Advokasi Satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015
Advokasi Satuan..., Agung Setiyo Wibowo, FISIP UI, 2015
TESIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada program studi Ilmu Hubungan Internasional
ii
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat
menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Sains jurusan Ilmu Hubungan
Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
penulisan tesis ini tidak akan diselesaikan tepat waktu dengan mudah. Oleh karena
itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dra. Ani W. Soetjipto, MA selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya dengan tulus dalam penyusunan
tesis ini;
2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia yang telah mendukung biaya pendidikan S2
melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Calon
Dosen;
3. Bapak Mansur, Ibu Siti Fatimah, kakak, adik, dan segenap anggota keluarga
yang telah memberikan dukungan material maupun moral;
4. Bapak Theodore Permadi Rachmat yang membuat penulis dapat ‘mencicipi’
pendidikan S1 melalui Paramadina Fellowship
5. Keluarga besar SWA Media Group dan AndrewTani & Co. yang telah
mencurahkan dukungan luar biasa selama penulis belajar di Universitas
Indonesia;
6. Segenap mahasiswa S2 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia
lintas angkatan yang menjadi teman terbaik untuk bertukar pikiran mengenai
urusan personal maupun professional. Khususnya kepada Puji Nugroho,
Elbram Apriyanto, Arie Raditya, Andrea Prisca, Ni Luh Bayu Purwa Eka
Payani, Muhammad Ikbal, Desak Putu Sinta Suryani, Aprianisah Fitri,
Rachmayani, dan Puti Parameswari.
7. Keluarga besar POMOSDA, Kompas Gramedia, Anakkampus.org,
Universitas Paramadina, ASEAN Secretariat, Partnership for Governance
Akhir kata, semoga sumbangan pemikiran dalam tesis yang tak seberapa ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia
tercinta.
vi
Tesis ini membahas mengenai advokasi Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN
(TF-AMW) terhadap ASEAN dalam perlindungan hak-hak buruh migran periode
2007-2010. TF-AMW merupakan suatu jejaring masyarakat sipil yang berupaya
menekan ASEAN sebagai organisasi regional guna mengadopsi instrumen yang
dibuatnya agar seluruh negara di Asia Tenggara meratifikasi standar internasional
dalam perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran. Dengan metode
kualitatif, penelitian ini berupaya menganalisis bagaimana jejaring TF-AMW
terbentuk, bagaimana strategi advokasi yang diterapkan untuk mengadvokasi
ASEAN, dan bagaimana hasil dari advokasi tersebut. Penelitian ini menarik
kesimpulan bahwa belum berhasilnya advokasi TF-AMW dipicu oleh terbatasnya
ruang politik dari ASEAN kepada kelompok masyarakat sipil, dominannya
norma-norma ASEAN Way yang sebenarnya mencerminkan bagaimana organisasi
ini memandang hak-hak buruh migran sebagai isu HAM, dan tidak adanya
momentum politik.
Kata Kunci: Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN, hak-hak buruh migran,
ASEAN, jejaring advokasi masyarakat sipil
viii
Universitas Indonesia
ix
Universitas Indonesia
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS………………………………...iii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………....iv
KATA PENGANTAR………………………………………………………….....v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………………..vii
ABSTRAK………………………………………………………………………viii
ABSTRACT………………………………………………………………………ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………………....x
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………...xii
DAFTAR TABEL………………………………………………………………..xv
1. PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………….9
1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian…………………………………...9
1.3.1 Tujuan Penelitian……………………………………………...9
1.3.2 Signifikansi Penelitian……………………………………….10
1.4 Tinjauan Pustaka…………………………………………………...10
1.4.1 Peran Aktor Non-Negara di ASEAN………………………..10
1.4.2 Tata Kelola Pemerintahan Regional dalam Perlindungan Buruh
Migran……………………………………………………….14
1.4.3 Jejaring Advokasi Masyarakat Sipil dalam Pembangunan
Mekanisme HAM ASEAN…………………………………..16
1.4.4 Jejaring Advokasi Masyarakat Sipil dalam Perlindungan Hak-
Hak Masyarakat Adat ASEAN………………………………19
1.4.5 Lemahnya Daya Tawar Masyarakat Sipil dalam Pembangunan
Masyarakat ASEAN yang Pro-HAM………………………..22
1.5 Kerangka Pemikiran…………………………………………………27
1.5.1 Teori Konstruktivisme……………………………………….27
1.5.2 Konsep Jejaring Advokasi Transnasional…………………...30
1.5.3 Konsep Hak Asasi Manusia………………………………….36
1.6 Model Penelitian…………………………………………………….37
1.7 Metodologi Penelitian……………………………………………….37
1.8 Asumsi Penelitian dan Hipotesis Penelitian…………………………39
1.8.1 Asumsi Penelitian……………………………………………39
1.8.2 Hipotesis Penelitian………………………………………….40
1.9 Sistematika Penulisan………………………………………………..40
5. PENUTUP……………………………………………………………….159
5. 1. Kesimpulan..……...……..……......……..…….... ..……...……..….159
5. 2. Keterbatasan Penelitian..……...……..……......……..…….... ..…...161
5. 3. Saran..……...……..……......……..…….... ..……...……..………...162
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….....163
LAMPIRAN………………………………………………………....................174
xi
Universitas Indonesia
xiv
Universitas Indonesia
xv
Universitas Indonesia
1
Asia Pacific Forum of National Human Rights Institutions, Promoting and Protecting the Rights
of Migrant Workers: The Role of National Human Rights Institutions, (Sydney: Asia Pacific
Forum of National Human Rights Institutions, 2010), hlm. viii.
2
Square Eye, “Welcoming the stranger - migrant workers in a globalised economy”, dalam
http://clients.squareeye.net/uploads/anglican/documents/AnglicanAlliance_Migrants_20130830.pd
f (diakses pada 17 September 2014 pukul 07.31 WIB).
3
Philippine Institute for Development Studies, “Different Streams, Different Needs and Different
Impacts: Managing International Labor Migration in ASEAN”, Policy Brief No. 05 (Makati City:
Philippine Institute for Development Studies, 2012), hlm. 1-3.
1
Universitas Indonesia
4
UN Women Asia Pacific Regional Office, Managing Labor Migration in ASEAN: Concerns for
Women Migrant Workers, (Bangkok: UN Women Asia Pacific Regional Office, 2013), hlm. 11-
16.
5
Ibid.
6
Gloria O. Pasadilla, “Social Security and Labor Migration in ASEAN, Research Policy Brief 34,
(Tokyo: Asian Development Bank Institute, 2011), hlm.8.
7
Nicola Piper, “Governance of Migration and Transnationalisation of Migrants’ Rights: An
Organisational Perspective”, COMCAD Arbeitspapiere - Working Papers No. 22, (Bielefeld:
Center on Migration, Citizenship and Development; 2007), hlm. 6-7.
Universitas Indonesia
8
Anak Agung Banyu Perwita, “ASEAN Charter and a more people-centric grouping”, The Jakarta
Post, July 15 2008.
9
International Labour Organization, “ILO Declaration on the Fundamental Principles and Rights
at Work”, dalam http://www.ilo.org/ declaration/lang--en/index.htm (diakses pada 22 Februari
2015 pukul 11.01 WIB).
Universitas Indonesia
kerja anak secara efektif, dan 4) penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan
jabatan. Deklarasi tersebut mewajibkan setiap negara untuk memenuhi 8
Konvensi Dasar Perburuhan ILO: 10 1) Konvensi No. 87/1948 Tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama,
2), Konvensi No. 98/1949 Tentang Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding
Bersama, 3) Konvensi No. 29/1930 Tentang Kerja Paksa, 4) Konvensi No.
105/1957 Tentang Penghapusan Kerja Paksa, 5) Konvensi No. 138/1973 Tentang
Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, 6) Konvensi No. 182/1999
Tentang Dampak Pekerjaan Buruk Bagi Para Pekerja Anak, 7) Konvensi No.
100/1951 Tentang Upah Yang Sama Untuk Pekerjaan Yang Sama, dan 8)
Konvensi No. 111/1958 Tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan.
Sampai tahun 2014, negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung
dalam ASEAN belum sepenuhnya meratifikasi 8 Konvensi Dasar Perburuhan ILO
dengan rincian sebagai berikut: 11
1. Indonesia: telah meratifikasi 8 konvensi
2. Filipina: telah meratifikasi 8 konvensi
3. Kamboja: telah meratifikasi 8 konvensi
4. Singapura: baru meratifikasi 5 konvensi yaitu No. 98, 29, 138, 182, dan
100
5. Malaysia: baru meratifikasi 5 konvensi yaitu No. 98, 29, 138, 182, dan 100
6. Thailand: baru meratifikasi 5 konvensi yaitu No. 29, 105, 138, 182, dan
100
7. Vietnam: baru meratifikasi 5 konvensi yaitu No. 29, 138, 182, 100 dan 111
8. Laos: baru meratifikasi 3 konvensi yaitu No. 29, 138 dan 182
9. Myanmar: baru meratifikasi 2 konvensi yaitu No. 87 dan 29
10. Brunei Darussalam: baru meratifikasi 1 konvensi yaitu No. 182
Selain 8 Konvensi Dasar Perburuhan di atas, terdapat sejumlah konvensi
tambahan yang secara spesifik mengatur tentang buruh migran. Hal tersebut
tercantum jelas dalam International Convention on the Protection of the Rights of
10
“Standar Internasional Perburuhan”, dalam https://sites.google.com/site/pekerjaanbaik/ berita/
standarinternasionalperburuhan (diakses pada 24 Februari 2015).
11
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “ASEAN must recognize domestic work as ‘work’,”
dalam http://www.workersconnection.org/ articles.php?more=143 (diakses pada 24 Februari 2015
pukul 09.23 WIB).
Universitas Indonesia
All Migrant Workers and Member of Their Families yang disahkan melalui
Resolusi Majelis Umum PBB 45/158 pada 18 Desember 1990. 12 Konvensi ILO
yang terkait ialah 1) Konvensi mengenai Migrasi untuk Bekerja (No.97), 2)
Konvensi mengenai Migrasi Dalam Keadaan Teraniaya dan Pemajuan
Kesempatan dan Perlakuan bagi Buruh Migran (No.143), dan 3) Konvensi
mengenai Penyalur Tenaga Kerja Swasta (No.181).
Walaupun seluruh negara anggota ASEAN telah menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak serta-merta seluruh negara tersebut
meratifikasi konvensi-konvensi di atas. Hal itu berkaitan dengan kepentingan
masing-masing negara khususnya dalam peningkatan perlindungan,
penghormatan, pemajuan dan pemenuhan HAM, khususnya hak seluruh buruh
migran dan anggota keluarganya. Karena setiap negara yang telah meratifikasi
konvensi tersebut diwajibkan melakukan harmonisasi hukum nasional dan
menyampaikan laporan implementasinya kepada Komite Perlindungan Hak-Hak
Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Sejauh ini hanya Filipina,
Indonesia dan Kamboja yang telah meratifikasi International Convention on the
Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families.
Bahkan, untuk Convention 189 Decent Work for Domestic Workers baru Filipina
yang telah meratifikasinya.
Sebagai sebuah organisasi regional, ASEAN seharusnya berkomitmen
untuk memajukan keadilan sosial, pekerjaan yang layak, perlindungan sosial dan
pelaksanaan yang efektif dari Standar Perburuhan Internasional – setidaknya
standar minimum – untuk mengatasi ketidakadilan, pelecehan dan eksploitasi
semua pekerja untuk memastikan bahwa kemakmuran dibagi secara adil dengan
semua. Terlebih lagi dengan telah lahirnya Piagam ASEAN, organisasi ini harus
mengakui bahwa buruh migran bukanlah komoditas yang hanya berorientasi
bisnis. Oleh karena itu, harus diciptakan peluang yang adil bagi seluruh warga
Asia Tenggara untuk bekerja dalam kebebasan, keamanan, dan martabat.
12
Office of the High Commissioner for Human Rights, “International Convention on the
Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families”, dalam
http://www2.ohchr.org/english/bodies/cmw/cmw.htm (diakses pada 18 Oktober 2014 pukul 15.56
WIB).
Universitas Indonesia
13
Vientiane Action Programme (VAP) ialah penerus Hanoi Plan of Action (HPA) yang
diimplementasikan pada periode 2004-2010, sebagai sebuah instrumen untuk menyatukan dan
menghubungkan strategi maupun tujuan dari tiga pilar Masyarakat ASEAN 2015 yaitu politik-
keamanan, sosial-budaya, dan ekonomi. VAP merupakan sebuah kendaraan untuk membangun
masyarakat ASEAN melalui integrasi yang komprehensif. Lihat “Chairman’s Statement of the 10th
ASEAN Summit Vientiane, 29 November 2004”, dalam http://www.asean.org/news/item/chairman-s-
statement-of-the-10th-asean-summit-vientiane-29-november-2004 (diakses pada 8 Maret 2015 pukul 10.13 WIB).
14
“ASEAN Declaration on the Protection and Promotions of the Rights of Migrant Workers”,
dalam http://www.asean.org/communities/asean-political-security-community/item/asean-
declaration-on-the-protection-and-promotion-of-the-rights-of-migrant-workers-3 (diakses pada 8
Maret 2015 pukul 11.50 WIB).
Universitas Indonesia
15
Ben Perkasa Drajat, “An ASEAN Way of Protecting Indonesian Migrant Workers”, The Jakarta
Post, May 3 2012.
16
Dorottya Atol, NGOs As Norm-Constructors: The Human Rights Activism of Asian NGOs and
Their Role in Shaping The Regional Human Rights Discourse (Dissertation, University of Western
Sydney, 2010), hlm.195.
17
Ibid.
18
ACMW dibentuk untuk memastikan efektifitas implementasi komitmen Deklarasi dan
memfasilitasi pembangunan instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak
Buruh Migran. ACMW dibentuk dengan struktur: 1) terdiri dari satu perwakilan senior masing-
masing negara anggota ASEAN dan Sekretariat ASEAN, 2) dibantu oleh satu perwakilan instansi
Universitas Indonesia
pemerintah yang terkait dari masing-masing negara anggota, 3) melapor kepada Senior Labor
Officials Meeting (SLOM), 4) diketuai oleh perwakilan negara yang memegang kepemimpinan
ASEAN Standing Committee, dan 5) disediakan bantuan kesekretariatan dari Sekretariat ASEAN.
Lihat “Statement of the Establishment of the ASEAN Committee on the Implementation of the
ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers”, dalam
http://www.asean.org/communities/asean-political-security-community/item/statement-of-the-establishment-of-the-asean-
committee-on-the-implementation-of-the-asean-declaration-on-the-protection-and-promotion-of-the-rights-of-migrant-workers
(diakses pada 8 Maret 2015 pukul 11.22 WIB).
19
Civil Society Proposal: ASEAN Framework Instrument on the Protection and Promotion of the
Rights of Migrant Workers, (Singapore: Task Force on ASEAN Migrant Workers, 2009), hlm.117.
20
Ibid., hlm.9.
Universitas Indonesia
21
Ben Perkasa Drajat, op.cit.
22
Tess Bacalla, “ASEAN locks horns on migrant workers’ right”, dalam http://verafiles.org/asean-
locks-horns-on-migrant-workers-rights/ (diakses pada 17 November 2014).
Universitas Indonesia
institusi regional yaitu ASEAN. Aktor non-negara yang dimaksud ialah Satuan
Tugas Buruh Migran ASEAN (Task Force on ASEAN Migrant Workers) yang
menggunakan kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memperjuangkan hak-
hak buruh migran. Aktor ini menekan ASEAN sebagai organisasi regional untuk
mengadopsi instrumen perlindungan hak-hak buruh migran yang telah dibuatnya.
Universitas Indonesia
dan Filipina. Lima negara berikutnya yaitu Brunei Darussalam, Laos, Myanmar,
Kamboja dan Vietnam kemudian bergabung dalam waktu yang tidak bersamaan.
Dalam Deklarasi Bangkok disebutkan beberapa tujuan didirikannya ASEAN 23,
tiga di antaranya ialah 1) mempercepat pertumbuhan, kemajuan sosial dan
perkembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara; 2) memelihara perdamaian
dan stabilitas dengan menjunjung tinggi hukum dan hubungan antara negara-
negara di Asia Tenggara; dan 3) meningkatkan kerjasama yang aktif dan saling
membantu dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi dan administrasi.
Pada tahun 1997 negara-negara Asia Tenggara berkomitmen untuk
membentuk sebuah masyarakat yang tertuang dalam pernyataan ASEAN Vision
2020. Bali Concord II pada tahun 2003 menyepakati untuk mempercepat
terwujudnya Masyarakat ASEAN pada tahun 2015 dengan tiga pilar yaitu politik-
keamanan, ekonomi dan sosial-budaya. 24 Kemajuan tersebut diperkuat dengan
ratifikasi Piagam ASEAN pada 15 Desember 2008 25 yang memberikan status
hukum dan kerangka kelembagaan, menyediakan akuntabilitas dan kepatuhan,
menetapkan target yang jelas bagi visi organisasi dan mencerminkan norma,
aturan dan nilai-nilai ASEAN.
Ada banyak tulisan yang secara umum membahas mengenai peran aktor
non-negara di ASEAN. Namun, salah satu tulisan yang secara spesifik
menganalisis peran masyarakat sipil ialah berjudul The Role of Non-State Actors
in ASEAN karya Alexander Chandra dalam buku Revisiting Asian Regionalism
yang diterbitkan pada tahun 2006. Menurut Chandra, sebelum krisis ekonomi
(1997-1998), sebagian besar organisasi masyarakat sipil di ASEAN – di luar
masyarakat akademik dan bisnis – tidak terlibat atau tertarik dalam isu-isu
regionalisme maupun proses pengambilan keputusannya. Kelompok masyarakat
sipil memandang ASEAN sebagai sebuah organisasi elit yang disetir oleh
23
The ASEAN Secretariat, “The ASEAN Declaration (Bangkok Declaration) Bangkok, 8 August
1967”, dalam http://www.asean.org/news/item/the-asean-declaration-bangkok-declaration#
(diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 14.32 WIB).
24
The ASEAN Secretariat, “Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II)”, dalam
http://www.asean.org/ news/item/declaration-of-asean-concord-ii-bali-concord-ii# (diakses pada
12 Oktober 2014 pukul 14.48 WIB).
25
The ASEAN Secretariat, “ASEAN Charter”, dalam http://www.asean.org/asean/asean-charter
(diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 14.49 WIB).
Universitas Indonesia
26
Alexander Chandra, “The Role of Non-State Actors in ASEAN”, dalam Revisiting Asian
Regionalism, (Bangkok: Focus on the Global South, 2006), hlm.71-82.
27
Ibid.
Universitas Indonesia
November 2004. Baik ACSC maupun SAPA dapat dianggap sebagai forum dan
jejaring alternatif untuk terlibat dengan ASEAN. 28
Pada ACSC pertama di Malaysia tahun 2005, organisasi-organiasasi
masyarakat sipil mulai membentuk jejaring baru. Sejumlah organisasi non-
pemerintah terlibat dalam kegiatan tersebut seperti Solidarity for Asian People’s
Advocacy (SAPA), FORUM-ASIA, Southeast Asian Committee for Advocacy
(SEACA), Third World Network (TWN), dan Asian Partnership for the
Development of Human Resources in Rural Asia (AsiaDHRRA). Pada ACSC
kedua di Filipina tahun 2006 dipelopori oleh SAPA. Berbeda dengan pertemuan
di Malaysia, para pertemuan ini tidak didukung oleh pemerintah tuan rumah. Pada
ACSC ketiga di Singapura tahun 2007 diselenggarakan oleh SAPA yang mana
sebelumnya pemerintah Singapura menggelar kegiatan serupa dengan nama yang
sama. Bahkan pada tahun ini ASEAN’s People Assembly (APA) diselenggarakan
di Filipina dan melaporkan hasilnya ke ASEAN-ISIS (Institutes of Strategic and
International Studies). Hal ini menunjukkan tidak solidnya jejaring masyarakat
sipil di ASEAN karena adanya beragam kegiatan yang tumpang tindih dengan
tujuan yang sama. 29
Menyadari pentingnya melibatkan masyarakat sipil dalam pembangunan
Masyarakat ASEAN, dalam Cetak Biru Masyarakat Sosial Budaya ASEAN
disebutkan bahwa ASEAN berencana untuk meningkatkan kesadaran yang lebih
besar dan nilai-nilai bersama dengan semangat persatuan dalam keragaman di
semua tingkat masyarakat. ASEAN berupaya untuk membangun sebuah
organisasi yang berorientasi masyarakat di mana orang-orang merupakan pusat
pembangunan masyarakat. 30
28
Ibid.
29
Simon Tay and Lim May-Ann, “Assessment and Overview: ASEAN and Regional Involvement
of Civil Society,” Singapore Institute of International Affairs, dalam
http://www.siiaonline.org/download.aspx?URL=~/UploadedFiles/Downloads_Downloads_63aa18
286c4946b8880528692d9805af.PDF&FileName=Downloads_63aa18286c4946b8880528692d980
5af.PDF (diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 16.52 WIB).
30
The ASEAN Secretariat, “ASEAN Socio-Cultural Community,” dalam http://www.asean.org/
communities/asean-socio-cultural-community (diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 15.27 WIB).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
yang unik dalam konteks regionalisme Asia Tenggara melalui mobilisasi struktur,
kerangka aksi kolektif dan beragam cara pertentangan lainnya. 31
Jenina Joy Chaves juga menulis di artikel lainnya yang berjudul Regional
Governance of Migration: ASEAN’s Conundrum and Spaces for Civil Society
Intervention. Dalam tulisan ini, Chaves menjelaskan lambatnya kemajuan
instrumen ASEAN dalam perlindungan buruh migran yang salah satunya
disebabkan oleh masih dipakainya perjanjian kerja bilateral dan nota kesepahaman
antar negara anggota di Asia Tenggara. Terlebih lagi sangat sulit untuk menilai
efektifitas dua hal tersebut karena dokumen-dokumennya biasanya tidak dapat
diakses oleh publik dan nihilnya repositori pusat. Dari data yang dapat diakses
pun lebih banyak mengenai prosedur rekrutmen dan peraturan aliran migrasi. Di
sisi lain, dokumen mengenai mekanisme perlindungan dan kesejahteraan buruh
migran maupun mekanisme pemantauan dan penegakannya sulit diakses. 32
Peneliti selanjutnya yang mendukung pembahasan di atas ialah Andy Hall
pada tahun 2011 dengan tulisannya yang berjudul Migrant Workers’ Rights to
Social Protection in ASEAN: Case Studies of Indonesia, Philippines, Singapore
and Thailand. Menurut Andy, sebenarnya dalam Peta Jalan Masyarakat ASEAN
2015 telah disebutkan bahwa terdapat empat aksi dalam pilar politik-keamanan
dan sosial-budaya yang merupakan salah satu langkah strategis dalam
perlindungan dan pemajuan hak-hak buru migran. Pertama, bekerjasama erat
dengan upaya badan-badan sektoral dalam pembangunan AIMW. Kedua,
memperkuat kerjasama ASEAN dalam perlindungan buruh migran perempuan.
Ketiga, menyediakan jasa konsultasi guna mengembangkan kapasitas negara-
negara anggota dalam mengelola program tenaga kerja di luar negeri. Keempat,
menyediakan pelatihan/bantuan teknis/pembangunan kapasitas pada tahun 2011
31
Jenina Joy Chavez, Transnational Social Movements in ASEAN Policy Advocacy: The Case of
Regional Migrants’ Rights Policy, (Geneva: United Nations Research Institute for Social
Development, 2013), hlm. 3.
32
Jenina Joy Chavez, “Regional governance of migration: ASEAN’s conundrum and spaces for
civil society intervention”, dalam Rethinking regionalisms in times of crises: A collection of
activists’ perspectives from Latin America, Asia, Africa and Europe (Bangkok: Focus on the
Global South, 2013), hlm.94-99.
Universitas Indonesia
33
Andy Hall, Migrant Workers’ Rights to Social Protection in ASEAN: Case Studies of Indonesia,
Philippines, Singapore and Thailand, (Singapore: Friedrich-Ebert-Stiftung Office for Regional
Cooperation in Asia, 2011), hlm.24-28.
34
Working Group on ASEAN Human Rights Mechanism, “Joint Communiqué of the 26th
ASEAN Ministerial Meeting,” dalam http://www.aseanhrmech.org/downloads/1993 _Joint _
Communique.pdf (diakses pada 26 Maret 2015 pukul 20.51 WIB).
35
Asian Forum for Human Rights and Development, “Letter to the Secretary of the Human Rights
Sub-Committee of the Joint Standing Committee on Foreign Affairs, Defense and Trade’, dalam
http://www.FORUMASIA.org/news/press_releases/ pdfs/ Submission %20on% 20AHRB % 20 to
%20Australian%20Parliament%20House%20Dec%202008.pdf (diakses pada 26 Maret 2015
pukul 21.02 WIB).
Universitas Indonesia
High Level Penel ke-41 untuk mempengaruhi para pengambil keputusan ASEAN
dalam bentuk draf Kerangka Acuan Mekanisme HAM ASEAN. 36
Dengan pendekatan bottom-up dalam melancarkan advokasinya, ada dua
tujuan TF-AHR didirikan. Pertama, mendorong dibentuknya mekanisme HAM
ASEAN. Kedua, membentuk badan HAM ASEAN yang di kemudian hari
terwujud yaitu ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights
(AICHR).
Dalam perkembangannya, hasil advokasi TF-AHR tidak sebagaimana
yang diharapkan. ASEAN bersikukuh dengan menegaskan bahwa intervensi
terhadap urusan domestik negara-negara anggotanya tidak dibenarkan. Pada
konteks ini, ASEAN mempolitisasi isu HAM mengingat HAM dapat menjadi alat
untuk mewujudkan kepentingan nasional. Untuk menyikapi hal itu, TF-AMW
menerapkan kerangka moral dengan menerjemahkan nilai-nilai HAM sebagai
sebuah tujuan akhir yaitu keadilan, kesetaraan, toleransi dan kebenaran yang
saling terkait.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa ASEAN memprioritaskan prinsip
kedaulatan nasional dan elitisme antarpemerintah yang enggan menerima
masukan dari aktor-non negara, berbagai informasi atau mengizinkan
keterlibatannya dalam diskusi maupun proses pengambilan keputusan.
Menanggapi sikap ASEAN, TF-AHR bersikeras untuk terus menggulirkan
wacana mengenai mekanisme HAM walaupun ASEAN kerap kali menolak
kehadiran mereka. Hal ini bertentangan dengan komitmennya untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat ddalam proses pembangunan Masyarakat
ASEAN. 37
Kendati usaha TF-AHR untuk berinteraksi dengan ASEAN dan High
Level Panel tidak pernah pudar, proses pembentukan mekanisme HAM ASEAN
36
Asia-Pacific Human Rights Information Center, “The Process of Establishing an ASEAN
Human Rights Body,” dalam http://www.hurights.or.jp/asia-pacific/053/03.html diakses pada 26
Maret 2015 pukul 20.45 WIB.
37
Association of Southeast Asian Nations, “Press Release: Outcome of the ASEAN Foreign
Ministers Meeting with the High-Level Panel (HLP) on Human Rights Body and the ASEAN
Foreign Ministers Meeting with the High Level Legal Experts’ Group on Follow-up to the
ASEAN Charter (HLEG),” S-4/2552, 42nd ASEAN Ministerial Meeting (Phuket, Thailand, 17-23
July 2009), dalam http://www.42ammpmc.org/pdf- AMM/19PRAS_HLP_HLEG.pdf (diakses
pada 26 Maret 2015 pukul 21.12 WIB).
Universitas Indonesia
38
sebagian besar masih tertutup untuk mereka. High Level Panel sendiri hanya
menggelar dua musyawarah dengan perwakilan masyarakat sipil pada September
2008 dan Maret 2009. Bahkan diskusi yang semula direncanakan melibatkan
masyarakat sipil, dibatalkan dengan alasan tidak produktif.
TF-AHR juga mengkritik kurangnya indepedensi badan HAM. Oleh
karena itu, jejaring ini sejak awal penyusunan draf Kerangka Acuan mendesak
agar badan HAM bebas dari campur tangan politik dan intervensi pemerintah.
ASEAN didesak untuk mengikuti standar internasional, merujuk kepada prinsip-
prinsip Paris, dan menitikberatkan pentingnya fungsi independen. 39
Meskipun desakan TF-AHR untuk mewujudkan mekanisme HAM
ASEAN tak pernah surut, pada akhirnya High Level Panel memutuskan bahwa
badan HAM terdiri dari perwakilan yang hanya mewakili kepentingan negara,
bukan ASEAN ataupun masyarakat sipil. Norma “ASEAN Way” dalam konteks
ini sangat relevan mengingat badan HAM yang akhirnya terbentuk bernama
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights dengan basis antar-
pemerintah. Hal ini mencerminkan bahwa negara-negara anggota ASEAN
mempolitisasi HAM karena enggan melepaskan kendali atas kebijakan HAM
nasional. Jika perwakilan independen terwujud dalam Komisi sebagaimana yang
diusulkan oleh TF-AHR, mereka akan mengkritik rekam jejak HAM masing-
masing anggota ASEAN. Suatu kondisi yang tidak mungkin jika anggota Komisi
merupakan perwakilan resmi pemerintah.
Akibat masih berlakunya prinsin non-intervensi, mandat perlindungan
pada AICHR sulit untuk diwujudkan. Selain kurangnya independensi anggota
Komisi, dalam Kerangka Acuan AICHR juga hanya menjelaskan mengenai fungsi
promosi sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menindaklanjuti kasus
pelanggaran HAM. Hal ini mendorong TF-AHR meluncurkan kampanye dan
38
Solidarity for Asian People’s Advocacy, “Submission from the Second Regional Consultation
on ASEAN and Human Rights to the High Level Panel on the Establishment of the ASEAN
Human Rights Body,” Art. 15 (a) (7 August 2008), dalam www.FORUM-ASIA.org/.../1st-CS-
Submission-TOR-AHRB-2008-Sept(2).pdf (diakses pada 26 Maret 2015 pukul 21.15 WIB).
39
Office of the High Commissioner for Human Rights, “Principles Relating to the Status of
National Institutions (The Paris Principles),” (20 December 1993), dalam
http://www2.ohchr.org/english/law/parisprinciples.htm (diakses pada 26 Maret 2015 pukul 21.17
WIB).
Universitas Indonesia
40
Asian Forum for Human Rights and Development, “Civil Society Wants ASEAN Human Rights
Body with “Teeth”,” (3 March 2009), dalam http://www.FORUMASIA.org/index.php?option
=com_content & task =view&id=2086&Itemid=32 (diakses pada 26 Maret 2015 pukul 21.24
WIB).
41
SAPA Task Force on ASEAN and Human Rights, “Submission to the High Level Panel on the
Establishment of an ASEAN Human Rights (HLP) during the HLP- Civil Society Dialogue
Session: Key Points of Concern on the Draft Terms of Reference (TOR) of the ASEAN human
rights body (AHRB),” (JW Marriot Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia, 20 March 2009), dalam
http://www.FORUMASIA.org/news/press_releases/pdfs/3rd-CS-Submission-TOR-AHRB-2009-
Mar.pdf (diakses pada 26 Maret 2015 pukul 21.28 WB).
42
NGO Resource Centre Vietnam, “Submission of the Indigenous Peoples Task Force on ASEAN
and AIPP to the Drafting of the ASEAN Human Rights Declaration”, dalam
http://www.ngocentre.org.vn/webfm_send/3565 (diakses pada 29 Maret 2015 pukul 13.25 WIB).
