
oleh Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN (Task Force on ASEAN Migrant
Workers) dalam menekan ASEAN untuk mengadopsi instrumen perlindungan

59
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika,
Realitas dan Masa Depan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.23.
60
James Gomez and Robin Ramcharan, “Opinion: The ASEAN Way and Human Rights”, dalam
http://www.asiasentinel.com/society/asean-way-human-rights/ (diakses pada 29 Maret 2015 pukul
12.06 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


27

buruh migran. Dengan meninjau kajian-kajian atau penelitian-penelitian


sebelumnya, penulis berharap dapat menganalisis lebih tajam di bab-bab
berikutnya mengenai signifikansi peran jejaring dalam pergerakan masyarakat
sipil di Asia Tenggara ini. Melalui tinjauan pustaka ini, penulis menyimpulkan
bahwa belum ada penelitian khusus yang membahas mengenai strategi advokasi
TF-AMW terhadap ASEAN untuk mengadopsi instrumen perlindungan dan
pemajuan hak-hak buruh migran. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui peran dan strategi advokasi jejaring masyarakat sipil dalam tata kelola
pemerintahan regional ASEAN, khususnya dalam pembuatan rezim perlindungan
buruh migran.
Penelitian ini akan menyoroti strategi advokasi TF-AMW terhadap
ASEAN untuk mengadopsi instrumen perlindungan buruh migran dari tahun 2007
sampai tahun 2010. Tahun 2007 menandai lahirnya Deklarasi Cebu dan Komite
ASEAN untuk Implementasi Deklarasi ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. Tahun 2010 menandai berakhirnya masa
Vientiane Action Programme (2004-2010), khususnya untuk elaborasi instrumen
ASEAN dalam perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran sekaligus target
TF-AMW bahwa instrumen yang dibuatnya harus diadopsi oleh ASEAN.
Sehingga indikator keberhasilan TF-AMW ialah ketika ACMW atau ASEAN
mengadopsi Proposal Masyarakat Sipil dalam Kerangka Instrumen ASEAN untuk
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. Tinjauan pustaka ini
menunjukkan bahwa penelitian penulis merupakan bentuk pengembangan dari
topik-topik penelitian sebelumnya dengan tetap mengedepankan orisinalitas dan
manfaat bagi pengembangan kajian masyarakat transnasional di Indonesia.

1.5 Kerangka Pemikiran


1.5.1 Teori Konstruktivisme
Menganalisis TF-AMW dapat menggunakan teori konstruktivisme.
Menurut Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi dalam buku mereka yang berjudul
International Relations Theory, konstruktivisme didukung oleh empat asumsi
utama. Pertama, konstruktivisme menghargai identitas dan kepentingan negara.
Kedua, konstruktivisme melihat struktur internasional sebagai struktur sosial yang

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


28

dipengaruhi oleh faktor-faktor ideational seperti norma, aturan dan hukum.


Ketiga, konstruktivisme memandang dunia sebagai sebuah proyek konstruksi
dalam proses “menjadi” berlawanan dengan yang telah ada. Keempat,
konstruktivisme menitikberatkan pemikiran pada isu ontologis dan
epistemologis. 61
Dalam konstruktivisme, hubungan internasional digerakkan oleh
intersubyektivitas aktor (atau agen) dari norma, aturan, gagasan, kepercayaan dan
nilai-nilai bersama yang diinstitusionalisasikan. Intersubyektif bukan serta merta
gabungan dari kepercayaan individu akan tetapi dibagi bersama oleh orang-orang
– pertukaran diri sendiri-liyan dan individu-ke-individu. Diinstitusionalisasikan
berarti gagasan bersama dibentuk dalam dunia sosial sebagai struktur atau
institusi, praktek dan identitas.
Konstruktivisme memandang struktur sebagai hubungan sosial dan makna
bersama yang dipengaruhi oleh aturan, norma, kepercayaan dasar, pengetahuan
bersama, praktek dan bahkan elemen material. Ia melihat pentingnya aturan yang
bersifat konstitutif dan regulatif. Sementara itu, norma diartikan sebagai nilai-nilai
yang secara umum diterima dan menentukan standar perilaku kepatutan bagi aktor
(atau agen) dengan identitas bawaannya. Sehingga norma dapat berfungsi untuk
membentuk identitas atau mengatur perilaku dan bahkan keduanya.
Konstruktivisme tidak mengkhususkan agen, aktor, atau unit analisis
tertentu. Agen yang dimaksud bisa jadi negara, akan tetapi juga aktor non-negara
seperti individu, maupun kelompok seperti gerakan sosial, perusahaan
multinasional, organisasi regional, kelompok advokasi non-pemerintah atau
kelompok tertentu. Semua agen non-negara tersebut dapat mempengaruhi norma
internasional, identitas dan perilaku negara, sebagaimana halnya negara dapat
mempengaruhi agen non-negara. Aktor atau agen dan struktur dapat saling
membentuk satu sama lain dalam proses sosialisasi.
Konstruktivisme memandang identitas sebagai sesuatu yang
dibuat/dibentuk sehingga dapat berubah dari waktu ke waktu menyesuaikan
dengan konteksnya. Identitas muncul sebagai properti yang sengaja diandalkan

61
Paul R. Viotti and Mark V. Kauppi, International Relations Theory, (New York: Pearson, 2010),
hlm. 277.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


29

aktor untuk menggeneralisasikan motivasi dan tingkah laku yang berbeda dengan
aktor lain. Artinya, identitas berpijak kepada subyektivitas sesuai dengan
pemahaman diri aktor tersebut. Dalam hal ini, identitas mencakup
intersubyektifitas atau kualitas sistemik yang dikonstitusikan baik oleh struktur
internal maupun eksternal.
Dalam konstruktivisme, pembentukan dan penyebaran norma dapat
berlangsung melalui proses dari atas ke bawah (bottom-up) yang memungkinkan
aktor lokal menantang dan mempengaruhi proses normatif global. Menurut
Amitav Acharya, hal ini dapat dijelaskan dengan teori Norm Localization. Yaitu
pembangunan aktif gagasan-gagasan asing oleh aktor-aktor lokal yang
menghasilkan kesesuaian dengan kepercayaan dan praktek lokal melalui wacana,
pembingkaian (framing), pencangkukan (grafting) dan seleksi budaya. 62 Ketika
kajian norma biasanya melihat pemindahan norma lama ke norma baru, lokalisasi
menekankan peran penting aktor lokal yang membangun kesesuaian antara –
bukan menggantikan –norma transnasional dengan kepercayaan dan praktek lokal.
Menurut Acharya, jarang sekali ada penerimaan norma secara keseluruhan,
akan tetapi yang ada adalah penyesuaian norma dengan nilai-nilai lokal. Oleh
karena itu, tanggapan aktor lokal menjadi faktor krusial dalam menganalisis.
Pendekatan lokalisasi tidak hanya menjelaskan bagaimana norma menyebar, akan
tetapi juga mengapa beberapa norma diterima di satu tempat namun ditolak di
tempat lainnya.
Terdapat dua faktor yang menentukan lokalisasi norma. Pertama,
pengambil norma – khususnya pendukung dari dalam – yang memiliki
kemampuan diskursif kredibel dan mempengaruhi pembangunan kembali norma
eksternal. Kedua, kekuatan norma lokal yang sudah ada. Semakin kuat norma
lokal, maka semakin besar kemungkinan norma eksternal akan dilokalisasi
daripada diterima secara penuh. Lagipula, sebuah norma dilokalisasi ketika ada
sebuah instrumen kebijakan baru atau institusi baru untuk mengejar tugas atau
tujuan baru. 63

62
Amitav Acharya, ”How Ideas Spread: Whose Norms Matter? Norm Localization and
Institutional Change in Asian Regionalism”. International Organization 58 (2, 2004): 239–275.
63
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


30

Dalam penelitian ini TF-AMW diartikan sebagai jejaring yang


mempengaruhi ASEAN melalui proses interaksi berkelanjutan. Proses ini
membentuk dan menciptakan kembali identitas ASEAN untuk menginternalisasi
norma baru dan sebagai proses sosialisasi yang lebih luas. Sosialisasi diartikan
sebagai proses di mana ASEAN dapat menginternalisasi norma yang membentuk
struktur sosial. TF-AMW berupaya menggunakan norma internasional yaitu HAM
– khususnya yang terkandung dalam standar perburuan internasional ILO – untuk
diadopsi ASEAN yang pada akhirnya dapat diikuti oleh negara-negara
anggotanya.

1.5.2 Konsep Jejaring Advokasi Transnasional


Globalisasi telah mengubah dinamika hubungan internasional. Munculnya
beragam isu yang tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah dan pasar telah
mendorong peran masyarakat sipil. Dari berbagai kajian sebelumnya, terdapat
beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut gerakan advokasi yang
dilakukan oleh masyarakat sipil lintas batas negara. Seperti aktivisme
transnasional, pergerakan masyarakat sipil transnasional, gerakan sosial
transnasional, koalisi transnasional, dan jejaring advokasi transnasional.
Walaupun masing-masing istilah memiliki cakupan maupun penekanan berbeda-
beda, akan tetapi tetapi ada persamaannya yaitu bahwa isu, kegiatan, aktor yang
dirangkul, target yang dibidik maupun pengaruh yang diharapkan melintasi sekat-
sekat negara.
Menurut Donatella Della Porta dan Sidney Tarrow dalam buku berjudul
Transnational Protest and Global Activism, terdapat tiga perubahan yang dapat
membantu menjelaskan gelombang pergerakan masyarakat sipil transnasional. 64
1. Perubahan dalam lingkungan internasional. Dalam konteks ini, ada tiga
elemen perubahan dalam lingkungan global yang mempengaruhi. Pertama,
berakhirnya Perang Dingin yang meruntuhkan Uni Soviet dan mendorong
berkembangnya aktivisme non-negara yang sebelumnya sulit terwujud.
Kedua, pesatnya perkembangan komunikasi elektronik dan perjalanan

64
Donatella Della Porta and Sidney Tarrow, Transnational Protest and Global Activism (eds.),
(Lanham: Rowman & Littlefield, 2005), hlm. 1-17.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


31

internasional dengan biaya terjangkau yang makin memudahkan untuk


komunkasi dan kolaborasi lintas batas negara. Ketiga, meningkatnya peran
aktor-aktor multilateral dan internasional yaitu perusahaan multinasional dan
institusi internasional.
2. Perubahan kognitif. Aktivis dan gerakan sosial merupakan aktor “reflektif”.
Oleh karena itu, pengalaman internasional mereka secara kritik telah
dianalisis, taktik dan pembingkaian yang berhasil di lebih dari satu tempat
telah dilembagakan.
3. Perubahan relasional. Meningkatnya kemungkinan mengindentifikasi “target
‘vertikal’ bersama” seperti institusi internasional juga berkontribusi kepada
formasi koalisi transnasional ‘horizontal’ melalui mekanisme relasional yang
menyatukan aktor-aktor dalam koalisi transnasional dan menghasilkan
bertumbuhnya identitas bersama dan sehingga mengurangi partikularisme
nasional.
Aktivisme transnasional jarang bekerja di lingkup transnasional secara
eksklusif. Para aktivis transnasional dapat membuat hubungan dan membentuk
koalisi di antara beragam jenis aktor yang beroperasi di tingkat yang berbeda
(lokal, nasional, regional dan internasional) dan menanggapi beragam konteks
politik, yang masing-masing menawarkan peluang politik yang berbeda.
Sehingga, jejaring aktivis transnasional kadang-kadang agak informal,
mengorganisir serangkaian kampanye menggunakan beragam bentuk protes,
mengimplementasikan dan menyesuaikan sandiwara protes dari tradisi gerakan
yang berbeda. Mereka menentang globalisasi neoliberal dan menyerukan
terwujudnya keadilan sosial global. 65
Helmut Anheier, Marlies Glasius dan Mary Kaldor dalam buku berjudul
Introducing Global Civil Society, mengemukakan bahwa ada empat kategori
masyarakat sipil. 66 Pertama, masyarakat sipil pendukung yaitu perusahaan-
perusahaan multinasional dan aliansinya yang membela kapitalisme global dan
hukum internasional. Kelompok ini membela deregulasi, perdagangan bebas dan

65
Ibid.
66
Helmut Anheier, Marlies Glasius and Mary Kaldor, “Introducing Global Civil Society”, dalam
Global Civil Society 2001, (Oxford: Oxford University Press, 2010), hlm.10.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


32

kebebasan aliran dana. Masyarakat sipil pendukung percaya dengan adanya ‘just
wars’ dalam HAM.
Kedua. masyarakat sipil penentang yaitu kelompok yang mencakup
pergerakan-pergerakan antikapitalis, pergerakan-pergerakan nasionalis dan
fundamentalis, serta negara-negara otoriter. Kelompok ini merupakan masyarakat
kiri yang menentang kapitalisme global, serta masyarakat kanan dan kiri yang
berkehendak mempertahankan kedaulatan nasional. Kelompok ini mendukung
peran proteksi pemerintah dalam mengendalikan pasar, peredaran modal, dan
menentang segala bentuk intervensi yang dianggap sebagai bentuk imperialisme
dan mencampuri kedaulatan negara.
Ketiga, masyarakat sipil reformis yaitu sebagian besar organisasi non-
pemerintah internasional maupun jaringan dan pergerakan sosial. Kelompok ini
berjuang untuk mewujudkan globalisasi yang beradab (civilized), keadilan sosial
dan stabilitas, serta pembaruan dalam institusi ekonomi. Masyarakat sipil reformis
mendukung intervensi dari masyarakat sipil serta regulasi internasional untuk
mewujudkan implementasi HAM.
Keempat, masyarakat sipil alternatif yaitu gerakan-gerakan akar rumput,
serta pergerakan sosial dan gerakan bawah tanah. Kelompok ini berjuang untuk
tidak terlibat jauh dalam globalisasi. Kelompok masyarakat sipil alternatif
mendukung adanya intervensi dari masyarakat sipil dengan cara-cara non-militer.
Dalam buku berjudul Globalization and Social Movement: Culture,
Power, and the Transnational Public Sphere; John A. Guidry, Michael D.
Kennedy, dan Mayer N. Zald menjelaskan bahwa pergerakan sosial dapat
dijelaskan dari tiga tipologi analisis. 67 Pertama, struktur kesempatan politik yaitu
peluang yang muncul karena adanya sumber daya eksternal. Kedua, struktur
mobilisasi yang dipengaruhi oleh situasi internal. Ketiga, pembingkaian secara
budaya, yang mengacu terhadap kesamaan pemahaman atas suatu isu sebagai
dasar pengambilan langkah kolektif.
Pergerakan sosial atau masyarakat sipil menghadapi sejumlah tantangan
dalam mewujudkan misinya. Tantangan yang lazim ditemui yaitu menyangkut

67
John A. Guidry, Michael D. Kennedy and Mayer N. Zald, Globalizations and Social Movement:
Culture, Power, and the Transnational Public Sphere, (Michigan: The University Press, 2003),
hlm.2.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


33

sumber daya, jejaring, posisi dan tindakan pemerintah, media massa, budaya
politik dan akuntabilitas demokratis dari masyarakat sipil. 68 Keberhasilan
pergerakan masyarakat sipil memang dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya
– baik berupa dana, personil, peralatan dan persediaan – , pembentukan jejaring
yang kuat untuk memperjuangkan suatu isu; hubungan angara masyarakat sipil
dan pemerintah pemberitaan dan informasi melalui media massa; budaya politik
yang berlaku di suatu negara; serta sejauh mana organisasi masyarakat sipil dapat
mempertanggungjawabkan segala tindakannya.
Adapun dalam tulisan karya Jonathan Fox berjudul Coalition and Network
dalam buku International Encyclopedia of Civil Society menjelaskan bahwa
pergerakan masyarakat transnasional merupakan suatu pergerakan yang
menunjukkan adanya identitas bersama dan komunikasi horizontal di antara
anggotanya, serta pengorganisasian yang menunjukkan adanya basis keanggotaan
organisasi yang terdapat di lebih dari satu negara. 69 Pergerakan sosial mengacu
kepada aktor kolektif, baik individu, kelompok, maupun organisasi, yang
berdasarkan suatu identitas kolektif bertujuan melakukan perubahan sosial dengan
cara protes kolektif dan publik. Jadi, jejaring memegang peran penting dalam
suatu pergerakan sosial.
Dalam artikel From Santiago to Seattle: Transnational Advocacy Groups;
Restructuring World Politics karangan Sanieev Khagram, James V. Riker, dan
Kathryn Sikkink pada buku berjudul Restructuring World Politics: Transnational
Social Movements, Networks and Norms berpendapat bahwa organisasi non-
pemerintah domestik dan internasional merupakan aktor utama dalam tindakan
kolektif transnasional yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga. 70
Pertama, jejaring advokasi transnasional yang merupakan bentuk paling informal
dari aktor non-negara. Jejaring dalam hal ini merupakan sekelompok aktor yang
saling terhubung lintas batas negara, terikat bersama oleh persamaan nilai,

68
Jan Aart Scholte, “Civil Society and Democratically Accountable Global Governance,” dalam
Government and Opposition, (Oxford: Blackwell Publishing, 2004), hlm. 222.
69
Jonathan Fox, “Coalition and Networks,” dalam International Encyclopedia of Civil Society,
(New York: Springer Publication, 2010), hlm.487.
70
Sanieev Khagram, James V.Riker, and Kathryn Sikkink, “From Santiago to Seattle:
Transnational Advocacy Groups Restructuring World Politics”, dalam Restructuring World
Politics: Transnational Social Movements, Networks and Norms, (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 2002), hlm. 1-21.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


34

pertukaran informasi dan layanan yang padat, dan wacana umum. Walaupun
beberapa jejaring diformalkan, sebagian besar berdasarkan kontak informal yang
aktifitas utamanya adalah pertukaran dan pengunaan informasi. Jejaring tidak
melibatkan baik koordinasi taktik yang berkelanjutan sebagaimana koalisi atau
memobilisasi sejumlah besar orang untuk terlibat dalam gerakan sosial. Kedua,
koalisi transnasional yang melibatkan koordinasi transnasional lebih besar
daripada jejaring transnasional. Koalisi transnasional merupakan sekelompok
aktor lintas batas negara yang berkoordinasi untuk membuat strategi bersama atau
seperangkat taktik guna mempengaruhi perubahan sosial. Biasanya disebut
sebagai kampanye transnasional yang merupakan unit analisis ketika meneliti dan
menganalisis tindakan kolektif transnasional. Koordinasi taktik mensyaratkan
tingkat kontak yang lebih formal daripada jejaring karena beragam kelompok
memerlukan identifikasi dan persetujuan atas taktik bersama, membuat strategi
untuk mengimplementasikan kampanye dan melaporkan perkembangan
kampanye satu dengan yang lainnya secara reguler. Ketiga, gerakan sosial
transnasional ialah sekelompok aktor dengan tujuan dan solidaritas sama, saling
terhubung lintas batas negara, yang memiliki kapasitas untuk mengkoordinasi dan
memobilisasi sosial secara berkelanjutan di lebih dari satu negara guna
mempengaruhi perubahan sosial. Dibandingkan dengan jejaring dan koalisi
transnasional, gerakan sosial transnasional memobilisasi konstituen
transnasionalnya untuk tindakan kolektif – biasanya dengan protes atau tindakan
yang mengganggu.
Jejaring advokasi transnasional memiliki keunikan tersendiri karena
mereka terorganisasi untuk mempromosikan suatu perkara, ide-ide, norma-norma,
serta seringkali melibatkan individu untuk turut mengadvokasi perubahan
kebijakan. 71 Advokasi yang diperjuangkan mereka berbasis kepada nilai-nilai
tertentu, seperti halnya lingkungan, HAM, hak-hak perempuan, dan sebagainya, di
mana masyarakat di berbagai penjuru dunia dengan latar belakang yang berbeda-
beda dapat membangun persamaan pandangan dalam isu tersebut.

71
Margaret E. Keck & Kathryn Sikkink, Activists Beyond Borders: Advocacy Networks in
International Politics, (New York: Cornell University Press, 1998), hlm. 8.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


35

Artikel From Santiago to Seattle: Transnational Advocacy Groups;


Restructuring World Politics tersebut senada dengan gagasan Margaret E. Keck
dan Kathryn Sikkink dalam buku berjudul Activists Beyond Borders: Advocacy
Networks in International Politics. Menurut Keck dan Sikkink, tipologi taktik
yang biasanya digunakan oleh aktor jejaring advokasi transnasional dalam
persuasi dan sosialisasi meliputi empat hal: 72
1. information politics yaitu kemampuan untuk menghasilkan informasi
dengan cepat dan kredibel yang berguna secara politik serta mengarahkan
ke mana ia akan memiliki dampak yang besar;
2. symbolic politics yakni kemampuan untuk menyerukan simbol-simbol, aksi-
aksi, ataupun cerita yang dapat memberikan pengertian tentang situasi
tertentu bagi massa yang berada pada jarak jauh;
3. leverage politics yaitu kemampuan untuk menyerukan kepada aktor-aktor
yang kuat untuk mempengaruhi situasi tertentu ketika salah satu
anggota networks tampak tidak memiliki peluang untuk memberikan
pengaruhnya;
4. accountability politics yakni usaha-usaha untuk mempertahankan aktor-
aktor yang kuat agar tetap memegang kebijakan atau prinsip-prinsip yang
telah ditetapkan. Dalam satu kampanye tertentu, taktik yang digunakan bisa
mengandung hanya satu tipologi atau beberapa tipologi yang digunakan
secara bersamaan.
Task Force on ASEAN Migrant Workers dalam penelitian ini diartikan
sebagai jejaring advokasi transnasional. Hal ini berdasarkan fakta bahwa
organisasi-organisasi yang tergabung di dalamnya memiliki persamaan nilai,
pertukaran informasi, layanan yang padat dan wacana umum. TF-AMW juga
tidak melibatkan baik koordinasi taktik yang berkelanjutan sebagaimana koalisi
atau memobilisasi sejumlah besar orang untuk terlibat dalam gerakan sosial.
Walaupun demikian, TF-AMW dalam tingkat tertentu memiliki kapasitas untuk
menggunakan taktik-taktik khusus untuk menekan ASEAN guna mengadopsi
instrumen perlindungan buruh migran.

72
Ibid., hlm. 16.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


36

1.5.3 Konsep Hak Asasi Manusia


Hak manusia atau yang lebih dikenal dengan HAM merupakan hak-hak
dasar yang dimiliki oleh manusia sejak lahir; apapun etnis, ras, kebangsaan, jenis
kelamin, warna kulit, agama, dan status lainnya. Setiap orang memiliki hak dasar
yang sama tanpa diskriminasi. Oleh karena itu hak tersebut saling terkait, saling
bergantung dan tak dapat dipisahkan. 73
HAM universal seringkali diungkapkan dan dijamin oleh undang-undang
dalam bentuk perjanjian, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip umum
dan sumber-sumber hukum internasional lainnya. Hukum HAM internasional
menetapkan bahwa pemerintah wajib bertindak dengan cara tertentu atau menahan
diri dari tindakan-tindakan tertentu, dalam rangka memajukan dan melindungi
HAM dari kebiasaan dasar individu maupun kelompok. 74
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan pijakan
internasional untuk menentukan batasan-batasan HAM guna mewujudkan adanya
kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia. Dalam deklarasi tersebut
disebutkan bahwa seluruh umat manusia terlahir bebas, setara dan memiliki harga
diri dan hak-hak individu yang berlaku bagi siapa saja tanpa memandang latar
belakang. 75 Dalam deklarasi ini manusia ialah individu yang menyandang status
sebagai subyek hukum internasional di samping negara.
Setiap negara maupun masyarakat internasional sudah sepantasnya
memberlakukan HAM secara adil dan dengan cara yang sama, berdasarkan derajat
dan penekanan yang setara. Walaupun demikian, beragam deklarasi dan kovenan
mengenai HAM bukanlah bersifat final dan berlaku tanpa mempertimbangkan
aspek ruang, waktu, cita-cita negara, hukum, dan kepentingan negara yang
bersangkutan. Sehingga, terus menerus ada perdebatan, seperti universalisme
versus partikularisme.
Dalam konteks ASEAN, setelah lahir Piagam ASEAN pada November
2007 dibentuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights pada

73
Office of the High Commissioner for Human Rights, “What are human rights?”, dalam
http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx (diakses pada 8 Maret 2015
pukul 20.17 WIB).
74
Ibid.
75
The United Nations, “The Universal Declaration of Human Rights”, dalam
http://www.un.org/en/documents/udhr/ (diakses pada 18 Oktober 2014 pukul 15.45 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


37

tahun 2009 sebagai upaya pemajuan HAM di Asia Tenggara. Kemudian,


Deklarasi HAM ASEAN lahir pada November 2012 yang menunjukkan
komitmen negara-negara anggota ASEAN dalam pemajuan dan perlindungan
HAM. 76 Dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
bekerja, bebas memilih pekerjaan, menikmati kondisi yang adil, layak dan
menguntungkan, dan memiliki akses ke skema bantuan bagi para pengangguran.
Deklarasi itu juga menekankan kebebasan untuk berserikat dan larangan
memperkerjakan anak di bawah umur yang sejalan dengan misi TF-AMW dalam
perlindungan hak-hak buruh migran.

1.6 Model Penelitian

Norm Localization Transnational Advocacy


Network
- Discourse - Information Politic
Migration & - Framing - Symbolic politics
Labor - Grafting - Leverage Politics
- Cultural Selection - Accountability Politics

Agency

1.7 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dikenal dengan
paradigma dasarnya yang bersifat induktif, interpretatif dan konstruktivis. 77
Metode penelitian yang mulai digunakan sejak tahun 1970-an ini memiliki tiga
ciri utama. Pertama, pandangan induktif yang menghubungkan antara teori dan
riset. Dalam hal ini teori dihasilkan dari riset atau dengan kata lain riset yang
dimulai dari penelitian kualitatif berasal dari data-data spesifik kemudian dapat

76
The ASEAN Secretariat, “ASEAN Human Rights Declaration,” dalam
http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/asean-human-rights-declaration
(diakses pada 8 Maret 2015 pukul 20.42 WIB).
77
Lawrence W. Neumann. Social Research Method: Qualitative and Quantitative Approach
(Third Edition), (Amerika Serikat: Allyn and Bacon, 1997), hlm.19-20.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


38

membuat teori baru. Teori dapat dikatakan kuat jika peneliti telah membangun
dasar riset yang komprehensif. Kedua, posisi epistimologis yang digambarkan
sebagai interpretivis. Ketiga, posisi ontologis yang digambarkan sebagai
konstruksionis. Sifat sosial merupakan hasil dari interaksi antara individu daripada
fenomena “di luar” dan terpisah dari yang terlibat dalam konstruksinya. 78 Dengan
pendekatan eksplanatori, penelitian ini berupaya menguji suatu teori atau hipotesis
guna memperkuat atau bahkan menolak teori atau hipotesa penelitian sebelumnya.
Hal ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua atau lebih variabel. 79
Dalam metode penelitian kualitatif penulis menjadi instrumen utama
dalam pengumpulan dan pengolahan data. Pendekatan kualitatif dikenal sebagai
metode penelitian dengan tujuan untuk menyelidiki suatu proses fenomena sosial
dengan tiga tahapan yaitu pengumpulan data, pengolahan data dan penulisan
laporan penelitian. Pada tahap pengumpulan data, penulis mengandalkan studi
literatur dari data primer maupun sekunder.
Data sekunder diperoleh dari berbagai jurnal, buku, surat kabar, majalah
dan artikel dari internet yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya. Sedangkan data primer diperoleh dari publikasi yang dikeluarkan
oleh berbagai lembaga resmi seperti Proposal Masyarakat Sipil dalam Kerangka
Instrumen ASEAN tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran,
Piagam ASEAN, Vientiane Action Programme, Cetak Biru Masyarakat ASEAN
2015, Deklarasi ASEAN dalam Pemajuan dan Perlindungan Hak Buruh Migran,
Deklarasi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan beragam konvensi yang
dikeluarkan oleh Organisasi Buruh Internasional khususnya terkait dengan
perlindungan buruh migran.
Data primer juga diperoleh melalui wawancara dengan perwakilan
Sekretariat ASEAN, Human Rights Working Group, Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia, UNI-APRO, FORUM-ASIA, Aliran Kesedaran Negara (ALIRAN)
Malaysia, CARAM Kamboja, Mekong Migration Network, dan Migrant Working

78
Alan Bryman, Social Research Methods (2nd Edition), (New York: Oxford University Press,
2004), hlm. 266.
79
Paul D. Leedy dan Jeanne E. Ormrod, Practical Research: Planning and Design Research
(Edisi Kedelapan), (Ohio: Pearson Merrill Prentice Hall, 2005), hlm.145-187.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


39

Group (MWG) Thailand. Sebenarnya penulis juga berupaya mewawancarai


Convenor dari Task Force on ASEAN Migrant Workers yaitu Sinapan Samydorai,
namun beliau tidak bersedia diwawancarai. Selain itu, beberapa narasumber di
luar dugaan penulis ada yang telah meninggal dunia dan ada pula yang telah
mengisi jabatan lain. Terlepas dari keterbatasan waktu, biaya, dan terbatasnya
narasumber yang berhasil diwawancarai; penulis tetap melaporkan hasil penelitian
dengan sejumlah penyesuaian dalam analisis.
Pada tahap pengolahan data, penulis menganalisis semua data yang
diperoleh dari sumber primer maupun sekunder. Penulis meneliti bagaimana
strategi advokasi TF-AMW terhadap ASEAN untuk mengadopsi instrumen
perlindungan hak-hak buruh migran. Seperti halnya penelitian kualitatif pada
umumnya; proses pengumpulan dan pengolahan data serta penulisan laporan
penelitian dilakukan secara bersamaan sehingga memungkinkan adanya
perubahan sampai penulis mampu menjawab pertanyaan penelitian dalam
penulisan tesis. 80

1.8 Asumsi dan Hipotesis Penelitian


1.8.1 Asumsi Penelitian
Dalam penelitian ini Satuan Tugas untuk Buruh Migran ASEAN (TF-
AMW) diasumsikan sebagai salah satu aktor non-negara dalam hubungan
internasional yang menggunakan jejaring dalam mengadvokasi perjuangan hak-
hak buruh migran. Sebagai sebuah jejaring, TF-AMW merupakan sebuah
platform regional yang terdiri dari kumpulan organisasi masyarakat sipil nasional
dan regional utama, serikat pekerja, organisasi non-pemerintah yang fokus dalam
isu HAM dan hak-hak buruh migran, dan serikat buruh migran. Organisasi-
organisasi yang tergabung dalam TF-AMW memiliki tujuan sama untuk
diperjuangkan yaitu agar ASEAN membuat rezim untuk perlindungan dan
pemajuan hak-hak buruh migran. Oleh karena itu, TF-AMW membuat instrumen
yang diperjuangkan agar ASEAN dapat mengadopsinya.

80
Alan Bryman, loc.cit., hlm.89.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


40

1.8.2 Hipotesis Penelitian


Advokasi Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN (Task Force on ASEAN
Migrant Workers) terhadap ASEAN untuk mengadopsi instrumen perlindungan
dan pemajuan hak-hak buruh migran belum berhasil disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, lemahnya mobilisasi sumber daya seperti minimnya dana. Kedua,
tidak meratanya persebaran anggota jejaring. Ketiga, kurangnya keberpihakan
media pada isu perlindungan buruh migran. Keempat, momentum politik yang
kurang mendukung.

1.9 Sistematika Penulisan


Penulisan hasil penelitian ini dibagi menjadi lima bab. Bab pertama
merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan
permasalahan, tujuan dan signifikansi penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
konsep, model penelitian, metode penelitian, asumsi dan hipotesis penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua membahas mengenai dinamika buruh migran di Asia
Tenggara. Selain menjabarkan pola dan karakteristik migrasi di kawasan ini, juga
menjelaskan tren maupun tata kelola migrasi di negara-negara yang tergabung
dalam ASEAN tersebut. Selanjutnya menguraikan pelanggaran hak-hak buruh
migran yang dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, studi kasus negara pengirim
buruh migran yang diwakili oleh Indonesia dan Filipina. Kedua, studi kasus
negara penerima buruh migran yang diwakili oleh Thailand, Malaysia, dan
Singapura. Pembahasan di bab ini menegaskan betapa peliknya pelanggaran hak
asasi manusia yang menimpa para pekerja migran dan betapa pentingnya ASEAN
mewujudkan instrumen untuk perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran
menjelang integrasi kawasan.
Pada bab ketiga membahas sejarah terbentuknya TF-AMW dan strategi
advokasi TF-AMW terhadap ASEAN untuk mengadopsi instrumen perlindungan
dan pemajuan hak-hak buruh migran. Bagian pertama menjabarkan mengenai
eksistensi SAPA sebagai arena transnasional utama di ASEAN. Bagian kedua
menjelaskan mengenai hubungan antara SAPA dengan FORUM-ASIA dan TF-
AMW. Bagian ketiga membahas mengenai sejarah pembentukan TF-AMW dan

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


41

rekomendasinya dalam pembuatan instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak


buruh migran. Sedangkan bagian keempat secara khusus menguraikan strategi
advokasi TF-AMW terhadap ASEAN untuk mengadopsi instrumen perlindungan
dan pemajuan hak-hak buruh migran.
Pada bab keempat menguraikan faktor-faktor belum berhasilnya advokasi
Task Force on ASEAN Migrant Workers terhadap ASEAN dalam perlindungan
hak-hak buruh migran. Tiga faktor utama yang menghambat keberhasilan
advokasi TF-AMW adalah sebagai berikut. Pertama, kuatnya pengaruh ASEAN
Way pada proses perumusan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. Kedua, lemahnya posisi kelompok masyarakat
sipil dalam tata kelola buruh migran ASEAN. Ketiga, tidak adanya momentum
politik yang mendukung advokasi Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN.
Keempat, minimnya mobilisasi sumber daya dalam advokasi Satuan Tugas Buruh
Migran ASEAN.
Bab kelima menjadi bab terakhir yaitu penutup. Bab ini merupakan
kesimpulan dari hasil penelitian yang dibahas pada bab ketiga dan keempat.
Selain itu, juga menjabarkan keterbatasan penelitian dan saran bagi peneliti-
peneliti berikutnya yang tertarik dalam mengkaji keterlibatan masyarakat sipil
dalam pembangunan Masyarakat ASEAN, khususnya dalam isu advokasi
perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


BAB 2
DINAMIKA ISU BURUH MIGRAN DI ASIA TENGGARA

Migrasi merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, dan politik yang
penting di seluruh dunia – tak terkecuali Asia Tenggara. Kawasan ini sejak
beberapa dekade terakhir menjadi tujuan sekaligus asal pekerja lintas batas
negara. Tren tersebut dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, perbedaan tingkat
ekonomi, pembangunan sosial, dan stabilitas politik antar negara. Kedua,
pertumbuhan angkatan kerja dan penuaan populasi yang mempengaruhi
permintaan dan penawaran pekerja. Selama kedua faktor di atas masih bersifat
struktural – bukan siklis – migrasi pekerja tidak akan berkurang dalam jangka
waktu menengah dan akan terus meningkat.81
Pergerakan buruh migran di ASEAN didorong oleh faktor penarik dan
pendorong. Kesenjangan ekonomi regional misalnya. Singapura tercatat sebagai
negara yang memiliki GDP per kapita tertinggi di ASEAN sebesar 60.000 Dolar
AS, sedangkan Myanmar merupakan yang terendah dengan hanya 1.325 Dolar
AS. 82 Dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN diharapkan negara-negara di
Asia Tenggara dapat lebih terbuka, sehingga memungkinkan para buruh dapat
bergerak ke seluruh penjuru kawasan untuk mencari pendapatan yang lebih tinggi
ataupun kesempatan yang lebih baik. Sayangnya, Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015 hanya mengakomodasi pergerakan “pekerja terampil”, atau dengan kata lain
sulit menerima aliran tenaga kerja tidak terampil dan berketerampilan rendah
walaupun jumlahnya mencapai lebih dari 5,3 juta.
Buruh migran merupakan salah satu isu yang amat penting menjelang
integrasi kawasan. Berdasarkan kajian tercatat bahwa populasi yang masuk
ketegori usia kerja di ASEAN akan mencapai 78% pada tahun 2025. 83 Prediksi

81
International Labour Organization and Asian Development Bank, ASEAN community 2015:
Managing integration for better jobs and shared prosperity, (Bangkok: International Labour
Organization and Asian Development Bank, 2014), hlm.83.
82
Jason Ng, “Richer Asean Nations Resist Open Borders”, Wall Street Journal, April 4, dalam
http://online.wsj.com/news/articles/SB40001424127887323646604578402283145126480 (diakses
pada 18 April 2015 pukul 14.23 WIB).
83
Shawn Greene, “ASEAN’s Demographic Dividend”, ASEAN Briefing November 25, dalam
http://www.aseanbriefing.com/news/2013/11/25/asean-demographic-dividend .html# s t h a
slvWkuuZJ.dpuf (diakses pada 18 April 2015 pukul 14.20 WIB).
42
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


43

ini menunjukkan bahwa beberapa negara anggota ASEAN memiliki kelebihan


pasokan tenaga kerja tetapi lapangan kerja yang terbatas. Di sisi lain, beberapa
negara lainnya membutuhkan pasokan tenaga kerja yang lebih, sehingga dapat
dipenuhi oleh buruh migran dari negara-negara lainnya.
Apalagi, isu buruh migran sering kali menimbulkan perselisihan
diplomatik tingkat tinggi antar negara-negara anggota ASEAN. Misalnya,
Indonesia pernah menerapkan dua moratorium pengiriman buruh migran ke
Malaysia dari Juni 2009 sampai Desember 2011. Moratorium ini merupakan salah
satu titik terendah dalam sejarah hubungan Indonesia-Malaysia yang kemudian
diakhiri hanya dengan perjanjian bilateral atau nota kesepahaman. Banyak
pengamat politik berpendapat bahwa kebijakan tersebut tidak mampu
menyelesaikan masalah. 84 Jika integrasi ASEAN diberlakukan, isu buruh migran
tidak dapat diselesaikan dengan hanya perjanjian bilateral akan tetapi harus
dengan mekanisme regional.
Setelah diluncurkannya Deklarasi Cebu 2007, lahir Cetak Biru ASEAN
Socio-Cultural Community yang juga mengulik isu buruh migran. Cetak biru yang
diadopsi pada tahun 2009 ini menyebutkan bahwa ada sembilan “tindakan”
dalam judul “C.2. Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran”. Dalam
hal ini, tujuan strategisnya tidak lain adalah memastikan kebijakan migrasi yang
komprehensif dan adil dan perlindungan yang cukup terhadap seluruh buruh
migran. 85 Deklarasi HAM ASEAN tahun 2012 juga menegaskan bahwa hak-hak
buruh migran tidak dapat dicabut, integral dan tak dapat dipisahkan dari hak asasi
86
manusia dan kebebasan dasar.
Bab ini membahas mengenai dinamika buruh migran di Asia Tenggara.
Selain menjabarkan pola dan karakteristik migrasi di kawasan ini, penulis juga
menjelaskan tren maupun tata kelola migrasi di negara-negara yang tergabung
dalam ASEAN tersebut. Selanjutnya penulis menguraikan pelanggaran hak-hak
buruh migran yang dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, studi kasus negara

84
Tess Bacalla, loc.cit.
85
The ASEAN Secretariat, ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint, dalam
http://www.asean.org /archive /5187-19.pdf p.12 (diakses pada 18 Maret 2015 pukul 14.37 WIB).
86
The ASEAN Secretariat, ASEAN Human Rights Declaration, dalam
http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/asean-human-rights-declaration
(diakses pada 18 April 2015 pukul 14.42 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


44

pengirim buruh migran yang diwakili oleh Indonesia dan Filipina. Kedua, studi
kasus negara penerima buruh migran yang diwakili oleh Thailand, Malaysia, dan
Singapura. Pembahasan di bab ini menegaskan betapa peliknya pelanggaran hak
asasi manusia yang menimpa para pekerja migran dan betapa pentingnya ASEAN
mewujudkan instrumen untuk perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran
menjelang integrasi kawasan.

2.1 Pola dan Karakteristik Migrasi di Asia Tenggara


Asia Tenggara merupakan asal sekaligus tujuan migrasi yang penting sejak
beberapa dekade silam. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 migrasi buruh
dari Cina dan India ke kawasan ini menjadi ciri globalisasi khas Asia. Migrasi
Asia Tenggara juga mendekati migrasi transatlantik Eropa. Ini terjadi karena
industrialisasi di Eropa berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung
terhadap perekonomian dan masyarakat Asia Tenggara. Migrasi pada umumnya
tidak dibatasi sehingga memacu tumbuhnya komunitas imigran dan masyarakat
plural di berbagai belahan dunia. 87
Sejak tahun 1980-an Asia Tenggara muncul sebagai salah satu pemain
utama gerakan migrasi global. Secara eksponensial aliran migrasi tumbuh baik
dalam skala, keragaman dan signifikansinya. Orang-orang yang melintasi batas
negara sebagian besar didorong oleh alasan ekonomi atau terpaksa berpindah
karena lain hal seperti peperangan. Di beberapa tujuan utama migrasi Asia
Tenggara – Singapura, Malaysia dan Thailand – , pekerja migran menyumbang
antara 15-30 persen angkatan kerja dan terus meningkat dari masa ke masa.
Belakangan ini aliran buruh migran tidak berdokumen menjadi masalah serius di
Asia Tenggara yang memicu menguatnya penjagaan perbatas. Hal tersebut dapat
ditemui di perbatasan Indonesia-Malaysia, Malaysia-Thailand, Thailand-
Myanmar, Kamboja-Thailand dan lain-lain.
Meledaknya arus migrasi dalam beberapa dekade terakhir didorong oleh
88
empat faktor utama. Pertama, kuatnya pertumbuhan ekonomi dan berakhirnya
konflik besar di kawasan ini yang semakin memudahkan orang-orang untuk

87
Amarjit Kaur, Labor Crossings in Southeast Asia: Linking Historical and Contemporary Labor
Migration, New Zealand Journal of Asian Studies 11, 1 (June 2009): 276-303.
88
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


45

berpindah ke negara lain. Mengingat migrasi terutama merupakan fenomena


ekonomi, dibentuk oleh besarnya pendapatan dan perbedaan upah di antara negara
dan biaya transportasi maupun komunikasi, ada kecenderungan yang kuat bagi
orang-orang untuk berpindah. Kedua, kendati sebagian besar migran seperti dari
Indonesia, Filipina dan Myanmar datang dari daerah sangat miskin, kemiskinan
justru bukan penentu utama migrasi. Para migran juga bukan datang dari kategori
“termiskin”, karena mereka harus mengeluarkan biaya untuk transportasi dan
administrasi. Pada umumnya mereka juga memiliki akses pinjaman dari
masyarakt lokal dan dari perantara yang berperan dalam industri migrasi.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi regional ASEAN, dan terbentuknya
beberapa “kawasan segitiga” dan sub-kawasan untuk memudahkan perdagangan,
aliran modal dan buruh; menunjukkan bahwa saat ini banyak pasar kerja tumpang
tindih dengan batas-batas negara, berlaku baik untuk pekerja terampil maupun
tidak terampil. Sub-kawasan itu di antaranya ialah kawasan pertumbuhan Brunei-
Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) dan
kawasan Utara ASEAN (Mekong Raya) yang membantu tumbuhnya sistem
migrasi khas. Selain itu, tingginya frekuensi perpindahan masyarakat di
perbatasan juga melahirkan kerjasama bilateral yang menguntungkan migran. Hal
tersebut dapat dilihat di Perbatasan Entikong (Kalimantan Barat, Indonesia)-
Tebedu (Sarawak, Malaysia). Adapun pola pekerja komuter dapat dijumpai di
perbatasan Singapura-Johor (Malaysia) dan perbatasan Malaysia-Thailand sejak
zaman kolonial.
Keempat, kebijakan penempatan pekerja di luar negeri seperti Indonesia
dan Filipina juga telah mendorong meningkatnya migrasi internasional di Asia
Tenggara. Di kedua negara itu ekspor pekerja telah menjadi strategi penting untuk
mengatasi kemiskinan, mengatasi pengangguran, dan menciptakan devisa negara.
Baik Indonesia maupun Filipina telah memasukkan target jumlah pekerja migran
dalam rencana pembangunan ekonomi mereka. Target tersebut terus meningkat
dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan 1,25 juta pekerja pada rencana

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


46

pembangunan ekonomi 1994-1999 dan 2,8 juta pekerja pada rencana


pembangunan ekonomi 1999-2003. 89
Kelima, tumbuhnya industri migrasi yang bertepatan dengan
dilembagakannya migrasi buruh internasional oleh negara-negara pengirim dan
penerima, telah meningkatkan arus migrasi. Industri migrasi yang dimaksud
mencakup beberapa lapis perantara seperti biro perekrutan resmi, pengusaha
swasta (berlisensi maupun tidak), dan kontraktor maupun makelar buruh. Itu juga
menciptakan hubungan penciptaan jaringan dan ketergantungan jaringan di
negara-negara pengirim maupun penerima migran. Akibatnya, resiko migrasi
berkurang karena beragam bantuan dari perantara seperti dokumentasi,
transportasi dan akomodasi. Tidak mengherankan jika adanya beberapa lapis
perantara dan biaya memicu tumbuhnya migrasi tidak sah atau tidak berdokumen.

Tabel 2.1
Perbandingan Migrasi Intra-ASEAN Dari Masa Ke Masa

Total Pekerja
Pekerja Migran
Total Pekerja Migran ASEAN di
Intra-ASEAN
Sumber Tahun Migran ASEAN di Negara-negara
Dibandingkan di
Luar ASEAN Anggota ASEAN
Luar ASEAN
Lainnya
World Bank: Global 2000 9.798.318 2.729.908 27,9%
Bilateral Migration
Database
UN: Trends in 2000 11.400.146 3.315.514 29,1%
International Migrant
Stock Database
Migration DRC: Global 2000- 10.156.555 2.504.719 24,7%
Migrant Origin
2002
Database (v.4)
World Bank: Bilateral 2010 12.852.027 3.954.547 30,8%
Migration Matrix
UN: Trends in 2010 17.556.607 5.871.325 33,4%
International Migrant
Stock Database

89
‘Help Wanted: Abuses against Migrant Female Domestic Workers in Indonesia and Malaysia’,
Human Rights Watch, 16, 9 (B) (July 2004), hlm. 9.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


47

UN: Trends in 2013 18.835.748 6.513.354 34,6%


International Migrant
Stock Database

Sumber: International Labour Organization and Asian Development Bank, ASEAN community
2015: Managing integration for better jobs and shared prosperity, (Bangkok: International Labour
Organization and Asian Development Bank, 2014), hlm.116. (telah diolah kembali)

Jika dilihat dari segmentasi pasar kerja, terdapat tiga macam aliran migrasi
di Asia Tenggara. 90 Pertama, Migran Tidak Terampil. Secara statistik, aliran ini
merupakan yang terbesar dan identik dengan upah yang rendah. Para pekerja yang
termasuk dalam kategori ini direkrut sebagai pekerja tamu sementara, bergantung
dengan izin kerja dan pada umumnya menerima kondisi pekerjaan yang lebih
buruk dan manual. Mereka tidak dapat mengakses pasar kerja secara langsung dan
sebagian besar direkrut melalui biro swasta, serta biasanya tidak diakomodasi oleh
perjanjian bilateral antara negara pengirim dan penerima migran. Pekerja jenis ini
sebagian besar mengisi sektor perikanan dan perkebunan dan di sektor konstruksi,
atau ditempatkan di bagian jasa dengan keterlibatan modal asing yang minim.
Pembantu rumah tangga direkrut dalam sebuah sistem sponsor. Bukan seperti
pekerja tidak terampil lain yang direkrut dalam pekerjaan teratur, sponsor
pembantu rumah tangga memiliki monopoli atas pekerja yang dibawa di negara
tujuan.
Kedua, Migran Berketerampilan Tinggi. Para pekerja jenis ini
dikelompokkan sebagai profesional yang memiliki keterampilan dan bergaji
tinggi. Mereka yang mungkin datang dari Amerika Serikat, Eropa, Australia,
Jepang, India, Malaysia, atau Hongkong ini berada di puncak pasar tenaga kerja.
Mereka diperkerjakan di lintasan kerja dan mengambil pekerjaan teknis atau
manajemen baik berdasarkan inisiatif sendiri melalui biro rekrutmen atau direkrut
di negara asal untuk penempatan luar negeri. Dalam kategori ini termasuk
manajer, insinyur atau teknisi lain yang bekerja untuk perusahaan multinasional.
Mereka biasanya dikaitkan dengan perluasan perdagangan, jasa keuangan, atau
komunikasi internasional. 91

90
Amarjit Kaur, op.cit.
91
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


48

Ketiga, Migran Tidak Sah. Besarnya dorongan orang-orang untuk


bermigrasi dari negara-negara berpendapatan rendah ke berpendapatan tinggi di
Asia Tenggara, tingginya biaya administrasi migrasi, termasuk pembayaran
kepada perantara dan biro rekrutmen, serta adanya kuota khusus pekerja kontrak
tak berketerampilan; telah memicu aliran migrasi tidak sah. Banyak majikan
menerima pekerja tidak sah meskipun ada peraturan ketat, denda, hukuman
penjara, dan hukuman fisik. Hal ini penting karena pekerja tidak sah
terkonsentrasi di daerah industri padat karya yang dijauhi oleh pekerja lokal
dengan gaji yang sangat rendah. Banyak informasi di kategori pekerja ini tidak
dapat direkam dan tak dicantumkan dalam statistik resmi. 92
Tidak jauh berbeda dengan pola migrasi di negara sedang berkembang,
aliran migrasi di Asia Tenggara memiliki beberapa karakteristik utama. 93
Pertama, tingkat feminisasi yang secara konsisten tinggi. Perempuan
menyumbang 49,1 persen pekerja secara global. Di ASEAN, statistik juga
menunjukkan dominasi perempuan dalam pasar kerja yang direkrut melalui
Program Pekerja Asing Sementara. Sebagian besar pekerja migran perempuan
tersebut miskin dan muda – berumur antara 20-39 tahun.
Kedua, ketergantungan struktural terhadap Program Pekerja Asing
Sementara yang merupakan skema migrasi pekerja dominan di ASEAN. Di
negara-negara tujuan migrasi, ketergantungan ini dibuktikan dengan jumlah
pekerja sementara yang signifikan dan keluarganya, termasuk yang setengah
menganggur dan menganggur. Di negara-negara asal, ini dibuktikan dengan
pemanfaatan buruh migran sebagai strategi kelangsungan hidup seseorang atau
keluarga, dalam mencari pekerjaan layak dan remitansi untuk mempertahankan
mata pencaharian.
Ketiga, tingginya tingkat migrasi tak berdokumen. Seluruh negara yang
tergabung dalam ASEAN – kecuali Singapura – mengalami migrasi tak
berdokumen tingkat tinggi. Kantong pekerja migran tak berdokumen terbesar
berada di Thailand dan Malaysia dengan jumlah setidaknya 2,1 juta jiwa. Tingkat
migrasi tak berdokumen di kawasan ini dapat dibandingkan dengan aliran migrasi

92
Ibid.
93
UN Women Asia Pacific Regional Office, Managing Labour Migration in ASEAN: Concerns for
Women Migrant Workers, (Bangkok: UN Women Asia Pacific Regional Office, 2013), hlm.15-16.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


49

tak berdokumen di Eropa atau di sepanjang perbatasan Meksiko-Amerika Serikat.


Pada tahun 2007 diperkirakan aliran migrasi tak berdokumen dari Indonesia ke
Malaysia merupakan yang tertinggi di dunia setelah aliran migrasi dari Meksiko
ke Amerika Serikat.
Keempat, aliran lintas batas yang signifikan. Ketika dihadapkan dengan
skema migrasi sah yang mahal, kompleks dan tak dapat diakses; buruh migran
cenderung bermigrasi dengan tidak berdokumen. Hal ini terutama dapat dilihat di
Greater Mekong Subregion (GMS) dan beberapa kawasan perbatasan lainnya di
ASEAN.
Kelima, tingginya kadar pekerjaan informal. Sebagian besar pekerja
migran informal bekerja di perusahaan kecil dan menengah yang termasuk sektor
konstruksi, pertanian dan perikanan. Sebagian lainnya bekerja untuk rumah
tangga, bisnis yang dimiliki majikan, dan jasa perawatan, di luar perlindungan
buruh dan sosial. Di ASEAN, sebagian besar pekerja migran informal merupakan
perempuan. Misalnya, pada 2006 di Indonesia tercatat hampir 80 persen pekerja
migran informal ialah perempuan.
Keeenam, tingginya tingkat penyelundupan. Tingginya aliran migrasi
dapat dihubungkan dengan penyelundupan pekerja dan industri seks di kawasan
ini. Di Malaysia misalnya. Pada tahun 2011 lebih dari 250.000 pembantu rumah
tangga resmi yang sebagian besar dari Indonesia ditambah dengan 100.000 buruh
migran tak berdokumen lainnya diperkirakan menjadi korban perdagangan
manusia.
Sejak 1990, migrasi intra-ASEAN meningkat secara signifikan yaitu dari
1,5 juta pada tahun 1990 menjadi 6,5 juta pada tahun 2013. Di beberapa negara
tujuan utama pekerja migran ASEAN, lebih dari separuh migran datang dari
sesama negara anggota ASEAN lainnya yaitu Singapura (52,9%), Malaysia
(61,2%), dan Thailand (96,2%).94 Sejak tahun 1990, migrasi intra-ASEAN dari
Myanmar, Laos dan Kamboja meningkat sekitar 40% dari total warga negara
mereka di luar negeri. Walaupun demikian, untuk Vietnam dan Filipina migrasi
intra-ASEAN hanya menyumbang 7% dari total warga negara mereka di luar

94
International Labour Organization and Asian Development Bank, loc.cit., hlm. 83-84.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


50

negeri dan terus menyusut seiring dengan meningkatnya perekonomian di negara-


negara Timur Tengah, Asia Timur, Eropa dan Amerika Utara.

