Anda di halaman 1dari 125

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS KEGAGALAN PROGRAM USAID-DDG (DEMOCRACY


AND DECENTRALIZED GOVERNANCE) TENTANG PELAKSANAAN
GOOD GOVERNANCE DI PAPUA TAHUN 2008

TESIS

BENEDIKTO HARIES PUTRA MBON

1206336656

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

DEPOK

2016

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS KEGAGALAN PROGRAM USAID-DDG (DEMOCRACY


AND DECENTRALIZED GOVERNANCE) TENTANG PELAKSANAAN
GOOD GOVERNANCE DI PAPUA TAHUN 2008

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Ilmu Hubungan Internasional

TESIS

BENEDIKTO HARIES PUTRA MBON

1206336656

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

DEPOK

2016

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
Universitas Indonesia
Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
viii

ABSTRAK

Nama : Benedikto Haries Putra Mbon

Program Studi : Magister Ilmu Hubungan Internasional

Judul : Analisis Kegagalan Program USAID-DDG


(Democracy And Decentralized Governance) Tentang
Pelaksanaan Good Governance Di Papua Tahun
2008

Tesis ini membahas tentang kegagalan bantuan luar negeri USAID


melalui program DDG (Democracy and Decentralized Governance) tentang
pelaksanaan good governance di wilayah Papua. Bantuan yang diberikan
dalam kurun waktu 2004-2008 ini dinyatakan gagal melalui beberapa
indikator, seperti akuntabilitas, indeks pembangunan manusia, kemiskinan, dll.
Dalam tesis ini penulis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif,
ingin melihat faktor-faktor penyebab kegagalan program tersebut. Fokus
penelitian penulis yaitu kegagalan yang terjadi dari perspektif
lembaga/institusi pemberi bantuan, dalam hal ini USAID. Dengan bantuan
konsep kegagalan bantuan luar negeri, penulis menemukan bahwa terdapat
dua hal penyebab kegagalan program ini, yaitu faktor ketidakmampuan Usaid
dalam memahami konteks budaya dan politik lokal (Papua) dan faktor
kepentingan luar negeri AS yang dibawa serta USAID dalam program
tersebut.

Kata kunci : USAID, DDG, Good Governance, Bantuan Luar Negeri.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
ix

ABSTRACT

Name : Benedikto Haries Putra Mbon

Study Programme : International Relation

Title : Analysis The Failure of USAID-DDG’s (Democracy


And Decentralized Governance) Programme About
The Implementation of Good Governance in Papua
2008

This study discussed about the failure of USAID’s foreign aid by the
DDG (Democracy and Decentralized Governance) programme, about the
implementation of good governance in Papua, Indonesia. The programme that
was held on 2004 to 2008 indicated failed based on some indicators, such as
accountability, transparancy, human resource index, poverty, corruption,
human rights, etc. In this research/thesis the writer by using qualitative
research method, want to analyse and find out the factors of the fail
programme to the good governance in Papua. Focused of the analysis is the
USAID as the donor of the aid programme. By using the concepts of foreign
aid, the writer found that there are two factors of the fail programme, first is
the unability of USAID in understanding about the local culture and the local
politic (Papua), and the second is United State’s national interest in Papua.

Key words : USAID, DDG, Good Governance, Foreign Aid.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………… iii

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………… iv

KATA PENGANTAR ………………………………………………………. v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI …………… vii

ABSTRAK ………………………………………………………………… viii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………… x

DAFTAR TABEL ……………………………………………………...….. xiii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xiv

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………….……………… 1


1.2 Rumusan Masalah ………………………………………….……………. 5
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………………… 7
1.4 Literatur Review …………………………………………………………. 7
1.5 Kerangka konseptual dan Kerangka Analisis ………………...………… 11
1.5.1 Kerangka Konseptual ………………………………………………. 11
1.5.1.1 Konsep Bantuan Luar Negeri …………………………….………… 11
1.5.1.2 Konsep Good Governance …………………………………………. 16
1.5.2 Kerangka Analisis …………………………………………..……… 19
1.6 Metodologi Penelitian ……………………………………………….…. 21
1.7 Sistematika Penulisan ………………………………………………….. 22