Universitas Indonesia
43
Asia Indigenous People Pact (AIPP) merupakan sebuah organisasi regional yang dibentuk pada
tahun 1988 oleh gerakan masyarakat adat dan didirikan sekretariatnya pada tahun 1992. Organisasi
ini berkomittmen untuk memajukan dan membela hak-hak masyarakat adat dan hak asasi manusia
secara umum. Selama bertahun-tahun AIPP telah melobi dan mengadvokasi pada isu-isu hak
masyarakat adat di berbagai tingkat, memperkuat para pemimpin dan organisasi masyarakat adat
melalui pembangunan kapasitas, dan memperluas cakupannya ke banyak organisasi masyarakat
adat, ahli masyarakat adat, advokat dll. Dalam perkembangannya, organisasi ini membesar dengan
anggota tidak kurang dari 47 di 14 negara Asia dengan rincian 14 organisasi nasional, 15 sub-
nasional, dan 18 lokal. 6 anggota di antaranya merupakan Organisasi Perempuan Adat dan 4
Organisasi Pemuda Adat. Ia juga mewakili seluruh negara Asia Tenggara, kecuali Singapura dan
Brunei Darussalam. Lihat http://www.aippnet.org/index.php/about-us (diakses pada 31 Maret 2015
pukul 05.56 WIB).
44
Asia Indigineous People Pact, “Promote And Protect Rights to Land, Territory, Resources And
Development Of Indigenous Peoples and Ethnic Minorities (IP/EM) in ASEAN”, dalam
http://www.aippnet.org/index.php/human-rights/763-statement-of-indigenous-peoples-a-ethnic-
minorities-ipaem-of-asean (diakses pada 29 Maret 2015 pukul 13.20 WIB).
Universitas Indonesia
yang tidak dapat menikmati hak-hak pribadi secara penuh tanpa pengakuan hak-
hak kolektif. Oleh karena itu mendesak ASEAN untuk mengadopsi dan
mengamalkan secara penuh UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
(UNDRIP).
IPTF membingkai hak-hak masyarakat adat sebagai bagian integral standar
HAM internasional. Sehingga, advokasi yang diupayakan ialah mendesak
ASEAN mengakui dan memasukkan hak-hak masyarakat adat ke dalam dokumen
dan cetak biru. Secara spesifik dan eksplisit, IPTF mendorong ASEAN
memasukkan pengakuan identitas dan keragaman budaya maupun UNDRIP
dalam Deklarasi HAM ASEAN. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan
hubungan kerjasama dan harmoni antara negara dan masyarakat adat. Selain itu,
juga berkontribusi untuk mewujudkan perdamaian, keadilan sosial, kesetaraan,
demokrasi, dan pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan visi ASEAN
sebagai organisasi yang berpusat pada rakyat, peduli dan berbagi.
Selain itu, IPTF juga mendesak ASEAN untuk melakukan beberapa hal. 45
Pertama, memasukkan Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebagai hak
masyarakat adat dalam hukum dan kebijakan nasional guna memastikan
implementasi program dan proyek terkait. Kedua, mengakui, menghormati dan
memajukan kontribusi masyarakat adat dan etnis minoritas terhadap kearifan lokal
dalam manajemen sumber daya berkelanjuan untuk adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim. Ketiga, mendirikan dan menegakkan mekanisme efektif untuk
mencari ganti rugi dan akses terhadap keadilan termasuk pendekatan pluralisme
hukum terkait kerusakan proyek masa lalu dan kini yang tidak bermusyawarah
dengan masyarakat adat. Keempat, membentuk menakisme efektif di tingkat
lokal, nasional dan regional untuk partisipasi masyarakat adat dalam seluruh
proses pengambilan keputusan, termasi tata kelola pemerintahan. Kelima,
mendorong seluruh negara anggota ASEAN meratifikasi Convention on the
Elimination of all Forms of Racial Discrimination dan memastikan
implementasinya. Keenam, menempatkan focal person perwakilan masyarakat
adat dalam AICHR dalam rangka mendirikan sebuah kelompok kerja masyarakat
45
Ibid.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
48
Lihat “The ASEAN Declaration (Bangkok Declaration) Bangkok, 8 August 1967”, dalam
http://www.asean.org/news/item/the-asean-declaration-bangkok-declaration (diakses pada 28
Maret 2015 pukul 20.21 WIB).
49
The ASEAN Secretariat, “Joint Communique of the Twenty-Sixth ASEAN Ministerial Meeting,
Singapore, 23-24 July 1993”, dalam http://www.asean.org/communities/asean-political-
securitycommunity/item/joint-communique-of-the-twenty-sixth-asean-ministerial-meeting-
singapore-23-24-july-1993 (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 20.57 WIB).
50
Centre for International Law – National University of Singapore, 2004 Vientiane Action
Programme 2004-2010, ASEAN (Nov. 29, 2004), dalam http://cil.nus.edu.sg/
rp/pdf/2004%20Vientiane%20Action%20Programme%202004-2010-pdf.pdf (diakses pada 28
Maret 2015 pukul 21.01 WIB).
Universitas Indonesia
51
Tabloid Diplomasi, “Piagam ASEAN Mendorong Kesiapan Nasional Melaksanakan Komitmen
Regional”, dalam http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/51-april-2008/463-piagam-
asean-mendorong-kesiapan-nasional-melaksanakan-komitmen-regional.html (diakses pada 21.12
WIB).
52
The ASEAN Secretariat, “Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara”, dalam
http://www.asean.org/archive/AC-Indonesia.pdf (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 21.15 WIB).
53
Abubakar Eby Hara, “The Development of an ASEAN Human Rights Perspective and the
formation of Asean Intergovernmental Commission on Human rights (AICHR)”, dalam
http://www.icird.org/publications?task=file&action=download&path=%5BDIR_PUBLICATIONS
_PAPER%5D01_abubakarebyhara_fullpaper.pdf (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 21.35 WIB).
54
The ASEAN Secretariat, “Cha-Am Hua Hin Declaration On The Intergovernmental
Commission On Human Rights”, dalam http://www.asean.org/images/ archive/ documents
/Declaration-AICHR.pdf diakses pada 28 Maret 2015 pukul 21.58 WIB.
Universitas Indonesia
pada penelitian, pelatihan dan lokakarya HAM. Berdirinya lembaga ini kurang
melibatkan partisipasi masyarakat sipil sebagaimana yang dijanjikan pada Piagam
ASEAN. Selain itu, AICHR mendapatkan kritikan keras karena tidak memiliki
mandat untuk perlindungan HAM, wewenang untuk menyelidiki kasus maupun
menghukum pelaku pelanggaran, 55 dan mekanisme pengaduan. Bahkan, dari
sepuluh anggota komisi AICHR periode pertama hanya dua di antaranya yang
berasal dari unsur masyarakat sipil yaitu Rafendi Djamin (Indonesia) dan
Sriprapha Petcheramesree (Thailand).
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa ASEAN masih setengah hati dalam
merangkul masyarakat sipil guna mewujudkan Masyarakat ASEAN 2015 yang
people-centered. Hal ini dibuktikan dengan minimnya organisasi masyarakat sipil
yang terdaftar dan berafiliasi dengan Sekretariat ASEAN. 56 Dari ribuan Ornop
atau LSM yang ada di seluruh Asia Tenggara, sampai akhir Maret 2015, hanya 58
yang diakui oleh Sekretariat ASEAN. 57 Jumlah ini sama sekali tidak dapat
mewakili kepentingan lebih dari 615 juta rakyat ASEAN.
Lemahnya posisi dan daya tawar masyarakat sipil dalam pembangunan
Masyarakat ASEAN 2015 diperparah dengan norma yang dianut oleh ASEAN
yaitu ASEAN Way. Adalah suatu norma yang ditopang oleh proses interaksi
berdasarkan kerahasian, informalitas, non-konfrontatif 58, pengambilan keputusan
berlandaskan musyawarah untuk mencapai mufakat, dan menghindari
pembangunan institusi yang mengikat secara hukum. Norma tersebut ditunjang
oleh Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang lahir pada 24 Februari 1976
55
Ary Hermawan, “AICHR: ASEAN’s Journey to Human Rights”, The Jakarta Post, January 11,
2010, dalam http://www.thejakartapost.com/news/2010/01/11/aichr-asean%E2%80%99s-journey-
human-rights.html (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 22.14 WIB).
56
Organisasi masyarakat sipil yang terdaftar atau berafiliasi dengan Sekretariat ASEAN diartikan
sebagai sebuah organisasi non-profit yang dibuat oleh orang ASEAN, secara alami atau yuridis,
dijalankan untuk memajukan, memperkuat, dan membantu mewujudkan maksud dan tujuan
kerjasama ASEAN dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, medis, dan
teknologi, yang dapat bergabung dengan ASEAN. Lihat “Guidelines on ASEAN's Relations with
Civil Society Organisations (CSOs)”, dalam http://www.uni-global-post.org/upload/ meeting _in
_manila_verweis8.pdf (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 22.45 WIB).
57
The ASEAN Secretariat, “Register of ASEAN-Affiliated CSOs”, dalam
http://www.asean.org/archive/6070.pdf (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 22.46 WIB).
58
Ade M. Wirasenjaya and Ratih Herningtyas, ”ASEAN Way – at the crossroads”, The Jakarta
Post, July 17, 2013, dalam http://www.thejakartapost.com/news/2013/07/17/asean-way-crossroads
.html (diakses pada 28 Maret 2015 pukul 23.03 WIB).
Universitas Indonesia
59
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika,
Realitas dan Masa Depan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.23.
60
James Gomez and Robin Ramcharan, “Opinion: The ASEAN Way and Human Rights”, dalam
http://www.asiasentinel.com/society/asean-way-human-rights/ (diakses pada 29 Maret 2015 pukul
12.06 WIB).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
61
Paul R. Viotti and Mark V. Kauppi, International Relations Theory, (New York: Pearson, 2010),
hlm. 277.
Universitas Indonesia
aktor untuk menggeneralisasikan motivasi dan tingkah laku yang berbeda dengan
aktor lain. Artinya, identitas berpijak kepada subyektivitas sesuai dengan
pemahaman diri aktor tersebut. Dalam hal ini, identitas mencakup
intersubyektifitas atau kualitas sistemik yang dikonstitusikan baik oleh struktur
internal maupun eksternal.
Dalam konstruktivisme, pembentukan dan penyebaran norma dapat
berlangsung melalui proses dari atas ke bawah (bottom-up) yang memungkinkan
aktor lokal menantang dan mempengaruhi proses normatif global. Menurut
Amitav Acharya, hal ini dapat dijelaskan dengan teori Norm Localization. Yaitu
pembangunan aktif gagasan-gagasan asing oleh aktor-aktor lokal yang
menghasilkan kesesuaian dengan kepercayaan dan praktek lokal melalui wacana,
pembingkaian (framing), pencangkukan (grafting) dan seleksi budaya. 62 Ketika
kajian norma biasanya melihat pemindahan norma lama ke norma baru, lokalisasi
menekankan peran penting aktor lokal yang membangun kesesuaian antara –
bukan menggantikan –norma transnasional dengan kepercayaan dan praktek lokal.
Menurut Acharya, jarang sekali ada penerimaan norma secara keseluruhan,
akan tetapi yang ada adalah penyesuaian norma dengan nilai-nilai lokal. Oleh
karena itu, tanggapan aktor lokal menjadi faktor krusial dalam menganalisis.
Pendekatan lokalisasi tidak hanya menjelaskan bagaimana norma menyebar, akan
tetapi juga mengapa beberapa norma diterima di satu tempat namun ditolak di
tempat lainnya.
Terdapat dua faktor yang menentukan lokalisasi norma. Pertama,
pengambil norma – khususnya pendukung dari dalam – yang memiliki
kemampuan diskursif kredibel dan mempengaruhi pembangunan kembali norma
eksternal. Kedua, kekuatan norma lokal yang sudah ada. Semakin kuat norma
lokal, maka semakin besar kemungkinan norma eksternal akan dilokalisasi
daripada diterima secara penuh. Lagipula, sebuah norma dilokalisasi ketika ada
sebuah instrumen kebijakan baru atau institusi baru untuk mengejar tugas atau
tujuan baru. 63
62
Amitav Acharya, ”How Ideas Spread: Whose Norms Matter? Norm Localization and
Institutional Change in Asian Regionalism”. International Organization 58 (2, 2004): 239–275.
63
Ibid.
Universitas Indonesia
64
Donatella Della Porta and Sidney Tarrow, Transnational Protest and Global Activism (eds.),
(Lanham: Rowman & Littlefield, 2005), hlm. 1-17.
Universitas Indonesia
65
Ibid.
66
Helmut Anheier, Marlies Glasius and Mary Kaldor, “Introducing Global Civil Society”, dalam
Global Civil Society 2001, (Oxford: Oxford University Press, 2010), hlm.10.
Universitas Indonesia
kebebasan aliran dana. Masyarakat sipil pendukung percaya dengan adanya ‘just
wars’ dalam HAM.
Kedua. masyarakat sipil penentang yaitu kelompok yang mencakup
pergerakan-pergerakan antikapitalis, pergerakan-pergerakan nasionalis dan
fundamentalis, serta negara-negara otoriter. Kelompok ini merupakan masyarakat
kiri yang menentang kapitalisme global, serta masyarakat kanan dan kiri yang
berkehendak mempertahankan kedaulatan nasional. Kelompok ini mendukung
peran proteksi pemerintah dalam mengendalikan pasar, peredaran modal, dan
menentang segala bentuk intervensi yang dianggap sebagai bentuk imperialisme
dan mencampuri kedaulatan negara.
Ketiga, masyarakat sipil reformis yaitu sebagian besar organisasi non-
pemerintah internasional maupun jaringan dan pergerakan sosial. Kelompok ini
berjuang untuk mewujudkan globalisasi yang beradab (civilized), keadilan sosial
dan stabilitas, serta pembaruan dalam institusi ekonomi. Masyarakat sipil reformis
mendukung intervensi dari masyarakat sipil serta regulasi internasional untuk
mewujudkan implementasi HAM.
Keempat, masyarakat sipil alternatif yaitu gerakan-gerakan akar rumput,
serta pergerakan sosial dan gerakan bawah tanah. Kelompok ini berjuang untuk
tidak terlibat jauh dalam globalisasi. Kelompok masyarakat sipil alternatif
mendukung adanya intervensi dari masyarakat sipil dengan cara-cara non-militer.
Dalam buku berjudul Globalization and Social Movement: Culture,
Power, and the Transnational Public Sphere; John A. Guidry, Michael D.
Kennedy, dan Mayer N. Zald menjelaskan bahwa pergerakan sosial dapat
dijelaskan dari tiga tipologi analisis. 67 Pertama, struktur kesempatan politik yaitu
peluang yang muncul karena adanya sumber daya eksternal. Kedua, struktur
mobilisasi yang dipengaruhi oleh situasi internal. Ketiga, pembingkaian secara
budaya, yang mengacu terhadap kesamaan pemahaman atas suatu isu sebagai
dasar pengambilan langkah kolektif.
Pergerakan sosial atau masyarakat sipil menghadapi sejumlah tantangan
dalam mewujudkan misinya. Tantangan yang lazim ditemui yaitu menyangkut
67
John A. Guidry, Michael D. Kennedy and Mayer N. Zald, Globalizations and Social Movement:
Culture, Power, and the Transnational Public Sphere, (Michigan: The University Press, 2003),
hlm.2.
Universitas Indonesia
sumber daya, jejaring, posisi dan tindakan pemerintah, media massa, budaya
politik dan akuntabilitas demokratis dari masyarakat sipil. 68 Keberhasilan
pergerakan masyarakat sipil memang dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya
– baik berupa dana, personil, peralatan dan persediaan – , pembentukan jejaring
yang kuat untuk memperjuangkan suatu isu; hubungan angara masyarakat sipil
dan pemerintah pemberitaan dan informasi melalui media massa; budaya politik
yang berlaku di suatu negara; serta sejauh mana organisasi masyarakat sipil dapat
mempertanggungjawabkan segala tindakannya.
Adapun dalam tulisan karya Jonathan Fox berjudul Coalition and Network
dalam buku International Encyclopedia of Civil Society menjelaskan bahwa
pergerakan masyarakat transnasional merupakan suatu pergerakan yang
menunjukkan adanya identitas bersama dan komunikasi horizontal di antara
anggotanya, serta pengorganisasian yang menunjukkan adanya basis keanggotaan
organisasi yang terdapat di lebih dari satu negara. 69 Pergerakan sosial mengacu
kepada aktor kolektif, baik individu, kelompok, maupun organisasi, yang
berdasarkan suatu identitas kolektif bertujuan melakukan perubahan sosial dengan
cara protes kolektif dan publik. Jadi, jejaring memegang peran penting dalam
suatu pergerakan sosial.
Dalam artikel From Santiago to Seattle: Transnational Advocacy Groups;
Restructuring World Politics karangan Sanieev Khagram, James V. Riker, dan
Kathryn Sikkink pada buku berjudul Restructuring World Politics: Transnational
Social Movements, Networks and Norms berpendapat bahwa organisasi non-
pemerintah domestik dan internasional merupakan aktor utama dalam tindakan
kolektif transnasional yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga. 70
Pertama, jejaring advokasi transnasional yang merupakan bentuk paling informal
dari aktor non-negara. Jejaring dalam hal ini merupakan sekelompok aktor yang
saling terhubung lintas batas negara, terikat bersama oleh persamaan nilai,
68
Jan Aart Scholte, “Civil Society and Democratically Accountable Global Governance,” dalam
Government and Opposition, (Oxford: Blackwell Publishing, 2004), hlm. 222.
69
Jonathan Fox, “Coalition and Networks,” dalam International Encyclopedia of Civil Society,
(New York: Springer Publication, 2010), hlm.487.
70
Sanieev Khagram, James V.Riker, and Kathryn Sikkink, “From Santiago to Seattle:
Transnational Advocacy Groups Restructuring World Politics”, dalam Restructuring World
Politics: Transnational Social Movements, Networks and Norms, (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 2002), hlm. 1-21.
Universitas Indonesia
pertukaran informasi dan layanan yang padat, dan wacana umum. Walaupun
beberapa jejaring diformalkan, sebagian besar berdasarkan kontak informal yang
aktifitas utamanya adalah pertukaran dan pengunaan informasi. Jejaring tidak
melibatkan baik koordinasi taktik yang berkelanjutan sebagaimana koalisi atau
memobilisasi sejumlah besar orang untuk terlibat dalam gerakan sosial. Kedua,
koalisi transnasional yang melibatkan koordinasi transnasional lebih besar
daripada jejaring transnasional. Koalisi transnasional merupakan sekelompok
aktor lintas batas negara yang berkoordinasi untuk membuat strategi bersama atau
seperangkat taktik guna mempengaruhi perubahan sosial. Biasanya disebut
sebagai kampanye transnasional yang merupakan unit analisis ketika meneliti dan
menganalisis tindakan kolektif transnasional. Koordinasi taktik mensyaratkan
tingkat kontak yang lebih formal daripada jejaring karena beragam kelompok
memerlukan identifikasi dan persetujuan atas taktik bersama, membuat strategi
untuk mengimplementasikan kampanye dan melaporkan perkembangan
kampanye satu dengan yang lainnya secara reguler. Ketiga, gerakan sosial
transnasional ialah sekelompok aktor dengan tujuan dan solidaritas sama, saling
terhubung lintas batas negara, yang memiliki kapasitas untuk mengkoordinasi dan
memobilisasi sosial secara berkelanjutan di lebih dari satu negara guna
mempengaruhi perubahan sosial. Dibandingkan dengan jejaring dan koalisi
transnasional, gerakan sosial transnasional memobilisasi konstituen
transnasionalnya untuk tindakan kolektif – biasanya dengan protes atau tindakan
yang mengganggu.
Jejaring advokasi transnasional memiliki keunikan tersendiri karena
mereka terorganisasi untuk mempromosikan suatu perkara, ide-ide, norma-norma,
serta seringkali melibatkan individu untuk turut mengadvokasi perubahan
kebijakan. 71 Advokasi yang diperjuangkan mereka berbasis kepada nilai-nilai
tertentu, seperti halnya lingkungan, HAM, hak-hak perempuan, dan sebagainya, di
mana masyarakat di berbagai penjuru dunia dengan latar belakang yang berbeda-
beda dapat membangun persamaan pandangan dalam isu tersebut.
71
Margaret E. Keck & Kathryn Sikkink, Activists Beyond Borders: Advocacy Networks in
International Politics, (New York: Cornell University Press, 1998), hlm. 8.
Universitas Indonesia
72
Ibid., hlm. 16.
Universitas Indonesia
73
Office of the High Commissioner for Human Rights, “What are human rights?”, dalam
http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx (diakses pada 8 Maret 2015
pukul 20.17 WIB).
74
Ibid.
75
The United Nations, “The Universal Declaration of Human Rights”, dalam
http://www.un.org/en/documents/udhr/ (diakses pada 18 Oktober 2014 pukul 15.45 WIB).
Universitas Indonesia
Agency
76
The ASEAN Secretariat, “ASEAN Human Rights Declaration,” dalam
http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/asean-human-rights-declaration
(diakses pada 8 Maret 2015 pukul 20.42 WIB).
77
Lawrence W. Neumann. Social Research Method: Qualitative and Quantitative Approach
(Third Edition), (Amerika Serikat: Allyn and Bacon, 1997), hlm.19-20.
Universitas Indonesia
membuat teori baru. Teori dapat dikatakan kuat jika peneliti telah membangun
dasar riset yang komprehensif. Kedua, posisi epistimologis yang digambarkan
sebagai interpretivis. Ketiga, posisi ontologis yang digambarkan sebagai
konstruksionis. Sifat sosial merupakan hasil dari interaksi antara individu daripada
fenomena “di luar” dan terpisah dari yang terlibat dalam konstruksinya. 78 Dengan
pendekatan eksplanatori, penelitian ini berupaya menguji suatu teori atau hipotesis
guna memperkuat atau bahkan menolak teori atau hipotesa penelitian sebelumnya.
Hal ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua atau lebih variabel. 79
Dalam metode penelitian kualitatif penulis menjadi instrumen utama
dalam pengumpulan dan pengolahan data. Pendekatan kualitatif dikenal sebagai
metode penelitian dengan tujuan untuk menyelidiki suatu proses fenomena sosial
dengan tiga tahapan yaitu pengumpulan data, pengolahan data dan penulisan
laporan penelitian. Pada tahap pengumpulan data, penulis mengandalkan studi
literatur dari data primer maupun sekunder.
Data sekunder diperoleh dari berbagai jurnal, buku, surat kabar, majalah
dan artikel dari internet yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya. Sedangkan data primer diperoleh dari publikasi yang dikeluarkan
oleh berbagai lembaga resmi seperti Proposal Masyarakat Sipil dalam Kerangka
Instrumen ASEAN tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran,
Piagam ASEAN, Vientiane Action Programme, Cetak Biru Masyarakat ASEAN
2015, Deklarasi ASEAN dalam Pemajuan dan Perlindungan Hak Buruh Migran,
Deklarasi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan beragam konvensi yang
dikeluarkan oleh Organisasi Buruh Internasional khususnya terkait dengan
perlindungan buruh migran.
Data primer juga diperoleh melalui wawancara dengan perwakilan
Sekretariat ASEAN, Human Rights Working Group, Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia, UNI-APRO, FORUM-ASIA, Aliran Kesedaran Negara (ALIRAN)
Malaysia, CARAM Kamboja, Mekong Migration Network, dan Migrant Working
78
Alan Bryman, Social Research Methods (2nd Edition), (New York: Oxford University Press,
2004), hlm. 266.
79
Paul D. Leedy dan Jeanne E. Ormrod, Practical Research: Planning and Design Research
(Edisi Kedelapan), (Ohio: Pearson Merrill Prentice Hall, 2005), hlm.145-187.
Universitas Indonesia
80
Alan Bryman, loc.cit., hlm.89.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Migrasi merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, dan politik yang
penting di seluruh dunia – tak terkecuali Asia Tenggara. Kawasan ini sejak
beberapa dekade terakhir menjadi tujuan sekaligus asal pekerja lintas batas
negara. Tren tersebut dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, perbedaan tingkat
ekonomi, pembangunan sosial, dan stabilitas politik antar negara. Kedua,
pertumbuhan angkatan kerja dan penuaan populasi yang mempengaruhi
permintaan dan penawaran pekerja. Selama kedua faktor di atas masih bersifat
struktural – bukan siklis – migrasi pekerja tidak akan berkurang dalam jangka
waktu menengah dan akan terus meningkat.81
Pergerakan buruh migran di ASEAN didorong oleh faktor penarik dan
pendorong. Kesenjangan ekonomi regional misalnya. Singapura tercatat sebagai
negara yang memiliki GDP per kapita tertinggi di ASEAN sebesar 60.000 Dolar
AS, sedangkan Myanmar merupakan yang terendah dengan hanya 1.325 Dolar
AS. 82 Dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN diharapkan negara-negara di
Asia Tenggara dapat lebih terbuka, sehingga memungkinkan para buruh dapat
bergerak ke seluruh penjuru kawasan untuk mencari pendapatan yang lebih tinggi
ataupun kesempatan yang lebih baik. Sayangnya, Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015 hanya mengakomodasi pergerakan “pekerja terampil”, atau dengan kata lain
sulit menerima aliran tenaga kerja tidak terampil dan berketerampilan rendah
walaupun jumlahnya mencapai lebih dari 5,3 juta.
Buruh migran merupakan salah satu isu yang amat penting menjelang
integrasi kawasan. Berdasarkan kajian tercatat bahwa populasi yang masuk
ketegori usia kerja di ASEAN akan mencapai 78% pada tahun 2025. 83 Prediksi
81
International Labour Organization and Asian Development Bank, ASEAN community 2015:
Managing integration for better jobs and shared prosperity, (Bangkok: International Labour
Organization and Asian Development Bank, 2014), hlm.83.
82
Jason Ng, “Richer Asean Nations Resist Open Borders”, Wall Street Journal, April 4, dalam
http://online.wsj.com/news/articles/SB40001424127887323646604578402283145126480 (diakses
pada 18 April 2015 pukul 14.23 WIB).
83
Shawn Greene, “ASEAN’s Demographic Dividend”, ASEAN Briefing November 25, dalam
http://www.aseanbriefing.com/news/2013/11/25/asean-demographic-dividend .html# s t h a
slvWkuuZJ.dpuf (diakses pada 18 April 2015 pukul 14.20 WIB).
42
Universitas Indonesia
84
Tess Bacalla, loc.cit.
85
The ASEAN Secretariat, ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint, dalam
http://www.asean.org /archive /5187-19.pdf p.12 (diakses pada 18 Maret 2015 pukul 14.37 WIB).
86
The ASEAN Secretariat, ASEAN Human Rights Declaration, dalam
http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/asean-human-rights-declaration
(diakses pada 18 April 2015 pukul 14.42 WIB).
Universitas Indonesia
pengirim buruh migran yang diwakili oleh Indonesia dan Filipina. Kedua, studi
kasus negara penerima buruh migran yang diwakili oleh Thailand, Malaysia, dan
Singapura. Pembahasan di bab ini menegaskan betapa peliknya pelanggaran hak
asasi manusia yang menimpa para pekerja migran dan betapa pentingnya ASEAN
mewujudkan instrumen untuk perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran
menjelang integrasi kawasan.
87
Amarjit Kaur, Labor Crossings in Southeast Asia: Linking Historical and Contemporary Labor
Migration, New Zealand Journal of Asian Studies 11, 1 (June 2009): 276-303.
88
Ibid.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 2.1
Perbandingan Migrasi Intra-ASEAN Dari Masa Ke Masa
Total Pekerja
Pekerja Migran
Total Pekerja Migran ASEAN di
Intra-ASEAN
Sumber Tahun Migran ASEAN di Negara-negara
Dibandingkan di
Luar ASEAN Anggota ASEAN
Luar ASEAN
Lainnya
World Bank: Global 2000 9.798.318 2.729.908 27,9%
Bilateral Migration
Database
UN: Trends in 2000 11.400.146 3.315.514 29,1%
International Migrant
Stock Database
Migration DRC: Global 2000- 10.156.555 2.504.719 24,7%
Migrant Origin
2002
Database (v.4)
World Bank: Bilateral 2010 12.852.027 3.954.547 30,8%
Migration Matrix
UN: Trends in 2010 17.556.607 5.871.325 33,4%
International Migrant
Stock Database
89
‘Help Wanted: Abuses against Migrant Female Domestic Workers in Indonesia and Malaysia’,
Human Rights Watch, 16, 9 (B) (July 2004), hlm. 9.
Universitas Indonesia
Sumber: International Labour Organization and Asian Development Bank, ASEAN community
2015: Managing integration for better jobs and shared prosperity, (Bangkok: International Labour
Organization and Asian Development Bank, 2014), hlm.116. (telah diolah kembali)
Jika dilihat dari segmentasi pasar kerja, terdapat tiga macam aliran migrasi
di Asia Tenggara. 90 Pertama, Migran Tidak Terampil. Secara statistik, aliran ini
merupakan yang terbesar dan identik dengan upah yang rendah. Para pekerja yang
termasuk dalam kategori ini direkrut sebagai pekerja tamu sementara, bergantung
dengan izin kerja dan pada umumnya menerima kondisi pekerjaan yang lebih
buruk dan manual. Mereka tidak dapat mengakses pasar kerja secara langsung dan
sebagian besar direkrut melalui biro swasta, serta biasanya tidak diakomodasi oleh
perjanjian bilateral antara negara pengirim dan penerima migran. Pekerja jenis ini
sebagian besar mengisi sektor perikanan dan perkebunan dan di sektor konstruksi,
atau ditempatkan di bagian jasa dengan keterlibatan modal asing yang minim.
Pembantu rumah tangga direkrut dalam sebuah sistem sponsor. Bukan seperti
pekerja tidak terampil lain yang direkrut dalam pekerjaan teratur, sponsor
pembantu rumah tangga memiliki monopoli atas pekerja yang dibawa di negara
tujuan.
Kedua, Migran Berketerampilan Tinggi. Para pekerja jenis ini
dikelompokkan sebagai profesional yang memiliki keterampilan dan bergaji
tinggi. Mereka yang mungkin datang dari Amerika Serikat, Eropa, Australia,
Jepang, India, Malaysia, atau Hongkong ini berada di puncak pasar tenaga kerja.
Mereka diperkerjakan di lintasan kerja dan mengambil pekerjaan teknis atau
manajemen baik berdasarkan inisiatif sendiri melalui biro rekrutmen atau direkrut
di negara asal untuk penempatan luar negeri. Dalam kategori ini termasuk
manajer, insinyur atau teknisi lain yang bekerja untuk perusahaan multinasional.
Mereka biasanya dikaitkan dengan perluasan perdagangan, jasa keuangan, atau
komunikasi internasional. 91
90
Amarjit Kaur, op.cit.
91
Ibid.
Universitas Indonesia
92
Ibid.
93
UN Women Asia Pacific Regional Office, Managing Labour Migration in ASEAN: Concerns for
Women Migrant Workers, (Bangkok: UN Women Asia Pacific Regional Office, 2013), hlm.15-16.
Universitas Indonesia
94
International Labour Organization and Asian Development Bank, loc.cit., hlm. 83-84.
Universitas Indonesia
Tabel 2.2
Jumlah Pekerja Migran di Asia Tenggara Berdasarkan Negara Asal dan
Tujuan
Sumber: Graeme Hugo, “Labour Migration for Development: Best Practices in Asia and the
Pacific”, ILO Asian Regional Programme on Governance of Labour Migration Working Paper
No.17, (Bangkok: ILO Regional Office for Asia and the Pacific, 2009), hlm. 5. (telah diolah
kembali)
95
UNESCAP, Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2011, hlm.15, dalam
http://www.unescap.org/stat/data/syb2011/ESCAP-syb2011.pdf (diakses pada 1 Mei 2015 pukul
08.06 WIB).
96
Ong Keng Yong, ASEAN Secretary-General, ‘Growth, Employment, and Decent Work,’
remarks at Asian Employment Forum (Beijing, 2007), dalam www.aseansec.org/20826.htm.
(diakses pada 1 Mei 2015 pukul 08.09 WIB).
Universitas Indonesia
97
UN Women Asia Pacific Regional Office, loc.cit., hlm.11-12.