2.2 Tren Arus Migrasi di Asia Tenggara


Seluruh negara Asia Tenggara diuntungkan dari besarnya kontribusi
ekonomi buruh migran. Pada tahun 2009 saja, negara-negara penerima buruh
95
migran diperkirakan mendapatkan remitansi sebesar 21,9 Miliar Dolar AS.
Uang tersebut dikirimkan migran kepada keluarga dan kerabat. Antara tahun 2000
sampai tahun 2006; 27,8 juta pekerjaan baru diciptakan di negara-negara anggota
ASEAN dengan tingkat pertumbuhan mencapai 11,8 persen dan menyerap dari
235,2 juta menjadi 243 juta pekerja. Banyak pekerjaan baru yang kosong diisi
oleh buruh migran dari negara sesama anggota ASEAN lainnya. 96

Tabel 2.2
Jumlah Pekerja Migran di Asia Tenggara Berdasarkan Negara Asal dan
Tujuan

Negara Asal Jumlah Pekerja Negara Tujuan Tahun


Migran
Indonesia 2.700.000 Malaysia, Arab Saudi, Taiwan, Singapura, Korea 2007
Selatan, Uni Emirat Arab
Myanmar 1.840.000 Thailand 2006
Laos 173.000 Thailand 2004
Kamboja 183.541 Thailand 2006
Vietnam 400.000 Korea Selatan, Jepang, Malaysia, Taiwan 2005
Filipina 8.233.172 Timur Tengah, Malaysia, Jepang 2006
Malaysia 250.000 Jepang, Taiwan 1995
Thailand 340.000 Arab Saudi, Cina, Taiwan, Myanmar, Singapura, 2002
Brunei Darussalam, Malaysia
Singapura 150.000 - 2002

Sumber: Graeme Hugo, “Labour Migration for Development: Best Practices in Asia and the
Pacific”, ILO Asian Regional Programme on Governance of Labour Migration Working Paper
No.17, (Bangkok: ILO Regional Office for Asia and the Pacific, 2009), hlm. 5. (telah diolah
kembali)

95
UNESCAP, Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2011, hlm.15, dalam
http://www.unescap.org/stat/data/syb2011/ESCAP-syb2011.pdf (diakses pada 1 Mei 2015 pukul
08.06 WIB).
96
Ong Keng Yong, ASEAN Secretary-General, ‘Growth, Employment, and Decent Work,’
remarks at Asian Employment Forum (Beijing, 2007), dalam www.aseansec.org/20826.htm.
(diakses pada 1 Mei 2015 pukul 08.09 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


51

Tujuan utama migrasi di Asia Tenggara ialah Brunei Darussalam,


Singapura, Malaysia dan Thailand. Pekerja migran di Brunei Darussalam pada
2007 mencapai 33,2 persen dari total populasi yaitu 124.000. Dari jumlah itu,
diperkirakan 88.000 di antaranya merupakan pekerja migran berketerampilan
rendah dari Indonesia, lebih dari 19.600 dari Filipina, dan lebih dari 4.410 datang
dari Thailand dan Vietnam. Secara keseluruhan, 25.000 dari jumlah itu
merupakan buruh migran perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah
tanggga. 97
Sebagai negara paling maju di ASEAN, Singapura menerima buruh
migran dari penjuru Asia Tenggara kecuali Brunei Darussalam. Pada tahun 2009
tidak kurang dari 1.843.000 migran ada di Singapura yang kira-kira setara dengan
42,6 persen populasinya. Tiga tahun sebelumnya tercatat 580.000 buruh migran
berketerampilan rendah dengan izin kerja, termasuk di antaranya 160.000 buruh
migran perempuan. Angka ini menunjukkan kenaikan sebesar 170 persen sejak
tahun 1990. 98 Statistik memperlihatkan bahwa pembantu rumah tangga migran di
negara ini naik lebih dari 200.000 pada 2011. Data Statistik Ketenagakerjaan
Singapura 2012 menunjukkan bahwa warga negara Singapura dan penduduk tetap
mencapai 2, 08 juta dari 3,24 juta angkatan kerja, dengan jumlah pekerja migran
berada di angka 1,16 juta.
Di negara jiran Malaysia diperkirakan ada 1,8 juta buruh migran
berdokumen dan antara 500.000-1,8 juta buruh migran tak berdokumen pada
2011. 99 Pada tahun 2010 pemerintah Malaysia mengeluarkan 1.803.260 izin kerja
kepada migran dengan rincian 917.930 dari Indonesia, sekitar 140.260 dari
Myanmar, lebih dari 74.840 dari Vietnam, sekitar 18.640 dari Filipina, lebih dari
12.000 dari Kamboja, dan sekitar 7.100 dari Thailand. Menurut catatan Federasi
Pengusaha Malaysia terdapat tiga buruh migran tak berdokumen dari setiap buruh
migran berdokumen di Malaysia. Yang menarik, Malaysia juga mengekspor

97
UN Women Asia Pacific Regional Office, loc.cit., hlm.11-12.
98
Migration Policy Institute, “Rapid Growth in Singapore’s Immigrant Population Brings Policy
Challenges”, Country Profile (April 2012), dalam: http://www.migrationinformation.org/
Profiles/display.cfm?ID=570, (diakses pada 1 Mei 2015 pukul 08.15 WIB).
99
Azizah Kassim and Ragayah Haji Mat Zin, Policy on Irregular Migrants in Malaysia: An
Analysis of its Implementation and Effectiveness, Discussion Paper Series No. 2011-34,
(Philippine: Institute of Development Studies), hlm. 2.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


52

pekerja ke Singapura sekitar 1,5 juta atau setara dengan 73 persen total pekerja
migran Malaysia. Angka ini belum termasuk banyaknya warga Malaysia yang
telah memperoleh tempat tinggal permanen.
Di Thailand buruh migran berdokumen diperkirakan mencapai 1.050.000
atau setara dengan 1,6 total populasi. 100 Tidak seperti pola migrasi di Malaysia,
Singapura dan Brunei Darussalam; aliran migrasi di Thailand didorong oleh
besarnya perpindahan manusia lintas batas dari negara tetangga terdekat seperti
Myanmar, Laos, dan Kamboja. Pemerintah Thailand memprediksi bahwa buruh
migran berketerampilan rendah di negaranya mencapai 2,46 juta dengan 1,4 juta
di antaranya tidak berdokumen. Selain sebagai negara tujuan migran, para pekerja
Thailand juga mengadu nasib di negara-negara tetangga ASEAN. Pada tahun
2007 tidak kurang dari 16.271 warga Thailand bekerja di Singapura, 4.143 bekerja
di Brunei Darussalam, dan 3.432 bekerja di Malaysia. 101 Beberapa sumber juga
memperkirakan ada lebih dari 200.000 warga Thailand tak berdokumen yang
bekerja di Malaysia.
Filipina merupakan penyumbang migran terbesar di Asia. Pada tahun 2010
saja, terdapat 1.470.586 buruh migran Filipina berbasis lahan yang 103.660 di
102
antaranya berada di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Menurut
Philippine Overseas Employment Administration (POEA), 10-11 persen dari
penduduk Filipina atau setara dengan 12,5 juta jiwa bekerja di luar negeri. Pada
tahun 2010 Filipina tercatat sebagai penerima remitansi terbesar keempat di dunia
setelah India, Cina dan Meksiko. Dengan demikian, negara ini merupakan
penerima manfaat remitansi terbesar di ASEAN. Remitansi menyumbang sekitar
10,73 persen GDP Filipina pada 2010. 103
Pemerintah Indonesia memperkirakan ada lebih dari 4,3 juta buruh migran
pada 2009. Mayoritas buruh migran Indonesia merupakan perempuan dengan
komposisi 75,3 persen pada 2006 dan mencapai 83 persen pada tahun 2009.
100
IOM and UN, Thailand Migration Report 2011, hlm. 110, dalam http://www.un.or.th/
documents/TMR- 2011.pdf (diakses pada 2 Mei 2015 pukul 10.06 WIB).
101
UN Women Asia Pacific Regional Office, loc.cit., hlm.13
102
Philippines Senate Economic Planning Office (SEPO), “Overseas Filipino Workers at a
Glance”, issues brief, (May 2012), dalam http://www.senate.gov.ph/publications/AG%202012-
04%20-%20OFW.pdf (diakses pada 2 Mei 2015 pukul 10.27 WIB).
103
Edwin Espajo, “Filipino migrant workers staying abroad”, dalam http://www.insideasean.com/
opinion-analysis/Filipino-migrant-workers-staying-abroad-133/ (diakses pada 2 Mei 2015 pukul
11.42 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


53

Sampai saat ini, tujuan utama migrasi Indonesia ialah Malaysia dengan jumlah
resmi mencapai 917.932 jiwa pada tahun 2010. 104 Lebih dari 90 persen buruh
migran perempuan Indonesia merupakan pembantu rumah tangga.
Vietnam menyumbang lebih dari 500.000 buruh migran di 40 negara dan
wilayah. Dari angka itu, 150.000 di antaranya bekerja di negara-negara ASEAN
khususnya di Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Buruh migran tak
berdokumen Vietnam juga menyebar di Kamboja. Pada tahun 2003, 25 persen
dari buruh migran Vietnam di Malaysia merupakan perempuan. Secara
keseluruhan, buruh migran berdokumen dari negara ini meningkat tiga lipat dari
tahun 2000 ke tahun 2009. 105
Myanmar juga merupakan salah satu negara utama pengirim migran di
Asia Tenggara. Walaupun tidak ada angka pasti, jumlah migran dari negara ini
mencapai 10 persen dari total populasi yang mana banyak di antaranya tidak
berdokumen. Pada tahun 2010 terdapat 812.984 pekerja migran Myanmar di
106
Thailand, 140.260 di Malaysia, dan sekitar 100.000 di Singapura. Pekerja
migran tak berdokumen Myanmar di Thailand diperkirakan mencapai 2 juta jiwa.
Dari tahun ke tahun Kamboja terus membuka diri untuk mempermudah
arus migran. Hal itu dibuktikan dengan adanya Nota Kesepahaman migrasi
dengan Thailand, Malaysia dan Korea Selatan. Antara 1998 dan 2007, tidak
kurang dari 20.630 migran berdokumen Kamboja di tiga negara itu. 107 Pada tahun
2009 sebanyak 124.670 pekerja Kamboja berada di Thailand dan pada 2010 lebih
dari 12.090 pekerja asal negara ini berada di Malaysia dengan mayoritas buruh
migran perempuan. Sebagaimana pekerja migran asal Laos dan Myanmar, pekerja
migran Kamboja sebagian besar juga tidak berdokumen.
Berdasarkan catatan Kementerian Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Sosial
Laos, sekitar 7 persen dari total populasi Laos merupakan migran pada tahun

104
ILO Jakarta, “Special Edition on Domestic Workers: Recognizing Domestic Work as Work”
(April 2010), hlm. 6.
105
UN Women, “Factsheet briefing on gender issues in migration and urbanization as they relate
to poverty” (Bangkok, 2011), dalam http://www.unwomen eseasia.org/Vietnam/docs/ GCGender
Factsheet021211.pdf (diakses pada 2 Mei 2015 pukul 10.41 WIB).
106
Kate Hodal, “A day in the life of a migrant worker in Singapore (part 2), (24 July 2011), dalam
http://www.cnngo.com/singapore/life/day-life-migrant-worker-singapore-part-2-604578 (diakses
pada 2 Mei 2015 pukul 10.44 WIB).
107
ILO, Review of labour migration management, polices and legal framework in Cambodia, ILO
Asia-Pacific Working Paper Series (Bangkok: ILO Asia Pacific Regional Office, 2009), hlm.4.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


54

2006. Dari jumlah itu diperkirakan 85 persen di antaranya melintasi batas negara
108
secara informal dengan Thailand sebagai tujuan utama. Sebagaimana
Indonesia, pada tahun 2007 90 persen dari buruh fmigran perempuan Laos
merupakan pembantu rumah tangga.

2.3 Tata Kelola Migrasi di Asia Tenggara


Memastikan perlindungan yang sama terhadap pekerja migran dapat
meningkatkan kesetaraan ekonomi dan mendorong lebih efisiennya pasar tenaga
kerja. Menegakkan perlindungan pekerja migran memastikan bahwa majikan
yang tidak memenuhi standar ketenagakerjaan nasional tidak dapat bersaing
secara adil. Dalam hal ini intervensi pemerintah sangat penting dalam mengelola
mobilitas tenaga kerja di ASEAN. Secara spesifik, negara-negara di Asia
Tenggara dapat berperan di tiga hal: meratifikasi dan menjalankan Konvensi
internasional, memperluas cakupan dan portabilitas jaminan sosial, dan
menjalankan Deklarasi Cebu.
Dengan cita-cita integrasi kawasan, ASEAN berharap dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, mendongkrak alokasi sumber daya dengan aliran bebas
produksi, memacu pergerakan modal dan buruh, dan melejitkan efisiensi maupun
inovasi yang kompetitif. Mudahnya aliran migran jika dikelola dengan baik akan
mendatangkan beberapa keuntungan, seperti: meningkatnya pendapatan dan
kesempatan sebagai pengakuan keterampilan dan pengalaman bagi migran,
menjawab kurangnya tenaga kerja dan memacu pertumbuhan ekonomi bagi
negara penerima migran, dan melonjaknya penerimaan remitansi serta alih
pengetahuan bagi negara pengirim migran.
Sebagaimana di belahan bumi lainnya, kebijakan migrasi di ASEAN
sebagian besar masih ditangani oleh pemerintah di tingkat nasional. Di saat yang
bersamaan, perjanjian internasional masih menghadapi sejumlah kendala. Sebagai
aktor utama hubungan internasional, negara memiliki andil dalam pengambilan
keputusan kunci mengenai terbukanya pasar kerja termasuk: kebijakan visa,
kelayakan bekerja di sektor tertentu, kualifikasi yang diperlukan maupun

108
UN Women, “Factsheet: Lao People’s Democratic Republic”, (2012), dalam
http://www.unwomen-eseasia.org/docs/factsheets/04%20Lao%20PDR%20factsheet.pdf (diakses
pada 2 Mei 2015 pukul 11.01 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


55

persyaratan. Negara juga berperan dalam mengatur proses pra-migrasi seperti


pengajuan visi, maupun proses pasca-migrasi seperti perlindungan hak-hak buruh
migran. Sistem yang mengatur perpanjangan izin kerja migran maupun
manajemen migran tak berdokumen juga menjadi kerangka kebijakan secara
keseluruhan. 109
Negara-negara di Asia Tenggara memiliki beragam kebijakan dalam
mengatur migran. Oleh karena itu, sulit untuk melakukan generalisasi. Kebijakan
migrasi setiap negara selama ini cenderung reaktif dan tidak aktif mengarahkan
atau merencanakan aliran migrasi. Sebagian besar negara di kawasan ini
menawarkan sedikit akses terhadap pekerjaan yang membutuhkan keterampilan
rendah, sementara beberapa negara bersaing secara terbuka untuk memperebutkan
migran berketerampilan tinggi. Besarnya aliran buruh migran tak berdokumen
merupakan bukti bahwa hanya sedikit saluran sah migrasi untuk memenuhi
permintaan regional. Penanganan migran tak berdokumen sering kali tidak
memuaskan dan oleh karena itu, mereka rawan terhadap pelanggaran hak asasi
manusia.
Meskipun kebijakan nasional masih mendominasi dalam isu migrasi,
negara-negara anggota ASEAN telah mulai bekerjasama di beberapa sektor yang
ditunjukkan dengan sejumlah kesepakatan regional. Misalnya, ASEAN Agreement
on the Movement of Natural Person (MNP) yang ditandatangani pada tahun 2012
menyusul ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Meskipun
demikian komitmen negara-negara anggota ASEAN dalam hal itu tidak
melampaui terbatasnya perjanjian melalui Organisasi Perdagangan Dunia. MNP
secara spesifik hanya mengatur aliran migran sementara seperti pengunjung
bisnis, penyedia jasa kontrak, atau hanya terfokus pada program perusahaan untuk
memfasilitasi perpindahan professional sementara ke negara lain. Dengan kata
lain, MNP tidak mengizinkan perpindahan orang secara tetap atau gerakan seluruh
orang (misalnya buruh migran tidak terampil) walau hanya untuk sementara. 110
Salah satu kerjasama ASEAN dalam bidang migrasi lainnya ialah
menyangkut hak-hak migran. Menyusul Bangkok Declaration on Irregular

109 Sarah Huelser and Adam Heal, “Moving Freely? Labour Mobility in ASEAN”, Asia-Pacific
Research and Training Network on Trade, Brief No. 40 June 2014, hlm.1-9.
110
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


56

Migration pada 1999, negara-negara di Asia Tenggara menguatkan komitmen


perlindungan hak-hak buruh migran yaitu dengan adanya Declaration on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers atau yang dikenal
dengan nama Deklarasi Cebu pada 2007. Dalam deklarasi ini tertulis komitmen
untuk melindungi hak-hak buruh migran dan memajukan pekerjaan yang layak,
manusiawi, produktif, bermartabat dan menguntungkan bagi migran. Namun,
mekanisme penegakan perlindungan buruh migran tidak berdokumen belum
tercakup. Padahal, kelompok tersebut merupakan yang paling rentan dalam kasus
eksploitasi. Deklarasi Cebu ini juga mendorong terbentuknya ASEAN Forum on
Migrant Labor pada 2008 yang memungkinkan perwakilan pemerintah,
masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan berkumpul.
Walaupun negara-negara di kawasan Asia Tenggara terus berpacu dalam
mewujudkan Masyarakat ASEAN 2015, kerjasama paling substantif dalam pasar
kerja justru tidak melalui kerangka ASEAN tetapi melalui perjanjian atau Nota
Kesepahaman bilateral. Misalnya, Thailand telah menandatangani perjanjian
dengan Kamboja, Laos, dan Myanmar guna mengatur masuknya buruh migran
dan mengatasi migran tak berdokumen. Negara pengekspor buruh terbesar di
Asia, Filipina juga memiliki Nota Kesepahaman untuk mengatur pekerja dari
Indonesia dan Laos. Begitu pun halnya dengan perjanjian bilateral Indonesia-
Malaysia dalam tata kelola migrasi yang dinamis. Perjanjian bilateral tersebut
memberikan pelajaran berharga dan menjadi sebuah basis bagi kerjasama
multilateral dalam kerangka ASEAN.

Tabel 2.3
Beberapa Perjanjian Bilateral Intra-ASEAN Tentang Migrasi Pekerja

Negara Perjanjian Sektor Tahun Keterangan


Kamboja- Memorandum Tidak 1999 • Pekerja migran harus berusia
Malaysia of termasuk antara 18-40, terampil berbahasa
understanding pembantu Malaysia atau Inggris, lulus tes
on rumah kesehatan, menutupi biaya visa
recruitment tangga dan pajak, dan menandatangani
procedures for kontrak kerja dengan majikan pada
Cambodian kedatangan. Pekerja migran
nationals for dijamin kondisi kerjanya sama
employment dengan warganegara dan begitu

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


57

in juga upahnya.
Malaysia • Majikan menanggung biaya
transportasi dari pintu masuk
Malaysia ke tempat kerja,
membayar uang jaminan kepada
pihak imigrasi dan menutupi biaya
agen rekrutmen. Majikan dapat
memegang paspor pekerja dan
harus mencakup sebagaimana yang
diatur dalam Workmen’s
Compensation Act 1952.
Kamboja- Memorandum Semua 2003 • Instansi yang berwenang harus
Thailand of pekerja memastikan pelamar memenuhi
understanding migran persyaratan untuk visa, izin kerja,
on berketera asuransi kesehatan dana tabungan,
cooperation mpilan dan pajak.
in rendah • Sebuah kontrak dengan
employment persyaratan dan kondisi kerja harus
of ditandatangani dan salinannya
workers harus diserahkan ke pemerintah
(Cambodia Kamboja dan Thailand. Pekerjaan
and Thailand) tidak boleh melebihi dua tahun
(meskipun diperbolehkan
perpanjangan dua tahun yang
diikuti minimal tiga tahun jeda.
• Pekerja migran membayar 15% gaji
bulanannya ke dana tabungan dan
sepenuhnya diganti dalam waktu
45 hari sekembalinya ke alamat
tetap. Pekerja migran menerima
gaji dan manfaat sama seperti
pekerja nasional.
Indonesia- Memorandum Pembantu 2006/ • Pembantu rumah tangga harus
Malaysia of rumah protok berusia 21-45 tahun, mampu
understanding tangga ol berkomunikasi dalam bahasa
on tambah Malaysia atau Inggris, mengetahui
the an hukum, budaya dan masyarakat
recruitment 2011 lokal, dan menandatangani kontrak
and kerja, serta menjaga paspor.
placement Pekerja migran juga harus
of Indonesian menanggung biaya visa, dokumen
domestic perjalanan, tes kesehatan, dan
workers akomodasi.
and Protocol • Majikan harus menanggung
amending transportasi pekerja migran ke
Malaysia, uang jaminan, biaya
pemrosesan dan pajak, tes
kesehatan (untuk perpanjangan
izin kerja), dan menyediakan
akomodasi dengan fasilitas dasar
dan istirahat yang cukup.
• Agen penyalur tenaga kerja harus
menyediakan informasi dan kontak
ke pekerja migran dan menjaga

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


58

catatan kedua belah pihak.


Indonesia- Memorandum 2003 Mengatur kerangka kerjasama dalam
Filipina of pemajuan dan perlindungan
understanding kesejahteraan dan hak-hak pekerja
concerning migran.
migrant
workers
Laos- Memorandum Tidak 2002 Sama dengan isi perjanjian antara
Thailand of termasuk Kamboja dan Thailand.
understanding pembantu
on rumah
Employment tangga
Cooperation
Myanmar- Memorandum Semua 2003 Sama dengan isi perjanjian antara
Thailand of pekerja Kamboja dan Thailand.
understanding migran
on berketera
Cooperation mpilan
in rendah
Employment
of
Workers
Vietnam- Bilateral Manufaktu 2003 Dapat berkomunikasi dalam bahasa
Malaysia Agreement r, Inggris atau Bahasa Malaysia.
on Labour konstruksi,
Cooperation jasa

Sumber: International Labour Organization and Asian Development Bank, ASEAN community
2015: Managing integration for better jobs and shared prosperity, (Bangkok: International Labour
Organization and Asian Development Bank, 2014), hlm.117-118. (Diolah oleh penulis)

Untuk mewujudkan ASEAN yang berorientasi rakyat, Cetak Biru


Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN menekankan pentingnya perlindungan hak-
hak dasar dan martabat pekerja migran. Dalam dokumen tersebut disebutkan
bahwa ASEAN bermaksud untuk memfasilitasi berbagi data mengenai masalah
pekerja migran dengan tujuan peneingkatan kebijakan dan program terkait pekerja
migran baik di negara-negara pengirim maupun negara-negara penerima. Selain
itu, negara-negara pengirim diharapkan membentuk kebijakan-kebijakan dan
prosedur-prosedur guna memfasilitasi aspek-aspek migrasi pekerja – termasuk
rekrutmen, persiapan keberangkatan ke luar negeri dan perlindungan pekerja
migran ketika di luar negeri serta kepulangan dan reintegrasi ke negara asal.
Dalam Cetak Biru Masyarakat Sosial Budaya ASEAN, negara-negara
penerima pekerja migran diharapkan dapat memfasilitasi akses sumber daya dan
bantuan melalui informasi, pelatihan dan pendidikan, akses terhadap keadilan, dan

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


59

layanan kesejahteraan sosial. Hal tersebut mensyaratkan pemenuhan hukum,


peraturan, dan kebijakan di negara penerima dengan tetap menyesuaikan dengan
perjanjian bilateral dan multilateral. Negara-negara pengirim juga diharuskan
untuk membentuk dan memajukan praktek-praktek hukum guna mengatur
rekrutmen pekerja migran dan menerapkan mekanisme untuk menghilangkan
malpraktek rekrutmen melalui kontrak sah dan valid, peraturan, dan akreditasi
biro penyalur tenaga kerja dan perusahaan, dan memblokir biro yang menyalahi
aturan.

Tabel 2.4
Ratifikasi Konvensi mengenai Pekerja Migran di ASEAN

Hak-Hak Pekerja Migran Perlakuan yang Sama dalam Perlindungan Sosial


Migration for Migrant International Equality of Equality of Maintenance
Employment Workers Convention Treatment Treatment of Social
Convention (Supplementary on the (Accident (Social Security
(Revised) Provisions) Protection of Compensation) Security) Rights
Negara 1949 (No.97) Convention the Rights of Convention Convention Convention
1975 (No.143) All Migrant 1925 (No.19) 1982 1982
Workers and (No.118) (No.157)
Members of
Their Families
1990
Brunei - - - - - -
Kamboja - - 2004*** - - -
Indonesia - - 2012 1950 - -
Laos - - - - - -
Malaysia 1964* - - 1964 - -
Myanmar - - 1927 - -
Filipina 2009** 2006 1995 1994 1994**** 1994
Singapura - - - 1965 - -
Thailand - - - 1965 - -
Vietnam - - - - - -
Catatan:
Data di atas sah per 25 April 2014 dengan ketentuan:
*) Hanya Sabah-Malaysia (juga bukan termasuk ketentuan Konvensi No.97, Tambahan I dan III
**) Di luar ketentuan Konvensi No.97, Tambahan II dan III
***) Hanya tanda tangan, belum diratifikasi
****) Hanya termasuk Cabang a-g

Sumber: International Labour Organization and Asian Development Bank, ASEAN community
2015: Managing integration for better jobs and shared prosperity, (Bangkok: International Labour
Organization and Asian Development Bank, 2014), hlm.95. (Telah diolah kembali)

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


60

Walaupun ASEAN telah berupaya untuk mewujudkan penghormatan


terhadap hak-hak buruh migran, kebijakan yang dibuat masih setengah hati. 111
Pertama, Viantiane Action Program (2004-2010) hanya menyebutkan “elaborasi”
instrumen ASEAN, bukan sebuah instrumen regional itu sendiri. Pemilihan diksi
“elaborasi” menimbulkan banyak asumsi yang sarat interpretasi. Kedua, pada
ASEAN Forum on Migrant Workers di Brunei Darussalam pada November 2013
masih menyatakan tujuan untuk “mengembangkan rekomendasi guna memajukan
prinsip-prinsip dalam Deklarasi Cebu”, sehingga masih jauh dari implementasi. 112
Ketiga, prinsip-prinsip umum yang tertuang dalam Deklarasi Cebu
menunjukkan bahwa terdapat sejumlah cara yang justru mengaburkan
perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran. Misalnya, prinsip pertama
mengajak baik negara-negara pengirim maupun penerima untuk memajukan
segenap potensi dan martabat buruh migran dalam iklim kebebasan, kesetaraan
dan stabilitas tetapi hanya sesuai dengan hukum, peraturan, dan kebijakan masing-
masing negara anggota ASEAN. Prinsip kedua yang mengajak kerjasama erat,
untuk kepentingan kemanusiaan, untuk menyelesaikan kasus-kasus buruh migran
yang telah menjadi tidak berdokumen dengan peringatan “bukan karena kesalahan
mereka sendiri.” Oleh karena itu, tidak berlaku bagi buruh migran di mana ada
yang menyalahkan bahwa mereka menjadi tidak berdokumen. Prinsip ketiga
menyerukan bahwa hak-hak dasar dan martabat tidak hanya buruh migran akan
tetapi juga anggota keluarga “yang sudah bersama mereka” untuk
dipertimbangkan, lagi-lagi dengan peringatan jika sesuai dengan hukum,
peraturan, dan kebijakan masing-masing negara anggota ASEAN. Bahkan prinsip
keempat menegaskan bahwa “tidak ada dalam Deklarasi ini yang dapat ditafsirkan
sebagaimana mengakibatkan keteraturan situasi buruh migran yang tidak
berdokumen.” 113
Keempat, peringatan serupa dapat ditemukan dalam Cetak Biru ASCC
yang mana di bagian akhir dijelaskan bahwa “tidak ada dalam Cetak Biru ini

111
The Habibie Center, “Migrant Workers Rights, The AEC 2015 and Free Movement of Labor:
Case Studies of Indonesia and the Philippines”, ASEAN Studies Program Briefs Volume I No.3
April 2014. Jakarta: The Habibie Center, hlm 1-12.
112
International Labor Organization, “6th ASEAN Forum on Migrant Workers”, dalam
http://www.ilo.org/asia/whatwedo/events/WCMS_209146/lang--en/index.htm (diakses pada 18
April 2015 pukul 14.52 WIB).
113
The Habibie Center, op.cit.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


61

dapat akan bertentangan dengan prinsip-prinsip umum Deklarasi Pemajuan dan


Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran”. Kelima, telah disarankan bahwa
mekanisme ASEAN Sectoral Meeting menempatkan ACMW di bawah SLOM.
Hal ini kurang tepat mengingingat isu yang dibahas dalam ACMW tidak
sepenuhnya identik dengan yang dibahas dalam SLOM. 114
Kelima hal di atas mencerminkan bahwa masih terjadi kesenjangan besar
untuk mewujudkan sebuah instrumen yang sesungguhnya. Oleh karena, tidak
mengherankan bahwa proses penyusunan instrumen menjadi salah satu proses
115
negosiasi yang paling lama dalam sejarah ASEAN. Hal ini disebabkan oleh
adanya polarisasi kepentingan yaitu kelompok negara pengirim dan kelompok
negara penerima buruh migran. Sehingga terjadi kebuntuan yang ditopang oleh
tiga hal: apakah instrumen mengikat secara hukum atau tidak, apakah anggota
keluarga buruh migran dilindungi atau tidak, dan apakah mengkomodasi buruh
migran tak berdokumen. 116
Kelompok negara pengirim buruh migran berkepentingan untuk
memasukkan seluruh lapisan buruh migran, baik yang berdokumen maupun tidak
dalam instrumen. Kelompok ini merujuk kepada tujuan strategis yang tercantum
dalam Cetak Biru ASCC yaitu kebijakan migrasi yang komprehensif dan adil, dan
perlindungan yang memadai bagi seluruh buruh migran. 117 Kelompok ini juga
berkepentingan untuk mewujudkan instrumen yang mengingat secara hukum.
Sebaliknya, negara-negara penerima buruh migran berkepentingan untuk
membatasi hanya buruh migran yang berdokumen dan sah dalam instrumen.
Kelompok ini memperjuangkan agar instrumen hanya berfungi sebagai panduan
daripada mengikat secara hukum dengan tanggungjawab diserahkan kepada setiap
negara. Kelompok ini menekankan pentingnya menghormati hukum, peraturan
dan kebijakan di negara-negara penerima buruh migran yaitu prinsip non-
intervensi. Alasan lainnya ialah adanya ketakutan meledaknya buruh migran yang
akan menjadi beban sumber daya publik, menurunkan upah dan meningkatkan

114
Ibid.
115
Ben Perkasa Drajat, “An ASEAN Way of Protecting Indonesian Migrant Workers.” The
Jakarta Post, May 3, 2012, dalam http://www.asean.org/news/asean-statement-
communiques/item/asean-human-rights-declaration (diakses pada 18 April 2015 pukul 15.23
WIB).
116
Tess Bacalla, loc.cit.
117
The ASEAN Secretariat , ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint, op.cit., hlm.12

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


62

biaya hidup bagi penduduk lokal. Hal ini tercermin dalam demonstrasi publik di
Singapura yang menyalahkan tingginya buruh migran sebagai penyebab
118
meningkatnya biaya perumahan dan biaya hidup. Adapun di Malaysia,
pemerintah menyalahkan buruh migran yang dianggap sebagai penyebab
meningkatnya kriminalitas, khususnya dari buruh migran tak berdokumen. 119

2.4 Pelanggaran Hak-hak Buruh Migran di Asia Tenggara


Pelanggaran terhadap hak-hak buruh migran dimulai dari negara asal.
Proses rekrutmen hingga kepulangan yang ditambah dengan minimnya akses
terhadap keadilan, transparansi, maupun akuntabilitas menjadi masalah yang
terus-menerus merugikan. Dalam hal ini perusahaan penyalur tenaga kerja sering
kali tidak memiliki pelatihan maupun pendidikan pra-keberangkatan yang
memadai. Selain itu, para buruh migran juga sering dirugikan dengan pelanggaran
kontrak yang mereka tandatangani. Sehingga, akses buruh migran mengenai
mekanisme ganti rugi yang terjangkau dan efisien di negara asal menjadi sangat
krusial, tepat guna, dan disesuaikan dengan hukum internasional. 120

2.4.1 Studi Kasus Negara Pengirim Buruh Migran: Indonesia dan Filipina
Indonesia merupakan negara pengirim migran terbesar kedua di Asia
Tenggara setelah Filipina. Sejak 1999, setiap tahunnya rata-rata 387.304 orang
Indonesia meninggalkan Indonesia untuk mencari kerja di luar negeri. Lebih dari
70% dari mereka adalah perempuan. Tujuan mereka sebagian besar adalah Asia
Pasifik (65%) dan Timur Tengah (35%), dengan Malaysia dan Arab Saudi sebagai
tujuan utama. Proporsi dari mereka yang bekerja di sektor informal hampir

118
Kate Hodal, “Singapore Protest: ‘Unfamiliar Faces Are Crowding Our Land’”, The Guardian
February 15, 2013, dalam http://www.theguardian.com/world/2013/feb/15/singapore-crisis-
immigration-financial-crisis (diakses pada 18 April 2015 pukul 15.52 WIB).
119
Alyaa Azhar, “Stop Crackdown on Migrant Workers”, Free Malaysia Today, August 5, 2013,
dalam http://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2013/08/05/stop-crackdown-on-migrant
-workers/ (diakses pada 18 April 2015 pukul 15.52 WIB).
120
Bassine Farbenblum, Eleanor Taylor-Nicholson, dan Sarah Paoletti, Akses Buruh Migran
Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia, (New York: Open Society Foundation,
2013), hlm.24.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


63

sebesar mereka yang bekerja di sektor formal – yang diperkirakan lebih


terlindungi – dengan 44% bekerja disektor informal dan 56% di sektor sisanya. 121
Pada tahun 2013, tercatat hampir tiga juga warga negara Indonesia bekerja
di luar negeri dengan hampir separuhnya merupakan perempuan. Jumlah tersebut
belum termasuk jutaan pekerja migran tak berdokumen atau tidak sah yang
sebagian besar membanjiri Malaysia dan dalam tingkat tertentu, Arab Saudi.
Setiap tahunnya antara 2006 dan 2009 lebih dari setengah juta perempuan
Indonesia mendaftar untuk bekerja di luar negeri yang setara setara 80 persen
jumlah migran. 122
Sejak tahun 2009 pangsa migran perempuan Indonesia telah berubah. Hal
tersebut seiring dengan semakin aktifnya peran pemerintah dalam upaya
meningkatkan jaminan kualitas pekerja migran. Termasuk moratorium pengiriman
pekerja migran tanpa kontrak resmi dan peningkatan peraturan mengenai
perlindungan hak-hak pekerja migran. Dalam kurun waktu 2010-2013, pemerintah
Indonesia kembali menurunkan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri tanpa
kontrak resmi dari 73% menjadi 44%. Pada tahun 2014, Jakarta bahkan
berkomitmen untuk menempatkan setidaknya separuh migrannya bekerja di sektor
formal dan menyediakan pelatihan berbasis kompetensi dan sertifikasi. 123
Di Indonesia terdapat beberapa instansi yang terlibat dalam pengiriman
dan penempatan buruh migran yaitu instansi pemerintah dan organisasi bisnis
yang diakui oleh negara. Di samping itu, terdapat organ yang terlibat dalam proses
rekrutmen akan tetapi tidak diakui pemerintah karena bergerak di luar jangkauan
hukum. 124 Instansi pemerintah yang dimaksud ialah 1) Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang
berfungsi melaksanakan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan tenaga
kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi, 2) kantor
imigrasi yang mengeluarkan paspor, dan 3) perwakilan RI di negara tujuan yang
bertugas mengelola data, memantau dan memberikan bantuan. Sedangkan

121
Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan, Buruh Migran Indonesia : Penyiksaaan
Sistematis di Dalam dan Di Luar Negeri, Laporan Indonesia kepada Pelapor Khusus PBB untuk
Hak Asasi Migran, Kuala Lumpur, 2 Juni 2002, hlm.9.
122
International Labour Organization and Asian Development Bank, loc.cit., hlm.88.
123
Ibid.
124
Nur Hidayah, TKI dan Permasalahannya, Talkshow SP Kinasih bekerja sama dengan Global
FM pada hari Rabu, 12 Nopember 2008, hlm. 1-14.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


64

organisasi bisnis yang terlibat ialah 1) PJTKI yang bergerak di bidang jasa
penempatan buruh migran, 2) Perwada yang merupakan PJTKI di tingkat daerah,
3) Perwalu yang merupakan perwakilan PJTKI di luar negeri, dan 4) mitra usaha
di luar negeri yaitu badan usaha yang bertanggungjawab menyalurkan buruh
migran kepada pengguna (majikan). 125
Selain PJTKI dan mitra usaha, dua pihak yang berperan dalam rekrutmen
buruh migran ialah sponsor dan agen. Sponsor adalah seseorang yang berperan
sebagai perantara bagi buruh migran dengan PJTKI. Bagi PJTKI, sponsor
merupakan penjamin buruh migran karena bertanggungjawab dengan administrasi
buruh migran. Sponsor bekerja secara individual. Ada yang sponsor yang
memiliki surat tugas dari PJTKI tertentu dan ada pula yang bekerja langsung
memasok buruh migran ke sembarang PJTKI. Sponsor memungut biaya atas
jasanya kepada buruh migran dan PJTKI. Karena tiada penegakan hukum yang
jelas, sponsor sering kali merugikan buruh migran. Sponsor sering kali terlibat
dalam penipuan, pemerasan, pemalsuan data, perdagangan perempuan, pelecehan
seksual, penelantaran dalam penampungan dan lain-lain.
Secara struktural, agen berada di bawah sponsor. Agen yang juga sering
disebut sebagai calo ini menerima upah dari sponsor dan buruh migran. Dari agen
dan sponsor, calon buruh migran di pedesaan direkrut. Calon buruh migran harus
mengeluarkan uang untuk biaya pendaftaran, tes kesehatan, biaya jaminan
perlindungan, pembuatan paspor, dan dokumen lainnya. Mengingat lemahnya
peraturan pemerintah mengenai standar biaya, agen dan calo sering
memanfaatkannya sebagai celah untuk pemerasan.
Peraturan pemerintah Indonesia yang ada saat ini jauh lebih
menguntungkan hak dan kewajiban agen (PJTKI) daripada pasal-pasal yang
mengatur buruh migran. Buruh migran Indonesia diakui sebagai buruh migran
oleh pemerintah Indonesia hanya jika melalui PJTKI. Besarnya peran tersebut
membuat tidak sedikit PJTKI menyalahgunakan kewenangan guna mengambil

125
Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan, “Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga
(TKW_PRT): Kerentanan dan Inisiatif-inisiatif Baru untuk Perlindungan Hak Asasi TKW_PRT”,
Laporan Indonesia kepada Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Migran, Kuala Lumpur,
Desember 2003.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


65

keuntungan sepihak secara sah maupun tidak sah. Salah satunya ialah pemalsuan
sertifikat Lembaga Uji Kompetensi Independen (LUKI). 126
Masalah serius lainnya ialah tidak ada perlindungan yang jelas oleh sistem
asuransi kesehatan, keselamatan maupun keamanan bagi buruh migran walaupun
diwajibkan membayar kepada PJTKI atas nama biaya asuransi. Buruknya kondisi
kerja di negara tujuan sering kali membuat buruh migran kelelahan secara fisik,
cacat akibat kecelakaan, atau kekerasan dari majikan. Mereka sering tidak
mendapatkan pengobatan yang memadai walaupun PJTKI telah memungut 15
Dolar AS kepada buruh migran sebagai biaya pengobatan dan sejenisnya. Hingga
saat ini, PJTKI maupun pemerintah tidak dapat menelusuri biaya atersebut. Uang
jaminan suransi sulit dilacak karena kurangnya transparansi dan akuntabiltias dari
bendahara yaitu Kementerian Keuangan dan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. 127
Ciri utama pelanggaran yang dialami oleh pekerja migran Indonesia ialah
menyangkut pelanggaran terhadap hak-hak mereka sebagai pekerja. Dalam sebuah
survei terhadap 1.085 orang Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah
rangga di Hong Kong oleh KOPBUMI menunjukkan: 128 1) setidaknya 51%
dibayar kurang dari minimum gaji yang ditetapkan pemerintah, 2) 47% bekerja
lebih panjang dari 8 jam per hari, 3) 25% melakukan kerja illegal, dan 4) l6% tidak
memiliki tempat tinggal yang memadai.
Selain itu, peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi nyaris secara eksklusif fokus pada isu-isu yang
berhubungan dengan aspek-aspek manajerial dan operasional pengeksporan
tenaga kerja, dengan sedikit membahas mengenai langkah-langkah perlindungan.
Di luar 11 bab dan 84 artikel dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No.204/1999, hanya sepertiga yang membahas isu-isu perlindungan.
Sebagian besar isi keputusan tersebut menyinggung hubungan antara agensi-
agensi yang merekrut dan kantor-kantor pemerintah. 129 Tidak ada dalam berkas
kebijakan resmi yang menggambarkan secara lengkap tentang apa saja hak-hak

126
Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan, Buruh Migran Indonesia: Penyiksaaan
Sistematis di Dalam dan Di Luar Negeri, hlm. 1-26.
127
Ibid.
128
Ibid.
129
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


66

yang dimiliki buruh migran dan mekanisme yang dibentuk untuk menjamin hak-
hak ini.
Filipina merupakan satu di antara tiga negara di dunia yang
perekonomiannya sangat bergantung dengan remitensi dari pekerja migran.
Pemerintah Filipina memperkirakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 6,8 juta
pekerja migran yang tersebar di 191 negara pada Desember 2003. Jumlah ini
hampir sebanding dengan 10 persen dari total populasi dan 19,7% angkatan kerja
nasional. Setiap hari tidak kurang dari 2.500 orang Filipina meninggalkan tanah
air melalui jalur resmi. Jumlah tersebut belum termasuk dengan orang-orang yang
memanfaatkan visa non-pekerjaan untuk mencari pekerjaan. 130
Data resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat bahwa pada tahun 2005
tingkat migrasi di Filipina mencapai 2,1 per 1.000 penduduk. Pemerintah Filipina
memperkirakan bahwa pada Desember 2004 terdapat 8,1 juta pekerja migran
Filipina yang setara dengan 10% populasi. Jumlah tersebut termasuk 3,2 juta
migran tetap; 3,6 juta migran sementara; dan 1,3 juta migran tidak sah yang
sebagian besar berada di Amerika Serikat dan Malaysia. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa 1 dari 5 pekerja Filipina berada di luar negeri. 131
Rendahnya pertumbuhan ekonomi dan investasi asing mendorong
pemerintah Filipina untuk mengandalkan migrasi pekerja guna mengurangi
pengangguran dan penerimaan remitansi. Dalam perkembangannya didirikan
Philippine Overseas Employment Administration (POEA) untuk merekrut,
mendaftarkan dan memverifikasi pekerja migran. Penempatan pekerja migran
sendiri ditangani oleh lebih dari 1.000 biro rekrutmen berlisensi. Adapun
Overseas Workers Welfare Administration (OWWA) dibentuk untuk mengatur
132
kesejahteraan pekerja migran.
Remitansi dari pekerja migran telah menjadi andalan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi Filipina. Remitansi melalui jalur resmi pada tahun 2004
130
Mary Lou L. Alcid, Migrant Labour in Southeast Asia – Country Study: The Philippines.
Friedrich Ebert Stiftung (FES) Project on Migrant Labor in Southeast Asia, hlm.1, dalam
http://www.fes.de/aktuell/ focus_interkulturelles/focus_1/documents/7_000.pdf (diakses pada 14
Mei 2015 pukul 14.10 WIB).
131
International Organization for Migration, Situation Report on International Migration in East
and South-East Asia: Regional Thematic Working Group on International Migration including
Human Trafficking, (Bangkok: International Organization for Migration Regional Office for
Southeast Asia, 2008), hlm. 76.
132
Ibid., hlm. 78.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


67

tercatat mencapai 8,5 miliar Dolar AS dan 10 miliar Dolar AS pada tahun 2005.
Jumlah tersebut setara dengan 10% dari GDP. 133
Walaupun tata kelola migrasi Filipina relatif lebih baik dibandingkan
dengan negara-negara pengirim pekerja migran lainnya di Asia Tenggara, masih
banyak pelanggaran terhadap hak-hak buruh migran. Data statistik menunjukkan
bahwa pada periode 1997-2000 terdapat 1.377 pekerja migran yang mengalami
penganiayaan, 848 pekerja migran melarikan diri, dan 165 perempuan terjerat
dalam prostitusi. Coalition against Trafficking in Women Asia-Pacific pada tahun
2003 juga menegaskan bahwa Filipina Selatan merupakan salah satu penyumbang
134
perdagangan perempuan utama di Malaysia.
Migrant Act 1995 atau yang lebih dikenal dengan RA 8042 yang
dikeluarkan pemerintah Filipina tidak secara eksplisit mengakui pranata rumah
tangga dan sensitif gender. Selain itu RA 8042 dan undang-undang
amandemennya (RA 10022) juga tidak memiliki ketentuan spesifik mengenai
pranata rumah tangga. Dengan kata lain, tidak ada ketentuan yang secara spesifik
mengatur hak-hak dan kondisi mayoritas perempuan yang bermigrasi sebagai
pembantu rumah tangga. 135
Walaupun lebih baik dibandingkan dengan Indonesia, dalam tingkat
tertentu Filipina tidak mampu secara holistik mengkaji migrasi pekerja. Filipina
mengklaim bahwa negara tidak memajukan hak-hak pekerja migran, namun
menciptakan beragam lembaga dengan mandat melindungi pekerja migran.
Pemerintah Filipina terus-menerus menganggap migran sebagai pahlawan modern
dan penyelamat ekonomi.

2.4.2 Studi Kasus Negara Penerima Buruh Migran: Thailand, Malaysia,


dan Singapura
Ratusan ribu migran di ASEAN bekerja di perumahan sebagai tukang
sapu, koki, sopir, tukang kebun, penjaga pintu, perawat bayi, dan perawat lansia.
Meskipun pekerjaan mereka sering diabaikan, mereka berperan dalam mengurangi

133
Ibid.
134
Mary Lou L. Alcid, loc.cit, hlm.17.
135
Southeast Asia Women’s Caucus on the ASEAN, Compliance with Women’s Rights Standards:
The Case of Migration of Domestic Workers from Indonesia and the Philippines in Brunei
Darussalam, (Chiang Mai: Southeast Asia Women’s Caucus on the ASEAN, 2014), hlm 56-62.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


68

pengangguran di negara masing-masing dan menambah devisa. Pada kenyataanya,


negara-negara anggota ASEAN terus menerus mengabaikan pembantu rumah
tangga sebagai pekerja sehingga tidak mengakui hak-hak dasar maupun
perlindungan terhadap mereka. Hal itu diperparah dengan fakta bahwa tidak
sedikit dari pembantu rumah tangga tidak berdokumen dan sebagian besar bekerja
di sektor informal.
Data resmi dari pemerintah Thailand mencatat bahwa kira-kira 830.000
pembantu rumah tangga migran ada di negaranya pada tahun 2011. Jumlah
tersebut belum termasuk pekerja ribuan migran tak berdokumen. Pada tahun 2012
Thailand mengeluarkan kebijakan untuk melindungi hak-hak pekerja migran
berdokumen seperti libur mingguan, libur hari nasional tradisional, cuti sakit
dibayar dan cuti tahunan, ketentuan pemutusan hubungan kerja, dan mekanisme
untuk mengatasi pelecehan. Walaupun demikian peraturan tersebut tidak
mencakup jam kerja pembantu rumah tangga, upah minimal, jaminan sosial, hak
cuti kelahiran dibayar, dan keamanan kerja bagi orang hamil. 136
Migrasi tidak dapat dilepaskan dari pembangunan ekonomi Thailand sejak
tahun 1980-an. Para pekerja migran di negara itu sebagian besar berada di sektor
konstruksi, perikanan, pengemasan makanan, garmen dan pembantu rumah
tangga. Populasi penduduk usia tua dan menurunnya angka kelahiran diprediksi
semakin meningkatkan kekurangan tenaga kerja di Thailand sampai 4,7 juta
pekerja pada tahun 2020. Menurut prediksi ILO, angkatan kerja Thailand akan
mulai menyusut pada tahun 2022. 137
Thailand merupakan tujuan utama pekerja migran dari negara-negara
Indocina yaitu Myanmar, Laos, dan Kamboja. Setiap tahunnya ribuan pekerja dari
tiga negara tersebut menyeberangi perbatasan atas dorongan ekonomi. Para
pekerja migran di negara ini menghadapi sejumlah masalah setiap saat seperti
ketakutan, kekerasan, korupsi, intimidasi dan hal-hal berbahaya lainnya.
Sebagaimana yang terjadi di Malaysia maupun Singapura, para pekerja migran di
Thailand juga sering kali menjadi korban pelanggaran oleh majikan dan otoritas
pemerintah.

136
International Labour Organization and Asian Development Bank, loc.cit., hlm. 97.
137
Ibid., hlm.92.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


69

Dalam banyak kasus, polisi dan petugas imigrasi mengancam, secara fisik
membahayakan, dan memeras pekerja migran tanpa impunitas. Pekerja migran
yang dalam tahanan juga mendapatkan perlakuan memilukan seperti pemukulan
di wajah dan beragam pelecehan lainnya. Baik migran berdokumen maupun tidak,
pekerja migran di Thailand secara umum rawan menghadapi majikan yang kejam
dan kejahatan. Dalam hal ini, birokrat Thailand sangat enggan untuk menyelidiki
atau bahkan kadang-kadang terlibat dalam pelanggan hak-hak pekerja migran. 138
Dalam sebuah penelitian yang dibuat oleh Human Rights Watch, terhadap
banyak pelanggaran terhadap hak-hak pekerja migran dari Myanmar, Kamboja
dan Laos. Pelanggaran tersebut tidak terbatas pada satu atau dua wilayah akan
tetapi merata di sepanjang perbatasan Thailand-Laos di Ubon Ratchathani sampai
pelabuhan di Teluk Thailand, termasuk wilayah terpencil di perbatasan Thailand-
Myanmar. Pelanggaran tersebut ada yang berwujud dalam peraturan dan hukum
lokal seperti pembatasan terhadap kebebasan berserikat, maupun yang dilakukan
oleh pejabat pemerintah seperti pemerasan oleh polisi. Pelanggaran HAM yang
melibatkan kepolisian dan pejabat pemerintahan lokal diperparah dengan iklim
impunitas di Thailand. Migran secara diam-diam menderita dan jarang mengeluh
karena takut dengan retribusi, tidak fasih berbahasa Thai untuk memprotes, atau
139
tidak yakin dengan institusi yang sering mengabaikan penderitaan mereka.
Pekerja migran di Thailand juga dibatasi dalam banyak hal. Mereka
dilarang untuk membentuk asosiasi dan serikat pekerja, berpartisipasi dalam
perkumpulan yang damai, dan menghadapi terbatasnya kebebasan bergerak.
Pekerja migran juga seringkali tidak dapat meninggalkan tempat kerja tanpa seizin
tertulis dari majikan dan pejabat setempat. Bahkan, ada larangan untuk
mendapatkan surat izin mengemudi. Di beberapa provinsi seperti Phang Nga,
Phuket, Ranong dan Rayong; pekerja migran bahkan tidak diperkenankan
memiliki telepon seluler atau berada di luar tempat kerja di jam-jam tertentu. 140
Pekerja migran dari Laos, Kamboja dan Myanmar mendominasi arus
migrasi di Thailand. Jumlah mereka diperkirakan berkisar antara 1,8 juta hingga 3

138
Human Rights Watch, From the Tiger to the Crocodile: Abuse of Migrant Workers in Thailand,
(New York: Human Rights Watch, 2010), hlm.1.
139
Ibid., hlm.2.
140
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


70

juta pekerja dan jika dihitung bersama anggota keluarga setara dengan sekitar 5
sampai 10 kerja angkatan kerja di Thailand. Sebagian terganjal karena peliknya
pendaftaran, ada lebih banyak pekerja migran tak berdokumen dibandingkan
dengan yang berdokumen di Thailand. Namun, pekerja migran berdokumen juga
rentan terhadap penangkapan sewenang-wenang, pemerasan uang sebagai syarat
pelepasan, dan kekerasan fisik. Majikan atau pengusaha juga tidak jarang
menahan kartu identitas migran. 141
Human Rights Watch menemukan banyak pelanggaran terhadap hak-hak
pekerja migran Thailand di tempat kerja. Misalnya, adanya intimidasi dan
ancaman oleh majikan jika migran mengorganisir atau secara kolektif menegaskan
hak-hak mereka, termasuk pembalasan jika mereka melapor ke otoritas Thailand.
Baik pekerja migran terdaftar maupun tidak, mengeluhkan pelecehan fisik dan
verbal, lembur yang dipaksakan dan kurangnya hari libur, upah yang di bawah
standar, tempat kerja yang berbahaya, bahkan pengurangan upah tanpa kejelasan
dan tidak sah.
Sebenarnya Undang-Undang Dasar Thailand 2007 memberikan jaminan
hak-hak dasar. Hal ini dipertegas dengan eksistensi Thailand sebagai salah satu
negara yang mendukung perjanjian HAM utama yaitu memberikan migran hak
yang sama dengan warga negara kecuali hak politik. Namun, dalam prakteknya
pemerintah Thailand hanya sedikit memenuhi hak-hak dasar pekerja migran dan
anggota keluarga. 142 Di sisi lain, kebijakan pemerintah untuk pendaftaran pekerja
migran dan tempat tinggal juga sangat kompleks sehingga tidak jarang
menyulitkan pekerja migran.
Maka tidak mengherankan jika persyaratan, kondisi dan biaya pendaftaran
pekerja migran di Thailand telah mengalami perubahan signifikan sejak 1996.
Kebijakan yang dikeluarkan tahun 2008 misalnya, mensyaratkan pekerja migran
terdaftar harus memverifikasi kewarganegaraan dari negara asal. Kebijakan ini
mengakibatkan lebih dari sejuta pekerja asal Myanmar pulang dan mencari
persetujuan pemerintah junta guna mendapatkan paspor sementara. Sampai
penelitian ini dilakukan, hanya sedikit pekerja migran asal Myanmar yang

141
Ibid., hlm.3.
142
Ibid., hlm.4.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


71

memverifikasi identitas mereka. Kebijakan pemerintah Thailand dalam mengelola


buruh migran dipengaruhi oleh isu keamanan nasional sebagaimana yang
tercermin dalam Alien Employment Act 2008. Birokrat Thailand memandang
buruh migran dari negara-negara tetangga sebagai bahaya potensial. 143
Para pekerja migran dari negara-negara Mekong di Thailand juga rentan
terhadap masalah-masalah sosial lainnya seperti perdagangan manusia,
penyelundupan narkotika, penyebaran HIV/AIDS, prostitusi, pekerja anak,
standar kerja yang buruk dan integrasi sosial. Dalam konteks integrasi ASEAN,
masalah utamanya ialah perdagangan manusia. Hal tersebut menyangkut dengan
migrasi tidak beraturan lintas batas negara. Karena banyaknya pekerja migran tak
berdokumen mengakibatkan kerentanan terhadap eksploitasi yang mengarah
sebagai korban perdagangan manusia. 144
Malaysia merupakan tujuan utama pekerja migran di Asia Tenggara. Pada
Desember 2006 diperkirakan terdapat 1,8 juta pekerja migran. Jumlah tersebut
belum termasuk pekerja migran tidak sah atau tidak berdokumen. Jika
dijumlahkan – terlepas dari statusnya – jumlah pekerja migran di Malaysia
mencapai sekitar 5 juta. Data Statistik Malaysia pada kuartal ketiga 2005 mencatat
ada lebih dari 10 juta pekerja migran yang berarti setara dengan 30 sampai 50%
total angkatan kerja Malaysia. Sebagian besar pekerja migran di Malaysia datang
dari Indonesia, Nepal, India, Myanmar, Vietnam, Bangladesh, dan Filipina. 145
Di antara jutaan pekerja migran di Malaysia, sekurang-kurangnya 350.000
di antara mereka berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. 146 Mereka tidak
termasuk dalam Employment Act 1955 sehingga tidak berhak mendapatkan hak-
hak dasar seperti ketentuan kelahiran, manfaat pemutusan hubungan kerja, cuti
tahunan dan pengobatan, dan istirahat migguan. Migran yang bekerja sebagai
pembantu rumah tangga di negara ini juga tidak berhak mendapatkan upah
minimal. Walaupun pemerintah terus berupaya menyusun peraturan baru, pada
143
Ibid.
144
Srawooth Paitoonpong and Yongyuth Chalamwong, Managing International Labor Migration
in ASEAN: A Case of Thailand, (Bangkok: Thailand Development Research Institute, 2012),
hlm.20-21.
145
Suaram, Undocumented migrants and refugees in Malaysia: Raids, Detention and
Discrimination, (Kuala Lumpur: Suaram, 2008), hlm.6.
146
P. Hangzo and A. Cook, The Domestic Workers Convention 2011: Implications for migrant
domestic workers in Southeast Asia, NTS Insight (Singapore: RSIS Centre for Non-Traditional
Security (NTS) Studies, April 2012).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


72

kenyataannya tidak sejalan dengan standar internasional yaitu Domestic Workers


Convention 2011 (No.189).
Malaysia merupakan negara pengirim sekaligus penerima pekerja migran.
Sebagian besar pekerja migran tersebut menempati pekerjaan berketerampilan
rendah atau semi-terampil. Mereka rela bekerja di tempat yang berbahaya, kotor
dan rendahan yaitu di sektor manufaktur, pertanian, konstruksi dan pembantu
rumah tangga. Pekerja migran mengisi pekerjaan yang sebagian besar warga
negara Malaysia tidak mau melakukannya karena upah rendah. 147
Pekerja migran di Malaysia diatur oleh Kementerian Dalam Negeri yang
bertanggungjawab mengelola imigrasi dan kewarganegaraan. Departemen
Imigrasi Malaysia sendiri bertugas memproses permintaan izin kerja dan visa.
Adapun Kementerian Sumber Daya Manusia berperan dalam menjalankan
kebijakan tenaga kerja, penegakan hak-hak buruh dan mengawasi program
pengembangan keterampilan maupun angkatan kerja Malaysia. Sedangkan
Foreign Workers’ Medical Examination Monitoring Agency (FOMEMA)
bertanggungjawab mengawasi ujian kesehatan bagi pekerja migran di bawah
program penyaringan kesehatan wajib tahunan. 148
Terdapat beberapa batasan bagi pekerja migran berterampilan rendah di
Malaysia. Mereka tidak diizinkan membawa anggota keluarga, diharuskan
membawa bukti izin kerja sepanjang waktu, dan hanya diizinkan kerja sesuai
kontrak yang biasanya berlaku dua tahun. Paspor pekerja migran di Malaysia
secara sah dipegang oleh majikan atau calo tenaga kerja sehingga rentan dengan
penyalahgunaan atau pelecehan. 149 Isu serius dalam manajemen migrasi di negara
ini ialah banyaknya pekerja migran yang kabur dari majikan kejam akan tetapi
diharuskan tinggal di Malaysia dan membayar ratusan ringgit perbulan untuk
mendapatkan visa khusus. Pekerja migran dirugikan karena biasanya penyelesaian
kasus seperti itu memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Tidak sedikit pekerja migran yang terpaksa pulang ke negara asal tanpa
mendapatkan bayaran dari majikan.