BAB II : PROGRAM USAID-DDG DI PAPUA

2.1 Bantuan Luar Negri …………………………………………………… 25


2.2 Good Governance …………………………………………………….. 31
2.3 Bantuan-Bantuan Luar Negeri Untuk Demokratisasi dan Pengembangan
Good Governance di Papua …………………………………….………… 35

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
xi

2.3.1 Negara-Negara Pemberi Bantuan Luar Negeri ……………………..... 36


2.3.2 Bantuan Melalui Organisasi Internasional …………………………… 37
2.3.3 Bantuan Melalui NGO Internasional …………………..………….….. 38
2.4 Program USAID-DDG di Papua 2004-2008 …………..…….………… 38
2.4.1 USAID di Indonesia ………………………………………………….. 38
2.4.2 Pelaksanaan Program USAID-DDG di Papua (2004-2008) ……….… 41
2.4.2.1 Latar Belakang Pemberian Bantuan …………………….………..… 41
2.4.2.2 Sasaran yang Ingin Dicapai …………………………….………..…. 43
2.4.2.2.1 Mengembangkan Partisipasi, Efektivitas dan Akuntabilitas
Pemerintah Lokal …………………………………………….….. 45
2.4.2.2.2 Konsolidasi Terhadap Agenda Perubahan ……………………..... 48
2.4.2.2.3 Manajemen Konflik dan Mengembangkan Pluralisme ……….…. 49

BAB III : ANALISIS KEGAGALAN PROGRAM USAID-DDG TENTANG


PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE DI PROVINSI PAPUA
TAHUN 2004-2008

3.1 Bad Governance di Papua ……………………………………….…….. 57

3.2 Indikasi Kegagalan Program DDG di Papua ……………….…….…… 59


3.2.1 Kegagalan dalam Mengembangkan Partisipasi, Efektivitas dan
Akuntabilitas dari Pemerintah Lokal ……………………………….. 62
3.2.2 Kegagalan dalam Konsolidasi Terhadap Agenda Perubahan ……….. 70
3.2.3 Kegagalan dalam Manajemen Konflik dan Mengembangkan Pluralisme
………………………………………………………………………….….. 76
3.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Program DDG terhadap
Pelaksanaan Good Governance di Papua …………………..………. 81
3.3.1 Kurangnya Pemahaman USAID Terkait Konteks Politik dan Budaya
Lokal ………………………………………………………….……. 82
3.3.2 Kepentingan Nasional Amerika Serikat di Papua ………………….. 89

BAB IV : KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan …………………………………………………………… 98

4.2 Rekomendasi ………………………………………………….…….. 101

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
xii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………... 103

LAMPIRAN ……………………………………………………………… 107

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
xiii

DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM

Tabel

Tabel Kemiskinan Provinsi Papua Terhadap Nasional 2004-2008 ………… 69

Tabel Produksi dan Pendapatan PT Freeport Tahun 2004-2008 …………… 91

Diagram

Diagram Kerangka Analisis ……………………………...………………… 20

Diagram Karakteristik Good Governance ………………….………………. 32

Diagram Sasaran Umum Program DDG ………………………...…………. 45

Diagram Indeks Kualitas Tata Pemerintahan Provinsi 2008 ……………….. 62

Diagram Persentasi Alokasi Anggaran Program DDG di Papua 2004-2008


………………………………………………………………………………. 66

Diagram Permasalahan Pemahaman USAID Terhadap Budaya dan Konteks


Politik Lokal di Papua …………………………………………………..….. 89

Diagram Kepentingan Nasional AS di Papua ……………………………… 96

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
xiv

DAFTAR GAMBAR

Foto

Pelaksanaan Kegiatan Sosialisasi Program DRSP ………………….….… 64

Kegiatan Konseling yang dilakukan USAID berafiliasi dengan ALDP .… 80

Universitas Indonesia
Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
1

BAB 1

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Good governance telah menjadi sebuah konsep yang sangat


berkembang dewasa ini. Perkembangan good governance ke berbagai penjuru
dunia tidak terlepas dari idealisme yang dibawanya. Good governance
mengusung sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang baik dengan
berbagai indikator di dalamnya seperti akuntabilitas, transparansi, pembuatan
dan penerapan keputusan/kebijakan yang demokratis, dan lain-lain. Good
governance tidak hanya sekedar persoalan tata administrasi dan manajemen
pemerintahan, akan tetapi perihal bagaimana segenap sistem dalam elemen
pemerintahan dapat bekerja dengan baik dan efektif.1