98
Migration Policy Institute, “Rapid Growth in Singapore’s Immigrant Population Brings Policy
Challenges”, Country Profile (April 2012), dalam: http://www.migrationinformation.org/
Profiles/display.cfm?ID=570, (diakses pada 1 Mei 2015 pukul 08.15 WIB).
99
Azizah Kassim and Ragayah Haji Mat Zin, Policy on Irregular Migrants in Malaysia: An
Analysis of its Implementation and Effectiveness, Discussion Paper Series No. 2011-34,
(Philippine: Institute of Development Studies), hlm. 2.
Universitas Indonesia
pekerja ke Singapura sekitar 1,5 juta atau setara dengan 73 persen total pekerja
migran Malaysia. Angka ini belum termasuk banyaknya warga Malaysia yang
telah memperoleh tempat tinggal permanen.
Di Thailand buruh migran berdokumen diperkirakan mencapai 1.050.000
atau setara dengan 1,6 total populasi. 100 Tidak seperti pola migrasi di Malaysia,
Singapura dan Brunei Darussalam; aliran migrasi di Thailand didorong oleh
besarnya perpindahan manusia lintas batas dari negara tetangga terdekat seperti
Myanmar, Laos, dan Kamboja. Pemerintah Thailand memprediksi bahwa buruh
migran berketerampilan rendah di negaranya mencapai 2,46 juta dengan 1,4 juta
di antaranya tidak berdokumen. Selain sebagai negara tujuan migran, para pekerja
Thailand juga mengadu nasib di negara-negara tetangga ASEAN. Pada tahun
2007 tidak kurang dari 16.271 warga Thailand bekerja di Singapura, 4.143 bekerja
di Brunei Darussalam, dan 3.432 bekerja di Malaysia. 101 Beberapa sumber juga
memperkirakan ada lebih dari 200.000 warga Thailand tak berdokumen yang
bekerja di Malaysia.
Filipina merupakan penyumbang migran terbesar di Asia. Pada tahun 2010
saja, terdapat 1.470.586 buruh migran Filipina berbasis lahan yang 103.660 di
102
antaranya berada di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Menurut
Philippine Overseas Employment Administration (POEA), 10-11 persen dari
penduduk Filipina atau setara dengan 12,5 juta jiwa bekerja di luar negeri. Pada
tahun 2010 Filipina tercatat sebagai penerima remitansi terbesar keempat di dunia
setelah India, Cina dan Meksiko. Dengan demikian, negara ini merupakan
penerima manfaat remitansi terbesar di ASEAN. Remitansi menyumbang sekitar
10,73 persen GDP Filipina pada 2010. 103
Pemerintah Indonesia memperkirakan ada lebih dari 4,3 juta buruh migran
pada 2009. Mayoritas buruh migran Indonesia merupakan perempuan dengan
komposisi 75,3 persen pada 2006 dan mencapai 83 persen pada tahun 2009.
100
IOM and UN, Thailand Migration Report 2011, hlm. 110, dalam http://www.un.or.th/
documents/TMR- 2011.pdf (diakses pada 2 Mei 2015 pukul 10.06 WIB).
101
UN Women Asia Pacific Regional Office, loc.cit., hlm.13
102
Philippines Senate Economic Planning Office (SEPO), “Overseas Filipino Workers at a
Glance”, issues brief, (May 2012), dalam http://www.senate.gov.ph/publications/AG%202012-
04%20-%20OFW.pdf (diakses pada 2 Mei 2015 pukul 10.27 WIB).
103
Edwin Espajo, “Filipino migrant workers staying abroad”, dalam http://www.insideasean.com/
opinion-analysis/Filipino-migrant-workers-staying-abroad-133/ (diakses pada 2 Mei 2015 pukul
11.42 WIB).
Universitas Indonesia
Sampai saat ini, tujuan utama migrasi Indonesia ialah Malaysia dengan jumlah
resmi mencapai 917.932 jiwa pada tahun 2010. 104 Lebih dari 90 persen buruh
migran perempuan Indonesia merupakan pembantu rumah tangga.
Vietnam menyumbang lebih dari 500.000 buruh migran di 40 negara dan
wilayah. Dari angka itu, 150.000 di antaranya bekerja di negara-negara ASEAN
khususnya di Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Buruh migran tak
berdokumen Vietnam juga menyebar di Kamboja. Pada tahun 2003, 25 persen
dari buruh migran Vietnam di Malaysia merupakan perempuan. Secara
keseluruhan, buruh migran berdokumen dari negara ini meningkat tiga lipat dari
tahun 2000 ke tahun 2009. 105
Myanmar juga merupakan salah satu negara utama pengirim migran di
Asia Tenggara. Walaupun tidak ada angka pasti, jumlah migran dari negara ini
mencapai 10 persen dari total populasi yang mana banyak di antaranya tidak
berdokumen. Pada tahun 2010 terdapat 812.984 pekerja migran Myanmar di
106
Thailand, 140.260 di Malaysia, dan sekitar 100.000 di Singapura. Pekerja
migran tak berdokumen Myanmar di Thailand diperkirakan mencapai 2 juta jiwa.
Dari tahun ke tahun Kamboja terus membuka diri untuk mempermudah
arus migran. Hal itu dibuktikan dengan adanya Nota Kesepahaman migrasi
dengan Thailand, Malaysia dan Korea Selatan. Antara 1998 dan 2007, tidak
kurang dari 20.630 migran berdokumen Kamboja di tiga negara itu. 107 Pada tahun
2009 sebanyak 124.670 pekerja Kamboja berada di Thailand dan pada 2010 lebih
dari 12.090 pekerja asal negara ini berada di Malaysia dengan mayoritas buruh
migran perempuan. Sebagaimana pekerja migran asal Laos dan Myanmar, pekerja
migran Kamboja sebagian besar juga tidak berdokumen.
Berdasarkan catatan Kementerian Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Sosial
Laos, sekitar 7 persen dari total populasi Laos merupakan migran pada tahun
104
ILO Jakarta, “Special Edition on Domestic Workers: Recognizing Domestic Work as Work”
(April 2010), hlm. 6.
105
UN Women, “Factsheet briefing on gender issues in migration and urbanization as they relate
to poverty” (Bangkok, 2011), dalam http://www.unwomen eseasia.org/Vietnam/docs/ GCGender
Factsheet021211.pdf (diakses pada 2 Mei 2015 pukul 10.41 WIB).
106
Kate Hodal, “A day in the life of a migrant worker in Singapore (part 2), (24 July 2011), dalam
http://www.cnngo.com/singapore/life/day-life-migrant-worker-singapore-part-2-604578 (diakses
pada 2 Mei 2015 pukul 10.44 WIB).
107
ILO, Review of labour migration management, polices and legal framework in Cambodia, ILO
Asia-Pacific Working Paper Series (Bangkok: ILO Asia Pacific Regional Office, 2009), hlm.4.
Universitas Indonesia
2006. Dari jumlah itu diperkirakan 85 persen di antaranya melintasi batas negara
108
secara informal dengan Thailand sebagai tujuan utama. Sebagaimana
Indonesia, pada tahun 2007 90 persen dari buruh fmigran perempuan Laos
merupakan pembantu rumah tangga.
108
UN Women, “Factsheet: Lao People’s Democratic Republic”, (2012), dalam
http://www.unwomen-eseasia.org/docs/factsheets/04%20Lao%20PDR%20factsheet.pdf (diakses
pada 2 Mei 2015 pukul 11.01 WIB).
Universitas Indonesia
109 Sarah Huelser and Adam Heal, “Moving Freely? Labour Mobility in ASEAN”, Asia-Pacific
Research and Training Network on Trade, Brief No. 40 June 2014, hlm.1-9.
110
Ibid.
Universitas Indonesia
Tabel 2.3
Beberapa Perjanjian Bilateral Intra-ASEAN Tentang Migrasi Pekerja
Universitas Indonesia
in juga upahnya.
Malaysia • Majikan menanggung biaya
transportasi dari pintu masuk
Malaysia ke tempat kerja,
membayar uang jaminan kepada
pihak imigrasi dan menutupi biaya
agen rekrutmen. Majikan dapat
memegang paspor pekerja dan
harus mencakup sebagaimana yang
diatur dalam Workmen’s
Compensation Act 1952.
Kamboja- Memorandum Semua 2003 • Instansi yang berwenang harus
Thailand of pekerja memastikan pelamar memenuhi
understanding migran persyaratan untuk visa, izin kerja,
on berketera asuransi kesehatan dana tabungan,
cooperation mpilan dan pajak.
in rendah • Sebuah kontrak dengan
employment persyaratan dan kondisi kerja harus
of ditandatangani dan salinannya
workers harus diserahkan ke pemerintah
(Cambodia Kamboja dan Thailand. Pekerjaan
and Thailand) tidak boleh melebihi dua tahun
(meskipun diperbolehkan
perpanjangan dua tahun yang
diikuti minimal tiga tahun jeda.
• Pekerja migran membayar 15% gaji
bulanannya ke dana tabungan dan
sepenuhnya diganti dalam waktu
45 hari sekembalinya ke alamat
tetap. Pekerja migran menerima
gaji dan manfaat sama seperti
pekerja nasional.
Indonesia- Memorandum Pembantu 2006/ • Pembantu rumah tangga harus
Malaysia of rumah protok berusia 21-45 tahun, mampu
understanding tangga ol berkomunikasi dalam bahasa
on tambah Malaysia atau Inggris, mengetahui
the an hukum, budaya dan masyarakat
recruitment 2011 lokal, dan menandatangani kontrak
and kerja, serta menjaga paspor.
placement Pekerja migran juga harus
of Indonesian menanggung biaya visa, dokumen
domestic perjalanan, tes kesehatan, dan
workers akomodasi.
and Protocol • Majikan harus menanggung
amending transportasi pekerja migran ke
Malaysia, uang jaminan, biaya
pemrosesan dan pajak, tes
kesehatan (untuk perpanjangan
izin kerja), dan menyediakan
akomodasi dengan fasilitas dasar
dan istirahat yang cukup.
• Agen penyalur tenaga kerja harus
menyediakan informasi dan kontak
ke pekerja migran dan menjaga
Universitas Indonesia
Sumber: International Labour Organization and Asian Development Bank, ASEAN community
2015: Managing integration for better jobs and shared prosperity, (Bangkok: International Labour
Organization and Asian Development Bank, 2014), hlm.117-118. (Diolah oleh penulis)
Universitas Indonesia
Tabel 2.4
Ratifikasi Konvensi mengenai Pekerja Migran di ASEAN
Sumber: International Labour Organization and Asian Development Bank, ASEAN community
2015: Managing integration for better jobs and shared prosperity, (Bangkok: International Labour
Organization and Asian Development Bank, 2014), hlm.95. (Telah diolah kembali)
Universitas Indonesia
111
The Habibie Center, “Migrant Workers Rights, The AEC 2015 and Free Movement of Labor:
Case Studies of Indonesia and the Philippines”, ASEAN Studies Program Briefs Volume I No.3
April 2014. Jakarta: The Habibie Center, hlm 1-12.
112
International Labor Organization, “6th ASEAN Forum on Migrant Workers”, dalam
http://www.ilo.org/asia/whatwedo/events/WCMS_209146/lang--en/index.htm (diakses pada 18
April 2015 pukul 14.52 WIB).
113
The Habibie Center, op.cit.
Universitas Indonesia
114
Ibid.
115
Ben Perkasa Drajat, “An ASEAN Way of Protecting Indonesian Migrant Workers.” The
Jakarta Post, May 3, 2012, dalam http://www.asean.org/news/asean-statement-
communiques/item/asean-human-rights-declaration (diakses pada 18 April 2015 pukul 15.23
WIB).
116
Tess Bacalla, loc.cit.
117
The ASEAN Secretariat , ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint, op.cit., hlm.12
Universitas Indonesia
biaya hidup bagi penduduk lokal. Hal ini tercermin dalam demonstrasi publik di
Singapura yang menyalahkan tingginya buruh migran sebagai penyebab
118
meningkatnya biaya perumahan dan biaya hidup. Adapun di Malaysia,
pemerintah menyalahkan buruh migran yang dianggap sebagai penyebab
meningkatnya kriminalitas, khususnya dari buruh migran tak berdokumen. 119
2.4.1 Studi Kasus Negara Pengirim Buruh Migran: Indonesia dan Filipina
Indonesia merupakan negara pengirim migran terbesar kedua di Asia
Tenggara setelah Filipina. Sejak 1999, setiap tahunnya rata-rata 387.304 orang
Indonesia meninggalkan Indonesia untuk mencari kerja di luar negeri. Lebih dari
70% dari mereka adalah perempuan. Tujuan mereka sebagian besar adalah Asia
Pasifik (65%) dan Timur Tengah (35%), dengan Malaysia dan Arab Saudi sebagai
tujuan utama. Proporsi dari mereka yang bekerja di sektor informal hampir
118
Kate Hodal, “Singapore Protest: ‘Unfamiliar Faces Are Crowding Our Land’”, The Guardian
February 15, 2013, dalam http://www.theguardian.com/world/2013/feb/15/singapore-crisis-
immigration-financial-crisis (diakses pada 18 April 2015 pukul 15.52 WIB).
119
Alyaa Azhar, “Stop Crackdown on Migrant Workers”, Free Malaysia Today, August 5, 2013,
dalam http://www.freemalaysiatoday.com/category/nation/2013/08/05/stop-crackdown-on-migrant
-workers/ (diakses pada 18 April 2015 pukul 15.52 WIB).
120
Bassine Farbenblum, Eleanor Taylor-Nicholson, dan Sarah Paoletti, Akses Buruh Migran
Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia, (New York: Open Society Foundation,
2013), hlm.24.
Universitas Indonesia
121
Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan, Buruh Migran Indonesia : Penyiksaaan
Sistematis di Dalam dan Di Luar Negeri, Laporan Indonesia kepada Pelapor Khusus PBB untuk
Hak Asasi Migran, Kuala Lumpur, 2 Juni 2002, hlm.9.
122
International Labour Organization and Asian Development Bank, loc.cit., hlm.88.
123
Ibid.
124
Nur Hidayah, TKI dan Permasalahannya, Talkshow SP Kinasih bekerja sama dengan Global
FM pada hari Rabu, 12 Nopember 2008, hlm. 1-14.
Universitas Indonesia
organisasi bisnis yang terlibat ialah 1) PJTKI yang bergerak di bidang jasa
penempatan buruh migran, 2) Perwada yang merupakan PJTKI di tingkat daerah,
3) Perwalu yang merupakan perwakilan PJTKI di luar negeri, dan 4) mitra usaha
di luar negeri yaitu badan usaha yang bertanggungjawab menyalurkan buruh
migran kepada pengguna (majikan). 125
Selain PJTKI dan mitra usaha, dua pihak yang berperan dalam rekrutmen
buruh migran ialah sponsor dan agen. Sponsor adalah seseorang yang berperan
sebagai perantara bagi buruh migran dengan PJTKI. Bagi PJTKI, sponsor
merupakan penjamin buruh migran karena bertanggungjawab dengan administrasi
buruh migran. Sponsor bekerja secara individual. Ada yang sponsor yang
memiliki surat tugas dari PJTKI tertentu dan ada pula yang bekerja langsung
memasok buruh migran ke sembarang PJTKI. Sponsor memungut biaya atas
jasanya kepada buruh migran dan PJTKI. Karena tiada penegakan hukum yang
jelas, sponsor sering kali merugikan buruh migran. Sponsor sering kali terlibat
dalam penipuan, pemerasan, pemalsuan data, perdagangan perempuan, pelecehan
seksual, penelantaran dalam penampungan dan lain-lain.
Secara struktural, agen berada di bawah sponsor. Agen yang juga sering
disebut sebagai calo ini menerima upah dari sponsor dan buruh migran. Dari agen
dan sponsor, calon buruh migran di pedesaan direkrut. Calon buruh migran harus
mengeluarkan uang untuk biaya pendaftaran, tes kesehatan, biaya jaminan
perlindungan, pembuatan paspor, dan dokumen lainnya. Mengingat lemahnya
peraturan pemerintah mengenai standar biaya, agen dan calo sering
memanfaatkannya sebagai celah untuk pemerasan.
Peraturan pemerintah Indonesia yang ada saat ini jauh lebih
menguntungkan hak dan kewajiban agen (PJTKI) daripada pasal-pasal yang
mengatur buruh migran. Buruh migran Indonesia diakui sebagai buruh migran
oleh pemerintah Indonesia hanya jika melalui PJTKI. Besarnya peran tersebut
membuat tidak sedikit PJTKI menyalahgunakan kewenangan guna mengambil
125
Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan, “Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga
(TKW_PRT): Kerentanan dan Inisiatif-inisiatif Baru untuk Perlindungan Hak Asasi TKW_PRT”,
Laporan Indonesia kepada Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Migran, Kuala Lumpur,
Desember 2003.
Universitas Indonesia
keuntungan sepihak secara sah maupun tidak sah. Salah satunya ialah pemalsuan
sertifikat Lembaga Uji Kompetensi Independen (LUKI). 126
Masalah serius lainnya ialah tidak ada perlindungan yang jelas oleh sistem
asuransi kesehatan, keselamatan maupun keamanan bagi buruh migran walaupun
diwajibkan membayar kepada PJTKI atas nama biaya asuransi. Buruknya kondisi
kerja di negara tujuan sering kali membuat buruh migran kelelahan secara fisik,
cacat akibat kecelakaan, atau kekerasan dari majikan. Mereka sering tidak
mendapatkan pengobatan yang memadai walaupun PJTKI telah memungut 15
Dolar AS kepada buruh migran sebagai biaya pengobatan dan sejenisnya. Hingga
saat ini, PJTKI maupun pemerintah tidak dapat menelusuri biaya atersebut. Uang
jaminan suransi sulit dilacak karena kurangnya transparansi dan akuntabiltias dari
bendahara yaitu Kementerian Keuangan dan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. 127
Ciri utama pelanggaran yang dialami oleh pekerja migran Indonesia ialah
menyangkut pelanggaran terhadap hak-hak mereka sebagai pekerja. Dalam sebuah
survei terhadap 1.085 orang Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah
rangga di Hong Kong oleh KOPBUMI menunjukkan: 128 1) setidaknya 51%
dibayar kurang dari minimum gaji yang ditetapkan pemerintah, 2) 47% bekerja
lebih panjang dari 8 jam per hari, 3) 25% melakukan kerja illegal, dan 4) l6% tidak
memiliki tempat tinggal yang memadai.
Selain itu, peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi nyaris secara eksklusif fokus pada isu-isu yang
berhubungan dengan aspek-aspek manajerial dan operasional pengeksporan
tenaga kerja, dengan sedikit membahas mengenai langkah-langkah perlindungan.
Di luar 11 bab dan 84 artikel dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No.204/1999, hanya sepertiga yang membahas isu-isu perlindungan.
Sebagian besar isi keputusan tersebut menyinggung hubungan antara agensi-
agensi yang merekrut dan kantor-kantor pemerintah. 129 Tidak ada dalam berkas
kebijakan resmi yang menggambarkan secara lengkap tentang apa saja hak-hak
126
Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan, Buruh Migran Indonesia: Penyiksaaan
Sistematis di Dalam dan Di Luar Negeri, hlm. 1-26.
127
Ibid.
128
Ibid.
129
Ibid.
Universitas Indonesia
yang dimiliki buruh migran dan mekanisme yang dibentuk untuk menjamin hak-
hak ini.
Filipina merupakan satu di antara tiga negara di dunia yang
perekonomiannya sangat bergantung dengan remitensi dari pekerja migran.
Pemerintah Filipina memperkirakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 6,8 juta
pekerja migran yang tersebar di 191 negara pada Desember 2003. Jumlah ini
hampir sebanding dengan 10 persen dari total populasi dan 19,7% angkatan kerja
nasional. Setiap hari tidak kurang dari 2.500 orang Filipina meninggalkan tanah
air melalui jalur resmi. Jumlah tersebut belum termasuk dengan orang-orang yang
memanfaatkan visa non-pekerjaan untuk mencari pekerjaan. 130
Data resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat bahwa pada tahun 2005
tingkat migrasi di Filipina mencapai 2,1 per 1.000 penduduk. Pemerintah Filipina
memperkirakan bahwa pada Desember 2004 terdapat 8,1 juta pekerja migran
Filipina yang setara dengan 10% populasi. Jumlah tersebut termasuk 3,2 juta
migran tetap; 3,6 juta migran sementara; dan 1,3 juta migran tidak sah yang
sebagian besar berada di Amerika Serikat dan Malaysia. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa 1 dari 5 pekerja Filipina berada di luar negeri. 131
Rendahnya pertumbuhan ekonomi dan investasi asing mendorong
pemerintah Filipina untuk mengandalkan migrasi pekerja guna mengurangi
pengangguran dan penerimaan remitansi. Dalam perkembangannya didirikan
Philippine Overseas Employment Administration (POEA) untuk merekrut,
mendaftarkan dan memverifikasi pekerja migran. Penempatan pekerja migran
sendiri ditangani oleh lebih dari 1.000 biro rekrutmen berlisensi. Adapun
Overseas Workers Welfare Administration (OWWA) dibentuk untuk mengatur
132
kesejahteraan pekerja migran.
Remitansi dari pekerja migran telah menjadi andalan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi Filipina. Remitansi melalui jalur resmi pada tahun 2004
130
Mary Lou L. Alcid, Migrant Labour in Southeast Asia – Country Study: The Philippines.
Friedrich Ebert Stiftung (FES) Project on Migrant Labor in Southeast Asia, hlm.1, dalam
http://www.fes.de/aktuell/ focus_interkulturelles/focus_1/documents/7_000.pdf (diakses pada 14
Mei 2015 pukul 14.10 WIB).
131
International Organization for Migration, Situation Report on International Migration in East
and South-East Asia: Regional Thematic Working Group on International Migration including
Human Trafficking, (Bangkok: International Organization for Migration Regional Office for
Southeast Asia, 2008), hlm. 76.
132
Ibid., hlm. 78.
Universitas Indonesia
tercatat mencapai 8,5 miliar Dolar AS dan 10 miliar Dolar AS pada tahun 2005.
Jumlah tersebut setara dengan 10% dari GDP. 133
Walaupun tata kelola migrasi Filipina relatif lebih baik dibandingkan
dengan negara-negara pengirim pekerja migran lainnya di Asia Tenggara, masih
banyak pelanggaran terhadap hak-hak buruh migran. Data statistik menunjukkan
bahwa pada periode 1997-2000 terdapat 1.377 pekerja migran yang mengalami
penganiayaan, 848 pekerja migran melarikan diri, dan 165 perempuan terjerat
dalam prostitusi. Coalition against Trafficking in Women Asia-Pacific pada tahun
2003 juga menegaskan bahwa Filipina Selatan merupakan salah satu penyumbang
134
perdagangan perempuan utama di Malaysia.
Migrant Act 1995 atau yang lebih dikenal dengan RA 8042 yang
dikeluarkan pemerintah Filipina tidak secara eksplisit mengakui pranata rumah
tangga dan sensitif gender. Selain itu RA 8042 dan undang-undang
amandemennya (RA 10022) juga tidak memiliki ketentuan spesifik mengenai
pranata rumah tangga. Dengan kata lain, tidak ada ketentuan yang secara spesifik
mengatur hak-hak dan kondisi mayoritas perempuan yang bermigrasi sebagai
pembantu rumah tangga. 135
Walaupun lebih baik dibandingkan dengan Indonesia, dalam tingkat
tertentu Filipina tidak mampu secara holistik mengkaji migrasi pekerja. Filipina
mengklaim bahwa negara tidak memajukan hak-hak pekerja migran, namun
menciptakan beragam lembaga dengan mandat melindungi pekerja migran.
Pemerintah Filipina terus-menerus menganggap migran sebagai pahlawan modern
dan penyelamat ekonomi.
133
Ibid.
134
Mary Lou L. Alcid, loc.cit, hlm.17.
135
Southeast Asia Women’s Caucus on the ASEAN, Compliance with Women’s Rights Standards:
The Case of Migration of Domestic Workers from Indonesia and the Philippines in Brunei
Darussalam, (Chiang Mai: Southeast Asia Women’s Caucus on the ASEAN, 2014), hlm 56-62.
Universitas Indonesia
136
International Labour Organization and Asian Development Bank, loc.cit., hlm. 97.
137
Ibid., hlm.92.
Universitas Indonesia
Dalam banyak kasus, polisi dan petugas imigrasi mengancam, secara fisik
membahayakan, dan memeras pekerja migran tanpa impunitas. Pekerja migran
yang dalam tahanan juga mendapatkan perlakuan memilukan seperti pemukulan
di wajah dan beragam pelecehan lainnya. Baik migran berdokumen maupun tidak,
pekerja migran di Thailand secara umum rawan menghadapi majikan yang kejam
dan kejahatan. Dalam hal ini, birokrat Thailand sangat enggan untuk menyelidiki
atau bahkan kadang-kadang terlibat dalam pelanggan hak-hak pekerja migran. 138
Dalam sebuah penelitian yang dibuat oleh Human Rights Watch, terhadap
banyak pelanggaran terhadap hak-hak pekerja migran dari Myanmar, Kamboja
dan Laos. Pelanggaran tersebut tidak terbatas pada satu atau dua wilayah akan
tetapi merata di sepanjang perbatasan Thailand-Laos di Ubon Ratchathani sampai
pelabuhan di Teluk Thailand, termasuk wilayah terpencil di perbatasan Thailand-
Myanmar. Pelanggaran tersebut ada yang berwujud dalam peraturan dan hukum
lokal seperti pembatasan terhadap kebebasan berserikat, maupun yang dilakukan
oleh pejabat pemerintah seperti pemerasan oleh polisi. Pelanggaran HAM yang
melibatkan kepolisian dan pejabat pemerintahan lokal diperparah dengan iklim
impunitas di Thailand. Migran secara diam-diam menderita dan jarang mengeluh
karena takut dengan retribusi, tidak fasih berbahasa Thai untuk memprotes, atau
139
tidak yakin dengan institusi yang sering mengabaikan penderitaan mereka.
Pekerja migran di Thailand juga dibatasi dalam banyak hal. Mereka
dilarang untuk membentuk asosiasi dan serikat pekerja, berpartisipasi dalam
perkumpulan yang damai, dan menghadapi terbatasnya kebebasan bergerak.
Pekerja migran juga seringkali tidak dapat meninggalkan tempat kerja tanpa seizin
tertulis dari majikan dan pejabat setempat. Bahkan, ada larangan untuk
mendapatkan surat izin mengemudi. Di beberapa provinsi seperti Phang Nga,
Phuket, Ranong dan Rayong; pekerja migran bahkan tidak diperkenankan
memiliki telepon seluler atau berada di luar tempat kerja di jam-jam tertentu. 140
Pekerja migran dari Laos, Kamboja dan Myanmar mendominasi arus
migrasi di Thailand. Jumlah mereka diperkirakan berkisar antara 1,8 juta hingga 3
138
Human Rights Watch, From the Tiger to the Crocodile: Abuse of Migrant Workers in Thailand,
(New York: Human Rights Watch, 2010), hlm.1.
139
Ibid., hlm.2.
140
Ibid.
Universitas Indonesia
juta pekerja dan jika dihitung bersama anggota keluarga setara dengan sekitar 5
sampai 10 kerja angkatan kerja di Thailand. Sebagian terganjal karena peliknya
pendaftaran, ada lebih banyak pekerja migran tak berdokumen dibandingkan
dengan yang berdokumen di Thailand. Namun, pekerja migran berdokumen juga
rentan terhadap penangkapan sewenang-wenang, pemerasan uang sebagai syarat
pelepasan, dan kekerasan fisik. Majikan atau pengusaha juga tidak jarang
menahan kartu identitas migran. 141
Human Rights Watch menemukan banyak pelanggaran terhadap hak-hak
pekerja migran Thailand di tempat kerja. Misalnya, adanya intimidasi dan
ancaman oleh majikan jika migran mengorganisir atau secara kolektif menegaskan
hak-hak mereka, termasuk pembalasan jika mereka melapor ke otoritas Thailand.
Baik pekerja migran terdaftar maupun tidak, mengeluhkan pelecehan fisik dan
verbal, lembur yang dipaksakan dan kurangnya hari libur, upah yang di bawah
standar, tempat kerja yang berbahaya, bahkan pengurangan upah tanpa kejelasan
dan tidak sah.
Sebenarnya Undang-Undang Dasar Thailand 2007 memberikan jaminan
hak-hak dasar. Hal ini dipertegas dengan eksistensi Thailand sebagai salah satu
negara yang mendukung perjanjian HAM utama yaitu memberikan migran hak
yang sama dengan warga negara kecuali hak politik. Namun, dalam prakteknya
pemerintah Thailand hanya sedikit memenuhi hak-hak dasar pekerja migran dan
anggota keluarga. 142 Di sisi lain, kebijakan pemerintah untuk pendaftaran pekerja
migran dan tempat tinggal juga sangat kompleks sehingga tidak jarang
menyulitkan pekerja migran.
Maka tidak mengherankan jika persyaratan, kondisi dan biaya pendaftaran
pekerja migran di Thailand telah mengalami perubahan signifikan sejak 1996.
Kebijakan yang dikeluarkan tahun 2008 misalnya, mensyaratkan pekerja migran
terdaftar harus memverifikasi kewarganegaraan dari negara asal. Kebijakan ini
mengakibatkan lebih dari sejuta pekerja asal Myanmar pulang dan mencari
persetujuan pemerintah junta guna mendapatkan paspor sementara. Sampai
penelitian ini dilakukan, hanya sedikit pekerja migran asal Myanmar yang
141
Ibid., hlm.3.
142
Ibid., hlm.4.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
147
International Organization for Migration Mission in Indonesia, Labor Migration from
Indonesia: An Overview of Indonesian Migration to Selected Destinations in Asia and the Middle
East, (Jakarta: International Organization for Migration Mission in Indonesia, 2010), hlm.42.
148
Ibid., hlm.44.
149
Ibid., hlm.45.
Universitas Indonesia
150
Ibid.
151
Ibid.
152
Ibid.
153
Ibid., hlm.46.
Universitas Indonesia
tempat kerja yang tidak manusiawi. Dua permasalahan tersebut memang saling
terkait, namun masalah yang menyangkut hak-hak buruh migran seringkali
menjadi latar belakang masalah yang berkaitan dengan kekerasan.
Peraturan pemerintah Malaysia yang mengharuskan pekerja migran untuk
memegang paspor membatasi kebebasan bergerak. Dalam banyak kasus, banyak
pembantu rumah tangga tidak mendapatkan akses untuk memegang paspor
sehingga rawan dengan penangkapan atau deportasi. Pada tahun 2004 Malaysia
memberikan kesempatan pekerja migran untuk berganti majikan sebanyak dua
kali selama kontrak. Hal tersebut sebelumnya tidak diizinkan sehingga memaksa
banyak pekerja migran tetap bekerja dalam kondisi memprihatinkan agar dapat
membayar hutang kepada calo tenaga kerja. Sayangnya, kebijakan pemerintah
tidak dapat disebarkan secara baik, sehingga banyak pekerja migran tidak
menyadari hak-hak yang seharusnya diterima. 154
Masyarakat Malaysia memberi stigma negatif terhadap pekerja migran.
Akibatnya, beragam kejahatan seringkali disalahkan kepada mereka. Menurut
Komisi HAM Malaysia (SUHAKAM), pada tahun 2003 hanya tiga ratus dari
1.485 tahanan perempuan di Kajang yang merupakan penduduk asli Malaysia. 155
Sebagian besar tahanan merupakan warga negara asing termasuk pekerja migran
dan korban perdagangan manusia. Penangkapan, penahanan atau deportasi
terhadap pekerja migran tak berdokumen apapun alasannya mencerminkan bahwa
pekerja migran memang rentan terhadap pelecehan dan oleh karena itu
perlindungan hak-hak mereka masih jauh dari standar internasional.