147
International Organization for Migration Mission in Indonesia, Labor Migration from
Indonesia: An Overview of Indonesian Migration to Selected Destinations in Asia and the Middle
East, (Jakarta: International Organization for Migration Mission in Indonesia, 2010), hlm.42.
148
Ibid., hlm.44.
149
Ibid., hlm.45.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


73

Pemerintah Malaysia mengeluarkan Immigration Act 2002 untuk


pengelolaan migrasi yang lebih baik. Dalam peraturan itu pekerja migran tidak
sah dapat dipenjarakan bertahun-tahun, didenda ribuan Ringgit, atau dideportasi.
Majikan yang memperkerjakan migran tak berdokumen juga dihukum berat.
Walaupun demikian dalam prakteknya pekerja migran tak berdokumen cenderung
lebih dirugikan daripada majikan. 150
Pemerintah Malaysia memiliki Trade Union Act 1959 yang
memungkinkan pekerja migran bergabung dalam serikat pekerja. Dalam
Employment Act 1955 juga tidak memuat klausul yang melarang pekerja migran
untuk aktif di serikat pekerja. Sedangkan dalam Industrial Act 1967 pekerja
migran tidak dapat diberhentikan hanya karena mengikuti serikat pekerja.
Meskipun demikian, dalam prakteknya pekerja migran tidak mudah mengikuti
serikat pekerja karena jam kerja yang terlalu panjang. 151
Malaysia memiliki Nota Kesepahaman mengenai migrasi pekerja dengan
beberapa negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, dan Vietnam.
Dalam perjanjian tersebut pekerja migran diwajibkan menguasai bahasa Inggris
atau Malaysia, tidak memiliki catatan kriminal, dan negara asal bertanggungjawab
memulangkan migran jika terbukti melanggar hukum Malaysia. 152 Perjanjian
tersebut sebenarnya untuk mengendalikan jumlah pekerja migran tak berdokumen
atau tidak sah. Akan tetapi, jalur migrasi yang sah sebagaimana tertuang dalam
perjanjian di atas masih terbatas dan tidak mencerminkan kebutuhan pasar tenaga
kerja di Malaysia. Sebagian besar pekerja migran reguler di Malaysia dilindungi
di bawah hukum ketenagakerjaan, akan tetapi hukum tersebut tidak berlaku bagi
pembantu rumah tangga.
Secara umum terdapat dua permasalahan yang dihadapi jutaan pekerja
migran di Malaysia. 153 Pertama, masalah terkait kekerasan yang meliputi
penyiksaan, pencambukan, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Kedua, masalah
yang terkait dengan hak-hak pekerja migran seperti gaji tidak dibayar, beban kerja
berlebihan, ketiadaan hari libur, penipuan, pengusiran sepihak oleh majikan, dan

150
Ibid.
151
Ibid.
152
Ibid.
153
Ibid., hlm.46.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


74

tempat kerja yang tidak manusiawi. Dua permasalahan tersebut memang saling
terkait, namun masalah yang menyangkut hak-hak buruh migran seringkali
menjadi latar belakang masalah yang berkaitan dengan kekerasan.
Peraturan pemerintah Malaysia yang mengharuskan pekerja migran untuk
memegang paspor membatasi kebebasan bergerak. Dalam banyak kasus, banyak
pembantu rumah tangga tidak mendapatkan akses untuk memegang paspor
sehingga rawan dengan penangkapan atau deportasi. Pada tahun 2004 Malaysia
memberikan kesempatan pekerja migran untuk berganti majikan sebanyak dua
kali selama kontrak. Hal tersebut sebelumnya tidak diizinkan sehingga memaksa
banyak pekerja migran tetap bekerja dalam kondisi memprihatinkan agar dapat
membayar hutang kepada calo tenaga kerja. Sayangnya, kebijakan pemerintah
tidak dapat disebarkan secara baik, sehingga banyak pekerja migran tidak
menyadari hak-hak yang seharusnya diterima. 154
Masyarakat Malaysia memberi stigma negatif terhadap pekerja migran.
Akibatnya, beragam kejahatan seringkali disalahkan kepada mereka. Menurut
Komisi HAM Malaysia (SUHAKAM), pada tahun 2003 hanya tiga ratus dari
1.485 tahanan perempuan di Kajang yang merupakan penduduk asli Malaysia. 155
Sebagian besar tahanan merupakan warga negara asing termasuk pekerja migran
dan korban perdagangan manusia. Penangkapan, penahanan atau deportasi
terhadap pekerja migran tak berdokumen apapun alasannya mencerminkan bahwa
pekerja migran memang rentan terhadap pelecehan dan oleh karena itu
perlindungan hak-hak mereka masih jauh dari standar internasional.
Komposisi pekerja migran di Singapura dapat dikatakan besar yaitu sekitar
seperempat dari total penduduknya. Pada tahun 2009 tercatat 1,05 juta pekerja
migran di Singapura yang setara dengan 35,2% angkatan kerja negara kota
tersebut. Mereka dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) pekerja migran
berketerampilan tinggi (ekspatriat) yang berpenghasilan minimal 2.500 Dolar
Singapura perbulan, 2) pemegang S-Pass yang gajinya lebih dari 1.800 Dolar

154
Ibid.
155
Human Rights Watch, ‘Help Wanted: Abuses against Migrant Female Domestic Workers in
Indonesia and Malaysia’, Human Rights Watch, 16, 9 (B) (July 2004), hlm. 5.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


75

Singapura perbulan, dan 3) pekerja migran tidak terampil (sementara) yang


berpenghasilan kurang dari 1.800 Dolar Singapura perbulan. 156
Ketergantungan Singapura terhadap pekerja migran dipengaruhi oleh
meningkatnya populasi berusia tua dan pesatnya pembangunan ekonomi sejak
tahun 1970-an. Statistik pasar tenaga kerja di negeri ini mencatat bahwa
setidaknya 856.000 migran pada Desember 2009 bekerja di sektor yang
membutuhkan keterampilan rendah atau semi-terampil. 157
Jenis izin kerja yang didapatkan oleh pekerja migran di Singapura
menentukan hak dan kewajiban. Misalnya, pekerja migran berketerampilan tinggi
didorong untuk bekerja di Singapura dan berbaur dengan masyarakat asli
Singapura. Visa mereka tidak harus terikat dengan majikan tertentu dan dapat
mengajukan untuk tinggal menetap dalam periode dua sampai sepuluh tahun.
Mereka juga berhak mendapatkan subsidi perawatan kesehatan, pendidikan, dan
perumahan. Di sisi lain, pekerja berketerampilan rendah secara ketat diawasi masa
tinggalnya. Mereka tidak berhak mendapatkan layanan sosial bersubsidi seperti
kesehatan dan perumahan. Mereka juga tidak diperkenankan membawa anggota
keluarga. 158
Pekerja migran di Singapura tidak diizinkan menikah dengan warga
negara Singapura tanpa persetujuan pemerintah. Mereka diwajibkan untuk
mengikuti ujian kesehatan setiap enam bulan sekali untuk mencegah penyakit
menular dan kehamilan. Jika ada pembantu rumah tangga yang hamil, pemerintah
Singapura mewajibkannya untuk mengaborsi atau pulang ke negara asal. 159
Sementara itu, pekerja migran tidak terampil juga terikat dengan majikan tertentu
untuk membayar uang jaminan sebesar 5.000 Dolar Singapura untuk kepulangan
migran setelah habis kontrak. Jika pekerja migran tidak memenuhinya, majikan
akan mengorbankan keamanan kerja. Akibatnya, majikan mengendalikan secara
ketat mobilitas dan interaksi sosial pekerja migran.
Singapura memiliki Employment Act 2009 yang mengatur standar
pekerjaan minimal seperti pembayara gaji tepat waktu, pembayaran lembur, hari

156
International Organization for Migration Mission in Indonesia, loc.cit., hlm.53.
157
Andy Hall, loc.cit., hlm. 26-28.
158
Ibid., hlm.54.
159
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


76

libur dll. Walaupun demikian, pembantu rumah tangga tidak dicakup dalam
peraturan tersebut. Pembantu rumah tangga justru dilindungi oleh Employment of
Foreign Manpower Act 2007 (EFMA). Singapura setidaknya menampung sekitar
214.500 migran sebagai pembantu rumah tangga yang tercatat sampai akhir
2013. 160
Antara 1999 sampai 2005, setidaknya 147 pembantu rumah tangga di
Singapura meninggal karena kecelakaan kerja atau bunuh diri. Menurut penelitian
Human Rights Watch, kasus tersebut sebagian besar didorong oleh buruknya
kondisi kerja, kecemasan terhadap jeratan hutang dari biro penyalur tenaga kerja,
isolasi sosial, atau berkepanjangan dalam satu ruangan – yang kadang-kadang
sampai berminggu-minggu. 161
Pelanggaran hak-hak buruh migran di Singapura sebagian besar dihadapi
oleh pembantu rumah tangga. Mereka setiap hari bekerja dengan durasi sangat
panjang, tidak ada hari libur setiap minggu, bergaji rendah, diabaikan oleh hukum
pemerintah dan hanya diatur oleh panduan yang tidak mengikat. Dalam banyak
kasus, pembantu rumah tangga bekerja 13 sampai 19 jam perhari, tujuh hari
perminggu, dan dikekang di dalam rumah. Gaji pembantu rumah tangga biasanya
kurang dari separuh gaji tukang kebun dan dan terpaksa menyerahkan gaji
pertama sampai 10 bulan mereka ke biro penyalur tenaga kerja. Tidak sedikit di
antara mereka ditipu oleh biro penyalur tenaga kerja, majikan, atau keduanya. 162
Singapura cenderung mengikuti permintaan pasar daripada memperhatikan
hukum untuk mengatur masalah pekerja migran – khususnya pembantu rumah
tangga – seperti biro penyalur tenaga kerja, gaji, dan libur mingguan. Akibatnya,
nasib pekerja migran di Singapura bergantung dengan majikan. Ada yang
mendapatkan majikan dan bergaji baik. Tetapi, tidak sedikit yang berbulan-bulan
bekerja tanpa gaji untuk melunasi hutang dari calo, jam kerja yang panjang, dan
larangan meninggalkan tempat kerja.

160
Singapore Ministry of Manpower, Foreign workforce numbers, dalam http://www.mom.gov.sg/
statistics-publications/others/statistics/Pages/ Foreign Workforce Num b e rs.aspx (diakses pada 9
Mei 2015 pukul 16.31 WIB).
161
Human Rights Watch, “Maid to Order: Ending Abuses Against Migrant Domestic Workers in
Singapore.” Human Rights Watch Vol. 17, No. 10(C). New York: Human Rights Watch, hlm.1.
162
Ibid., hlm. 2.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


77

Pemerintah Singapura tidak mengatur biaya, “pinjaman swasta”, dan


pemotongan gaji oleh biro penyalur tenaga kerja terhadap pekerja migran.
Akibatnya, timbul persaingan sengit di antara lebih dari 600 biro penyalur tenaga
kerja yang mendorong mereka untuk mengurangi biaya yang dibebankan kepada
majikan dan mengalihkan biaya transportasi, pelatihan dan penempatan ke pekerja
migran. 163 Pembantu rumah tangga yang berganti majikan harus membayar lebih
untuk biaya transfer dan tidak jarang memperpanjang masa hutang.
Selain sulit untuk mengikuti serikat pekerja, pekerja migran di Singapura
juga rentan dengan pelecehan fisik dan seksual. Mereka memiliki sedikit akses
terhadap sistem keadilan karena terbatasnya ruang gerak, kurangnya informasi
mengenai hak mereka sendiri dan kendala bahasa. Sementara itu, pekerja migran
tidak berdokumen yang telah dilecehkan – oleh calo atau majikan – takut
mendekat kepada pemerintah karena berpotensi menghadapi penahanan dan
deportasi. Minimnya perlindungan terhadap pekerja perempuan juga mendorong
perdagangan perempuan, kerja paksa dan prostitusi. 164

163
Ibid., hlm.4.
164
Ibid., hlm.11.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


BAB 3
ADVOKASI TASK FORCE ON ASEAN MIGRANT WORKERS TERHADAP
ASEAN UNTUK MENGADOPSI INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN
PEMAJUAN HAK-HAK BURUH MIGRAN

ASEAN merupakan salah satu organisasi kawasan yang paling dinamis di


dunia selain Uni Eropa. Karena awalnya dibentuk oleh lima negara – Indonesia,
Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina – untuk meningkatkan stabilitas
keamanan dan perekonomian, selama bertahun-tahun organisasi ini bersifat elitis
dengan karakter state-centric atau top-down yang sangat kuat. Dengan kata lain,
masyarakat sipil kurang dilibatkan dalam pembangunan tata kelola pemerintahan
regional.
Task Force on ASEAN Migrant Workers (TF-AMW) merupakan sebuah
anomali. Dikatakan anomali karena jika bertahun-tahun sebelumnya aktor negara
yaitu pemerintah yang menjadi penentu tunggal kemajuan ASEAN, TF-AMW
tampil sebagai wujud menguatnya perwakilan aktor masyarakat sipil dalam proses
pembangunan Masyarakat ASEAN. Jika sebelumnya segala kebijakan,
perundang-undangan, atau perjanjian di tingkat regional hanya ditentukan oleh
kepentingan antarpemerintah; TF-AMW lahir untuk menjadi pelopor dalam
mewujudkan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak
Buruh Migran yang mengikat secara hukum. Advokasi TF-AMW sangat
signifikan pengaruhnya dalam konteks integrasi kawasan yang akan berlaku pada
akhir 2015, khususnya dalam isu tata kelola migrasi di Asia Tenggara.
Bab ini membahas sejarah terbentuknya TF-AMW dan strategi advokasi
TF-AMW terhadap ASEAN untuk mengadopsi instrumen perlindungan dan
pemajuan hak-hak buruh migran. Bagian pertama menjabarkan mengenai
eksistensi SAPA sebagai arena transnasional utama di ASEAN. Bagian kedua
menjelaskan mengenai hubungan antara SAPA FORUM-ASIA dan TF-AMW.
Bagian ketiga membahas mengenai sejarah pembentukan TF-AMW dan
rekomendasinya dalam pembuatan instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak
buruh migran. Sedangkan bagian keempat secara khusus menguraikan strategi

78
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


79

advokasi TF-AMW terhadap ASEAN untuk mengadopsi instrumen perlindungan


dan pemajuan hak-hak buruh migran.

3. 1 SAPA Sebagai Arena Transnasional


Pada 3-4 Februari 2006 di Bangkok diselenggarakan pertemuan Strategic
Action Planning Advocacy. Tujuan pertemuan ini merupakan untuk
menindaklanjuti hasil musyawarah informal di antara organisasi masyarakat sipil
regional yang menghadiri ASEAN Civil Society Conference pertama dan hasil
KTT ASEAN ke-11 di Kuala Lumpur pada 12-14 Desember 2005 mengenai
penyusunan Piagam ASEAN. Para perwakilan organisasi masyarakat sipil pada
pertemuan tersebut tergerak untuk membentuk sebuah mekanisme baru – baik
dalam bentuk forum maupun platform – yang memungkinkan informasi dan
sumber daya dapat dibagi guna meningkatkan efektifitas keterlibatan masyarakat
sipil dalam mengadvokasi lembaga-lembaga antarpemerintah. 165
Pada pertemuan Bangkok beberapa kelompok kerja dibentuk untuk
membahas beberapa isu yang spesifik. Di antaranya ialah Working Group on
Human Rights Education, Working Group on the Asian People’s Charter and
World Social Forum, dan Working Group on ASEAN and the ASEAN Charter.
Dalam perkembangannya lima organisasi non-pemerintah regional dan
internasional, termasuk FORUM-ASIA, Southeast Asian Committee for Advocacy
(SEACA), Third World Network (TWN) dan Asian Partnership for the
Development of Human Resources in Rural Asia (AsiaDHRR) mendirikan
Solidarity for Asian People’s Advocacy (SAPA).
Dalam Musyawarah yang digelar di Singapura pada 19 September 2006,
para anggota SAPA menyepakati bahwa jejaring ini harus menjadi sebuah
platform terbuka untuk musyawarah, kerjasama dan koordinasi di antara
organisasi masyarakat sipil dan gerakan sosial di Asia. Sebuah platform yang
mempertemukan organisasi-organisasi non-pemerintah, organisasi
kemasyarakatan, dan serikat pekerja yang terbiasa mengadvokasi atau melobi
lembaga-lembaga antar pemerintah. 166 Isu yang ditangani SAPA mencakup

165
Alexander Chandra, loc.cit., hlm.76.
166
Ibid., hlm. 77.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


80

demokrasi, HAM, keamanan insani, pembangunan berkelanjutan, lingkungan,


globalisasi, perdagangan, keuangan dan perburuhan. 167 Selain advokasi kepada
ASEAN, SAPA juga memperjuangkan isu dengan target South Asian Association
for Regional Cooperation (SAARC), Asian Development Bank (ADB), PBB dan
Asia-Europe Meeting (ASEM).
Lingkup kerja SAPA tidak hanya di tingkat regional, akan tetapi meluas ke
tingkat internasional. Secara administratif, jejaring ini menggelar SAPA General
Forum tahunan untuk mengambil keputusan strategis perihal kerjasama,
koordinasi maupun advokasi. Pada forum ini dipilih anggota Regional Steering
Committee (RSC) yang bertugas untuk mengkoordinasi kerja SAPA, termasuk
isu-isu prosedural dan tata kelola pemerintahan. 168
Piagam Prinsip-Prinsip SAPA dipersiapkan oleh RSC yang sejalan dengan
keputusan SAPA General Forum. Piagam ini terdiri dari nilai-nilai dasar, prinsip-
prinsip, dan orientasi yang mendorong gerak langkah SAPA. Di antaranya ialah
mendukung sebuah regionalisme berpusat para rakyat sebagai alternatif integrasi
regional dan globalisasi ekonomi yang disetir oleh ideologi ekonomi politik
neoliberal. Dalam piagam tersebut juga dijelaskan bahwa SAPA berbagi dan
menjunjung tinggi nilai-nilai maupun prinsip demokrasi, supremasi hukum,
HAM, keadilan ekonomi dan sosial, pembangunan berkelanjutan secara ekologis,
keragaman budaya, kesetaraan gender, perdamaian dan keamanan insani, dan
transformasi konflik melalui cara-cara nirkekerasan. 169
Jejaring ini awalnya mengkoordinasi advokasi kolektif dengan badan-
badan antarpemerintah, dan secara khusus terlibat aktif dalam mempengaruhi
proses penyusunan Piagam ASEAN. Dalam perkembangannya, SAPA berperan
menjadi penghubung lebih banyak organisasi masyarakat sipil untuk berjejaring

167
SAPA memiliki cakupan kerja di seluruh Asia dengan tiga sub-kawasan yaitu Asia Selatan,
Asia Timur Laut, dan Asia Tenggara. Jejaring ini terdiri dari beberapa kelompok kerja yang
memiliki target advokasi kepada lembaga-lembaga antarpemerintah di setiap sub-kawasannya.
Beberapa isu yang menjadi perhatiannya ialah hak-hak perempuan, hak-hak buruh migran,
praktek-praktek pertanian berkelanjutan, prostitusi anak, perdagangan manusia, dan perlindungan
satwa langka yang disatukan oleh misi yaitu untuk meningkatkan efektifitas damppak advokasi
masyarakat sipil dengan meningkatkan komunikasi, kerjasama, dan koordinasi di antara
organisasi-organisasi masyarakat sipil secara regional.
168
Office of the High Commissioner for Human Rights, “Frequently Asked Questions on ASEAN
and Human Rights”, dalam http://bangkok.ohchr.org/ files/ Regional_ Dialogue _ASEAN
Background_Paper.pdf (diakses pada 9 April 2015 pukul 22.48 WIB).
169
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


81

dalam memperjuangkan beragam isu seperti pengungsi, buruh migran, orang-


orang berkebutuhan khusus, anak, orientasi seksual dan gender, dan perlindungan
lingkungan. 170
SAPA terlibat dalam pembangunan sebuah mekanisme HAM regional di
ASEAN melalui beragam musyawarah dan pelatihan di tingkat nasional dan
regional. Jejaring ini mengkoordinasi advokasi HAM dengan ASEAN dalam
berbagai kegiatan seperti ASEAN Civil Society Conference yang berjalan
beriringan dengan penyelenggaraan KTT ASEAN 2006-2012, pengajuan kepada
ASEAN Eminent Persons Group and the High Level Task Force pada Piagam
ASEAN dan Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi
ASEAN dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN 2006-2007, kampanye dan
advokasi Kerangka Acuan badan HAM ASEAN dengan ASEAN High Level Panel
2008-2009, dan Deklarasi HAM ASEAN dengan AICHR 2011-2012. 171
Sebagai upaya dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam
proses pengambilan keputusan ASEAN, SAPA menghadapi sejumlah tantangan
seperti kesulitan menemukan informasi mengenai agenda dan keputusan
pertemuan-pertemuan ASEAN, penolakan bertemu masyarakat sipil, penolakan
membuka draf dokumen untuk publik dan penolakan sewenang-wenang atas hak
masyarakat sipil untuk mengikuti musyawarah yang diadakan oleh ASEAN.
Seiring dengan makin terbukanya ASEAN dalam menerima lobi, advokasi,
kerjasama, maupun kampanye publik; eksistensi SAPA makin terlihat. Jejaring ini
berhasil mengikuti tiga pertemuan regional dengan ASEAN High Level Panel
untuk menyampaikan masukan masyarakat sipil yaitu Kerangka Acuan badan
HAM ASEAN, dan dua pertemuan regional resmi untuk membahas AICHR dan
Deklarasi HAM ASEAN. Sehingga sejumlah pertemuan nasional digelar di
beberapa negara seperti Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Kamboja.
Walaupun demikian, tidak ada draf dokumen yang dibagi secara resmi oleh
ASEAN selama proses dari tahun 2006 sampai tahun 2012 kendati anggota

170
Swee Seng Yap, “Reflection on the Winding Road to ASEAN Human Rights Mechanisms”,
hlm. 174-175, dalam http://www.taiwanhrj.org/get/2014012817161363.pdf/THRJ_2_2_yap.pdf
(diakses pada 3 April 2015 pukul 10.04 WIB).
171
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


82

AICHR dari Thailand, Indonesia dan Filipina menyebarkan informasi mereka


kepada masyarakat sipil. 172
SAPA berperan sebagai penghubung yang menjembatani bertemunya
beragam aktor masyarakat sipil seperti Organisasi Non-Pemerintah (NGO),
Ormas, serikat pekerja dan lain-lain. SAPA memiliki lebih dari 100 anggota dari
berbagai negara seperti Focus on the Global South, South East Asian Committee
for Advocacy, Think Centre, dan Migrant Forum in Asia.173
SAPA memfasilitasi terwujudnya dialog dan pergaulan yang berkelanjutan
di antara beragam aktor non-negara dan berupaya menjadi sebuah platform
terbuka untuk musyawarah, kerjasama, dan koordinasi antar gerakan sosial dan
organisasi masyarakat sipil Asia yang terlibat dalam aksi, advokasi, dan lobi
dengan berbagai organisasi antarpemerintah. Aktivisme tersebut agak mirip
dengan apa yang dilakukan oleh Asian Human Rights Commission (AHRC). Jika
AHRC lebih memfokuskan diri terhadap aktivisme regional yang berpusat
terhadap masyarakat sipil, SAPA tampil sebagai forum yang memfasilitasi
kerjasama LSM di tingkat regional dengan tujuan berinteraksi dengan organisasi-
organisasi antar-pemerintah. Walaupun tujuan utama advokasi SAPA ialah untuk
mempengaruhi kebijakan dan aktivitas ASEAN; forum ini pun berinteraksi
dengan South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC), Asian
Development Bank (ADB), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), Asia-
Europe Meeting (ASEM) dan lain-lain. 174
Salah satu misi SAPA ialah meningkatkan kondisi HAM melalui perannya
dalam menciptakan sebuah sistem HAM regional, diawali dengan fokusnya dalam
advokasi lembaga antarpemerintah. Menyadari semakin terbukanya ASEAN
terhadap gagasan masyarakat sipil telah mendorong SAPA untuk turut andil
dalam pembangunan sistem, mekanisme, atau kebijakan HAM di tingkat regional.
SAPA memperjuangkan terwujudnya sebuah regionalisme yang responsif dan
partisipatif, sehingga terus-menerus mendesak ASEAN untuk secara berkala
berdialog dengan para pemangku kepentingan seluas mungkin. Secara khusus,
jejaring ini meminta ASEAN untuk memperluas kerjasamanya tidak hanya

172
Ibid.
173
Alexander Chandra, loc.cit. hlm. 76.
174
Ibid., hlm.77.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


83

dengan segelintir kelompok epistemik, akan tetapi agar lebih mengakomodasi


gagasan aktor-aktor masyarakat sipil dan Ornop.
Sebagai penyeimbang dari pembuatan kebijakan ASEAN yang sangat
state-centric atau top-down, SAPA membangun advokasi regional dengan pijakan
aktivisme bottom-up. Adalah sebuah aktivisme yang mengakui pentingnya
keterlibatan dari berbagai pemangku kepentingan dalam membuat sistem dan
institusi regional. Misalnya Task Force on ASEAN and Human Rights (Satuan
Tugas ASEAN dan HAM) – inisiatif SAPA yang fokus mengadvokasi kebijakan
HAM ASEAN – menggelar berbagai dialog dan lokakarya nasional di tujuh
negara anggota ASEAN pada tahun 2008 saja. Selain itu, SAPA juga menggelar
ASEAN Civil Society Conference kedua dengan peserta lebih dari 300 perwakilan
organisasi masyarakat sipil dan Regional Consultation on ASEAN and Human
Rights kedua dengan puluhan peserta dari seluruh negara Asia Tenggara. Hasil
dari beberapa dialog tersebut kemudian diajukan pada ASEAN Ministerial
Meeting ke-41 dan High Level Panel dengan tujuan untuk mempengaruhi ASEAN
dalam membuat Kerangka Acuan Mekamisme HAM ASEAN.
Di luar gebrakan di atas, gagasan SAPA yang paling dikenal oleh para
sarjana ialah menyelenggarakan ASEAN People’s Forum (APF) yaitu sebuah
kegiatan yang mempertemukan para aktor masyarakat sipil agar dapat bertukar
pengalaman, mengangkat isu-isu yang menjadi perhatian bersama dan membuat
rekomendasi kolektif untuk ASEAN. Forum yang pertama kali digelar pada akhir
2008 tersebut awalnya bertujuan untuk mengembangkan usulan kolektif Ornop
(dengan lebih dari 200 anggota) agar lebih dipertimbangkan oleh ASEAN. Dalam
perkembangannya, APF dapat dikatakan sebagai sebuah forum rutin untuk
berinteraksi dengan ASEAN, dan untuk menciptakan sebuah kendali dan
pengaruh yang konstan terhadap pembangunan kebijakan ASEAN dalam HAM
dan isu-isu lain yang terkait seperti resolusi konflik, lingkungan, demokrasi dan
sebagainya.
SAPA berupaya untuk mempengaruhi pendekatan ASEAN dalam
memandang dan menyikapi HAM. Dengan mengawal gagasan maupun aksi
ASEAN, SAPA bermaksud membentuk dan menambah kebijakan HAM ASEAN,
memanfaatkan pengalaman dan penelitian HAM sendiri melalui penasehat ahli.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


84

Selain mengkritik ASEAN, SAPA juga berkontribusi menggulirkan wacana HAM


regional. SAPA tidak hanya mengadvokasi norma HAM universal sebagai
landasan perlindungan HAM di Asia Tenggara, akan tetapi juga mendorong
ASEAN untuk membuat kebijakan dan norma HAM sendiri ke dalam badan
HAM ASEAN.
Advokasi SAPA dalam perlindungan HAM ASEAN tidak dibangun atas
monopoli satu negara tertentu, akan tetapi dengan mengajukan reformasi hukum
dan kebijakan berdasarkan gagasan bottom-up dan keterlibatan masyarakat yang
lebih luas. Gagagan tersebut berpusat kepada rakyat (people-centered) karena
SAPA justru mendorong “interaksi orang-ke-orang” di tingkat regional, dan
membawa isu rakyat (isu utama HAM) pada negosiasinya dengan ASEAN. Oleh
karena itu, SAPA terus-menerus menyerukan bahwa “pengakuan HAM dan
martabat manusia sebagai landasan masyarakat” di ASEAN.
Pendekatan SAPA bersifat reaksioner dalam hal menanggapi langkah-
langkah yang dibuat oleh ASEAN untuk regionalisasi HAM. 175 Jejaring ini
berupaya untuk mereformasi proses regional dengan membentuk sikap dan
kebijakan ASEAN. Selain menengahi dan melunakkan, SAPA juga berusaha
untuk terlibat dalam dialog yang berkelanjutan dengan ASEAN, dan
mengkritiknya guna mereformasi pendekatan dan kebijakan terkait HAM.
SAPA menyatukan banyak organisasi masyarakat sipil di Asia Tenggara
untuk terlibat dalam advokasi dengan ASEAN. Hal itu senada dengan pendapat
Ramirez: 176
Highly noticeable in the SAPA process is the emergence of a new
generation of CSO leaders who are more prepared to cross political lines
and traditions and to form broad-based partnerships. These leaders
recognize new friendships as essential in sustaining a movement that must

175
Pendekatan ini sering dikenal dengan istilah reactionary regionalism yaitu sebuah istilah yang
diciptakan oleh Mark Beeson untuk menggambarkan regionalisme Asia Timur di mana gagasan
regional diartikan sebagai sebuah tanggapan untuk peristiwa eksternal dan dirancang untuk
menengahi atau melunakkan dampaknya. Istilah tersebut dapat dikatakan relevan dalam konteks
pertimbangan guna menjelaskan bagaimana aktivisme regional SAPA sebagian besar dibentuk
untuk menanggapi kebijakan ASEAN. Lihat Mark Beeson, “ASEAN Plus Three and the Rise of
Reactionary Regionalism”, Contemporary Southeast Asia, Volume 25, Number 2 (August 2003):
251-268.
176
Marlene Ramirez, AsiaDHRRA and ASEAN: A Case Study of the Process of Civil Society
Engagement with a Regional Intergovernmental Organisation, Paper presented at the FIM Forum,
8–9 February, Montreal, dalam http://asiadhrra.org/wordpress/wp-content/ uploads / 2008 /02/
asiadhrraaseanfim.pdf (diakses pada 14 Mei 2015 pukul 18.43 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


85

present a united front before ASEAN, while, at the same time,


acknowledging that each has its own agenda.
SAPA berperan dalam menghadirkan sebuah program regionalisme
alternatif yang koheren. Dengan didukung oleh kapasitas riset dari masing-masing
anggotanya, SAPA menawarkan sebuah regionalisme alternatif yaitu dengan
menantang hegemoni konservatisme kerangka ASEAN, tata kelola pemerintahan
yang tidak liberal, dan ekonomi neoliberal. Beberapa kelompok kerja yang
tergabung dalam SAPA masing-masing mempertemukan banyak LSM untuk
mengorganisasi isu tertentu sehingga dapat menekan ASEAN atau lembaga-
lembaga turunanya dengan lebih intensif. Misalnya, SAPA Working Group on
ASEAN terdiri dari sekitar 40 organisasi masyarakat sipil yang dibentuk untuk
mengkoordinir aktifitas organisasi masyarakat sipil terhadap ASEAN. Salah satu
tugas utama kelompok kerja ini ialah bermusyawarah dengan ASEAN untuk
menyusun draf Piagam ASEAN. 177
SAPA Working Group on ASEAN memiliki beberapa satuan tugas yang
menargetkan proses pengambilan keputusan ASEAN. Misalnya, Task Force on
ASEAN and Human Rights yang dibentuk pada Agustus 2007 menyatukan
kelompok advokasi HAM nasional dan regional guna melobi ASEAN untuk
mengembangkan lembaga HAM. Begitu juga dengan Task Force on ASEAN
Migrant Workers dibentuk untuk menyatukan organisasi-organisasi masyarakat
sipil yang relevan guna melobi Komite ASEAN dalam Implementasi Deklarasi
ASEAN dalam Pemajuan dan Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran. Task Force
on ASEAN and Freedom of Information dibentuk untuk mewujudkan kebebasan
informasi di negara-negara ASEAN, sedangkan Task Force on ASEAN and
Burma dibentuk untuk mewujudkan Myanmar sebagai negara yang lebih
demokratis dan menghormati HAM.

3. 2 Hubungan Antara SAPA, FORUM-ASIA dan Satuan Tugas Buruh


Migran ASEAN
Lahirnya SAPA tidak dapat dipisahkan dari FORUM-ASIA. Dengan
mengedepankan prinsip otonomi dan independensi, organisasi ini berperan
sebagai Komite Pengarah SAPA, dan oleh karena itu bertindak sebagai pemeran

177
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


86

utama dalam sebagian besar kegiatan maupun inisiatif advokasi berskala regional.
Pesan yang disampaikan oleh SAPA dalam kampanye ataupun advokasi
senantiasa sejalan dengan sikap FORUM-ASIA, khususnya dalam memandang
ASEAN dan regionalisme HAM. Hal tersebut tercermin dalam semua publikasi
atau komunikasi yang dikeluarkannya. 178
Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA)
menjalankan sebagian besar kegiatan regionalnya melalui SAPA, yang mana
FORUM-ASIA merupakan salah satu pendirinya sejak tahun 2006. Keterlibatan
FORUM-ASIA dalam jejaring SAPA tersebut didorong oleh upaya
mempengaruhi pembangunan agenda HAM ASEAN dan berkontribusi
membentuk sebuah mekanisme HAM regional. Seperti LSM yang memiliki
mandat inti HAM lainnya, FORUM-ASIA berkomitmen untuk memajukan dan
melindungi seluruh spektrum HAM. 179
Organisasi ini menjalankan aktivisme yang begitu kompleks melampaui
emergency relief, pengumpulan informasi, dan terutama dalam masalah hak sipil,
hak politik dan hukum. Secara struktur, FORUM-ASIA merupakan organisasi
berbasis keanggotaan dari beberapa LSM HAM nasional. Didirikan pada tahun
1991 di Manila, awalnya hanya berfokus sebagai LSM di bidang pembangunan
dan HAM Asia, menjadi organisasi yang lebih dapat merajut kolaborasi efektif di
tingkat regional. 180 Saat ini FORUM-ASIA memiliki 46 organisasi anggota
dengan 5 dari 16 di antaranya berada di Asia Selatan dan Asia Tenggara, yaitu:
Odhikar, Ain O Salish Kendra (Bangladesh), People’s Watch (India), KONTRAS
(Indonesia), SUARAM (Malaysia) dan TFDP (Filipina).
Sebuah struktur yang diorganisasi dengan baik memastikan efektifnya
koordinasi kerja FORUM-ASIA. Ia dibangun oleh sebuah jejaring LSM yang
longgar akan tetapi stabil dari seluruh Asia, dan digerakkan oleh sekelompok ahli
HAM Asia. Sebuah Komite Eksekutif dipilih oleh Majelis Umum dari seluruh

178
Walaupun demikian, FORUM-ASIA juga memperjuangkan aktivisme regional yang tidak
dalam cakupan SAPA. Aktivisme tersebut sebagian besar merupakan kampanye tematik yang
menargetkan isu HAM regional namun diabaikan oleh aktor negara, seperti keberpihakan terhadap
hak-hak masyarakat adat dan perlindungan terhadap pembela HAM.
179
Dorottya Atol, loc.cit., hlm. 183-190.
180
Solidarity for Asian People’s Advocacy, “Background of SAPA,” dalam
http://www.asiasapa.org/index.php?Option=com_content&task=view&id=12&Itemid=64 (diakses
pada 15 Maret 2015 pukul 16.30 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


87

anggotanya, memimpin Sekretariat dan mengelola rutinitas harian. Anggotanya


pun cukup beragam, seperti LSM yang hanya berorientasi hukum (Madaripur
Legal Aid Association), yang fokus kepada pendidikan HAM (Human Rights
Education Institute of Burma), yang spesifik gender (Women’s Welfare Society)
atau khusus menangani pembangunan pedesaan (Rural-Development Society). Itu
merupakan sebuah tantangan untuk mempertahankan rasa kepaduan (cohesion)
dan menyatukannya pada suatu platform terpadu. 181
Salah satu tujuan FORUM-ASIA ialah membantu kelompok yang paling
rentan terhadap pelanggaran HAM, seperti buruh migran. Mengingat sebagian
besar pelanggaran HAM di Asia mempengaruhi kelompok marginal dan rentan
yang sering didiskriminasi atas dasar etnis, agama, kasta, gener bahasa maupun
jenis kelamin. Selain mengakui kesulitan ekonomi dan sosial dari kelompok
tersebut (kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, tempat tinggal,
pendidikan, lingkungan dll); FORUM-ASIA memperhatikan pembatasan hak-hak
politik dan sipil mereka. Oleh karena itu aktivismenya berupaya menjawab
diskriminasi atas dasar kasta (Nepal, India, Bangladesh), gender dan usia (Bhutan
dan Nepal), agama (India dan Nepal), dan etnis (Sri Lanka). 182
FORUM-ASIA berupaya memfasilitasi dialog, pembangunan kapasitas
dan jejaring di antara para pembela HAM, aktor masyarakat sipil dan organisasi-
organisasi di Asia untuk mencapai penghormatan HAM dan pembangunan di
tingkat regional. Organisasi ini menyelenggarakan Annual Training and Study
Session for Asian Human Rights Defender guna memberdayakan anggota dan
mitra dengan pengetahuan HAM yang baik, menyediakan pemahaman terhadap
beragam rencana advokasi dan peran pembela HAM di tingkat regional. Semua
yang dilakukan itu untuk memfasilitasi pengembangan sebuah sikap masyarakat
sipil secara umum, sehingga diharapkan dapat berkontribusi atau di tingkat
regional bahkan internasional dalam wacana HAM. Misalnya, FORUM-ASIA
pernah menggelar Writeshop on Asian Civil Society Submission to the Outcome
Document of the Durban Review Conference yang hasilnya digunakan sebagai
“bahan lobi” pada UN Durban World Conference on Racism.

181
Dorottya Atol, op. cit.
182
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


88

Sebagai upaya dalam turut meningkatkan independensi dan efektifitas


mekanisme HAM ASEAN, FORUM-ASIA menggulirkan sejumlah program
seperti: 183
1. meningkatkan efektifitas ASEAN Intergovernmental Commisison on
Human Rights (AICHR) dan ASEAN Commission on the Promotion and
Protection of the Rights of Women and Children (ACWC);
2. memastikan Deklarasi HAM ASEAN mematuhi standard dan hukum
HAM internasional;
3. meningkatkan kesadaran publik terhadap AICHR dan ACWC; dan
4. meningkatkan keterlibatan LSM dengan ASEAN dan mekanisme HAM
ASEAN.
Menindaklanjuti komitmen dan tujuannya dalam meningkatkan efektifitas
mekanisme HAM, FORUM-ASIA menyelenggarakan Regional Consultation on
Cooperation between NHRI and NGOs in Asia pertama di Bangkok pada
Desember 2006. Kegiatan tersebut menghasilkan dibentuknya Asian NGO
Network on Human Rights Institution (ANNI) yaitu sebuah organisasi yang
bertujuan untuk membantu mendirikan dan mengembangkan sebuah institusi
HAM nasional yang akuntabel, independen, efektif, dan transparan. FORUM-
ASIA juga berperan sebagai secretariat ANNI. 184
Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN tidak dapat dilepaskan dari
eksistensi FORUM-ASIA. Selain sebagai salah satu pendiri, anggota jejaring, dan
mitra Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN, FORUM-ASIA juga berperan dalam
membantu menyalurkan dana operasional Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN.
Hal ini karena TF-AMW hanyalah sebuah jejaring yang tidak memiliki badan
hukum, sehingga tidak dapat secara langsung menerima dana dari lembaga
manapun – tak terkecuali Southeast Asia Regional Cooperation in Human
Development (SEARCH) dan Canadian International Development Agency
(CIDA) yang menjadi penyokong utama advokasi TF-AMW. Walaupun
demikian, FORUM-ASIA hanya berperan sebagai hosting organization dan

183
Asian Forum for Human Rights and Development (Forum-Asia), dalam
http://www.forumasia.org (diakses pada 4 April 2015 pukul 22.09 WIB).
184
ANNI: Asian NGO Network on NHRIs, dalam http://nhriwatch.wordpress.com/2011/04/25/50/
(diakses pada 4 April 2015 pukul 22.11 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


89

financial manager; sehingga segala strategi advokasi dipercayakan sepenuhnya


kepada TF-AMW. 185

3. 3 Sejarah Pembentukan Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN dan


Rekomendasinya dalam Pembuatan Instrumen Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran
Pada ASEAN Summit ke-10 November 2004, para pemimpin ASEAN
mengadopsi Vientiane Action Program (VAP). Pada momen tersebut lahir
komitmen untuk mengelaborasi sebuah instrumen perlindungan dan pemajuan
hak-hak buruh migran. Pada Juli 2005 ASEAN meminta Working Group for an
ASEAN Human Rights Mechanism untuk membantu melaksanakan ketentuan
VAP yaitu membuat instrumen. Sekretaris Jenderal ASEAN Ong Keng Yong
kemudian mendorong focal point Singapura pada Working Group tersebut untuk
menindaklanjutinya. 186
SAPA senantiasa konsisten untuk mempengaruhi ASEAN guna
membentuk regionalisasi HAM berdasarkan pendekatan dan sistem nilai yang
berbeda dari negara-negara anggotanya. Selain Task Force on ASEAN and Human
Rights sebagaimana yang dijelaskan di atas, SAPA juga membentuk Task Force
on ASEAN Migrant Workers (Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN atau TF-
AMW) pada tahun 2006 sebagai sebuah pendekatan bottom-up berbasis HAM
untuk menjawab permasalahan hak-hak buruh migran. 187
Pada 22-23 April 2006 FORUM-ASIA bekerjasama dengan Migrant
Forum in Asia menggelar Civil Society Organization and Trade Unions of
ASEAN: Consultation on Drafting the ASEAN Multilateral Framework on the
Rights of Migrant Workers di Singapura. Tujuan dari forum tersebut ialah untuk
berbagi praktek-praktek terbaik dan menggagas keterlibatan masyarakat sipil yang
lebih baik dalam menyusun kerangka multilateral dalam pemajuan dan

185
Wawancara dengan Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager, FORUM-ASIA pada
3 Juni 2015 di Jakarta.
186
“Task Force on ASEAN Migrant Workers”, dalam http://www.hkjp.org/files/files/focus/
humanright/ task%20 force%20on%20ASEAN%20Migrant.pdf (diakses pada 15 Maret 2015
pukul 16.03 WIB).
187
Asian Forum for Human Rights and Development, “Civil Society’s Engagement with the
ASEAN Human Rights Body,” http://www.FORUM-ASIA.org/index2.php?option=com_content
& do _pdf = 1 &id=2153 (diakses pada 7 Maret 2015).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


90

perlindungan hak-hak buruh migran. 188 Pertemuan tersebut diadakan karena


didorong bahwa sebagian besar negara-negara anggota ASEAN telah mengakui
konsep inti standar perburuhan internasional dan telah menerapkannya ke dalam
hukum, peraturan atau kebijakan perburuhan nasionalnya. 189
Penyusunan instrumen regional untuk perlindungan dan pemajuan hak-hak
buruh migran mensyaratkan proses musyawarah partisipatif dari kelompok
masyarakat sipil dan serikat pekerja. Proses ini penting karena dapat menjadi
kesempatan untuk berjejaring dan bertukar informasi di antara organisasi yang
bergerak dalam advokasi pembangunan dan HAM, organisasi buruh migran dan
serikat pekerja. Melalui jejaring ini dapat terbangun pemahaman dan mufakat
mengenai isu terkait seperti standar ketenagakerjaan, peraturan ketenagakerjaan
bagi buruh migran, dan hak-hak dasar buruh migran. Dengan membangun
platform bersama dan meningkatkan solidaritas ini, jejaring dapat menguatkan
advokasi untuk pemajuan dan perlindungan hak-hak buruh migran. 190
Penyusunan kerangka instrumen ASEAN untuk perlindungan dan
pemajuan hak-hak buruh migran dapat terwujud hanya dengan kerjasama dari
para pemangku kepentingan. Oleh karena itu kelompok organisasi masyarakat
sipil yang fokus pada isu ini bekerjasama secara aktif dengan serikat pekerja.
Dukungan serikat pekerja sangat penting untuk memberikan prinsip-prinsip
maupun teknik-teknik negosiasi yang terkait dengan Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) guna mengadvokasi pemerintah maupun ASEAN.
Jejaring ini mengakui bahwa pembangunan kapasitas dan peningkatan
pengetahuan melalui penelitian kebijakan hak-hak buruh migran, dan kemampuan

188
FORUM-ASIA, “Light at the end of the tunnel? ASEAN multilateral framework on migrant
workers”, dalam http://www.forum-asia.org/?p=5217 (diakses pad 25 April 2015 pukul 08.24
WIB).
189
Walaupun demikian, dalam prakteknya tidak senantiasa sebagaimana semestinya. Oleh karena
itu, ASEAN sebagai sebuah organisasi regional didesak untuk membuat mekanisme yang
mewajibkan negara-negara anggotanya mematuhi 8 Konvensi Inti Organisasi Perburuhan
Internasional (ILO), Deklarasi ILO tentang Prinsip-Prinsip Dasar dan Hak-Hak di Tempat Kerja,
dan konvensi 97 maupun 143 ILO mengenai buruh migran. Mengingat beberapa negara di Asia
Tenggara telah memprioritaskan hukum, peraturan atau kebijakan nasionalnya mematuhi standar
tersebut; sementara sebagian yang lainnya belum.
190
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “Civil Society Organisations and Trade Unions of
ASEAN: Consultation on Drafting the ASEAN Multilateral Framework on the Rights of Migrant
Workers 22 - 23 April 2006, Singapore”, dalam http://www.workersconnection.org/resources/
Resources_42/ Final% 20 Singapore%20 Consulation%20Report%20--%2031May2006.doc (
diakses pada 25 April 2015 pukul 08.28 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


91

negosiasi maupun pemantauan implementasi kerangka perjanjian apapun tidak


dapat dilakukan sendiri. Oleh karena itu, jejaring meminta bantuan teknis dari
Organisasi Perburuhan Internasional, Sekretariat Global Union Federations
(GUFs), dan beberapa organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait seperti
Office of the High Commissioner on Human Rights (OHCHR), dan United
Nations Inter-Agency Project on Human Trafficking (UNIAP). Jejaring juga
menyepakati bahwa setiap hasil musyawarah akan disampaikan kepada ASEAN
Labour Ministers Meeting (ALMM) dan ASEAN Senior Official Meeting
(SLOM). 191
Pertemuan ini menyepakati usulan untuk membentuk Task Force on
ASEAN Migrant Workers (TF-AMW). Jejaring ini dibentuk untuk
menindaklanjuti hasil musyawarah dengan perwakilan jejaring organisasi
masyarakat sipil di tingkat nasional maupun regional guna memfasilitasi
komunikasi dalam pengembangan Kerangka Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. Dalam pertemuan tersebut
juga disepakati bahwa TFAMW harus: 1) menindaklanjuti hasil musyawarah, 2)
memasukkan “focal point” nasional dan organisasi regional, 3) memerlukan
sebuah Kerangka Acuan untuk panduan kerja, 4) memerlukan “focal person”
sebagai akses komunikasi, dan 5) memutuskan dan bertanggungjawab untuk
memastikan komitmen yang dibuat oleh peserta dapat terlaksana. 192

Tabel 3.1
Komitmen Organisasi Pemrakarsa TF-AMW

Organisasi Komitmen
1. Berkomitmen secara penuh untuk membangun suasana
kerjasama di antara organisasi masyarakat sipil dan serikat
pekerja;
UNI-APRO
2. Meyakinkan serikat pekerja untuk bergabung dalam dialog;

3. Menggunakan metode lobi “kartu pos” untuk mengirim


surat elektronik kepada Sekretariat ASEAN dan

191
Ibid.
192
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


92

pemerintah;

4. Menguraikan bagaimana organisasi masyarakat sipil dan


serikat pekerja dapat terlibat dalam pemantauan proses
implementasi Instrumen ASEAN dalam Pemajuan dan
Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran.

Asian Pacific Workers Melaporkan kepada serikat pekerja Thailand dan APWSL
Solidarity Links karena banyak yang tertarik dalam proses ini.
(APWSL)
Asia Pacific Forum on Menyetujui untuk bergabung menjadi anggota TF-AMW.
Women, Law and
Development (APLWD)
Asian Forum for Human Menyetujui untuk bergabung menjadi anggota TF-AMW.
Rights and Development
(FORUM-ASIA)
Berkomitmen dan bersedia untuk bergabung menjadi anggota
Human Rights Working
TF-AMW.
Group (HRWG)
Akan mensosialisasikan hasil pertemuan di jejaringnya dan
Migrant Care-Indonesia
melakukan kerja advokasi.
Serikat Buruh Sejahtera Sejak 1999, SBSI telah mengorganisir dan memiliki kapasitas
Indonesia (SBSI) untuk menyelenggarakan seminar pada isu ini di Indonesia.
Batam Workers Centre Banyak isu migrasi dan BWC ingin menciptakan hubungan yang
(BWC) kuat dengan Singapura.
Center for Indonesian Berpengalaman mengorganisir buruh mmigran di Indonesia
Migrant Workers dan luar negeri. Akan bekerja pada isu-isu buruh migran.
(CIMW)
Serikat Buruh Migran Sebagai serikat buruh migran nasional di Indonesia, SBMI telah
Indonesia (SBMI) berpengalaman mengorganisir dan akan bekerja pada isu ini.
Tenaganita/CARAM akan berbicara dengan Dewan Direksi
mengenai pembentukan TF-AMW. Tenaganita mendukung dan
Tenaganita
akan bekerja di tingkat nasional di Malasia dan berbagi
informasi di jejaring regional.
Mekong Migration Akan mempertimbangkan untuk bergabung menjadi anggota
Network (MMN)-Asian TF-AMW.
Migrant Center (AMC)
Migrant Forum in Asia MFA memiliki pengalaman regional dan internasional untuk
(MFA) bergabung menjadi anggota TF-AMW.
Mendukung inisiatif. ILO memiliki sejumlah proyek yang dapat
International Labour membantu inisiatif dan gagasan TF-AMW. Oleh karena itu ILO
Organisation (ILO) dapat memberikan bantuan teknis, politis, hukum dan
substantif.
United Nations Inter- UNIAP memberikan masukan teknis mengenai isu perdagangan
Agency Project on manusia.
Human Trafficking
(UNIAP)
Southeast Asia Regional Memberikan dukungan financial dan teknis pada proses,
Cooperation in Human jejaring organisasi dan advokasi dengan pemerintah.
Development (SEARCH)

Sumber: Task Force on ASEAN Migrant Workers (telah diolah kembali)

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


93

Dari Civil Society Organization and Trade Unions of ASEAN:


Consultation on Drafting the ASEAN Multilateral Framework on the Rights of
Migrant Workers di Singapura disepakati bahwa TF-AMW harus memiliki tugas
maupun fokus yang jelas. Tugas operasional TF-AMW ialah merancang
kelompok berbasis internet untuk komunikasi yang dikelola oleh Think Centre,
mengembangkan kalender kerja untuk memudahkan kerja TF-AMW, membuat
laporan bulanan atau dua bulanan kepada kelompok, dan menghubungkan dengan
jejaring dan Focal Point nasional. Sedangkan lingkup kerja Satuan Tugas Buruh
Migran ASEAN diantaranya ialah: 193
1. menyiapkan draf laporan musyawah;
2. menyiapkan draf untuk pertemuan Working Group on ASEAN Human
Rights Mechanism;
3. mengembangkan sebuah kalender kerja;
4. memverifikasi perjanjian bilateral dan multilateral negara-negara ASEAN
yang ada saat ini;
5. memverifikasi dokumen/konvensi PBB maupun ILO yang telah
ditandatangani atau diratifikasi oleh negara-negara ASEAN;
6. menyiapkan elaborasi draf Kerangka Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran yang mencakup hak-
hak buruh inti, kondisi kerja minimal dan persyaratan kerja; dan
7. menyerahkan draf kepada Working Group on ASEAN Human Rights
Mechanism, ALMM, SLOM dan badan-badan ASEAN yang relevan.
TF-AMW merupakan sebuah jejaring organisasi masyarakat sipil. Jejaring
ini terdiri dari mitra regional dan Focal Point nasional. Dari puluhan organisasi
masyarakat sipil yang turut memprakarsai berdirinya TF-AMW, tidak seluruhnya
aktif dalam jejaring advokasi. Mitra regionalnya beranggotakan ASEAN Service
Employee’s Trade Union Council (ASETUC), 194 Asian Forum on Human Rights
and Development (FORUM-ASIA), Migrant Forum in Asia (MFA), Mekong
Migration Network (MMN), Southeast Asia Migrant Workers’ Initiative (Think

193
Ibid.
194
Asian Forum for Human Rights and Development, “Civil Society’s Engagement with the
ASEAN Human Rights Body,” http://www.FORUM-ASIA.org/index2.php?option=com_content
&do_pdf =1&id=2153 diakses pada 7 Maret 2015.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


94

Centre), Union Network International Asia Pacific Regional Organization


(UNIAPRO), Coordination of Action Research on AIDS and Mobility (CARAM
Asia), dan Asia Pacific Women, Law, and Development (APWLD). Adapun Focal
Point nasional ada di setiap negara anggota ASEAN kecuali Brunei Darussalam
dan Myanmar dengan rincian: 195
1. Indonesia: Human Rights Working Group (HRWG), Asosiasi Serikat Pekerja
Indonesia, dan Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW)
2. Filipina: Center for Migrant Advocacy
3. Thailand: Thai Migrant Working Group
4. Vietnam: Vietnam Lawyer’s Association
5. Malaysia: Tenaganita dan Aliran
6. Kamboja: CARAM Kamboja
7. Laos: Laos Youth Union (LYU), Lao Federation of Trade Union (LFTU), dan
Gender and Development Group (GDG)
8. Singapura: Think Centre, Humanitarian Organization for Migration
Economics (HOME), dan Transient Workers Count Too (TWC2)
Untuk menjalankan misinya, TF-AMW dikelola dengan bantuan teknis
dari FORUM-ASIA yang berpusat di Bangkok dan dibantu oleh ASEAN’s People
Center yang berpusat di Jakarta 196. Adapun serikat buruh dan Ornop yang
tergabung dalam TF-AMW masing-masing memiliki staf khusus yang bekerja
untuk hak-hak buruh migran. Sedangkan kegiatan nasional TF-AMW dikelola
oleh focal person nasional dan Kelompok Kerja Buruh Migran di delapan negara
anggota ASEAN. 197
Pasca lahirnya Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan dan Pemajuan Hak-
Hak Buruh Migran, SAPA mendesak ASEAN untuk meratifikasi dan
mengimplementasikan instrumen-instrumen internasional dalam perlindungan
buruh migran. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Deklarasi tersebut tidak
mengikat secara hukum sehingga implementasi perlindungan buruh migran sulit
untuk diwujudkan. Terlebih lagi dengan diabaikannya keberadaan buruh migran

195
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, loc.cit, hlm.118.
196
Saat ini ASEAN People’s Center sudah tidak aktif lagi.
197
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, op.cit., hlm.15.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


95

tidak berdokumen dan buruh migran tidak terampil atau berketerampilan


rendah. 198 Pada 30 Juli 2007 ASEAN mengambil satu langkah lebih maju dalam
kebijakan buruh migran yaitu dengan dibentuknya ASEAN Committee on the
Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of
the Rights of Migrant Workers (ACMW). Komite ini diharapkan dapat
memfasilitasi implementasi Deklarasi dan membuat instrumen ASEAN untuk
perlindungan hak-hak buruh migran.
Dalam Rencana Kerja ACMW juga disebutkan bahwa tujuannya ialah
untuk meningkatkan perlindungan buruh migran dengan meningkatkan layanan
informasi dan pendidikan, dan dengan menciptakan sebuah repositori kebijakan
untuk memajukan praktik-praktik terbaik dalam kebijakan pengelolaan buruh
migran. Rencana kerja tersebut menunjukkan komitmen ASEAN untuk
menguatkan kerjasama regional untuk mengurusi buruh migran, dan kemauan
politik untuk membangun sebuah kerangka regional komprehensif dan struktur
institusional. TF-AMW dibentuk untuk menjawab perkembangan itu, dan
menekan ASEAN untuk terus mengembangkan instrumen buruh migran dan
mengambil standar perburuhan dan HAM internasional untuk dipertimbangkan
dalam kebijakan migrannya.
Terhitung sejak April 2007, TF-AMW secara langsung mulai melibatkan
diri dan berbagi informasi dengan Sekretaris Jenderal ASEAN, dan secara rutin
dengan Divisi Kesejahteraan Sosial, Perempuan, Ketenagakerjaan dan Buruh
Migran Direktorat Sosial-Budaya dan beberapa staf Sekretariat ASEAN yang
terkait. Dalam prosesnya, beberapa laporan dan rekomendasi TF-AMW 199
diterima untuk dipertimbangkan oleh Sekretaris Jenderal ASEAN dan Sekretariat
ASEAN.
Dengan fokus buruh migran, TF-AMW berupaya menjawab isu migrasi
buruh yang mempengaruhi seluruh negara ASEAN, baik negara pengirim maupun
penerima buruh migran. Terlebih lagi dengan adanya fakta dalam Vientiane

198
Jenina Joy Chavez, “Social Policy in ASEAN: The Prospects for Integrating Migrant Labour
Rights and Protection,” Global Social Policy, No. 7 (2007), DOI: 10.1177/1468018107082239,
hlm.358, dalam http://gsp.sagepub.com/cgi/content/abstract/7/3/358 (diakses pada 7 Maret 2015
pukul 18.52 WIB).
199
TF-AMW mendapatkan dukungan dana utama dari dua lembaga, yaitu Southeast Asia Regional
Cooperation in Human Development (SEARCH) dan The Canadian International Development
Agency (CIDA).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


96

Action Program (2004-2010) dijelaskan bahwa perlu elaborasi sebuah instrumen


ASEAN untuk perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran. Hal ini
menjadi dasar bagi SAPA untuk membentuk wacana dalam kerangka ASEAN.
Tujuannya adalah untuk memantau pembangunan kegiatan dan kebijakan migran
ASEAN, dan setelah menilai secara kritis, mempengaruhi dan mengubah
kebijakan tersebut dengan memperjuangkan gagasan sendiri.
TF-AMW mengadvokasi pembangunan sebuah instrumen berbasis
regulasi dan kebijakan migran regional, di satu sisi tetap mengacu kepada standar
internasional yaitu ILO dan PBB, dan di sisi lain berdasarkan standar ASEAN
sendiri untuk melindungi hak-hak buruh migran. Jejaring ini mendesak ASEAN
untuk tidak melihat buruh migran sebagai penyebab masalah, akan tetapi sebagai
kelompok yang rentan terhadap eksploitasi ataupun korban pelanggaran HAM.
Dengan kata lain, TF-AMW berupaya mempengaruhi ASEAN secara diskursif
dengan meningkatkan sebuah narasi yang memandang buruh migran secara
berbeda, dan sejalan prinsip-prinsip HAM.