Konsep good governance juga menjadi suatu konsep yang populer di


Indonesia. Pasca berakhirnya rejim Orde Baru, World Bank menawarkan
konsep ini sebagai suatu acuan manajemen pemerintahan yang ideal setelah
sebelumnya negara Indonesia dibelenggu rejim otoritarian Presiden Soeharto.
Dengan esensi idealisme yang terkandung di dalamnya, konsep good
governance pun diterima dan mulai diimplementasikan di berbagai daerah di
Indonesia.2

Akan tetapi, tidak semua daerah bisa mengimplementasikan konsep ini


dengan baik. Ideal good governance sebagai sebuah tata kelola pemerintahan
yang baik dikategorikan gagal di beberapa daerah. Papua merupakan sebuah
daerah yang selalu mendapat sorotan karena statusnya yang cenderung
mendapatkan urutan terbawah dalam kategori tata kelola pemerintahan yang
baik dibandingkan provinsi lain di Indonesia.

Konsep good governance di Papua hadir bersama penerapan Otonomi


Khusus melalui UU No. 21, Tahun 2001. Penerapan Otonomi Khusus dilihat

1
Martin, Doornbos, Good Governance: The Metamorphosis Of A Policy Metaphor, Journal of
International Affairs, Fall 2003, Vol. 57, No.1, hlm. 3-4.
2
Usaid Strategic Plan for Indonesia 2004-2008, Usaid, hlm. 33.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
2

sebagai ‘gerbang’ pembenahan total terkait bad governance dan ketertinggalan


pembangunan di Papua. Konsep good governance pun diimplementasikan,
akan tetapi dari beberapa indikator yang menjadi rujukan konsep good
governance, Papua masih menjadi daerah dengan indeks good governance
terburuk.

Indikasi gagalnya penerapan good governance di Papua dapat dilihat


dari data-data berikut: Indeks Pembangunan Manusia di Papua (IPM) masih
menempati level terbawah dari semua Propinsi di Indonesia. IPM Papua pada
tahun 2008 hanya sebesar 64,00 padahal angka Nasional adalah 71,12. Selain
itu persentasi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah 37,53%
dan menjadi yang terburuk dari semua provinsi di Indonesia.3

Selain itu, dari beberapa survei yang dilakukan ditemukan data sebagai
berikut: Survei Governance Assesment, Index Governance Assesment di Papua
adalah 0,39. Hal ini menunjukkan masih tingginya angka korupsi. Beberapa
temuan lain dari survei ini menunjukkan tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme
sangat tinggi di daerah ini. Selain itu, data dari Transparasi Internasional
menunjukkan bahwa perilaku korupsi masih menjadi masalah utama dan
dilihat sebagai hal yang biasa dalam tataran birokrat, baik eksekutif, legislatif
dan yudikatif di Papua. Selain itu, proses rancangan anggaran dan
pengambilan kebijakan cenderung ‘tertutup’.4

Terkait implementasi good governance di Indonesia, pemerintah pun


bekerja sama dengan berbagai pihak asing di antaranya USAID dalam upaya
mewujudkan sebuah tatanan pemerintahan yang baik di berbagai daerah di
Indonesia. Perbaikan tata kelola pemerintahan menjadi salah satu prioritas
pemerintah AS khususnya dalam menguatkan dan menyebarkan paham
demokrasi ke berbagai negara, khususnya ke negara-negara sedang
berkembang. Dan dalam upaya demokratisasi, good governance menjadi
syarat mutlak yang juga harus dimiliki. Menurut Larry Diamond, negara
dengan pemerintahan yang cenderung mencari kekuasaan politik tidak
memiliki tanggung jawab kepada rakyatnya dan serta memanfaatkan