Komposisi pekerja migran di Singapura dapat dikatakan besar yaitu sekitar
seperempat dari total penduduknya. Pada tahun 2009 tercatat 1,05 juta pekerja
migran di Singapura yang setara dengan 35,2% angkatan kerja negara kota
tersebut. Mereka dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) pekerja migran
berketerampilan tinggi (ekspatriat) yang berpenghasilan minimal 2.500 Dolar
Singapura perbulan, 2) pemegang S-Pass yang gajinya lebih dari 1.800 Dolar
154
Ibid.
155
Human Rights Watch, ‘Help Wanted: Abuses against Migrant Female Domestic Workers in
Indonesia and Malaysia’, Human Rights Watch, 16, 9 (B) (July 2004), hlm. 5.
Universitas Indonesia
156
International Organization for Migration Mission in Indonesia, loc.cit., hlm.53.
157
Andy Hall, loc.cit., hlm. 26-28.
158
Ibid., hlm.54.
159
Ibid.
Universitas Indonesia
libur dll. Walaupun demikian, pembantu rumah tangga tidak dicakup dalam
peraturan tersebut. Pembantu rumah tangga justru dilindungi oleh Employment of
Foreign Manpower Act 2007 (EFMA). Singapura setidaknya menampung sekitar
214.500 migran sebagai pembantu rumah tangga yang tercatat sampai akhir
2013. 160
Antara 1999 sampai 2005, setidaknya 147 pembantu rumah tangga di
Singapura meninggal karena kecelakaan kerja atau bunuh diri. Menurut penelitian
Human Rights Watch, kasus tersebut sebagian besar didorong oleh buruknya
kondisi kerja, kecemasan terhadap jeratan hutang dari biro penyalur tenaga kerja,
isolasi sosial, atau berkepanjangan dalam satu ruangan – yang kadang-kadang
sampai berminggu-minggu. 161
Pelanggaran hak-hak buruh migran di Singapura sebagian besar dihadapi
oleh pembantu rumah tangga. Mereka setiap hari bekerja dengan durasi sangat
panjang, tidak ada hari libur setiap minggu, bergaji rendah, diabaikan oleh hukum
pemerintah dan hanya diatur oleh panduan yang tidak mengikat. Dalam banyak
kasus, pembantu rumah tangga bekerja 13 sampai 19 jam perhari, tujuh hari
perminggu, dan dikekang di dalam rumah. Gaji pembantu rumah tangga biasanya
kurang dari separuh gaji tukang kebun dan dan terpaksa menyerahkan gaji
pertama sampai 10 bulan mereka ke biro penyalur tenaga kerja. Tidak sedikit di
antara mereka ditipu oleh biro penyalur tenaga kerja, majikan, atau keduanya. 162
Singapura cenderung mengikuti permintaan pasar daripada memperhatikan
hukum untuk mengatur masalah pekerja migran – khususnya pembantu rumah
tangga – seperti biro penyalur tenaga kerja, gaji, dan libur mingguan. Akibatnya,
nasib pekerja migran di Singapura bergantung dengan majikan. Ada yang
mendapatkan majikan dan bergaji baik. Tetapi, tidak sedikit yang berbulan-bulan
bekerja tanpa gaji untuk melunasi hutang dari calo, jam kerja yang panjang, dan
larangan meninggalkan tempat kerja.
160
Singapore Ministry of Manpower, Foreign workforce numbers, dalam http://www.mom.gov.sg/
statistics-publications/others/statistics/Pages/ Foreign Workforce Num b e rs.aspx (diakses pada 9
Mei 2015 pukul 16.31 WIB).
161
Human Rights Watch, “Maid to Order: Ending Abuses Against Migrant Domestic Workers in
Singapore.” Human Rights Watch Vol. 17, No. 10(C). New York: Human Rights Watch, hlm.1.
162
Ibid., hlm. 2.
Universitas Indonesia
163
Ibid., hlm.4.
164
Ibid., hlm.11.
Universitas Indonesia
78
Universitas Indonesia
165
Alexander Chandra, loc.cit., hlm.76.
166
Ibid., hlm. 77.
Universitas Indonesia
167
SAPA memiliki cakupan kerja di seluruh Asia dengan tiga sub-kawasan yaitu Asia Selatan,
Asia Timur Laut, dan Asia Tenggara. Jejaring ini terdiri dari beberapa kelompok kerja yang
memiliki target advokasi kepada lembaga-lembaga antarpemerintah di setiap sub-kawasannya.
Beberapa isu yang menjadi perhatiannya ialah hak-hak perempuan, hak-hak buruh migran,
praktek-praktek pertanian berkelanjutan, prostitusi anak, perdagangan manusia, dan perlindungan
satwa langka yang disatukan oleh misi yaitu untuk meningkatkan efektifitas damppak advokasi
masyarakat sipil dengan meningkatkan komunikasi, kerjasama, dan koordinasi di antara
organisasi-organisasi masyarakat sipil secara regional.
168
Office of the High Commissioner for Human Rights, “Frequently Asked Questions on ASEAN
and Human Rights”, dalam http://bangkok.ohchr.org/ files/ Regional_ Dialogue _ASEAN
Background_Paper.pdf (diakses pada 9 April 2015 pukul 22.48 WIB).
169
Ibid.
Universitas Indonesia
170
Swee Seng Yap, “Reflection on the Winding Road to ASEAN Human Rights Mechanisms”,
hlm. 174-175, dalam http://www.taiwanhrj.org/get/2014012817161363.pdf/THRJ_2_2_yap.pdf
(diakses pada 3 April 2015 pukul 10.04 WIB).
171
Ibid.
Universitas Indonesia
172
Ibid.
173
Alexander Chandra, loc.cit. hlm. 76.
174
Ibid., hlm.77.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
175
Pendekatan ini sering dikenal dengan istilah reactionary regionalism yaitu sebuah istilah yang
diciptakan oleh Mark Beeson untuk menggambarkan regionalisme Asia Timur di mana gagasan
regional diartikan sebagai sebuah tanggapan untuk peristiwa eksternal dan dirancang untuk
menengahi atau melunakkan dampaknya. Istilah tersebut dapat dikatakan relevan dalam konteks
pertimbangan guna menjelaskan bagaimana aktivisme regional SAPA sebagian besar dibentuk
untuk menanggapi kebijakan ASEAN. Lihat Mark Beeson, “ASEAN Plus Three and the Rise of
Reactionary Regionalism”, Contemporary Southeast Asia, Volume 25, Number 2 (August 2003):
251-268.
176
Marlene Ramirez, AsiaDHRRA and ASEAN: A Case Study of the Process of Civil Society
Engagement with a Regional Intergovernmental Organisation, Paper presented at the FIM Forum,
8–9 February, Montreal, dalam http://asiadhrra.org/wordpress/wp-content/ uploads / 2008 /02/
asiadhrraaseanfim.pdf (diakses pada 14 Mei 2015 pukul 18.43 WIB).
Universitas Indonesia
177
Ibid.
Universitas Indonesia
utama dalam sebagian besar kegiatan maupun inisiatif advokasi berskala regional.
Pesan yang disampaikan oleh SAPA dalam kampanye ataupun advokasi
senantiasa sejalan dengan sikap FORUM-ASIA, khususnya dalam memandang
ASEAN dan regionalisme HAM. Hal tersebut tercermin dalam semua publikasi
atau komunikasi yang dikeluarkannya. 178
Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA)
menjalankan sebagian besar kegiatan regionalnya melalui SAPA, yang mana
FORUM-ASIA merupakan salah satu pendirinya sejak tahun 2006. Keterlibatan
FORUM-ASIA dalam jejaring SAPA tersebut didorong oleh upaya
mempengaruhi pembangunan agenda HAM ASEAN dan berkontribusi
membentuk sebuah mekanisme HAM regional. Seperti LSM yang memiliki
mandat inti HAM lainnya, FORUM-ASIA berkomitmen untuk memajukan dan
melindungi seluruh spektrum HAM. 179
Organisasi ini menjalankan aktivisme yang begitu kompleks melampaui
emergency relief, pengumpulan informasi, dan terutama dalam masalah hak sipil,
hak politik dan hukum. Secara struktur, FORUM-ASIA merupakan organisasi
berbasis keanggotaan dari beberapa LSM HAM nasional. Didirikan pada tahun
1991 di Manila, awalnya hanya berfokus sebagai LSM di bidang pembangunan
dan HAM Asia, menjadi organisasi yang lebih dapat merajut kolaborasi efektif di
tingkat regional. 180 Saat ini FORUM-ASIA memiliki 46 organisasi anggota
dengan 5 dari 16 di antaranya berada di Asia Selatan dan Asia Tenggara, yaitu:
Odhikar, Ain O Salish Kendra (Bangladesh), People’s Watch (India), KONTRAS
(Indonesia), SUARAM (Malaysia) dan TFDP (Filipina).
Sebuah struktur yang diorganisasi dengan baik memastikan efektifnya
koordinasi kerja FORUM-ASIA. Ia dibangun oleh sebuah jejaring LSM yang
longgar akan tetapi stabil dari seluruh Asia, dan digerakkan oleh sekelompok ahli
HAM Asia. Sebuah Komite Eksekutif dipilih oleh Majelis Umum dari seluruh
178
Walaupun demikian, FORUM-ASIA juga memperjuangkan aktivisme regional yang tidak
dalam cakupan SAPA. Aktivisme tersebut sebagian besar merupakan kampanye tematik yang
menargetkan isu HAM regional namun diabaikan oleh aktor negara, seperti keberpihakan terhadap
hak-hak masyarakat adat dan perlindungan terhadap pembela HAM.
179
Dorottya Atol, loc.cit., hlm. 183-190.
180
Solidarity for Asian People’s Advocacy, “Background of SAPA,” dalam
http://www.asiasapa.org/index.php?Option=com_content&task=view&id=12&Itemid=64 (diakses
pada 15 Maret 2015 pukul 16.30 WIB).
Universitas Indonesia
181
Dorottya Atol, op. cit.
182
Ibid.
Universitas Indonesia
183
Asian Forum for Human Rights and Development (Forum-Asia), dalam
http://www.forumasia.org (diakses pada 4 April 2015 pukul 22.09 WIB).
184
ANNI: Asian NGO Network on NHRIs, dalam http://nhriwatch.wordpress.com/2011/04/25/50/
(diakses pada 4 April 2015 pukul 22.11 WIB).
Universitas Indonesia
185
Wawancara dengan Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager, FORUM-ASIA pada
3 Juni 2015 di Jakarta.
186
“Task Force on ASEAN Migrant Workers”, dalam http://www.hkjp.org/files/files/focus/
humanright/ task%20 force%20on%20ASEAN%20Migrant.pdf (diakses pada 15 Maret 2015
pukul 16.03 WIB).
187
Asian Forum for Human Rights and Development, “Civil Society’s Engagement with the
ASEAN Human Rights Body,” http://www.FORUM-ASIA.org/index2.php?option=com_content
& do _pdf = 1 &id=2153 (diakses pada 7 Maret 2015).
Universitas Indonesia
188
FORUM-ASIA, “Light at the end of the tunnel? ASEAN multilateral framework on migrant
workers”, dalam http://www.forum-asia.org/?p=5217 (diakses pad 25 April 2015 pukul 08.24
WIB).
189
Walaupun demikian, dalam prakteknya tidak senantiasa sebagaimana semestinya. Oleh karena
itu, ASEAN sebagai sebuah organisasi regional didesak untuk membuat mekanisme yang
mewajibkan negara-negara anggotanya mematuhi 8 Konvensi Inti Organisasi Perburuhan
Internasional (ILO), Deklarasi ILO tentang Prinsip-Prinsip Dasar dan Hak-Hak di Tempat Kerja,
dan konvensi 97 maupun 143 ILO mengenai buruh migran. Mengingat beberapa negara di Asia
Tenggara telah memprioritaskan hukum, peraturan atau kebijakan nasionalnya mematuhi standar
tersebut; sementara sebagian yang lainnya belum.
190
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “Civil Society Organisations and Trade Unions of
ASEAN: Consultation on Drafting the ASEAN Multilateral Framework on the Rights of Migrant
Workers 22 - 23 April 2006, Singapore”, dalam http://www.workersconnection.org/resources/
Resources_42/ Final% 20 Singapore%20 Consulation%20Report%20--%2031May2006.doc (
diakses pada 25 April 2015 pukul 08.28 WIB).
Universitas Indonesia
Tabel 3.1
Komitmen Organisasi Pemrakarsa TF-AMW
Organisasi Komitmen
1. Berkomitmen secara penuh untuk membangun suasana
kerjasama di antara organisasi masyarakat sipil dan serikat
pekerja;
UNI-APRO
2. Meyakinkan serikat pekerja untuk bergabung dalam dialog;
191
Ibid.
192
Ibid.
Universitas Indonesia
pemerintah;
Asian Pacific Workers Melaporkan kepada serikat pekerja Thailand dan APWSL
Solidarity Links karena banyak yang tertarik dalam proses ini.
(APWSL)
Asia Pacific Forum on Menyetujui untuk bergabung menjadi anggota TF-AMW.
Women, Law and
Development (APLWD)
Asian Forum for Human Menyetujui untuk bergabung menjadi anggota TF-AMW.
Rights and Development
(FORUM-ASIA)
Berkomitmen dan bersedia untuk bergabung menjadi anggota
Human Rights Working
TF-AMW.
Group (HRWG)
Akan mensosialisasikan hasil pertemuan di jejaringnya dan
Migrant Care-Indonesia
melakukan kerja advokasi.
Serikat Buruh Sejahtera Sejak 1999, SBSI telah mengorganisir dan memiliki kapasitas
Indonesia (SBSI) untuk menyelenggarakan seminar pada isu ini di Indonesia.
Batam Workers Centre Banyak isu migrasi dan BWC ingin menciptakan hubungan yang
(BWC) kuat dengan Singapura.
Center for Indonesian Berpengalaman mengorganisir buruh mmigran di Indonesia
Migrant Workers dan luar negeri. Akan bekerja pada isu-isu buruh migran.
(CIMW)
Serikat Buruh Migran Sebagai serikat buruh migran nasional di Indonesia, SBMI telah
Indonesia (SBMI) berpengalaman mengorganisir dan akan bekerja pada isu ini.
Tenaganita/CARAM akan berbicara dengan Dewan Direksi
mengenai pembentukan TF-AMW. Tenaganita mendukung dan
Tenaganita
akan bekerja di tingkat nasional di Malasia dan berbagi
informasi di jejaring regional.
Mekong Migration Akan mempertimbangkan untuk bergabung menjadi anggota
Network (MMN)-Asian TF-AMW.
Migrant Center (AMC)
Migrant Forum in Asia MFA memiliki pengalaman regional dan internasional untuk
(MFA) bergabung menjadi anggota TF-AMW.
Mendukung inisiatif. ILO memiliki sejumlah proyek yang dapat
International Labour membantu inisiatif dan gagasan TF-AMW. Oleh karena itu ILO
Organisation (ILO) dapat memberikan bantuan teknis, politis, hukum dan
substantif.
United Nations Inter- UNIAP memberikan masukan teknis mengenai isu perdagangan
Agency Project on manusia.
Human Trafficking
(UNIAP)
Southeast Asia Regional Memberikan dukungan financial dan teknis pada proses,
Cooperation in Human jejaring organisasi dan advokasi dengan pemerintah.
Development (SEARCH)
Universitas Indonesia
193
Ibid.
194
Asian Forum for Human Rights and Development, “Civil Society’s Engagement with the
ASEAN Human Rights Body,” http://www.FORUM-ASIA.org/index2.php?option=com_content
&do_pdf =1&id=2153 diakses pada 7 Maret 2015.
Universitas Indonesia
195
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, loc.cit, hlm.118.
196
Saat ini ASEAN People’s Center sudah tidak aktif lagi.
197
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, op.cit., hlm.15.
Universitas Indonesia
198
Jenina Joy Chavez, “Social Policy in ASEAN: The Prospects for Integrating Migrant Labour
Rights and Protection,” Global Social Policy, No. 7 (2007), DOI: 10.1177/1468018107082239,
hlm.358, dalam http://gsp.sagepub.com/cgi/content/abstract/7/3/358 (diakses pada 7 Maret 2015
pukul 18.52 WIB).
199
TF-AMW mendapatkan dukungan dana utama dari dua lembaga, yaitu Southeast Asia Regional
Cooperation in Human Development (SEARCH) dan The Canadian International Development
Agency (CIDA).
Universitas Indonesia
Tabel 3.2
Parameter Kondisi Kerja yang Adil dan Layak Bagi Buruh Migran
Universitas Indonesia
Sumber: Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Buruh Migran dan
Anggota Keluarganya 1990 (PBB) & Deklarasi Cebu 2007.
200
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, loc.cit., hlm.12.
Universitas Indonesia
201
Ibid., hlm.13.
Universitas Indonesia
202 Ibid.
203
Ibid.
Universitas Indonesia
204
Ibid.
205
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “Final ASEAN Civil Society Proposal for the
ASEAN Framework Instrument on the Promotion and Protection of the Rights of Migrant
Workers”, dalam http://www.workersconnection.org/resources/Resources_47/, (diakses pada 7
Maret 2015).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
206
Menurut Rafendi Djamin, Perwakilan Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN
(AICHR), musyawarah nasional seperti ini cukup efektif mengingat dilakukan secara konsisten
terutama menjelang rapat ACMW dan ASEAN Senior Labour Official Meeting (SLOM).
Sebagaimana wawancara penulis dengan Rafendi Djamin di Jakarta pada 7 Mei 2015.
Universitas Indonesia
dalam AFML. Hasil AFML yang selalu dihadiri oleh TF-AMW untuk selanjutnya
kembali lagi disebarkan kepada anggota jejaring TF-AMW dan seterusnya. 207
Musyawarah nasional Indonesia digelar di Jakarta pada 12-13 Mei 2007.
Pada kesempatan ini TF-AMW percaya bahwa upaya mengembangkan Kerangka
Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran
harus dan akan melengkapi Initiative for ASEAN Integration (IAI) dan ASEAN
Framework Agreeement on Services (AFAS). Oleh karena itu, mobilitas buruh
telah menjadi bagian integrasi karena pembatas (barrier) sedang dalam proses
penghilangan guna memfasilitasi bebasnya aliran modal, barang, jasa, dan
teknologi. 208
Menurut jejaring masyarakat sipil di Indonesia, aliran buruh lintas negara
menguntungkan semua pihak. Negara penerima buruh migran diuntungkan karena
kekurangan tenaga kerja di dalam negeri terpenuhi, negara pengirim buruh migran
diuntungkan karena mendapatkan devisa karena mengurangi pengangguran,
sedangkan buruh migran sendiri juga diuntungkan karena dapat memperbaiki taraf
ekonomi. Sehingga, baik buruh migran berdokumen maupun tidak wajib
dilindungi tanpa diskriminasi.
Puluhan peserta yang mengikuti musyawarah organisasi masyarakat sipil-
serikat pekerja di Indonesia menghasilkan Pernyataan Nasional. Terdapat
beberapa rekomendasi baik yang ditujukan kepada ASEAN maupun pemerintah
Indonesia 209. Rekomendasi mereka untuk ASEAN di antaranya ialah: 210 1) segera
meratifikasi delapan konvensi inti ILO dan memastikan hukum perburuhan
nasional –khususnya yang mengatur buruh migran – selaras dengan standar
tersebut, 2) instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran
sebagaimana yang tertera dalam paragraf 22 Deklarasi Cebu mengikat secara
207
Wawancara dengan Kun Wardana Abyoto, Direktur UNI Global Union Asia dan Pasifik (UNI-
APRO), Jakarta, 19 Mei 2015.
208
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, loc.cit., hlm. 52-55.
209
TF-AMW awalnya memuji pemerintah Indonesia karena telah meratifikasi 8 konvensi inti ILO
dan UN Convention on the Protection of the Rights of Migrant Workers and Their Families.
Namun karena dalam prakteknya masih banyak pekerja migran yang belum terpenuhi hak-haknya,
maka jejaring masyarakat sipil mengeluarkan sejumlah rekomendasi terhadap pemerintah
Indonesia.
210
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, op.cit.
Universitas Indonesia
hukum dan oleh karena itu Pertemuan Menteri Tenaga Kerja ASEAN 2008 harus
menerima rekomendasi ini, 3) instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak
buruh migran harus memiliki mekanisme pelaporan dan oleh karena itu harus
dibuat sebuah komisi independen untuk menanganinya, 4) setiap negara anggota
ASEAN agar membentuk focal point di bawah Kementerian Tenaga Kerja yang
berwenang dan bertugas terlibat secara substantif dalam menyusun instrumen
bekerjasama dengan TF-AMW, 5) meratifikasi secara Konvensi ILO 97, 143 dan
181 mengenai pekerja migran dan UN Convention on the Protection of the Rights
of Migrant Workers and Their Families, 6) instrumen harus memiliki mekanisme
yang praktis dan dapat dijalankan untuk menyelesaikan masalah pekerja migran
dengan standar seragam dan prosedur yang transparan guna memastikan
tanggapan yang berkualitas, 7) semua anak yang dilahirkan oleh pekerja migran
harus memperoleh akta kelahiran dan akses pendidikan maupun kesehatan.
Musyawarah nasional Kamboja diselenggarakan pada 11-12 September
2008 di Phnom Penh. Pertemuan yang dihadiri lebih dari 60 perwakilan organisasi
non-pemerintah, serikat pekerja, swasta, dan organisasi masyarakat sipil ini
bersejarah karena untuk pertama kalinya kalangan masyarakat sipil Kamboja
dapat duduk bersama untuk mengembangkan rekomendasi komprehensif
mengenai hak-hak buruh migran kepada Kerajaan Kamboja dan ASEAN.
Pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan Kementerian Tenaga Kerja dan
Pelatihan Kejuruan, Kementerian Urusan Perempuan dan Kementerian Luar
Negeri Kamboja itu memberikan sejumlah rekomendasi terhadap ASEAN yang di
antaranya ialah: 211
1. Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh
Migran harus mengikat secara hukum;
2. untuk memastikan koordinasi kebijakan dan negosiasi migrasi yang efektif
antar negara anggota ASEAN, setiap pemerintah nasional harus
mendirikan Inter-Agency Task Force guna mengkoordinir seluruh aspek
dari kerja pemerintah mengenai pekerja migran;
211
Ibid., hlm. 43-51.
Universitas Indonesia
212
Selain rekomendasi kepada pemerintah Laos dan ASEAN, musyawarah ini juga menghasilkan
rekomendasi kepada pemerintah Laos dan Thailand untuk 1) menindaklanjuti Nota Kesepahaman
mengenai kerjasama pekerjaan dan memastikan dipenuhinya hak-hak pekerja Laos di Thailand, 2)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
negara ini merupakan salah satu penerima migran terbesar di Asia. Apalagi,
sepertiga dari angkatan kerja Malaysia merupakan migran.
Para aktivis dalam musyawarah mengecam sikap pemerintah Malaysia
yang menganggap pekerja migran sebagai ancaman “keamanan” daripada masalah
“ketenagakerjaan” oleh Kementerian Sumber Daya Manusia. Mereka juga
mengecam Kementerian Dalam Negeri yang salah mengurus kebijakan pekerja
migran sehingga timbul masalah besar seperti eksploitasi sistemik dan
melubernya pekerja migran tak berdokumen. Para aktivis juga mengkritik
kegagalan Malaysia mencegah diskriminasi terahdap pekerja migran perempuan –
khususnya pembantu rumah tangga – walaupun telah meratifikasi CEDAW pada
2006.
Terdapat beberapa tuntutan masyarakat sipil Malaysia terhadap ASEAN
dalam musyawarah nasional di Shah Alam tersebut. 215 Pertama, segera
meratifikasi seluruh 8 Konvensi Inti ILO dan memastikan hukum nasional –
khususnya mengenai tata kelola pekerja migran – selaras dengan standar
internasional. Standar yang dimaksud termasuk Konvensi ILO No.97. 143 dan
181, serta UN Convention on the Protection of the Rights of Migrant Workers and
Their Families. Kedua, memastikan implementasi Vientiane Action Program
mengenai HAM. Ketiga, berperan dalam musyawarah dengan pemerintah negara
pengirim maupun penerima untuk memastikan bahwa pekerja migran tidak
dipungut biaya terlalu tinggi untuk mendapatkan pekerjaan. Biaya berlebihan
hanya akan memperbesar hutang pekerja migran yang mendorong rentannya
jeratan hutang dan perdagangan manusia. Keempat, mengakui fenomena “orang
yang tidak memiliki kewarganegaraan” dan menyadari bahwa pekerja migran
tanpa kewarganegaraan rawan terhadap eksploitasi. Kelima, membuat kebijakan
migrasi yang sensitif gender mengingat tingginya feminisasi dalam migrasi di
Asia Tenggara. Keenam, setiap negara pengirim pekerja migran harus
menugaskan seorang focal point di Kedutaan di setiap negara penerima guna
mengatasi keluhan dan masalah yang dihadapi warganya. Tempat penampungan
harus dibuat oleh negara yang bersangkutan untuk membantu pekerja migran yang
dalam keadaan sulit. Ketujuh, mengingat pentingnya remitansi pekerja migran
215
Ibid., hlm.67-68.
Universitas Indonesia
216
Ibid., hlm.69.
217
Ibid., hlm.70.
Universitas Indonesia
218
Ibid., 73-74.
Universitas Indonesia
219
Ibid., hlm.75.
220
Ibid., hlm.80.
221
Ibid., hlm.83.
Universitas Indonesia
222
Ibid., hlm.86-87.
Universitas Indonesia
and Children, ASEAN juga didesak untuk mendirikan jejaring regional guna
mencegah dan memberantas perdagangan manusia. 223
Jejaring masyarakat sipil Vietnam menghasilkan mengajukan beberapa
tuntutan terhadap ASEAN yang di antaranya ialah 224: pertama, mendirikan kantor
khusus di bawah Sekretariat ASEAN yang bertanggungjawab mengawasi dan
mengevaluasi pelaksanaan hukum dan kebijakan mengenai pekerja migran.
Kedua, negara-negara anggota ASEAN harus menandatangani perjanjian bilateral
dan multilateral mengenai hak-hak buruh migran dan membuat mekanisme efektif
untuk mengawasi pelaksanaannya secara efektif. Ketiga, negara-negara pengirim
buruh migran harus mendorong pembentukan jejaring yang anggotanya terdiri
dari perusahaan penyalur tenaga kerja, serikat pekerja, organisasi non-pemerintah,
dan pemerintah untuk berbagi pengalaman dan membantu satu sama lain dalam
upaya perlindungan hak-hak buruh migran. Keempat, negara-negara anggota
ASEAN harus mengembangkan dan mencapai kesepakatan tentang isi kontrak
kerja yang berlaku untuk semua pekerja migran di Asia Tenggara. Kelima, negara-
negara anggota ASEAN harus bernegosiasi dan mencapai kesepakatan terkait
prosedur standar untuk rekrutmen, pra-keberangkatan, transit, briefing pasca-
kedatangan, mediasi perselisihan dan penyelesaian, kepulangan dan reintegrasi
pekerja migran. Keenam, negara-negra anggota ASEAN harus menyetujui prinsip
“perlakuan nasional” yang akan diterapkan ke seluruh pekerja migran. Ketujuh,
negara-negara anggota ASEAN harus menyetujui perhatian khusus terhadap isu
keselamatan dan kesehatan pekerja migran, dan mengambil langkah-langkah
pencegahan guna memastikan kesehatan dan kehidupan mereka. Kedelapan,
negara-negara penerima pekerja migran harus mendirikan pusat-pusat masyarakat
sosial-budaya bagi pekerja migran untuk memperbaiki kehidupan mereka.
223
Ibid., hlm.94.
224
Ibid.
Universitas Indonesia
225
Hari Migran Internasional yang digagas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa diperingati setiap
tahun pada 18 Desember untuk mengakui upaya, kontribusi, dan hak-hak migran di seluruh dunia.
Peringatan ini dicetuskan oleh Sekretaris Jenderal PBB pada 4 Desember 2000 dengan pijakan
telah dikeluarkannya International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant
Workers and Member of Their Families pada 18 Desember 1990. Lihat United Nations,
“International Migrant Day: 18 December”, dalam http://www.un.org/en/ events/ migrants
day/index.shtml (diakses pada 28 April 2015 pukul 20.27 WIB).
226
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “Advocacy for Protection of Migrant Workers Rights
Moves into High Gear”, dalam http://www.workersconnection.org/articles.php?more=124 diakses
pada 28 April 2015 pukul 20.14 WIB.
227
Ibid.
Universitas Indonesia
Dalam buku tersebut juga dilengkapi dengan Surat dan Pernyataan resmi
TF-AMW yang ditujukan kepada Sekretariat ASEAN dan pemerintah nasional
dari negara-negara anggota ASEAN. Kepala Divisi Kesejahteraan Sosial,
Perempuan, Ketanagakerjaan dan Pekerja Migran Sekretariat ASEAN Donald
Tambunan menambahkan bahwa Sekretariat ASEAN mendukung keterlibatan
TF-AMW dalam upaya perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran. Upaya
tersebut merupakan salah satu pertanda kuatnya minat masyarakat sipil dalam
proses pembangunan Masyarakat ASEAN yang akan digulirkan per 31 Desember
2009.
Kerangka instrumen sebelumnya digunakan sebagai referensi utama pada
ASEAN Forum on Migrant Labour di Bangkok pada 30-31 Juli 2009. Pada forum
tersebut tiga perwakilan pemerintah yang bertindak sebagai Tim Penyusun
Instrumen juga menggunakan sebagai referensi penting. Oleh Karena itu, TF-
AMW terus mendorong pemerintah untuk mengembangkan kebijakan dan
perjanjian migrasi menggunakan kerangka instrumen dan mengajak anggota
jejaring untuk pantang menyerah dalam melobi dan mengadvokasi.
Diterbitkannya buku itu diharapkan menjadi bahan pendukung kampanye untuk
mengedukasi masyarakat sipil dan menguatkan advokasi kepada ASEAN.
Pada 27 Januari 2010 TF-AMW dengan Kelompok Kerja Buruh Migran
yang dipimpin oleh HRWG dan ASEAN People’s Center juga meluncurkan buku
(versi bahasa Indonesia) di Jakarta. Peluncuran buku ini dihadiri sekitar 60 peserta
dari perwakilan organisasi masyarakat sipil, serikat pekerja, ILO, IOM, FES,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Kementerian Luar Negeri RI,
ACMW, 3 anggota ASEAN Committee Permanent Representatives (CPR),
organisasi-organisasi internasional, dan beberapa staf kedutaan besar negara
sahabat. Kegiatan yang dimoderasi oleh Rafendi Djamin (Perwakilan Indonesia
untuk AICHR dan Direktur Eksekutif HRWG) ini disemarakkan oleh beberapa
pembicara seperti Roosiwati (Focal Point/perwakilan Indonesia untuk
ACMW/Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI), Sinapan Samydorai
(Convener TF-AMW), Ben Drajat Perkasa (Tim Penyusunan Instrumen
Universitas Indonesia
Indonesia/Kementerian Luar Negeri RI), dan Yap Swee Seng (Direktur Eksekutif
FORUM-ASIA). 228
Dalam peluncuran buku ini, Sinapan TF-AMW menegaskan bahwa
integrasi ekonomi ASEAN berjalan sebagaimana mestinya akan tetapi
perlidungan hak-hak buruh migran masih lemah. Menurut Sinapan, ASEAN harus
segera memiliki persetujuan untuk melindungi hak-hak buruh migran di Asia
Tenggara yang jumlahnya mencapai jutaan dan memastikan penghormatan atas
hak dan martabat. 229
TF-AMW mendesak negara-negara anggota ASEAN untuk mematuhi isi
dari Prinsip 22 Deklarasi Cebu yaitu untuk mengambil langkah-langkah efektif
dan tepat untuk menerapkan sebuah instrumen yang mengikat secara hukum
dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak buruh migran di Asia Tenggara. TF-
AMW juga mendesak bahwa instrumen yang dikembangkan harus mencakup
penghormatan HAM untuk melindungi seluruh buruh migran, termasuk para
buruh migran dari negara-negara non-ASEAN dan buruh migran yang tidak
reguler atau tidak berdokumen.