Tabel 3.2
Parameter Kondisi Kerja yang Adil dan Layak Bagi Buruh Migran

No Berdasarkan Konvensi PBB 1990 Berdasarkan Deklarasi Cebu 2007


1. Dilindungi dari segala bentuk tindakan Berhak dilindungi dan dijunjung tinggi hak
penyiksaan atau perlakuan atau asasi manusianya dan martabatnya sebagai
penghukuman yang kejam, tidak buruh migran di negara tempat ia bekerja.
manusiawi dan merendahkan martabat.
2. Dilindungi dari praktik perbudakan dan Dilindungi dari praktik eksploitasi dan
perhambaan. perlakuan buruk.
3. Dilindungi dari praktik kerja paksa atau Dilindungi dari praktik perdagangan
kerja wajib. manusia (trafficking).
4. Perlindungan hukum atas hak hidup. Dimajukan hak-haknya.
5. Berhak memasuki dan tinggal di negara Berhak atas fasilitas akses sumber daya dan
asalnya setiap waktu. obat melalui informasi, pelatihan dan
pendidikan.
6. Berhak atas kebebasan berfikir, Berhak atas akses terhadap keadilan dan
keyakinan, dan beragama. pelayanan kesejahteraan sosial yang sesuai
berdasarkan undang-undang negara
penerima.
7. Berhak untuk menyampaikan pendapat. Berhak atas akses yang memadai terhadap
sistem hukum dan peradilan negara-negara
penerima bagi para pekerja migran, yang

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


97

mungkin menjadi korban diskriminasi,


pelecehan, eksploitasi, kekerasan.
8. Berhak atas akses yang memadai Berhak mendapatkan fasilitas pelaksanaan
terhadap sistem hukum dan peradilan fungsi konsuler-konsuler atau otoritas
negara-negara penerima bagi para diplomatik negara asal ketika seorang
pekerja migran, yang mungkin menjadi pekerja migran ditangkap atau dimasukkan
korban diskriminasi, pelecehan, ke penjara atau tahanan atau ditahan
eksploitasi, kekerasan. dengan cara lain, berdasarkan hukum dan
peraturan negara penerima dan sesuai
dengan Konvensi Wina tentang Hubungan
Konsuler.
9. Berhak memiliki properti baik dimiliki Berhak atas akses terhadap keadilan dan
sendiri atau bersama orang lain. pelayanan kesejahteraan sosial yang sesuai
berdasarkan undang-undang negara
penerima, asalkan mereka memenuhi
persyaratan berdasarkan hukum yang
berlaku, peraturan dan kebijakan negara
tersebut, perjanjian bilateral dan perjanjian
multilateral.
10. Buruh migran yang melakukan tindak -
pidana berhak mendapatkan peradilan
yang adil di hadapan hakim atau pejabat
lain yang diberi kewenangan oleh hukum
untuk menjalankan peradilan.
11. Berhak memperoleh perlindungan dan -
bantuan pejabat konsuler atau
diplomatik dari negara asalnya.
12. Harus mendapatkan perlakuan yang -
tidak kurang menguntungkan daripada
yang diterapkan pada warga negara
tempat bekerja dalam hal penggajian
dan kodisi-kondisi kerja lainnya yakni
uang lembur, jam kerja, istirahat
mingguan, libur dengan gaji,
keselamatan, kesehatan, pemutusan
hubungan kerja, dan kondisi-kondisi
apapun yang menurut hukum dan
praktik nasional dicakup dalam istilah ini.

Sumber: Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Buruh Migran dan
Anggota Keluarganya 1990 (PBB) & Deklarasi Cebu 2007.

Dengan salah satu tujuan untuk meningkatkan partisipasi warga ASEAN


dalam upaya mengimplementasikan Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran, TF-AMW memiliki tiga bidang kerja
utama. 200

200
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, loc.cit., hlm.12.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


98

1. Menyelenggarakan musyawarah nasional dan regional untuk


meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai Deklarasi ASEAN,
dan mendorong serikat pekerja maupun Ornop guna membuat
rekomendasi konstruktif dan positif untuk pemerintah mengenai cara
melindungi buruh migran. Setidaknya 7 musyawarah regional dan 8
musyawarah nasional (Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina,
Thailand, Singapura dan Vietnam) telah diselenggarakan dengan sebagian
besar di antaranya mencakup presentasi dari pemerintah dan perwakilan
PBB. Seluruh musyawarah tersebut dipimpin oleh masyarakat sipil dan
serikat pekerja.
2. Membuat draf proposal masyarakat sipil dalam Kerangka Instrumen
ASEAN untuk Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. TF-
AMW berkomunikasi secara intensif dengan Sekretariat ASEAN untuk
mengajukan instrumen tersebut dalam prosesnya.
3. Menindaklanjuti kerja ASEAN Committee on Migrant Workers dalam
pembuatan instrumen sebagaimana yang tertera dalam Ayat 22 Deklarasi
Buruh Migran ASEAN, dan berkomunikasi dengan pemerintah maupun
Sekretariat ASEAN dalam prosesnya.
Kerangka instrumen berisi 192 rekomendasi kebijakan untuk diterapkan
oleh ASEAN. Dari semua itu dapat dikelompokkan menjadi empat bagian. 201
Pertama, kewajiban negara penerima buruh migran. Sejak awal, rekomendasi
utama kerangka instrumen ingin memastikan bahwa buruh migran diperlakukan
sesuai dengan standar perburuhan inti Organisasi Perburuhan Dunia. Oleh karena
itu, menuntut “perlakuan nasional” terhadap buruh migran terkait dengan gaji dan
kondisi kerja, dan melembagakan kontrak standar untuk memperkerjakan buruh
migran. Sehingga, menegaskan kembali hak-hak buruh migran untuk memegang
paspor sendiri dan dokumen indentitas pekerja, menuntut penalti kuat terhadap
majikan atau pihak lain yang merebut dokumen. Kerangka instrumen juga
memberi perhatian khusus terhadap pembantu rumah tangga yang sangat rentan,
memastikan asuransi buruh migran dan keluarganya, menjamin keselamatan dan

201
Ibid., hlm.13.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


99

akomodasi yang layak, membuat sistem pemeriksaaan yang efektif, dan


menyediakan akses untuk bantuan hukum dan keadilan.
Kedua, kewajiban negara pengirim buruh migran. Kerangka instrumen
mendesak negara pengirim untuk memasukkan sistem dan program pelatihan pra-
keberangkatan yang efektif. Upaya tersebut fokus terhadap pelatihan vokasi dan
pengembangan kapasitas, khususnya di negara-negara Mekong (Kamboja, Laos,
Myanmar dan Vietnam). Hal itu merupakan persyaratan untuk sistem penempatan
yang efektif guna mengatur keberangkatan buruh di negara lain dan sekembali
mereka di negara asal. Selain itu, TF-AMW juga mendesak pemerintah untuk
membuat proses regulasi dan akreditasi yang efektif untuk mengawasi agen
tenaga kerja agar dapat mencegah pelanggaran. Instrumen juga ingin memastikan
sistem perlindungan buruh migran melalui keberangkatan dan upaya proaktif
atase tenaga kerja atau staf lain dari kedutaan negara pengirim di negara penerima
buruh. 202
Ketiga, kewajiban bersama negara pengirim dan penerima buruh migran.
Kerangka instrumen mengusulkan diwujudkannya peraturan yang efektif untuk
agen perekrutan tenaga kerja, lembaga sistem pengaduan yang dapat
dimanfaatkan oleh buruh migran, pengembangan skema untuk memfasilitasi
buruh migran terampil dan pengakuan terhadap keterampilan mereka, penekanan
yang efektif terhadap perdagangan manusia, dan penciptaan sistem yang dapat
dengan mudah diakses untuk memfasilitasi pengiriman remitansi buruh migran
dan menyediakan lembaga yang aman di mana buruh migran dapat menyimpan
uang. Yang paling penting, negara-negara anggota ASEAN dituntut untuk
menyelaraskan hukum perburuhan nasional dengan standar perburuhan
internasional. 203
Keempat, komitmen ASEAN. TF-AMW menuntut persyaratan
administratif seperti pelaporan, dan mendorong sistem partisipatif yang
memasukkan masyarakat sipil ASEAN baik di tingkat nasional maupun regional.
Kerangka instrumen menjelajahi beberapa kemungkinan untuk sistem ASEAN di
masa depan untuk melindungi buruh migran seperti Nomor Induk Pekerja

202 Ibid.
203
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


100

ASEAN, hotline, dan asuransi portable. Terkait dengan telah dibentuknya


AICHR, instrumen mengajukan diciptakannya sebuah Sub-Komite Hak-Hak
Buruh Migran yang bekerja di bawah AICHR. Selain itu, instrumen juga
menjabarkan sistem yang dapat dikembangkan lebih jauh oleh ASEAN untuk
mengelola tanggungjawab (ditetapkan dalam Deklarasi Buruh Migran ASEAN)
untuk kerjasama saling menguntungkan di antara negara-negara ASEAN guna
membantu buruh migran dari ASEAN yang bekerja di luar ASEAN. 204

3. 4 Strategi Advokasi Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN terhadap


ASEAN untuk Mengadopsi Instrumen Perlindungan dan Pemajuan
Hak-Hak Buruh Migran
Kerangka Instrumen ASEAN untuk Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak
Buruh Migran menegaskan desakan TF-AMW guna mematuhi standar
internasional, dan mengajukan sebuah pendekatan komprehensif yang tidak
membedakan antara buruh migran berdokumen maupun tidak berdokumen, dan
antara buruh migran dengan anggota keluarga mereka. Kerangka instrumen
mengatur tanggungjawab bersama dan regulasi jelas bagi negara pengirim buruh
migran, negara penerima buruh migran, dan ASEAN.
Lagi pula, kerangka instrumen juga memperkenalkan elemen-elemen baru
terhadap wacana yaitu dengan menitikberatkan prinsip non-diskriminasi dan
“perlakuan nasional” mengenai buruh migran dan keluarga mereka, yang berarti
memberlakukan standar pelayanan yang sama, dan pemenuhan hak-hak dasar
(khususnya kebebasan bergerak dan berserikat, dan hak keamanan dan kehidupan
keluarga). 205 TF-AMW juga mendesak bahwa seluruh peraturan maupun kegiatan
mengenai buruh migran harus transparan dan akuntabel, dan harus ada informasi
yang baik terhadap buruh migran mengenai situasi atau kebijakan terkait. Singkat
kata, TF-AMW mendesak ASEAN untuk mengadopsi sebuah kerangka kebijakan
komprehensif yang menjawab semua aspek penting dari permasalahan yang
mempengaruhi buruh migran.

204
Ibid.
205
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “Final ASEAN Civil Society Proposal for the
ASEAN Framework Instrument on the Promotion and Protection of the Rights of Migrant
Workers”, dalam http://www.workersconnection.org/resources/Resources_47/, (diakses pada 7
Maret 2015).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


101

Secara umum, advokasi TF-AMW dapat dibagi ke dalam tiga masa.


Pertama, masukan ke dalam penyusunan Deklarasi ASEAN dalam Perlindungan
dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran dari tahun 2006 sampai tahun 2007. Dari
April 2006, TF-AMW memberikan masukan melalui mekanisme Vientiane Action
Program yaitu ketentuan untuk membuat sebuah instrumen ASEAN untuk
perlindungan hak-hak buruh migran. Masukan tersebut digunakan sebagian oleh
pemerintah negara-negara angggota ASEAN dalam menyusun Deklarasi ASEAN
dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran yang disetujui oleh
para pemimpin ASEAN pada Januari 2007 di Cebu, Filipina (Deklarasi Cebu).
Kedua, musyawarah dalam Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran dari tahun 2007 sampai tahun 2009. TF-AMW
telah bekerja selama tiga tahun untuk memastikan bahwa masukan serikat buruh
dan Ornop dimasukkan dalam proses mengimplementasikan Deklarasi ASEAN
dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. Musyawarah di
tingkat nasional dan regional membantu memastikan partisipasi buruh migran dan
perwakilan mereka daam proses ASEAN. TF-AMW juga membantu secara
signifikan dalam merangsang meningkatnya ketertarikan dari Sekretariat ASEAN
dan pemerintah negara-negara anggotanya untuk melibatkan Ornop dan serikat
buruh. Di setiap musyawarah yang diadakan, selalu dihasilkan sebuah pernyataan
dengan rekomendasi untuk pemerintah dan ASEAN. TF-AMW bersama dengan
para peserta musyawarah menindaklanjuti advokasi berdasarkan pernyataan yang
diadopsi.
Ketiga, memberi masukan kepada ACMW untuk menyusun Instrumen
ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. TF-AMW
dan jejaringnya melibatkan ACMW dan Sekretariat ASEAN untuk memastikan
bahwa komitmen yang dibuat dalam Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran diimplementasikan. TF-AMW mendorong
perwakilan pemerintah yang tergabung dalam penyusunan instrumen untuk
mengadopsi instrumen yang dibuat. TF-AMW berupaya merangkul Sekretariat
ASEAN guna mengimplementasikan salah satu program Cetak Biru Masyarakat
Sosial-Budaya ASEAN (2009-2015) yaitu memastikan kebijakan buruh migran
yang adil, komprehensif, dan memadai untuk perlindungan hak-hak buruh migran.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


102

Strategi advokasi TF-AMW dapat dikelompokkan menjadi empat cara. Pertama,


menggelar musyawarah organisasi masyarakat sipil-serikat pekerja dengan para
pemangkuan di hampir seluruh negara anggota ASEAN. Kedua, meluncurkan
buku “Proposal Masyarakat Sipil: Kerangka Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. Ketiga, memanfaatkan
forum masyarakat sipil transnasional. Keempat, merangkul Sekretariat ASEAN.

3.4.1 Menggelar Musyawarah Organisasi Masyarakat Sipil-Serikat Pekerja


dengan Para Pemangku Kepentingan
Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN tidak hanya aktif mensosialisasikan
Deklarasi Cebu, akan tetapi juga salah satu poin penting yang terkandung dalam
Vientiane Action Program yaitu upaya elaborasi Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. Salah satu strategi
advokasinya ialah melalui musyawarah di tingkat nasional dan didukung oleh
beberapa mitra regional dengan melibatkan para pemangku kepentingan.
Setiap musyawarah di tingkat nasional menghasilkan Pernyataan Nasional
yang ditujukan kepada pemerintah masing-masing dan Sekretariat ASEAN.
Setelah setiap musyawarah nasional, penyelenggara bersama perwakilan TF-
AMW bertemu dengan pejabat pemerintah senior dalam rapat advokasi untuk
menyerahkan pernyataan dan menjelaskan peran maupun pandangan TF-AMW.
Pada akhirnya, kumpulan musyawarah di tingkat nasional tersebut digabungkan
menjadi Proposal Masyarakat Sipil: Kerangka Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. 206
Menurut Kun Wardana Abyoto, Direktur UNI Global Union Asia Pasifik
(UNI-APRO), musyawarah ini penting untuk meningkatkan partisipasi kelompok
masyarakat sipil dalam tata kelola migrasi di tingkat regional. Karena dalam
musyawarah ini mempertemukan organisasi non-pemerintah, serikat pekerja,
perwakilan pemerintah dan para pemangku kepentingan. Selain itu, musyawarah
ini juga membahas agenda apa saja yang akan dibawa oleh jejaring TF-AMW

206
Menurut Rafendi Djamin, Perwakilan Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN
(AICHR), musyawarah nasional seperti ini cukup efektif mengingat dilakukan secara konsisten
terutama menjelang rapat ACMW dan ASEAN Senior Labour Official Meeting (SLOM).
Sebagaimana wawancara penulis dengan Rafendi Djamin di Jakarta pada 7 Mei 2015.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


103

dalam AFML. Hasil AFML yang selalu dihadiri oleh TF-AMW untuk selanjutnya
kembali lagi disebarkan kepada anggota jejaring TF-AMW dan seterusnya. 207
Musyawarah nasional Indonesia digelar di Jakarta pada 12-13 Mei 2007.
Pada kesempatan ini TF-AMW percaya bahwa upaya mengembangkan Kerangka
Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran
harus dan akan melengkapi Initiative for ASEAN Integration (IAI) dan ASEAN
Framework Agreeement on Services (AFAS). Oleh karena itu, mobilitas buruh
telah menjadi bagian integrasi karena pembatas (barrier) sedang dalam proses
penghilangan guna memfasilitasi bebasnya aliran modal, barang, jasa, dan
teknologi. 208
Menurut jejaring masyarakat sipil di Indonesia, aliran buruh lintas negara
menguntungkan semua pihak. Negara penerima buruh migran diuntungkan karena
kekurangan tenaga kerja di dalam negeri terpenuhi, negara pengirim buruh migran
diuntungkan karena mendapatkan devisa karena mengurangi pengangguran,
sedangkan buruh migran sendiri juga diuntungkan karena dapat memperbaiki taraf
ekonomi. Sehingga, baik buruh migran berdokumen maupun tidak wajib
dilindungi tanpa diskriminasi.
Puluhan peserta yang mengikuti musyawarah organisasi masyarakat sipil-
serikat pekerja di Indonesia menghasilkan Pernyataan Nasional. Terdapat
beberapa rekomendasi baik yang ditujukan kepada ASEAN maupun pemerintah
Indonesia 209. Rekomendasi mereka untuk ASEAN di antaranya ialah: 210 1) segera
meratifikasi delapan konvensi inti ILO dan memastikan hukum perburuhan
nasional –khususnya yang mengatur buruh migran – selaras dengan standar
tersebut, 2) instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran
sebagaimana yang tertera dalam paragraf 22 Deklarasi Cebu mengikat secara

207
Wawancara dengan Kun Wardana Abyoto, Direktur UNI Global Union Asia dan Pasifik (UNI-
APRO), Jakarta, 19 Mei 2015.
208
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, loc.cit., hlm. 52-55.
209
TF-AMW awalnya memuji pemerintah Indonesia karena telah meratifikasi 8 konvensi inti ILO
dan UN Convention on the Protection of the Rights of Migrant Workers and Their Families.
Namun karena dalam prakteknya masih banyak pekerja migran yang belum terpenuhi hak-haknya,
maka jejaring masyarakat sipil mengeluarkan sejumlah rekomendasi terhadap pemerintah
Indonesia.
210
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, op.cit.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


104

hukum dan oleh karena itu Pertemuan Menteri Tenaga Kerja ASEAN 2008 harus
menerima rekomendasi ini, 3) instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak
buruh migran harus memiliki mekanisme pelaporan dan oleh karena itu harus
dibuat sebuah komisi independen untuk menanganinya, 4) setiap negara anggota
ASEAN agar membentuk focal point di bawah Kementerian Tenaga Kerja yang
berwenang dan bertugas terlibat secara substantif dalam menyusun instrumen
bekerjasama dengan TF-AMW, 5) meratifikasi secara Konvensi ILO 97, 143 dan
181 mengenai pekerja migran dan UN Convention on the Protection of the Rights
of Migrant Workers and Their Families, 6) instrumen harus memiliki mekanisme
yang praktis dan dapat dijalankan untuk menyelesaikan masalah pekerja migran
dengan standar seragam dan prosedur yang transparan guna memastikan
tanggapan yang berkualitas, 7) semua anak yang dilahirkan oleh pekerja migran
harus memperoleh akta kelahiran dan akses pendidikan maupun kesehatan.
Musyawarah nasional Kamboja diselenggarakan pada 11-12 September
2008 di Phnom Penh. Pertemuan yang dihadiri lebih dari 60 perwakilan organisasi
non-pemerintah, serikat pekerja, swasta, dan organisasi masyarakat sipil ini
bersejarah karena untuk pertama kalinya kalangan masyarakat sipil Kamboja
dapat duduk bersama untuk mengembangkan rekomendasi komprehensif
mengenai hak-hak buruh migran kepada Kerajaan Kamboja dan ASEAN.
Pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan Kementerian Tenaga Kerja dan
Pelatihan Kejuruan, Kementerian Urusan Perempuan dan Kementerian Luar
Negeri Kamboja itu memberikan sejumlah rekomendasi terhadap ASEAN yang di
antaranya ialah: 211
1. Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh
Migran harus mengikat secara hukum;
2. untuk memastikan koordinasi kebijakan dan negosiasi migrasi yang efektif
antar negara anggota ASEAN, setiap pemerintah nasional harus
mendirikan Inter-Agency Task Force guna mengkoordinir seluruh aspek
dari kerja pemerintah mengenai pekerja migran;

211
Ibid., hlm. 43-51.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


105

3. menggunakan sistem teknologi informasi yang memungkinkan negara-


negara anggota ASEAN bertukar informasi mengenai tren migrasi dan
menindaklanjuti situasi migran yang spesifik;
4. membuat perjanjian mengenai layanan “paket medis standar” yang
disediakan oleh negara penerima penerima bekerjasama dengan negara
pengirim untuk pekerja migran di ASEAN;
5. tidak mendeportasi atau menahan pekerja migran perempuan karena hamil;
6. mengadopsi kebijakan yang mengizinkan pekerja migran berdokumen
untuk berganti majikan tanpa kehilangan status izin kerja atau hak bekerja
maupun tinggal di negara tujuan;
7. tidak mengkriminalisasi pekerja migran tak berdokumen atau
menggunakan hukuman jasmani (seperti cambuk) terhadap pekerja
migran;
8. menerapkan kebijakan tak menoleransi kekerasan terhadap pekerja migran
dan memastikan seluruh negara anggota ASEAN memberikan hak yang
sama untuk akses keadilan sebagaimana warga negara sendiri (di negara
tujuan);
9. sejalan dengan standar perburuhan internasional, negara-negara anggota
ASEAN harus mengizinkan pekerja migran membentuk dan atau
mengikuti serikat pekerja di negara tujuan;
10. membuat larangan yang jelas dan mutlak atas penyitaan paspor pekerja
migran atau pengrusakan dokumen terkait oleh pejabat pemerintah,
majian, makelar, agen, biro rekrutmen atau oleh siapapun.
Musyawarah Nasional Laos digelar pada 2-3 Oktober 2008 di Vientiane
yang dihadiri oleh lebih dari 75 perwakilan organisasi massa, organisasi
masyarakat sipil, serikat pekerja dan pejabat pemerintah. Jejaring masyarakat sipil
Laos mengakui bahwa seluruh negara anggota ASEAN telah meratifikasi
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
(CEDAW), dan Convention on the Rights of the Child (CRC), oleh karena itu
mereka mendesak ASEAN maupun pemerintah Laos 212 untuk menghilangkan

212
Selain rekomendasi kepada pemerintah Laos dan ASEAN, musyawarah ini juga menghasilkan
rekomendasi kepada pemerintah Laos dan Thailand untuk 1) menindaklanjuti Nota Kesepahaman
mengenai kerjasama pekerjaan dan memastikan dipenuhinya hak-hak pekerja Laos di Thailand, 2)

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


106

segala bentuk diskriminasi terhadap pekerja migran perempuan yang merupakan


migran dengan jumlah mayoritas di kawasan dan memastikan bahwa hak-hak
pekerja migran dan anak dipenuhi di negara-negara penerima. 213
1. Instrumen ASEAN dalam Perlidungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh
Migran harus dicapai melalui mufakat dan dijalankan secara efektif.
2. Membuat ukuran efektif yang akan memajukan tata kelola migran yang
lebih baik dan manusiawi oleh majikan.
3. Bekerjasama dengan negara-negara anggotanya untuk membuat standar
Kontrak Kerja bagi buruh migran yang mengakui prinsip-prinsip pekerjaan
yang layak dan hak-hak di tempat kerja sesuai dengan standar perburuhan
inti ILO.
4. Mendorong negara-negara anggotanya mempertimbangkan pekerjaan
rumah tangga sebagai “pekerjaan” yang dimasukkan dalam hukum
ketenagakerjaan nasional.
5. Sesuai dengan Bali Concord II, memahami dan mengakui pentingnya
migrasi terhadap pembangunan ekonomi di negara-negera Mekong.
6. Mengembangkan informasi mengenai pekerja migran dan mendukung
penyebaran informasi mengenai situasi maupun keadaan yang dihadapi
oleh mereka.
7. Mengembangkan program pelatihan kejuruan di negara-negara pengirim
untuk perencanaan pekerja yang akan bermigrasi sehingga dapat
meningkatkan kualitas pekerja migran.
8. Mengembangkan program pembangunan kapasitas pada topic manajemen
migrasi dan pencegahan perdagangan manusia.
Musyawarah nasional Malaysia diselenggarakan di Shah Alam pada 13-14
Agustus 2008. 214 Para perwakilan organisasi masyarakat sipil dan serikat pekerja
pada kesempatan itu mendesak pemerintah Malaysia untuk membahas dan
menentukan kerangka perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja migran karena

menyederhakan proses verifikasi kewarganegaraan dan memangkas biaya utuk memperoleh


paspor sementara (Laos) serta menyederhanakan proses maupun biaya pendaftaran izin kerja
(Thailand), dan 3) mempertimbangkan pentingnya pekerjaan rumah tangga bagi pekerja Laos di
Thailand dan membawa masalah ini di SLOM.
213
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, loc.cit., hlm. 56-59.
214
Ibid., hlm.6o.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


107

negara ini merupakan salah satu penerima migran terbesar di Asia. Apalagi,
sepertiga dari angkatan kerja Malaysia merupakan migran.
Para aktivis dalam musyawarah mengecam sikap pemerintah Malaysia
yang menganggap pekerja migran sebagai ancaman “keamanan” daripada masalah
“ketenagakerjaan” oleh Kementerian Sumber Daya Manusia. Mereka juga
mengecam Kementerian Dalam Negeri yang salah mengurus kebijakan pekerja
migran sehingga timbul masalah besar seperti eksploitasi sistemik dan
melubernya pekerja migran tak berdokumen. Para aktivis juga mengkritik
kegagalan Malaysia mencegah diskriminasi terahdap pekerja migran perempuan –
khususnya pembantu rumah tangga – walaupun telah meratifikasi CEDAW pada
2006.
Terdapat beberapa tuntutan masyarakat sipil Malaysia terhadap ASEAN
dalam musyawarah nasional di Shah Alam tersebut. 215 Pertama, segera
meratifikasi seluruh 8 Konvensi Inti ILO dan memastikan hukum nasional –
khususnya mengenai tata kelola pekerja migran – selaras dengan standar
internasional. Standar yang dimaksud termasuk Konvensi ILO No.97. 143 dan
181, serta UN Convention on the Protection of the Rights of Migrant Workers and
Their Families. Kedua, memastikan implementasi Vientiane Action Program
mengenai HAM. Ketiga, berperan dalam musyawarah dengan pemerintah negara
pengirim maupun penerima untuk memastikan bahwa pekerja migran tidak
dipungut biaya terlalu tinggi untuk mendapatkan pekerjaan. Biaya berlebihan
hanya akan memperbesar hutang pekerja migran yang mendorong rentannya
jeratan hutang dan perdagangan manusia. Keempat, mengakui fenomena “orang
yang tidak memiliki kewarganegaraan” dan menyadari bahwa pekerja migran
tanpa kewarganegaraan rawan terhadap eksploitasi. Kelima, membuat kebijakan
migrasi yang sensitif gender mengingat tingginya feminisasi dalam migrasi di
Asia Tenggara. Keenam, setiap negara pengirim pekerja migran harus
menugaskan seorang focal point di Kedutaan di setiap negara penerima guna
mengatasi keluhan dan masalah yang dihadapi warganya. Tempat penampungan
harus dibuat oleh negara yang bersangkutan untuk membantu pekerja migran yang
dalam keadaan sulit. Ketujuh, mengingat pentingnya remitansi pekerja migran

215
Ibid., hlm.67-68.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


108

terhadap perekonomian negara asal; sistem pengiriman uang yang dapat


diandalkan, mudah diakses dan berbiaya rendah wajib diwujudkan. Kedelapan,
mengakui secara terbuka hari migran internasional (18 Desember) dan
memberikan hari libur umum untuk pekerja migran guna merayakan hari tersebut
sebagai penegasan hak-hak mereka. Kesembilan, menyetujui bahwa Instrumen
ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran harus
dikembangkan (sebagaimana disebutkan dalam paragraf 22 Deklarasi Cebu)
dengan mengikat secara hukum terhadap seluruh negara anggotanya. Kesepuluh,
menugaskan Tim Penyusun Instrumen untuk secara substantif melibatkan TF-
AMW.
Musyawarah nasional Filipina diselenggarakan pada 24 September 2007 di
Manila. Terdapat 130 peserta yang mewakili pekerja migran, organisasi non-
pemerintah, gereja, serikat pekerja dan akademisi dari wilayah Luzon, Visayas,
dan Mindanao pada pertemuan tersebut. Jejaring masyarakat sipil Filipina
mengkritik ASEAN karena terdapat beberapa hal penting yang tidak tercantum
pada Deklarasi Cebu seperti perlindungan terhadap pekerja migran tak
berdokumen, hak-hak anggota keluarga yang menemani pekerja migran, hak-hak
anak pekerja migran terhadap kewarganegaraan sebagaimana ketentuan PBB, dan
pengakuan hak-hak pekerja migran perempuan. 216
Jejaring masyarakat sipil Filipina juga sangat keberatan dengan Prinsip
Umum ke-4 Deklarasi Cebu yang mengabaikan hak-hak pekerja migran tak
berdokumen. Oleh karena itu, mereka mengeluarkan sejumlah tuntutan seperti: 217
1. pekerja migran bukan merupakan komoditas dan tidak dapat dipandang
sebagai komoditas untuk ekspor maupun eksploitasi;
2. seluruh pekerja migran memiliki hak inheren, tidak dapat dicabut, dan tak
dapat dibagi baik sebagai manusia maupun pekerja;
3. seluruh pekerja migran dan anggota keluarga mereka berhak mendapatkan
pengakuan dan perlindungan apapun status hukumnya;
4. hak-hak manusia universal dan martabat pekerja migran harus diutamakan
di atas pertimbangan geopolitik dan keamanan nasional;

216
Ibid., hlm.69.
217
Ibid., hlm.70.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


109

5. perdagangan manusia dalam segala bentuk harus dilawan dan ditanggapi


dengan perspektif HAM dan gender.
Sementara itu terdapat beberapa tuntutan umum dari kelompok masyarakat
sipil Filipina terhadap ASEAN yang di antaranya sebagai berikut. 218 Pertama,
karena Filipina telah meratifikasi Konvensi ILO No.143 dan UN Convention on
the Protection of the Rights of Migrant Workes and Their Families, seluruh
negara anggota ASEAN yang lain juga harus segera meratifikasi termasuk
Konvensi ILO No.97 dan 181. Kedua, karena pekerja migran tak berdokumen
berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian negara-negara penerima,
seluruh negara anggota ASEAN – khususnya Malaysia – harus mengakui dan
melindungi hak-hak, menghentikan kriminalisasi dan mempertimbangkan
peraturan atas status mereka. Ketiga, memastikan bahwa pembantu rumah tangga
secara spesifik dimasukkan dalam cakupan hukum ketenagakerjaan nasional dan
mekanisme keluhan. Keempat, mengakui kualitas kesehatan pekerja migran bukan
hanya yang mempengaruhi pekerja, akan tetapi juga anggota keluarganya. Oleh
karena itu, ASEAN didesak menciptakan skema asuransi kesehatan berkualitas
tinggi, portable dan efektif. Kelima, bekerjasama dengan negara-negara
anggotanya dan akademisi, ASEAN harus secara terbuka menguji prosedur,
kebijakan, praktek agar lebih efektif dan mengkaji terkait angkatan kerja di negara
penerima, serta mekanisme reintegrasi pekerja migran ketika kembali ke negara
asal. Keenam, mendirikan Dewan Penasehat Masyarakat Sipil untuk
melembagakan keterwakilan multisektoral yang berarti, dan dialog maupun
musyawarah konstruktif mengenai isu dan masalah migrasi pekerja. Ketujuh,
menyelidiki masalah dan pelanggaran dalam sistem rekrutmen pekerja sekarang di
negara-negara pengirim dan secara sistematik melibatkan seluruh pemangku
kepentingan (pekerja migran, organisasi non-pemerintah, serikat pekerja,
pemerintah di tingkat lokal, provinsi dan nasional, maupun asosiasi agen
rekrutmen) guna mengembangkan solusi yang adil dan realistik untuk mengatasi
biaya rekrutmen yang berlebihan, penggantian kontrak, pengawasan kasar dan
perawatan pekerja migran yang dimobilisasi atau dilatih, penipuan dan

218
Ibid., 73-74.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


110

perdagangan manusia, dam beragam pelanggaran terhadap pekerja migran


lainnya.
Musyawarah nasional Singapura diselenggarakan pada 16-17 April 2009.
Pada kesempatan tersebut TF-AMW berhasil mengumpulkan tidak kurang dari 38
peserta dari perwakilan organisasi masyarakat sipil dan serikat pekerja. 219 Di
antara tuntutan jejaring masyarakat sipil Singapura terhadap ASEAN ialah 220
pertama, harus ada kode etik yang mendorong praktek-praktek etis dan transparan
bagi biro penyalur tenaga kerja migran yang beroperasi di ASEAN. Kedua,
bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional yang memiliki keahlian
teknis guna mendukung pembangunan kapasitas pemerintah, serikat pekerja,
organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat sipil lainnya sehingga
mereka dapat sepenuhnya turut andil dalam upaya perlindungan dan pemajuan
hak-hal pekerja migran. Ketiga, secara aktif mendorong negara-negara pengirim
pekerja migran untuk mengembangkan dan secara efektif melaksanakan program
pra-keberangkatan yang mengedukasi pekerja seperti hukum, peraturan, adat
istiadat dan budaya, maupun informasi relevan lainnya mengenai negara tujuan.
Keempat, mendukung kampanye masyarakat sipil regional untuk menerapkan
libur satu hari perminggu bagi pekerja migran. Kelima, harus ada Sub-Komite
Pekerja Migran di bawah Badan HAM ASEAN yang diberdayakan untuk
pemajuan hak-hak pekerja migran, menerima keluhan pelanggaran HAM,
melakukan riset dan penyelidikan, dan melaporkan temuan. Keenam,
mengembangkan badan pengawas yang terdiri dari perwakilan organisasi
masyarakat sipil, serikat pekerja, asosiasi pengusaha dan pemerintah yang
memainkan peran (di bawah Sekretariat ASEAN) untuk memastikan
implementasi standar regional yang efektif termasuk instrumen perlindungan dan
pemajuan hak-hak buruh migran.
Musyawarah nasional Thailand digelar pada 31 Juli 2007 di Bangkok.
Menurut jejaring masyarakat sipil Thailand, 221 pengembangan Instrumen ASEAN
dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran harus melengkapi
Initiative for ASEAN Integration (IAI) dan ASEAN Agreement on Service (AFAS).

219
Ibid., hlm.75.
220
Ibid., hlm.80.
221
Ibid., hlm.83.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


111

Tingginya kesenjangan ekonomi di antara negara-negara di Asia Tenggara


mendorong pergerakan manusia dari negara yang berpendapatan rendah ke negara
berpendapatan tinggi, oleh karena itu mobilitas pekerja dapat meningkatkan
komponen integrasi. Hal tersebut penting karena tata kelola migrasi yang baik
dapat saling menguntungkan baik bagi pekerja migran sendiri, maupun negara
pengirim dan penerima.
Di antara tuntutan jejaring masyarakat sipil Thailand terhadap ASEAN
222
ialah pertama, Kementerian Tenaga Kerja di masing-masing negara
mempertimbangkan untuk membangun dan menjaga basis data pekerja migran
yang efektif dan melaksanakan pembangunan kapasitas pegawai mereka untuk
mengelola migrasi pekerja di semua tingkatan. Kedua, menciptakan mekanisme
perlindungan pekerja migran regional yang dapat melengkapi upaya serupa di
tingkat nasional. Mekanisme tersebut harus didukung oleh ASEAN Migrant Fund
yang diperoleh dari kontribusi negara-negara anggota ASEAN dan sumber
lainnya. Mekanisme regional tersebut dapat ditempuh dengan beberapa skema:
1. membuat “ASEAN Migrant Worker ID” yang berlaku untuk seluruh
pekerja migran di ASEAN;
2. membuat “ASEN Hotline” di tingkat nasional masing-masing negara
anggota ASEAN yang berfungsi sebagai informasi dan konsultasi bagi
calon pekerja migran (di negara pengirim) atau bantuan darurat bagi para
pekerja migran yang menghadapi kesulitan (di negara penerima);
3. membuat skema “ASEAN Migrant Social Security and Health Insurance”
untuk mendukung jaminan kesehatan dan keamanan sosial bagi pekerja
migran.
Musyawarah nasional Vietnam diselenggarakan pada 3-4 Maret 2008 di
Hanoi. Pada pertemuan itu jejaring masyarakat sipil mendesak ASEAN Senior
Labor Official Meeting (SLOM) dan ASEAN Labor Ministers Meeting (ALMM)
untuk mempertimbangkan hasil musyawarah yang dipelopori oleh Task Force on
ASEAN Migrant Workers pada tahun 2007 dan 2008. Mempertimbangkan
seriusnya masalah perdagangan manusia yang sebelumnya diperkuat dengan
lahirnya ASEAN Declaration Against Trafficking in Persons Particularly Women

222
Ibid., hlm.86-87.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


112

and Children, ASEAN juga didesak untuk mendirikan jejaring regional guna
mencegah dan memberantas perdagangan manusia. 223
Jejaring masyarakat sipil Vietnam menghasilkan mengajukan beberapa
tuntutan terhadap ASEAN yang di antaranya ialah 224: pertama, mendirikan kantor
khusus di bawah Sekretariat ASEAN yang bertanggungjawab mengawasi dan
mengevaluasi pelaksanaan hukum dan kebijakan mengenai pekerja migran.
Kedua, negara-negara anggota ASEAN harus menandatangani perjanjian bilateral
dan multilateral mengenai hak-hak buruh migran dan membuat mekanisme efektif
untuk mengawasi pelaksanaannya secara efektif. Ketiga, negara-negara pengirim
buruh migran harus mendorong pembentukan jejaring yang anggotanya terdiri
dari perusahaan penyalur tenaga kerja, serikat pekerja, organisasi non-pemerintah,
dan pemerintah untuk berbagi pengalaman dan membantu satu sama lain dalam
upaya perlindungan hak-hak buruh migran. Keempat, negara-negara anggota
ASEAN harus mengembangkan dan mencapai kesepakatan tentang isi kontrak
kerja yang berlaku untuk semua pekerja migran di Asia Tenggara. Kelima, negara-
negara anggota ASEAN harus bernegosiasi dan mencapai kesepakatan terkait
prosedur standar untuk rekrutmen, pra-keberangkatan, transit, briefing pasca-
kedatangan, mediasi perselisihan dan penyelesaian, kepulangan dan reintegrasi
pekerja migran. Keenam, negara-negra anggota ASEAN harus menyetujui prinsip
“perlakuan nasional” yang akan diterapkan ke seluruh pekerja migran. Ketujuh,
negara-negara anggota ASEAN harus menyetujui perhatian khusus terhadap isu
keselamatan dan kesehatan pekerja migran, dan mengambil langkah-langkah
pencegahan guna memastikan kesehatan dan kehidupan mereka. Kedelapan,
negara-negara penerima pekerja migran harus mendirikan pusat-pusat masyarakat
sosial-budaya bagi pekerja migran untuk memperbaiki kehidupan mereka.

223
Ibid., hlm.94.
224
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


113

3.4.2 Meluncurkan Buku “Proposal Masyarakat Sipil: Kerangka


Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak
Buruh Migran”
Sebagai salah satu upaya strategi advokasinya, Task Force on ASEAN
Migrant Workers memanfaatkan peringatan Hari Migran Internasional 225 yang
jatuh pada 18 Desember 2009. Para aktivis di seluruh Asia Tenggara yang
tergabung dalam jejaring itu dengan dukungan FORUM-ASIA turut meluncurkan
buku berjudul “Proposal Masyarakat Sipil: Kerangka Instrumen ASEAN untuk
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran”. Kampanye tersebut
dilakukan untuk mewujudkan sebuah kesepakatan komprehensif yang dibuat oleh
ASEAN untuk melindungi hak-hak buruh migran. 226
Buku tersebut merupakan versi cetak dari proposal yang telah disampaikan
TF-AMW pada ASEAN Senior Labor Officials Meeting di Vientiane pada Mei
2009. Kerangka instrumen tersebut disusun, ditinjau, direvisi dan diselesaikan
melalui pendekatan bottom-up yaitu 8 musyawarah nasional dan 7 musyawarah
regional yang dihadiri oleh serikat pekerja, organisasi non-pemerintah dan para
pemangku kepentingan sepanjang 2007-2008. Menurut Sinapan Samydorai
(Convenor TF-AMW), melalui buku ini aktivis masyarakat sipil dapat lebih
meyakinkan kepada para jejaring mereka bahwa ASEAN harus menggunakan
Kerangka instrumen sebagai sebuah peta jalan untuk perlindungan hak-hak buruh
migran di sepuluh negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN.
Hadirnya prosal dalam bentuk buku makin menambah kepercayaan diri TF-AMW
untuk menekan ASEAN guna mengadopsi Kerangka instrumen yang telah
dibuat. 227

225
Hari Migran Internasional yang digagas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa diperingati setiap
tahun pada 18 Desember untuk mengakui upaya, kontribusi, dan hak-hak migran di seluruh dunia.
Peringatan ini dicetuskan oleh Sekretaris Jenderal PBB pada 4 Desember 2000 dengan pijakan
telah dikeluarkannya International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant
Workers and Member of Their Families pada 18 Desember 1990. Lihat United Nations,
“International Migrant Day: 18 December”, dalam http://www.un.org/en/ events/ migrants
day/index.shtml (diakses pada 28 April 2015 pukul 20.27 WIB).
226
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “Advocacy for Protection of Migrant Workers Rights
Moves into High Gear”, dalam http://www.workersconnection.org/articles.php?more=124 diakses
pada 28 April 2015 pukul 20.14 WIB.
227
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


114

Dalam buku tersebut juga dilengkapi dengan Surat dan Pernyataan resmi
TF-AMW yang ditujukan kepada Sekretariat ASEAN dan pemerintah nasional
dari negara-negara anggota ASEAN. Kepala Divisi Kesejahteraan Sosial,
Perempuan, Ketanagakerjaan dan Pekerja Migran Sekretariat ASEAN Donald
Tambunan menambahkan bahwa Sekretariat ASEAN mendukung keterlibatan
TF-AMW dalam upaya perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran. Upaya
tersebut merupakan salah satu pertanda kuatnya minat masyarakat sipil dalam
proses pembangunan Masyarakat ASEAN yang akan digulirkan per 31 Desember
2009.
Kerangka instrumen sebelumnya digunakan sebagai referensi utama pada
ASEAN Forum on Migrant Labour di Bangkok pada 30-31 Juli 2009. Pada forum
tersebut tiga perwakilan pemerintah yang bertindak sebagai Tim Penyusun
Instrumen juga menggunakan sebagai referensi penting. Oleh Karena itu, TF-
AMW terus mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan dan
perjanjian migrasi menggunakan kerangka instrumen dan mengajak anggota
jejaring untuk pantang menyerah dalam melobi dan mengadvokasi.
Diterbitkannya buku itu diharapkan menjadi bahan pendukung kampanye untuk
mengedukasi masyarakat sipil dan menguatkan advokasi kepada ASEAN.
Pada 27 Januari 2010 TF-AMW dengan Kelompok Kerja Buruh Migran
yang dipimpin oleh HRWG dan ASEAN People’s Center juga meluncurkan buku
(versi bahasa Indonesia) di Jakarta. Peluncuran buku ini dihadiri sekitar 60 peserta
dari perwakilan organisasi masyarakat sipil, serikat pekerja, ILO, IOM, FES,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Kementerian Luar Negeri RI,
ACMW, 3 anggota ASEAN Committee Permanent Representatives (CPR),
organisasi-organisasi internasional, dan beberapa staf kedutaan besar negara
sahabat. Kegiatan yang dimoderasi oleh Rafendi Djamin (Perwakilan Indonesia
untuk AICHR dan Direktur Eksekutif HRWG) ini disemarakkan oleh beberapa
pembicara seperti Roosiwati (Focal Point/perwakilan Indonesia untuk
ACMW/Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI), Sinapan Samydorai
(Convener TF-AMW), Ben Drajat Perkasa (Tim Penyusunan Instrumen

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


115

Indonesia/Kementerian Luar Negeri RI), dan Yap Swee Seng (Direktur Eksekutif
FORUM-ASIA). 228
Dalam peluncuran buku ini, Sinapan TF-AMW menegaskan bahwa
integrasi ekonomi ASEAN berjalan sebagaimana mestinya akan tetapi
perlidungan hak-hak buruh migran masih lemah. Menurut Sinapan, ASEAN harus
segera memiliki persetujuan untuk melindungi hak-hak buruh migran di Asia
Tenggara yang jumlahnya mencapai jutaan dan memastikan penghormatan atas
hak dan martabat. 229
TF-AMW mendesak negara-negara anggota ASEAN untuk mematuhi isi
dari Prinsip 22 Deklarasi Cebu yaitu untuk mengambil langkah-langkah efektif
dan tepat untuk menerapkan sebuah instrumen yang mengikat secara hukum
dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak buruh migran di Asia Tenggara. TF-
AMW juga mendesak bahwa instrumen yang dikembangkan harus mencakup
penghormatan HAM untuk melindungi seluruh buruh migran, termasuk para
buruh migran dari negara-negara non-ASEAN dan buruh migran yang tidak
reguler atau tidak berdokumen.
Sinapan Samydorai menekankan bahwa proposal masyarakat sipil dapat
menjadi alat yang bermanfaat baik untuk masyarakat sipil sendiri maupun negara-
negara anggota ASEAN dalam upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak buruh
migran. Proposal yang dibuat dalam bentuk buku tersebut diharapkan dapat
menjadi alat advokasi, musyawarah dan negosiasi dengan tujuan terwujudnya
Kerangka Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak buruh
Migran yang mengikat secara hukum. 230

3.4.3 Memanfaatkan Forum Masyarakat Sipil Transnasional


Sebagaimana lazimnya jejaring advokasi transnasional pada umumnya,
Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN juga memanfaatkan forum-forum
transnasional. ASEAN Civil Society Conference (ACSC) merupakan salah satu

228
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “Consultations Jakarta TFAMW Book Launch and
Public Forum (National) Tuesday, Feb 16, 2010”, dalam http://workersconnection.org/pdf/ Jakarta
TFAMWBookLaunchandPublicForum-16-Feb-2010.pdf diakses pada 28 April 2015 pukul 05.25
WIB.
229
Ibid.
230
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


116

forum yang paling diandalkan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil di Asia


Tenggara untuk mengadvokasi ASEAN. Forum ini dipelopori oleh SAPA yang
bekerjama dengan beragam organisasi masyarakat sipil di Asia Tenggara.
ACSC untuk pertama kalinya diadakan di Kuala Lumpur pada 12-14
Desember 2005. Forum ini diciptakan sebagai platform bertemunya masyarakat
sipil dengan para pemimpin negara-negara ASEAN, khususnya pada KTT
ASEAN ke-11. Secara sederhana, ACSC dibuat untuk:231
1. mengidentifikasi peran masyarakat sipil dalam mewujudkan Masyarakat
ASEAN;
2. memfasilitasi upaya kolektif masa depan yang sejalan dengan
pembangunan Masyarakat ASEAN;
3. menyediakan sebuah platform bagi masyarakat sipil ASEAN untuk
membahas beragam masalah demi kepentingan bersama;
4. meningkatkan hubungan antara masyarakat sipil dengan pemerintah
masing-masing untuk kemajuan masyarakat ASEAN; dan
5. membuka sebuah wacana di antara organisasi masyarakat sipil dan juga
di antara kaukus masyarakat sipil dengan pemerintah.
Pada ACSC pertama ini masyarakat sipil menghasilkan beberapa
rekomendasi, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, mendesak ASEAN
lebih memberikan akses informasi kepada masyarakat sipil sehingga mereka dapat
berperan sebagai pengawas dalam tata kelola pemerintahan regional. Kedua,
menekan ASEAN untuk membuat suatu mekanisme yang memungkinkan
masyarakat sipil dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Ketiga, mendesak ASEAN Parliamentary Caucus untuk bertransformasi yang
memungkinkan aspirasi rakyat terakomodasi. Hal ini disebabkan bahwa sejak
awal ASEAN dibangun dengan pendekatan yang terlalu birokratis, elitis, dan top-
down. Keempat, mendesak ASEAN untuk mengambil langkah nyata dari Rencana

231
Isagani R. Serrano, “ASEAN Civil Society Conference on Building on a Common Future
Together”, Report on the ASEAN Civil Society Conference on Building A Common Future
Together 7-9 December 2005, Universiti Teknologi MARA, Malaysia.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


117

Aksi Vientiane (2004-2010), termasuk mengembangkan Instrumen ASEAN


dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. 232
ACSC ke-2 diselenggarakan pada 10-12 Desember 2006 di Cebu. Forum
yang digelar khusus menjelang KTT ASEAN ke-12 ini menekankan pentingnya
perlindungan hak-hak buruh migran. Jejaring advokasi masyarakat sipil seperti
TF-AMW menilai bahwa sistem rekrutmen buruh migran di negara-negara
pengirim maupun negara-negara penerima yang tidak fleksibel, korup, dan mahal
menjadi penyebab meningkatnya buruh migran tidak berdokumen atau tidak sah.
Alih-alih melindungi mereka, negara-negara di Asia Tenggara justru menghukum
dan menghentikan aliran buruh tersebut sehingga hanya menyebabkan
meningkatnya kemiskinan dan kerentanan lebih jauh di wilayah perbatasan. Salah
satunya dibuktikan dengan melonjaknya deportasi massal yang berperan dalam
perdagangan maupun penyelundupan manusia di kawasan. 233
Jejaring masyarakat sipil mendesak agar ASEAN mengusut kriminalisasi
buruh migran yang tidak berdokumen. Selain itu, ASEAN dituntut untuk
menjunjung tinggi prinsip perlakuan yang sama, mengelaborasi Instrumen
ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran sebagaimana
yang tercantum dalam Rencana Aksi Vientiane, menyediakan mekanisme
perlindungan buruh migran di tempat kepada negara-negara pengirim maupun
penerima, mendirikan mekanisme regional untuk melindungi kesehatan buruh
migran, menganjurkan pengakuan keterampilan tidak hanya untuk professional
dan buruh migran terdidik, dan mengatasi perdagangan manusia melampaui
kerangka perdamaian dan keamanan dengan pendekatan sensitif gender. ASEAN
Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and
Children (ACWC) juga didesak untuk memiliki fokus khusus untuk memenuhi
kebutuhan migran, khususnya pembantu rumah tangga dan korban perdagangan
manusia. 234

232
People’s Agenda for Alternative Regionalism, “Civil Society Presentation to ASEAN Heads of
State and Government”, dalam http://www.alternative-regionalisms.org/?p=1735 (diakses pada 25
April 2015 pukul 15.21 WIB).
233
People’s Agenda for Alternative Regionalism, “ASEAN for the People: Statement of the 2nd
ASEAN Civil Society Conference (ACSC II), 10-12 December 2006 – Cebu City, Philippines”,
dalam http://www.alternative-regionalisms.org/ ?p=916 (diakses pada 25 April 2015 pukul 14.42
WIB).
234
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


118

ACSC ke-3 diselenggarakan pada 2-4 November 2007 di Singapura. Pada


forum yang bertema Moving Forward: Building an ASEAN People’s Agenda ini
TF-AMW – yang diwakili oleh Think Centre, FORUM-ASIA, Migrant Forum in
Asia dan beberapa Ornop lain – berperan sebagai penyelenggara atau tuan
rumah. 235 TF-AMW bersama dengan Migrant Forum in Asia, UNI-APRO, dan
ASEAN Trade Union Council (ASETUC) bahkan mengisi sesi lokakarya bersama
dengan tema “memajukan hak-hak buruh migran”. 236 Beberapa tuntutan jejaring
masyarakat sipil terhadap ASEAN di antaranya ialah: 237
1. meratifikasi dan menjalankan secara penuh seluruh instrumen hukum
internasional seperti HAM, hukum humaniter, dan standar perburuhan inti;
2. mengadopsi pendekatan holistik yang mencerminkan universalitas,
indivisibilitas, kesalingtergantungan dan keterkaitan dalam HAM; dan
3. mewujudkan mekanisme HAM ASEAN yang efektif dan akuntabel sesuai
dengan standar internasional.
Seperti World Social Forum yang diadakan secara sejajar dengan World
Economic Forum, ACSC kadang-kadang juga digelar secara sejajar dengan KTT
ASEAN. ACSC memiliki dua komponen utama. Pertama, sebuah forum
masyarakat sipil yang terdari dari beberapa sesi pleno. Kedua, beberapa lokakarya
yang memungkinkan para peserta dapat membahas isu-isu regional dan
berkolaborasi dalam menyusun sebuah “People’s Statement” untuk diserahkan
kepada para pemimpin ASEAN dan Sekretariat ASEAN. Pada forum ini para
peserta juga menunjuk perwakilan organisasi masyarakat sipil dari masing-masing
negara untuk menghadiri komponen kedua dari forum yaitu “Interface Meeting.”
Dalam prakteknya, bentuk ACSC bergantung dengan sikap tuan rumah atau
negara yang bertindak sebagai Ketua ASEAN. Sehingga, pertemuan antarmuka
dapat berupa dialog informal antara perwakilan organisasi masyarakat sipil

235
Focus on the Global South, “The 3rd ASEAN Civil Society Conference (ACSC): Moving
Forward: Building an ASEAN People’s Agenda”, dalam http://focusweb.org/node/1261 (diakses
pada 25 April 2015 pukul 15.29 WIB).
236
Asian Partnership for the Development of Human Resources in Rural Asia (AsiaDHRRA),
“ASEAN+Civil Society Conference (ACSC-3)”, dalam http://asiadhrra.org/wordpress/wp-
content/uploads/2007/11/acsc-3-program-oct30.doc (diakses pada 25 April 2015 pukul 15.57
WIB).
237
People’s Agenda for Alternative Regionalism, “ACSC-3: Singapore Declaration”, dalam
http://www.alternative-regionalisms.org/?p=919 (diakses pada 25 April 2015 pukul 15.41 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


119

dengan para pemimpin ASEAN atau hanya presentasi “People’s Statement” pada
KTT ASEAN. 238
ACSC awalnya merupakan forum yang dibuat oleh Perdana Menteri
Malaysia Ahmad Badawi untuk mempertemukan para perwakilan masyarakat
sipil dengan para pemimpin ASEAN pada KTT ASEAN ke-11. 239 ACSC
diselenggarakan oleh sekelompok masyarakat sipil di negara tempat
penyelenggaraan KTT ASEAN yang dihadiri oleh organisasi-organisasi non-
pemerintah, organisasi masyarakat sipil, organisasi gerakan rakyat, atau organisasi
kemasyarakatan. Forum ini membahas berbagai isu seperti buruh migran, hak
asasi manusia, perdagangan, pembangunan, lingkungan, kepemudaan,
kebudayaan, ekonomi, kesehatan, atau isu apa saja yang tengah berkembang di
Asia Tenggara. Seiring dengan berjalannya waktu, forum ini juga dikenal dengan
nama ASEAN People’s Forum (APF) sejak ACSC ke-4 tahun 2009. Hal ini untuk
mengakomodasi interpretasi yang berbeda dari istilah “organisasi masyarakat
sipil” dan “organisasi kerakyatan” dari Thailand. Sejak 2009, baik ACSC maupun
APF digunakan saling bergantian atau bersamaan. 240
Dalam perkembangannya, ACSC diakui sebagai bagian dari proses resmi
KTT ASEAN oleh badan eksekutif yaitu ASEAN Standing Committee. Hal ini
merupakan suatu kemajuan diakuinya peran masyarakat sipil karena sebelumnya
tidak pernah ada ruang bagi masyarakat sipil dalam KTT. Ratusan perwakilan
organisasi masyarakat sipil dari seluruh penjuru Asia Tenggara hadir dan
berkontribusi dalam membuat “People’s Statement” yang biasanya ditampilkan
dalam situs web ASEAN. Adapun “Interface Meeting” 241 biasanya hanya