3
Vidhyandika Perkasa, Indiginized Good Governance dan Akuntabilitas Sosial di Papua,
Analisis CSIS, Vol 40, No, 3, September 2011, hlm. 403
4
Ibid., hlm. 404.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
3

kekuasaan untuk mewujudkan kepentingan pribadi dan kelompok adalah


kendala dalam demokratisasi.5 Selanjutnya Bush dan Gardner menjelaskan
bahwa negara dengan bad governance adalah tantangan bagi negara pemberi
bantuan asing/pendonor. Di Haiti misalnya, walaupun sejumlah besar bantuan
diberikan, namun karena pemerintah dalam negerinya berperilaku korup
terhadap segala bentuk sumber daya dan energi sehingga demokrasi dan
pembangunan di negaranya sulit untuk berkembang.6

Untuk itu, penguatan terhadap tata kelola pemerintahan yang baik


menjadi salah satu program yang dijalankan pemerintah AS melalui lembaga
pemberi bantuannya yaitu USAID. USAID telah mengambil bagian dalam
program good governance di Indonesia sejak lama. Praktisnya sejak era
otoritarian Soeharto di Indonesia berakhir. Sejak itu USAID kerap menemani
perjalanan demokrasi di Indonesia.

Papua menjadi salah satu fokus dan prioritas USAID karena


sebagaimana yang sudah dijelaskan, daerah ini cenderung mendapatkan
preseden sebagai daerah dengan tata kelola pemerintahan yang buruk (bad
governance) di Indonesia. Ada sejumlah program yang dijalankan USAID,
salah satunya yaitu DDG (Democracy and Decentralized Governance).
Melalui program DDG (Democracy and Decentralized Governance) di Papua,
USAID mempropagandakan good governance sebagai salah satu tujuan yang
ingin dicapai. Sasaran dari program ini yaitu mengembangkan demokrasi dan
good governance, yang mencakup civil society, rule of law, penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia dan kebebasan beragama.7 Program ini
dijalankan untuk masa waktu empat tahun, yaitu 2004-2008.

USAID melalui program DDG telah melakukan upaya-upaya misalnya


beberapa pelatihan yang melibatkan tim Universitas Cendrawasih dalam
penyusunan implementasi otonomi khusus di Papua. Selain itu juga beberapa
LSM dilibatkan seperti LP3BH, ELSAM, Yayasan Wasur Lestari, dan lain
sebagainya dalam upayanya mewujudkan good governance di Papua.
5
Larry Diamond, 2007, 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore:
Johns Hopkins University Press, 1999), hlm. 67.
6
Bush dan Gardner, Problems of Good Governance, Journal of Democracy, Vol. 32, No.1,
Januari 2008, hlm. 73.
7
Larry Diamond, Op.cit., hlm. 32.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
4

Akan tetapi, program DDG yang dijalankan tidak menunjukkan


perubahan yang signifikan terhadap keberhasilan good governance yang juga
menjadi salah satu sasaran tujuan dari diimplementasikannya program ini.
Hingga saat ini fenomena kemiskinan, ketertinggalan pembangunan,
peminggiran masyarakat adat, konflik separatis di Papua masih terjadi dan
tidak kunjung berakhir. Kondisi ini semakin diperburuk oleh lemahnya
kemampuan pemerintah daerah dengan tata pemerintahan yang buruk. Kasus
korupsi, kolusi dan nepotisme yang berimplikasi pada rendahnya pelayanan
publik masih menjadi masalah yang akrab dengan pemerintah Papua.8

Menaruh harapan tunggal kepada program DDG dari USAID ini


terkait perbaikan total dari situasi bad governance di Papua memang tidak
realistis dan terkesan terlalu idealis. Akan tetapi, yang menjadi alasan terkait
obyek kajian dalam penelitian ini yaitu, tidak berpengaruhnya program ini
terhadap perkembangan positif tata kelola pemerintahan di Papua. Program ini
dijalankan di sejumlah daerah, seperti D.I. Yogyakarta, Surabaya, dan lain-
lain. Daerah-daerah tersebut menunjukkan perkembangan, tetapi di Papua
tidak. Adanya perubahan positif sebagai ekses dari implementasi sebuah
program bantuan luar negeri oleh lembaga yang sangat kredibel seperti
USAID dengan dana besar yang dikeluarkan tentunya sangat realistis dan
relevan.