Sinapan Samydorai menekankan bahwa proposal masyarakat sipil dapat
menjadi alat yang bermanfaat baik untuk masyarakat sipil sendiri maupun negara-
negara anggota ASEAN dalam upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak buruh
migran. Proposal yang dibuat dalam bentuk buku tersebut diharapkan dapat
menjadi alat advokasi, musyawarah dan negosiasi dengan tujuan terwujudnya
Kerangka Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak buruh
Migran yang mengikat secara hukum. 230
228
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “Consultations Jakarta TFAMW Book Launch and
Public Forum (National) Tuesday, Feb 16, 2010”, dalam http://workersconnection.org/pdf/ Jakarta
TFAMWBookLaunchandPublicForum-16-Feb-2010.pdf diakses pada 28 April 2015 pukul 05.25
WIB.
229
Ibid.
230
Ibid.
Universitas Indonesia
231
Isagani R. Serrano, “ASEAN Civil Society Conference on Building on a Common Future
Together”, Report on the ASEAN Civil Society Conference on Building A Common Future
Together 7-9 December 2005, Universiti Teknologi MARA, Malaysia.
Universitas Indonesia
232
People’s Agenda for Alternative Regionalism, “Civil Society Presentation to ASEAN Heads of
State and Government”, dalam http://www.alternative-regionalisms.org/?p=1735 (diakses pada 25
April 2015 pukul 15.21 WIB).
233
People’s Agenda for Alternative Regionalism, “ASEAN for the People: Statement of the 2nd
ASEAN Civil Society Conference (ACSC II), 10-12 December 2006 – Cebu City, Philippines”,
dalam http://www.alternative-regionalisms.org/ ?p=916 (diakses pada 25 April 2015 pukul 14.42
WIB).
234
Ibid.
Universitas Indonesia
235
Focus on the Global South, “The 3rd ASEAN Civil Society Conference (ACSC): Moving
Forward: Building an ASEAN People’s Agenda”, dalam http://focusweb.org/node/1261 (diakses
pada 25 April 2015 pukul 15.29 WIB).
236
Asian Partnership for the Development of Human Resources in Rural Asia (AsiaDHRRA),
“ASEAN+Civil Society Conference (ACSC-3)”, dalam http://asiadhrra.org/wordpress/wp-
content/uploads/2007/11/acsc-3-program-oct30.doc (diakses pada 25 April 2015 pukul 15.57
WIB).
237
People’s Agenda for Alternative Regionalism, “ACSC-3: Singapore Declaration”, dalam
http://www.alternative-regionalisms.org/?p=919 (diakses pada 25 April 2015 pukul 15.41 WIB).
Universitas Indonesia
dengan para pemimpin ASEAN atau hanya presentasi “People’s Statement” pada
KTT ASEAN. 238
ACSC awalnya merupakan forum yang dibuat oleh Perdana Menteri
Malaysia Ahmad Badawi untuk mempertemukan para perwakilan masyarakat
sipil dengan para pemimpin ASEAN pada KTT ASEAN ke-11. 239 ACSC
diselenggarakan oleh sekelompok masyarakat sipil di negara tempat
penyelenggaraan KTT ASEAN yang dihadiri oleh organisasi-organisasi non-
pemerintah, organisasi masyarakat sipil, organisasi gerakan rakyat, atau organisasi
kemasyarakatan. Forum ini membahas berbagai isu seperti buruh migran, hak
asasi manusia, perdagangan, pembangunan, lingkungan, kepemudaan,
kebudayaan, ekonomi, kesehatan, atau isu apa saja yang tengah berkembang di
Asia Tenggara. Seiring dengan berjalannya waktu, forum ini juga dikenal dengan
nama ASEAN People’s Forum (APF) sejak ACSC ke-4 tahun 2009. Hal ini untuk
mengakomodasi interpretasi yang berbeda dari istilah “organisasi masyarakat
sipil” dan “organisasi kerakyatan” dari Thailand. Sejak 2009, baik ACSC maupun
APF digunakan saling bergantian atau bersamaan. 240
Dalam perkembangannya, ACSC diakui sebagai bagian dari proses resmi
KTT ASEAN oleh badan eksekutif yaitu ASEAN Standing Committee. Hal ini
merupakan suatu kemajuan diakuinya peran masyarakat sipil karena sebelumnya
tidak pernah ada ruang bagi masyarakat sipil dalam KTT. Ratusan perwakilan
organisasi masyarakat sipil dari seluruh penjuru Asia Tenggara hadir dan
berkontribusi dalam membuat “People’s Statement” yang biasanya ditampilkan
dalam situs web ASEAN. Adapun “Interface Meeting” 241 biasanya hanya
238
Kelly Gerard, “From the ASEAN People’s Assembly to the ASEAN Civil Society Conference:
the Boundaries of Civil Society Advocacy”, Contemporary Politics Vol. 19 No. 4 (2013): 411-26.
239
Pasca digelarnya ACSC pertama di Malaysia tahun 2005, pengajuan masyarakat sipil untuk
mengggelar ACSC secara sejajar dengan KTT ASEAN di Filipina dan Singapura ditolak.
Walaupun tidak mendapatkan persetujuan, ACSC tetap digelar pada 11-13 Desember 2006 di
Cebu, Filipina yang dihadiri oleh lebih dari 300 perwakilan organisasi masyarakat sipil dan pada
2-4 November 2007 di Singapura yang dihadiri lebih dari 200 perwakilan organisasi masyarakat
sipil. Di kedua penyelenggaraan ACSC tersebut, People’s Statement yang dihasilkan juga
diserahkan kepada para pemimpin negara ASEAN.
240
ACSC/APF, “Background: ASEAN Civil Society Conference (ACSC)/ASEAN’s People
Forum (APF)”, dalam http://aseanpeople.org/about/background/ (diakses pada 25 April 2015
pukul 10.18 WIB).
241
Menurut Atnike Sigiro, perwakilan TF-AMW memang senantiasa menghadiri ACSC/APF.
Namun, karena ia hanya sebagai peserta biasa di antara ratusan peserta lain, pengaruhnya minim.
Apalagi, isu perlindungan buruh migran bukan satu-satunya isu yang dibahas dalam Interface
Universitas Indonesia
Meeting. Wawancara penulis dengan Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager
FORUM-ASIA, pada 3 Juni 2015 di Jakarta.
242
Rehman Rashid, “The ASEAN People’s Agenda”, Agenda Malaysia, 22 November 2000.
243
People’s Agenda for Alternative Regionalisms, “Statement of ASEAN People’s Forum-Fourth
ASEAN Civil Society Conference to the 14th ASEAN Summit (20-22 February 2009)”, dalam
http://www.alternative-regionalisms.org/?p=1632 (diakses pada 25 April 2015 pukul 14.23 WIB).
Universitas Indonesia
244
People’s Agenda for Alternative Regionalisms, “Advancing a People’s ASEAN: Continuing
Dialogue: Statement of the 2nd ASEAN People’s Forum (APF)/5th ASEAN Civil Society
Conference (ACSC)”, dalam http://www.alternative-regionalisms.org/?p=2435 (diakses pada 25
April 2015 pukul 16.49 WIB).
Universitas Indonesia
245
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “First Civil Society Interface at ASEAN Summit,
includes TF AMW”, dalam http://www.workersconnection.org/ articles.php?more=109 (diakses
pada 25 April 2015 pukul 11.12 WIB).
246
Ibid.
247
Menurut Rafendi Djamin, Sinapan Samydorai telah mendapatkan kepercayaan luas dari
kalangan masyarakat sipil maupun dalam ASEAN-SLOM dan ACMW. Sebagaimana wawancara
penulis dengan Rafendi Djamin di Jakarta pada 7 Mei 2015.
248
Asian Farmers’ Association for Sustainable Development, “AFA participates in the Sixth
ASEAN People’s Forum”, dalam http://asianfarmers.org/ ? p = 1236 diakses pada (25 April 2015
pukul 17.41 WIB).
Universitas Indonesia
dasar ILO (C.87 dan C.98) dan hak-hak serikat buruh (hak untuk
berorganisasi di tempat kerja), dan relevansi Konvensi ILO 97 tentang
Migrasi untuk Pekerjaan, Konvensi 143 tentang Pekerja Migran
(Ketentuan Tambahan), Konvensi 177 tentang Kerja Rumahan, Konvensi
181 tentang Penyalur Tenaga Kerja Swasta, dan konvensi terkait lainnya.
4. menekan untuk membentuk Konvensi tentang Pekerja Rumah Tangga;
layak dan kondisi kerja bagi semua pekerja, termasuk pekerja migran, dan
pekerja di sektor informal.
Untuk mewujudkan sebuah instrumen yang sensitif gender, TF-AMW
menggelar musyawarah regional pada 22-23 Mei 2008 di Bangkok. Forum yang
bekerjasama dengan UNIFEM dan Southeast Asia Regional Cooperation in
Human Rights (SEARCH) tersebut dihadiri oleh lebih dari 60 perwakilan
organisasi non-pemerintah dan pemerintah dari Asia Tenggara. Hasil musyawarah
tersebut untuk kemudian juga diserahkan kepada Sekretaris Jenderal ASEAN
yang saat itu menjabat yaitu Surin Pitsuwan. 249
249
Regional Consultation on Gender Perspectives on the ASEAN Declaration on the Protection
and Promotion of the Rights of Migrant Workers and the Civil Society Draft of the Framework
Instrument to Protect and Promote the Rights of Migrant Workers. Meeting Report.
Universitas Indonesia
250
Justice and Peace Commission of Hong Kong Catholic Diocese, “Task Force on ASEAN
Migrant Workers”, dalam http://www.hkjp.org/files/files/focus/ humanright/ task % 20
force%20on%20ASEAN%20Migrant.pdf (diakses pada 15 Maret 2015 pukul 16.03 WIB).
251
ILO Regional Office for Asia and the Pacific, The ASEAN Forum on Migrant Labour (AFML):
Background information booklet / Tripartite Action for the Protection and Promotion of the Rights
of Migrant Workers in the ASEAN Region (ASEAN TRIANGLE project), (Bangkok: ILO Regional
Office for Asia and the Pacific, 2014), hlm.1.
Universitas Indonesia
252
Ibid., hlm.2.
253
Ibid., hlm.3.
254
Dana penyelenggaraan AFML (termasuk perjalanan, akomodasi dan tempat acara) ditanggung
oleh negara-negara anggota ASEAN, ILO, IOM, TF-AMW, dan UN Women. Ibid., hlm.4.
Universitas Indonesia
255
Ibid., hlm.10
256
The ASEAN Secretariat, Work Plans of the Subsidiary Bodies of the Asean Senior Labour
Meeting (SLOM), (Jakarta: The ASEAN Secretariat, 2012), hlm.48.
257
AFML ke-2 dihadiri oleh perwakilan pemerintah dari Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar,
Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Sekretariat ASEAN. Forum ini juga dihadiri oleh
perwakilan dari ILO, IOM, organisasi-organisasi non-pemerintah, serikat pekerja, dan asosiasi
pengusaha.
258
Kerangka Instrumen TF-AMW telah menjadi salah satu sumber utama untuk tiga dari empat
delegasi pemerintah dalam Komite Penyusun Draf Instrumen ACMW. Dalam rapat pembahasan
pertama penyusunan instrumen, proposal TFAMW merupakan satu-satunya proposal yang ada di
meja. Bahkan, Indonesia dan Filipina meninjau dan mengadopsi isi proposal sekitar 60% dalam
posisi pernyataan awal.
Universitas Indonesia
ACMW yang termasuk Drafting Team selama pertemuan di Chiang Rai, Thailand
pada September 2009. 259
Pada AFML ke-2 Convenor TF-AMW Sinapan Samydorai menyajikan
Proposal Masyarakat Sipil untuk Kerangka Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran. Sinapan mendesak
diberlakukannya pendekatan nilai HAM dan penghormatan terhadap standar
perburuhan inti ILO untuk memperlakukan baik buruh migran berdokumen
maupun tidak, dan menekan ACMW untuk mengakui atau menggunakan proposal
yang mengikat secara hukum. Sinapan juga mendesak ASEAN untuk
menyelaraskan peraturan, hukum atau kebijakan nasional sesuai dengan ketentuan
PBB dan standar ILO. Selain itu, Sinapan juga mendesak ACMW untuk
mempertimbangkan masyarakat sipil sebagai mitra dalam proses penyusunan, dan
mengakui nilai-nilai organisasi masyarakat sipil dalam mendukung dan
mengawasi implementasi kerangka instrumen. 260
Menurut Sekretaris Regional UNI-APRO Christopher Ng yang juga
anggota jejaring TF-AMW, UNI-APRO dan ASETUC telah mendukung buruh
migran di ASEAN khususnya dalam menyediakan pusat bantuan. Christopher
berpendapat bahwa serikat buruh lebih diperlukan keterlibatannya dalam
menyusun Kerangka Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-
Hak Buruh Migran yang disusun oleh ACMW. Sementara itu Jacqueline Pollock
dari Yayasan Migrant Assistance Program (MAP) menegaskan bahwa masyarakat
sipil berperan dalam mengidentifikasi kesenjangan kebijakan yang dibuat oleh
ASEAN dalam upaya perlindungan buruh migran. Menurut Pollock, ada beberapa
mekanisme yang memungkinkan penguatan kerjasama antar pemangku
kepentingan: 1) pertemuan regional rutin, 2) organisasi masyakat sipil dapat
ditempatkan perwakilannya di tingkat nasional dan regional, 3) diberikannya
259
Task Force on ASEAN Migrant Workers, Civil Society Proposal: ASEAN Framework
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers, loc.cit., hlm.10.
260
Task Force on ASEAN Migrant Workers, “Summary Record of the 2nd ASEAN Forum on
Migrant Labour 30-31 July 2009, Bangkok”. Dalam http://www.workersconnection.org/resources/
Resources_59/2ndFrm_MigrantLbr__SUMMARY%20RECORD%20_21%20Aug%2009_-2.pdf
(diakses pada 25 April 2015 pukul 18.57 WIB).
Universitas Indonesia
261
Ibid.
262
International Labour Organization, “Recommendations from the 3rd ASEAN Forum on
Migrant Labour”, dalam http://www.ilo.org/wcmsp5/ groups /public/---asia/---ro-bangkok/
documents/meeting document/ wcms213739.pdf diakses pada 26 April 2015 pukul 10.54 WIB.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
263
Dalam Treaty of Amity and Cooperation (TAC) dijabarkan bahwa negara-negara yang
tergabung dalam ASEAN: 1) saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas
wilayah, dan identitas nasional seluruh bangsa; 2) hak setiap negara untuk mempertahankan
eksistensi nasionalnya dari campur tangan eksternal; 3) non-intervensi dalam urusan internal satu
sama lain; 4) menyelesaikan perbedaan atau perselisihan dengan cara yang damai; 5) menolak
ancaman atau penggunaan kekerasan; dan 6) kerjasama yang efektif di antara anggota melalui
musyawarah dan mufakat.
130
Universitas Indonesia
1967 untuk mendirikan ASEAN, mereka satu sama lain telah menyadari
sepenuhnya tingkat perbedaan dan keragaman yang sangat tinggi. Oleh karena itu,
dibuatlah norma dasar yang dikenal dengan ASEAN Way yaitu sebuah modus
operandi atau mekanisme yang melembagakan organisasi dengan asas
musyawarah dan mufakat atas prinsip non-intervensi terhadap urusan domestik
satu dengan yang lainnya. 264 Hal ini didorong oleh sejarah Asia Tenggara yang
mengalami banyak perang dan konflik pasca-kolonialisme. Sehingga, kehadiran
ASEAN diharapkan secara strategis dapat menjadi solusi.
ASEAN Way merupakan mekanisme informal yang bersifat ambigu,
inklusif, dan menghindari peraturan yang mengikat. ASEAN Way berlaku baik
sebagai seperangkat norma sikap yang tertulis dalam Treaty of Amity and
Cooperation maupun sebagai seperangkat norma prosedural informal yang
menggerakkan pola interaksi ASEAN. Ia cenderung menekankan pendekatan
informal dan prosedur non-legalistik, fleksibilitas, perundingan tertutup,
pendekatan non-konfrontasi untuk negosiasi dan menekankan musyawarah untuk
mencapai mufakat (konsensus). Norma tersebut telah membentuk pola interaksi
antar negara anggota karena dipandang sebagai titik temu bahkan identitas
bersama ASEAN.
ASEAN Way dalam tingkat tertentu telah dilembagakan sebagai doktrin
non-intervensi ASEAN yang justru menjadi dalih negara-negara anggota untuk
menghindari tekanan eksternal dalam konteks demokrasi. Di satu sisi, norma ini
merupakan kunci keberhasilan ASEAN sebagai suatu organisasi regional –
khususnya dalam resolusi konflik. Di sisi lain, menjadi penghalang karena tidak
adanya kekuatan yang secara institusional mengikat. 265
ASEAN Way telah membatasi arena aktor non-negara, khususnya
masyarakat sipil untuk mempengaruhi ASEAN. Dalam konteks penegakan HAM
misalnya. Beberapa negara yang tergabung dalam organisasi ini enggan untuk
menyesuikan hukum, peraturan dan kebijakan nasionalnya sesuai dengan standar
internasional yang bersifat universal. Oleh karena itu, desakan masyarakat sipil
terhadap pemerintah nasional maupun ASEAN untuk mematuhi standar
264
Amitav Acharya, Democratisation and the Prospects for Participatory Regionalism in Southeast
Asia. Third World Quarterly, 24(2, 2003): 375-390.
265
Amitav Acharya, ASEAN at 40: Mid-Life Rejuvenation, Foreign Affairs (2008), 1-3.
Universitas Indonesia
266
Menurut Adisorn Kerdmongkol, ASEAN Way telah menghambat partisipasi masyarakat sipil
dan menjadi penghalang perlindungan hak-hak buruh migran di Asia Tenggara. Norma ini juga
menghambat berkembangnya ASEAN yang menjadikannya tidak lebih dari sebuah perpanjangan
dari pemerintah. Sebagaimana wawancara penulis dengan Adisorn Kerdmongkol, aktivis Migrant
Working Group (MWG) Thailand melalui surat elektronik pada 6 Mei 2015.
267
James Gomez and Robin Ramcharan, “The ASEAN Way and Human Rights”, dalam
http://www.gomezcentre.com/expert-commentary/2015/2/27/the-asean-way-and-human-rights
(diakses apda 16 Mei 2015 pukul 09.39 WIB).
Universitas Indonesia
268
Menurut Navuth YA, ASEAN tidak perlu meneruskan diterapkannya norma ASEAN Way –
khususnya prinsip non-intervensi. Sebaliknya, ASEAN harus belajar dari Uni Eropa untuk
mendengar aspirasi rakyat dan meningkatkan budaya dialog untuk slaing mendukung. Khususnya,
dalam konteks penegakan HAM. Sebagaimana wawancara penulis dengan Navuth YA, Direktur
Eksekutif CARAM Kamboja pada 1 Mei 2015 melalui Skype.
Universitas Indonesia
269
Report of the 1st Meeting of the Committee on the Implementation of the Declaration on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers (ACMW), 15-16 September 2008,
Singapore.
Universitas Indonesia
270
Ibid.
271
Ben Perkasa Drajat, “Keketuaan Indonesia di ASEAN 2011", Jurnal Diplomasi Vol. 1 No.3
(Maret 2012): hlm. 29.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dihadiri oleh perwakilan ILO dan IOM. Dalam pertemuan ini, Indonesia
mengajukan garis besar untuk penyusunan instrumen yang akhirnya gagal
menemukan mufakat karena Malaysia belum siap membahas dan membutuhkan
waktu lebih banyak untuk memahamainya. Malaysia menolak untuk menerima
rekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan di Manila karena Malaysia tidak
menghadirinya. 272
Pertemuan kedua digelar di Bali 25-26 Juni 2009. Pada pertemuan itu
menyepakati kerangka acuan Tim Penyusun ACMW yang mengatur tujuan,
peran, fungsi, keanggotaan dan keketuaan, mekanisme pelaporan, jadwal
pertemuan, manajemen keuangan dan peran Sekretariat ASEAN. Namun, pada
pertemuan tersebut kelompok negara pengirim dan penerima buruh migran belum
menemukan titik temu mengenai cakupan buruh migran. Pertemuan ketiga
berlangsung di Kuala Lumpur 7-8 Desember 2009 yang menghadapi kebuntuan.
Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kesepakatan antara kelompok negara
pengirim dan negara penerima buruh migran apakah instrumen harus mengikat
secara hukum atau tidak, dan apakah mencakup buruh migran tak berdokumen
atau tidak. 273
Kebuntuan dalam penyusunan instrumen di atas terjadi karena adanya dua
kutub kepentingan yaitu kelompok negara pengirim dan kelompok penerima
buruh migran. Sejak awal perundingan, kedua kelompok saling bertentangan
dalam memasukkan buruh migran tak berdokumen. Kelompok negara pengirim
yang diwakili Indonesia dan Filipina memperjuangkan agar instrumen
mengakomodasi perlindungan atas hak-hak humaniter dasar dan standar bagi
buruh migran tak berdokumen. Di sisi lain, kelompok negara penerima yang
dipimpin Malaysia berkepentingan agar instrumen tidak memberikan
perlindungan atas buruh migran tak berdokumen walaupun pada tataran
kebutuhan humaniter saja.
Dalam hal ini, Malaysia yang merupakan penyebab utama kebuntuan ialah
terus-menerus menolak baik mengenai hak-hak buruh migran tidak berdokumen
272
Arie Poluzzi, “Protection of Undocumented Migrant Workers in the Establishment of ASEAN
Instrument on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers”, (Master Thesis,
Univesity of Lund), hlm.68.
273
Ibid.
Universitas Indonesia
atau keluarga buruh migran dalam lingkup dan cakupan negosiasi penyusunan
instrumen. Karena itu, diputuskan bahwa format keanggotaaan ACMW-DT
kembali dari semula yaitu terdiri dari 10 focal points pemerintah ASEAN. 274
Kelompok negara pengirim buruh migran berkepentingan untuk
mewujudkan instrumen yang mengikat secara hukum. Kelompok penerima buruh
migran berkepentingan sebaliknya. Pada lokakarya perdana di Manila misalnya,
Singapura menunda untuk menyetujui butir tersebut. Adapun Malaysia yang tidak
hadir dalam lokakarya itu di kesempatan selanjutnya menolak keras. Singapura
dan Malaysia yang mewakili kelompok negara penerima buruh migran
berkepentingan untuk mewujudkan instrumen yang hanya berfungsi sebagai
pedoman normatif, bukan mengikat secara hukum yang mengakibatkan kewajiban
setiap negara anggota ASEAN untuk menyesuaikan dalam hukum, peraturan atau
kebijakan nasional.
Sebagai upaya untuk mengatasi kebuntuan, Malaysia mengundang negara-
negara ASEAN untuk bertemu di Kuala Lumpur pada 28 Februari-1 Maret 2011.
Pada kesempatan ini, dua isu utama – cakupan buruh migran dan jenis instrumen
– juga belum dapat mencapai mufakat. Oleh karena itu, Indonesia mengajukan
agar pihak-pihak yang bernegosiasi meninggalkan hasil rekomendasi lokakarya
sebelumnya dan menempuh revolutionary approach yakni membahas terlebih
dahulu isu dan prinsip dasar guna mencapai pemahaman bersama.
Menurut Ben Perkasa Drajat, Wakil Kepala Perwakilan KBRI Tokyo
(mantan perwakilan Indonesia dalam Tim Penyusun Instrumen ACMW),
penolakan Malaysia untuk memberikan perlindungan pada buruh migran tak
berdokumen didasarkan oleh besarnya kewajiban yang harus diterapkan di dalam
negeri untuk memperbaiki perlindungan. 275 Hal ini masuk akal mengingat jumlah
buruh migran di Malaysia saat ini tercatat lebih dari 3 juta jiwa yang setara
dengan 10 persen populasi Malaysia. 276 Mereka sebagian besar bekerja di
274
ALIRAN, Migrant Workers’ Rights : ASEAN fails to agree, dalam http://aliran.com/1059.html ,
(diakses pada 21 Maret 2015 pukul 09.01 WIB).
275
Yerry Mamahit Padungge, Politik Luar Negeri Indonesia: Studi Kasus Peran Indonesia Dalam
Agenda Setting Isu Pekerja Migran di KTT Ke-19 ASEAN Tahun 2011”, (Tesis, Universitas
Indonesia, 2012), hlm.45-48.
276
Hew Lee Yee, “Illegal Workers in Malaysia: Ho Much Do You Know About The Dilemma?,
dalam http://says.com/my/news/illegal-workers-in-malaysia-how-much-do-you-know-about-the-
dilemma (diakses pada 19 April 2015 pukul 10.25 WIB).
Universitas Indonesia
277
Yerry Mamahit Padungge, op.cit., hlm.62.
Universitas Indonesia
278
Wawancara dengan Guntur Witjaksono, Direktur Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Republik Indonesia, pada 2 Juni 2015 melalui
telepon.
279
Ibid.
280
Human Rights Working Group, “Instrumen Perlindungan ASEAN terhadap Hak Buruh
Migran”, Erga Omnes HRWG Buletin No.1 Volume III Tahun 2011, hlm.9.
Universitas Indonesia
281
Amitav Acharya, Whose Ideas Matter?: Agency and Power in Asian Regionalism, (Ithaca and
London: Cornell University Press, 2009), hlm.21.
282
Sriprapha Petcharamesree, The ASEAN Human Rights Architecture: Its Development and
Challenges, The Equal Rights Review Vol. Eleven (2013): 46-60.
Universitas Indonesia
283
Ibid.
284
Ibid.
285
Ibid.
Universitas Indonesia
286
Joint Communiqué of the 24th ASEAN Ministerial Meeting, Kuala Lumpur, 19-20 July 1991.
287
The ASEAN Secretariat, Piagam Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Terjemahan), dalam
http://www.asean.org/archive/ AC-Indonesia.pdf (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 14.48 WIB).
288
The ASEAN Foundation, “Welcome Remarks by H.E. Dr. Surin Pitsuwan, Secretary General
of ASEAN at the ASEAN Foundation 10th Anniversary Forum, 16 January 2008, Jakarta,
Indonesia”, dalam http://www.aseanfoundation.org/ index2 .php ?main=news/2008/2008-01-
16b.php (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 14.57 WIB).
Universitas Indonesia
negara anggota ASEAN yang dapat mendaftar dan mendapatkan persetujuan dari
ASEAN untuk bermitra.
Di antara ribuan organisasi masyarakat sipil yang ada di Asia Tenggara,
sampai saat ini hanya 52 organisasi yang menjadi afiliasi atau mendapatkan status
akreditasi dari ASEAN. Panduan Akreditasi Organisasi Masyarakat Sipil diadopsi
pada pertemuan Committee of Permanent Representatives to ASEAN (CPR) pada
15 November 2012 dan dicatat pada ASEAN Coordinating Council Meeting ke-11
pada 17 November 2012. 289 Sebagian besar organisasi terakreditasi yang
tercantum pada panduan tersebut merupakan organisasi yang bersifat teknis,
mendukung bisnis, atau yang jauh dari isu-isu sensitif seperti hak asasi manusia.
Di antara organisasi yang diakreditasi oleh ASEAN ialah ASEAN Federation of
Mining Association (AFMA), ASEAN Federation of Heart Foundation (AFHF),
ASEAN Football Federation (AFF), ASEAN Fisheries Federation (AFF), ASEAN
Handicraft Promotion and Development Association (AHPADA), ASEAN NGO
Coalition on Ageing, dan Committee for ASEAN Youth Cooperation (CAYC).
Kenyataan tersebut melenceng dari semangat maupun cita-cita Masyarakat
ASEAN yang bertekad meningkatkan sebuah organisasi yang berorientasi rakyat
di mana semua sektor masyarakat didorong untuk terlibat dan menerima manfaat
dari proses integrasi dan pembangunan masyarakat ASEAN.
Dalam prakteknya daftar organisasi masyarakat sipil yang dapat
berpartisipasi dalam forum-forum yang diselenggarakan oleh ASEAN tidak
terbatas dengan status afiliasi. Dalam sistem informal ini, setiap negara merinci
organisasi-organisasi masyarakat sipil yang menurut mereka dapat diundang. Para
anggota CPR kemudian mempertimbangkan rincian tersebut dan jika ada
beberapa oganisasi masyarakat sipil yang tidak disetujui partisipasinya oleh
negara anggota, CPR tidak mengundangnya. Dengan kata lain, dengan prinsip
mufakat negara berperan dalam menentukan organisasi masyarakat sipil mana saja
yang dapat berpartisipasi dalam forum-forum ASEAN. Dalam konteks AFML,
Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN mendapatkan kesempatan untuk
mengajukan daftar organisasi masyarakat sipil yang dapat diundang, namun
289
The ASEAN Secretariat, “Guidelines on the Accreditation of Civil Society Organisations
(CSOs)”, dalam http://www.asean.org /images/2012/documents/Guidelines%20on %20
Accreditation %20of %20 CSOs.pdf (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 10.37 WIB).
Universitas Indonesia
290
Wawancara dengan Pitchanuch Supavanich, Senior Officer – Social Welfare, Women, Labour,
and Migrant Workers Division, ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) Department, The
ASEAN Secretariat. Jakarta, 15 Mei 2015.
291
Wikileaks, “MYANMAR/ASEAN/THAILAND- Burmese Activist Awaits Ruling on Asean
Meeting”, dalam https://wikileaks.org/gifiles/docs/16/1659624_myanmar-asean-thailand-burmese-
activist-awaits-ruling-on.html (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 13.29 WIB).
Universitas Indonesia
menyampaikan aspirasi hanya jika peserta dalam topik yang ditentukan mencapai
jumlah tertentu. Kekuatan lobi atau advokasi mereka juga dibatasi oleh kapasitas
jejaring. Apalagi, tidak ada mekanisme terstruktur untuk mengatur keterlibatan
mereka. Dengan demikian, kenyataan tersebut membatasi interaksi baik antara
sesama kelompok masyarakat sipil maupun antara kelompok masyarakat sipil
dengan pemerintah nasional dan pejabat Sekretariat ASEAN. Hal ini diperparah
dengan buruknya komunikasi antara organisasi masyarakat sipil lokal dan
regional sehingga tidak terwujud konsolidasi yang baik.
Tidak efektifnya advokasi TF-AMW terhadap ASEAN juga didorong oleh
realita bahwa sebagian besar forum yang diadakan oleh ASEAN atau Sekretariat
ASEAN mewakili kepentingan pemerintah, bukan masyarakat sipil. Sehingga
warga negara di negara-negara Asia Tenggara hampir tidak pernah diberikan
kesempatan untuk mengawasi kinerja organisasi regional tersebut. Dalam konteks
ASEAN, pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan memang dibuat oleh
para kepala pemerintahan bersama dengan Sekretariat ASEAN dan Badan
Kementerian Sektoral. Sehingga, secara institusional masyarakat sipil tidak
dilibatkan dalam tata kelola regional.
Upaya TF-AMW untuk memanfaatkan pertemuan antarmuka yang
mengiringi setiap penyelenggaraan ACSC/APF tidak efektif karena forum
tersebut berfungsi untuk menampung isu dengan cakupan yang sangat luas.
Dengan kata lain, isu perlindungan buruh migran hanya merupakan salah satu di
antara belasan isu yang diperjuangkan oleh kelompok masyarakat sipil. Apalagi,
waktu yang pertemuan antarmuka hanya selama 15 menit 292 untuk membahas
beragam isu. Sehingga, tidak menjamin bahwa para pengambil kebijakan baik
pemerintah nasional maupun Sekretariat ASEAN memperhatikan. Bahkan,
apabila seluruh kepentingan organisasi masyarakat sipil terwakili dalam forum
tersebut, hasil diskusi atau pernyataan bersama tidak dapat secara efektif
disampaikan kepada orang yang tepat.