238
Kelly Gerard, “From the ASEAN People’s Assembly to the ASEAN Civil Society Conference:
the Boundaries of Civil Society Advocacy”, Contemporary Politics Vol. 19 No. 4 (2013): 411-26.
239
Pasca digelarnya ACSC pertama di Malaysia tahun 2005, pengajuan masyarakat sipil untuk
mengggelar ACSC secara sejajar dengan KTT ASEAN di Filipina dan Singapura ditolak.
Walaupun tidak mendapatkan persetujuan, ACSC tetap digelar pada 11-13 Desember 2006 di
Cebu, Filipina yang dihadiri oleh lebih dari 300 perwakilan organisasi masyarakat sipil dan pada
2-4 November 2007 di Singapura yang dihadiri lebih dari 200 perwakilan organisasi masyarakat
sipil. Di kedua penyelenggaraan ACSC tersebut, People’s Statement yang dihasilkan juga
diserahkan kepada para pemimpin negara ASEAN.
240
ACSC/APF, “Background: ASEAN Civil Society Conference (ACSC)/ASEAN’s People
Forum (APF)”, dalam http://aseanpeople.org/about/background/ (diakses pada 25 April 2015
pukul 10.18 WIB).
241
Menurut Atnike Sigiro, perwakilan TF-AMW memang senantiasa menghadiri ACSC/APF.
Namun, karena ia hanya sebagai peserta biasa di antara ratusan peserta lain, pengaruhnya minim.
Apalagi, isu perlindungan buruh migran bukan satu-satunya isu yang dibahas dalam Interface

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


120

berlangsung sekitar 15 menit, di mana para pemimpin ASEAN mengakui nilai-


nilai ACSC dan menyetujui agar program ini diadakan setiap tahun. Walaupun
demikian, belum ada keputusan di antara negara-negara angggota sebelum KTT
diadakan, sehingga wacana mengakui ACSC sebagai forum resmi masyarakat
sipil untuk ASEAN belum menjadi kenyataan. 242
ACSC tidak diselenggarakan pada tahun 2008. ACSC ke-4 digelar di
Bangkok pada 20-22 Februari 2009. Forum yang dihadiri oleh lebih dari 1000
peserta ini menghasilkan beberapa rekomendasi, di antaranya ialah: 243
1. mendesak proses pembentukan Badan HAM ASEAN yang transparan dan
inklusif dengan memastikan seluas-luasnya perwakilan organisasi dalam
penyusunan, pengadopsian, dan pelaksanaan dalam kerangka acuannya;
2. mendesak negara-negara ASEAN untuk meratifikasi dan menjalankan
Standar Perburuhan Inti dari Organisasi Perburuhan Internasional dan
beragam konvensi HAM utama PBB yang tercermin dalam perundang-
undangan nasional;
3. mendesak ASEAN untuk membuat mekanisme khusus guna melindungi
para pembela HAM;
4. memastikan bahwa seluruh hak-hak pekerja dan keluarganya termasuk
buruh migran, khususnya buruh migran perempuan dan pembantu rumah
tangga – apapun status hukum, perkawinan, ras, etnis, umur, atau agama –
diakui, dilindungi, diwujudkan dan dipenuhi. Segenap buruh migran harus
mendapatkan upah maupun pekerjaan layak, hak untuk mengorganisir dan
membentuk serikat pekerja, perundingan bersama, akses untuk
mendapatkan layanan kesehatan yang aman dan terjangkau – termasuk
kesehatan reproduksi, keselamatan kerja, jaminan sosial, dan perlindungan
dari kekerasan;

Meeting. Wawancara penulis dengan Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager
FORUM-ASIA, pada 3 Juni 2015 di Jakarta.
242
Rehman Rashid, “The ASEAN People’s Agenda”, Agenda Malaysia, 22 November 2000.
243
People’s Agenda for Alternative Regionalisms, “Statement of ASEAN People’s Forum-Fourth
ASEAN Civil Society Conference to the 14th ASEAN Summit (20-22 February 2009)”, dalam
http://www.alternative-regionalisms.org/?p=1632 (diakses pada 25 April 2015 pukul 14.23 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


121

5. menjamin perlindungan petani dan seluruh pekerja – termasuk forma,


informal, dan buruh migran – untuk membuat sebuah sistem pasar yang
egaliter, mata pencaharian yang aman, dan pekerjaan yang layak.
ACSC ke-5 digelar pada 18-20 Oktober 2009 di Cha-am, Thailand. TF-
AMW dan berbagai perwakilan organisasi masyarakat sipil kecewa karena pada
forum ini tidak dihadiri oleh perwakilan pemerintah sehingga melenceng dari
semangat Piagam ASEAN yang justru mempromosikan partisipasi masyarakat
sipil. Pada kesempatan itu, ada beberapa poin penting menyangkut perlindungan
hak-hak buruh migran. Di antaranya ialah mengenai perlindungan hak-hak buruh
migran. 244
1. Memastikan seluruh pekerja ASEAN menikmati hak-hak dasar
sebagaimana yang tercantum dalam standar perburuhan inti ILO. Oleh
karena itu, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN didesak untuk
memfasilitasi dialog di antara serikat pekerja, masyarakat sipil dan
perusahaan baik di tingkat nasional maupun regional.
2. Mendesak ASEAN untuk melembagakan jalan berbasis hak untuk
mengatur buruh migran berketerampilan rendah dan semi-terampil,
mengurangi hambatan terhadap migrasi internal dan lintas batas, dan
menjamin perlindungan buruh informal – khususnya pembantu rumah
tangga. ASEAN dituntut untuk melindungi seluruh hak-hak buruh migran,
apapun statusnya termasuk buruh migran tidak berdokumen.
3. Mendesak ACMW merujuk Proposal Kerangka Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran yang dibuat oleh TF-AMW, dan
memastikan bahwa instrumen tersebut mengikat secara hukum.
Masyarakat sipil juga menyerukan kembali kepada ASEAN untuk
meratifikasi International Convention on the Protection of the Rights of All
Migrant Workers and Members and Members of Their Families.
Dalam kesempatan ini TF-AMW membahas strategi dalam perlindungan
hak-hak buruh migran dan untuk mengumpulkan masukan dari aktivisme berbasis

244
People’s Agenda for Alternative Regionalisms, “Advancing a People’s ASEAN: Continuing
Dialogue: Statement of the 2nd ASEAN People’s Forum (APF)/5th ASEAN Civil Society
Conference (ACSC)”, dalam http://www.alternative-regionalisms.org/?p=2435 (diakses pada 25
April 2015 pukul 16.49 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


122

bottom-up.245 TF-AMW memberikan sebuah pernyataan yang mencerminkan


kebijakan dan rencana ASEAN, dan juga berkontribusi menggulirkan wacana
terkait. Selain menegaskan desakannya untuk menegosiasikan kembali mengenai
tenaga kerja tidak berdokumen dan tenaga kerja tidak terampil, mematuhi standar
internasional, dan menguatkan kerjasama; TF-AMW juga mengenalkan kepekaan
gender dalam kebijakan migran, bahwa ASEAN harus mengakui meningkatnya
jumlah buruh migran perempuan.
Dalam forum yang diselenggarakan di Thailand itu; Convenor TF-AMW
Sinapan Samydorai bersama dengan beberapa perwakilan organisasi masyarakat
sipil berkesempatan untuk bertemu dengan para pemimpin ASEAN selama 30
menit. TF-AMW mendesak kepada ASEAN bahwa jejaring itu bukan dilihat
sebagai hambatan, akan tetapi sebagai mitra dalam pembangunan Masyarakat
ASEAN 2015, khususnya dalam proses penyusunan Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. TF-AMW mendesak
Sekretariat ASEAN dan Komite ASEAN untuk Implementasi Deklarasi ASEAN
dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran (ACMW) guna
mengadopsi kerangka instrumen yang dibuatnya. Upaya ini senada dengan yang
telah dilakukannya kepada Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan pada
Dialog ACSC dengan ASEAN dan Kementerian Luar Negeri Thailand pada 22
Februari 2009. 246 Pada kesempatan tersebut Surin Pitsuwan dan Perdana Menteri
Thailand Abhisit Vejjajiva berkomitmen untuk menerima kerangka instrumen
walaupun tidak berjanji untuk mengadopsinya. 247
ACSC ke-6 diadakan di Hanoi pada 24-26 September 2010. Forum yang
mengusung tema “Solidaritas dan Aksi untuk ASEAN yang berorientasi Rakyat”
ini dihadiri oleh sekitar 700 peserta. 248 Dalam kesempatan tersebut TF-AMW dan

245
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “First Civil Society Interface at ASEAN Summit,
includes TF AMW”, dalam http://www.workersconnection.org/ articles.php?more=109 (diakses
pada 25 April 2015 pukul 11.12 WIB).
246
Ibid.
247
Menurut Rafendi Djamin, Sinapan Samydorai telah mendapatkan kepercayaan luas dari
kalangan masyarakat sipil maupun dalam ASEAN-SLOM dan ACMW. Sebagaimana wawancara
penulis dengan Rafendi Djamin di Jakarta pada 7 Mei 2015.
248
Asian Farmers’ Association for Sustainable Development, “AFA participates in the Sixth
ASEAN People’s Forum”, dalam http://asianfarmers.org/ ? p = 1236 diakses pada (25 April 2015
pukul 17.41 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


123

para mitra mendesak ASEAN untuk memastikan perlindungan, pemajuan dan


realisasi hak-hak semua pekerja termasuk buruh migran yang di antaranya ialah:
1. mengadopsi Piagam Sosial ASEAN dan melaksanakan Deklarasi ASEAN

tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran;


2. mengubah undang-undang ketenagakerjaan yang mengatur agen
perekrutan;
3. menyelaraskan kerja mereka dengan hukum yang sesuai prinsip-prinsip

dasar ILO (C.87 dan C.98) dan hak-hak serikat buruh (hak untuk
berorganisasi di tempat kerja), dan relevansi Konvensi ILO 97 tentang
Migrasi untuk Pekerjaan, Konvensi 143 tentang Pekerja Migran
(Ketentuan Tambahan), Konvensi 177 tentang Kerja Rumahan, Konvensi
181 tentang Penyalur Tenaga Kerja Swasta, dan konvensi terkait lainnya.
4. menekan untuk membentuk Konvensi tentang Pekerja Rumah Tangga;

5. memastikan bahwa Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan

Hak-Hak Buruh Migran secara hukum mengikat, dan meminta


pertanggungjawaban orang-orang baik sektor swasta dan publik yang
melanggar hukum-hukum ini, merumuskan dan mengadopsi kebijakan
untuk meliberalisasikan migrasi tenaga kerja sehingga warga ASEAN,
khususnya pekerja migran dapat bergerak secara martabat; dan
6. memberikan perlindungan memadai, upah yang adil dan akses untuk hidup

layak dan kondisi kerja bagi semua pekerja, termasuk pekerja migran, dan
pekerja di sektor informal.
Untuk mewujudkan sebuah instrumen yang sensitif gender, TF-AMW
menggelar musyawarah regional pada 22-23 Mei 2008 di Bangkok. Forum yang
bekerjasama dengan UNIFEM dan Southeast Asia Regional Cooperation in
Human Rights (SEARCH) tersebut dihadiri oleh lebih dari 60 perwakilan
organisasi non-pemerintah dan pemerintah dari Asia Tenggara. Hasil musyawarah
tersebut untuk kemudian juga diserahkan kepada Sekretaris Jenderal ASEAN
yang saat itu menjabat yaitu Surin Pitsuwan. 249

249
Regional Consultation on Gender Perspectives on the ASEAN Declaration on the Protection
and Promotion of the Rights of Migrant Workers and the Civil Society Draft of the Framework
Instrument to Protect and Promote the Rights of Migrant Workers. Meeting Report.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


124

TF-AMW juga membangun sebuah jejaring konsultasi informal yaitu


Migrant Technical Assistance Group (M-TAG) yang terdiri atas para relawan di
antara pegawai badan-badan PBB di tingkat regional seperti Kantor ILO
Bangkok, Kantor UNIFEM Asia Tenggara, UNIAP, OHCHR Bangkok, dan IOM
Bangkok. Dalam konteks ini, M-TAG berperan untuk memberikan masukan kerja
TF-AMW. 250

3.4.4 Merangkul Sekretariat ASEAN


Selain terlibat aktif dalam ASEAN Civil Society Conference/ASEAN
People’s Forum, TF-AMW juga berperan penting dalam ASEAN Forum on
Migrant Labour (AFML). Hal ini ditempuh sebagai salah satu strategi
advokasinya terhadap ASEAN untuk mengadopsi Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. AFML merupakan satu-
satunya forum migrasi di Asia yang bersifat tripartit dengan keterlibatan
organisasi masyarakat sipil yang kuat. Forum ini mempertemukan para
pemangku kepentingan dalam migrasi buruh di ASEAN yaitu ILO, konstituen
tripartit – pemerintah, serikat pekerja dan asosiasi pengusaha – , Sekretariat
ASEAN, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan internasional. Setiap
tahunnya forum tersebut diadakan untuk membahas, berbagai pengalaman,
membangun mufakat untuk isu perlindungan hak-hak buruh migran dalam
Deklarasi Cebu, dan menghasilkan beragam rekomendasi sebagai tindak lanjut
Deklarasi Cebu. 251
Lahirnya AFML didorong oleh urgensi migrasi buruh yang disebutkan di
tiga Cetak Biru yaitu Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2007, dan
Cetak Biru Masyarakat Politik-Keamanan maupun Cetak Biru Masyarakat Sosial-
Budaya pada 2009. Dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN dijabarkan
bebasnya aliran buruh migran terampil, sedangkan dalam Cetak Biru Masyarakat
Politik-Keamanan ASEAN ditekankan perlunya kerjasama erat di antara badan-

250
Justice and Peace Commission of Hong Kong Catholic Diocese, “Task Force on ASEAN
Migrant Workers”, dalam http://www.hkjp.org/files/files/focus/ humanright/ task % 20
force%20on%20ASEAN%20Migrant.pdf (diakses pada 15 Maret 2015 pukul 16.03 WIB).
251
ILO Regional Office for Asia and the Pacific, The ASEAN Forum on Migrant Labour (AFML):
Background information booklet / Tripartite Action for the Protection and Promotion of the Rights
of Migrant Workers in the ASEAN Region (ASEAN TRIANGLE project), (Bangkok: ILO Regional
Office for Asia and the Pacific, 2014), hlm.1.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


125

badan sektoral guna mengembangkan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan


Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran.
Dalam Cetak Biru Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASCC)
menyebutkan perlunya perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran
sebagaimana halnya dengan perempuan, anak, manula, dan orang-orang
berkebutuhan khusus. Dalam konteks ini ASCC melembagakan AFML sebagai
platform yang memungkinkan berbagai pemangku kepentingan membahas isu-isu
buruh regional dalam semangat ACMW. Hal itu dikuatkan pada Meeting of Senior
Labour Officials Working Group on Progressive Labour Practices to Enhance
Competitiveness of ASEAN (SLOM-WG) pertama pada 2009 yang menyetujui
dilembagakannya AFML sebagai kegiatan rutin dalam Rencana Kerja ACMW. 252
AFML diadakan dengan tiga tujuan utama: 1) sebagai tempat berbagi
pengalaman, tantangan, praktek-praktek baik dalam implementasi dan
rekomendasi di AFML sebelumnya; 2) sebagai ajang menguji rincian pasal-pasal
dalam Deklarasi Cebu yang berkaitan dengan kewajiban negara-negara pengirim
maupun penerima buruh migran; 3) sebagai tempat untuk menyusun dan
menyetujui rekomendasi dari beragam sesi bahasan tematik. 253 Setiap
penyelenggaraan AFML menghasilkan “rekomendasi” sebagai upaya pemajuan
dan perlindungan hak-hak buruh migran di negara-negara ASEAN, dan
memfasilitasi perumusan kebijakan migrasi. Task Force on ASEAN Migrant
Workers berperan sebagai salah satu penggagas, pendiri, anggota, dan penyedia
dana dalam forum ini. Sehingga, jejaring tersebut senantiasa hadir dalam setiap
diadakannya AFML. 254 Sebagai salah satu anggota AFML Coordination
Committee (ACC), TF-AMW berperan dalam menentukan tema, agenda, dan
tujuan setiap forum.
TF-AMW memimpin keterlibatan masyarakat sipil dalam AFML dengan
mengadakan musyawarah nasional di setiap negara anggota ASEAN. Setiap
tahunnya jejaring masyarakat sipil yang dipimpin oleh TF-AMW ini mengadakan
pertemuan persiapan AFML dan pasca-AFML. Pertemuan persiapan biasanya

252
Ibid., hlm.2.
253
Ibid., hlm.3.
254
Dana penyelenggaraan AFML (termasuk perjalanan, akomodasi dan tempat acara) ditanggung
oleh negara-negara anggota ASEAN, ILO, IOM, TF-AMW, dan UN Women. Ibid., hlm.4.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


126

diadakan sehari sebelum pelaksanaan AFML guna menyusun rangkaian


rekomendasi, sedangkan pertemuan pasca-AFML digelar setelah AFML di tingkat
regional dan sub-regional. 255 Pada suatu lokakarya di bulan Mei 2014 misalnya,
TF-AMW bersama dengan anggota jejaring membahas: 1) penyediaan arena
diskusi dan kerjasama lebih baik di antara para mitra TF-AMW dan para
pemangku kepentingan guna menerapkan Rekomendasi-rekomendasi pada
AFML; 2) berbagi pengalaman dan mengembangkan mufakat untuk kegiatan para
pemangku kepentingan untuk perbaikan rekomendasi AFML ke-6 mengenai
pemajuan mekanisme pengaduan efektif dan mekanisme penanganan keluhan di
tingkat nasional; 3) berbagi pengalaman dengan para pemangku kepentingan
dalam menjalankan Rekomendasi di AFML ke-3, ke-4, ke-5 dan ke-7.
Pada AFML perdana yang diadakan oleh Departemen Perburuhan dan
Ketenagakerjaan Filipina di Manila pada 24-25 April 2015, Sekretariat ASEAN
membawa tema “Menindaklanjuti Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran – Sebuah Jalan ke Depan untuk
Mengoperasionalkan Deklarasi”. 256 Forum ini menghasilkan tiga kewajiban dan
komitmen dari Deklarasi Cebu. Pertama, perlindungan buruh migran melawan
eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan. Kedua, tata kelola migrasi buruh. Dan
ketiga, perjuangan melawan perdagangan manusia.
Kementerian Tenaga Kerja Thailand menyelenggarakan AFML 257 ke-2
pada 30-31 Juli 2009 di Bangkok. Pada kesempatan ini, TF-AMW berhasil
menjadikan Kerangka Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan
Hak-Hak Buruh Migran yang dibuat oleh jejaringnya menjadi dokimen referensi
utama. 258 Kerangka instrumen dan rekomendasi AFML ke-2 bahkan diterima oleh

255
Ibid., hlm.10
256
The ASEAN Secretariat, Work Plans of the Subsidiary Bodies of the Asean Senior Labour
Meeting (SLOM), (Jakarta: The ASEAN Secretariat, 2012), hlm.48.
257
AFML ke-2 dihadiri oleh perwakilan pemerintah dari Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar,
Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Sekretariat ASEAN. Forum ini juga dihadiri oleh
perwakilan dari ILO, IOM, organisasi-organisasi non-pemerintah, serikat pekerja, dan asosiasi
pengusaha.
258
Kerangka Instrumen TF-AMW telah menjadi salah satu sumber utama untuk tiga dari empat
delegasi pemerintah dalam Komite Penyusun Draf Instrumen ACMW. Dalam rapat pembahasan
pertama penyusunan instrumen, proposal TFAMW merupakan satu-satunya proposal yang ada di
meja. Bahkan, Indonesia dan Filipina meninjau dan mengadopsi isi proposal sekitar 60% dalam
posisi pernyataan awal.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


127

ACMW yang termasuk Drafting Team selama pertemuan di Chiang Rai, Thailand
pada September 2009. 259
Pada AFML ke-2 Convenor TF-AMW Sinapan Samydorai menyajikan
Proposal Masyarakat Sipil untuk Kerangka Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. Sinapan mendesak
diberlakukannya pendekatan nilai HAM dan penghormatan terhadap standar
perburuhan inti ILO untuk memperlakukan baik buruh migran berdokumen
maupun tidak, dan menekan ACMW untuk mengakui atau menggunakan proposal
yang mengikat secara hukum. Sinapan juga mendesak ASEAN untuk
menyelaraskan peraturan, hukum atau kebijakan nasional sesuai dengan ketentuan
PBB dan standar ILO. Selain itu, Sinapan juga mendesak ACMW untuk
mempertimbangkan masyarakat sipil sebagai mitra dalam proses penyusunan, dan
mengakui nilai-nilai organisasi masyarakat sipil dalam mendukung dan
mengawasi implementasi kerangka instrumen. 260
Menurut Sekretaris Regional UNI-APRO Christopher Ng yang juga
anggota jejaring TF-AMW, UNI-APRO dan ASETUC telah mendukung buruh
migran di ASEAN khususnya dalam menyediakan pusat bantuan. Christopher
berpendapat bahwa serikat buruh lebih diperlukan keterlibatannya dalam
menyusun Kerangka Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-
Hak Buruh Migran yang disusun oleh ACMW. Sementara itu Jacqueline Pollock
dari Yayasan Migrant Assistance Program (MAP) menegaskan bahwa masyarakat
sipil berperan dalam mengidentifikasi kesenjangan kebijakan yang dibuat oleh
ASEAN dalam upaya perlindungan buruh migran. Menurut Pollock, ada beberapa
mekanisme yang memungkinkan penguatan kerjasama antar pemangku
kepentingan: 1) pertemuan regional rutin, 2) organisasi masyakat sipil dapat
ditempatkan perwakilannya di tingkat nasional dan regional, 3) diberikannya

259
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, loc.cit., hlm.10.
260
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “Summary Record of the 2nd ASEAN Forum on
Migrant Labour 30-31 July 2009, Bangkok”. Dalam http://www.workersconnection.org/resources/
Resources_59/2ndFrm_MigrantLbr__SUMMARY%20RECORD%20_21%20Aug%2009_-2.pdf
(diakses pada 25 April 2015 pukul 18.57 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


128

ruang bagi para pemangku kepentingan dalam ACMW, dan 4) kajian


perbandingan bersama dengan kawasan lainnya. 261
Kepala Divisi Kesejahteraan Sosial, Perempuan, Buruh dan Pekerja
Migran Sekretariat ASEAN Donald Tambunan dalam sambutannya pada AFML
ke-2 menitikberatkan perlunya ASEAN mendapatkan dukungan masyarakat sipil
guna mencapai Masyarakat ASEAN yang berorientasi pada rakyat. Donald
mendorong ACMW guna mempertimbangkan masukan masyarakat sipil dalam
penyusunan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak
Buruh Migran.
AFML ke-3 dilaksanakan pada 19-20 Juli 2010 di Ha Noi. Pada forum
yang mengangkat tema “Meningkatkan Kesadaran dan Layanan Informasi untuk
Melindungi Hak-Hak Buruh Migran” ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta yang
mencakup perwakilan pemerintah, serikat pekerja, asosiasi pengusaha, organisasi
masyarakat sipil dari sembilan negara anggtoa ASEAN, Sekretariat ASEAN, ILO,
IOM, UNIFEM dan TF-AMW. Beberapa rekomendasi penting dalam forum ini
di antaranya yaitu enam hal di bawah. 262
1. Meningkatkan informasi dan layanan dalam rangka meningkatkan
perlindungan buruh migran laki-laki dan perempuan dan memastikan
pekerjaan yang ada menghargai prinsip kebebasan, kesetaraan, keamanan
dan martabat manusia. Selain itu, forum ini juga merekomendasikan
kesempatan bagi migran untuk mewujudkan hak-hak buruh mereka sejalan
dengan peraturan negara-negara ASEAN, Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak
Dasar di Tempat Kerja ILO, dan hak dasar yang dilindungi oleh konvensi
internasional PBB, khususnya CEDAW dan CRC, dengan semangat
Deklarasi Cebu.
2. Meningkatkan layanan informasi yang lebih dapat diakses oleh buruh
migran laki-laki dan perempuan dan mencerminkan kebutuhan spesifik
maupun beragam mereka. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya
beragam kanal pra-pekerjaan, pra-keberangkatan dan informasi di tempat

261
Ibid.
262
International Labour Organization, “Recommendations from the 3rd ASEAN Forum on
Migrant Labour”, dalam http://www.ilo.org/wcmsp5/ groups /public/---asia/---ro-bangkok/
documents/meeting document/ wcms213739.pdf diakses pada 26 April 2015 pukul 10.54 WIB.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


129

termasuk sekolah dan lembaga pelatihan, perwakilan komunitas migran,


kampanye publik dan media. Selain itu, juga mewujudkan adanya akses
kualitas dan cakupan layanan informasi secara terus menerus bagi buruh
migran dan kapasitas penyedia layanan dapat memenuhi kebutuhan
mereka.
3. Menyediakan kanal yang dapat diakses oleh buruh migran laki-laki
maupun perempuan untuk melapor dan mengusut pelanggaran hak-hak dan
ketentuan maupun persyaratan pekerjaan, dan meningkatkan implementasi
dari peraturan nasional dan komitmen internasional.
4. Meningkatkan dan menaikkan peran atase perburuhan dan staf konsuler
dalam mengumpulkan dan menyediakan informasi, dan menanggapi
pelanggaran hak-hak buruh migran laki-laki maupun perempuan. Ini dapat
dicapai melalui keterlibatan yang dekat dengan komunitas migran dan
majikan, dan kerjasama dengan lembaga berwenang di negara penerima
buruh migran.
5. Secara aktif terlibat dan berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan
yaitu pemerintah, serikat pekerja dan asosiasi pengusaha, dan organisasi
masyarakat sipil dalam mengembangkan dan menerapkan kampanye
informasi dan layanan bagi buruh migran laki-laki dan perempuan di
seluruh tahap siklus migrasi.
6. Sekretariat ASEAN, para pemangku kepentingan nasional dan regional,
dan organisasi-organisasi internasional harus memfasilitasi adanya berbagi
praktek-praktek baik dalam penyediaan informasi dan layanan,
meningkatkan pengembangan dan penggunaan materi yang mudah dipakai
antara negara-negara ASEAN dan meningkatkan kemudahan akses bagi
buruh migran dan memahai informasi publik yang tersedia mengenai
hukum, panduan dan materi informasi lain yang dikeluarkan oleh negara-
negara pengirim maupun penerima buruh migran. Negara-negara ASEAN,
Sekretariat ASEAN, para pemangku kepentingan, PBB dan organisasi-
organisasi internasional harus meneruskan kerjasama dalam penyediaan
kesempatan bagi pembangunan kapasitas dan pembangunan kepercayaan
diri para pemangku kepentingan di tataran nasional dan regional.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


BAB 4
FAKTOR-FAKTOR BELUM BERHASILNYA ADVOKASI
SATUAN TUGAS BURUH MIGRAN ASEAN TERHADAP ASEAN
DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK BURUH MIGRAN

Pada bab ini penulis menguraikan faktor-faktor belum berhasilnya


advokasi Task Force on ASEAN Migrant Workers terhadap ASEAN dalam
perlindungan hak-hak buruh migran. Empat faktor utama yang menghambat
keberhasilan advokasi TF-AMW adalah sebagai berikut. Pertama, kuatnya
pengaruh ASEAN Way pada proses perumusan Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. Kedua, lemahnya posisi
kelompok masyarakat sipil dalam tata kelola buruh migran ASEAN. Ketiga, tidak
adanya momentum politik yang mendukung advokasi Satuan Tugas Buruh
Migran ASEAN. Keempat, minimnya mobilisasi sumber daya dalam advokasi
Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN.

4. 1 Kuatnya Pengaruh ASEAN Way pada Proses Perumusan Instrumen


ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran
Regionalisme di Asia Tenggara secara tradisional bersifat state-centric.
Hal ini dapat dianalisis sejak didirikannya ASEAN yang didominasi oleh
segelintir kelompok elit. 263 Dominasi aktor negara tersebut tidaklah berlebihan
mengingat pada masa awal kemerdekaan – sebagai negara baru yang bersamaan
dengan masa Perang Dingin – ada ketidakstabilan politik dan keamanan, ancaman
komunisme dan separatisme. Akibatnya, aktor masyarakat sipil kurang
mendapatkan arena dalam mempengarungi ASEAN sebagai organisasi regional
yang diharapkan justru bersifat people-centric.
Ketika para menteri luar negeri dari Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, dan Thailand menandatangani Deklarasi Bangkok pada 8 Agustus

263
Dalam Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dijabarkan bahwa negara-negara yang
tergabung dalam ASEAN: 1) saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas
wilayah, dan identitas nasional seluruh bangsa; 2) hak setiap negara untuk mempertahankan
eksistensi nasionalnya dari campur tangan eksternal; 3) non-intervensi dalam urusan internal satu
sama lain; 4) menyelesaikan perbedaan atau perselisihan dengan cara yang damai; 5) menolak
ancaman atau penggunaan kekerasan; dan 6) kerjasama yang efektif di antara anggota melalui
musyawarah dan mufakat.
130
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


131

1967 untuk mendirikan ASEAN, mereka satu sama lain telah menyadari
sepenuhnya tingkat perbedaan dan keragaman yang sangat tinggi. Oleh karena itu,
dibuatlah norma dasar yang dikenal dengan ASEAN Way yaitu sebuah modus
operandi atau mekanisme yang melembagakan organisasi dengan asas
musyawarah dan mufakat atas prinsip non-intervensi terhadap urusan domestik
satu dengan yang lainnya. 264 Hal ini didorong oleh sejarah Asia Tenggara yang
mengalami banyak perang dan konflik pasca-kolonialisme. Sehingga, kehadiran
ASEAN diharapkan secara strategis dapat menjadi solusi.
ASEAN Way merupakan mekanisme informal yang bersifat ambigu,
inklusif, dan menghindari peraturan yang mengikat. ASEAN Way berlaku baik
sebagai seperangkat norma sikap yang tertulis dalam Treaty of Amity and
Cooperation maupun sebagai seperangkat norma prosedural informal yang
menggerakkan pola interaksi ASEAN. Ia cenderung menekankan pendekatan
informal dan prosedur non-legalistik, fleksibilitas, perundingan tertutup,
pendekatan non-konfrontasi untuk negosiasi dan menekankan musyawarah untuk
mencapai mufakat (konsensus). Norma tersebut telah membentuk pola interaksi
antar negara anggota karena dipandang sebagai titik temu bahkan identitas
bersama ASEAN.
ASEAN Way dalam tingkat tertentu telah dilembagakan sebagai doktrin
non-intervensi ASEAN yang justru menjadi dalih negara-negara anggota untuk
menghindari tekanan eksternal dalam konteks demokrasi. Di satu sisi, norma ini
merupakan kunci keberhasilan ASEAN sebagai suatu organisasi regional –
khususnya dalam resolusi konflik. Di sisi lain, menjadi penghalang karena tidak
adanya kekuatan yang secara institusional mengikat. 265
ASEAN Way telah membatasi arena aktor non-negara, khususnya
masyarakat sipil untuk mempengaruhi ASEAN. Dalam konteks penegakan HAM
misalnya. Beberapa negara yang tergabung dalam organisasi ini enggan untuk
menyesuikan hukum, peraturan dan kebijakan nasionalnya sesuai dengan standar
internasional yang bersifat universal. Oleh karena itu, desakan masyarakat sipil
terhadap pemerintah nasional maupun ASEAN untuk mematuhi standar

264
Amitav Acharya, Democratisation and the Prospects for Participatory Regionalism in Southeast
Asia. Third World Quarterly, 24(2, 2003): 375-390.
265
Amitav Acharya, ASEAN at 40: Mid-Life Rejuvenation, Foreign Affairs (2008), 1-3.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


132

internasional sulit diwujudkan karena berlindung atas nama prinsip non-intervensi


yang mengutamakan kepentingan nasional atau politik domestik.
Kuatnya pengaruh ASEAN Way dapat dicermati dalam proses
pembangunan rezim HAM ASEAN – tak terkecuali proses penyusunan instrumen
perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran – yang dipengaruhi oleh tiga
faktor utama. Pertama, kebijakan nasional setiap negara anggotanya. Kedua,
advokasi kelompok masyarakat sipil lokal dan global untuk menyelaraskan
dengan standar HAM internasional. Ketiga, norma yang mengatur organisasi
antar-pemerintah tersebut. Tiga faktor tersebut menawarkan dua pendekatan
dalam perlindungan hak-hak buruh migran. Pertama, pemajuan berdasarkan
norma tradisional yaitu ASEAN Way. 266 Kedua, perlindungan berdasarkan proses
kuasi-yudisial yang melibatkan masyarakat sipil.
Dalam konteks di atas, wacana yang dibawa oleh pemerintah nasional
masih sangat mendominasi. Hal tersebut dapat dilihat dari beragam dokumen
yang dikeluarkan seperti Piagam ASEAN, Kerangka Acuan AICHR, dan
Deklarasi HAM ASEAN. Akibatnya, rezim HAM yang dihasilkan hanya bersifat
memajukan dengan kadar perlindungan yang lemah. Di sisi lain, pernyataan
maupun dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara-negara anggota dan
kelompok masyarakat sipil dalam Universal Periodic Review, Office of the High
Commission of Human Rights (OHCHR) dan PBB juga masih memperdebatkan
definisi maupun implementasi dari “pemajuan” dan “perlindungan”.
Tinjauan terhadap Piagam ASEAN, Kerangka Acuan AICHR dan
Deklarasi HAM ASEAN sejak 1993 mencerminkan bahwa pembangunan rezim
yang mengedepankan “perlindungan” masih didominasi oleh pengaruh ASEAN
Way. Hal itu dapat dibuktikan dengan beberapa indikator267. Pertama, mayoritas
perwakilan AICHR bertindak atas nama kepentingan pemerintah yang seringkali
justru bertentangan dengan sistem HAM yang kredibel. Kedua, kelompok

266
Menurut Adisorn Kerdmongkol, ASEAN Way telah menghambat partisipasi masyarakat sipil
dan menjadi penghalang perlindungan hak-hak buruh migran di Asia Tenggara. Norma ini juga
menghambat berkembangnya ASEAN yang menjadikannya tidak lebih dari sebuah perpanjangan
dari pemerintah. Sebagaimana wawancara penulis dengan Adisorn Kerdmongkol, aktivis Migrant
Working Group (MWG) Thailand melalui surat elektronik pada 6 Mei 2015.
267
James Gomez and Robin Ramcharan, “The ASEAN Way and Human Rights”, dalam
http://www.gomezcentre.com/expert-commentary/2015/2/27/the-asean-way-and-human-rights
(diakses apda 16 Mei 2015 pukul 09.39 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


133

masyarakat sipil yang memperjuangkan sistem perlindungan hanya memiliki


kesempatan terbatas dalam proses penyusunan kerangka HAM. Ketiga, walaupun
negara-negara anggota ASEAN terlibat dalam sistem pengawasan HAM
internasional, kepatuhan mereka terhadap standar universal masih sangat minim.
Keempat, keamanan rezim dan pelestarian kekuasaan masih mengalahkan
diskursus HAM di kawasan ini. Kuatnya pengaruh ASEAN Way 268 juga dapat
diamati dalam proses penyusunan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran.
Dalam KTT ASEAN ke-12 di Cebu Filipina pada 13 Januari 2007 telah
ditandatangani ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights
of Migrant Workers atau Deklarasi Cebu. Deklarasi tersebut mencerminkan
komitmen negara-negara Asia Tenggara untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN
2015 yang ditopang oleh pemajuan dan perlindungan hak-hak buruh migran.
Selain itu, deklarasi tersebut juga mencerminkan pengakuan buruh migran
terhadap masyarakat maupun ekonomi negara pengirim dan negara penerima,
serta kemauan politik untuk menangani pelanggaran dan kekerasan terhadap
buruh migran.
Sebagai tindak lanjut Deklarasi Cebu, para pemimpin negara-negara
ASEAN menunjuk perwakilan masing-masing untuk mengembangkan mekanisme
yang efektif untuk melindungi buruh migran. Adalah Paragraf 22 Deklarasi Cebu
yang mengharuskan untuk membuat sebuah instrumen perlindungan dan
pemajuan hak-hak buruh migran. Hal tersebut sesuai dengan visi ASEAN sebagai
sebuah masyarakat yang peduli dan berbagi. Dalam Deklarasi tersebut juga
menunjuk Sekretaris Jenderal ASEAN untuk menyampaikan sebuah laporan
tahunan mengenai kemajuan implementasi Deklarasi terhadap KTT melalui
ASEAN Ministerial Meeting.
Dalam ASEAN Ministerial Meeting ke-40 di Manila, Filipina pada 30 Juli
2007 para Menteri Luar Negeri ASEAN menyerukan untuk membentuk ASEAN
Committee on the Implementation of the Declaration on the Protection and

268
Menurut Navuth YA, ASEAN tidak perlu meneruskan diterapkannya norma ASEAN Way –
khususnya prinsip non-intervensi. Sebaliknya, ASEAN harus belajar dari Uni Eropa untuk
mendengar aspirasi rakyat dan meningkatkan budaya dialog untuk slaing mendukung. Khususnya,
dalam konteks penegakan HAM. Sebagaimana wawancara penulis dengan Navuth YA, Direktur
Eksekutif CARAM Kamboja pada 1 Mei 2015 melalui Skype.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


134

Promotion of the Rights of Migrant Workers (ACMW). Dalam pertemuan


tersebut juga disepakati bahwa ACMW melaporkan kinerjanya ke Senior Labour
Officials Meeting (SLOM). Komite tersebut dibentuk dengan tiga tujuan strategis:
1. menciptakan perlindungan terhadap buruh migran dari bentuk eksploitasi
dan perlakuan buruk serta memajukan hak-haknya;
2. memperkuat perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran dengan
meningkatkan pengaturan atas migrasi buruh di negara-negara anggota
ASEAN; dan
3. kerjasama regional untuk memerangi penyelundupan manusia dalam
koordinasi dengan Senior Official Meeting on Transnational Crime.
Pada ASEAN Foreign Ministers’ Meeting (AMM) ke-40 di Manila, Juli
2007 dibentuk ASEAN Committee on the Implementation of the Declaration on
the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Komite menjadi
focal point dalam mengkoordinasikan upaya-upaya untuk menjamin implementasi
dari komitmen yang tertuang dalam Deklarasi serta memfasilitasi dalam upaya
pembentukan ASEAN Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of
Migrant Workers.aPertemuan ke-1 ACMW di Singapura pada 15-16 September
2008 membahas workplan dari Komite dalam membentuk instrumen ASEAN
dalam rangka implementasi ASEAN Declaration on the Protection and Promotion
of the Rights of Migrant Workers. Dalam pertemuan tersebut, beberapa
kesepakatan yang dihasilkan ialah: 269
1. konsisten menggunakan istilah “perlindungan dan pemajuan” dalam
membahas hak-hak buruh migran;
2. mengenai kerjasama dalam memerangi perdagangan manusia, ACMW
tidak akan menduplikasi kerjasa Senior Officials Meeting on
Transnational Crime (SOM-TC);
3. sebelum mengindentifikasi prinsip-prinsip utama Instrumen ASEAN
dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran, sebuah

269
Report of the 1st Meeting of the Committee on the Implementation of the Declaration on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ACMW), 15-16 September 2008,
Singapore.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


135

lokakarya akan dilaksanakan guna membahas cakupan untuk prinsip hak-


hak buruh migran. 270
Pada 25-27 Maret 2009 ACMW menggelar Workshop on Scope of
Coverage for Migrant Workers di Manila. Lokakarya ini merekomendasikan
outline draf instrumen yang meliputi: definisi dan cakupan buruh migran, prinsip-
271
prinsip utama, dan jenis instrumen. Pertemuan yang diketuai oleh Indonesia
tersebut tidak dihadiri oleh Malaysia, Myanmar, dan Thailand; akan tetapi dihadiri
oleh perwakilan dari ILO, IOM, dan Ateneo Human Rights Center.
Dalam pertemuan itu, Indonesia mengajukan bahwa instrumen harus
secara hukum mengikat dalam bentuk “Konvensi ASEAN”, akan tetapi tidak
disetujui oleh negara-negara lainnya, khususnya Singapura. Pembahasan sulit
menemukan titik terang pada isu cakupan perlindungan bagi para buruh migran
tak berdokumen. Dalam konteks ini, negara-negara pengirim buruh migran
mengajukan perlindungan yang maksimal, sedangkan negara-negara penerima
buruh migran hanya mengusulkan perlindungan dasar. Terlepas dari banyaknya
tarik ulur kepentingan antara negara-negara pengirim dan penerima buruh migran,
pada pertemuan tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi.
1. Mengadopsi definisi “buruh migran” dalam instrumen yang akan dirumuskan
dalam instrumen: “buruh migran ialah seseorang yang diperkerjakan, sedang
bekerja, atau telah bekerja dalam kegiatan berbayar di luar negara asalnya.”
2. Seluruh buruh migran harus dilindungi oleh instrumen. Hak-hak umum
maupun spesifik dari buruh migran reguler dan tidak reguler harus ditetapkan
dalam instrumen: a) buruh migran dianggap berdokumen atau dalam situasi
reguler jika ia diberi wewenang untuk masuk, tinggal, atau bekerja dalam
kegiatan yang dibayar di negara tempat bekerja sesuai dengan hukum negara
tersebut dan perjanjian internasional; b) buruh migran dianggap tidak
berdokumen atau dalam situasi tidak reguler jika ia tidak memenuhi
persyaratan yang diatur dalam poin (a).

270
Ibid.
271
Ben Perkasa Drajat, “Keketuaan Indonesia di ASEAN 2011", Jurnal Diplomasi Vol. 1 No.3
(Maret 2012): hlm. 29.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


136

3. Instrumen harus meliputi dan menentukan hak-hak dasar anggota keluar


buruh migran yang sudah berada dengan mereka tanpa mengabaikan hukum,
peraturan, dan kebijakan negara-negara penerima.
4. Instrumen harus mencakup hak-hak buruh migran untuk keseluruhan proses
migrasi.
5. Hak-hak yang dicakup di instrumen harus merujuk kepada orang-orang yang
dijamin dalam ASEAN Declaration on Protection and Promotion of the
Rights of Migrant Workers. Dalam menegakkan hak-hak tersebut, negara-
negara anggota ASEAN harus mengakui kedaulatan negara dalam
menentukan kebijakan migrasi masing-masing.
Adapun mengenai Prinsip Utama Instrumen, pertemuan tersebut juga
menghasilkan beberapa rekomendasi penting yang di antaranya ialah:
1. instrumen harus meliputi dan mencakup seluruh buruh migran di ASEAN,
terlepas dari status hukum mereka (sebagaimana dengan penegasan yang
dibuat oleh negara-negara anggota ASEAN pada tahun 1999 dalam Bangkok
Declaration on Irregular Migration;
2. instrumen harus mengakui bahwa buruh migran bermanfaat baik untuk
negara-negara pengirim maupun negara-negara penerima;
3. instrumen harus mengikuti prinsip non-diskriminasi dalam perlakuan kepada
buruh migran selama proses migrasi;
4. mengingat sebagian besar buruh migran merupakan perempuan, prinsip
keempat harus memastikan bahwa kebijakan dan praktek migrasi harus
sensitif gender;
5. instrumen memastikan bahwa prinsip-prinsip di atas dipenuhi, dan sesuai
dengan prinsip negara masing-masing;
6. instrumen harus mematuhi konvensi-konvensi dan instrumen-instrumen utama
HAM.
Sebagai tindak lanjut pertemuan tersebut dan sebagaimana Rencana Kerja
ACMW, dibentuk Tim Penyusun ACMW (ACMW-DT). Tim ini terdiri dari
empat negara yaitu Indonesia-Filipina yang mewakili negara-negara pengirim, dan
Malaysia-Thailand yang mewakili negara-negara penerima buruh migran.
Pertemuan pertama diselenggarakan pada 1 April 2009 di Bangkok yang juga

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


137

dihadiri oleh perwakilan ILO dan IOM. Dalam pertemuan ini, Indonesia
mengajukan garis besar untuk penyusunan instrumen yang akhirnya gagal
menemukan mufakat karena Malaysia belum siap membahas dan membutuhkan
waktu lebih banyak untuk memahamainya. Malaysia menolak untuk menerima
rekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan di Manila karena Malaysia tidak
menghadirinya. 272
Pertemuan kedua digelar di Bali 25-26 Juni 2009. Pada pertemuan itu
menyepakati kerangka acuan Tim Penyusun ACMW yang mengatur tujuan,
peran, fungsi, keanggotaan dan keketuaan, mekanisme pelaporan, jadwal
pertemuan, manajemen keuangan dan peran Sekretariat ASEAN. Namun, pada
pertemuan tersebut kelompok negara pengirim dan penerima buruh migran belum
menemukan titik temu mengenai cakupan buruh migran. Pertemuan ketiga
berlangsung di Kuala Lumpur 7-8 Desember 2009 yang menghadapi kebuntuan.
Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kesepakatan antara kelompok negara
pengirim dan negara penerima buruh migran apakah instrumen harus mengikat
secara hukum atau tidak, dan apakah mencakup buruh migran tak berdokumen
atau tidak. 273
Kebuntuan dalam penyusunan instrumen di atas terjadi karena adanya dua
kutub kepentingan yaitu kelompok negara pengirim dan kelompok penerima
buruh migran. Sejak awal perundingan, kedua kelompok saling bertentangan
dalam memasukkan buruh migran tak berdokumen. Kelompok negara pengirim
yang diwakili Indonesia dan Filipina memperjuangkan agar instrumen
mengakomodasi perlindungan atas hak-hak humaniter dasar dan standar bagi
buruh migran tak berdokumen. Di sisi lain, kelompok negara penerima yang
dipimpin Malaysia berkepentingan agar instrumen tidak memberikan
perlindungan atas buruh migran tak berdokumen walaupun pada tataran
kebutuhan humaniter saja.
Dalam hal ini, Malaysia yang merupakan penyebab utama kebuntuan ialah
terus-menerus menolak baik mengenai hak-hak buruh migran tidak berdokumen

272
Arie Poluzzi, “Protection of Undocumented Migrant Workers in the Establishment of ASEAN
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers”, (Master Thesis,
Univesity of Lund), hlm.68.
273
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


138

atau keluarga buruh migran dalam lingkup dan cakupan negosiasi penyusunan
instrumen. Karena itu, diputuskan bahwa format keanggotaaan ACMW-DT
kembali dari semula yaitu terdiri dari 10 focal points pemerintah ASEAN. 274
Kelompok negara pengirim buruh migran berkepentingan untuk
mewujudkan instrumen yang mengikat secara hukum. Kelompok penerima buruh
migran berkepentingan sebaliknya. Pada lokakarya perdana di Manila misalnya,
Singapura menunda untuk menyetujui butir tersebut. Adapun Malaysia yang tidak
hadir dalam lokakarya itu di kesempatan selanjutnya menolak keras. Singapura
dan Malaysia yang mewakili kelompok negara penerima buruh migran
berkepentingan untuk mewujudkan instrumen yang hanya berfungsi sebagai
pedoman normatif, bukan mengikat secara hukum yang mengakibatkan kewajiban
setiap negara anggota ASEAN untuk menyesuaikan dalam hukum, peraturan atau
kebijakan nasional.
Sebagai upaya untuk mengatasi kebuntuan, Malaysia mengundang negara-
negara ASEAN untuk bertemu di Kuala Lumpur pada 28 Februari-1 Maret 2011.
Pada kesempatan ini, dua isu utama – cakupan buruh migran dan jenis instrumen
– juga belum dapat mencapai mufakat. Oleh karena itu, Indonesia mengajukan
agar pihak-pihak yang bernegosiasi meninggalkan hasil rekomendasi lokakarya
sebelumnya dan menempuh revolutionary approach yakni membahas terlebih
dahulu isu dan prinsip dasar guna mencapai pemahaman bersama.
Menurut Ben Perkasa Drajat, Wakil Kepala Perwakilan KBRI Tokyo
(mantan perwakilan Indonesia dalam Tim Penyusun Instrumen ACMW),
penolakan Malaysia untuk memberikan perlindungan pada buruh migran tak
berdokumen didasarkan oleh besarnya kewajiban yang harus diterapkan di dalam
negeri untuk memperbaiki perlindungan. 275 Hal ini masuk akal mengingat jumlah
buruh migran di Malaysia saat ini tercatat lebih dari 3 juta jiwa yang setara
dengan 10 persen populasi Malaysia. 276 Mereka sebagian besar bekerja di

274
ALIRAN, Migrant Workers’ Rights : ASEAN fails to agree, dalam http://aliran.com/1059.html ,
(diakses pada 21 Maret 2015 pukul 09.01 WIB).
275
Yerry Mamahit Padungge, Politik Luar Negeri Indonesia: Studi Kasus Peran Indonesia Dalam
Agenda Setting Isu Pekerja Migran di KTT Ke-19 ASEAN Tahun 2011”, (Tesis, Universitas
Indonesia, 2012), hlm.45-48.
276
Hew Lee Yee, “Illegal Workers in Malaysia: Ho Much Do You Know About The Dilemma?,
dalam http://says.com/my/news/illegal-workers-in-malaysia-how-much-do-you-know-about-the-
dilemma (diakses pada 19 April 2015 pukul 10.25 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


139

perkebunan, konstruksi, pabrik, restoran, atau sebagai pembantu rumah tangga.