Ada begitu banyak penelitian yang menyajikan data yang


menunjukkan kegagalan penerapan konsep good governance di Papua. Studi
tentang Papua oleh CSIS9 mengemukakan bahwa secara khusus di Kabupaten
Jayawijaya masyarakat masih terbelenggu oleh ketimpangan dan
ketidakadilan, keterbelakangan, kurangnya akses pendidikan, fragmentasi di
masyarakat dan potensi konflik yang tinggi. Riset lanjutan yang dilakukan
CSIS pada tahun 2007-200810 menyatakan bahwa Papua secara umum
memerlukan masyarakat sipil yang kuat dan partisipatif untuk mengawal

8
Dyah Mutarin, Transformasi Good Governance dalam Perspektif Lokal di Kabupaten
Jayawijaya, Papua, Analisis CSIS, Vol. 38, No.1, Maret, 2009, hlm. 114.
9
Vidhyandika Perkasa (et.al). Partisipasi, Kohesi Sosial, dan Resolusi Konflik: Pengalaman dari
Wamena Papua. (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 92.
10
Vidhyandika Perkasa, (et.al), Empowering Civil Society Group to Promote Participatory
Governance, CSIS-UNDEF, 2007, hlm. 89-91.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
5

pemerintah daerah memerangi problem ekonomi, sosial dan politik yang


selama ini mencengkeram rakyat Papua. Kajian lain yang dilakukan oleh LIPI
dalam Papua Road Map 2008 sejak tahun 2004-2008 menyatakan bahwa
Papua masih menghadapi empat masalah utama yaitu marjinalisasi dan
diskriminasi, kegagalan pembangunan, kekerasan negara dan pelanggaran
HAM, serta sejarah dan status politik, yang mana aspek-aspek tersebut
menjadi sasaran dari program DDG yang dicanangkan USAID di Papua11.

Dengan mengusung misi memperbaiki tata kelola pemerintahan yang


buruk di Papua, ternyata kemudian USAID melalui program DDG tidak
menunjukkan hasil yang positif. Papua masih tetap menjadi daerah
terbelakang dalam tata kelola pemerintahan. Tata kelola pemerintahan yang
buruk tentunya turut mempengaruhi kinerja pemerintah dan implikasi
sosialnya terhadap bidang-bidang krusial dalam hal kemasyarakatan, seperti
pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, dan lain-lain.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, “Mengapa Program DDG USAID


tidak berhasil memperbaiki kinerja good governance di Provinsi Papua?” Hal
ini menjadi pertanyaan mengingat sudah begitu banyak bantuan baik melalui
pendanaan, pelatihan, pendidikan, dan lain-lain, yang dilakukan oleh program
DDG di Papua, namun hasilnya masih tetap menunjukkan kecenderungan
kegagalan good governance di Papua.

II. Rumusan Masalah

Ideal diimplementasikannya sebuah program kepada suatu wilayah


atau daerah adalah untuk mencapai apa yang menjadi sasaran dan tujuannya.
Begitu pun program yang dicanangkan melalui bantuan luar negri, dalam hal
ini program DDG dari USAID. Program ini telah dijalankan di Provinsi Papua
pada kurun waktu 2004-2008. Salah satu sasaran dari program ini yaitu
tercapainya good governance di Papua, mengingat Papua adalah salah satu
wilayah di Indonesia dengan kondisi tata pemerintahan yang sangat buruk.

11
Muridan S Widjono, dkk., Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present,
and Securing the Future (Jakarta: LIPI, 2008), hlm. 18.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
6

Buruknya tata pemerintahan di Papua berpengaruh terhadap banyak aspek


dalam masyarakat, seperti kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Logikanya yaitu bahwa bila tata pemerintahan dijalankan dengan baik dan
benar, maka aspek-aspek sosial dalam berbagai elemen mencakup pemerintah,
pasar dan masyarakat akan berujung pada kristalisasi sebuah bonum
communae (kebaikan bersama) yang ideal. Untuk itu, dengan idealisme yang
dibawanya program DDG dari USAID berusaha meningkatkan kapasitas dan
kualitas good governance di Papua.