Pertemuan antarmuka juga diperparah dengan padatnya agenda yang diatur
sedemikian rupa oleh pemerintah. Begitu juga dengan tempat penyelenggaraan
292
Dalam beberapa penyelenggaraan pertemuan antarmuka ACSC/APF terakhir waktu
diperpanjang menjadi 30 menit karena dikeluhkan oleh jejaring masyarakat sipil.
Universitas Indonesia
293
Linda Quayle, Southeast Asia and the English School of International Relations: A Region
Theory Dialogue, (London: Palgrave Macmillan, 2013), hlm. 126.
294
Terence Chong and Stefanie Elies, ASEAN Community for All: Exploring the Scope for Civil
Society Engagement, (Singapore: Friedrich-Ebert-Stiftung, Office for Regional Cooperation in
Asia, 2011), hlm. 11.
295
Kelly Gerard, ”ASEAN and Civil Society Activities in ‘Created Spaces’: the Limits of
Liberty”, The Pacific Review Vol. 27 No. 2 (2014): 265–287.
Universitas Indonesia
kritis, atau yang tidak pro-pemerintah dimasukkan ke dalam “daftar hitam” untuk
diblokir. LSM yang mewakili kepentingan “akar rumput” sering kali tidak
mendapatkan kesempatan dalam forum-forum resmi ASEAN, sebaliknya LSM
yang berafiliasi dengan pemerintah atau “plat merah” terwakili.
Kedua, ketatnya pengendalian atas sejauh mana masyarakat sipil dapat
berpartisipasi dalam ruang yang telah dibuat atau diakui oleh ASEAN. Dalam hal
ini, LSM yang berafiliasi dengan pemerintah dapat mengajukan pernyataan
tertulis kepada ASEAN Committee of Permanent Representatives. Kegiatan lain
yang dapat diikuti oleh LSM terafiliasi ialah menyuarakan informasi kepada
perwakilan ASEAN, menghadiri pertemuan atau mendapatkan akses terhadap
dokumen-dokumen ASEAN. Terbatasnya ruang lingkup untuk berpartisipasi yang
disebabkan oleh sistem afiliasi ini mengakibatkan hanya satu organisasi yang
dihormati secara luas dalam komunitas LSM yaitu Asian Partnership for
Development of Human Resources in Rural Asia (AsiaDHRRA). Sementara itu
mayoritas LSM yang terdaftar dipenuhi oleh lembaga-lembaga professional
seperti ASEAN Bankers Association, ASEAN Cosmetics Association, ASEAN Kite
Council, dan ASEAN Vegetable Oils Club.
Ketiga, ruang partisipasi masyarakat sipil di ASEAN ditentukan oleh isu
yang sedang digiring, sehingga membatasi advokasi politik LSM. Isu yang kurang
sensitif atau controversial seperti kesejahteraan sosial dan pembangunan dibuat
untuk memajukan interaksi antara LSM dengan ASEAN. Di sisi lain, LSM yang
fokus di bidang HAM menghadapi kesulitan untuk berinteraksi dengan
perwakilan resmi ASEAN.
Keempat, kurangnya institusionalisasi ASEAN dalam bentuk partisipasi
politik menunjukkan bahwa ASEAN masih mempertahankan kepentingannya
untuk meminggirkan atau mengeluarkan kegiatan yang dianggap tidak diperlukan.
Misalnya, ini ditunjukkan dalam ASEAN–ISIS Colloquium on Human Rights
(AICOHR) yang diadakan setiap tahun oleh ASEAN-ISIS. Dalam forum yang
mempertemukan perwakilan pemerintah, akademisi, peneliti, dan staf ASEAN-
ISIS ini para perwakilan pemerintah memanfaatkannya untuk menentang
universalisme. Pemerintah negara-negara ASEAN berpandangan bahwa HAM
dibangun oleh Barat, sehingga digulirkan Asian Values yang menyesuaikan
Universitas Indonesia
296
Amitav Acharya. (2003), loc. cit.
297
Wawancara dengan Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager, Asian Forum for
Human Rights and Development (FORUM-ASIA) pada 3 Juni 2015 di Jakarta.
Universitas Indonesia
298
Ibid.
299Ibid.
300
Sydney Tarrow, Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics (2nd Edition),
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 20-21.
Universitas Indonesia
301
James Gomez and Robin Ramcharan, “Introduction: Democracy and Human Rights in
Southeast Asia”, Journal of Current Southeast Asian Affairs 3/2014: 3–17.
302
Wawancara dengan Angeline Shannan, aktivis Aliran Kesedaran Negara (ALIRAN) Malaysia
melalui surat elektronik padda 27 April 2015.
Universitas Indonesia
303 Ibid.
304
James Gomez and Robin Ramcharan, loc. cit.
Universitas Indonesia
305 Wawancara dengan Brahm Press, aktivis Mekong Migration Network (MMN), Thailand pada
14 Mei 2015 melalui Skype.
306 Ibid.
Universitas Indonesia
Tangga yang belum lama dikeluarkan oleh PBB dan sangat krusial dalam tata
kelola migrasi di Asia Tenggara juga baru ditandatangani ole Filipina saja.
Kenyataan tersebut seperti apa yang banyak dinilai oleh para sarjana sebagai
“perjanjian untuk tidak setuju”.
Menurut Ben Perkasa Drajat yang pernah menjadi perwakilan Indonesia
dalam Tim Perumus ACMW, ASEAN dalam konteks perundingan instrumen
perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran bukan merupakan satu
kesatuan. Kelompok negara pengirim buruh migran mendukung keterlibatan dan
posisi masyarakat sipil, akan tetapi kelompok negara penerima buruh migran
bersikap sebaliknya yaitu menentang. Hal ini disebabkan oleh adanya kendala
politis di beberapa negara anggota ASEAN seperti catatan HAM yang buruk dan
rendahnya penegakan hukum berdasarkan standar regulasi global. Isu buruh
migran hanyalah salah satu aspek kecil dari keseluruhan masalah ketenagakerjaan
di organisasi regional ini. 307
307
Wawancara dengan Ben Perkasa Drajat, Wakil Duta Besar Indonesia untuk Jepang pada 20 Mei
2015 melalui Facebook Messenger.
308
Menurut Kun, keterampilan bernegosiasi dari anggota jaringan ini juga masih minim. Hal itu
dapat menjadi fatal karena untuk memperkuat advokasi harus mampu menciptakan kesadaran dan
kemampuan melobi. Wawancara dengan Kun Wardana Abyoto, Direktur Direktur UNI Global
Union Asia dan Pasifik (UNI-APRO), di Jakarta pada 19 Mei 2015.
Universitas Indonesia
tingkat regional. 309 Sebagian besar organisasi masyarakat sipil yang aktif di
jejaring TF-AMW berbasis di Kuala Lumpur seperti Tenaganita, CARAM Asia
dan beberapa serikat pekerja di bawah Malaysian Trades Union Congress.
Adapun organisasi masyarakat sipil dari kota lain seperti Penang, Johor, Kota
Kinabalu, dan lainnya nihil.
Di Indonesia ada puluhan lembaga non-pemerintah atau organisasi
masyarakat sipil yang memperjuangkan isu migrasi. Walaupun demikian, tidak
semua organisasi masyarakat sipil tersebut tergabung, apalagi cocok dengan misi
TF-AMW. Salah satunya disebabkan oleh adanya beberapa organisasi yang sudah
310
lebih dahulu bergabung dengan jejaring lain. Sebagai salah satu contoh,
Migrant Care yang tergabung dalam Migrant Forum in Asia (MFA) tidak aktif di
TF-AMW. 311 Selain itu, jika dilihat dari struktur anggota jejaringnya, tidak ada
perwakilan jejaring di Brunei Darussalam dan Myanmar.
Sebagaimana jaringan advokasi transnasional pada umumnya, pendanaan
juga menjadi masalah besar. Dari segi teknis, TF-AMW tidak dapat menerima
bantuan dari donor karena tidak memiliki badan hukum. Sehingga, penyaluran
dana dari donor harus melalui pihak ketiga yaitu FORUM-ASIA. Minimnya
pendanaan menghambat partisipasi anggota jejaring dalam membantu
menyukseskan misi TF-AMW, baik untuk menghadiri forum-forum transnasional
maupun dalam advokasi di tingkat lokal dan nasional. Selain sumber daya
pendanaan, beberapa anggota jejaring juga kekurangan sumber daya manusia
untuk mengorganisir advokasi. 312 Karena keanggotaan dalam jejaring bersifat
sukarela dan tidak dibayar, sebagian besar anggota jejaring memprioritaskan
kegiatan berbayar lainnya atau isu-isu yang lebih relevan dengan organisasinya.
Sebagai sebuah jaringan, hubungan antar anggota jejaring TF-AMW
sangat cair dan lemah. Karena keanggotaan bersifat kesukarelaan, maka juga
309
Wawancara dengan Angeline Shannan, Aktivis ALIRAN Malaysia, pada 27 April 2015.
310
Wawancara dengan Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif HRWG di Jakarta pada 7 Mei 2015.
311
Menurut Jenina Joy Chavez, jaringan TF-AMW dalam tingkat tertentu berbenturan dengan
jaringan MFA. Hal itu dapat dilihat dari struktur, bentuk advokasi, ruang, dan platform yang
digunakan. Perbenturan tersebut mengakibatkan banyaknya anggota dari kedua struktur
keanggotaan yang saling dimanfaatkan dalam kampanye. Lihat Jenina Joy Chavez. Loc.cit,
hlm.14-16.
312
Wawancara dengan Angeline Shannan, Aktivis ALIRAN Malaysia, pada 27 April 2015.
Universitas Indonesia
313
tidak ada enforcement untuk anggotanya dalam menunjang misi advokasi.
Selain itu, TF-AMW juga tidak memiliki kantor sekretariat resmi. Oleh karena itu,
komunikasi dalam jaringan mengandalkan surat elekronik atau virtual. Lemahnya
jaringan TF-AMW dapat dilihat dari kasus anggota jejaring di Indonesia yaitu
adanya perpecahan internal dalam struktur organisasi Serikat Buruh Migran
Indonesia (SBMI), sehingga berpengaruh terhadap stabilitas jejaring. Pada
akhirnya, ini dapat menghambat keberlanjutan keanggotan jejaring di tingkat
nasional. 314
Menurut Navuth YA, Direktur Eksekutif CARAM Kamboja, TF-AMW
tidak memiliki rencana advokasi strategis, kebijakan dan rencana operasional
yang jelas baik di tingkat nasional maupun regional. Selain itu, juga dianggap
salah dalam memilih anggota. Akibatnya, beberapa anggota jaringannya di
Kamboja, Laos, Thailand, maupun Malaysia kecewa. 315 Oleh karena itu, advokasi
secara keseluruhan di tingkat nasional maupun regional kurang berjalan dengan
optimal.
Koordinasi antar anggota jejaring TF-AMW dapat dikatakan minim karena
itu merupakan jejaring yang longgar. Menurut Brahm Press, aktivis Mekong
Migration Network (MMN) di Thailand, tidak ada kolaborasi di antara jejaring.
Dalam kasus MMN, sebenarnya banyak memiliki anggota organisasi masyarakat
sipil, organisasi non-pemerintah, organisasi dan berbasis masyarakat dari negara-
negara Mekong kecuali Myanmar. MMN cenderung menitikberatkan kepada
pendekatan akademik atau penelitian, sedangkan TF-AMW menindaklanjuti
Deklarasi Cebu. Mengingat migrasi merupakan sebuah isu yang luas – termasuk
perempuan, integrasi, ekonomi, politik dll – sulit untuk menyelaraskan strategi.
316
Karena setiap anggota jejaring memiliki prioritas masing-masing.
Menurut Adisorn Kerdmongkol, aktivis Migrant Working Group
Thailand, 317 kolaborasi antar anggota jejaring merupakan hal yang amat penting.
313
Wawancara dengan Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager, FORUM-ASIA di
Jakarta pada 3 Juni 2015.
314
Wawancara dengan Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif HRWG di Jakarta pada 7 Mei 2015.
315
Wawancara dengan Navuth YA, Direktur Eksekutif CARAM Kamboja pada 1 Mei 2015.
316
Wawancara dengan Brahm Press, aktivis Mekong Migration Network Thailand pada 14 Mei
2015.
317
Wawancara dengan Adisorn Kerdmongkol, aktivis Migrant Working Group Thailand pada 6
Mei 2015.
Universitas Indonesia
Karena hal itu dapat menjadi dasar keberlanjutan dari aktivitas bersama.
Sehingga, rencana co-creation yang dapat dijalankan secara praktis tidak dapat
terelakkan. Selain itu, jaringan ini juga minim koordinasi. Oleh karena itu,
beragam aktivitas yang dijalankan oleh anggota jejaring TF-AMW juga sangat
berjalan sendiri-sendiri atau terpisah (discrete). Adisorn juga berpendapat bahwa
TF-AMW masih kurang dalam merencanakan kegiatan atau program bersama.
Brahm Press menambahkan bahwa terdapat tiga tantangan utama yang
menghambat advokasi jaringan TF-AMW. 318 Pertama, kelompok organisasi
masyarakat sipil memiliki ruang terbatas di negara-negara kurang atau bukan
demokratis seperti Laos dan Vietnam karena adanya campur tangan atau
pembatasan dari pemerintah. Kedua, ketatnya persaingan di antara anggota
jejaring dalam mendapatkan pendanaan 319 Ketiga, adanya dikotomi antara negara-
negara pengirim dan negara penerima yang menghambat perlindungan pekerja
migran karena perbedaan pandangan dan kepentingan nasional. Secara
keseluruhan, tidak mudah untuk menyatukan perbedaan karakter atau sifat dari
masing-masing anggota jejaring TF-AMW.
TF-AMW sebenarnya memiliki target agar proposal instrumen yang dibuat
jejaringnya dapat diadopsi oleh ASEAN di KTT ASEAN ke-16 di Vietnam pada
tahun 2010. 320 Pada kenyataannya, dalam kesempatan tersebut ASEAN belum
mengeluarkan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak
Buruh Migran. Dengan kata lain, tonggak ataupun target waktu yang ditetapkan
oleh TF-AMW tidak selaras dengan momentum politik di ASEAN. Karena
istrumen tersebut masih dalam proses perumusan yang sarat dengan tarik ulur
kepentingan antara kelompok negara pengirim dan penerima buruh migran.
Sehingga, belum dapat diukur apakah aspirasi masyarakat sipil yang terkandung
dalam proposal instrumen diadopsi sepenuhnya oleh ASEAN atuapun tidak.
318
Wawancara dengan Brahm Press, aktivis Mekong Migration Network Thailand pada 14 Mei
2015
319
Brahm Press menekankan bahwa minimnya pendanaan dapat membatasi gerakan. Kadang-
kadang ada juga dana, akan tetapi tidak sesuai dengan kepentingan atau tujuan advokasi.
Minimnya pendanaan pada akhirnya mempengaruhi kualitas atau hasil advokasi. MMN juga
menghadapi kekurangan dana dan sumber daya yang serius untuk membuat operasional sekretariat
tetap berjalan. Ibid.
320
Civil Society Proposal: ASEAN Framework Instrument on the Protection and Promotion of the
Rights of Migrant Workers, loc.cit., hlm.107.
Universitas Indonesia
321
Ibid.
322
Oleh karena itu TF-AMW sebagai mitra masyarakat sipil akan terus mendukung dan
memfasilitasi partisipasi kelompok masyarakat sipil khususnya di tingkat nasional untuk terlibat
dalalam ACMW dan AFML.
Universitas Indonesia
5. 1 Kesimpulan
Satuan Tugas Buruh Migran ASEAN (Task Force on ASEAN Migrant
Workers) atau yang dikenal dengan TF-AMW merupakan salah satu jejaring yang
paling gigih mengadvokasi perlindungan buruh migran di ASEAN. Jejaring yang
dibentuk oleh dan menjadi bagian dari Solidarity for Asian People’s Advocacy
(SAPA) sejak tahun 2006 ini senantiasa memantau perkembangan kebijakan
ASEAN dalam buruh migran, mengkritisi, mengambil langkah-langkah untuk
mempengaruhi ataupun mengubah kebijakan dengan mempromosikan ide-ide
yang berpihak kepada masyarakat sipil.
TF-AMW merupakan sebuah anomali. Dikatakan anomali karena jika
bertahun-tahun sebelumnya aktor negara yaitu pemerintah yang menjadi penentu
tunggal kemajuan ASEAN, TF-AMW tampil sebagai wujud menguatnya
perwakilan aktor masyarakat sipil dalam proses pembangunan Masyarakat
ASEAN. Jika sebelumnya segala kebijakan, perundang-undangan, atau perjanjian
di tingkat regional hanya ditentukan oleh kepentingan antarpemerintah; TF-AMW
lahir untuk menjadi pelopor dalam mewujudkan Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak Buruh Migran yang mengikat secara hukum.
Advokasi TF-AMW sangat signifikan pengaruhnya dalam konteks integrasi
kawasan yang akan berlaku pada akhir 2015, khususnya dalam isu tata kelola
migrasi di Asia Tenggara.
159
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
5. 2 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan. Hal tersebut didorong
oleh dua faktor utama yaitu keterbatasan dana dan waktu. Dua faktor itu
mengakibatkan data-data yang dianalisis penulis dalam penelitian ini sebagian
besar mengandalkan studi pustaka. Adapun hasil wawancara ke belasan
narasumber dalam penelitian ini hanya digunakan sebagai penunjang. Terbatasnya
jumlah narasumber yang berhasil diwawancarai selain dipicu oleh tingginya
kesibukan narasumber, juga disebabkan oleh adanya beberapa faktor. Di
Universitas Indonesia
antaranya adalah adanya salah satu narasumber yang telah meninggal dunia dan
beberapa narasumber yang telah menjabat posisi lain yang berbeda dengan
rencana awal penelitian.
5. 3 Saran
Penelitian lebih lanjut dalam topik ini diharapkan dapat menambah jumlah
informan kunci dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam advokasi
perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran. Baik dari unsur pemerintah,
serikat pekerja, organisasi non-pemerintah, asosiasi pengusaha, maupun
Sekretariat ASEAN. Tentu saja informan yang dipilih dari setiap unsur dapat
mewakili beragamnya sisi sosial dan politik di Asia Tenggara. Sehingga, analisis
yang dibuat dapat lebih tajam, obyektif, dan kredibel.
Di akhir penelitian ini, penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat
berkontribusi dalam kajian pergerakan masyarakat sipil di Asia Tenggara. Selama
ini kelompok masyarakat sipil masih berada dalam posisi marginal, dianggap
penghambat, dan tidak memiliki cukup ruang untuk berinteraksi dengan para elit
ASEAN. Oleh karena itu, sudah seyogyanya ASEAN merangkul kelompok
masyarakat sipil sebagai mitra untuk menyukseskan misinya yaitu Masyarakat
ASEAN sesuai dengan jargon yang selama ini didengungkan yaitu sebuah
masyarakat yang berorientasi dan berpusat kepada rakyat.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tay, Simon and Lim May-Ann. (2009). “Assesment and Overview: ASEAN and
Regional Involvement of Civil Society” dalam http://www.siiaonline.org/
download.aspx?URL=~/UploadedFiles/Downloads_Downloads_63aa182
86c4946b8880528692d9805af.PDF&FileName=Downloads_63aa18286c
4946b8880528692d9805af.PDF (diakses pada 12 Oktober 2014 pukul
16.52 WIB).
The ASEAN Foundation. “Welcome Remarks by H.E. Dr. Surin Pitsuwan,
Secretary General of ASEAN at the ASEAN Foundation 10th
Anniversary Forum, 16 January 2008, Jakarta, Indonesia”, dalam
http://www.aseanfoundation.org/ index2 .php ?main=news/2008/2008-
01-16b.php (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 14.57 WIB).
The ASEAN Secretariat (2009). ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint.
Dalam http://www.asean.org /archive /5187-19.pdf p.12 (diakses pada 18
Maret 2015 pukul 14.37 WIB).
______________________ (2012). ASEAN Human Rights Declaration. Dalam
(http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/asean-
human-rights-declaration) diakses pada 18 April 2015 pukul 14.42 WIB.
______________________. “ASEAN Charter”, dalam http://www.asean.org
/asean/asean-charter (diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 14.49 WIB).
______________________. “ASEAN Declaration on the Protection and
Promotions of the Rights of Migrant Workers”, dalam
http://www.asean.org/ communities/asean-political-security-community/
item/asean-declaration-on-the-protection-and-promotion-of-the-rights-of-
migrant-workers-3 (diakses pada 8 Maret 2015 pukul 11.50 WIB).
______________________. “ASEAN Human Rights Declaration,” dalam
http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/asean-
human-rights-declaration (diakses pada 8 Maret 2015 pukul 20.42 WIB).
______________________. “ASEAN Socio-Cultural Community,” dalam
http://www.asean.org/communities/asean-socio-cultural-community
(diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 15.27 WIB).
______________________. “Chairman’s Statement of the 10th ASEAN Summit
Vientiane, 29 November 2004”, dalam http://www.asean.org/news/item/chairman-s-
statement-of-the-10th-asean-summit-vientiane-29-november-2004 (diakses pada 8
Maret 2015 pukul 10.13 WIB).
______________________. “Consultations Jakarta TFAMW Book Launch and
Public Forum (National) Tuesday, Feb 16, 2010”. Dalam “Declaration of
ASEAN Concord II (Bali Concord II)”, dalam
http://www.asean.org/news/item/declaration-of-asean-concord-ii-bali-
concord-ii# (diakses pada 12 Oktober 2014 pukul 14.48 WIB).
______________________. “Guidelines on the Accreditation of Civil Society
Organisations (CSOs)”, dalam http://www.asean.org /images/2012/
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
UNESCAP. Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2011, (Bangkok,
2011), hlm.15, dalam
http://www.unescap.org/stat/data/syb2011/ESCAP-sy b 2011.pdf
(diakses pada 1 Mei 2015 pukul 08.06 WIB).
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. (2010). International Relations Theory.
New York: Pearson.
Wawancara dengan Adisorn Kerdmongkol, aktivis Migrant Working
Group (MWG) Thailand, 6 Mei 2015.
Wawancara dengan Angeline Shannan, Akvitis Aliran Kesedaran Negara
(ALIRAN) Malaysia, 27 April 2015.
Wawancara dengan Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager, Asian
Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA), 3 Juni
2015 .
Wawancara dengan Ben Perkasa Drajat, Wakil Duta Besar Indonesia untuk
Jepang, 20 Mei 2015.
Wawancara dengan Brahm Press, aktivis Mekong Migration Network, Thailand,
14 Mei 2015.
Wawancara dengan Guntur Witjaksono, Direktur Penempatan Tenaga Kerja
Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Republik
Indonesia, 2 Juni 2015
Wawancara dengan Kun Wardana Abyoto, Direktur UNI Global Union Asia dan
Pasifik (UNI-APRO), 19 Mei 2015.
Wawancara dengan Navuth YA, Executive Director CARAM Cambodia, 1 Mei
2015.
Wawancara dengan Pitchanuch Supavanich, Senior Officer – Social Welfare,
Women, Labour, and Migrant Workers Division, ASEAN Socio-Cultural
Community (ASCC) Department, The ASEAN Secretariat, 15 Mei 2015.
Wawancara dengan Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif HRWG, Indonesia, 7
Mei 2015.
Wikileaks. “MYANMAR/ASEAN/THAILAND- Burmese Activist Awaits
Ruling on Asean Meeting”, dalam https://wikileaks.org/gifiles/docs/
16/1659624 _myanmar-asean-thailand-burmese-activist-awaits-ruling-
on.html (diakses pada 17 Mei 2015 pukul 13.29 WIB).
Work Plans of the Subsidiary Bodies of the Asean Senior Labour Meeting
(SLOM). 2012. The ASEAN Secretariat.
Working Group for an ASEAN Human Rights Mechanism. “Fifth Workshop on
an ASEAN Regional Mechanism on Human Rights Kuala Lumpur,
Malaysia 29-30 June 2006”, dalam http://aseanhrmech.org/
downloads/5th%20WS%20Summary%20of%20Proceedings.pdf (diakses
pada 8 Maret 2015 pukul 10.00 WIB).
Yap, Swee Seng. “Reflection on the Winding Road to ASEAN Human Rights
Mechanisms”, hlm 174-175. Dalam http://www.taiwanhrj.org/get/
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
TRANSKRIP WAWANCARA
Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana sejarah keterlibatan UNI-APRO dalam Task Force on
ASEAN Migrant Workers (TF-AMW)?
Kun Wardana Abyoto: TF-AMW dibuat untuk meningkatkan partisipasi CSO dalam tata
kelola migrasi. Jejaring ini menjalin komunikasi dengan CSO di setiap negara. Jadi, ada
pertemuan di tingkat nasional dan pertemuan di tingkat regional. Dalam pertemuan tersebut
tidak jarang juga diundang para perwakilan dari pemerintah. Setiap pertemuan tersebut
menghasilkan position paper atau national statement yang kemudian dikompilasi menjadi
sebuah rekomendasi regional untuk disampaikan dalam SLOM.
Kun Wardana Abyoto: Jadi, khusus untuk buruh migran itu berada dalam pilar Sosial-Budaya
ASEAN. Pintu bagi serikat pekerja atau CSO ya berada dalam pilar ini. Kepada siapa kita
berhubungan, dalam pilar itu ada ALMM (ASEAN labour Ministerial Meeting) yang di
bawahnya lagi ada SLOM (Senior Labor Official Meeting), yang di bawahnya lagi ada empat
kelompok kerja yaitu 1) Senior Labour Officials Meeting Working Group on Progressive Labour
Practices to Enhance the Competitiveness of ASEAN (SLOM-WG), 2) ASEAN Committee on the
Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of
Migrant Workers (ACMW), 3) ASEAN Occupational Safety and Health Network (OSHNET), dan
4) SLOM Working Group on the HIV Prevention and Control in the Work Place.
Agung Setiyo Wibowo: O o, ya ya ya . . .
Kun Wardana Abyoto: Untuk kelompok kerja Buruh Migran ini ada forum tahunan yang
bernama AFML. Nah, bagusnya AFML ini bertemulah perwakilan TF-AMW, CSO, serikat
pekerja, pemerintah, dan pengusaha. Jadi, lengkap begitu ya. Karena semua komponen yang
terlibat dalam isu buruh migran terlibat di situ. Pertemuan kemarin itu diadakan di Naypidaw
Myanmar yang isunya memang dari tahun ke tahun. Apa ya, setiap tahun bisa dikatakan
merupakan progress dari tahun sebelumnya. Tahun sebelumnya Brunei kan. Sudah tahu
agenda yang dibahas di pertemuan (AFML) kemarin?
Agung Setiyo Wibowo: Belum
Kun Wardana Abyoto: Atau juga pembuatan database buruh migran. Karena selama ini
kalangan CSO tidak mendapatkan akses, maka dibahas mengenai solusinya.
Kun Wardana Abyoto: Jadi, UNI APRO ini merupakan serikat pekerja. Ada perbedaan serikat
pekerja dengan NGO. Serikat pekerja memiliki struktur. Mereka memiliki kekuatan yaitu
anggota yang hidup dari iuran. UNI merupakan kumpulan serikat pekerja di sektor jasa.
Serikat pekerja ini dibagi berdasarkan sektor industi jasa, metal, jurnalis, guru, dll. UNI ini
sektor jasa yang ada sembilan sektor di bawahnya seperti perbankan, media, dll. Jadi,
campuran blue color dan white collar (educated dan uneducated).
Kita menjadi bagian dari TF-AMW karena kita melihat pentingya serikat pekerja dalam
kebijakan migrasi ASEAN. Organisasi ini besar karena merupakan kumpulan dari 10 negara
yang lebih besar dari Uni Eropa. Ini besar karena China, Jepang, Korea Selatan juga gabung
Universitas Indonesia
(ASEAN+3). Jangan sampai pertumbuhan ekonomi tak disertai dengan pemerataan. Isu
penting dari UNI adalah migrasi karena dalam konteks MEA skill labor maupun unskilled
dapat berpindah. Oleh karena itu, kita merasa terpanggil dalam jaringan ini.
Di kegiatan tingkat nasional. Misalnya, Indonesia. UNI kan memiliki jaringan di enam negara
ASEAN. Di Indonesia ini yang aktif ASPEK. Di tingkat nasional ini, berkumpullah serikat pekerja
dan CSOs. Jadi, ada juga kelompok JARI yang aktif dalam advokasi buruh migran.
Agung Setiyo Wibowo: Awal mula bergabung dengan TF-AMW seperti apa?
Kun Wardana Abyoto: Sejarah berdirinya TF-AMW ya Sinapan Samydorai. Saya bisa
menjelaskan secara general. Jadi, seluruh negara anggota Asia Tenggara yang kantornya di
Sekretariat ASEAN. Sinapan sebagai convenor diminta untuk melakukan koordinasi di tingkat
nasional dan regional untuk memberikan masukan dari kalangan NGOs.
Agung Setiyo Wibowo: Yang minta siapa? Ong Keng Yong (mantan Sekretaris Jenderal
ASEAN)?
Kun Wardana Abyoto: Saya tak berani memberitahu mana yang benar. Sepengetahuan saya
yang minta adalah ASEAN Secretariat. Jadi, posisi Sinapan di sini sangat tinggi karena dia
memiliki wewenang untuk bertemu dengan perwakilan Sekretariat ASEAN, kementerian dll.
Tapi Sinapan juga lebih senang dan dekat dengan CSOs (begitu juga dengan posisi). Mengenai
funding, mereka cari sendiri.
Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana keterlibatan UNI-APRO dalam TF-AMW. Apakah diminta
atau mengajukan diri?
Kun Wardana Abyoto: Sebenarnya keduanya. Karena pada waktu itu kita sebenarnya juga
memang berniat untuk bergabung, akan tetapi secara bersamaan kita juga ditunjuk. Dengan
partisipasi kita maka jejaring ini sangat kuat karena UNI-APRO merupakan kumpulan serikat
pekerja terbesar di dunia. Oleh karena itu, di ASEAN ini kita membentuk ASETUC. Kebetulan
saya merupakan salah satu direkturnya.
ASETUC ini merupakan gabungan dari tiga konfederasi yaitu UNI APRO, PWI, BCI sejak 2008.
Dalam forum ini kita memiliki Regional Social Dialogue. Jadi, kita mengharapkan ada
pertemuan tripartit yang terdiri dari serikat pekerja, pengusaha dan pemerintah. Setiap tahun
kita aktif mengikuti kegiatan-kegiatan ASEAN yang terkait dengan buruh migran. Misalnya,
tahun ini Ketua ASEAN merupakan Malaysia. Jadi, kita serikat pekerja kita di sana yang aktif.
Begitu juga tahun sebelumnya di Myanmar. Yang unik itu di Brunei karena di sana hanya ada
satu serikat pekerja yang itu pun digerakkan oleh Shell. Tapi pemerintah Brunei menerima
kita.
Jadi host dalam dialog ini merupakan ASETUC dan kementerian dari negara yang menjadi
tuan rumah. Kalau di Brunei Kementerian Tenaga Kerja tidak ada, jadi pertemuan ini di bawah
Kementerian Dalam Negeri. Jadi, sifatnya komisioner.
Agung Setiyo Wibowo: Program apa saja yang dimiliki UNI-APRO untuk mendukung misi
TF-AMW?
Kun Wardana Abyoto: Yang lebih berperan ASETUC. Karena UNI-APRO fokusnya di Asia
Pasifik. Di ASETUC ini ada satu hal yang menarik yaitu bagimana union dan union partnership
dapat membantu pekerja migran. Misalnya di Indonesia ada ASPEK. Bagusnya UNI-APRO
memiliki secretariat di setiap negara. Jadi, kita memanfaatkan secretariat tersebut untuk
membantu masalah migran. Kita kuatkan secretariat dalam jaringan UNI-APRO ini di
Indonesia karena masalahnya di Malaysia, Singapura, atau Brunei yang merupakan penerima
pekerja migran amat sulit untuk mewujudkan serikat pekerja migran. Jadi, para pekerja
Indonesia yang ada di negara itu jika ada masalah dapat datang ke secretariat itu. Contoh
yang efektif yaitu secretariat di Malaysia. Pada krisis financial 1997/1998, para pekerja
migran terbantu dengan teman-teman di UNIMIG. Ini yang dinimakan kemitraan antara
Union.