Jumlah tersebut belum termasuk jutaan buruh migran tak berdokumen yang sulit
ditebak.
Kebuntuan dalam penyusunan instrumen mendorong lahirnya ASEAN
Repository on Migrant Worker Policies and Practices. Terobosan ini dibuat untuk
mengumpulkan informasi dan data mengenai praktek-praktek terbaik kebijakan
ketenagakerjaan di negara-negara ASEAN, sehingga dapat meningkatkan
pemahaman atas praktek perlindungan buruh migran di negara lain. Pada
akhirnya, diharapkan dapat menjadi dasar pemahaman bersama. Perluasan
keanggotaan ACMW hingga meliputi seluruh negara anggota ASEAN juga
diharapkan dapat mempercepat adanya mufakat.
Menurut Ben Perkasa Drajat, sengitnya perundingan dalam ACMW
mengakibatkan para negosiator bersifat skeptis akan tercapainya suatu mufakat
dalam penyusunan instrumen. Perundingan dalam tataran teknis, bahkan di tingkat
Senior Labour Official Meeting dianggap belum memiliki kapasitas memadai
guna menghasilkan konsesi yang dibutuhkan. Kebuntuan muncul di tataran
prinsip, bukan teknis. Walaupun demikian, pejabat politis berperan penting dalam
membawa perundingan ke suatu arah yang lebih jelas. 277 Oleh karena itu, hasil-
hasil perundingan ACMW sebaiknya dapat diteruskan ke dalam pembahasan-
pembahasan di tataran ASCC melalui SOCA. Apabila di tataran ini belum
mencapai mufakat, maka isu tersebut perlu diangkat dalam KTT ASEAN.
Adapun menurut Guntur Witjaksono, kebuntuan dalam proyes penyusunan
Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran
terutama dipicu oleh kepentingan Malaysia untuk hanya melindungi hak-hak
buruh migran berdokumen. Padahal, jumlah buruh migran tidak berdokumen
diperkirakan jauh lebih besar. Yang menjadi masalah adalah bahwa buruh
berdokumen pun bisa menjadi tidak berdokumen secara terpaksa seperti karena
paspor atau dokumen disita menjelang kontrak kerja habis. Hal ini menunjukkan

277
Yerry Mamahit Padungge, op.cit., hlm.62.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


140

bahwa Malaysia belum berkomitmen untuk mewujudkan perlindungan hak-hak


buruh migran di Asia Tengara. 278
Kepentingan Malaysia dapat dimaklumi karena pekerja migran tak
berdokumen dari Indonesia di negara itu sulit untuk dibendung karena masuk
melalui berbagai pintu masuk di sepanjang garis perbatasan. Hukum di Malaysia
juga memungkinkan untuk mengubah visa non-kerja menjadi visa kerja.
Sebenarnya juga ada aliran pekerja migran dari Myanmar, Laos, atau Kamboja
yang melewati garis perbatasan untuk menuju Thailand, akan tetapi jumlahnya
tidak begitu besar. 279
Belum adanya kemajuan dalam perumusan instrumen perlindungan
ASEAN terhadap buruh migran disebabkan oleh beberapa faktor.280 Pertama,
lemahnya dukungan politik pemerintah negara-negara ASEAN terhadap drafting
team yaitu ACMW dalam menyelesaikan pembahasan menyangkut pembuatan
instrumen tersebut. Kedua, sikap politik negara penerima buruh migran yang tidak
mendukung karena hanya melihat keberadaan buruh migran dari paradigma
ekonomi tanpa melihat perspektif HAM. Ketiga, lemahnya posisi tawar negara-
negara pengirim karena buruknya sistem perlindungan buruh migran di dalam
negeri. Keempat, lambatnya proses penyusunan instrumen yang disebabkan oleh
tarik ulur kepentingan terkait masalah integrasi ekonomi dan keamanan.
Keempat faktor di atas menunjukkan bahwa hak-hak buruh migran di Asia
Tenggara sebagaimana konteks HAM secara luas, masih dalam proses lokalisasi.
Adalah suatu proses transmisi gagasan di mana negara-negara anggota ASEAN
menggunakan gagasan asing yaitu nilai-nilai universal HAM yang datang dari
Barat dengan penyesuaian terhadap tradisi lokal dan penerapan norma ASEAN
Way. Dalam hal ini, belum diadopsinya instrumen yang diajukan Task Force on
ASEAN Migrant Workers oleh ASEAN dan alotnya proses penyusunan instrumen
oleh ACMW menunjukkan bagaimana ASEAN menggunakan konsep

278
Wawancara dengan Guntur Witjaksono, Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Republik Indonesia, pada 2 Juni 2015 melalui
telepon.
279
Ibid.
280
Human Rights Working Group, “Instrumen Perlindungan ASEAN terhadap Hak Buruh
Migran”, Erga Omnes HRWG Buletin No.1 Volume III Tahun 2011, hlm.9.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


141

universalitas HAM yang di saat bersamaan menekankan latar belakang sejarah,


budaya, ataupun politiknya sendiri.
Menurut Amitav Acharya, lokalisasi norma jarang yang merupakan
tindakan akhir atau kondisi perhentian, akan tetapi merupakan proses dinamis dan
terus-menerus. 281 Meskipun terjadi banyak permasalahan atau perdebatan, norma
yang terkandung dalam hak-hak buruh migran di ASEAN telah berkembang dan
terus mengalami proses perkembangan sebagaimana dengan penyusunan
Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran.
Lokalisasi norma hak-hak buruh migran di Asia Tenggara membentuk
ulang baik kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang telah ada dan
gagasan-gagasan asing dengan konteks lokal ASEAN. Mengingat lokalisasi
bersifat progresif –bukan pula regresif ataupun statis – , proses lokalisasi norma-
norma buruh migran ASEAN juga menunjukkan kemajuan, dengan gerakan
bertahap dan tambahan (incremental). Dengan demikian, mekanisme
perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran ASEAN harus lebih baik dari
masa ke masa.
Kebuntuan proses penyusunan instrumen juga dipengaruhi oleh persepsi
kelompok negara pengirim maupun negara penerima buruh migran terhadap
HAM. 282 Pertama, negara-negara anggota ASEAN percaya bahwa HAM tidak
bersifat universal. Akan tetapi, HAM dipengaruhi oleh sejarah, tradisi, budaya dan
agama masyarakat asli Asia Tenggara yang membentuk nilai-nilai sosial. Hal
tersebut tercermin dalam salah satu isi joint communique pada ASEAN Ministerial
Meeting (AMM) ke-25 tahun 1992 bahwa: “Basic human rights, while universal
in character, are governed by the distinct culture and history of, and socio-
economic conditions in each country, and that their expression and application in
the national context are within the competence and responsibility of each
country.”
Wacana tersebut diperkuat oleh pernyataan Menteri Luar Negeri Singapura
pada Konferensi HAM Dunia di Wina tahun 1993 yang menekankan bahwa

281
Amitav Acharya, Whose Ideas Matter?: Agency and Power in Asian Regionalism, (Ithaca and
London: Cornell University Press, 2009), hlm.21.
282
Sriprapha Petcharamesree, The ASEAN Human Rights Architecture: Its Development and
Challenges, The Equal Rights Review Vol. Eleven (2013): 46-60.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


142

pengakuan universal gagasan HAM dapat berbahaya jika universalisme digunakan


untuk menolak atau menutupi realitas keragaman. Mantan Perdana Menteri Hun
Sen pada tahun 2006 juga pernah melontarkan bahwa tidak ada universalitas dan
standar internasional karena setiap negara memiliki standar masing-masing. 283
Kedua, salah satu kategori hak ialah memprioritaskan di atas yang lain.
Beberapa negara anggota ASEAN tidak nyaman dengan konsep indivisibilitas
HAM. Akan tetapi, justru cenderung memprioritaskan hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya daripada hak sipil dan politik. ASEAN mengklaim bahwa kebebasan
politik dan sipil dapat menjadi halangan bagi pembangunan ekonomi dan tatanan
publik maupun sosial. 284
Ketiga, sebagian besar negara anggota ASEAN lebih memperhatikan
keteraturan, kedisiplinan, dan tugas (duties) daripada HAM. Mereka percaya
bahwa hak-hak individu harus dikesampingkan demi kepentingan keamanan
nasional dan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, tugas atau tanggungjawab
kepada negara dan warga negara lain harus didahulukan daripada penghormatan
terhadap hak-hak individu.
Keempat, sejak pendiriannya prinsip yang berlaku di ASEAN ialah non-
intervensi dan “kebebasan dari campur tangan eksternal dalam bentuk atau
manifestasi apapun guna melindungi identitas nasional”. Hal ini termaktub dengan
jelas dalam Treaty of Amity Cooperation. 285
Penolakan atau keengganan negara-negara di Asia Tenggara untuk
meratifikasi dan menjalankan Standar Perburuhan Inti dari ILO, konsep universal
HAM, prioritas terhadap hak-hak ekonomi daripada hak-hak individu, dan prinsip
non-intervensi telah menghambat ASEAN guna membentuk kebijakan regional
dalam perlindungan hak-hak buruh migran yang jelas. Apalagi, untuk
mewujudkan instrumen yang mengikat secara hukum dengan kewajiban
mengadopsinya terhadap peraturan, hukum, dan kebijakan migrasi di setiap
pemerintahan nasional. Hal itu tercermin dalam salah satu joint communiqué pada
AMM ke-24 di Kuala Lumpur:

283
Ibid.
284
Ibid.
285
Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


143

“[W]hile human rights are universal in character, implementation in the


national context should remain within the competence and responsibility
of each country, having regard for the complex variety of economic, social
and cultural realities. They emphasised that neither the international
application of human rights be narrow and selective nor should it violate
the sovereignty of nations. 286

4. 2 Lemahnya Posisi Kelompok Masyarakat Sipil dalam Tata Kelola


Buruh Migran ASEAN
Dalam Pasal 1 Piagam ASEAN disebutkan bahwa salah satu tujuan
didirikannya ASEAN ialah untuk memajukan ASEAN yang berorientasi kepada
rakyat yang di dalamnya seluruh lapisan masyarakat didorong untuk berpartisipasi
dalam, dan memperoleh manfaat dari, proses integrasi dan pembangunan
Masyarakat ASEAN. 287 Mantan Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan pada
perayaan Yayasan ASEAN ke-10 pada 16 Januari 2008 juga menegaskan bahwa
ASEAN perlu memperluas dan memperdalam keterlibatan dan interaksi dengan
organisasi non-pemerintah dan masyarakat sipil karena organisasi-organisasi
tersebut dekat dengan rakyat dan berada dalam posisi yang lebih baik dalam
mengartikulasikan aspirasi mereka demi kepentingan Masyarakat ASEAN. 288
Dalam kenyatannya, posisi kelompok masyarakat sipil masih dapat dikatakan
lemah dalam konteks tata kelola pemerintahan ASEAN.
Ketidakberpihakan ASEAN terhadap aspirasi masyarakat sipil bukan
menjadi isu baru. Hal tersebut dapat dilihat dari sejarah berdirinya organisasi ini
yang bersifat top-down dan state-driven. Ketidakberpihakan itu diperkuat dengan
Panduan Hubungan ASEAN dengan Organisasi Non-Pemerintah yang
dikeluarkan oleh ASEAN pada 1986. Dalam dokumen tersebut dijabarkan bahwa
organisasi masyarakat sipil harus mendapatkan status “afiliasi” dari ASEAN yang
mensyaratkan persetujuan dan penilaian sepihak untuk memperkuat dan
mewujudkan tujuan ASEAN. Dengan kata lain, hanya organisasi-organisasi
masyarakat sipil yang menguntungkan atau sesuai dengan kepentingan negara-

286
Joint Communiqué of the 24th ASEAN Ministerial Meeting, Kuala Lumpur, 19-20 July 1991.
287
The ASEAN Secretariat, Piagam Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Terjemahan), dalam
http://www.asean.org/archive/ AC-Indonesia.pdf (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 14.48 WIB).
288
The ASEAN Foundation, “Welcome Remarks by H.E. Dr. Surin Pitsuwan, Secretary General
of ASEAN at the ASEAN Foundation 10th Anniversary Forum, 16 January 2008, Jakarta,
Indonesia”, dalam http://www.aseanfoundation.org/ index2 .php ?main=news/2008/2008-01-
16b.php (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 14.57 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


144

negara anggota ASEAN yang dapat mendaftar dan mendapatkan persetujuan dari
ASEAN untuk bermitra.
Di antara ribuan organisasi masyarakat sipil yang ada di Asia Tenggara,
sampai saat ini hanya 52 organisasi yang menjadi afiliasi atau mendapatkan status
akreditasi dari ASEAN. Panduan Akreditasi Organisasi Masyarakat Sipil diadopsi
pada pertemuan Committee of Permanent Representatives to ASEAN (CPR) pada
15 November 2012 dan dicatat pada ASEAN Coordinating Council Meeting ke-11
pada 17 November 2012. 289 Sebagian besar organisasi terakreditasi yang
tercantum pada panduan tersebut merupakan organisasi yang bersifat teknis,
mendukung bisnis, atau yang jauh dari isu-isu sensitif seperti hak asasi manusia.
Di antara organisasi yang diakreditasi oleh ASEAN ialah ASEAN Federation of
Mining Association (AFMA), ASEAN Federation of Heart Foundation (AFHF),
ASEAN Football Federation (AFF), ASEAN Fisheries Federation (AFF), ASEAN
Handicraft Promotion and Development Association (AHPADA), ASEAN NGO
Coalition on Ageing, dan Committee for ASEAN Youth Cooperation (CAYC).
Kenyataan tersebut melenceng dari semangat maupun cita-cita Masyarakat
ASEAN yang bertekad meningkatkan sebuah organisasi yang berorientasi rakyat
di mana semua sektor masyarakat didorong untuk terlibat dan menerima manfaat
dari proses integrasi dan pembangunan masyarakat ASEAN.
Dalam prakteknya daftar organisasi masyarakat sipil yang dapat
berpartisipasi dalam forum-forum yang diselenggarakan oleh ASEAN tidak
terbatas dengan status afiliasi. Dalam sistem informal ini, setiap negara merinci
organisasi-organisasi masyarakat sipil yang menurut mereka dapat diundang. Para
anggota CPR kemudian mempertimbangkan rincian tersebut dan jika ada
beberapa oganisasi masyarakat sipil yang tidak disetujui partisipasinya oleh
negara anggota, CPR tidak mengundangnya. Dengan kata lain, dengan prinsip
mufakat negara berperan dalam menentukan organisasi masyarakat sipil mana saja
yang dapat berpartisipasi dalam forum-forum ASEAN. Dalam konteks AFML,
Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN mendapatkan kesempatan untuk
mengajukan daftar organisasi masyarakat sipil yang dapat diundang, namun

289
The ASEAN Secretariat, “Guidelines on the Accreditation of Civil Society Organisations
(CSOs)”, dalam http://www.asean.org /images/2012/documents/Guidelines%20on %20
Accreditation %20of %20 CSOs.pdf (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 10.37 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


145

keputusan akhir juga diserahkan kepada mufakat negara-negara anggota ASEAN


dan Sekretariat ASEAN. 290
Karena organisasi masyarakat sipil manapun harus mendapatkan
persetujuan atau rekomendasi dari seluruh negara anggota ASEAN, partisipasi
masyarakat sipil dalam tata kelola migrasi regional sangat terbatas. Peserta forum-
forum yang diadakan oleh ASEAN biasanya merupakan organisasi masyarakat
sipil ‘plat merah’ atau yang berafiliasi dengan pemerintah. Organisasi masyarakat
sipil independen yang justru mengadvokasi perlindungan hak-hak buruh migran
sering kali tidak terakomodasi aspirasinya dalam forum.
Sebenarnya Task Force on ASEAN Migrant Workers telah berupaya untuk
memanfaatkan forum masyarakat transnasional yang ada di Asia Tenggara yaitu
ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People’s Forum (ACSC/APF). TF-
AMW tidak pernah absen memanfaatkan pertemuan antarmuka (interface
meeting) yang memungkinkannya menyampaikan tuntutan maupun rekomendasi
terhadap para kepala negara ASEAN. Sayangnya, sesi pertemuan antarmuka
bergantung dengan kebijakan tuan rumah pemerintah yang menyelenggarakannya.
Sebagai contoh pada pertemuan antarmuka yang mengiringi ACSC/APF pada
Februari 2009 di Bangkok, salah satu pejabat pemerintah Thailand memprotes
dimasukkannya perwakilan organisasi masyarakat sipil tertentu. Begitu pula pada
sesi pertemuan antarmuka yang mengiringi ACSC/APF Oktober 2009 di Cha-am,
5 dari 10 perwakilan organisasi masyarakat sipil ditolak untuk bergabung. 291 Pada
pertemuan antarmuka di Kamboja pada tahun 2012, beberapa peserta bahkan
diancam dengan pemadaman listrik dan pengurungan dalam ruangan terkunci jika
beberapa isu sensitif dibahas.
Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN sebagaimana organisasi-organisasi
masyarakat sipil lainnya di Asia Tenggara tidak mendapatkan arena yang
memadai dalam forum sekelas pertemuan antarmuka ACSC/APF. Forum
transnasional seperti itu memungkinkan kelompok masyarakat sipil untuk

290
Wawancara dengan Pitchanuch Supavanich, Senior Officer – Social Welfare, Women, Labour,
and Migrant Workers Division, ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) Department, The
ASEAN Secretariat. Jakarta, 15 Mei 2015.
291
Wikileaks, “MYANMAR/ASEAN/THAILAND- Burmese Activist Awaits Ruling on Asean
Meeting”, dalam https://wikileaks.org/gifiles/docs/16/1659624_myanmar-asean-thailand-burmese-
activist-awaits-ruling-on.html (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 13.29 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


146

menyampaikan aspirasi hanya jika peserta dalam topik yang ditentukan mencapai
jumlah tertentu. Kekuatan lobi atau advokasi mereka juga dibatasi oleh kapasitas
jejaring. Apalagi, tidak ada mekanisme terstruktur untuk mengatur keterlibatan
mereka. Dengan demikian, kenyataan tersebut membatasi interaksi baik antara
sesama kelompok masyarakat sipil maupun antara kelompok masyarakat sipil
dengan pemerintah nasional dan pejabat Sekretariat ASEAN. Hal ini diperparah
dengan buruknya komunikasi antara organisasi masyarakat sipil lokal dan
regional sehingga tidak terwujud konsolidasi yang baik.
Tidak efektifnya advokasi TF-AMW terhadap ASEAN juga didorong oleh
realita bahwa sebagian besar forum yang diadakan oleh ASEAN atau Sekretariat
ASEAN mewakili kepentingan pemerintah, bukan masyarakat sipil. Sehingga
warga negara di negara-negara Asia Tenggara hampir tidak pernah diberikan
kesempatan untuk mengawasi kinerja organisasi regional tersebut. Dalam konteks
ASEAN, pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan memang dibuat oleh
para kepala pemerintahan bersama dengan Sekretariat ASEAN dan Badan
Kementerian Sektoral. Sehingga, secara institusional masyarakat sipil tidak
dilibatkan dalam tata kelola regional.
Upaya TF-AMW untuk memanfaatkan pertemuan antarmuka yang
mengiringi setiap penyelenggaraan ACSC/APF tidak efektif karena forum
tersebut berfungsi untuk menampung isu dengan cakupan yang sangat luas.
Dengan kata lain, isu perlindungan buruh migran hanya merupakan salah satu di
antara belasan isu yang diperjuangkan oleh kelompok masyarakat sipil. Apalagi,
waktu yang pertemuan antarmuka hanya selama 15 menit 292 untuk membahas
beragam isu. Sehingga, tidak menjamin bahwa para pengambil kebijakan baik
pemerintah nasional maupun Sekretariat ASEAN memperhatikan. Bahkan,
apabila seluruh kepentingan organisasi masyarakat sipil terwakili dalam forum
tersebut, hasil diskusi atau pernyataan bersama tidak dapat secara efektif
disampaikan kepada orang yang tepat.
Pertemuan antarmuka juga diperparah dengan padatnya agenda yang diatur
sedemikian rupa oleh pemerintah. Begitu juga dengan tempat penyelenggaraan

292
Dalam beberapa penyelenggaraan pertemuan antarmuka ACSC/APF terakhir waktu
diperpanjang menjadi 30 menit karena dikeluhkan oleh jejaring masyarakat sipil.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


147

dan daftar organisasi masyarakat sipil yang berhak berpartisipasi. Sehingga,


terlihat jelas bahwa ASEAN masih enggan merangkul masyarakat sipil. Apalagi,
dalam Piagam ASEAN tidak disebutkan dengan jelas peran formal masyarakat
sipil dalam seluruh aktivitas yang diselenggarakan oleh ASEAN. Menurut
penasehat ASEAN Parliamentarian for Human Rights (APHR) Yuyun
Wahyuningrum 293, pertemuan antarmuka merupakan simbolis yang tidak dapat
diharapkan hasilnya. Walaupun demikian, pertemuan tersebut masih cukup
strategis dalam konteks institusionalisasi yang memungkinkan masyarakat sipil
bertemu secara formal dengan para pemimpin negara di ASEAN.
Daya tawar masyarakat sipil di Asia Tenggara ditentukan oleh kebijakan
pemerintah masing-masing. Di beberapa negara, istilah “masyarakat sipil”
memang belum membudaya menjadi wacana populer sehingga tidak secara
langsung dibahas dalam kerangka peraturan. 294 Di Vietnam misalnya, istilah
“masyarakat sipil” tidak ditemukan dalam dokumen-dokumen Partai Komunis
Vietnam. Sebagaimana konsep apapun yang dibawa dari Barat, diperlukan waktu
bagi pemerintah nasional untuk menerima atau menyesuaikannya dengan konteks
lokal. Di negara terbesar di Asia Tenggara – Indonesia, istilah “masyarakat sipil”
diterjemahkan ke dalam konsep lokal untuk pengakuan hukum. Di negara ini,
organisasi-organisasi masyarakat sipil dapat memilih untuk menjadi perkumpulan
atau yayasan untuk mendapatkan status hukum.
Terbatasnya partisipasi masyarakat sipil dalam pengambilan keputusan
atau tata kelola pemerintahan regional disebabkan oleh beberapa hal. 295 Pertama,
ketatnya pengendalian atas siapa saja yang dapat berpartisipasi. Dengan kata lain,
ASEAN telah memilih dan menetapkan LSM mana saja yang dapat dilibatkan
dalam forum-forum sektoral yang diadakan. Dalam konteks ini, masing-masing
negara anggota ASEAN yang diwakili oleh Committee of Permanent
Representative menyortir LSM yang dikehendaki yaitu organisasi-organisasi yang
dinilai memiliki pandangan sama. LSM yang dianggap berbeda sikap, terlalu

293
Linda Quayle, Southeast Asia and the English School of International Relations: A Region
Theory Dialogue, (London: Palgrave Macmillan, 2013), hlm. 126.
294
Terence Chong and Stefanie Elies, ASEAN Community for All: Exploring the Scope for Civil
Society Engagement, (Singapore: Friedrich-Ebert-Stiftung, Office for Regional Cooperation in
Asia, 2011), hlm. 11.
295
Kelly Gerard, ”ASEAN and Civil Society Activities in ‘Created Spaces’: the Limits of
Liberty”, The Pacific Review Vol. 27 No. 2 (2014): 265–287.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


148

kritis, atau yang tidak pro-pemerintah dimasukkan ke dalam “daftar hitam” untuk
diblokir. LSM yang mewakili kepentingan “akar rumput” sering kali tidak
mendapatkan kesempatan dalam forum-forum resmi ASEAN, sebaliknya LSM
yang berafiliasi dengan pemerintah atau “plat merah” terwakili.
Kedua, ketatnya pengendalian atas sejauh mana masyarakat sipil dapat
berpartisipasi dalam ruang yang telah dibuat atau diakui oleh ASEAN. Dalam hal
ini, LSM yang berafiliasi dengan pemerintah dapat mengajukan pernyataan
tertulis kepada ASEAN Committee of Permanent Representatives. Kegiatan lain
yang dapat diikuti oleh LSM terafiliasi ialah menyuarakan informasi kepada
perwakilan ASEAN, menghadiri pertemuan atau mendapatkan akses terhadap
dokumen-dokumen ASEAN. Terbatasnya ruang lingkup untuk berpartisipasi yang
disebabkan oleh sistem afiliasi ini mengakibatkan hanya satu organisasi yang
dihormati secara luas dalam komunitas LSM yaitu Asian Partnership for
Development of Human Resources in Rural Asia (AsiaDHRRA). Sementara itu
mayoritas LSM yang terdaftar dipenuhi oleh lembaga-lembaga professional
seperti ASEAN Bankers Association, ASEAN Cosmetics Association, ASEAN Kite
Council, dan ASEAN Vegetable Oils Club.
Ketiga, ruang partisipasi masyarakat sipil di ASEAN ditentukan oleh isu
yang sedang digiring, sehingga membatasi advokasi politik LSM. Isu yang kurang
sensitif atau controversial seperti kesejahteraan sosial dan pembangunan dibuat
untuk memajukan interaksi antara LSM dengan ASEAN. Di sisi lain, LSM yang
fokus di bidang HAM menghadapi kesulitan untuk berinteraksi dengan
perwakilan resmi ASEAN.
Keempat, kurangnya institusionalisasi ASEAN dalam bentuk partisipasi
politik menunjukkan bahwa ASEAN masih mempertahankan kepentingannya
untuk meminggirkan atau mengeluarkan kegiatan yang dianggap tidak diperlukan.
Misalnya, ini ditunjukkan dalam ASEAN–ISIS Colloquium on Human Rights
(AICOHR) yang diadakan setiap tahun oleh ASEAN-ISIS. Dalam forum yang
mempertemukan perwakilan pemerintah, akademisi, peneliti, dan staf ASEAN-
ISIS ini para perwakilan pemerintah memanfaatkannya untuk menentang
universalisme. Pemerintah negara-negara ASEAN berpandangan bahwa HAM
dibangun oleh Barat, sehingga digulirkan Asian Values yang menyesuaikan

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


149

konteks masing-masing negara. Seiring dengan meningkatnya partisipasi LSM


dalam forum ini, kehadiran perwakilan pemerintah makin surut.
Sementara itu, menurut Profesor Ilmu Hubungan Internasional Amitav
Acharya, terdapat tiga hambatan utama yang membatasi gerak masyarakat sipil di
ASEAN – khususnya dalam konteks regionalisme partisipatif. 296 Pertama,
ASEAN menolak secara kuat norma regional pasca-kedaulatan. Hal itu
mencerminkan nihilnya komitmen eksplisit terhadap demokrasi dan HAM
sebagaimana yang dilakukan oleh Uni Eropa. Misalnya, komitmen Thailand
terhadap demokrasi dan HAM dalam agenda politik luar negerinya menurun sejak
digulingkannya pemerintah Chuan Leekpai pada 2011. Kedua, proses
demokratisasi di Asia Tenggara masih tidak lengkap dan tidak merata yang
dibuktikan dengan adanya beberapa negara yang dipimpin oleh pemerintahan
otoriter seperti Vietnam dan Myanmar. Konsolidasi demokrasi di Indonesia juga
masih menghadapi tantangan dan kendala serius. Sehingga, prospek ASEAN
sebagai masyarakat demokratis masih jauh dari harapan. Ketiga, peristiwa ledakan
oleh teroris pada 11 September 2001 di Amerika Serikat dan Bali pada 12
Oktober 2002 telah mengurangi ruang bagi masyarakat sipil di Asia Tenggara.
Kebijakan ASEAN untuk memberantas terorisme justru menciderai kebebasan
sipil.
Menurut Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager FORUM-
ASIA, ASEAN memang tidak memandang sebelah mata atau meremehkan
kelompok masyarakat sipil. Akan tetapi ASEAN takut, curiga, atau cenderung
tidak suka karena mungkin khawatir bahwa keberadaan mereka dapat merusak
tata kelola regional. Organisasi-organisasi masyarakat sipil nampaknya dianggap
sebagai faktor pengganggu. 297
Penerimaan ASEAN terhadap kelompok masyarakat sipil secara
institusional juga masih berjarak. Dengan kata lain, posisi mereka masih marginal.
Hal ini dapat dibuktikan dengan fakta bahwa masyarakat sipil belum menjadi
pemangku kepentingan tetap dari forum-forum yang diadakan oleh organisasi
antarpemerintah tersebut. Sehingga, pengaruh atau keterlibatan suatu organisasi

296
Amitav Acharya. (2003), loc. cit.
297
Wawancara dengan Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager, Asian Forum for
Human Rights and Development (FORUM-ASIA) pada 3 Juni 2015 di Jakarta.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


150

masyarakat sipil terhadap ASEAN bergantung dengan hubungan insitusi dan


invididu. Singkat kata, engagement organisasi-organisasi masyarakat sipil dengan
ASEAN sudah ada namun sifatnya tidak terbuka. 298
Mengingat belum dilembagakannya hubungan antara masyarakat sipil
dengan ASEAN, advokasi masyarakat sipil belum dapat optimal. Sehingga,
banyak masukan atau rekomendasi dari aktor non-negara belum tentu dibahas –
apalagi ditindaklanjuti. Dalam konteks isu perlindungan buruh migran atau HAM
pada umumnya, penerimaan ASEAN cenderung normatif karena masih kuatnya
pengaruh aktor negara atau pemerintah. 299

4. 3 Tidak Adanya Momentum Politik yang Mendukung Advokasi Satuan


Tugas Buruh Migran ASEAN
Salah satu faktor keberhasilan advokasi jejaring transnasional adalah
adanya momentum politik yang mendukung. Momentum politik bukan hanya
diilihat dari struktur organisasi internal jaringan, akan tetapi juga memperhatikan
secara lebih sistematis mengenai lingkungan politik dan institusi. Karena gerakan
masyarakat sipil juga dipengaruhi oleh peluang maupun ancaman dalam sistem
politik tertentu. Sehingga, momentum politik menentukan bagaimana sebuah
advokasi masyarakat sipil berpeluang terbaik dalam menghasilkan kemajuan yang
signifikan.
Dalam bahasa Sydney Tarrow, momentum politik tersebut adalah adanya
peluang politik yang diartikan sebagai “consistent – but not necessarily formal or
permanent –dimensions of the political environment that provide for collective
300
action by affecting people’s expectations for success or failure.” Tarrow
menegaskan bahwa ketegangan politik meningkat seiring dengan para aktor
jejaring yang menerima dukungan sumber daya eksternal guna mencapai tujuan
tertentu. Sehingga, struktur peluang politik memiliki beberapa dimensi seperti 1)
tingkat keterbukaan di dalam sistem politik terinstitusionalisasi, 2) stabilitas
perangkat atau susunan elit yang secara luas menyiapkan sebuah pemerintahan, 3)

298
Ibid.
299Ibid.
300
Sydney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics (2nd Edition),
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 20-21.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


151

adanya pengelompokan elit, dan 4) kapasitas negara dan kecenderungan untuk


menindas. Dengan kata lain, negara yang menganut demokrasi memberikan
kesempatan lebih besar terhadap masyarakat sipil untuk advokasi apapun.
ASEAN merupakan sebuah organisasi regional yang majemuk dalam hal
apapun, tak terkecuali secara politik. Dari demokrasi liberal yang tak
terkonsolidasi (Indonesia, Thailand, Filipina), rezim sosialis yang terpusat (Laos,
Vietnam), monarki absolut (Brunei Darussalam), monarki konstitusional
(Kamboja), rezim junta militer (Myanmar), sampai dengan semidemokrasi
(Malaysia, Singapura). Jika dilihat dari komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi
liberal, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN dapat digolongkan menjadi
tiga: 301 1) progresif dalam arti menerapkan norma-norma demokrasi liberal di
dalam negeri dengan sistem politik pluralisme yaitu Indonesia dan Filipina; 2)
berhati-hati dalam arti memastikan penegakan hukum akan tetapi enggan
mengadopsi standar global, khususnya dalam hak-hak sipil dan politik yaiktu
Singapura, Malaysia dan Thailand; dan 3) tidak patuh yang terdiri dari Kamboja,
Laos, Myanmar, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Ditopang oleh norma ASEAN
Way, organisasi ini masih dapat dikatakan stabil walaupun menghadapi berbagai
tantangan. Walaupun demikian, keleluasaan gerakan masyarakat sipil di setiap
negara sangat ditentukan oleh bagaimana masing-masing negara memandang
maupun menjalankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Salah satu contoh yang menarik adalah di negara penerima buruh migran
seperti Malaysia. Menurut aktivis ALIRAN Malaysia Angeline Shannan, tidak
ada komitmen nyata dari pemerintah Malaysia dalam perlindungan hak-hak buruh
migran karena seringnya Kementerian Sumber Daya Manusia melepaskan
tangungjawabnya kepada Kementerian Dalam Negeri. Secara umum isu buruh
migran di Malaysia masih dilihat sebagai masalah keamanan nasional daripada
sebuah isu ketenagakerjaan. Sehingga masalah-masalah seperti perawatan
kesehatan, biaya pengobatan, perumahan, keselamatan kerja, hak untuk berserikat
dan sebagainya masih menjadi tantangan bagi buruh migran. 302

301
James Gomez and Robin Ramcharan, “Introduction: Democracy and Human Rights in
Southeast Asia”, Journal of Current Southeast Asian Affairs 3/2014: 3–17.
302
Wawancara dengan Angeline Shannan, aktivis Aliran Kesedaran Negara (ALIRAN) Malaysia
melalui surat elektronik padda 27 April 2015.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


152

Tidak ada kebijakan dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak buruh


migran yang berarti di Malaysia, kecuali hukum ketenagakerjaan yang berlaku
untuk seluruh pekerja tanpa perbedaan. Walaupun demikian, jaminan sosial yang
ditawarkan kepada buruh migran ada dalam Workmen’s Compensation Act yang
memungkinkan buruh migran menerima kompensasi jika mengalami cidera yang
berhubungan dengan pekerjaan dan kematian. Buruh migran juga hanya
dipandang sebagai karyawan jangka pendek, walaupun jika telah diperpanjang
masa kontrak kerjanya. Apalagi, kebijakan imigrasi memandang buruh migran
sebagai isu keamanan nasional. Sehingga, buruh migran tidak diperlakukan
seperti imigran biasa, akan tetapi sering diawasi oleh aparat penegak keamanan. 303
Menurut Gomez dan Ramcharan, rezim HAM ASEAN bertentangan
dengan tradisi HAM dalam perspektif demokrasi liberal. Rezim HAM yang ada
sekarang dinilai unik secara budaya, elitis dan lebih menekankan “promosi”
daripada menerapkan standar “perlindungan” sebagaimana yang menjadi standar
internasional. Hal tersebut dapat terjadi karena merupakan sebuah konstruksi dari
para elit politik yang ada. 304
Dalam konteks perlindungan hak-hak buruh migran, negara-negara
anggota ASEAN belum menjadikannya sebagai prioritas maupun komitmen
politik. Sebaliknya, negara-negara di kawasan Asia Tenggara tersebut cenderung
mengurusi isu perbatasan negara daripada mengatur aliran migrasi, rekrutmen,
ataupun penempatan pekerja migran. Akibatnya, beragam pelanggaran terhadap
hak-hak buruh migran masih menjadi isu yang tak berkesudahan.
Di Thailand yang menjadi negara tujuan buruh migran dari negara-negara
Mekong, pemerintah hanya memperhatikan masalah registrasi, dokumentasi atau
keabasahan buruh migran. Jika seorang buruh migran masuk secara tidak sah,
maka ia akan dideportasi. Dengan kata lain, proses registrasilah yang menciptakan
dikotomi status sah atau tidak sah. Walaupun demikian, buruh migran
berdokumen sah juga belum tentu hak-haknya terjamin karena pemerintah

303 Ibid.
304
James Gomez and Robin Ramcharan, loc. cit.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


153

Thailand dapat memegang dokumen yang cenderung mengarah terhadap


eksploitasi atau pelanggaran. 305
Menurut Brahm Press, aktivis Mekong Migration Network (MMN)
Thailand, ada tiga tantangan dari advokasi jejaring masyarakat sipil dalam
perlindungan hak-hak buruh migran. Pertama, organisasi-organisasi masyarakat
sipil memiliki ruang terbatas di negara-negara tidak demokratis seperti Loas atau
Vietnam karena campur tangan maupun pembatan dari pemerintah. Di sisi lain,
juga ada persaingan yang ketat di antara sesama organisasi masyarakat sipil untuk
mendapatkan dana. Kedua, perbedaan keleluasaan advokasi di setiap negara yang
bergantung dengan politik nasional. Ketiga, adanya dikotomi antara negara
penerima dan pengirim buruh migran yang dapat menghambat perlindungan
buruh migran karena perbedaan cara pandang maupun kepentingan nasional. 306
Secara tradisional ASEAN memandang migrasi dan ketenagakerjaan
sebagai isu yang sensitif karena menyangkut hak asasi manusia yang terus
diperdebatkan. Sensitivitas tersebut tercermin dengan tidak dimasukkannya
beberapa hak dasar kunci dan kebebasan fundamental, tak terkecuali kebebasan
berserikat dalam Deklarasi HAM ASEAN. Mengingat migrasi masih dipandang
sebagai isu keamanan atau penegakan hukum, negara-negara anggota ASEAN
justru senantiasa melihat sisi negatif dari proses tersebut. Misalnya, terkait dengan
pekerja migran tak berdokumen, perdagangan manusia, ataupun terorisme lintas
batas negara.
Maka tidak mengherankan jika tingkat ratifikasi terhadap beragam
konvensi ILO yang relevan dengan pekerja migran di ASEAN masih rendah. Dari
sepuluh negara anggota di organisasi ini, hanya Filipina yang telah meratifikasi
konvensi C-97 (Konvensi untuk Pekerjaan), C-143 (Ketentuan-ketentuan
Tambahan mengenai Pekerja Migran), dan International Convention on the Rights
of Migrant Workers and Members of their Families. Indonesia, Kamboja dan
Malaysia (hanya negara bagian Sabah) telah menandatangani atau meratifikasi
salah satu dari konvensi tersebut, sedangkan enam negara lain sama sekali belum
berkomitmen untuk mengikutinya. Konvensi C-189 mengenai Pekerja Rumah

305 Wawancara dengan Brahm Press, aktivis Mekong Migration Network (MMN), Thailand pada
14 Mei 2015 melalui Skype.
306 Ibid.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


154

Tangga yang belum lama dikeluarkan oleh PBB dan sangat krusial dalam tata
kelola migrasi di Asia Tenggara juga baru ditandatangani ole Filipina saja.
Kenyataan tersebut seperti apa yang banyak dinilai oleh para sarjana sebagai
“perjanjian untuk tidak setuju”.
Menurut Ben Perkasa Drajat yang pernah menjadi perwakilan Indonesia
dalam Tim Perumus ACMW, ASEAN dalam konteks perundingan instrumen
perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran bukan merupakan satu
kesatuan. Kelompok negara pengirim buruh migran mendukung keterlibatan dan
posisi masyarakat sipil, akan tetapi kelompok negara penerima buruh migran
bersikap sebaliknya yaitu menentang. Hal ini disebabkan oleh adanya kendala
politis di beberapa negara anggota ASEAN seperti catatan HAM yang buruk dan
rendahnya penegakan hukum berdasarkan standar regulasi global. Isu buruh
migran hanyalah salah satu aspek kecil dari keseluruhan masalah ketenagakerjaan
di organisasi regional ini. 307

4.4 Minimnya Mobilisasi Sumber Daya dalam Advokasi Satuan Tugas


Buruh Migran ASEAN
Salah satu aspek penting yang mempengaruhi keberhasilan advokasi ialah
mobilisasi sumber daya. TF-AMW memiliki kelemahan di aspek ini. Hal itu
tercermin dalam beberapa hal. Pertama, tidak meratanya partisipasi dari anggota
jejaring. Kedua, terbatasnya dana yang dimiliki. Ketiga, lemahnya struktur dan
koordinasi jaringan.
Tidak meratanya partisipasi dari anggota jejaring didorong oleh beberapa
faktor. Menurut Kun Wardana Abyoto, masih banyak anggota jejaring yang tidak
memprioritaskan isu migrasi – khususnya dari kalangan serikat pekerja. 308 Dalam
kasus di Malaysia, walaupun banyak anggota jejaring TF-AMW dari kelompok
organisasi masyarakat sipil dan organisasi gereja yang memperjuangkan dan
bekerja dengan pekerja migran, hanya sedikit yang tertarik untuk advokasi di

307
Wawancara dengan Ben Perkasa Drajat, Wakil Duta Besar Indonesia untuk Jepang pada 20 Mei
2015 melalui Facebook Messenger.
308
Menurut Kun, keterampilan bernegosiasi dari anggota jaringan ini juga masih minim. Hal itu
dapat menjadi fatal karena untuk memperkuat advokasi harus mampu menciptakan kesadaran dan
kemampuan melobi. Wawancara dengan Kun Wardana Abyoto, Direktur Direktur UNI Global
Union Asia dan Pasifik (UNI-APRO), di Jakarta pada 19 Mei 2015.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


155

tingkat regional. 309 Sebagian besar organisasi masyarakat sipil yang aktif di
jejaring TF-AMW berbasis di Kuala Lumpur seperti Tenaganita, CARAM Asia
dan beberapa serikat pekerja di bawah Malaysian Trades Union Congress.
Adapun organisasi masyarakat sipil dari kota lain seperti Penang, Johor, Kota
Kinabalu, dan lainnya nihil.
Di Indonesia ada puluhan lembaga non-pemerintah atau organisasi
masyarakat sipil yang memperjuangkan isu migrasi. Walaupun demikian, tidak
semua organisasi masyarakat sipil tersebut tergabung, apalagi cocok dengan misi
TF-AMW. Salah satunya disebabkan oleh adanya beberapa organisasi yang sudah
310
lebih dahulu bergabung dengan jejaring lain. Sebagai salah satu contoh,
Migrant Care yang tergabung dalam Migrant Forum in Asia (MFA) tidak aktif di
TF-AMW. 311 Selain itu, jika dilihat dari struktur anggota jejaringnya, tidak ada
perwakilan jejaring di Brunei Darussalam dan Myanmar.
Sebagaimana jaringan advokasi transnasional pada umumnya, pendanaan
juga menjadi masalah besar. Dari segi teknis, TF-AMW tidak dapat menerima
bantuan dari donor karena tidak memiliki badan hukum. Sehingga, penyaluran
dana dari donor harus melalui pihak ketiga yaitu FORUM-ASIA. Minimnya
pendanaan menghambat partisipasi anggota jejaring dalam membantu
menyukseskan misi TF-AMW, baik untuk menghadiri forum-forum transnasional
maupun dalam advokasi di tingkat lokal dan nasional. Selain sumber daya
pendanaan, beberapa anggota jejaring juga kekurangan sumber daya manusia
untuk mengorganisir advokasi. 312 Karena keanggotaan dalam jejaring bersifat
sukarela dan tidak dibayar, sebagian besar anggota jejaring memprioritaskan
kegiatan berbayar lainnya atau isu-isu yang lebih relevan dengan organisasinya.
Sebagai sebuah jaringan, hubungan antar anggota jejaring TF-AMW
sangat cair dan lemah. Karena keanggotaan bersifat kesukarelaan, maka juga

309
Wawancara dengan Angeline Shannan, Aktivis ALIRAN Malaysia, pada 27 April 2015.
310
Wawancara dengan Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif HRWG di Jakarta pada 7 Mei 2015.
311
Menurut Jenina Joy Chavez, jaringan TF-AMW dalam tingkat tertentu berbenturan dengan
jaringan MFA. Hal itu dapat dilihat dari struktur, bentuk advokasi, ruang, dan platform yang
digunakan. Perbenturan tersebut mengakibatkan banyaknya anggota dari kedua struktur
keanggotaan yang saling dimanfaatkan dalam kampanye. Lihat Jenina Joy Chavez. Loc.cit,
hlm.14-16.
312
Wawancara dengan Angeline Shannan, Aktivis ALIRAN Malaysia, pada 27 April 2015.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


156

313
tidak ada enforcement untuk anggotanya dalam menunjang misi advokasi.
Selain itu, TF-AMW juga tidak memiliki kantor sekretariat resmi. Oleh karena itu,
komunikasi dalam jaringan mengandalkan surat elekronik atau virtual. Lemahnya
jaringan TF-AMW dapat dilihat dari kasus anggota jejaring di Indonesia yaitu
adanya perpecahan internal dalam struktur organisasi Serikat Buruh Migran
Indonesia (SBMI), sehingga berpengaruh terhadap stabilitas jejaring. Pada
akhirnya, ini dapat menghambat keberlanjutan keanggotan jejaring di tingkat
nasional. 314
Menurut Navuth YA, Direktur Eksekutif CARAM Kamboja, TF-AMW
tidak memiliki rencana advokasi strategis, kebijakan dan rencana operasional
yang jelas baik di tingkat nasional maupun regional. Selain itu, juga dianggap
salah dalam memilih anggota. Akibatnya, beberapa anggota jaringannya di
Kamboja, Laos, Thailand, maupun Malaysia kecewa. 315 Oleh karena itu, advokasi
secara keseluruhan di tingkat nasional maupun regional kurang berjalan dengan
optimal.
Koordinasi antar anggota jejaring TF-AMW dapat dikatakan minim karena
itu merupakan jejaring yang longgar. Menurut Brahm Press, aktivis Mekong
Migration Network (MMN) di Thailand, tidak ada kolaborasi di antara jejaring.
Dalam kasus MMN, sebenarnya banyak memiliki anggota organisasi masyarakat
sipil, organisasi non-pemerintah, organisasi dan berbasis masyarakat dari negara-
negara Mekong kecuali Myanmar. MMN cenderung menitikberatkan kepada
pendekatan akademik atau penelitian, sedangkan TF-AMW menindaklanjuti
Deklarasi Cebu. Mengingat migrasi merupakan sebuah isu yang luas – termasuk
perempuan, integrasi, ekonomi, politik dll – sulit untuk menyelaraskan strategi.
316
Karena setiap anggota jejaring memiliki prioritas masing-masing.
Menurut Adisorn Kerdmongkol, aktivis Migrant Working Group
Thailand, 317 kolaborasi antar anggota jejaring merupakan hal yang amat penting.

313
Wawancara dengan Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager, FORUM-ASIA di
Jakarta pada 3 Juni 2015.
314
Wawancara dengan Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif HRWG di Jakarta pada 7 Mei 2015.
315
Wawancara dengan Navuth YA, Direktur Eksekutif CARAM Kamboja pada 1 Mei 2015.
316
Wawancara dengan Brahm Press, aktivis Mekong Migration Network Thailand pada 14 Mei
2015.
317
Wawancara dengan Adisorn Kerdmongkol, aktivis Migrant Working Group Thailand pada 6
Mei 2015.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


157

Karena hal itu dapat menjadi dasar keberlanjutan dari aktivitas bersama.
Sehingga, rencana co-creation yang dapat dijalankan secara praktis tidak dapat
terelakkan. Selain itu, jaringan ini juga minim koordinasi. Oleh karena itu,
beragam aktivitas yang dijalankan oleh anggota jejaring TF-AMW juga sangat
berjalan sendiri-sendiri atau terpisah (discrete). Adisorn juga berpendapat bahwa
TF-AMW masih kurang dalam merencanakan kegiatan atau program bersama.
Brahm Press menambahkan bahwa terdapat tiga tantangan utama yang
menghambat advokasi jaringan TF-AMW. 318 Pertama, kelompok organisasi
masyarakat sipil memiliki ruang terbatas di negara-negara kurang atau bukan
demokratis seperti Laos dan Vietnam karena adanya campur tangan atau
pembatasan dari pemerintah. Kedua, ketatnya persaingan di antara anggota
jejaring dalam mendapatkan pendanaan 319 Ketiga, adanya dikotomi antara negara-
negara pengirim dan negara penerima yang menghambat perlindungan pekerja
migran karena perbedaan pandangan dan kepentingan nasional. Secara
keseluruhan, tidak mudah untuk menyatukan perbedaan karakter atau sifat dari
masing-masing anggota jejaring TF-AMW.
TF-AMW sebenarnya memiliki target agar proposal instrumen yang dibuat
jejaringnya dapat diadopsi oleh ASEAN di KTT ASEAN ke-16 di Vietnam pada
tahun 2010. 320 Pada kenyataannya, dalam kesempatan tersebut ASEAN belum
mengeluarkan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak
Buruh Migran. Dengan kata lain, tonggak ataupun target waktu yang ditetapkan
oleh TF-AMW tidak selaras dengan momentum politik di ASEAN. Karena
istrumen tersebut masih dalam proses perumusan yang sarat dengan tarik ulur
kepentingan antara kelompok negara pengirim dan penerima buruh migran.
Sehingga, belum dapat diukur apakah aspirasi masyarakat sipil yang terkandung
dalam proposal instrumen diadopsi sepenuhnya oleh ASEAN atuapun tidak.

318
Wawancara dengan Brahm Press, aktivis Mekong Migration Network Thailand pada 14 Mei
2015
319
Brahm Press menekankan bahwa minimnya pendanaan dapat membatasi gerakan. Kadang-
kadang ada juga dana, akan tetapi tidak sesuai dengan kepentingan atau tujuan advokasi.
Minimnya pendanaan pada akhirnya mempengaruhi kualitas atau hasil advokasi. MMN juga
menghadapi kekurangan dana dan sumber daya yang serius untuk membuat operasional sekretariat
tetap berjalan. Ibid.
320
Civil Society Proposal: ASEAN Framework Instrument on the Protection and Promotion of the
Rights of Migrant Workers, loc.cit., hlm.107.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


158

Terlepas dari tidak adanya momentum politik yang menunjang advokasi,


Task Force on ASEAN Migrant Workers memiliki sejumlah kemajuan. Di
antaranya ialah pengaruh proposal instrumen sebagai sumber informasi utama
yang dipakai oleh tiga dari empat negara perwakilan dalam Tim Penyusun
ACMW. Di antara tiga negara tersebut, Indonesia dan Filipina bahkan
mengadopsi lebih dari 60 persen dari rekomendasi tersebut sebagai posisi atau
pernyataan nasional. TF-AMW dalam tingkat tertentu telah memainkan peran
penting dalam proses negosiasi untuk menyusun kebijakan perlindungan hak-hak
pekerja migran, khususnya dalam ASEAN Forum on Migrant Labour.
Walaupun belum sepenuhnya efektif, Satuan Tugas Buruh Migran
ASEAN mengapresiasi peran ASEAN Forum on Migrant Labour karena beberapa
kontribusinya. 321 Pertama, melembagakan “proses musyawarah yang luas”
sebagaimana yang tercermin dalam Cetak Biru Masyarakat Sosial-Budaya
ASEAN. Kedua, melibatkan sejumlah besar organisasi masyarakat sipil baik
dalam proses nasional maupun regional. 322 Ketiga, merekomendasikan untuk
membuat jadwal maupun waktu rutin untuk mengadakan forum.

321
Ibid.
322
Oleh karena itu TF-AMW sebagai mitra masyarakat sipil akan terus mendukung dan
memfasilitasi partisipasi kelompok masyarakat sipil khususnya di tingkat nasional untuk terlibat
dalalam ACMW dan AFML.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


BAB 5
PENUTUP

Tujuan dari bab ini ialah untuk menjabarkan keseluruhan pembahasan


mengenai advokasi Task Force on ASEAN Migrant Workers terhadap ASEAN
dalam perlindungan hak-hak buruh migran, khususnya dari tahun 2007 sampai
tahun 2010. Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai latar belakang,
target, strategi, dan hambatan-hambatan jejaring TF-AMW dalam melakukan
advokasi. Oleh karena itu, bab ini akan menjabarkan tiga hal yaitu kesimpulan,
keterbatasan penelitian dan saran dari penelitian yang telah dilakukan.

5. 1 Kesimpulan
Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN (Task Force on ASEAN Migrant
Workers) atau yang dikenal dengan TF-AMW merupakan salah satu jejaring yang
paling gigih mengadvokasi perlindungan buruh migran di ASEAN. Jejaring yang
dibentuk oleh dan menjadi bagian dari Solidarity for Asian People’s Advocacy
(SAPA) sejak tahun 2006 ini senantiasa memantau perkembangan kebijakan
ASEAN dalam buruh migran, mengkritisi, mengambil langkah-langkah untuk
mempengaruhi ataupun mengubah kebijakan dengan mempromosikan ide-ide
yang berpihak kepada masyarakat sipil.
TF-AMW merupakan sebuah anomali. Dikatakan anomali karena jika
bertahun-tahun sebelumnya aktor negara yaitu pemerintah yang menjadi penentu
tunggal kemajuan ASEAN, TF-AMW tampil sebagai wujud menguatnya
perwakilan aktor masyarakat sipil dalam proses pembangunan Masyarakat
ASEAN. Jika sebelumnya segala kebijakan, perundang-undangan, atau perjanjian
di tingkat regional hanya ditentukan oleh kepentingan antarpemerintah; TF-AMW
lahir untuk menjadi pelopor dalam mewujudkan Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak Buruh Migran yang mengikat secara hukum.
Advokasi TF-AMW sangat signifikan pengaruhnya dalam konteks integrasi
kawasan yang akan berlaku pada akhir 2015, khususnya dalam isu tata kelola
migrasi di Asia Tenggara.

159
Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


160

TF-AMW mengadvokasi pembangunan sebuah instrumen berbasis


regulasi dan kebijakan migran regional, di satu sisi tetap mengacu kepada standar
internasional yaitu ILO dan PBB, dan di sisi lain berdasarkan standar ASEAN
sendiri untuk melindungi hak-hak buruh migran. Jejaring ini mendesak ASEAN
untuk tidak melihat buruh migran sebagai penyebab masalah, akan tetapi sebagai
kelompok yang rentan terhadap eksploitasi ataupun korban pelanggaran HAM.
Dengan kata lain, TF-AMW berupaya mempengaruhi ASEAN secara diskursif
dengan meningkatkan sebuah narasi yang memandang buruh migran secara
berbeda, dan sejalan prinsip-prinsip HAM.
Dengan salah satu tujuan untuk meningkatkan partisipasi warga ASEAN
dalam upaya mengimplementasikan Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran, TF-AMW memiliki tiga bidang kerja utama.
Pertama, menyelenggarakan musyawarah nasional dan regional untuk
meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai Deklarasi ASEAN, dan
mendorong serikat pekerja maupun Ornop guna membuat rekomendasi
konstruktif dan positif untuk pemerintah mengenai cara melindungi buruh migran.
Kedua, membuat draf proposal masyarakat sipil dalam Kerangka Instrumen
ASEAN untuk Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. TF-AMW
berkomunikasi secara intensif dengan Sekretariat ASEAN untuk mengajukan
instrumen tersebut dalam prosesnya. Ketiga, menindaklanjuti kerja ASEAN
Committee on Migrant Workers dalam pembuatan instrumen sebagaimana yang
tertera dalam Ayat 22 Deklarasi Buruh Migran ASEAN, dan berkomunikasi
dengan pemerintah maupun Sekretariat ASEAN dalam prosesnya.
Adapun strategi advokasi TF-AMW terhadap ASEAN dapat
dikelompokkan menjadi empat. Pertama, menggelar musyawarah organisasi
masyarakat sipil-serikat pekerja dengan para pemangkuan di hampir seluruh
negara anggota ASEAN. Kedua, meluncurkan buku “Proposal Masyarakat Sipil:
Kerangka Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh
Migran. Ketiga, memanfaatkan forum masyarakat sipil transnasional. Keempat,
merangkul Sekretariat ASEAN.
Advokasi TF-AMW terhadap ASEAN dalam perlindungan hak-hak buruh
migran dapat dikatakan belum berhasil karena beberapa faktor. Pertama, kuatnya

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


161

pengaruh ASEAN Way pada proses perumusan Instrumen ASEAN dalam


Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. Kedua, lemahnya posisi
kelompok masyarakat sipil dalam tata kelola buruh migran ASEAN. Ketiga, tidak
adanya momentum politik yang mendukung advokasi Satuan Tugas Buruh
Migran ASEAN. Keempat, minimnya mobilisasi sumber daya dalam advokasi
Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN
Terlepas dari belum diadopsinya Proposal Masyarakat Sipil: Kerangka
Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran
dari Task Force on ASEAN Migrant Workers oleh ASEAN, terdapat beberapa
kemajuan yang cukup signifikan. Pertama, diterimanya TF-AMW sebagai salah
satu mitra tetap dan co-organizer dari ASEAN Forum on Migrant Labour. Kedua,
dipakainya Proposal Masyarakat Sipil: Kerangka Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran dari Task Force on ASEAN
Migrant Workers oleh ASEAN sebagai salah satu referensi utama dalam proses
penyusunan instrumen oleh Tim Penyusun ASEAN Committee on the
Implementation of the Declaration on the Protection and Promotion of the Rights
of Migrant Workers (ACMW). Ketiga, adanya kesempatan bagi TF-AMW dan
jejaring masyarakat sipil untuk menyampaikan aspirasi dalam Pertemuan
Antarmuka ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People’s Forum
(ACSC/APF) kepada para pemimpin ASEAN. Hal ini mencerminkan bahwa
ASEAN mulai mengakui keberadaan masyarakat sipil dan secara bertahap mulai
menyadari pentingnya perlindungan hak-hak buruh migran sesuai standar
internasional.

5. 2 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan. Hal tersebut didorong
oleh dua faktor utama yaitu keterbatasan dana dan waktu. Dua faktor itu
mengakibatkan data-data yang dianalisis penulis dalam penelitian ini sebagian
besar mengandalkan studi pustaka. Adapun hasil wawancara ke belasan
narasumber dalam penelitian ini hanya digunakan sebagai penunjang. Terbatasnya
jumlah narasumber yang berhasil diwawancarai selain dipicu oleh tingginya
kesibukan narasumber, juga disebabkan oleh adanya beberapa faktor. Di

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


162

antaranya adalah adanya salah satu narasumber yang telah meninggal dunia dan
beberapa narasumber yang telah menjabat posisi lain yang berbeda dengan
rencana awal penelitian.