Akan tetapi, pada akhir masa program ini dijalankan, dari evaluasi
yang dibuat dan pengamatan yang dilakukan peneliti melalui berbagai data
yang diperoleh dari banyak pihak, menunjukkan bahwa program DDG ini
gagal dalam upayanya mewujudkan good governance di Papua. Indikasinya
bahwa Papua masih tertinggal dari ideal good governance dan implikasinya
terlihat dari buruknya kualitas kesehatan, kesejahteraan, pendidikan, dan aspek
elementer masyarakat lainnya di Papua.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam permasalahan ini yaitu apakah
memang dengan kondisi tata kelola pemerintahan Papua yang buruk, dan juga
dengan realitas sosial, kondisi wilayah, latar belakang kebudayaan yang masih
terbelakang ideal good governance masih menjadi cita-cita yang sulit tercapai
di wilayah Papua. Lantas dengan demikian, walaupun dengan program yang
diimplementasikan untuk memperbaiki realitas bad governance di Papua
seperti yang dilakukan USAID melalui program DDG masih menjadi sesuatu
yang sulit terwujud. Karena memang, sebuah tata kelola pemerintahan yang
baik tentunya harus didukung oleh keinginan kuat dari berbagai pihak, baik
pemerintah maupun non-pemerintah untuk mewujudkan implementasi good
governance yang ideal. Sehingga, sebagai hipotesa dari penelitian ini, penulis
mengemukakan beberapa alasan yang mungkin menjadi jawaban/kesimpulan
sementara dari tulisan ini, yaitu faktor atau permasalahan yang menjadi
penyebab kegagalan program DDG dari USAID terkait upayanya
memperbaiki bad governance dan mewujudkan good governance di Papua
yaitu kurangnya pemahaman dari pihak pemberi bantuan dalam hal ini Usaid
tentang konteks sosio-politik dan budaya lokal di Papua, dengan realitas dan
kondisi Papua yang masih tertinggal dan terbelakang dalam banyak aspek,

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
7

good governance menjadi program yang terlalu dipaksakan untuk konteks


masyarakat di sana.

Untuk itu, dalam upaya memastikan hipotesa tersebut, penelitian ini


akan penulis lakukan. Untuk mempertajam dan mengerucutkan substansi
penelitian, penulis merumuskannya dalam pertanyaan penelitian, yaitu
Mengapa Program DDG USAID tidak berhasil memperbaiki kinerja good
governance di Provinsi Papua? Pertanyaan penelitian tersebut akan didukung
oleh pertanyaan-pertanyaan lain yang akan membantu penulis dalam
menjawab permasalahan penelitian, yaitu:

1. Apa saja faktor yang mempengaruhi kegagalan program USAID-DDG


di Provinsi Papua?
2. Solusi apa yang harus dilakukan dalam upaya memaksimalkan
penerapan good governance di Papua?

III. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui alasan ketidakberhasilan program USAID-DDG terhadap


perbaikan kinerja good governance di Papua
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan program
USAID-DDG di Provinsi Papua
3. Mengetahui solusi apa yang harus dilakukan dalam upaya
memaksimalkan penerapan konsep good governance di Papua.

IV. Literature Review

Bantuan luar negeri merupakan sebuah media kerja sama antar-negara.


Dalam konteks konteks hubungan internasional dewasa ini, keberadaan
bantuan luar negeri dapat dimaknai dari berbagai macam perspektif. Sehingga,
menghasilkan beragam kajian terhadapnya. Beragamnya kajian terhadap
bantuan luar negeri juga terkait dengan bentuk bantuan luar negeri yang

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
8

diberikan. Salah satu negara yang cukup aktif dalam kerja sama antarnegara
melalui pemberian bantuan luar negeri yaitu Amerika Serikat. Melalui
lembaga donornya yaitu USAID, Amerika Serikat telah mengambil bagian
dalam begitu banyak program kerja sama antarnegara. Ada begitu banyak
bantuan luar negri yang diberikan, dan salah satu yang cukup gencar
dipropagandakan yaitu terkait good governance.