Agung Setiyo Wibowo: Apakah musyawarah nasional yang diagendakan TF-AMW efektif?
Kun Wardana Abyoto: Dalam AFML ini ada banyak agenda. Nah, national consultation itu
memutuskan agenda apa yang akan dibahas dalam AFML. Jadi, tidak semua isu dibahas. Akan
Universitas Indonesia
tetapi isu-isu yang akan dibawa dalam AFML karena dalam pertemuan ini hadir perwakilan
dari 10 negara anggota ASEAN. TF-AMW inilah yang menyelenggarakan.
Agung Setiyo Wibowo: Dalam buku TF-AMW dituliskan bahwa instrumen diharapkan
untuk diadopsi ASEAN pada tahun 2010, akan tetapi ada deadlock. Namun sampai saat ini
TF-AMW terus gigih memperjuangkan misinya. Bagaimana menurut Anda?
Kun Wardana Abyoto: Tidak semua rekomendasi harus diadopsi. Karena pemerintah yang
pada akhirnya menentukan. Misalnya walaupun ada 3 atau 10 rekomendasi yang diadopsi itu
ialah pencapaian. Jaringan TF-AMW di setiap negara diharapkan dapat melobi pemerintahnya
jika regional consultation tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tugas TF-AMW lah yang
membantu penguatan lobi dari setiap anggotanya di masing-masing negara.
Agung Setiyo Wibowo: Selain AFML apakah ada forum lain yang diikuti UNIAPRO untuk
mendukung misi TF-AMW?
Kun Wardana Abyoto: National consultation. Jaringan TF-AMW juga ikut dalam kegiatan
yang diadakan oleh Migrant Forum in Asia. UNI APRO juga mengikuti ACSC/APF. Tak ikut
Interaface Meeting karena harus ada persetujuan Host Countries. Biasanya orang-orang senior
seperti Rafendi yang diperbolehkan ikut.
Agung Setiyo Wibowo: Harusnya instrumen selesai 31 Desember 2015. Apakah TF-AMW
push banget ke ASEAN agar instrumen disetujui?
Kun Wardana Abyoto: Semua agenda dalam SLOM sudah diatur. Termasuk mau mengadopsi
instrumen ini atau tidak. Jika ada organisasi yang akan diakreditasi, ASEC mengusulkan tapi
yang memutuskan seluruh pemerintah nasional negara-negara ASEAN. Jika ada satu negara
yang tidak setuju, maka tidak dapat disepakati. Itu kelemahannya karena sistem musyawarah
untuk mencapai mufakat. Bukan berdasarkan mayoritas, tapi semua suara harus sama. Tapi
seringkali ada lobi antar perwakilan negara .
Sinapan sampai saat ini terus aktif melobi untuk memperjuangkan diadopsinya instrumen.
Setiap tahun dia bawa instrumen, bergantung atau menyesuaikan dengan isu yang dibahas.
Agung Setiyo Wibowo: Convenor TF-AMW itu Sinapan, tapi operasionalnya FORUM-ASIA?
Kun Wardana Abyoto: Fungsi Convenor itu coordinator tapi punya wewenang untuk melobi
kementerian karena ditugaskan oleh Sekretariat ASEAN. Sinapan ingin Serikat Pekerja terus
terlibat dalam kegiatan TF-AMW. AFML berada di bawah SLOM.
Universitas Indonesia
Agung Setiyo Wibowo: ASETUC atau UNI-APRO, apakah ada engagement dengan
pemerintah Indonesia?
Kun Wardana Abyoto: Regional Social Dialogue dan National Tripartite Dialogue (konsep
mirip TF-AMW).
Di regional mitranya ASEAN Confederation of Employeer dan pemerintah yang diwakili SLOM
seluruh negara. Aktif di Kamboja, Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, dan sangat kuat di
Vietnam (ASETUC). Pernah membuat buku yang dipresentasikan di SLOM Vietnam mengenai
studi atau penelitian. ASETUC selalu sertakan rekomendasi dalam setiap studinya. Isu yang
dibawa ASETUC beragam (tidak hanya migrasi) seperti perempuan,hubungan industrial, anak
dll.
Agung Setiyo Wibowo: Jadi, TF-AMW bertemu dengan para anggota jejaring hanya
menjelang AFML?
Kun Wardana Abyoto: Ya, Pre and post AFML meeting. Mereka bertemu sebelum AFML untuk
membuat rekomendasi atau menyusun position paper. Lalu, hasil pertemuan AFML juga
dibawa sebagai bahan diskusi. Biasanya hasil diskusi disebarkan melalui email. Sedangkan
untuk pre-AFML, biasanya ada pertemuan langsung.
Agung Setiyo Wibowo: Apakah TF-AMW punya milis khusus untuk anggotanya?
Kun Wardana Abyoto: Tidak ada milis khusus, tapi komunikasi via email secara umum.
Agung Setiyo Wibowo: Seberapa penting isu migrasi jelang ASEAN Community?
Kun Wardana Abyoto: Sangat penting karena tidak hanya unskilled migration tapi juga
skilled migration yang terkena dampaknya. Kalau migrasi skilled worker kan sekarang ini
sudah biasa seperti fenomena headhunting. Permasalahannya bagaimana cara melindungi
mereka? UNI-APRO di Uni Eropa keluarkan “UNI Passport”, jadi jika migran punya masalah
mereka dapat dilindungi di sekretariat/afiliasi UNI-APRO di negara itu. Di ASEAN, UNI-APRO
canangkan passport serupa. Dalam konteks ASEAN, Indonesia-Malaysia (ASPEK-UNIMC) sejak
2008 juga terapkan hal yang mirip. Migran yang jadi anggota (bayar iuran) serikat jika ada
masalah dapat dibant oleh UNI-APRO. Yang non-anggota diadvokasi terlebih dahulu agar jadi
anggota hehe.
Agung Setiyo Wibowo: Seberapa optimis Bapak sebagai perwakilan Serikat Pekerja dalam
terwujudnya Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran.
Apakah sesuai dengan waktu yang dicanangkan sejalan dengan ASEAN Community?
Kun Wardana Abyoto: Bergantung dengan lobi di tingkat nasional. Kesiapan grassroot
sendiri yang harus diperkuat. Dan juga komunikasi yang kurang intens juga menjadi
hambatan. Saya yakin jika komunikasi dilakukan terus-menerus, akan tercapai.
Agung Setiyo Wibowo: Apakah strategi advokasi TF-AMW terhadap ASEAN terlah cukup
kuat?
Kun Wardana Abyoto: Kalau kita melihat kemajuannya memang tidak cukup bagus. Hanya
saja pastisipasi dari setiap anggota tidak sama. Jika semua anggota aktif, maka jejaring ini
kekuatannya sangat besar. CSOs cukup aktif, tapi serikat pekerja tidak seaktif CSO karena
isunya lebih banyak. Kalau CSOs yang fokus terhadap isu migran kan biasanya lebih intensif.
Tapi, sekarang UNI-APRO mulai aktif untuk isu migrasi yang dimandatkan dalam ASETUC.
Universitas Indonesia
Indonesia (JBMI). Selama ini, HRWG-lah yang biasanya aktif untuk membangun awareness ke
NGOs/CSOs lain.
Ada pendanaan di AFML. Jika di setujui pemerintah setempat, peserta yang datang didanai.
Tapi Sinapan yang punya andil merekomendasikan CSO yang terlibat. Government dan ASEC
yang memberi persetujuan. Tapi ASEC pun minta persetujuan pemerintah. Jika pemerintah
yang bersangkutan tak bermasalah, diperbolehkan lebih dari 1 perwakilan/CSOs di AFML dari
setiap negara.
Narasumber : Atnike Sigiro, ASEAN Advocacy Program Manager, Asian Forum for Human
Rights and Development (FORUM-ASIA)
Hari/Tanggal : Rabu, 3 Juni 2015
Keterangan : Wawancara langsung di Doubletree Hotel Jakarta pada 17.00 -18.00 WIB
Agung Setiyo Wibowo: Seperti yang kita ketahui SAPA memiliki beberapa misi seperti SAPA
Task Force on ASEAN and Human Rights, SAPA Task Force on Burma, dll. Dari sejumlah
dokumen yang saya baca ditemukan bahwa SAPA Task Force on ASEAN Migrant Workers
yang diketuai oleh Sinapan Samydorai, dibantu oleh FORUM-ASIA sebagai administrator
yaitu Financial Manager ya. Apakah benar demikian?
Atnike Sigiro: Ya, kita (FORUM-ASIA) hanya berperan sebagai hosting organization. Kalau
proyek langsung TF-AMW yang menanganinya. Karena ia tak bisa menerima dana langsung
terkait statusnya sebagai jejaring yang tak berbadan hukum. Tahu dari mana mengenai
FORUM-ASIA dan TF-AMW?
Agung Setiyo Wibowo: Dulu waktu saya masih duduk di bangku S1 saya pernah bertemu
dengan beberapa aktivis FORUM-ASIA, di antaranya Yap Swee Seng.
Atnike Sigiro: Di mana bertemunya?
Agung Setiyo Wibowo: Ya, dulu saya pernah mengikuti Konferensi Internasional HAM Asia
Tenggara pertama yang diadakan oleh Universitas Mahidol, Bangkok.
Atnike Sigiro: Pernah bertemu langsung dengan Sinapan Samydorai?
Agung Setiyo Wibowo: Belum pernah. Walaupun saya telah beberapa kali menghubungi
melalui email. Akan tetapi belum berhasil menemuinya secara langsung karena sepertinya
beliau sangat sibuk.
Atnike Sigiro: Beberapa minggu lalu dia ke Jakarta.
Agung Setiyo Wibowo: Jadi FORUM-ASIA hanya berperan sebagai penampung dana?
Atnike Sigiro: Ya, kita dulu hosting organization. Sekarang sudah tidak. Saya tidak tahu persis
kapan, namun sepertinya 2010-2013. Tapi, sampai sekarang kita masih berinteraksi karena
mereka merupakan salah satu jaringa SAPA.
Agung Setiyo Wibowo: Jadi ibu terlibat dalam musyawarah nasional yang merupakan
strategi Task Force on ASEAN Migrant Workers?
Universitas Indonesia
Atnike Sigiro: Tidak. Itu langsung urusan mereka. Karena kita hanya advokasi HAM secara
umum. Kita lebih berkoordinasi saja dengan dukungan seperlunya. Yang leading ya mereka
sendiri.
Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana level koordinasi antara FORU-ASIA dan TF-AMW?
Apakah sporadis?
Atnike Sigiro: Kita punya annual meeting. Setidaknya setahun sekali ada update mengenai
apa yang mereka lakukan selama setahun. Juga mendiskusikan atau merencanakan setahun ke
depan apa poin kerjasamanya. Untuk isu migran mereka yang leading.
Agung Setiyo Wibowo: Saya juga ingin mengklarifikasi jika salah. SAPA kan punya beberapa
misi advokasi seperti yang saya sebutkan tadi. Tapi, TF-AMW yang saya baca justru didorong
oleh Ong Ke Yong. Apakah benar?
Atnike Sigiro: Saya kurang tahu itu karena berlangsung jauh sebelum saya masuk FORUM-
ASIA. Kamu bisa tanya langsung ke Sinapan Samydorai atau Yap Swee Seng.
Agung Setiyo Wibowo: Selain annual meeting, apakah FORUM-ASIA punya program atau
proyek bareng untuk bantu perjuangkan misi TF-AMW?
Atnike Sigiro: Ya kalau dibilang membantu ya kita selalu bekerjasama. Cuma memang kita
tidak khusus mengerjakan instrumen. Tapi kita mendukung apa yang mereka perjuangkan
meskipun secara spesifik tidak. Kita sediakan space, selalu mengundang mereka untuk
berpartisipasi sebagai salah satu pemangku kepentingan. Jadi, mereka bisa bicara di situ. Kita
tak ikut proses buat draf.
Agung Setiyo Wibowo: FORUM- ASIA kan punya beberapa misi. Secara umum, seberapa
efektif advokasi FORUM -ASIA ke ASEAN?
Atnike Sigiro: Ukurannya seperti apa?
Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana respon ASEAN? Apakah hanya sekedar mendengarkan?
Atnike Sigiro: Saya tak bisa mengukur ya. Kalau komunikasi mereka terbuka, terutama
ASEAN Secretariat. Tapi untuk penerimaan secara institusional menurut saya ASEAN secara
umum masih berjarak. Karena posisi masyarakat sipil masih marginal. Misalnya di forum-
forum pemerintah, massyarakat sipil belum menjadi stakeholder tetap. Jadi, tergantung
hubungan institusi dan individu. Tidak seperti UN yang memungkinkan masyarakat sipil dapat
Universitas Indonesia
menjadi stakeholder tetap. Engagement dengan CSO di ASEAN memang ada, tapi sifatnya tak
terbuka. Jika diukur dari kebijakan atau struktur organisasi, CSO belum didengar ya.
Agung Setiyo Wibowo: FORUM- ASIA dan jaringan SAPA selama ini apakah advokasi
mereka hanya melalui ACSC/APF?
Atnike Sigiro: Ia hanya annual meeting yang rutin. Namun, tidak hanya itu karena kita juga
aktif dala advokasi AICHR. Mengingat hubungan antara AICHR dan masyarakat sipil masih
berjarak, kita tak mudah berikan aspirasi karena tidak ada ruang.
Agung Setiyo Wibowo: Jadi, ASEAN masih memandang kelompok masyarakat sipil sebelah
mata?
Atnike Sigiro: ASEAN bukan memandang sebelah mata atau meremehkan. Tapi, mereka takut,
curiga, atau tidak suka terhadap CSO. Justru dengan itu mereka tak pandang sebelah mata,
namun justru khawatir karena mungkin dianggap dapat merusak tatanan pemerintah atau
ASEAN. Mereka juga belum percaya bahwa CSO itu penting untuk kemajuan ASEAN. Mereka
anggap CSO sebagai faktor pengganggu.
Agung Setiyo Wibowo: Karena SAPA memiliki beberapa jaringan, apakah mengundang
semua anggota jejaring dalam pertemuan tahunan?
Atnike Sigiro: Ya, tentu. Kita undang berkala. Tapi partisipasi mereka naik turun karena
beberapa hal. Diantaranya project-based. Misalnya untuk advokasi Instrumen buruh migran
sekarang ada deadlock. Isu Burma dulu juga demokrasi sekarang berkembang ke isu
Rohinginya dll. SAPA tujuannya menjadi platform untuk CSO engagement dengan ASEAN
intinya.
Agung Setiyo Wibowo: Apakah ada milestone signifikan dalam engagement FORUM-ASIA
dengan ASEAN?
Atnike Sigiro: Tak ada ya. Karena untuk ASEAN tak ada target khusus. Tapi ada target untuk
AICHR. Mekanisme HAM saja.
Agung Setiyo Wibowo: Kerangka Acuan AICHR hanya memungkinkan untuk pemajuan
HAM. Seberapa optimis bahwa AICHR dapat meningkatkan perlindungan HAM?
Atnike Sigiro: Optimis sih nggak. Tapi ini PR yang berproses panjang, tak langsung bisa dilihat
hasilnya.
Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana ASEAN sebagai organisasi regional pandang HAM?
Atnike Sigiro: Penerimaan secara normative mulai makin diterima. Tapi sisa karakter ASEAN
yg sangat government-centric masih kuat. Sepertinya belum sungguh-sungguh menerima HAM
fully. Masih ada ‘reservasi’ untuk CSO.
Agung Setiyo Wibowo: Apakah prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat menghambat
atau mendukung CSO Engagement terhadap ASEAN?
Atnike Sigiro: Menghambat. Karena dalam isu pelanggaran HAM itu aktornya negara. Tak
mungkin negara melakukan konsensus jika ada pelanggaran dong.
Agung Setiyo Wibowo: Apalagi sebagian besar anggota Komisi HAM Antarpemerintah
ASEAN belum independen kan?
Atnike Sigiro: Itu tak mungkin terjadi konsensus karena suara (anggota komisi dari latar
belakang CSO) kalah. Harusnya mereka independen. Kalau komisionernya tak percaya CSO
atau HAM bagaimana?
Agung Setiyo Wibowo: Apakah ada pengalaman buruk CSO engagement ke ASEAN? Diusir
misalnya.
Atnike Sigiro: Tak ada. Karena kita selalu secara engagement secara formal. Tapi intinya tak
mudah untuk dapatkan space berdialog.
Universitas Indonesia
Atnike Sigiro: Ya, harus bermanuver dulu. Mereka tak institutionalized. Kalau
institutionalized kan jelas prosedurnya. Nah ini sekarang AICHR punya guideline baru untuk
diadopsi (mengenai hubungan CSO). Namun penerjemahannya belum tahu. Selama ini mereka
terbuka tapi tak ada prosedur. Misal ada pelanggaran HAM, mereka tak pernah membalas
atau menindaklanjuti.
Agung Setiyo Wibowo: Cakupan dan misi FORUM-ASIA kan tidak hanya ASEAN. Jadi,
apakah Asia Tenggara jadi prioritas?
Atnike Sigiro: Kita punya program khusus untukk ASEAN. Kita ada misi untuk UN, Uni Eropa
dan country program.
Agung Setiyo Wibowo: Keberadaan ASEAN People’s Center untuk memudahkan advokasi
ke ASEAN?
Atnike Sigiro: Kita tutup itu karena satu dan lain hal. FORUM-ASIA belum bisa gunakan
format itu.
Agung Setiyo Wibowo: Seberapa optimis FORUM-ASIA sambut Masyarakat ASEAN yang
katanya dimulai per 31 Desember 2015?
Universitas Indonesia
Atnike Sigiro: Menurut saya itu normative, karena hanya pada level government.
Agung Setiyo Wibowo: Jadi slogan people-oriented atau people-centered belum diterapkan
ya?
Atnike Sigiro: Ya buktinya msyarakat belum nikmati. Yang mulai merasakan komunitas bisnis
dan pemerintah ya. Cek aja ke masyarakat awam apa itu ASEAN, apa sih manfaat ASEAN
untuk hidup mereka. Jika mereka tak tahu, berarti ya tak ada relevansi. Tak usah ke orang
awam, mahasiswa coba tanya. Mungkin mereka tahu ada ASEAN, tapi tak mengerti apa
manfaat ASEAN.
Agung Setiyo Wibowo: Apa Deklarasi Ham sudah mewakili aspirasi CSO?
Atnike Sigiro: Kalau gitu baca laporan kita (FORUM-ASIA) saja.
Agung Setiyo Wibowo: Jadi, secara struktural tak ada hubungan antara FORUM-ASIA dan
TF-AMW?
Atnike Sigiro: Kalau secara birokrasi tak ada ya. Tapi ada jaringannya.
Agung Setiyo Wibowo: How strong the coordination/cooperation between Aliran and Task Force
on ASEAN Migrant Workers from 2006 to 2010 and 2010 to present?
Angeline Shannan: In 2006, Aliran was invited to join the Task Force of ASEAN CSOs to draft a
Proposed Framework Instrument for the Protection and Promotion of the rights of Migrant
Workers. Aliran closely cooperated with the CSO TF-AMW and diligently helped and contributed
to the drafting of this document, including attending meetings in Bangkok, to its completion over
the 4 years. Since 2009 -10, there has been a gradual reduction of Aliran's participation and
involvement with the TF-AMW due to many factors, including our shortage of labor and funding.
Agung Setiyo Wibowo: Did Aliran has coalition/network in Malaysia to support the TF-AMW
mission? How strong? Please mention the list of NGOs/CSOs in the coalition of Aliran in this
context!
Angeline Shannan: At that time, although there were church groups and other civil society
organizations advocating for and working with migrant workers, few showed interest in working
on a regional level with other ASEAN CSOs. The CSOs that showed interest were mainly based in
Kuala Lumpur e.g. Tenaganita, CARAM Asia and some unions under the Malaysian Trade Unions
Congress, besides Aliran. Sorry, I can't remember the exact names of those trade unions. Aliran is
based in Penang.
Agung Setiyo Wibowo: What were the activities of Aliran to support the TF-AMW mission from
2006 to 2010 and 2010 to present (e.g.: campaign, seminar, conference, lobby, protest,
advocacy)? Please explain those activities!
Angeline Shannan: Aliran is a social reform NGO that mainly provides analysis of social justice
situations from a political perspective. We supported the work of the CSO TF-AMW by helping to
draft the proposed framework instrument and making media statements on migrant worker
Universitas Indonesia
issues, endorsing media statements of coalitions advocating migrant worker and human rights,
and giving support to campaigns on migrant and human rights. Most of our work is done via our
website at http://aliran.com where we publicized these issues. Now, we also have a presence on
social media sites like Facebook and Twitter. We continue to publicize and raise awareness
through this medium, as well as contribute to work on migrants and refugees as far as possible.
Aliran members also work with the Penang Stop Human Trafficking Campaign on human
trafficking and slave labor issues.
Agung Setiyo Wibowo: Malaysia National Consultation on the Protection and Promotion of the
Rights of Migrant Workers was held in Shah Alam on 13-14 August, 2008. In your opinion, was
this activity effective?
Angeline Shannan: In my view, it was less effective than it could have been. As far as I remember,
there was an exchange of views and questions asked, but no concrete commitment, especially
from government ministries like the Human Resource Ministry, that frequently referred
responsibility for migrant workers to the Home Affairs Ministry. The whole issue of migrant
workers is seen as a national security issue, rather than one dealing with labor as a whole. There
are other related issues like access to health care, costs of medical treatment, housing,
occupational safety, right to unionize, right to redress for work related injustice etc. that are still
unresolved and continue to challenge migrant workers.
Agung Setiyo Wibowo: What's Aliran's strategy to push the government of Malaysia to promote
and protect the rights of migrant workers?
Angeline Shannan: In view of the outcome of Asahi Kosei v Charles Hector Fernandez (2011) , and
the current narrowing of free expression on the internet and in the public arena, there is a great
need for migrant workers to work in cooperation with labor and human rights advocates to push
for the protection and promotion of their basic labor and human rights. In support of Aliran's
principles of social justice and social reform, we continue to participate in joint action with other
NGOs and CSOs to campaign and participate in the campaign for human and labor rights by
raising awareness of issues like human and labor trafficking, arrests and detention of migrants
and refugees, monitor government policies pertaining to migrants and refugees, give analysis on
migrant and refugee situations, publish articles and statements on our website relating to
migrants and refugees, facilitating efforts to extend education and help to those in need by
referring them to relevant bodies and civil society groups working and advocating for migrants
and refugees. Aliran is also in the process of engaging with local and state government in Penang
on the issue of the treatment of migrant workers and refugees, in a more direct way by actually
gaining membership of local councils and lobbying elected State Assembly and members of
Parliament on various issues. These efforts have to an extent been effective, as more questions on
these issues have been raised in the State Assembly and Parliament. A recent issue raised in
Parliament related to the increase in hospital charges for foreigners, and the increasing
occurrence of human trafficking in Penang and north of Peninsular Malaysia generally.
Agung Setiyo Wibowo: Please kindly explain the policy of Malaysia in promoting and protecting
the rights of migrant workers!
Angeline Shannan: As far as I am aware, there is no policy for promoting and protecting the
rights of migrant workers, except for existing labor laws that apply to all workers without
distinction. However, the only social security offered by Malaysia to migrant workers comes under
the Workmen's Compensation Act by which migrant workers may receive compensation for work
related injury or death. Migrant workers are also denied the right to join unions and are seen as
short term employees, even if employers renew their contracts for an extended period. Further, as
immigration policy views migrant entry as a national security issue, migrants are not treated as
ordinary immigrants, they are often monitored by security enforcement.
Agung Setiyo Wibowo: What are the Aliran's achievements/success stories in promoting and
protecting the rights of migrant workers? Please mention!
Universitas Indonesia
Angeline Shannan: Real progress in this area has been very difficult with the main challenges
being the negative perception of migrants, created by the mainstream media and the continuing
'use' of migrants as a political 'football' by certain unconscionable parties and politicians, for their
own ends. Saying that, Aliran has done much to exhibit our support and defense of migrant
workers and refugee rights in specific instances, and overall. Aliran was one of the first to raise
the issue of the illegal confiscation of migrant workers passports, which is unlawful under the
Passports Act. Sadly no employer or agent has been prosecuted for doing so, although other civil
society organizations have taken up the issue. Aliran also gave consistent support to Charles
Hector Fernandez when he was sued for RM10 million by the Japanese multinational company
Asahi Kosei. We helped publicize the case and gave updates of developments at court, where, I
was an observer for Aliran. Unfortunately, a seeming result of this case was that the law
pertaining to 'employers', 'recruitment agents' and 'out sourcing' agents (companies) has been
made more confusing and unclear by the government. Migrant workers are now in a worse
position than before and are more easily exploited. Despite that, Aliran will continue our mission
to support and push for social justice and the protection and promotion of human rights for all
workers, regardless of legal and immigration status. Aliran's greatest success is its survival and
continuing mission to provide an alternative perspective in several aspects of social life for a
better world, for the past 38 years, despite the increasing challenges of a narrowing right to
freedom of expression and often the slow progression of change for a better, more humane
world.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the ASEAN Instrument on the protection and
promotion of the rights of migrant workers be legally binding? Why?
Angeline Shannan: The adoption of this ASEAN instrument is a vital first step towards a
commitment to promote and protect the rights of migrant workers in ASEAN. Malaysia should
remember that it is not only a receiving country but that there are also Malaysian migrant
workers in other countries, including those outside ASEAN. Like most international treaties, it
must be legally binding, to ensure equal protection of all migrant workers in all ASEAN countries. I
believe, it would stabilize the ASEAN economy overall, to guarantee migrant worker job security
and proper living and working conditions. Even though laws are not the answer to all problems,
the provision of stability and certainty of migrant worker rights will reduce and help eliminate
many of the ills faced by member states, like human trafficking, through better cooperation
among governments.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should ASEAN keep the ASEAN Way (particularly, the
principle of non-interference)? Why?
Angeline Shannan: The principle of non-interference is a limited and to some extent out-dated
principle of international law. It's main objective is to preserve the sovereignty of independent
nations from encroachment by foreign powers. It also aims to protect the right of self-
determination of peoples. However, some governments prefer a narrow interpretation of this
principle to cover certain cross-border issues, that may originate from their countries and affect
their neighbors. It is difficult to see how, ASEAN unity and cooperation is going to work, if
governments are unwilling to see and act on issues beyond their borders; especially those
affecting neighboring states. It can be seen that the lack of protection of migrant workers rights is
an issue that affects workers, not only in Malaysia, but those coming to work here and returning
to their home countries. Making separate MoUs with various governments relating to their
citizens working in Malaysia and 'bargaining' rights they may or not exercise seems a form of
favoritism which rightly should not be practiced. Every worker regardless of nationality should
have the same rights and be treated equally before the law. All should have just and fair terms
and conditions of work, and be able to live decently like every other citizen i.e. all workers and
migrants, regardless of legal status, should not be denied basic rights and access to basic
necessities to live decently in a foreign country.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the undocumented migrant workers be
protected? Why?
Universitas Indonesia
Agung Setiyo Wibowo In your opinion, how importance of ASEAN Instrument on the Protection
and Promotion of the Rights of Migrant Workers toward ASEAN Community (integration)?
Angeline Shannan: The ASEAN Instrument on the protection and promotion of rights of migrant
workers is key to ASEAN solidarity and prosperity as well as forging peaceful and responsible
relations among member states of ASEAN and beyond. By its observance and adoption, each
member state's government shows respect and care for every ASEAN citizen and any other
migrants coming into the region. This will bolster the prestige of ASEAN in the international
community also.
Agung Setiyo Wibowo: What are the main problems and challenges of Aliran to support the TF-
AMW's effort?
Angeline Shannan: A shortage of labor to participate in all meetings, conferences, activities and
gatherings of the TF-AMW. The best way Aliran can help is as stated above, in view of the
contribution by a majority of members being voluntary and unpaid. Most of our members hold
other paid jobs and only involve themselves in Aliran activities out of real interest in the work we
do, including myself.
Agung Setiyo Wibowo: Please kindly send me the soft copy (e.g.: brochure, ebooks, reports, and
any kind of publication) regarding the Aliran's advocacy in promoting and protecting the rights of
migrant workers!
Angeline Shannan: Please go to http://aliran.com. You can search in archives. Thank you.
Universitas Indonesia
Agung Setiyo Wibowo: What were the activities of CARAM Cambodia to support the TF-
AMW mission from 2006 to 2010 and 2010 to present (e.g.: campaign, seminar, conference,
lobby, protest, advocacy)?
Navuth YA: We supported TF-AMW in various ways: 1) celebrating International Migrant Day
annually, 2) conducting talkshow in television or radio to push government in protecting the
rights of migrant worker and also increasing awareness of people in this issue, 3) using
resource mobilization strategy likes press release, press statement and intervention activity
with partners. However, we used our own funding to do those.
Agung Setiyo Wibowo: What's CARAM Cambodia's strategy to push the government of
Cambodia to promote and protect the rights of migrant workers?
Navuth YA: As I stated above. We pushed government of Cambodia to create job in order to
decrease irregular migration and human trafficking. We also have good relationship with
national media to frame the issue. Of course, we help TF-AMW to promote instrument –
particularly from 2012 to 2015.
Agung Setiyo Wibowo: Please kindly explain the policy of Cambodia government in
promoting and protecting the rights of migrant workers!
Navuth YA: Actually, the government of Cambodia has done many improvements in migration
management. But, migrant workers are still at vulnerable condition, for example in the case of
human trafficking. Therefore, the government should enhance cooperation with multi-
stakeholders and keep the commitment.
Agung Setiyo Wibowo: What are the CARAM Cambodia's achievements/success stories
in promoting and protecting the rights of migrant workers? Please mention!
Navuth YA: In cooperation with media, we changed many things. The media wanted to
broadcast migration issue, including the International conventions. It’s good to enhance our
advocacy in the level of local, national, and regional. Many NGOs already have known our
presence.
Universitas Indonesia
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the ASEAN Instrument on the Protection
and Promotion of the Rights of Migrant Workers be legally binding? Why?
Navuth YA: Following up the Cebu Declaration, it should be legally binding. Because of that, all
members of ASEAN can aligned their national labor laws, regulations or policies. It’s important
to realize the ASEAN Community.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should ASEAN keep the ASEAN Way (particularly,
the principle of non-interference)?
Navuth YA: No, ASEAN should learn from European Union. ASEAN must also hear their people’s
aspiration and enhance the dialogue culture to support each other. Of course, it is related to
human rights context.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the undocumented migrant workers be
protected? Why?
Navuth YA: Yes, they must be protected which written on the instrument and aligned with
national policies of all members of ASEAN.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, how importance of ASEAN Instrument on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers toward ASEAN Community
(integration)?
Navuth YA: It is so important due to social cost. The migrant workers’ economic contribution
to both receiving countries and sending countries are so great.
Agung Setiyo Wibowo: What are the main problems and challenges of CARAM Cambodia to
support the TF-AMW's effort?
Navuth YA: TF-AMW has no clear policy, strategic plan and operational plan to realize his
goals. Whereas the budged of CARAM Cambodia or national partners are limited. In addition,
TF-AMW chosen improper or wrong partners.
Agung Setiyo Wibowo: Did Mekong Migration Network have coalition/network in Thailand
and Myanmar to support the TF-AMW mission? How strong? Please mention the list of
NGOs/CSOs in the coalition of Mekong Migration Network in this context!
Brahm Press: There is no CSO representative from Myanmar due to political matter. For more
info you can visit our website. There is one CSO member from Vietnam and Laos, one research
Universitas Indonesia
institution from China, a few CSO from Cambodia and many CSOs from Thailand (Bangkok,
Chiang Mai, Maesot etc).
Agung Setiyo Wibowo: What were the activities of Mekong Migration Network to support
the TF-AMW mission from 2006 to 2010 and 2010 to present (e.g.: campaign, seminar,
conference, lobby, protest, advocacy)? Please explain those activities!