5. 3 Saran
Penelitian lebih lanjut dalam topik ini diharapkan dapat menambah jumlah
informan kunci dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam advokasi
perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran. Baik dari unsur pemerintah,
serikat pekerja, organisasi non-pemerintah, asosiasi pengusaha, maupun
Sekretariat ASEAN. Tentu saja informan yang dipilih dari setiap unsur dapat
mewakili beragamnya sisi sosial dan politik di Asia Tenggara. Sehingga, analisis
yang dibuat dapat lebih tajam, obyektif, dan kredibel.
Di akhir penelitian ini, penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat
berkontribusi dalam kajian pergerakan masyarakat sipil di Asia Tenggara. Selama
ini kelompok masyarakat sipil masih berada dalam posisi marginal, dianggap
penghambat, dan tidak memiliki cukup ruang untuk berinteraksi dengan para elit
ASEAN. Oleh karena itu, sudah seyogyanya ASEAN merangkul kelompok
masyarakat sipil sebagai mitra untuk menyukseskan misinya yaitu Masyarakat
ASEAN sesuai dengan jargon yang selama ini didengungkan yaitu sebuah
masyarakat yang berorientasi dan berpusat kepada rakyat.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


163

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, Amitav. (2003). Democratisation and the Prospects for Participatory


Regionalism in Southeast Asia. Third World Quarterly, 24(2), 375-390.
_______________.(2004).”How Ideas Spread: Whose Norms Matter? Norm
Localization and Institutional Change in Asian Regionalism”.
International Organization 58 (2): 239–275.
________________.(2008). ASEAN at 40: Mid-Life Rejuvenation. Foreign
Affairs, 1-3.
________________.(2009). Whose Ideas Matter?: Agency and Power in Asian
Regionalism. Ithaca and London: Cornell University Press.
Alcid, Mary Lou L. Migrant Labour in Southeast Asia – Country Study: The
Philippines. Friedrich Ebert Stiftung (FES) Project on Migrant Labor in
Southeast Asia, hlm.1. Dalam http://www.fes.de/aktuell/ focus_
interkulturelles/focus_1/documents/7_000.pdf (diakses pada 14 Mei 2015
pukul 14.10 WIB).
ALIRAN. “Migrant Workers’ Rights: ASEAN fails to agree”, dalam
http://aliran.com/1059.html (diakses pada 21 Maret 2015 pukul 09.01
WIB).
Anheier, Helmut, Marlies Glasius and Mary Kaldor. (2001). “Introducing Global
Civil Society” dalam Global Civil Society 2001. Oxford: Oxford
University Press.
ANNI: Asian NGO Network on NHRIs, dalam http://nhriwatch.wordpress.com/
2011/04/25/50/ (diakses pada 4 April 2015 pukul 22.11 WIB).
ASEAN Civil Society Conference/ASEAN People’s Forum. “Background:
ASEAN Civil Society Conference (ACSC)/ASEAN People’s Forum
(APF)”. Dalam http://aseanpeople.org/about/background/ (diakses pada
25 April 2015 pukul 10.18 WIB).
Asia Pacific Forum of National Human Rights Institutions. (2010). Promoting
and Protecting the Rights of Migrant Workers: The Role of National
Human Rights Institutions. Sydney: Asia Pacific Forum of National
Human Rights Institutions.
Asian Farmers Association for Sustainable Rural Development. “AFA
participates in the Sixth ASEAN People’s Forum”. Dalam
http://asianfarmers.org/ ?p=1236 (diakses pada 25 April 2015 pukul
17.41 WIB).
Asian Forum for Human Rights and Development. “Civil Society’s Engagement
with the ASEAN Human Rights Body,” dalam http://www.FORUM-
ASIA.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=2153
(diakses pada 7 Maret 2015).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


164

_________________________________________. “Light at the end of the


tunnel? ASEAN multilateral framework on migrant workers”, dalam
http://www.forum-asia.org/?p=5217 (diakses pad 25 April 2015 pukul
08.24 WIB).
Asian Forum for Human Rights and Development (Forum-Asia), dalam
http://www.forumasia.org (diakses pada 4 April 2015 pukul 22.09 WIB).
Atol, Dorottya. (2010). NGOs As Norm-Constructors: The Human Rights
Activism of Asian NGOs and Their Role in Shaping The Regional Human
Rights Discourse. Sydney: University of Western Sydney.
Azhar, Alyaa (2013). “Stop Crackdown on Migrant Workers.” Free Malaysia
Today August 5. Dalam http://www.freemalaysiatoday.com/ category
/nation/2013/08/05/stop-crackdown-on-migrant-workers/ (diakses pada
18 April 2015 pukul 15.52 WIB).
Bacalla, Tess (2012). “ASEAN Locks Horns on Migrant Workers’ Rights”.
VERA Files September 12. Dalam http://verafiles.org/asean-locks-horns-
on-migrant-workers-rights/ (diakses pada 18 April 2015 pukul 14.20
WIB).
Beeson, Mark. “ASEAN Plus Three and the Rise of Reactionary Regionalism.”
Contemporary Southeast Asia, Volume 25, Number 2, August 2003,
251-268.
Bryman, Alan. (2004). Social Research Methods (2nd Edition). New York:
Oxford University Press.
Caouette, Dominique, Clara Boulianne Lagacé, and Denis Côté. “Transnational
Ideas and Connections: Understanding Asian Civil Society Activism”.
Social Transformations Vol. 2, No. 1, Feb. 2014, hlm. 35-59.
Caouette, Dominique. “Thinking and Nurturing Transnational Activism: Global
Citizen Advocacy in Southeast Asia”. Kasarinlan: Philippine Journal of
Third World Studies 2006 21 (2): 3-33.
Chandra, Alexander. (2006). “The Role of Non-State Actors in ASEAN”, dalam
Revisiting Asian Regionalism. Bangkok: Focus on the Global South.
Chavez, Jenina Joy. (2013). Transnational Social Movements in ASEAN Policy
Advocacy: The Case of Regional Migrants’ Rights Policy.
Geneva: United Nations Research Institute for Social Development.
_______________. (2013). “Regional governance of migration: ASEAN’s
conundrum and spaces for civil society intervention.” Dalam Rethinking
regionalisms in times of crises: A collection of activists’ perspectives
from Latin America, Asia, Africa and Europe. Bangkok: Focus on the
Global South.
________________. “Social Policy in ASEAN: The Prospects for Integrating
Migrant Labour Rights and Protection,” Global Social Policy, No. 7
(2007), DOI: 10.1177/1468018107082239, hlm.358. Dalam

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


165

http://gsp.sagepub.com/cgi/content/abstract/7/3/358 (diakses pada 7


Maret 2015 pukul 18.52 WIB).
Chong, Terence and Stefanie Elies. (2011). ASEAN Community for All:
Exploring the Scope for Civil Society Engagement. Singapore: Friedrich-
Ebert-Stiftung, Office for Regional Cooperation in Asia.
Different Streams, Different Needs and Different Impacts: Managing
International Labor Migration in ASEAN. Policy Brief No. 05 2012.
Makaty City: Philippine Institute for Development Studies, 1-3.
Drajat, Ben Perkasa. (2001). “Keketuaan Indonesia di ASEAN 2011.” Jurnal
Diplomasi Vol. 1 No.3, hlm. 29.
________________.”An ASEAN Way of Protecting Indonesian Migrant
Workers,” The Jakarta Post, May 3 2012.
Espajo, Edwin. “Filipino migrant workers staying abroad”. Dalam
http://www.insideasean.com/opinion-analysis/Filipino-migrant-workers-
staying-abroad-133/ (diakses pada 2 Mei 2015 pukul 11.42 WIB).
Farbenblum, Bassine, Eleanor Taylor-Nicholson, dan Sarah Paoletti. (2013).
Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus
Indonesia. New York: Open Society Foundation.
Focus on the Global South. “The 3rd ASEAN Civil Society Conference (ACSC):
Moving Forward: Building an ASEAN People’s Agenda”. Dalam
http://focusweb.org/node/1261 (diakses pada 25 April 2015 pukul 15.29
WIB).
Fox, Jonathan. (2010). “Coalition and Networks,” dalam International
Encyclopedia of Civil Society. New York: Springer Publication.
Gerard, Kelly .”ASEAN and Civil Society Activities in ‘Created Spaces’: the
Limits of Liberty”, The Pacific Review, 2014, Vol. 27 No. 2, pp. 265–
287.
_____________. “From the ASEAN People’s Assembly to the ASEAN Civil
Society Conference: the Boundaries of Civil Society Advocacy”.
Contemporary Politics, 2013, Vol. 19 No. 4, hlm. 411-26.
Gomez, James and Robin Ramcharan. Introduction: Democracy and Human
Rights in Southeast Asia. Journal of Current Southeast Asian Affairs
3/2014: 3–17.
__________________________________. “The ASEAN Way and Human
Rights”. Dalam http://www.gomezcentre.com/expert-
commentary/2015/2/27/the-asean-way-and-human-rights (diakses apda
16 Mei 2015 pukul 09.39 WIB).
Google.com. “Standar Internasional Perburuhan”, dalam
https://sites.google.com/site/ pekerjaanbaik/berita /standarinternasional
perburuhan (diakses pada 24 Februari 2015).
Greene, Shawn. (2013). “ASEAN’s Demographic Dividend.” ASEAN Briefing
November 25. Dalam http://www.aseanbriefing.com/news/ 2013/11/25/

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


166

asean-demographic-dividend.html#sthash.lvWkuuZJ.dpuf (diakses pada


18 April 2015 pukul 14.20 WIB).
Guidry, John A., Michael D. Kennedy dan Mayer N. Zald. (2003).
Globalizations and Social Movement: Culture, Power, and the
Transnational Public Sphere. Michigan: The University Press.
Hall, Andy. (2011). Migrant Workers’ Rights to Social Protection in ASEAN:
Case Studies of Indonesia, Philippines, Singapore and Thailand.
Singapore: Friedrich-Ebert-Stiftung Office for Regional Cooperation in
Asia.
Hangzo, P. and A. Cook: The Domestic Workers Convention 2011: Implications
for migrant domestic workers in Southeast Asia, NTS Insight (Singapore:
RSIS Centre for Non-Traditional Security (NTS) Studies, April 2012).
Hidayah, Nur. TKI dan Permasalahannya. Talkshow SP Kinasih bekerja sama
dengan Global FM pada hari Rabu, 12 Nopember 2008.
Hodal, Kate (2013). “Singapore Protest: ‘Unfamiliar Faces Are Crowding Our
Land’”. The Guardian February 15. Dalam http://www.theguardian.com/
world/2013/feb/15/singapore-crisis-immigration-financial-crisis (diakses
pada 18 April 2015 pukul 15.52 WIB).
________________. “A day in the life of a migrant worker in Singapore (part 2),
(24 July 2011), dalam http://www.cnngo.com/singapore/life/day-life-
migrant-worker-singapore-part-2-604578 (diakses pada 2 Mei 2015
pukul 10.44 WIB).
HRWG. “Instrumen Perlindungan ASEAN terhadap Hak Buruh Migran.” Erga
Omnes HRWG Buletin No.1 Volume III Tahun 2011.
Huelser, Sarah and Adam Heal. “Moving Freely? Labour Mobility in ASEAN.”
Asia-Pacific Research and Training Network on Trade. Brief No. 40
June 2014.
Human Rights Watch. ‘Help Wanted: Abuses against Migrant Female Domestic
Workers in Indonesia and Malaysia’, Human Rights Watch, 16, 9 (B)
(July 2004), hlm. 9.
__________________. “Maid to Order: Ending Abuses Against Migrant
Domestic Workers in Singapore.” Human Rights Watch Vol. 17, No.
10(C). New York: Human Rights Watch.
ILO Regional Office for Asia and the Pacific. (2009). “Review of labour
migration management, polices and legal framework in Cambodia”. ILO
Asia-Pacific Working Paper Series. Bangkok: ILO.
__________________________________________.(2010). The ASEAN Forum
on Migrant Labour (AFML): Background information booklet / Tripartite
Action for the Protection and Promotion of the Rights of Migrant
Workers in the ASEAN Region (ASEAN TRIANGLE project).
Bangkok: ILO Regional Office for Asia and the Pacific.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


167

International Labor Organization (2013). “6th ASEAN Forum on Migrant


Workers.” Dalam http://www.ilo.org/asia/whatwedo/events/ WCMS
_209146/lang--en/index.htm (diakses pada 18 April 2015 pukul 14.52
WIB).
____________________________. “ILO Declaration on the Fundamental
Principles and Rights at Work,” dalam
http://www.ilo.org/declaration/lang--en/index.htm (diakses pada 22
Februari 2015 pukul 11.01 WIB).
____________________________. “Recommendations from the 3rd ASEAN
Forum on Migrant Labour”. Dalam http://www.ilo.org/wcmsp5/ groups
/public/---asia/---ro-bangkok/documents/meetingdocument/ wcms
_213739.pdf (diakses pada 26 April 2015 pukul 10.54 WIB).
ILO Jakarta. “Special Edition on Domestic Workers: Recognizing Domestic
Work as Work”. (April 2010).
International Labour Organization and Asian Development Bank. (2014).
ASEAN community 2015: Managing integration for better jobs and
shared prosperity. Bangkok: International Labour Organization and
Asian Development Bank.
International Organization for Migration Mission in Indonesia. (2010). Labor
Migration from Indonesia: An Overview of Indonesian Migration to
Selected Destinations in Asia and the Middle East. Jakarta: International
Organization for Migration Mission in Indonesia.
International Organization for Migration Regional Office for Southeast Asia.
(2008). Situation Report on International Migration in East and South-
East Asia: Regional Thematic Working Group on International
Migration including Human Trafficking. Bangkok: International
Organization for Migration Regional Office for Southeast Asia.
IOM and UN, Thailand Migration Report 2011, (Bangkok, 2011), hlm. 110,
dalam http://www.un.or.th/ documents/TMR-2011.pdf (diakses pada 2
Mei 2015 pukul 10.06 WIB).
Joint Communiqué of the 24th ASEAN Ministerial Meeting, Kuala Lumpur, 19-
20 July 1991.
Justice and Peace Commission of Hong Kong Catholic Diocese. “Task Force on
ASEAN Migrant Workers”, dalam http://www.hkjp.org/files/ files/ focus
/humanright/ task%20 force%20on%20ASEAN%20Migrant.pdf (diakses
pada 15 Maret 2015 pukul 16.03 WIB).
Kassim, Azizah and Ragayah Haji Mat Zin. Policy on Irregular Migrants in
Malaysia: An Analysis of its Implementation and Effectiveness.
Discussion Paper Series No. 2011-34. Philippine Institute of
Development Studies.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


168

Kaur, Amarjit. Labor Crossings in Southeast Asia: Linking Historical and


Contemporary Labor Migration. New Zealand Journal of Asian Studies
11, 1 (June 2009): 276-303.
Keck, Margaret E. & Kathryn Sikkink. (1998). Activists Beyond Borders:
Advocacy Networks in International Politics. New York: Cornell
University Press.
Khagram, Sanieev, James V.Riker, and Kathryn Sikkink. (2002). “From
Santiago to Seattle: Transnational Advocacy Groups Restructuring World
Politics”, dalam Restructuring World Politics: Transnational Social
Movements, Networks and Norms. Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan. Buruh Migran Pekerja Rumah
Tangga (TKW_PRT): Kerentanan dan Inisiatif-inisiatif Baru untuk
Perlindungan Hak Asasi TKW_PRT. Laporan Indonesia kepada Pelapor
Khusus PBB untuk Hak Asasi Migran, Kuala Lumpur, Desember 2003.
_______________________________________. Buruh Migran Indonesia:
Penyiksaaan Sistematis di Dalam dan Di Luar Negeri, Laporan
Indonesia kepada Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Migran, Kuala
Lumpur, 2 Juni 2002.
Leedy, Paul D. dan Jeanne E. Ormrod. (2005). Practical Research: Planning
and Design Research (Edisi Kedelapan). Ohio: Pearson Merrill Prentice
Hall.
Migration Policy Institute. “Rapid Growth in Singapore’s Immigrant Population
Brings Policy Challenges”, Country Profile (April 2012), dalam:
http://www.migrationinformation.org/Profiles/display.cfm?ID=570,
(diakses pada 1 Mei 2015 pukul 08.15 WIB).
Neumann, Lawrence W. (1997). Social Research Method: Qualitative and
Quantitative Approach (Edisi Ketiga). Amerika Serikat: Allyn and
Bacon.
Ng, Jason. (2013). “Richer Asean Nations Resist Open Borders”. Wall Street
Journal, April 4. Dalam http://online.wsj.com/news/ articles/
SB40001424 127887323646604578402283145126480 (diakses pada 18
April 2015 pukul 14.23 WIB).
Office of the High Commissioner for Human Rights. “What are human rights?”,
dalam http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/ Whatare Human Rights
.aspx (diakses pada 8 Maret 2015 pukul 20.17 WIB).
_____________________________________________. “Frequently Asked
Questions on ASEAN and Human Rights”. Dalam
http://bangkok.ohchr.org/files/ Regional_Dialogue_ ASEAN_
Background Paper.pdf (diakses pada 9 April 2015 pukul 22.48 WIB).
____________________________________________.“International
Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


169

Members of Their Families”, dalam http://www2.ohchr.org/


english/bodies/cmw/cmw.htm (diakses pada 18 Oktober 2015).
Padungge, Yerry Mamahit. (2012).”Politik Luar Negeri Indonesia: Studi Kasus
Peran Indonesia Dalam Agenda Setting Isu Pekerja Migran di KTT Ke-
19 ASEAN Tahun 2011”. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.
Pasadilla, Gloria O. (2011). “Social Security and Labor Migration in ASEAN.”
Research Policy Brief 34. Tokyo: Asian Development Bank Institute, 8.
People’s Agenda for Alternative Regionalism. “Advancing a People’s ASEAN:
Continuing Dialogue: Statement of the 2nd ASEAN People’s Forum
(APF)/5th ASEAN Civil Society Conference (ACSC)”. Dalam
http://www.alternative-regionalisms.org/?p=2435 (diakses pada 25 April
2015 pukul 16.49 WIB).
____________________________________. “ACSC-3: Singapore
Declaration”. Third ASEAN+Civil Society Conference (ACSC-III). 2-4
November 2007, Singapore. Dalam http://www.alternative-
regionalisms.org/?p=919 (diakses pada 25 April 2015 pukul 15.41 WIB.)
____________________________________. “ASEAN for the People:
Statement of the 2nd ASEAN Civil Society Conference (ACSC II), 10-12
December 2006 – Cebu City, Philippines”. Dalam
http://www.alternative-regionalisms.org/?p=916 (diakses pada 25 April
2015 pukul 14.42 WIB).
____________________________________. “Civil Society Presentation to
ASEAN Heads of State and Government.” 11st ASEAN Summit, Kuala
Lumpur Convention Center, Monday, December 12, 2005. Dalam
http://www.alternative-regionalisms.org/?p=1735 (diakses pada 25 April
2015 pukul 15.21 WIB).
____________________________________. “Statement of ASEAN People’s
Forum-Fourth ASEAN Civil Society Conference to the 14th ASEAN
Summit (20-22 February 2009)”. Dalam http://www.alternative-
regionalisms.org/?p=1632 (diakses pada 25 April 2015 pukul 14.23
WIB).
Perwita, Anak Agung Banyu. “ASEAN Charter and a more people-centric
grouping”, The Jakarta Post, July 15 2008.
Petcharamesree, Sriprapha. The ASEAN Human Rights Architecture: Its
Development and Challenges. The Equal Rights Review Vol. Eleven
(2013), 46-60.
Philippines Senate Economic Planning Office (SEPO). “Overseas Filipino
Workers at a Glance”, issues brief, (May 2012), dalam
http://www.senate.gov.ph/publications/AG%202012-04%20-%20 OFW
.pdf (diakses pada 2 Mei 2015 pukul 10.27 WIB).
Piper, Nicola. “Governance of Migration and Transnationalisation of Migrants’
Rights: An Organisational Perspective.” COMCAD Arbeitspapiere -

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


170

Working Papers No. 22, 2007. Bielefeld: Center on Migration,


Citizenship and Development, 6-7.
Poluzzi, Arie. (2011). “Protection of Undocumented Migrant Workers in the
Establishment of ASEAN Instrument on the Protection and Promotion of
the Rights of Migrant Workers.” Master Thesis. Lund: Faculty of Law
Univesity of Lund.
Porta, Donatella Della and Sidney Tarrow. (2005). Transnational Protest and
Global Activism (eds.). Lanham: Rowman & Littlefield.
Quayle, Linda. (2013). Southeast Asia and the English School of International
Relations: A Region Theory Dialogue. London: Palgrave Macmillan.
Ramirez, Marlene. (2008). AsiaDHRRA and ASEAN: A Case Study of the
Process of Civil Society Engagement with a Regional Intergovernmental
Organisation. Paper presented at the FIM Forum, 8–9 February,
Montreal. Dalam http://asiadhrra.org/wordpress/wp-
content/uploads/2008/02 /asiadhrraaseanfim.pdf (diakses pada 14 Mei
2015 pukul 18.43 WIB).
Rashid, Rehman. 2000. “The ASEAN People’s Agenda.” Agenda Malaysia, 22
November.
Regional Consultation on Gender Perspectives on the ASEAN Declaration on
the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers and the
Civil Society Draft of the Framework Instrument to Protect and Promote
the Rights of Migrant Workers. Meeting Report.
Report of the 1st Meeting of the Committee on the Implementation of the
Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant
Workers (ACMW), 15-16 September 2008, Singapore.
Scholte, Jan Aart. (2004). “Civil Society and Democratically Accountable
Global Governance,” dalam Government and Opposition. Oxford:
Blackwell Publishing.
Serrano, Isagani R. “ASEAN Civil Society Conference on Building on a
Common Future Together”. Report on the ASEAN Civil Society
Conference on Building A Common Future Together 7-9 December
2005, Universiti Teknologi MARA, Malaysia.
Singapore Ministry of Manpower: Foreign workforce numbers, dalam
http://www.mom.gov.sg/statistics-publications/others/statistics/Pages/
ForeignWorkforce Numbers.aspx (diakses pada 9 Mei 2015 pukul 16.31
WIB).
Solidarity for Asian People’s Advocacy. “Background of SAPA,” dalam
http://www.asiasapa.org/index.php? Option =com_content&task=view
&id=12&Itemid=64 (diakses pada 15 Maret 2015 pukul 16.30 WIB).
Southeast Asia Women’s Caucus on the ASEAN. (2004). Compliance with
Women’s Rights Standards: The Case of Migration of Domestic Workers

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


171

from Indonesia and the Philippines in Brunei Darussalam. Chiang Mai:


Southeast Asia Women’s Caucus on the ASEAN.
Square Eye. “Welcoming the stranger - migrant workers in a globalised
economy”, dalam http://clients.squareeye.net/uploads/ anglican/
documents/AnglicanAlliance_Migrants_20130830.pdf (diakses pada 17
September 2014 pukul 07.31 WIB).
Suaram. (2008). Undocumented migrants and refugees in Malaysia: Raids,
Detention and Discrimination. Kuala Lumpur: Suaram.
Tarrow, Sydney. (1998). Power in Movement: Social Movements and
Contentious Politics (2nd Edition). Cambridge: Cambridge University
Press.
Task Force on ASEAN Migrant Workers. “Advocacy for Protection of Migrant
Workers Rights Moves into High Gear”. Dalam
http://www.workersconnection.org/articles.php?more=124 (diakses pada
28 April 2015 pukul 20.14 WIB).
_________________________________. Civil Society Proposal: ASEAN
Framework Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of
Migrant Workers. (2009). Singapore: Task Force on ASEAN Migrant
Workers (TF-AMW).
_________________________________. “ASEAN must recognize domestic
work as ‘work’,” dalam http://www.workersconnection.org/ articles
.php?more=143 (diakses pada 24 Februari 2015 pukul 09.23 WIB).
_________________________________. “Civil Society Organisations and
Trade Unions of ASEAN: Consultation on Drafting the ASEAN
Multilateral Framework on the Rights of Migrant Workers 22 - 23 April
2006, Singapore. “ Dalam http://www.workersconnection.org/resources/
Resources_42/Final%20Singapore%20Consulation%20Report%20--
%2031May2006.doc (diakses pada 25 April 2015 pukul 08.28 WIB).
_________________________________. “Final ASEAN Civil Society Proposal
for the ASEAN Framework Instrument on the Promotion and Protection
of the Rights of Migrant Workers,” (9 May 2009), dalam
http://www.workersconnection.org/resources/Resources_47/ (diakses
pada 7 Maret 2015).
_________________________________. “First Civil Society Interface at
ASEAN Summit, includes TF AMW”. Dalam
http://www.workersconnection.org/articles.php?more=109 (diakses pada
25 April 2015 pukul 11.12 WIB).
_________________________________. “Summary Record of the 2nd ASEAN
Forum on Migrant Labour 30-31 July 2009, Bangkok”. Dalam
http://www.workersconnection.org/resources/Resources_59/2ndFrm_Mi
grantLbr__SUMMARY%20RECORD%20_21%20Aug%2009_-2.pdf
(diakses pada 25 April 2015 pukul 18.57 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


172

Tay, Simon and Lim May-Ann. (2009). “Assesment and Overview: ASEAN and
Regional Involvement of Civil Society” dalam http://www.siiaonline.org/
download.aspx?URL=~/UploadedFiles/Downloads_Downloads_63aa182
86c4946b8880528692d9805af.PDF&FileName=Downloads_63aa18286c
4946b8880528692d9805af.PDF (diakses pada 12 Oktober 2014 pukul
16.52 WIB).
The ASEAN Foundation. “Welcome Remarks by H.E. Dr. Surin Pitsuwan,
Secretary General of ASEAN at the ASEAN Foundation 10th
Anniversary Forum, 16 January 2008, Jakarta, Indonesia”, dalam
http://www.aseanfoundation.org/ index2 .php ?main=news/2008/2008-
01-16b.php (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 14.57 WIB).
The ASEAN Secretariat (2009). ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint.
Dalam http://www.asean.org /archive /5187-19.pdf p.12 (diakses pada 18
Maret 2015 pukul 14.37 WIB).
______________________ (2012). ASEAN Human Rights Declaration. Dalam
(http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/asean-
human-rights-declaration) diakses pada 18 April 2015 pukul 14.42 WIB.
______________________. “ASEAN Charter”, dalam http://www.asean.org
/asean/asean-charter (diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 14.49 WIB).
______________________. “ASEAN Declaration on the Protection and
Promotions of the Rights of Migrant Workers”, dalam
http://www.asean.org/ communities/asean-political-security-community/
item/asean-declaration-on-the-protection-and-promotion-of-the-rights-of-
migrant-workers-3 (diakses pada 8 Maret 2015 pukul 11.50 WIB).
______________________. “ASEAN Human Rights Declaration,” dalam
http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/asean-
human-rights-declaration (diakses pada 8 Maret 2015 pukul 20.42 WIB).
______________________. “ASEAN Socio-Cultural Community,” dalam
http://www.asean.org/communities/asean-socio-cultural-community
(diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 15.27 WIB).
______________________. “Chairman’s Statement of the 10th ASEAN Summit
Vientiane, 29 November 2004”, dalam http://www.asean.org/news/item/chairman-s-
statement-of-the-10th-asean-summit-vientiane-29-november-2004 (diakses pada 8
Maret 2015 pukul 10.13 WIB).
______________________. “Consultations Jakarta TFAMW Book Launch and
Public Forum (National) Tuesday, Feb 16, 2010”. Dalam “Declaration of
ASEAN Concord II (Bali Concord II)”, dalam
http://www.asean.org/news/item/declaration-of-asean-concord-ii-bali-
concord-ii# (diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 14.48 WIB).
______________________. “Guidelines on the Accreditation of Civil Society
Organisations (CSOs)”, dalam http://www.asean.org /images/2012/

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


173

documents/Guidelines%20on%20Accreditation %20of%20 CSOs.pdf


(diakses pada 17 Mei 2015 pukul 10.37 WIB).
______________________. “Statement of the Establishment of the ASEAN
Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers”, dalam
http://www.asean.org/communities/asean-political-security-community/item/statement-of-
the-establishment-of-the-asean-committee-on-the-implementation-of-the-asean-
declaration-on-the-protection-and-promotion-of-the-rights-of-migrant-workers (diakses
pada 8 Maret 2015 pukul 11.22 WIB).
______________________. Piagam Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(Terjemahan). Dalam http://www.asean.org/archive/AC-Indonesia.pdf
(diakses pada 17 Mei 2015 pukul 14.48 WIB).
_________________.“The ASEAN Declaration (Bangkok Declaration)
Bangkok, 8 August 1967”, dalam http://www.asean.org/news/item/the-
asean-declaration-bangkok-declaration# (diakses pada 12 Oktober 2014
pukul 14.32 WIB).
The Asian Partnership for the Development of Human Resources in Rural Asia
(AsiaDHRRA). “ASEAN+Civil Socieety Conference (ACSC-3)”. 2-4
November 2007, Peninsula Excelsior, Singapore. Dalam
http://asiadhrra.org/wordpress/wp-content/uploads/2007/11/acsc-3-
program-oct30.doc (diakses pada 25 April 2015 pukul 15.57 WIB).
The Habibie Center. “Migrant Workers Rights, The AEC 2015 and Free
Movement of Labor: Case Studies of Indonesia and the Philippines”.
ASEAN Studies Program Briefs Volume I No.3 April 2014. Jakarta: The
Habibie Center.
The United Nations. “The Universal Declaration of Human Rights”, dalam
http://www.un.org/en/documents/udhr/ (diakses pada 18 Oktober 2014
pukul 15.45 WIB).
_________________. International Migrant Day: 18 December”. Dalam
http://www.un.org/en/events/migrantsday/index.shtml (diakses pada 28
April 2015 pukul 20.27 WIB).
UN Women. “Factsheet briefing on gender issues in migration and urbanization
as they relate to poverty” (Bangkok, 2011), dalam http://www.unwomen
eseasia.org/Vietnam/docs/GCGenderFactsheet021211.pdf (diakses pada
2 Mei 2015 pukul 10.41 WIB).
____________. “Factsheet: Lao People’s Democratic Republic”, (2012), dalam
http://www.unwomen-eseasia.org/docs/factsheets/04%20Lao%20PDR%
20 factsheet.pdf (diakses pada 2 Mei 2015 pukul 11.01 WIB).
UN Women Asia Pacific Regional Office. (2013). Managing Labor Migration in
ASEAN: Concerns for Women Migrant Workers. Bangkok: UN Women
Asia Pacific Regional Office.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


174

UNESCAP. Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2011, (Bangkok,
2011), hlm.15, dalam
http://www.unescap.org/stat/data/syb2011/ESCAP-sy b 2011.pdf
(diakses pada 1 Mei 2015 pukul 08.06 WIB).
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. (2010). International Relations Theory.
New York: Pearson.
Wawancara dengan Adisorn Kerdmongkol, aktivis Migrant Working
Group (MWG) Thailand, 6 Mei 2015.
Wawancara dengan Angeline Shannan, Akvitis Aliran Kesedaran Negara
(ALIRAN) Malaysia, 27 April 2015.
Wawancara dengan Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager, Asian
Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA), 3 Juni
2015 .
Wawancara dengan Ben Perkasa Drajat, Wakil Duta Besar Indonesia untuk
Jepang, 20 Mei 2015.
Wawancara dengan Brahm Press, aktivis Mekong Migration Network, Thailand,
14 Mei 2015.
Wawancara dengan Guntur Witjaksono, Direktur Penempatan Tenaga Kerja
Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Republik
Indonesia, 2 Juni 2015
Wawancara dengan Kun Wardana Abyoto, Direktur UNI Global Union Asia dan
Pasifik (UNI-APRO), 19 Mei 2015.
Wawancara dengan Navuth YA, Executive Director CARAM Cambodia, 1 Mei
2015.
Wawancara dengan Pitchanuch Supavanich, Senior Officer – Social Welfare,
Women, Labour, and Migrant Workers Division, ASEAN Socio-Cultural
Community (ASCC) Department, The ASEAN Secretariat, 15 Mei 2015.
Wawancara dengan Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif HRWG, Indonesia, 7
Mei 2015.
Wikileaks. “MYANMAR/ASEAN/THAILAND- Burmese Activist Awaits
Ruling on Asean Meeting”, dalam https://wikileaks.org/gifiles/docs/
16/1659624 _myanmar-asean-thailand-burmese-activist-awaits-ruling-
on.html (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 13.29 WIB).
Work Plans of the Subsidiary Bodies of the Asean Senior Labour Meeting
(SLOM). 2012. The ASEAN Secretariat.
Working Group for an ASEAN Human Rights Mechanism. “Fifth Workshop on
an ASEAN Regional Mechanism on Human Rights Kuala Lumpur,
Malaysia 29-30 June 2006”, dalam http://aseanhrmech.org/
downloads/5th%20WS%20Summary%20of%20Proceedings.pdf (diakses
pada 8 Maret 2015 pukul 10.00 WIB).
Yap, Swee Seng. “Reflection on the Winding Road to ASEAN Human Rights
Mechanisms”, hlm 174-175. Dalam http://www.taiwanhrj.org/get/

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


175

2014012817161363.pdf/THRJ_2_2_yap.pdf (diakses pada 3 April 2015


pukul 10.04 WIB).
Yee, Hew Lee. “Illegal Workers in Malaysia: Ho Much Do You Know About
The Dilemma?” dalam http://says.com/my/news/illegal-workers-in-
malaysia-how-much-do-you-know-about-the-dilemma (diakses pada 19
April 2015 pukul 10.25 WIB).
Yong, Ong Keng. “’Growth, Employment, and Decent Work,’ remarks at Asian
Employment Forum” dalam www.aseansec.org/20826.htm. (diakses pada
1 Mei 2015 pukul 08.09 WIB).

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


176

LAMPIRAN
TRANSKRIP WAWANCARA

Narasumber : Kun Wardana Abyoto, Direktur UNI-APRO


Hari/Tanggal : Selasa, 19 Mei 2015
Keterangan : Wawancara langsung di Starbucks, Cilandak Town Square, Jakarta pukul
23.00-00.30 WIB

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana sejarah keterlibatan UNI-APRO dalam Task Force on
ASEAN Migrant Workers (TF-AMW)?
Kun Wardana Abyoto: TF-AMW dibuat untuk meningkatkan partisipasi CSO dalam tata
kelola migrasi. Jejaring ini menjalin komunikasi dengan CSO di setiap negara. Jadi, ada
pertemuan di tingkat nasional dan pertemuan di tingkat regional. Dalam pertemuan tersebut
tidak jarang juga diundang para perwakilan dari pemerintah. Setiap pertemuan tersebut
menghasilkan position paper atau national statement yang kemudian dikompilasi menjadi
sebuah rekomendasi regional untuk disampaikan dalam SLOM.

Kun Wardana Abyoto: Kalau struktur ASEAN sudah tahu kan?


Agung Setiyo Wibowo: Ya sudah.

Kun Wardana Abyoto: Jadi, khusus untuk buruh migran itu berada dalam pilar Sosial-Budaya
ASEAN. Pintu bagi serikat pekerja atau CSO ya berada dalam pilar ini. Kepada siapa kita
berhubungan, dalam pilar itu ada ALMM (ASEAN labour Ministerial Meeting) yang di
bawahnya lagi ada SLOM (Senior Labor Official Meeting), yang di bawahnya lagi ada empat
kelompok kerja yaitu 1) Senior Labour Officials Meeting Working Group on Progressive Labour
Practices to Enhance the Competitiveness of ASEAN (SLOM-WG), 2) ASEAN Committee on the
Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of
Migrant Workers (ACMW), 3) ASEAN Occupational Safety and Health Network (OSHNET), dan
4) SLOM Working Group on the HIV Prevention and Control in the Work Place.
Agung Setiyo Wibowo: O o, ya ya ya . . .

Kun Wardana Abyoto: Untuk kelompok kerja Buruh Migran ini ada forum tahunan yang
bernama AFML. Nah, bagusnya AFML ini bertemulah perwakilan TF-AMW, CSO, serikat
pekerja, pemerintah, dan pengusaha. Jadi, lengkap begitu ya. Karena semua komponen yang
terlibat dalam isu buruh migran terlibat di situ. Pertemuan kemarin itu diadakan di Naypidaw
Myanmar yang isunya memang dari tahun ke tahun. Apa ya, setiap tahun bisa dikatakan
merupakan progress dari tahun sebelumnya. Tahun sebelumnya Brunei kan. Sudah tahu
agenda yang dibahas di pertemuan (AFML) kemarin?
Agung Setiyo Wibowo: Belum
Kun Wardana Abyoto: Atau juga pembuatan database buruh migran. Karena selama ini
kalangan CSO tidak mendapatkan akses, maka dibahas mengenai solusinya.

Kun Wardana Abyoto: Sudah tahu tentang UNI APRO?


Agung Setiyo Wibowo: Sudah.

Kun Wardana Abyoto: Jadi, UNI APRO ini merupakan serikat pekerja. Ada perbedaan serikat
pekerja dengan NGO. Serikat pekerja memiliki struktur. Mereka memiliki kekuatan yaitu
anggota yang hidup dari iuran. UNI merupakan kumpulan serikat pekerja di sektor jasa.
Serikat pekerja ini dibagi berdasarkan sektor industi jasa, metal, jurnalis, guru, dll. UNI ini
sektor jasa yang ada sembilan sektor di bawahnya seperti perbankan, media, dll. Jadi,
campuran blue color dan white collar (educated dan uneducated).
Kita menjadi bagian dari TF-AMW karena kita melihat pentingya serikat pekerja dalam
kebijakan migrasi ASEAN. Organisasi ini besar karena merupakan kumpulan dari 10 negara
yang lebih besar dari Uni Eropa. Ini besar karena China, Jepang, Korea Selatan juga gabung

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


177

(ASEAN+3). Jangan sampai pertumbuhan ekonomi tak disertai dengan pemerataan. Isu
penting dari UNI adalah migrasi karena dalam konteks MEA skill labor maupun unskilled
dapat berpindah. Oleh karena itu, kita merasa terpanggil dalam jaringan ini.
Di kegiatan tingkat nasional. Misalnya, Indonesia. UNI kan memiliki jaringan di enam negara
ASEAN. Di Indonesia ini yang aktif ASPEK. Di tingkat nasional ini, berkumpullah serikat pekerja
dan CSOs. Jadi, ada juga kelompok JARI yang aktif dalam advokasi buruh migran.

Agung Setiyo Wibowo: Awal mula bergabung dengan TF-AMW seperti apa?
Kun Wardana Abyoto: Sejarah berdirinya TF-AMW ya Sinapan Samydorai. Saya bisa
menjelaskan secara general. Jadi, seluruh negara anggota Asia Tenggara yang kantornya di
Sekretariat ASEAN. Sinapan sebagai convenor diminta untuk melakukan koordinasi di tingkat
nasional dan regional untuk memberikan masukan dari kalangan NGOs.

Agung Setiyo Wibowo: Yang minta siapa? Ong Keng Yong (mantan Sekretaris Jenderal
ASEAN)?
Kun Wardana Abyoto: Saya tak berani memberitahu mana yang benar. Sepengetahuan saya
yang minta adalah ASEAN Secretariat. Jadi, posisi Sinapan di sini sangat tinggi karena dia
memiliki wewenang untuk bertemu dengan perwakilan Sekretariat ASEAN, kementerian dll.
Tapi Sinapan juga lebih senang dan dekat dengan CSOs (begitu juga dengan posisi). Mengenai
funding, mereka cari sendiri.

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana keterlibatan UNI-APRO dalam TF-AMW. Apakah diminta
atau mengajukan diri?
Kun Wardana Abyoto: Sebenarnya keduanya. Karena pada waktu itu kita sebenarnya juga
memang berniat untuk bergabung, akan tetapi secara bersamaan kita juga ditunjuk. Dengan
partisipasi kita maka jejaring ini sangat kuat karena UNI-APRO merupakan kumpulan serikat
pekerja terbesar di dunia. Oleh karena itu, di ASEAN ini kita membentuk ASETUC. Kebetulan
saya merupakan salah satu direkturnya.
ASETUC ini merupakan gabungan dari tiga konfederasi yaitu UNI APRO, PWI, BCI sejak 2008.
Dalam forum ini kita memiliki Regional Social Dialogue. Jadi, kita mengharapkan ada
pertemuan tripartit yang terdiri dari serikat pekerja, pengusaha dan pemerintah. Setiap tahun
kita aktif mengikuti kegiatan-kegiatan ASEAN yang terkait dengan buruh migran. Misalnya,
tahun ini Ketua ASEAN merupakan Malaysia. Jadi, kita serikat pekerja kita di sana yang aktif.
Begitu juga tahun sebelumnya di Myanmar. Yang unik itu di Brunei karena di sana hanya ada
satu serikat pekerja yang itu pun digerakkan oleh Shell. Tapi pemerintah Brunei menerima
kita.
Jadi host dalam dialog ini merupakan ASETUC dan kementerian dari negara yang menjadi
tuan rumah. Kalau di Brunei Kementerian Tenaga Kerja tidak ada, jadi pertemuan ini di bawah
Kementerian Dalam Negeri. Jadi, sifatnya komisioner.

Agung Setiyo Wibowo: Program apa saja yang dimiliki UNI-APRO untuk mendukung misi
TF-AMW?
Kun Wardana Abyoto: Yang lebih berperan ASETUC. Karena UNI-APRO fokusnya di Asia
Pasifik. Di ASETUC ini ada satu hal yang menarik yaitu bagimana union dan union partnership
dapat membantu pekerja migran. Misalnya di Indonesia ada ASPEK. Bagusnya UNI-APRO
memiliki secretariat di setiap negara. Jadi, kita memanfaatkan secretariat tersebut untuk
membantu masalah migran. Kita kuatkan secretariat dalam jaringan UNI-APRO ini di
Indonesia karena masalahnya di Malaysia, Singapura, atau Brunei yang merupakan penerima
pekerja migran amat sulit untuk mewujudkan serikat pekerja migran. Jadi, para pekerja
Indonesia yang ada di negara itu jika ada masalah dapat datang ke secretariat itu. Contoh
yang efektif yaitu secretariat di Malaysia. Pada krisis financial 1997/1998, para pekerja
migran terbantu dengan teman-teman di UNIMIG. Ini yang dinimakan kemitraan antara
Union.

Agung Setiyo Wibowo: Apakah musyawarah nasional yang diagendakan TF-AMW efektif?
Kun Wardana Abyoto: Dalam AFML ini ada banyak agenda. Nah, national consultation itu
memutuskan agenda apa yang akan dibahas dalam AFML. Jadi, tidak semua isu dibahas. Akan

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


178

tetapi isu-isu yang akan dibawa dalam AFML karena dalam pertemuan ini hadir perwakilan
dari 10 negara anggota ASEAN. TF-AMW inilah yang menyelenggarakan.

Agung Setiyo Wibowo: Dalam buku TF-AMW dituliskan bahwa instrumen diharapkan
untuk diadopsi ASEAN pada tahun 2010, akan tetapi ada deadlock. Namun sampai saat ini
TF-AMW terus gigih memperjuangkan misinya. Bagaimana menurut Anda?
Kun Wardana Abyoto: Tidak semua rekomendasi harus diadopsi. Karena pemerintah yang
pada akhirnya menentukan. Misalnya walaupun ada 3 atau 10 rekomendasi yang diadopsi itu
ialah pencapaian. Jaringan TF-AMW di setiap negara diharapkan dapat melobi pemerintahnya
jika regional consultation tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tugas TF-AMW lah yang
membantu penguatan lobi dari setiap anggotanya di masing-masing negara.

Agung Setiyo Wibowo: Indikator keberhasilan TF-AMW seperti apa?


Kun Wardana Abyoto: Tergantung kesepakatan teman-teman CSO terkait mana yang harus
diprioritaskan. Yang paling aktif ialah CSOs dari negara pengirim yaitu Indonesia dan Filipina.

Agung Setiyo Wibowo: TF-AMW menginginkan instrumen itu legally binding?


Kun Wardana Abyoto: Bergantung dengan kesepakatan SLOM dan ALMM. Tapi ini masih a
lot, tapi memang perjuangannya mengarah ke sana. AICHR saja yang anggotanya aktif juga
masih a lot.

Agung Setiyo Wibowo: apakah dana menjadi masalah serius?


Kun Wardana Abyoto: ya

Agung Setiyo Wibowo: AFML yang paling diandalkan oleh TF?


Kun Wardana Abyoto: Dalam pertemuan di Naypidaw. ATUC yang berbasis nasional-center
(ASPEK kalau di Indonesia) mempertanyakan definisi tripartite (serikat pekerja, pengusaha
dan pemerintah yang tak melibatkan CSOs). TF ingin semua pihak terlibat karena orang-orang
yang hebat dalam isu buruh migran justru datang dari kalangan NGO. Kekuatan struktur dan
intelektualitas. Pertemuan ini a lot karena ATUC tak menginginkan CSOs terlibat. Mereka tak
ingin CSOs terlibat dalam pengambilan keputusan. Biasanya CSOs ada jika Serikat Pekerja
tidak ada. TF hanya memberikan masukan, dan tak berwenang mengambil keputusan

Agung Setiyo Wibowo: Selain AFML apakah ada forum lain yang diikuti UNIAPRO untuk
mendukung misi TF-AMW?
Kun Wardana Abyoto: National consultation. Jaringan TF-AMW juga ikut dalam kegiatan
yang diadakan oleh Migrant Forum in Asia. UNI APRO juga mengikuti ACSC/APF. Tak ikut
Interaface Meeting karena harus ada persetujuan Host Countries. Biasanya orang-orang senior
seperti Rafendi yang diperbolehkan ikut.

Agung Setiyo Wibowo: Harusnya instrumen selesai 31 Desember 2015. Apakah TF-AMW
push banget ke ASEAN agar instrumen disetujui?
Kun Wardana Abyoto: Semua agenda dalam SLOM sudah diatur. Termasuk mau mengadopsi
instrumen ini atau tidak. Jika ada organisasi yang akan diakreditasi, ASEC mengusulkan tapi
yang memutuskan seluruh pemerintah nasional negara-negara ASEAN. Jika ada satu negara
yang tidak setuju, maka tidak dapat disepakati. Itu kelemahannya karena sistem musyawarah
untuk mencapai mufakat. Bukan berdasarkan mayoritas, tapi semua suara harus sama. Tapi
seringkali ada lobi antar perwakilan negara .
Sinapan sampai saat ini terus aktif melobi untuk memperjuangkan diadopsinya instrumen.
Setiap tahun dia bawa instrumen, bergantung atau menyesuaikan dengan isu yang dibahas.

Agung Setiyo Wibowo: Convenor TF-AMW itu Sinapan, tapi operasionalnya FORUM-ASIA?
Kun Wardana Abyoto: Fungsi Convenor itu coordinator tapi punya wewenang untuk melobi
kementerian karena ditugaskan oleh Sekretariat ASEAN. Sinapan ingin Serikat Pekerja terus
terlibat dalam kegiatan TF-AMW. AFML berada di bawah SLOM.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


179

Agung Setiyo Wibowo: ASETUC atau UNI-APRO, apakah ada engagement dengan
pemerintah Indonesia?
Kun Wardana Abyoto: Regional Social Dialogue dan National Tripartite Dialogue (konsep
mirip TF-AMW).
Di regional mitranya ASEAN Confederation of Employeer dan pemerintah yang diwakili SLOM
seluruh negara. Aktif di Kamboja, Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, dan sangat kuat di
Vietnam (ASETUC). Pernah membuat buku yang dipresentasikan di SLOM Vietnam mengenai
studi atau penelitian. ASETUC selalu sertakan rekomendasi dalam setiap studinya. Isu yang
dibawa ASETUC beragam (tidak hanya migrasi) seperti perempuan,hubungan industrial, anak
dll.

Agung Setiyo Wibowo: ASETUC fokus perjuangkan database migran?


Kun Wardana Abyoto: ATUC lah yang bawa isu database migran yaitu ILO-ASEAN Triangle
Project.

Agung Setiyo Wibowo: Jadi, TF-AMW bertemu dengan para anggota jejaring hanya
menjelang AFML?
Kun Wardana Abyoto: Ya, Pre and post AFML meeting. Mereka bertemu sebelum AFML untuk
membuat rekomendasi atau menyusun position paper. Lalu, hasil pertemuan AFML juga
dibawa sebagai bahan diskusi. Biasanya hasil diskusi disebarkan melalui email. Sedangkan
untuk pre-AFML, biasanya ada pertemuan langsung.

Agung Setiyo Wibowo: Apakah TF-AMW punya milis khusus untuk anggotanya?
Kun Wardana Abyoto: Tidak ada milis khusus, tapi komunikasi via email secara umum.

Agung Setiyo Wibowo: Seberapa penting isu migrasi jelang ASEAN Community?
Kun Wardana Abyoto: Sangat penting karena tidak hanya unskilled migration tapi juga
skilled migration yang terkena dampaknya. Kalau migrasi skilled worker kan sekarang ini
sudah biasa seperti fenomena headhunting. Permasalahannya bagaimana cara melindungi
mereka? UNI-APRO di Uni Eropa keluarkan “UNI Passport”, jadi jika migran punya masalah
mereka dapat dilindungi di sekretariat/afiliasi UNI-APRO di negara itu. Di ASEAN, UNI-APRO
canangkan passport serupa. Dalam konteks ASEAN, Indonesia-Malaysia (ASPEK-UNIMC) sejak
2008 juga terapkan hal yang mirip. Migran yang jadi anggota (bayar iuran) serikat jika ada
masalah dapat dibant oleh UNI-APRO. Yang non-anggota diadvokasi terlebih dahulu agar jadi
anggota hehe.

Agung Setiyo Wibowo: Seberapa optimis Bapak sebagai perwakilan Serikat Pekerja dalam
terwujudnya Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran.
Apakah sesuai dengan waktu yang dicanangkan sejalan dengan ASEAN Community?
Kun Wardana Abyoto: Bergantung dengan lobi di tingkat nasional. Kesiapan grassroot
sendiri yang harus diperkuat. Dan juga komunikasi yang kurang intens juga menjadi
hambatan. Saya yakin jika komunikasi dilakukan terus-menerus, akan tercapai.

Agung Setiyo Wibowo: Apakah strategi advokasi TF-AMW terhadap ASEAN terlah cukup
kuat?
Kun Wardana Abyoto: Kalau kita melihat kemajuannya memang tidak cukup bagus. Hanya
saja pastisipasi dari setiap anggota tidak sama. Jika semua anggota aktif, maka jejaring ini
kekuatannya sangat besar. CSOs cukup aktif, tapi serikat pekerja tidak seaktif CSO karena
isunya lebih banyak. Kalau CSOs yang fokus terhadap isu migran kan biasanya lebih intensif.
Tapi, sekarang UNI-APRO mulai aktif untuk isu migrasi yang dimandatkan dalam ASETUC.

Agung Setiyo Wibowo: Apa kendala utama advokasi?


Kun Wardana Abyoto: Pertama, pendanaan. Kedua, partisipasi aktif dari setiap anggota.
Masih banyak anggota yang anggap isu migrasi masih di bawah (bukan prioritas) khususnya
dari kalangan serikat pekerja. Ketiga, Negotiation Skill-nya minim. Karena untuk perkuat
advokasi harus mampu menciptakan awareness dan kemampuan melobi. Seharusnya ada
pelatihan untuk perkuat kapasitas. Maka, di Indonesia dibuat Jaringan Buruh Migran

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


180

Indonesia (JBMI). Selama ini, HRWG-lah yang biasanya aktif untuk membangun awareness ke
NGOs/CSOs lain.
Ada pendanaan di AFML. Jika di setujui pemerintah setempat, peserta yang datang didanai.
Tapi Sinapan yang punya andil merekomendasikan CSO yang terlibat. Government dan ASEC
yang memberi persetujuan. Tapi ASEC pun minta persetujuan pemerintah. Jika pemerintah
yang bersangkutan tak bermasalah, diperbolehkan lebih dari 1 perwakilan/CSOs di AFML dari
setiap negara.

Narasumber : Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager, Asian Forum for Human
Rights and Development (FORUM-ASIA)
Hari/Tanggal : Rabu, 3 Juni 2015
Keterangan : Wawancara langsung di Doubletree Hotel Jakarta pada 17.00 -18.00 WIB

Agung Setiyo Wibowo: Seperti yang kita ketahui SAPA memiliki beberapa misi seperti SAPA
Task Force on ASEAN and Human Rights, SAPA Task Force on Burma, dll. Dari sejumlah
dokumen yang saya baca ditemukan bahwa SAPA Task Force on ASEAN Migrant Workers
yang diketuai oleh Sinapan Samydorai, dibantu oleh FORUM-ASIA sebagai administrator
yaitu Financial Manager ya. Apakah benar demikian?
Atnike Sigiro: Ya, kita (FORUM-ASIA) hanya berperan sebagai hosting organization. Kalau
proyek langsung TF-AMW yang menanganinya. Karena ia tak bisa menerima dana langsung
terkait statusnya sebagai jejaring yang tak berbadan hukum. Tahu dari mana mengenai
FORUM-ASIA dan TF-AMW?

Agung Setiyo Wibowo: Dulu waktu saya masih duduk di bangku S1 saya pernah bertemu
dengan beberapa aktivis FORUM-ASIA, di antaranya Yap Swee Seng.
Atnike Sigiro: Di mana bertemunya?

Agung Setiyo Wibowo: Di Bangkok


Atnike Sigiro: Dulu kamu di Bangkok?

Agung Setiyo Wibowo: Ya, dulu saya pernah mengikuti Konferensi Internasional HAM Asia
Tenggara pertama yang diadakan oleh Universitas Mahidol, Bangkok.
Atnike Sigiro: Pernah bertemu langsung dengan Sinapan Samydorai?

Agung Setiyo Wibowo: Belum pernah. Walaupun saya telah beberapa kali menghubungi
melalui email. Akan tetapi belum berhasil menemuinya secara langsung karena sepertinya
beliau sangat sibuk.
Atnike Sigiro: Beberapa minggu lalu dia ke Jakarta.

Agung Setiyo Wibowo: O ya?


Atnike Sigiro: Ya

Agung Setiyo Wibowo: Tanggal 20-an Mei 2015?


Atnike Sigiro: Ya

Agung Setiyo Wibowo: Yang acara di Hotel Ritz-Carlton?


Atnike Sigiro: Ya

Agung Setiyo Wibowo: Jadi FORUM-ASIA hanya berperan sebagai penampung dana?
Atnike Sigiro: Ya, kita dulu hosting organization. Sekarang sudah tidak. Saya tidak tahu persis
kapan, namun sepertinya 2010-2013. Tapi, sampai sekarang kita masih berinteraksi karena
mereka merupakan salah satu jaringa SAPA.

Agung Setiyo Wibowo: Jadi ibu terlibat dalam musyawarah nasional yang merupakan
strategi Task Force on ASEAN Migrant Workers?

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


181

Atnike Sigiro: Tidak. Itu langsung urusan mereka. Karena kita hanya advokasi HAM secara
umum. Kita lebih berkoordinasi saja dengan dukungan seperlunya. Yang leading ya mereka
sendiri.

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana level koordinasi antara FORU-ASIA dan TF-AMW?
Apakah sporadis?
Atnike Sigiro: Kita punya annual meeting. Setidaknya setahun sekali ada update mengenai
apa yang mereka lakukan selama setahun. Juga mendiskusikan atau merencanakan setahun ke
depan apa poin kerjasamanya. Untuk isu migran mereka yang leading.
Agung Setiyo Wibowo: Saya juga ingin mengklarifikasi jika salah. SAPA kan punya beberapa
misi advokasi seperti yang saya sebutkan tadi. Tapi, TF-AMW yang saya baca justru didorong
oleh Ong Ke Yong. Apakah benar?
Atnike Sigiro: Saya kurang tahu itu karena berlangsung jauh sebelum saya masuk FORUM-
ASIA. Kamu bisa tanya langsung ke Sinapan Samydorai atau Yap Swee Seng.

Agung Setiyo Wibowo: Apakah ibu pernah mengikuti APF/ACSC?


Atnike Sigiro: Pernah

Agung Setiyo Wibowo: Itu kan ada sesi Interface Meeting?


Atnike Sigiro: Ya. Hubungannya dengan ini?

Agung Setiyo Wibowo: TF-AMW menggunakan ini untuk menyampaikan aspirasinya.


Atnike Sigiro: Kayaknya utk Interface Meeting, gak punya pengaruh. Kalau statement kan itu
hasil konferensi. Tapi TF-AMW memang selalu ada di forum itu. Dan pada APF selalu
disebutkan isu migran. Dalam Interface Meeting, mereka kurang terdengar atau berperan.
Mereka lebih berperan di AFML.

Agung Setiyo Wibowo: Apakah FORUM-ASIA juga berpan di AFML?


Atnike Sigiro: Tidak pernah.

Agung Setiyo Wibowo: Selain annual meeting, apakah FORUM-ASIA punya program atau
proyek bareng untuk bantu perjuangkan misi TF-AMW?
Atnike Sigiro: Ya kalau dibilang membantu ya kita selalu bekerjasama. Cuma memang kita
tidak khusus mengerjakan instrumen. Tapi kita mendukung apa yang mereka perjuangkan
meskipun secara spesifik tidak. Kita sediakan space, selalu mengundang mereka untuk
berpartisipasi sebagai salah satu pemangku kepentingan. Jadi, mereka bisa bicara di situ. Kita
tak ikut proses buat draf.

Agung Setiyo Wibowo: FORUM- ASIA kan punya beberapa misi. Secara umum, seberapa
efektif advokasi FORUM -ASIA ke ASEAN?
Atnike Sigiro: Ukurannya seperti apa?

Agung Setiyo Wibowo: Ya memang sulit ya untuk mengukurnya hehe


Atnike Sigiro: Aku tak bisa menilai. Yang jelas FORUM-ASIA selama ini selalu mendorong agar
nilai-nilai HAM terus diterima dalam struktur atau kebijakan-kebijakan di ASEAN. Salah
satunya adalah dalam mekanisme HAM ASEAN seperti AICHR dan ACWC agar mereka dapat
berperan dalam memperkuat mekanisme perlindungan HAM di ASEAN. Karena konsep HAM di
ASEAN dapat dikatakan baru saja diterima. Penerimaannya pun masih minimal dibandingkan
dengan konsep HAM universal. Kita berusaha agar ASEAN makin menerima HAM.

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana respon ASEAN? Apakah hanya sekedar mendengarkan?
Atnike Sigiro: Saya tak bisa mengukur ya. Kalau komunikasi mereka terbuka, terutama
ASEAN Secretariat. Tapi untuk penerimaan secara institusional menurut saya ASEAN secara
umum masih berjarak. Karena posisi masyarakat sipil masih marginal. Misalnya di forum-
forum pemerintah, massyarakat sipil belum menjadi stakeholder tetap. Jadi, tergantung
hubungan institusi dan individu. Tidak seperti UN yang memungkinkan masyarakat sipil dapat

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


182

menjadi stakeholder tetap. Engagement dengan CSO di ASEAN memang ada, tapi sifatnya tak
terbuka. Jika diukur dari kebijakan atau struktur organisasi, CSO belum didengar ya.

Agung Setiyo Wibowo: FORUM- ASIA dan jaringan SAPA selama ini apakah advokasi
mereka hanya melalui ACSC/APF?
Atnike Sigiro: Ia hanya annual meeting yang rutin. Namun, tidak hanya itu karena kita juga
aktif dala advokasi AICHR. Mengingat hubungan antara AICHR dan masyarakat sipil masih
berjarak, kita tak mudah berikan aspirasi karena tidak ada ruang.

Agung Setiyo Wibowo: Jadi, ASEAN masih memandang kelompok masyarakat sipil sebelah
mata?
Atnike Sigiro: ASEAN bukan memandang sebelah mata atau meremehkan. Tapi, mereka takut,
curiga, atau tidak suka terhadap CSO. Justru dengan itu mereka tak pandang sebelah mata,
namun justru khawatir karena mungkin dianggap dapat merusak tatanan pemerintah atau
ASEAN. Mereka juga belum percaya bahwa CSO itu penting untuk kemajuan ASEAN. Mereka
anggap CSO sebagai faktor pengganggu.

Agung Setiyo Wibowo: Karena SAPA memiliki beberapa jaringan, apakah mengundang
semua anggota jejaring dalam pertemuan tahunan?
Atnike Sigiro: Ya, tentu. Kita undang berkala. Tapi partisipasi mereka naik turun karena
beberapa hal. Diantaranya project-based. Misalnya untuk advokasi Instrumen buruh migran
sekarang ada deadlock. Isu Burma dulu juga demokrasi sekarang berkembang ke isu
Rohinginya dll. SAPA tujuannya menjadi platform untuk CSO engagement dengan ASEAN
intinya.

Agung Setiyo Wibowo: Apakah ada milestone signifikan dalam engagement FORUM-ASIA
dengan ASEAN?
Atnike Sigiro: Tak ada ya. Karena untuk ASEAN tak ada target khusus. Tapi ada target untuk
AICHR. Mekanisme HAM saja.

Agung Setiyo Wibowo: Kerangka Acuan AICHR hanya memungkinkan untuk pemajuan
HAM. Seberapa optimis bahwa AICHR dapat meningkatkan perlindungan HAM?
Atnike Sigiro: Optimis sih nggak. Tapi ini PR yang berproses panjang, tak langsung bisa dilihat
hasilnya.

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana ASEAN sebagai organisasi regional pandang HAM?
Atnike Sigiro: Penerimaan secara normative mulai makin diterima. Tapi sisa karakter ASEAN
yg sangat government-centric masih kuat. Sepertinya belum sungguh-sungguh menerima HAM
fully. Masih ada ‘reservasi’ untuk CSO.

Agung Setiyo Wibowo: Apakah prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat menghambat
atau mendukung CSO Engagement terhadap ASEAN?
Atnike Sigiro: Menghambat. Karena dalam isu pelanggaran HAM itu aktornya negara. Tak
mungkin negara melakukan konsensus jika ada pelanggaran dong.

Agung Setiyo Wibowo: Apalagi sebagian besar anggota Komisi HAM Antarpemerintah
ASEAN belum independen kan?
Atnike Sigiro: Itu tak mungkin terjadi konsensus karena suara (anggota komisi dari latar
belakang CSO) kalah. Harusnya mereka independen. Kalau komisionernya tak percaya CSO
atau HAM bagaimana?

Agung Setiyo Wibowo: Apakah ada pengalaman buruk CSO engagement ke ASEAN? Diusir
misalnya.
Atnike Sigiro: Tak ada. Karena kita selalu secara engagement secara formal. Tapi intinya tak
mudah untuk dapatkan space berdialog.

Agung Setiyo Wibowo: Sulit tapi masih memungkinkan?

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


183

Atnike Sigiro: Ya, harus bermanuver dulu. Mereka tak institutionalized. Kalau
institutionalized kan jelas prosedurnya. Nah ini sekarang AICHR punya guideline baru untuk
diadopsi (mengenai hubungan CSO). Namun penerjemahannya belum tahu. Selama ini mereka
terbuka tapi tak ada prosedur. Misal ada pelanggaran HAM, mereka tak pernah membalas
atau menindaklanjuti.

Agung Setiyo Wibowo: Space kan minim berarti masih ada?


Atnike Sigiro: Di tingkat nasional seperti Indonesia dan Thailand masih ada. Di regional masih
terbatas. Beberapa CSO ditolak oleh komisionernya sendiri seperti Kamboja. Mereka tak
pernah dilayani.

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana Indonesia?


Atnike Sigiro: Terbuka. Mereka welcomed.

Agung Setiyo Wibowo: Tapi tak ada follow up?


Atnike Sigiro: Kan keputusannya di ASEAN. Misalnya kita bawa isu Rohingiya di AICHR. Tapi
ditolak satu negara saja tak mungkin dibahas. Tak bisa HAM itu pakai konsensus. Bagus sih
konsensus jika semuanya sadar hehe. Tapi mana mungkin konsensus jika ada satu negara yang
diprotes dunia internasional karena pelanggaran HAM?

Agung Setiyo Wibowo: Secara struktural SAPA itu loose network?


Atnike Sigiro: Ya loose itu artinya tak ada enforcement.

Agung Setiyo Wibowo: Voluntary-based? Tak ada peraturaturan yang ketat?


Atnike Sigiro: Bukan itu, tapi spirit yang kita bangun misalnya hubungan CSO dengan negara,
independensi CSO. Kita tak wakili kepentingan pemerintah meskipun kita menerima donor.
Kita sering dikritik bahwa donor kita dari negara lain. Tapi kan mereka tak bisa setir kita.
Maunya ASEAN tak mau dikritik. Aturan di SAPA adalah bagaimaa kita membangun spirit.

Agung Setiyo Wibowo: Convenor hanya koordinir?


Atnike Sigiro: Ya, koordinir. Kalau perlu menjaring resource untuk memastikan advokasi yang
diperjuangkan. Seperti peran FORUM-ASIA dalam SAPA. Kita berkomitmen untuk perkuat
advokasi. Koordinir kan juga perlu kegiatan.

Agung Setiyo Wibowo: Jadi tak ada kantor?


Atnike Sigiro: Kita hanya punya sekretariat. Virtual malah. Tapi bukan berarti SAPA
kantornya di FORUM-ASIA.

Agung Setiyo Wibowo: Virtual? Lebih andalkan internet seperti email?


Atnike Sigiro: Ya. Apalagi secara geografis Asia Tenggara kan sangat luas.

Agung Setiyo Wibowo: Pemilihan convenor bagaimana?