Menurut Craig Burnside dan David Dollar, bantuan luar negeri untuk
mempromosikan demokrasi dan good governance turut memberikan
kontribusi terhadap pembentukan kebijakan yang dihasilkan dari pemerintahan
yang baik.12 Sependapat dengan Burnside dan Dollar, Svensson juga
mengatakan bahwa bantuan luar negeri merupakan suatu kebijakan efisien
dalam mempromosikan demokrasi suatu negara. Dalam hal ini bantuan luar
negeri dapat berpotensi dan berkontribusi untuk mempromosikan demokrasi
dan good governance melalui beberapa cara, yakni melalui teknik bantuan
yang berfokus pada proses pemilu, penguatan legislatif dan peradilan seperti
kontrol pada eksekutif kekuasaan, dan promosi organisasi masyarakat sipil,
termasuk melalui media yang bebas serta dengan memperbaiki pendidikan dan
meningkatkan pendapatan per kapita, sehingga dapat mendukung
demokratisasi yang kondusif.13

Thomas Carothers menambahkan bahwa yang berfungsi untuk


mempromosikan dan memperkuat demokrasi, khususnya untuk membantu
perkembangan demokrasi pada sebuah negara yang sedang melalui masa
transisi demokrasi (seperti Indonesia), adalah dengan cara donor memberikan
dana pada satu atau beberapa lembaga yang kemudian secara langsung
maupun tidak langsung berhubungan dengan penguatan proses demokratisasi
di masa transisi. Sehingga secara bertahap, bantuan demokrasi dan good
governance memiliki fungsi untuk mendukung proses pemilu, penguatan
institusi negara dan pembentukan organisasi masyarakat sipil yang kuat. 14

12
Craig Burnside dan D. Dollar, Aid, Policies and Growth. Policy Research Working Paper No.
1777, 1997, Washington, DC: World Bank, hlm. 28.
13
Stephen Knack, Does Foreign Aid Promote Democracy?, International Studies Quarterly,
Vol 48, No.1, 2004, hlm. 112-114.
14
Thomas Carothers, Aiding Democracy Abroad: The Learning Curve (Washington DC: The
Brookings Institution Press, 1999), hlm. 213.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
9

Akan tetapi, Michael McFaul, Amichai Magen dan Kathryn Stoner-


Weiss memiliki penilaian berbeda. Menurut mereka, tidak banyak kasus yang
menunjukkan bahwa bantuan luar negeri membawa keberhasilan pada proses
demokratisasi menuju demokrasi dan good governance. Di Irak dan
Afganistan misalnya, akibat konflik yang telah maupun tengah terjadi di
negara tersebut, demokrasi sulit untuk masuk dengan baik. Padahal, upaya
demokratisasi yang dilakukan AS telah berlangsung sekian lama. Bahkan
untuk kasus Afganishtan, AS pun sempat menginvasi negara tersebut dalam
upayanya membersihkan jaringan Al-Qaeda15 Selain itu, Gwin dan Nelson
juga memiliki pendapat bahwasanya bantuan luar negeri hanya akan berhasil
dan efektif di dalam mempromosikan perkembangan kebijakan yang baik tapi
bukan pada demokrasi itu sendiri.16 Collier turut menegaskan bahwa bantuan
demokrasi tidak dapat semudah itu membawa perubahan pada reformasi
politik ke arah demokrasi.17

Selain itu, terkait faktor kegagalan bantuan luar negri, oleh Desmond
McNeill dalam bukunya The Contradiction of Foreign Aid disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu: komitmen yang rendah dari pemerintah daerah
penerima bantuan (lack of commitment on the part of the recipient
government), perselisihan dalam birokrasi/pemerintah penerima bantuan
terkait program yang sedang dijalankan (dissension within the recipient
government regarding the project), ketidakadilan dalam kentungan
(inequitable benefits), efek buruk yang tak terduga (unwanted side effects),
keterbatasan kemampuan/skill dari pihak pemerintah lokal (lack of skilled
manpower).18

Konsep good governance telah menjadi paradigma yang dominan


dalam wacana reformasi tata kelola pemerintahan. Oleh lembaga-lembaga
donor, program bantuan luar negri bertemakan good governance dikemas