Brahm Press: It is only a few. All activities are organized by Mekong Migration Network
Secretariat but we are not obliged to coordinate. However, each member is not only involved in
a network, but also in other networks. So, some members of our network participated at TF-
AMW.
Agung Setiyo Wibowo: Thailand National Consultation on the Protection and Promotion of
the Rights of Migrant Workers was held in Bangkok on 31 July, 2007. In your opinion, was
this activity effective?
Brahm Press: Essential. The national consultation brought many NGOs, migration
organizations and trade unions to gather and interact with. They drafted the ASEAN
Instrument on the Protection and Promotion the Rights of Migrant Workers. It’s worth to find a
common voice. In my opinion, the national consultation is very essential but its effectiveness is
another issue. CSOs gave recommendation to national government and ASEAN, but whether
adopted or not, it is another issue. The report of national consultation was also disseminated.
Agung Setiyo Wibowo: What's Mekong Migration Network's strategy to push the
government of Thailand and Myanmar to promote and protect the rights of migrant
workers?
Brahm Press: The network advocacy is resource-based which enable each member to engage
with respective national governments. Many networks meet each other with common issue
namely funding. Building evidence-based is also our principle. So, we conduct field research and
make the report. Then, we publish and disseminate it or even create events to frame the issue.
For your information, it is easier to get help from foreign NGOs to help our advocacy to the
government. Making our aspiration heard.
Agung Setiyo Wibowo: Please kindly explain the policy of Thailand in promoting and
protecting the rights of migrant workers!
Brahm Press: the Government of Thailand has a concern with registration or documentation
or legal status of migrant workers. If a migrant worker is illegal, he or she would be deported.
Here, Mekong Migration Network raises the issue that there is no illegal migrant worker
because every human has inalienable rights as noted in the constitution. The labor laws should
not discriminate their status because all human is protected their rights. It is the registration
process that creates legal or illegal status. In addition, documented migrant workers are not
guaranteed their rights. The government of Thailand also takes their document which leads to
the exploitation or abuse.
Agung Setiyo Wibowo: What are the Mekong Migration Network's achievements/success
stories in promoting and protecting the rights of migrant workers? Please mention!
Brahm Press: Our advocacy is difficult to measure as milestone. In 2004, we published
curriculum for schools to educate migration to young generation. The curriculum was
translated into all national languages of Mekong countries. It is not only to frame or discourse
for migration, but also to support regional economic integration in order to make people
understand about their neighboring countries.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the ASEAN Instrument on the protection and
promotion of the rights of migrant workers be legally binding? Why?
Brahm Press: Yes, because almost all ASEAN’s document to date is non-binding. Since those
documents are only optional, they are less effective. For example: the issue of Rohingya. A
legally binding document would force all receiving countries to improve the quality of
protection. If it succeed, it would enhance the enforcement of law.
Universitas Indonesia
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should ASEAN keep the ASEAN Way (particularly,
the principle of non-interference)? Why?
Brahm Press: non-interference is non-sense because neighboring countries are affected each
other. For e.g. transboundary haze pollution, rohingiya, and Mekong dam.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the undocumented migrant workers be
protected? Why?
Brahm Press: Yes, because the documented category decreases the standard of right
protection to those who don’t have document. It should be only a category to protect all
migrant workers regardless their status.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, how importance of ASEAN Instrument on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers toward ASEAN Community
(integration)?
Brahm Press: It would be good or beneficial to improve the standard of ASEAN. But it will be
the problem because the difference of standard or the standard is lower from the international
standard.
Agung Setiyo Wibowo: What are the main problems and challenges of Mekong Migration
Network to support the TF-AMW's effort?
Brahm Press: There are many CSOs in this network. Generally, there are three challenges.
Firstly, CSOs have limited space in undemocratic countries like Laos or Vietnam due to
interference or restriction from the government. There is also a tight competition among them
to get the funding. Secondly, the issue is difference in each country which depends on national
politics. Thirdly, the dichotomy of receiving and sending countries can hinder the protection of
migrant workers due to difference of view and national interest. Overall, it is not easy to unify
the difference of character or trait of each CSO.
Agung Setiyo Wibowo: How optimist you are that TF-AMW can push ASEAN to make a
legally binding instrument?
Brahm Press: AFML discusses mechanism. Here, TF-AMW is invited to the forum to make the
mechanism. TF-AMW has big opportunity to give recommendation in the process. But, ILO has
more opportunity to influence ASEAN to make a legally binding document or not. However,
those of all depend on the interest of all member states of ASEAN. It needs bigger access to
influence both content and process. It is the government who decide whether the
recommendation of TF-AMW would be accepted or not.
Agung Setiyo Wibowo: Ada berapa jumlah anggota jejaring TF-AMW di Indonesia dan bagaimana
dinamikanya?
Rafendi Djamin: Ada puluhan lembaga non-pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang
menjadi anggota jejaring TF-AMW di Indonesia. Walaupun demikian, tidak semua organisasi
masyarakat sipil yang bergerak dalam isu migrasi tergabung apalagi cocok dengan misi TF-AMW.
Salah satunya disebabkan oleh adanya beberapa organisasi yang sudah lebih dahulu bergabung
Universitas Indonesia
dengan jejaring lain. Misalnya, Migrant Care yang tergabung dalam Migrant Forum in Asia (MFA)
tidak aktif di TF-AMW. Dalam dinamikanya, TF-AMW dikritik oleh LSM yang memperjuangkan
hak perempuan di Indonesia karena dinilai tidak peka terhadap gender.
Agung Setiyo Wibowo: Seberapa kuat wewenang yang diberikan TF-AMW untuk HRWG?
Rafendi Djamin: Karena ini jejaring yang longgar, wewenang yang diberikan ke HRWG tidak
begitu kuat. Walaupun demikian TF-AMW yang dipimpin oleh Sinapan Samydorai telah
mendapatkan kepercayaan luas baik dari kalangan masyarakat sipil maupun ASEAN-SLOM dan
ACMW.
Agung Setiyo Wibowo: Masyarakat ASEAN dijadwalkan akan dimulai pada 31 Desember 2015.
Seberapa optimiskah Anda dengan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak
Buruh Migran ini?
Rafendi Djamin: Instrumen tersebut sebenarnya tidak harus mengikat secara hukum, akan tetapi
bisa hanya mengikat yaitu dalam konteks pengawasan dan pelaporannya. Apapun hasilnya pada
akhir tahun 2015 bergantung dengan sikap para Menteri Luar Negeri ASEAN.
Agung Setiyo Wibowo: Seberapa efektif proses musyawarah nasional masyarakat sipil yang
digerakkan oleh TF-AMW?
Rafendi Djamin: Cukup efektif mengingat musyawarah tersebut dilakukan secara konsisten
terutama menjelang rapat ACMW dan ASEANS-SLOM.
Agung Setiyo Wibowo: Apa saja strategi advokasi HRWG dalam membantu misi TF-AMW?
Rafendi Djamin: 1) beragam musyawarah nasional dan regional yang dilaksanakan selalu
menghasilkan “position paper” atau rekomendasi, 2) bermitra dengan Kementerian Luar Negeri
dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk memperjuangkan hak-hak buruh migran,
3) bekerjasama dengan media untuk diseminasi isu migran walau kurang efektif (media briefing,
rilis dll), dan 4) meluncurkan buku Proposal Masyarakat Sipil: Kerangka Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran.
Agung Setiyo Wibowo: Apa kendala atau tantangan advokasi jejaring TF-AMW khususnya di
Indonesia?
Rafendi Djamin: Menjaga keberlanjutan keanggotaan jejaring di tingkat nasional. Di Indonesia
misalnya, ada perpecahan di internal organisasi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) sehingga
tentu berakibat kepada stabilitas jejaring. Selain itu, dana juga menjadi kendala serius mengingat
banyak organisasi masyarakat sipil yang self-funding.
Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana dengan advokasi TF-AMW terhadap ASEAN dari 2010 sampai
sekarang?
Universitas Indonesia
Rafendi Djamin: Sejak 2011 advokasi TF-AMW kembali aktif, namun sayangnya tidak demikian
dengan ACMW.
Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana pengaruh prinsip non-interfensi terhadap kebuntuan proses
penyusunan instrumen oleh ACMW?
Rafendi Djamin: Kebuntuan proses penyusunan instrumen tentu ada kaitannya dengan prinsip
non-intervensi, terutama isu mengikat secara hukum. Karena memberikan sebagian kedaulatan
kepada negara lain juga merupakan kedaulatan.
Agung Setiyo Wibowo: Apa keberhasilan HRWG dalam mendukung misi TF-AMW?
Rafendi Djamin: HRWG berhasil mewujudkan Interface Meeting dalam ACMW, memberikan
masukan dalam proses penyusunan draf instrumen, terlibat dalam AFML, dan engagement yang
kuat dengan Kementerian Luar Negeri.
Agung Setiyo Wibowo: What do you know about Task Force on ASEAN Migrant Workers
(TF-AMW)?
Pitchanuch Supavanich: Task Force on ASEAN Migrant Workers is one of co-organizer of
ASEAN Forum on Migrant Labor (AFML) where representatives of CSOs, trade unions and
government official meet. TF-AMW is the CSO coordinator whose role to list and suggest CSOs
to ASEAN in order to be able to participate at the AFML. There is one CSO per country in AFML
because it is not open. Thus, all CSOs submitted by TF-AMW are approved by ASEAN. CSOs that
followed a forum usually will follow in the next one, and there is only a delegate from each CSO
per country due to representativeness and fund matter. There is a preparatory meeting of CSOs
led by TF-AMW before AFML and evaluation/post meeting after that. TF-AMW coordinates the
forum and also disseminates the result. Whereas in the ASEAN-SLOM, TF-AMW is not invited.
Agung Setiyo Wibowo: Are there forums attended by TF-AMW to engage ASEAN?
Pitchanuch Supavanich: Sure. TF-AMW or his partners may directly engage each national
government besides the AFML.
Agung Setiyo Wibowo: How optimist you are with the realization of ASEAN Instrument on
the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers?
Pitchanuch Supavanich: It is currently around 85% content of the instrument approved by all
members of ASEAN. The rest (15%) is still discussed due to sensitive matter or political interest
debate
Agung Setiyo Wibowo: How importance is the legally binding ASEAN Instrument on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers?
Pitchanuch Supavanich: It is not about legally binding document or not, but the more
important is its implementation.
Agung Setiyo Wibowo: Why has not the ASEAN Community Blueprint included the
protection to the undocumented migrant workers?
Pitchanuch Supavanich: It is a very sensitive issue to both receiving and sending countries of
ASEAN. However, the social protection should be given to all migrant workers.
Agung Setiyo Wibowo: How important are migrant workers toward ASEAN Community?
Universitas Indonesia
Pitchanuch Supavanich: They are so important. For e.g. in Thailand where around 80% sea
food industries depend on migrant workers from neighboring Mekong countries.
Agung Setiyo Wibowo: How big the commitment of ASEAN to protect and promote the
rights of migrant worker?
Pitchanuch Supavanich: ASEAN is very committed. For example: Indonesia and the
Philippines as sending countries who struggle hard to realize that in the instrument. At least,
ASEAN makes migration easier tough protection concern is still being discussed.
Agung Setiyo Wibowo: ASEAN has agreed the Mutual Recognition Arrangement (MRA) to
recognize free flow of skilled/professional workers, why migrant workers are not given so?
Pitchanuch Supavanich: MRA is regulated by the economic pillar, whereas migrant workers
namely semi-skilled and low-skilled migrant workers are regulated by socio-cultural pillar.
Agung Setiyo Wibowo: How big the commitment of ASEAN to engage civil society?
Pitchanuch Supavanich: ASEAN always receive aspiration from its people, but whether their
position is acceptable or not, it is one thing. For example: At the Social Welfare and
Development SLOM, we have GO-NGO meeting. And so does at the ACWC.
Agung Setiyo Wibowo: Are you optimist that ASEAN Instrument on the Protection and
Promotion of the Rights of Migrant Workers would be finalized before 31 December 2015?
Pitchanuch Supavanich: I am not sure. I think it is incremental issue.
Agung Setiyo Wibowo: TF-AMW is one of co-organizer at the AFML. What is the role of co-
organizer?
Pitchanuch Supavanich: As the co-organizer, TF-AMW is responsible to help drafting concept
paper, decide team, and arrange the forum.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, are the advocacy strategies of TF-AMW to engage
ASEAN effective?
Pitchanuch Supavanich: It is effective to gather ideas or multi-stakeholders. At least, many
actors know his presence and role.
Agung Setiyo Wibowo: How strong the coordination/cooperation between ANM and Task
Force on ASEAN Migrant Workers from 2006 to 2010 and 2010 to present?
Adisorn Kerdmongkol: In coordination with TFMW ago ANM will play a role in a working
group of TFMW by acting in coordination with civil society working with migrant workers in
Thailand. In both conferences nationally. And is represented in the Conference in ASEAN. It has
coordination with the TFMW ongoing and joint activities at least once a year.
Agung Setiyo Wibowo: Did ANM have coalition/network in Thailand to support the TF-
AMW mission? How strong? Please mention the list of NGOs/CSOs in the coalition of ANM in
this context!
Adisorn Kerdmongkol: ANM and MWG has the role of coordinating NGOs / CSOs in the role of
coordinating the TFMW Thailand and working on policy and advocacy of the rights of migrant
workers. In the ongoing labor organizations, including NGOs and organizations of migrants. As
well as a network of organizations working on migrant workers as members ANM / MWG and
other labor organizations such as the Thai Labour Solidarity Committee.
Universitas Indonesia
Agung Setiyo Wibowo: What were the activities of ANM to support the TF-AMW
mission from 2006 to 2010 and 2010 to present (e.g.: campaign, seminar, conference, lobby,
protest, advocacy)? Please explain those activities!
Adisorn Kerdmongkol: Activities that support for the work of the TF-AMW activities will make
proposals to the relevant authorities in Thailand as a proposal to the Ministry of Labour.
Thailand government campaign issues in each of the TF-AMW, including a joint meeting of the
Ministry of Labour to push for policy relating to the protection of migrant workers. Thailand
and the government's role in the protection of migrant workers in the region as well.
Agung Setiyo Wibowo: What's ANM's strategy to push the government of Thailand to
promote and protect the rights of migrant workers?
Adisorn Kerdmongkol: ANM is a strategy of the government to Thailand's policy is
contributing to the protection of migrant workers in four main strategy is Direct advocacy to
Thai Government worked with the media. Network integration with other sectors such as the
Department of Labor and Thailand. Role of co-operation between government agencies and
CSOs.
Agung Setiyo Wibowo: Please kindly explain the policy of Thailand in promoting and
protecting the rights of migrant workers!
Adisorn Kerdmongkol: Policy of legalization for undocumented migrants is. Through
collaboration between the countries of origin and Thailand. Policies for the national health
insurance system. By providing the migrants. And the family of migrant workers
Agung Setiyo Wibowo: What are the ANM's achievements/success stories in promoting
and protecting the rights of migrant workers? Please mention!
Adisorn Kerdmongkol: The network was involved in developing the proposed policy at the
national level through working with government agencies are involved. Whether the Ministry of
Labour Or the Ministry of Health In addition, the involvement of national legal organization
that plays a role in the development of standards ASEAN labor law reform. To make the
proposal at the ASEAN level.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the ASEAN Instrument on the Protection
and Promotion of the Rights of Migrant Workers be legally binding? Why?
Adisorn Kerdmongkol: Should be Legally binding because it should be able to protect migrant
workers in the region. The role of state agencies and state policies affect quite a lot. So, to make
a clear legal conditions will allow each nation can not have a policy or practice that violates
easy. Meanwhile, it will have penalties and legal responsibility. Including a mechanism to
monitor even more.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should ASEAN keep the ASEAN Way (particularly,
the principle of non-interference)? Why?
Adisorn Kerdmongkol: The past several ASEAN Way has already shown that many obstacles
to the participation of civil society. And a barrier to protect the rights of citizens in the region. It
also hinders the development of ASEAN, which also makes ASEAN is just an extension of the
nation state.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, should the undocumented migrant workers be
protected? Why?
Adisorn Kerdmongkol: ASEAN should be aware that Undocumented migrant workers must be
protected, as well as labor, which is a major economic partner of ASEAN. Citizenship and allow
ASEAN people. Which would not be covered, reflecting weakness. Do not care about human
rights. And opportunities for exploiting workers.
Agung Setiyo Wibowo: In your opinion, how importance of ASEAN Instrument on the
Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers toward ASEAN Community
(integration)?
Universitas Indonesia
Adisorn Kerdmongkol: ASEAN Instrument of the Protection and Promotion of the Rights of
Migrant Workers are key indicators of the region to be developed as a mechanism at the
regional level to give priority to the protection of human rights and give priority to the public.
truly Meanwhile, it will demonstrate the readiness of each country to protect the people of
another country as a regional community together.
Agung Setiyo Wibowo: What are the main problems and challenges of ANM to support the
TF-AMW's effort?
Adisorn Kerdmongkol: Continuation of the activities together. Co-creation plan that can be
implemented practically. And the role of civil society in the ASEAN region into a role in
determining the direction in ASEAN. Past problems due to limitations in the coordination. The
joint activities are also very discrete. Including the lack of planning in joint activities.
Narasumber : Ben Perkasa Drajat, Wakil Duta Besar Indonesia untuk Jepang
Hari/Tanggal : Rabu, 20 Mei 2015
Keterangan : Wawancara melalui Facebook Messenger
Agung Setiyo Wibowo: Seberapa penting peran yang diharapkan dari kelompok masyarakat
sipil dari kaca mata pemerintah Indonesia dalam penyusunan Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran?
Ben Perkasa Drajat: besar. kita selalu melibatkan masyarakat sipil berkaitan dgn
perlindungan HAM di Asean tmsk migrant workers, bahkan wakil RI di AICHR dari masyarakat
sipil yaitu Raffendi Jamin
Agung Setiyo Wibowo: Apa kepentingan Indonesia sebagai salah satu negara pengirim
pekerja migran dalam penyusunan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan
Hak-Hak Buruh Migran di ACMW?
Ben Perkasa Drajat: melindungi TKI kita yg bekerja di negara2 ASEAN trtm di negara2 yg
banyak menampung pekerja migran kita agar di semua negara asean ada 1 instrumen
regional diatas regulasi nasional
Agung Setiyo Wibowo: Apa saja faktor utama penyebab kebuntuan penyusunan Instrumen
ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran?
Ben Perkasa Drajat: perbedaan visi dan cara pandang kelompok negara pengirim di satu sisi
dan kel negara penerima di sisi lain
Agung Setiyo Wibowo: Apakah prinsip non-interfensi (ASEAN Way) juga merupakan faktor
kebuntuan tersebut?
Ben Perkasa Drajat: Engga
Universitas Indonesia
Agung Setiyo Wibowo: Mengapa Instrumen Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran harus mengikat secara hukum?
Ben Perkasa Drajat: kalau ga mengikat ya ga bisa melindungi TKI kita secara hukum di
negara penerima.
Buat apa ?
Agung Setiyo Wibowo: Seberapa penting posisi pekerja migran dalam konteks Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015?
Ben Perkasa Drajat: sangat penting
Agung Setiyo Wibowo: Apakah Bapak pernah mendengar atau mengetahui tentang Task
Force on ASEAN Migrant Workers (TF-AMW)?
Ben Perkasa Drajat: saya dulu anggotanya
Agung Setiyo Wibowo: Dengan demikian, Bapak juga mengenal Convenor TF-AMW yaiitu
Sinapan Samydorai?
Ben Perkasa Drajat: kenal.
atau kenal banget
Agung Setiyo Wibowo: Menurut Bapak, seberapa kuat strategi advokasi TF-AMW dalam
mendesak ASEAN untuk mewujudkan instrumen yang legally binding?
Ben Perkasa Drajat: Banyak
Signifikan
cuma ini khan di luar jalur perundingan resmi. tujuannya emang menekan delegasi negara
penerima.
posisi TF sama dg posisi Indonesia
Agung Setiyo Wibowo: Jadi, delegasi Indonesia merasa terbantu dengan kehadiran TF-
AMW?
Ben Perkasa Drajat: terbantu sekali
Agung Setiyo Wibowo: Apa yang Bapak ketahui tentang ASEAN Forum on Migrant Labour?
Atau justru pernah terlibat?
Ben Perkasa Drajat: saya selalu hadir dulu
mewakili unsur pemerintah
pernah memimpin sidangnya juga
Agung Setiyo Wibowo: Seberapa efektif AFML dimanfaatkan oleh TF-AMW untuk mendesak
ASEAN?
Ben Perkasa Drajat: iya. semua stakeholders yang satu posisi saling memanfaatkan
mgkn bukan memanfaatkan tapi membangun daya tekan yg lebih kuat guna hadapi kelompok
negara penerima yg keras sekali posisiny
bahkan kita gunakan ILO juga
Yg didesak bukan 'ASEAN' tapi kelompok negara penerima buruh migran
Universitas Indonesia
Agung Setiyo Wibowo: Seberapa optimiskah Bapak bahwa Indonesia bersama Filipina
mampu mendesak Malaysia dan Singapura (wakil negara penerima) untuk mewujudkan
Instrumen yang melindungi hak-hak pekerja migran tak berdokumen?
Ben Perkasa Drajat: impossible
Agung Setiyo Wibowo: Mengapa? Jadi akan terus menerus berada di titik buntu seperti
sekarang?
Ben Perkasa Drajat: Ya
Agung Setiyo Wibowo: Apakah Bapak optimis dengan cita-cita Masyarakat ASEAN yang
akan dimulai 31 Desember 2015?
Ben Perkasa Drajat: ini bukan optimis atau tidak tapi udah dijadwalkan dan tidak mungkin
dibatalkan
harus dihadapi bukan diratapi
Agung Setiyo Wibowo: Selain AFML, apakah ada forum regional yang Bapak atau TF-AMW
hadiri untuk mewujudkan instrumen yang legally binding?
Ben Perkasa Drajat: Ada
salah satunya Yg di Jakarta dan dipimpin Rafendi Jamin saya lupa namanya
UN ESCAP dan ILO jg mendukung posisi negar pengirim
Agung Setiyo Wibowo: Sepengetahuan Bapak, apakah ada organisasi internasional atau
jaringan NGO global yang justru mendukung posisi negara penerima?
Ben Perkasa Drajat: ga ada atau ga tahu krn saya interaksinya dan lobby2nya ama yg
mendukung posisi kita pd umumnya
mrk ga banyak dpt dukungan regional dan global
mgkn ada satu dua saya ga tahu
Agung Setiyo Wibowo: Menurut Bapak, seberapa besar trust yang diberikan kelompok
negara pengirim (khususnya Indonesia dan Filipina) terhadap TF-AMW?
Ben Perkasa Drajat: ga tahu soal trust. tapi sepanjang kepentingan dan posisi kita sama ya
kit saling bantu. Trust ga ada dalam politik internasional
Agung Setiyo Wibowo: Menurut Bapak, seberapa besar kesempatan yang diberikan oleh
ASEAN terhadap masyarakat sipil dalam tata kelola migrasi di Asia Tenggara ini?
Ben Perkasa Drajat: 'Asean' dalam konteks perundingan instrumen migrant workers bukan
merupakan satu kesatuan. Pertanyaannya sulit dijawab krn ga ada yg mamanya satu kesatuan
sikap dan posisi ASEAN ttg isu migran workers
Kalau kelompok negara pengirim mendukung sekali keterlibatan civil sovoety sebaliknya
negara penerima sangat menentang
Agung Setiyo Wibowo: Apakah Bapak yakin bahwa dengan adanya instrumen regional ini
mampu mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk meratifikasi 8 Standar Perburuhan
ILO dan konvensi terkait lainnya?
Ben Perkasa Drajat: belom tentu
Universitas Indonesia
Agung Setiyo Wibowo: Sebagai sesama negara pengirim buruh migran, apakah posisi
Indonesia dan Filipina selalu sama dalam penyusunan instrumen?
Ben Perkasa Drajat: tidak selalu 100 persen sama tp tetap ada benang merah kesamaan
dlm masalah2 prinsip sama krn sama2 negara pengirim yg menginginkan perlindungan
komprehensif dan total serta berkekuatan hukum
Agung Setiyo Wibowo: Format Tim Penyusun ACMW pernah dibuat empat perwakilan
yaitu 2 negara pengirim (Indonesia dan Filipina) dan negara penerima (Singapura dan
Malaysia). Mengapa itu tidak efektif?
Ben Perkasa Drajat: saya yg mengusulkan format itu dalam pertemuan pertama acmw di
singapura
ga efektif karena negara penerima mengacaukan
koreksi wakil negara penerima bukan singapura dan malaysia tapi thailand dan malaysia.
sungapur bkn anggota tim 4
ok. udah cukup ya?
Agung Setiyo Wibowo: Forum mana yang paling aktif Bapak ikuti di antara sekian banyak
program?
Guntur Witjaksono: ASEAN-SLOM. Karena dalam forum inilah kita dapat mempengaruhi
banyak hal terhadap Tim Perumus Instrumen ASEAN Committee on the Implementation of the
ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers
(ACMW).
Agung Setiyo Wibowo: Mengapa Tim Penyusun Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran menghadapi kebuntuan?
Guntur Witjaksono: Karena ada pertentangan antara kelompok pengirim buruh migran
(yang diwakili Indonesia) dengan kelompok negara penerima buruh migran (yang diwakili
Malaysia). Malaysia juga berkepentingan untuk hanya melindungi hak-hak buruh migran
berdokumen. Padahal, jumlah buruh migran tidak berdokumen diperkirakan jauh lebih besar.
Yang menjadi masalah adalah bahwa buruh berdokumen pun bisa menjadi tidak berdokumen
secara terpaksa seperti karena paspor atau dokumen disita menjelang kontrak kerja habis. Hal
ini menunjukkan bahwa Malaysia belum berkomitmen untuk mewujudkan perlindungan hak-
hak buruh migran di Asia Tengara. Hal ini dapat dimaklumi karena pekerja migran tak
berdokumen dari Indonesia sulit untuk dibendung karena masuk ke negara jiran ini melalui
berbagai pintu masuk di sepanjang garis perbatasan. Hukum di Malaysia juga memungkinkan
untuk mengubah visa non-kerja menjadi visa kerja. Sebenarnya juga ada aliran pekerja migran
Universitas Indonesia
dari Myanmar, Laos, atau Kamboja yang melewati garis perbatasan untuk menuju Thailand,
akan tetapi jumlahnya tidak begitu besar.
Agung Setiyo Wibowo: Tahun berapa Bapak aktif dalam upaya perlindungan hak-hak buruh
migran ASEAN ini?
Guntur Witjaksono: Seingat saya Deklarasi Cebu itu lahir pada 2007. Nah, tahun 2008 mulai
aktif dalam memberi masukan terhadap pemerintah Indonesia membuat ‘pernyataan nasional’
untuk dibawa dalam ACMW.
Agung Setiyo Wibowo: Apa yang Bapak ketahui mengenai Task Force on ASEAN Migrant
Workers (TF-AMW)?
Guntur Witjaksono: Saya mengenal jejaring ini. Saya juga mengenal Sinapan Samydorai,
Convenor TF-AMW yan memang sudah aktif dalam advokasi perlindungan hak-hak buruh
migran jauh sebelum terbentuk TF-AMW atau lahirnya Deklarasi Cebu.
Agung Setiyo Wibowo: Jadi, pemerintah Indonesia cukup terbantu atau memanfaatkan
keberadaan TF-AMW?
Guntur Witjaksono: Ya, eksistensi mereka cukup positif. Karena posisi atau apa yang mereka
perjuangkan hampir sama dengan kepentingan Indonesia terhadap Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran.
Agung Setiyo Wibowo: Apakah Bapak juga aktif terlibat dalam ASEAN Forum on Migrant
Labour (AFML)?
Guntur Witjaksono: Tentu. Kan itu forum yang diciptakan untuk mendukung keberadaan
ACMW. Saya pernah jadi moderator maupun pembicara. Jadi, di setiap penyelenggaraan forum
menghasilkan rekomendasi yang kemudian ditindaklanjuti hasilnya dalam forum berikutnya
dan seterusnya. Forum ini berguna untuk memperkaya wawasan atua memperdalam
pemahaman guna mendukung proses perumusan Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran.
Agung Setiyo Wibowo: Dengan demikian, AFML kurang efektif dalam mendukung
terwujudnya Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran?
Guntur Witjaksono: Ya, tidak efektif mengingat setiap pihak memiliki kepentingan masing-
masing. Forum tersebut akhirnya malah tidak fokus. SLOM juga tidak berarti dengan alasan
serupa. Oleh karena itu, saat ini Kementerian Luar Negeri membantu Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi untuk menindaklanjuti. AFML hanya efektif untuk sharing atau
memperkaya pengalaman para pejabat pemerintah.
Agung Setiyo Wibowo: Sepengetahuan Bapak, seberapa aktif Sinapan Samydorai dalam
AFML?
Guntur Witjaksono: Ia hanyalah salah satu peserta. Sehingga dapat dikatakan bahwa forum
tersebut kurang efektif untuk mengadvokasi terwujudnya Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran yang mengikat secara hukum. Ada
banyak sekali peserta yang hadir dalam forum tersebut.
Agung Setiyo Wibowo: Jadi, yang aktif dalam mewujudkan Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran itu Tim Penyusun dalam ACMW?
Guntur Witjaksono: Ya benar. Tetapi sampai sekarang masih deadlock.
Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana kebuntuan proses penyusunan Instrumen ASEAN dalam
Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran?
Guntur Witjaksono: Ada dua kubu yang saling bertentangan yaitu negara pengirim dan
negara penerima buruh migran. Singapura dan Malaysia mewakili kubu kedua. Sedangkan
Filipina dan Indonesia selalu kompak mewakili kubu pertama.
Agung Setiyo Wibowo: Seberapa yakin bahwa Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan
Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran ini akan mengikat secara hukum?
Universitas Indonesia
Guntur Witjaksono: Tak yakin. Karena Malaysia belum meratifikasi beberapa konvensi
mengenai perlindungan hak-hak buruh migran dari ILO/PBB. Sehingga, tentu saja akan terus
ada deadlock.
Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana hubungan antara Instrumen ASEAN dalam Perlindungan
dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran dengan Masyarakat ASEAN yang konon akan
diberlakukan per 31 Desember 2015?
Guntur Witjaksono: Hampir semua pemerintah negara-negara anggota ASEAN ingin
mempercepat terwujudnya instrumen ini. Padahal, mereka tidak ada komitmen secara
substansial. Tak ada arahan. Sebenarnya waktu itu terjadi trade off antara Indonesia dan
Malaysia. Indonesia akan meratifikasi perjanjian kabut asap lintas batas negara jika Malaysia
mau mengakui hak-hak buruh migran tak berdokumen atau instrumen itu. Indonesia telah
meratifikasi perjanjian kabut asap lintas batas negara, tapi Malaysia tak ada komitmen. Lebih
terus terjadi deadlock seperti sekarang ini karena dengan ini dunia tahu bahwa Malaysia-lah
yang menjadi salah satu hambatannya.
Agung Setiyo Wibowo: Apakah Bapak menghadiri peluncuran buku Proposal Masyarakat
Sipil: Kerangka Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh
Migran?
Guntur Witjaksono: Saya kan juga punya banyak agenda. Untuk yang ini, saya sepertinya
tidak ikut.
Agung Setiyo Wibowo: Bagaimana dengan posisi LSM Vs Indonesia dalam konteks
Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Buruh Migran?
Guntur Witjaksono: Sebagian besar posisi LSM sama dengan Indonesia. Jadi, mereka
mendukung kita untuk mengalahkan Malaysia.
Agung Setiyo Wibowo: Apakah Instrumen ASEAN dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-
Hak Buruh Migran harus mengikat secara hukum?
Guntur Witjaksono: Ya, harusnya mengikat secara hukum. Tapi, saya pesimis. Mana mungkin
hanya sekedar panduan seperti yang diajukan Malaysia?
Universitas Indonesia