Atnike Sigiro: Bisanya setiap tahun sekali. Tapi menyesuaikan. Misalnya ada beban berlebih di
satu organisasi, kita mundur secara sukarela. Saling pengertian antar anggota. No voting.

Agung Setiyo Wibowo: Cakupan dan misi FORUM-ASIA kan tidak hanya ASEAN. Jadi,
apakah Asia Tenggara jadi prioritas?
Atnike Sigiro: Kita punya program khusus untukk ASEAN. Kita ada misi untuk UN, Uni Eropa
dan country program.

Agung Setiyo Wibowo: Keberadaan ASEAN People’s Center untuk memudahkan advokasi
ke ASEAN?
Atnike Sigiro: Kita tutup itu karena satu dan lain hal. FORUM-ASIA belum bisa gunakan
format itu.

Agung Setiyo Wibowo: Seberapa optimis FORUM-ASIA sambut Masyarakat ASEAN yang
katanya dimulai per 31 Desember 2015?

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


184

Atnike Sigiro: Menurut saya itu normative, karena hanya pada level government.

Agung Setiyo Wibowo: Jadi slogan people-oriented atau people-centered belum diterapkan
ya?
Atnike Sigiro: Ya buktinya msyarakat belum nikmati. Yang mulai merasakan komunitas bisnis
dan pemerintah ya. Cek aja ke masyarakat awam apa itu ASEAN, apa sih manfaat ASEAN
untuk hidup mereka. Jika mereka tak tahu, berarti ya tak ada relevansi. Tak usah ke orang
awam, mahasiswa coba tanya. Mungkin mereka tahu ada ASEAN, tapi tak mengerti apa
manfaat ASEAN.

Agung Setiyo Wibowo: Apa Deklarasi Ham sudah mewakili aspirasi CSO?
Atnike Sigiro: Kalau gitu baca laporan kita (FORUM-ASIA) saja.

Agung Setiyo Wibowo: Jadi, secara struktural tak ada hubungan antara FORUM-ASIA dan
TF-AMW?
Atnike Sigiro: Kalau secara birokrasi tak ada ya. Tapi ada jaringannya.

Agung Setiyo Wibowo: Tapi TF-AMW dianggap sebagai jaringan SAPA?


Atnike Sigiro: Ya. Sapa itu jaringan dari jaringan. TF-AMW itu kan jaringan yang saling
berjejaring ya.

Agung Setiyo Wibowo: Jadi, saling berjejaring?


Atnike Sigiro: Ya, kayak benang kusut.

Narasumber : Angeline Shannan, Akvitis Aliran Kesedaran Negara (ALIRAN) Malaysia


Hari/Tanggal : Senin, 27 April 2015
Keterangan : Wawancara melalui surat elektronik

Agung Setiyo Wibowo: How strong the coordination/cooperation between Aliran and Task Force
on ASEAN Migrant Workers from 2006 to 2010 and 2010 to present?
Angeline Shannan: In 2006, Aliran was invited to join the Task Force of ASEAN CSOs to draft a
Proposed Framework Instrument for the Protection and Promotion of the rights of Migrant
Workers. Aliran closely cooperated with the CSO TF-AMW and diligently helped and contributed
to the drafting of this document, including attending meetings in Bangkok, to its completion over
the 4 years. Since 2009 -10, there has been a gradual reduction of Aliran's participation and
involvement with the TF-AMW due to many factors, including our shortage of labor and funding.

Agung Setiyo Wibowo: Did Aliran has coalition/network in Malaysia to support the TF-AMW
mission? How strong? Please mention the list of NGOs/CSOs in the coalition of Aliran in this
context!
Angeline Shannan: At that time, although there were church groups and other civil society
organizations advocating for and working with migrant workers, few showed interest in working
on a regional level with other ASEAN CSOs. The CSOs that showed interest were mainly based in
Kuala Lumpur e.g. Tenaganita, CARAM Asia and some unions under the Malaysian Trade Unions
Congress, besides Aliran. Sorry, I can't remember the exact names of those trade unions. Aliran is
based in Penang.

Agung Setiyo Wibowo: What were the activities of Aliran to support the TF-AMW mission from
2006 to 2010 and 2010 to present (e.g.: campaign, seminar, conference, lobby, protest,
advocacy)? Please explain those activities!
Angeline Shannan: Aliran is a social reform NGO that mainly provides analysis of social justice
situations from a political perspective. We supported the work of the CSO TF-AMW by helping to
draft the proposed framework instrument and making media statements on migrant worker

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


185

issues, endorsing media statements of coalitions advocating migrant worker and human rights,
and giving support to campaigns on migrant and human rights. Most of our work is done via our
website at http://aliran.com where we publicized these issues. Now, we also have a presence on
social media sites like Facebook and Twitter. We continue to publicize and raise awareness
through this medium, as well as contribute to work on migrants and refugees as far as possible.
Aliran members also work with the Penang Stop Human Trafficking Campaign on human
trafficking and slave labor issues.

Agung Setiyo Wibowo: Malaysia National Consultation on the Protection and Promotion of the
Rights of Migrant Workers was held in Shah Alam on 13-14 August, 2008. In your opinion, was
this activity effective?
Angeline Shannan: In my view, it was less effective than it could have been. As far as I remember,
there was an exchange of views and questions asked, but no concrete commitment, especially
from government ministries like the Human Resource Ministry, that frequently referred
responsibility for migrant workers to the Home Affairs Ministry. The whole issue of migrant
workers is seen as a national security issue, rather than one dealing with labor as a whole. There
are other related issues like access to health care, costs of medical treatment, housing,
occupational safety, right to unionize, right to redress for work related injustice etc. that are still
unresolved and continue to challenge migrant workers.

Agung Setiyo Wibowo: What's Aliran's strategy to push the government of Malaysia to promote
and protect the rights of migrant workers?
Angeline Shannan: In view of the outcome of Asahi Kosei v Charles Hector Fernandez (2011) , and
the current narrowing of free expression on the internet and in the public arena, there is a great
need for migrant workers to work in cooperation with labor and human rights advocates to push
for the protection and promotion of their basic labor and human rights. In support of Aliran's
principles of social justice and social reform, we continue to participate in joint action with other
NGOs and CSOs to campaign and participate in the campaign for human and labor rights by
raising awareness of issues like human and labor trafficking, arrests and detention of migrants
and refugees, monitor government policies pertaining to migrants and refugees, give analysis on
migrant and refugee situations, publish articles and statements on our website relating to
migrants and refugees, facilitating efforts to extend education and help to those in need by
referring them to relevant bodies and civil society groups working and advocating for migrants
and refugees. Aliran is also in the process of engaging with local and state government in Penang
on the issue of the treatment of migrant workers and refugees, in a more direct way by actually
gaining membership of local councils and lobbying elected State Assembly and members of
Parliament on various issues. These efforts have to an extent been effective, as more questions on
these issues have been raised in the State Assembly and Parliament. A recent issue raised in
Parliament related to the increase in hospital charges for foreigners, and the increasing
occurrence of human trafficking in Penang and north of Peninsular Malaysia generally.

Agung Setiyo Wibowo: Please kindly explain the policy of Malaysia in promoting and protecting
the rights of migrant workers!
Angeline Shannan: As far as I am aware, there is no policy for promoting and protecting the
rights of migrant workers, except for existing labor laws that apply to all workers without
distinction. However, the only social security offered by Malaysia to migrant workers comes under
the Workmen's Compensation Act by which migrant workers may receive compensation for work
related injury or death. Migrant workers are also denied the right to join unions and are seen as
short term employees, even if employers renew their contracts for an extended period. Further, as
immigration policy views migrant entry as a national security issue, migrants are not treated as
ordinary immigrants, they are often monitored by security enforcement.

Agung Setiyo Wibowo: What are the Aliran's achievements/success stories in promoting and
protecting the rights of migrant workers? Please mention!

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


186

Angeline Shannan: Real progress in this area has been very difficult with the main challenges
being the negative perception of migrants, created by the mainstream media and the continuing
'use' of migrants as a political 'football' by certain unconscionable parties and politicians, for their
own ends. Saying that, Aliran has done much to exhibit our support and defense of migrant
workers and refugee rights in specific instances, and overall. Aliran was one of the first to raise
the issue of the illegal confiscation of migrant workers passports, which is unlawful under the
Passports Act. Sadly no employer or agent has been prosecuted for doing so, although other civil
society organizations have taken up the issue. Aliran also gave consistent support to Charles
Hector Fernandez when he was sued for RM10 million by the Japanese multinational company
Asahi Kosei. We helped publicize the case and gave updates of developments at court, where, I
was an observer for Aliran. Unfortunately, a seeming result of this case was that the law
pertaining to 'employers', 'recruitment agents' and 'out sourcing' agents (companies) has been
made more confusing and unclear by the government. Migrant workers are now in a worse
position than before and are more easily exploited. Despite that, Aliran will continue our mission
to support and push for social justice and the protection and promotion of human rights for all
workers, regardless of legal and immigration status. Aliran's greatest success is its survival and
continuing mission to provide an alternative perspective in several aspects of social life for a
better world, for the past 38 years, despite the increasing challenges of a narrowing right to
freedom of expression and often the slow progression of change for a better, more humane
world.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the ASEAN Instrument on the protection and
promotion of the rights of migrant workers be legally binding? Why?
Angeline Shannan: The adoption of this ASEAN instrument is a vital first step towards a
commitment to promote and protect the rights of migrant workers in ASEAN. Malaysia should
remember that it is not only a receiving country but that there are also Malaysian migrant
workers in other countries, including those outside ASEAN. Like most international treaties, it
must be legally binding, to ensure equal protection of all migrant workers in all ASEAN countries. I
believe, it would stabilize the ASEAN economy overall, to guarantee migrant worker job security
and proper living and working conditions. Even though laws are not the answer to all problems,
the provision of stability and certainty of migrant worker rights will reduce and help eliminate
many of the ills faced by member states, like human trafficking, through better cooperation
among governments.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should ASEAN keep the ASEAN Way (particularly, the
principle of non-interference)? Why?
Angeline Shannan: The principle of non-interference is a limited and to some extent out-dated
principle of international law. It's main objective is to preserve the sovereignty of independent
nations from encroachment by foreign powers. It also aims to protect the right of self-
determination of peoples. However, some governments prefer a narrow interpretation of this
principle to cover certain cross-border issues, that may originate from their countries and affect
their neighbors. It is difficult to see how, ASEAN unity and cooperation is going to work, if
governments are unwilling to see and act on issues beyond their borders; especially those
affecting neighboring states. It can be seen that the lack of protection of migrant workers rights is
an issue that affects workers, not only in Malaysia, but those coming to work here and returning
to their home countries. Making separate MoUs with various governments relating to their
citizens working in Malaysia and 'bargaining' rights they may or not exercise seems a form of
favoritism which rightly should not be practiced. Every worker regardless of nationality should
have the same rights and be treated equally before the law. All should have just and fair terms
and conditions of work, and be able to live decently like every other citizen i.e. all workers and
migrants, regardless of legal status, should not be denied basic rights and access to basic
necessities to live decently in a foreign country.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the undocumented migrant workers be
protected? Why?

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


187

Angeline Shannan: Being undocumented is actually an administrative issue which is often


criminalized. Even if a person has no documents like an identification card or a passport or other
travel or identification papers, she/he is still a human being and entitled to their basic human
rights, such as adequate food, shelter, and health care. No doubt, each sovereign state is entitled
to protect its boundaries with immigration controls and border security, the issue is still to treat
undocumented migrants in a humane manner, even if they are held in detention. Further, it is the
state's responsibility to identify and resolve the problem of non-documentation. The State must
have a comprehensive immigration system that recognizes certain categories of undocumented
migrants and act to resolve the situation in the most humane way possible.
Moreover, in a situation of labor shortage, when employers urgently need workers, and where
waiting for suitable labor to come in is impractical, employers are likely to hire workers on the
spot regardless of their legal/ immigration status. If this is the prevalent circumstance, then
Immigration and Human Resource authorities should find a way to legalize the much needed
labor (although undocumented) already in work, to allow the continuance of economic
contribution to the country's economy, by affording such protection to undocumented migrant
workers. Interrupting economic activity with crackdowns and arrest and detention of
undocumented migrant workers causes greater loss to the nation and wastage of tax payers
money than legalizing undocumented migrants and allowing the flow of economic activity to
continue.

Agung Setiyo Wibowo In your opinion, how importance of ASEAN Instrument on the Protection
and Promotion of the Rights of Migrant Workers toward ASEAN Community (integration)?
Angeline Shannan: The ASEAN Instrument on the protection and promotion of rights of migrant
workers is key to ASEAN solidarity and prosperity as well as forging peaceful and responsible
relations among member states of ASEAN and beyond. By its observance and adoption, each
member state's government shows respect and care for every ASEAN citizen and any other
migrants coming into the region. This will bolster the prestige of ASEAN in the international
community also.

Agung Setiyo Wibowo: What are the main problems and challenges of Aliran to support the TF-
AMW's effort?
Angeline Shannan: A shortage of labor to participate in all meetings, conferences, activities and
gatherings of the TF-AMW. The best way Aliran can help is as stated above, in view of the
contribution by a majority of members being voluntary and unpaid. Most of our members hold
other paid jobs and only involve themselves in Aliran activities out of real interest in the work we
do, including myself.

Agung Setiyo Wibowo: Was funding the serious problem?


Angeline Shannan: Funding was not a problem at that time (2006 -2009), as the TF-AMW was
being funded by an external source. However, the organization is currently looking to put more
effort into funding for projects, as we have mainly relied on our own fund-raising efforts, and
public donations, members fees and magazine subscription, which has ended, as we do not
produce a hard copy magazine anymore. There are no funds available for travel to participate in
ASEAN CSO activities, at the moment.

Agung Setiyo Wibowo: Please kindly send me the soft copy (e.g.: brochure, ebooks, reports, and
any kind of publication) regarding the Aliran's advocacy in promoting and protecting the rights of
migrant workers!
Angeline Shannan: Please go to http://aliran.com. You can search in archives. Thank you.

Narasumber : Navuth YA, Executive Director CARAM Cambodia


Hari/Tanggal : Jumat, 1 Mei 2015
Keterangan : Wawancara melalui Skype

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


188

Agung Setiyo Wibowo: How strong the coordination/cooperation between CARAM


Cambodia and Task Force on ASEAN Migrant Workers from 2006 to 2010 and 2010 to
present?
Navuth YA: Firstly, our coordination was quite good from 2006 to 2012. But it seemed far away
from 2012 till now. Sinapan Samidorai has no clear strategic plan of advocacy in both national
and regional level. Thus, the success of advocacy depends on national or regional partner’s
action. Moreover, we have limited budget to support. In the context of Cambodia, civil society
advocacy is limited by prime minister due to political concern. However, CARAM CAMBODIA has
increased awareness of migrant issue to public by airing in the television from 2012 to 2014.

Agung Setiyo Wibowo: Did CARAM Cambodia has coalition/network in Cambodia to


support the TF-AMW mission? How strong? How many NGOs/CSOs in that network?
Navuth YA: It is around 30 CSOs/NGOs which focus on migration and human trafficking. Due to
no clear strategic plan from Task Force on ASEAN Migrant Workers, the network of civil society
in Cambodia disappointed. So did CSOs or partners in Laos, Thailand, Malaysia etc. I think
Sinapan Samydorai has no clear strategy to choose national or regional partners, too.

Agung Setiyo Wibowo: What were the activities of CARAM Cambodia to support the TF-
AMW mission from 2006 to 2010 and 2010 to present (e.g.: campaign, seminar, conference,
lobby, protest, advocacy)?
Navuth YA: We supported TF-AMW in various ways: 1) celebrating International Migrant Day
annually, 2) conducting talkshow in television or radio to push government in protecting the
rights of migrant worker and also increasing awareness of people in this issue, 3) using
resource mobilization strategy likes press release, press statement and intervention activity
with partners. However, we used our own funding to do those.

Agung Setiyo Wibowo: Cambodian National Consultation on the Protection and


Promotion of the Rights of Migrant Workers was in Phnom Penh held on September 12,
2008. In your opinion, was this activity effective? Why?
Navuth YA: Yes, it is quite effective. The protection and promotion of the rights of migrant
workers has improved because the government’s policies change. For example the free of
charge to make passport, the improvement of labor management, the prime minister’s
instruction to integrate migration policy from 2008 till now, the tracking system of migrant
workers, the clear national strategic plan to erode trafficking and so on. UN Agencies has also
helped our effort – especially in term of resource mobilization

Agung Setiyo Wibowo: What's CARAM Cambodia's strategy to push the government of
Cambodia to promote and protect the rights of migrant workers?
Navuth YA: As I stated above. We pushed government of Cambodia to create job in order to
decrease irregular migration and human trafficking. We also have good relationship with
national media to frame the issue. Of course, we help TF-AMW to promote instrument –
particularly from 2012 to 2015.

Agung Setiyo Wibowo: Please kindly explain the policy of Cambodia government in
promoting and protecting the rights of migrant workers!
Navuth YA: Actually, the government of Cambodia has done many improvements in migration
management. But, migrant workers are still at vulnerable condition, for example in the case of
human trafficking. Therefore, the government should enhance cooperation with multi-
stakeholders and keep the commitment.

Agung Setiyo Wibowo: What are the CARAM Cambodia's achievements/success stories
in promoting and protecting the rights of migrant workers? Please mention!
Navuth YA: In cooperation with media, we changed many things. The media wanted to
broadcast migration issue, including the International conventions. It’s good to enhance our
advocacy in the level of local, national, and regional. Many NGOs already have known our
presence.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


189

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the ASEAN Instrument on the Protection
and Promotion of the Rights of Migrant Workers be legally binding? Why?
Navuth YA: Following up the Cebu Declaration, it should be legally binding. Because of that, all
members of ASEAN can aligned their national labor laws, regulations or policies. It’s important
to realize the ASEAN Community.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should ASEAN keep the ASEAN Way (particularly,
the principle of non-interference)?
Navuth YA: No, ASEAN should learn from European Union. ASEAN must also hear their people’s
aspiration and enhance the dialogue culture to support each other. Of course, it is related to
human rights context.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the undocumented migrant workers be
protected? Why?
Navuth YA: Yes, they must be protected which written on the instrument and aligned with
national policies of all members of ASEAN.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, how importance of ASEAN Instrument on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers toward ASEAN Community
(integration)?
Navuth YA: It is so important due to social cost. The migrant workers’ economic contribution
to both receiving countries and sending countries are so great.

Agung Setiyo Wibowo: What are the main problems and challenges of CARAM Cambodia to
support the TF-AMW's effort?
Navuth YA: TF-AMW has no clear policy, strategic plan and operational plan to realize his
goals. Whereas the budged of CARAM Cambodia or national partners are limited. In addition,
TF-AMW chosen improper or wrong partners.

Agung Setiyo Wibowo: Was funding the serious problem?


Navuth YA: As I stated above, yes.

Narasumber : Brahm Press, aktivis Mekong Migration Network, Thailand


Hari/Tanggal : Kamis, 14 Mei 2015
Keterangan : Wawancara melalui Skype pukul 14.30 WIB – 15.24 WIB

Agung Setiyo Wibowo: How strong the coordination/cooperation between Mekong


Migration Network and Task Force on ASEAN Migrant Workers from 2006 to 2010 and 2010
to present?
Brahm Press: Firstly, Mekong Migration Network was quite closed with TF-AMW. But, it got
further away as time passed. Our coordination with TF-AMW is minimal since this is a loose
network, no collaboration. Mekong Migration Network itself has many
CSOs/NGOs/Community-Based Organizations from Mekong countries, except Myanmar. If we
more focus on academic or research approach, TF-AMW follows up the Cebu Declaration. Since
migration is a broad issue (including women, integration, economy, politics etc), it is difficult to
synchronize strategy. Each organization has own priority. Overall, TF-AMW received inputs to
draft the Instrument.

Agung Setiyo Wibowo: Did Mekong Migration Network have coalition/network in Thailand
and Myanmar to support the TF-AMW mission? How strong? Please mention the list of
NGOs/CSOs in the coalition of Mekong Migration Network in this context!
Brahm Press: There is no CSO representative from Myanmar due to political matter. For more
info you can visit our website. There is one CSO member from Vietnam and Laos, one research

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


190

institution from China, a few CSO from Cambodia and many CSOs from Thailand (Bangkok,
Chiang Mai, Maesot etc).

Agung Setiyo Wibowo: What were the activities of Mekong Migration Network to support
the TF-AMW mission from 2006 to 2010 and 2010 to present (e.g.: campaign, seminar,
conference, lobby, protest, advocacy)? Please explain those activities!
Brahm Press: It is only a few. All activities are organized by Mekong Migration Network
Secretariat but we are not obliged to coordinate. However, each member is not only involved in
a network, but also in other networks. So, some members of our network participated at TF-
AMW.

Agung Setiyo Wibowo: Thailand National Consultation on the Protection and Promotion of
the Rights of Migrant Workers was held in Bangkok on 31 July, 2007. In your opinion, was
this activity effective?
Brahm Press: Essential. The national consultation brought many NGOs, migration
organizations and trade unions to gather and interact with. They drafted the ASEAN
Instrument on the Protection and Promotion the Rights of Migrant Workers. It’s worth to find a
common voice. In my opinion, the national consultation is very essential but its effectiveness is
another issue. CSOs gave recommendation to national government and ASEAN, but whether
adopted or not, it is another issue. The report of national consultation was also disseminated.

Agung Setiyo Wibowo: What's Mekong Migration Network's strategy to push the
government of Thailand and Myanmar to promote and protect the rights of migrant
workers?
Brahm Press: The network advocacy is resource-based which enable each member to engage
with respective national governments. Many networks meet each other with common issue
namely funding. Building evidence-based is also our principle. So, we conduct field research and
make the report. Then, we publish and disseminate it or even create events to frame the issue.
For your information, it is easier to get help from foreign NGOs to help our advocacy to the
government. Making our aspiration heard.

Agung Setiyo Wibowo: Please kindly explain the policy of Thailand in promoting and
protecting the rights of migrant workers!
Brahm Press: the Government of Thailand has a concern with registration or documentation
or legal status of migrant workers. If a migrant worker is illegal, he or she would be deported.
Here, Mekong Migration Network raises the issue that there is no illegal migrant worker
because every human has inalienable rights as noted in the constitution. The labor laws should
not discriminate their status because all human is protected their rights. It is the registration
process that creates legal or illegal status. In addition, documented migrant workers are not
guaranteed their rights. The government of Thailand also takes their document which leads to
the exploitation or abuse.

Agung Setiyo Wibowo: What are the Mekong Migration Network's achievements/success
stories in promoting and protecting the rights of migrant workers? Please mention!
Brahm Press: Our advocacy is difficult to measure as milestone. In 2004, we published
curriculum for schools to educate migration to young generation. The curriculum was
translated into all national languages of Mekong countries. It is not only to frame or discourse
for migration, but also to support regional economic integration in order to make people
understand about their neighboring countries.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the ASEAN Instrument on the protection and
promotion of the rights of migrant workers be legally binding? Why?
Brahm Press: Yes, because almost all ASEAN’s document to date is non-binding. Since those
documents are only optional, they are less effective. For example: the issue of Rohingya. A
legally binding document would force all receiving countries to improve the quality of
protection. If it succeed, it would enhance the enforcement of law.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


191

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should ASEAN keep the ASEAN Way (particularly,
the principle of non-interference)? Why?
Brahm Press: non-interference is non-sense because neighboring countries are affected each
other. For e.g. transboundary haze pollution, rohingiya, and Mekong dam.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the undocumented migrant workers be
protected? Why?
Brahm Press: Yes, because the documented category decreases the standard of right
protection to those who don’t have document. It should be only a category to protect all
migrant workers regardless their status.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, how importance of ASEAN Instrument on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers toward ASEAN Community
(integration)?
Brahm Press: It would be good or beneficial to improve the standard of ASEAN. But it will be
the problem because the difference of standard or the standard is lower from the international
standard.

Agung Setiyo Wibowo: What are the main problems and challenges of Mekong Migration
Network to support the TF-AMW's effort?
Brahm Press: There are many CSOs in this network. Generally, there are three challenges.
Firstly, CSOs have limited space in undemocratic countries like Laos or Vietnam due to
interference or restriction from the government. There is also a tight competition among them
to get the funding. Secondly, the issue is difference in each country which depends on national
politics. Thirdly, the dichotomy of receiving and sending countries can hinder the protection of
migrant workers due to difference of view and national interest. Overall, it is not easy to unify
the difference of character or trait of each CSO.

Agung Setiyo Wibowo: Was funding the serious problem?


Brahm Press: Yes, it is one of the problems because it can limit our movement. Sometimes,
there is a fund but not in line with the interest of advocacy. The lack of fund will also influence
advocacy quality (output). Mekong Migration Network has serious lack of fund and resource to
make the secretariat alive.

Agung Setiyo Wibowo: How optimist you are that TF-AMW can push ASEAN to make a
legally binding instrument?
Brahm Press: AFML discusses mechanism. Here, TF-AMW is invited to the forum to make the
mechanism. TF-AMW has big opportunity to give recommendation in the process. But, ILO has
more opportunity to influence ASEAN to make a legally binding document or not. However,
those of all depend on the interest of all member states of ASEAN. It needs bigger access to
influence both content and process. It is the government who decide whether the
recommendation of TF-AMW would be accepted or not.

Narasumber : Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif HRWG, Indonesia


Hari/Tanggal : Kamis, 7 Mei 2015
Keterangan : Wawancara langsung di kantor Sekretariat ASEAN Jakarta pukul 17.00
WIB – 18.00 WIB

Agung Setiyo Wibowo: Ada berapa jumlah anggota jejaring TF-AMW di Indonesia dan bagaimana
dinamikanya?
Rafendi Djamin: Ada puluhan lembaga non-pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang
menjadi anggota jejaring TF-AMW di Indonesia. Walaupun demikian, tidak semua organisasi
masyarakat sipil yang bergerak dalam isu migrasi tergabung apalagi cocok dengan misi TF-AMW.
Salah satunya disebabkan oleh adanya beberapa organisasi yang sudah lebih dahulu bergabung

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


192

dengan jejaring lain. Misalnya, Migrant Care yang tergabung dalam Migrant Forum in Asia (MFA)
tidak aktif di TF-AMW. Dalam dinamikanya, TF-AMW dikritik oleh LSM yang memperjuangkan
hak perempuan di Indonesia karena dinilai tidak peka terhadap gender.

Agung Setiyo Wibowo: Seberapa kuat wewenang yang diberikan TF-AMW untuk HRWG?
Rafendi Djamin: Karena ini jejaring yang longgar, wewenang yang diberikan ke HRWG tidak
begitu kuat. Walaupun demikian TF-AMW yang dipimpin oleh Sinapan Samydorai telah
mendapatkan kepercayaan luas baik dari kalangan masyarakat sipil maupun ASEAN-SLOM dan
ACMW.

Agung Setiyo Wibowo: Seberapa kuat advokasi TF-AMW terhadap ASEAN?


Rafendi Djamin: TF-AMW merupakan salah satu steering committee dalam ASEAN Forum on
Migrant Labor yaitu sebuah platform yang memungkinkan proses dialog terbuka di antara pihak
tripartite yaitu serikat pekerja, asosiasi pengusaha dan pemerintah. TF-AMW berkontribusi besar
dalam mempengaruhi wacana atau gagasan, proses confidence building dan individual
complaint. Dalam AFML inilah yang menjadi faktor kondusif agar negosiasi untuk mewujudkan
instrumen yagn mengikat secara hukum dapat tercapai.

Agung Setiyo Wibowo: Masyarakat ASEAN dijadwalkan akan dimulai pada 31 Desember 2015.
Seberapa optimiskah Anda dengan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak
Buruh Migran ini?
Rafendi Djamin: Instrumen tersebut sebenarnya tidak harus mengikat secara hukum, akan tetapi
bisa hanya mengikat yaitu dalam konteks pengawasan dan pelaporannya. Apapun hasilnya pada
akhir tahun 2015 bergantung dengan sikap para Menteri Luar Negeri ASEAN.

Agung Setiyo Wibowo: Seberapa efektif proses musyawarah nasional masyarakat sipil yang
digerakkan oleh TF-AMW?
Rafendi Djamin: Cukup efektif mengingat musyawarah tersebut dilakukan secara konsisten
terutama menjelang rapat ACMW dan ASEANS-SLOM.

Agung Setiyo Wibowo: Apa saja strategi advokasi HRWG dalam membantu misi TF-AMW?
Rafendi Djamin: 1) beragam musyawarah nasional dan regional yang dilaksanakan selalu
menghasilkan “position paper” atau rekomendasi, 2) bermitra dengan Kementerian Luar Negeri
dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk memperjuangkan hak-hak buruh migran,
3) bekerjasama dengan media untuk diseminasi isu migran walau kurang efektif (media briefing,
rilis dll), dan 4) meluncurkan buku Proposal Masyarakat Sipil: Kerangka Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran.

Agung Setiyo Wibowo: Apa kendala atau tantangan advokasi jejaring TF-AMW khususnya di
Indonesia?
Rafendi Djamin: Menjaga keberlanjutan keanggotaan jejaring di tingkat nasional. Di Indonesia
misalnya, ada perpecahan di internal organisasi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) sehingga
tentu berakibat kepada stabilitas jejaring. Selain itu, dana juga menjadi kendala serius mengingat
banyak organisasi masyarakat sipil yang self-funding.

Agung Setiyo Wibowo: Apakah instrumen harus mengikat secara hukum?


Rafendi Djamin: Tidak harus mengikat secara hukum, akan tetapi harus mengikat. Karena peer
review mechanism yang bersifat sukarela mempengaruhi efektifitasnya. Instrumen yang
mengikat akan meningkatkan rasa kepemilikan di antara sesama anggota ASEAN sehingga
diharapkan dapat menurunkan tingkat pelanggaran terhadap hak-hak migran. Instrumen yang
mengikat dan disertai dengan tingginya tingkat ratifikasi terhadap standar internasional dapat
mendorong lahirnya mekanisme pengawasan perlindungan.

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana dengan advokasi TF-AMW terhadap ASEAN dari 2010 sampai
sekarang?

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


193

Rafendi Djamin: Sejak 2011 advokasi TF-AMW kembali aktif, namun sayangnya tidak demikian
dengan ACMW.

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana pengaruh prinsip non-interfensi terhadap kebuntuan proses
penyusunan instrumen oleh ACMW?
Rafendi Djamin: Kebuntuan proses penyusunan instrumen tentu ada kaitannya dengan prinsip
non-intervensi, terutama isu mengikat secara hukum. Karena memberikan sebagian kedaulatan
kepada negara lain juga merupakan kedaulatan.

Agung Setiyo Wibowo: Apa keberhasilan HRWG dalam mendukung misi TF-AMW?
Rafendi Djamin: HRWG berhasil mewujudkan Interface Meeting dalam ACMW, memberikan
masukan dalam proses penyusunan draf instrumen, terlibat dalam AFML, dan engagement yang
kuat dengan Kementerian Luar Negeri.

Narasumber : Pitchanuch Supavanich, Senior Officer – Social Welfare, Women, Labour,


and Migrant Workers Division, ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) Department, The
ASEAN Secretariat
Hari/Tanggal : Jumat, 15 Mei 2015
Keterangan : Wawancara langsung di kantor Sekretariat ASEAN Jakarta pukul 10.00
WIB – 11.00 WIB

Agung Setiyo Wibowo: What do you know about Task Force on ASEAN Migrant Workers
(TF-AMW)?
Pitchanuch Supavanich: Task Force on ASEAN Migrant Workers is one of co-organizer of
ASEAN Forum on Migrant Labor (AFML) where representatives of CSOs, trade unions and
government official meet. TF-AMW is the CSO coordinator whose role to list and suggest CSOs
to ASEAN in order to be able to participate at the AFML. There is one CSO per country in AFML
because it is not open. Thus, all CSOs submitted by TF-AMW are approved by ASEAN. CSOs that
followed a forum usually will follow in the next one, and there is only a delegate from each CSO
per country due to representativeness and fund matter. There is a preparatory meeting of CSOs
led by TF-AMW before AFML and evaluation/post meeting after that. TF-AMW coordinates the
forum and also disseminates the result. Whereas in the ASEAN-SLOM, TF-AMW is not invited.

Agung Setiyo Wibowo: Are there forums attended by TF-AMW to engage ASEAN?
Pitchanuch Supavanich: Sure. TF-AMW or his partners may directly engage each national
government besides the AFML.

Agung Setiyo Wibowo: How optimist you are with the realization of ASEAN Instrument on
the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers?
Pitchanuch Supavanich: It is currently around 85% content of the instrument approved by all
members of ASEAN. The rest (15%) is still discussed due to sensitive matter or political interest
debate

Agung Setiyo Wibowo: How importance is the legally binding ASEAN Instrument on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers?
Pitchanuch Supavanich: It is not about legally binding document or not, but the more
important is its implementation.

Agung Setiyo Wibowo: Why has not the ASEAN Community Blueprint included the
protection to the undocumented migrant workers?
Pitchanuch Supavanich: It is a very sensitive issue to both receiving and sending countries of
ASEAN. However, the social protection should be given to all migrant workers.

Agung Setiyo Wibowo: How important are migrant workers toward ASEAN Community?

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


194

Pitchanuch Supavanich: They are so important. For e.g. in Thailand where around 80% sea
food industries depend on migrant workers from neighboring Mekong countries.

Agung Setiyo Wibowo: How big the commitment of ASEAN to protect and promote the
rights of migrant worker?
Pitchanuch Supavanich: ASEAN is very committed. For example: Indonesia and the
Philippines as sending countries who struggle hard to realize that in the instrument. At least,
ASEAN makes migration easier tough protection concern is still being discussed.

Agung Setiyo Wibowo: ASEAN has agreed the Mutual Recognition Arrangement (MRA) to
recognize free flow of skilled/professional workers, why migrant workers are not given so?
Pitchanuch Supavanich: MRA is regulated by the economic pillar, whereas migrant workers
namely semi-skilled and low-skilled migrant workers are regulated by socio-cultural pillar.

Agung Setiyo Wibowo: How big the commitment of ASEAN to engage civil society?
Pitchanuch Supavanich: ASEAN always receive aspiration from its people, but whether their
position is acceptable or not, it is one thing. For example: At the Social Welfare and
Development SLOM, we have GO-NGO meeting. And so does at the ACWC.

Agung Setiyo Wibowo: Are you optimist that ASEAN Instrument on the Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers would be finalized before 31 December 2015?
Pitchanuch Supavanich: I am not sure. I think it is incremental issue.

Agung Setiyo Wibowo: TF-AMW is one of co-organizer at the AFML. What is the role of co-
organizer?
Pitchanuch Supavanich: As the co-organizer, TF-AMW is responsible to help drafting concept
paper, decide team, and arrange the forum.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, are the advocacy strategies of TF-AMW to engage
ASEAN effective?
Pitchanuch Supavanich: It is effective to gather ideas or multi-stakeholders. At least, many
actors know his presence and role.

Narasumber : Adisorn Kerdmongkol, aktivis Migrant Working Group (MWG) Thailand


dan mantan aktivis Action Network for Migrants (ANM)
Hari/Tanggal : Rabu, 6 Mei 2015
Keterangan : Wawancara melalui surat elektronik

Agung Setiyo Wibowo: How strong the coordination/cooperation between ANM and Task
Force on ASEAN Migrant Workers from 2006 to 2010 and 2010 to present?
Adisorn Kerdmongkol: In coordination with TFMW ago ANM will play a role in a working
group of TFMW by acting in coordination with civil society working with migrant workers in
Thailand. In both conferences nationally. And is represented in the Conference in ASEAN. It has
coordination with the TFMW ongoing and joint activities at least once a year.

Agung Setiyo Wibowo: Did ANM have coalition/network in Thailand to support the TF-
AMW mission? How strong? Please mention the list of NGOs/CSOs in the coalition of ANM in
this context!
Adisorn Kerdmongkol: ANM and MWG has the role of coordinating NGOs / CSOs in the role of
coordinating the TFMW Thailand and working on policy and advocacy of the rights of migrant
workers. In the ongoing labor organizations, including NGOs and organizations of migrants. As
well as a network of organizations working on migrant workers as members ANM / MWG and
other labor organizations such as the Thai Labour Solidarity Committee.

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


195

Agung Setiyo Wibowo: What were the activities of ANM to support the TF-AMW
mission from 2006 to 2010 and 2010 to present (e.g.: campaign, seminar, conference, lobby,
protest, advocacy)? Please explain those activities!
Adisorn Kerdmongkol: Activities that support for the work of the TF-AMW activities will make
proposals to the relevant authorities in Thailand as a proposal to the Ministry of Labour.
Thailand government campaign issues in each of the TF-AMW, including a joint meeting of the
Ministry of Labour to push for policy relating to the protection of migrant workers. Thailand
and the government's role in the protection of migrant workers in the region as well.

Agung Setiyo Wibowo: What's ANM's strategy to push the government of Thailand to
promote and protect the rights of migrant workers?
Adisorn Kerdmongkol: ANM is a strategy of the government to Thailand's policy is
contributing to the protection of migrant workers in four main strategy is Direct advocacy to
Thai Government worked with the media. Network integration with other sectors such as the
Department of Labor and Thailand. Role of co-operation between government agencies and
CSOs.

Agung Setiyo Wibowo: Please kindly explain the policy of Thailand in promoting and
protecting the rights of migrant workers!
Adisorn Kerdmongkol: Policy of legalization for undocumented migrants is. Through
collaboration between the countries of origin and Thailand. Policies for the national health
insurance system. By providing the migrants. And the family of migrant workers

Agung Setiyo Wibowo: What are the ANM's achievements/success stories in promoting
and protecting the rights of migrant workers? Please mention!
Adisorn Kerdmongkol: The network was involved in developing the proposed policy at the
national level through working with government agencies are involved. Whether the Ministry of
Labour Or the Ministry of Health In addition, the involvement of national legal organization
that plays a role in the development of standards ASEAN labor law reform. To make the
proposal at the ASEAN level.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the ASEAN Instrument on the Protection
and Promotion of the Rights of Migrant Workers be legally binding? Why?
Adisorn Kerdmongkol: Should be Legally binding because it should be able to protect migrant
workers in the region. The role of state agencies and state policies affect quite a lot. So, to make
a clear legal conditions will allow each nation can not have a policy or practice that violates
easy. Meanwhile, it will have penalties and legal responsibility. Including a mechanism to
monitor even more.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should ASEAN keep the ASEAN Way (particularly,
the principle of non-interference)? Why?
Adisorn Kerdmongkol: The past several ASEAN Way has already shown that many obstacles
to the participation of civil society. And a barrier to protect the rights of citizens in the region. It
also hinders the development of ASEAN, which also makes ASEAN is just an extension of the
nation state.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the undocumented migrant workers be
protected? Why?
Adisorn Kerdmongkol: ASEAN should be aware that Undocumented migrant workers must be
protected, as well as labor, which is a major economic partner of ASEAN. Citizenship and allow
ASEAN people. Which would not be covered, reflecting weakness. Do not care about human
rights. And opportunities for exploiting workers.

Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, how importance of ASEAN Instrument on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers toward ASEAN Community
(integration)?

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


196

Adisorn Kerdmongkol: ASEAN Instrument of the Protection and Promotion of the Rights of
Migrant Workers are key indicators of the region to be developed as a mechanism at the
regional level to give priority to the protection of human rights and give priority to the public.
truly Meanwhile, it will demonstrate the readiness of each country to protect the people of
another country as a regional community together.

Agung Setiyo Wibowo: What are the main problems and challenges of ANM to support the
TF-AMW's effort?
Adisorn Kerdmongkol: Continuation of the activities together. Co-creation plan that can be
implemented practically. And the role of civil society in the ASEAN region into a role in
determining the direction in ASEAN. Past problems due to limitations in the coordination. The
joint activities are also very discrete. Including the lack of planning in joint activities.

Agung Setiyo Wibowo: Was funding the serious problem?


Adisorn Kerdmongkol: funding problem is a major issue in the collaboration. The
organization in each country, despite the work already own. But the lack of a budget to work to
develop a joint regional issues by lack of funding, it also makes the operation is going to be
quite difficult.

Narasumber : Ben Perkasa Drajat, Wakil Duta Besar Indonesia untuk Jepang
Hari/Tanggal : Rabu, 20 Mei 2015
Keterangan : Wawancara melalui Facebook Messenger

Agung Setiyo Wibowo: Seberapa penting peran yang diharapkan dari kelompok masyarakat
sipil dari kaca mata pemerintah Indonesia dalam penyusunan Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran?

Ben Perkasa Drajat: besar. kita selalu melibatkan masyarakat sipil berkaitan dgn
perlindungan HAM di Asean tmsk migrant workers, bahkan wakil RI di AICHR dari masyarakat
sipil yaitu Raffendi Jamin

Agung Setiyo Wibowo: Apa kepentingan Indonesia sebagai salah satu negara pengirim
pekerja migran dalam penyusunan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan
Hak-Hak Buruh Migran di ACMW?
Ben Perkasa Drajat: melindungi TKI kita yg bekerja di negara2 ASEAN trtm di negara2 yg
banyak menampung pekerja migran kita agar di semua negara asean ada 1 instrumen
regional diatas regulasi nasional

Agung Setiyo Wibowo: Apa saja faktor utama penyebab kebuntuan penyusunan Instrumen
ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran?
Ben Perkasa Drajat: perbedaan visi dan cara pandang kelompok negara pengirim di satu sisi
dan kel negara penerima di sisi lain

Agung Setiyo Wibowo: Apakah prinsip non-interfensi (ASEAN Way) juga merupakan faktor
kebuntuan tersebut?
Ben Perkasa Drajat: Engga

Agung Setiyo Wibowo: Mengapa?


Ben Perkasa Drajat: ya bukan masalah faktor itu yg jadi akar kebuntuan tapi
masalah/prinsip lain

Agung Setiyo Wibowo: Masalah/prinsip lain yang mana?


Ben Perkasa Drajat: definisi migrant workers dan level daya ikat secara hukum dan bentuk
perjanjiannya apa. semuanya masalah substantif

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


197

Agung Setiyo Wibowo: Mengapa Instrumen Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran harus mengikat secara hukum?
Ben Perkasa Drajat: kalau ga mengikat ya ga bisa melindungi TKI kita secara hukum di
negara penerima.
Buat apa ?

Agung Setiyo Wibowo: Mengapa Indonesia berkepentingan memperjuangkan perlindungan


hak-hak pekerja migran tak berdokumen dalam penyusunan Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran?
Ben Perkasa Drajat: yang menjadi masalah dan problem kita adalah undocumented. yg
documented tidak menciptakan masalah

Agung Setiyo Wibowo: Seberapa penting posisi pekerja migran dalam konteks Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015?
Ben Perkasa Drajat: sangat penting

Agung Setiyo Wibowo: Apakah Bapak pernah mendengar atau mengetahui tentang Task
Force on ASEAN Migrant Workers (TF-AMW)?
Ben Perkasa Drajat: saya dulu anggotanya

Agung Setiyo Wibowo: Sejauh mana keterlibatan Bapak dalam TF-AMW?


Ben Perkasa Drajat: Jauh
Dalam
pernah memimpin sidangnya

Agung Setiyo Wibowo: Dengan demikian, Bapak juga mengenal Convenor TF-AMW yaiitu
Sinapan Samydorai?
Ben Perkasa Drajat: kenal.
atau kenal banget

Agung Setiyo Wibowo: Menurut Bapak, seberapa kuat strategi advokasi TF-AMW dalam
mendesak ASEAN untuk mewujudkan instrumen yang legally binding?
Ben Perkasa Drajat: Banyak
Signifikan
cuma ini khan di luar jalur perundingan resmi. tujuannya emang menekan delegasi negara
penerima.
posisi TF sama dg posisi Indonesia

Agung Setiyo Wibowo: Jadi, delegasi Indonesia merasa terbantu dengan kehadiran TF-
AMW?
Ben Perkasa Drajat: terbantu sekali

Agung Setiyo Wibowo: Apa yang Bapak ketahui tentang ASEAN Forum on Migrant Labour?
Atau justru pernah terlibat?
Ben Perkasa Drajat: saya selalu hadir dulu
mewakili unsur pemerintah
pernah memimpin sidangnya juga

Agung Setiyo Wibowo: Seberapa efektif AFML dimanfaatkan oleh TF-AMW untuk mendesak
ASEAN?
Ben Perkasa Drajat: iya. semua stakeholders yang satu posisi saling memanfaatkan
mgkn bukan memanfaatkan tapi membangun daya tekan yg lebih kuat guna hadapi kelompok
negara penerima yg keras sekali posisiny
bahkan kita gunakan ILO juga
Yg didesak bukan 'ASEAN' tapi kelompok negara penerima buruh migran

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


198

Agung Setiyo Wibowo: Seberapa optimiskah Bapak bahwa Indonesia bersama Filipina
mampu mendesak Malaysia dan Singapura (wakil negara penerima) untuk mewujudkan
Instrumen yang melindungi hak-hak pekerja migran tak berdokumen?
Ben Perkasa Drajat: impossible

Agung Setiyo Wibowo: Mengapa? Jadi akan terus menerus berada di titik buntu seperti
sekarang?
Ben Perkasa Drajat: Ya

Agung Setiyo Wibowo: Apakah Bapak optimis dengan cita-cita Masyarakat ASEAN yang
akan dimulai 31 Desember 2015?
Ben Perkasa Drajat: ini bukan optimis atau tidak tapi udah dijadwalkan dan tidak mungkin
dibatalkan
harus dihadapi bukan diratapi

Agung Setiyo Wibowo: Selain AFML, apakah ada forum regional yang Bapak atau TF-AMW
hadiri untuk mewujudkan instrumen yang legally binding?
Ben Perkasa Drajat: Ada
salah satunya Yg di Jakarta dan dipimpin Rafendi Jamin saya lupa namanya
UN ESCAP dan ILO jg mendukung posisi negar pengirim

Agung Setiyo Wibowo: Sepengetahuan Bapak, apakah ada organisasi internasional atau
jaringan NGO global yang justru mendukung posisi negara penerima?
Ben Perkasa Drajat: ga ada atau ga tahu krn saya interaksinya dan lobby2nya ama yg
mendukung posisi kita pd umumnya
mrk ga banyak dpt dukungan regional dan global
mgkn ada satu dua saya ga tahu

Agung Setiyo Wibowo: Menurut Bapak, seberapa besar trust yang diberikan kelompok
negara pengirim (khususnya Indonesia dan Filipina) terhadap TF-AMW?
Ben Perkasa Drajat: ga tahu soal trust. tapi sepanjang kepentingan dan posisi kita sama ya
kit saling bantu. Trust ga ada dalam politik internasional

Agung Setiyo Wibowo: Menurut Bapak, seberapa besar kesempatan yang diberikan oleh
ASEAN terhadap masyarakat sipil dalam tata kelola migrasi di Asia Tenggara ini?
Ben Perkasa Drajat: 'Asean' dalam konteks perundingan instrumen migrant workers bukan
merupakan satu kesatuan. Pertanyaannya sulit dijawab krn ga ada yg mamanya satu kesatuan
sikap dan posisi ASEAN ttg isu migran workers
Kalau kelompok negara pengirim mendukung sekali keterlibatan civil sovoety sebaliknya
negara penerima sangat menentang

Agung Setiyo Wibowo: Apakah Bapak yakin bahwa dengan adanya instrumen regional ini
mampu mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk meratifikasi 8 Standar Perburuhan
ILO dan konvensi terkait lainnya?
Ben Perkasa Drajat: belom tentu

Agung Setiyo Wibowo: Mengapa?


Ben Perkasa Drajat: ada banyak kendala poltis yg berat di bbrp neg anggota asean yg
caratan ham dan rule of lawnya sangat rendah berdsar standar regulasi global dan regional
msln migrant workers cuma satu aspek kecil dr keseluruhan problem ketenagakerjaan di
negara2 asean
Dengan melihat beragamnya kepentingan antar negara anggota ASEAN dalam perlindungan
buruh migran ini,

Agung Setiyo Wibowo: Bapak pesimis dengan terwujudnya Instrumen regional?


Ben Perkasa Drajat: Ya

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


199

Agung Setiyo Wibowo: Sebagai sesama negara pengirim buruh migran, apakah posisi
Indonesia dan Filipina selalu sama dalam penyusunan instrumen?
Ben Perkasa Drajat: tidak selalu 100 persen sama tp tetap ada benang merah kesamaan
dlm masalah2 prinsip sama krn sama2 negara pengirim yg menginginkan perlindungan
komprehensif dan total serta berkekuatan hukum

Agung Setiyo Wibowo: Format Tim Penyusun ACMW pernah dibuat empat perwakilan
yaitu 2 negara pengirim (Indonesia dan Filipina) dan negara penerima (Singapura dan
Malaysia). Mengapa itu tidak efektif?
Ben Perkasa Drajat: saya yg mengusulkan format itu dalam pertemuan pertama acmw di
singapura
ga efektif karena negara penerima mengacaukan
koreksi wakil negara penerima bukan singapura dan malaysia tapi thailand dan malaysia.
sungapur bkn anggota tim 4
ok. udah cukup ya?

Agung Setiyo Wibowo: Mengacaukan bagaimana?


Ben Perkasa Drajat: ya memang mereka berunding bukan untuk mengasilkan instrumen tapi
menggagalkan
besok teruskan lagi ya

Narasumber : Guntur Witjaksono, Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri,


Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Republik Indonesia
Hari/Tanggal : Selasa, 2 Juni 2015
Keterangan : Wawancara telepon pada pukul 21.15 WIB – 22.00 WIB

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana keterlibatan Bapak selaku perwakilan Kementerian


Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam upaya perlindungan hak-hak buruh migran ASEAN?
Guntur Witjaksono: Terlibat dalam ASEAN Forum on Migrant Labour (AFML). Selain itu juga
terlibat dalam beberapa mekanisme yang diciptakan oleh ASEAN seperti Senior Labor Official
Meeting (SLOM) dan yang terkait yaitu 1) Senior Labour Officials Meeting Working Group on
Progressive Labour Practices to Enhance the Competitiveness of ASEAN (SLOM-WG), 2) ASEAN
Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion
of the Rights of Migrant Workers (ACMW), 3) ASEAN Occupational Safety and Health Network
(OSHNET), dan 4) SLOM Working Group on the HIV Prevention and Control in the Work Place.

Agung Setiyo Wibowo: Forum mana yang paling aktif Bapak ikuti di antara sekian banyak
program?
Guntur Witjaksono: ASEAN-SLOM. Karena dalam forum inilah kita dapat mempengaruhi
banyak hal terhadap Tim Perumus Instrumen ASEAN Committee on the Implementation of the
ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers
(ACMW).

Agung Setiyo Wibowo: Mengapa Tim Penyusun Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran menghadapi kebuntuan?
Guntur Witjaksono: Karena ada pertentangan antara kelompok pengirim buruh migran
(yang diwakili Indonesia) dengan kelompok negara penerima buruh migran (yang diwakili
Malaysia). Malaysia juga berkepentingan untuk hanya melindungi hak-hak buruh migran
berdokumen. Padahal, jumlah buruh migran tidak berdokumen diperkirakan jauh lebih besar.
Yang menjadi masalah adalah bahwa buruh berdokumen pun bisa menjadi tidak berdokumen
secara terpaksa seperti karena paspor atau dokumen disita menjelang kontrak kerja habis. Hal
ini menunjukkan bahwa Malaysia belum berkomitmen untuk mewujudkan perlindungan hak-
hak buruh migran di Asia Tengara. Hal ini dapat dimaklumi karena pekerja migran tak
berdokumen dari Indonesia sulit untuk dibendung karena masuk ke negara jiran ini melalui
berbagai pintu masuk di sepanjang garis perbatasan. Hukum di Malaysia juga memungkinkan
untuk mengubah visa non-kerja menjadi visa kerja. Sebenarnya juga ada aliran pekerja migran

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


200

dari Myanmar, Laos, atau Kamboja yang melewati garis perbatasan untuk menuju Thailand,
akan tetapi jumlahnya tidak begitu besar.

Agung Setiyo Wibowo: Tahun berapa Bapak aktif dalam upaya perlindungan hak-hak buruh
migran ASEAN ini?
Guntur Witjaksono: Seingat saya Deklarasi Cebu itu lahir pada 2007. Nah, tahun 2008 mulai
aktif dalam memberi masukan terhadap pemerintah Indonesia membuat ‘pernyataan nasional’
untuk dibawa dalam ACMW.

Agung Setiyo Wibowo: Apa yang Bapak ketahui mengenai Task Force on ASEAN Migrant
Workers (TF-AMW)?
Guntur Witjaksono: Saya mengenal jejaring ini. Saya juga mengenal Sinapan Samydorai,
Convenor TF-AMW yan memang sudah aktif dalam advokasi perlindungan hak-hak buruh
migran jauh sebelum terbentuk TF-AMW atau lahirnya Deklarasi Cebu.

Agung Setiyo Wibowo: Jadi, pemerintah Indonesia cukup terbantu atau memanfaatkan
keberadaan TF-AMW?
Guntur Witjaksono: Ya, eksistensi mereka cukup positif. Karena posisi atau apa yang mereka
perjuangkan hampir sama dengan kepentingan Indonesia terhadap Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran.

Agung Setiyo Wibowo: Apakah Bapak juga aktif terlibat dalam ASEAN Forum on Migrant
Labour (AFML)?
Guntur Witjaksono: Tentu. Kan itu forum yang diciptakan untuk mendukung keberadaan
ACMW. Saya pernah jadi moderator maupun pembicara. Jadi, di setiap penyelenggaraan forum
menghasilkan rekomendasi yang kemudian ditindaklanjuti hasilnya dalam forum berikutnya
dan seterusnya. Forum ini berguna untuk memperkaya wawasan atua memperdalam
pemahaman guna mendukung proses perumusan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran.

Agung Setiyo Wibowo: Dengan demikian, AFML kurang efektif dalam mendukung
terwujudnya Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran?
Guntur Witjaksono: Ya, tidak efektif mengingat setiap pihak memiliki kepentingan masing-
masing. Forum tersebut akhirnya malah tidak fokus. SLOM juga tidak berarti dengan alasan
serupa. Oleh karena itu, saat ini Kementerian Luar Negeri membantu Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi untuk menindaklanjuti. AFML hanya efektif untuk sharing atau
memperkaya pengalaman para pejabat pemerintah.

Agung Setiyo Wibowo: Sepengetahuan Bapak, seberapa aktif Sinapan Samydorai dalam
AFML?
Guntur Witjaksono: Ia hanyalah salah satu peserta. Sehingga dapat dikatakan bahwa forum
tersebut kurang efektif untuk mengadvokasi terwujudnya Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran yang mengikat secara hukum. Ada
banyak sekali peserta yang hadir dalam forum tersebut.

Agung Setiyo Wibowo: Jadi, yang aktif dalam mewujudkan Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran itu Tim Penyusun dalam ACMW?
Guntur Witjaksono: Ya benar. Tetapi sampai sekarang masih deadlock.

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana kebuntuan proses penyusunan Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran?
Guntur Witjaksono: Ada dua kubu yang saling bertentangan yaitu negara pengirim dan
negara penerima buruh migran. Singapura dan Malaysia mewakili kubu kedua. Sedangkan
Filipina dan Indonesia selalu kompak mewakili kubu pertama.

Agung Setiyo Wibowo: Seberapa yakin bahwa Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran ini akan mengikat secara hukum?

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.


201

Guntur Witjaksono: Tak yakin. Karena Malaysia belum meratifikasi beberapa konvensi
mengenai perlindungan hak-hak buruh migran dari ILO/PBB. Sehingga, tentu saja akan terus
ada deadlock.

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana hubungan antara Instrumen ASEAN dalam Perlindungan
dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran dengan Masyarakat ASEAN yang konon akan
diberlakukan per 31 Desember 2015?
Guntur Witjaksono: Hampir semua pemerintah negara-negara anggota ASEAN ingin
mempercepat terwujudnya instrumen ini. Padahal, mereka tidak ada komitmen secara
substansial. Tak ada arahan. Sebenarnya waktu itu terjadi trade off antara Indonesia dan
Malaysia. Indonesia akan meratifikasi perjanjian kabut asap lintas batas negara jika Malaysia
mau mengakui hak-hak buruh migran tak berdokumen atau instrumen itu. Indonesia telah
meratifikasi perjanjian kabut asap lintas batas negara, tapi Malaysia tak ada komitmen. Lebih
terus terjadi deadlock seperti sekarang ini karena dengan ini dunia tahu bahwa Malaysia-lah
yang menjadi salah satu hambatannya.

Agung Setiyo Wibowo: Apakah Bapak menghadiri peluncuran buku Proposal Masyarakat
Sipil: Kerangka Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh
Migran?
Guntur Witjaksono: Saya kan juga punya banyak agenda. Untuk yang ini, saya sepertinya
tidak ikut.

Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana dengan posisi LSM Vs Indonesia dalam konteks
Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran?
Guntur Witjaksono: Sebagian besar posisi LSM sama dengan Indonesia. Jadi, mereka
mendukung kita untuk mengalahkan Malaysia.

Agung Setiyo Wibowo: Apakah Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-
Hak Buruh Migran harus mengikat secara hukum?
Guntur Witjaksono: Ya, harusnya mengikat secara hukum. Tapi, saya pesimis. Mana mungkin
hanya sekedar panduan seperti yang diajukan Malaysia?

Universitas Indonesia

Advokasi satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015.

Anda mungkin juga menyukai