15
Michael McFaul, Amichai Magen dan Kathryn Stoner-Weiss, 2007. Evaluating International
Influences on Democratic Transitions, Concept Paper, hlm. 7.
16
Gwin, C, and Nelson, J.M. (eds),. Perspective on Aid and Development, ODC Policy Essay
22. 1997, Washington D.C.: Overseas Development Council, hlm. 18.
17
Larry Jay Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1999), hlm. 79-80.
18
Desmond McNeill, The Contradiction of Foreign Aid, (London: Croom Helm, 1981), hlm. 64-
78.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
10

bersama dengan tema demokratisasi dengan tujuan agar tata kelola


pemerintahan (dan pasar) tidak hanya efisien, akuntabel, transparan, akan
tetapi juga memiliki legitimasi secara konstitusional dan politik.19 Terkait
implementasi konsep good governance di Indonesia, juga dibahas oleh Luky
Djani dalam tulisannya Implementasi Local Governance dalam Analisis CSIS,
Vol. 42, No. 1, Maret 2013. Ia mengatakan bahwa, selama dua dekade
penerapan good governance di Indonesia, terdapat dua tampilan kontradiktif:
ada daerah yang dikategorikan berhasil, ada pula yang dikategorikan gagal.
Terkait kegagalan penerapan konsep good governance, ia menyoroti juga
peranan pemimpin daerah. Dipaparkannya bahwa adalah sebuah kenyataan
miris saat melihat bahwa hampir tiap tahun kasus yang menerpa kepala
daerah/wakil kepala daerah berjumlah hampir tiga ratusan kasus, di mana 86,2
persen di antaranya adalah kasus korupsi.20 Hal ini merupakan sebuah realitas
paradoksal. Di tengah upaya yang signifikan terkait penerapan good
governance, sejumlah kasus yang mereduksi esensi good governance itu pun
terjadi. Menurutnya, hal ini terjadi karena adanya persenyawaan antara sistem
dan relasi kekuasaan di tingkat lokal yang berkarakter oligarchic rule dengan
program-program pembaruan tata kelola pemerintahan. Di sini terjadi aktus di
mana para elit politik lokal memanfaatkan program-program good governance
untuk kepentingan politik personal dan kelompok tertentu penguatan pengaruh
politiknya tersebut.21 Selain itu, menurutnya tata kelola pemerintahan di
tingkat lokal di Indonesia pasca berakhirnya rejim otoritarian Soeharto
didominasi oleh pola pendekatan institutional reform. Pendekatan ini
merupakan salah satu varian dari konsep good governance yang menekankan
pada reformasi sektor publik pada aspek pembenahan kelembagaan agar
penyelenggaraan pemerintah merujuk pada prinsip profesionalitas, efisiensi,
akuntabilitas serta ditunjang oleh institusi modern dan perangkat hukum yang
memadai sehingga mampu memfasilitasi pembangunan dan pasar bekerja

19
Leftwich, Governance, Democracy and Development in The Third World, Third World
Quarterly, Vol.14, No. 3, Tahun 1993, hlm. 605.
20
Luky Djani, Implementasi Local Governance: Menjelaskan Paradoks, Analisis CSIS, Vol. 42,
No.1, Maret 2013, hlm. 51.
21
Ibid., hlm. 50-51

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
11

dengan baik. Yang terjadi pada umumnya penerapan konsep good governance
masih menyentuh aspek tekhnis, dan belum menyentuh aspek substansial.22

Dari berbagai tulisan yang diuraikan di atas terkait konsep bantuan luar
negri dengan tema good governance, suatu kecenderungan umum yaitu faktor
kegagalan cenderung dibebankan kepada pihak pemerintah lokal dengan
berbagai alasannya. Good governance (beserta demokrasi) dilihat sedemikian
idealnya sehingga cenderung luput dari faktor kegagalan. Sehingga, pihak
donor dalam hal ini USAID pun dilihat benar-benar sebagai penyelamat yang
cenderung luput dari pengamatan sebagai bagian dari kegagalan. Untuk itu,
dalam penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, akan ditelaah juga faktor
kegagalan dari perspektif lembaga pemberi donor, yang mana elemen tersebut
cenderung tidak diperhatikan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.

V. Kerangka Konseptual dan Kerangka Analisis


5.1 Kerangka Konseptual
5.1.1 Konsep Bantuan Luar Negri (Foreign Aid)

Wajah konstelasi politik dunia internasional kontemporer tidak terlepas


dari berakhirnya Perang Dingin. Pasca berakhirnya Perang Dingin, sistem
politik internasional yang sebelumnya bipolar, dengan poros kekuatan dunia
terletak pada AS-Uni Soviet, kemudian memunculkan AS sebagai kekuatan
tunggal (unipolar). Lalu, realitas ini menampilkan beberapa perubahan yang
bisa dilihat sebagai ekses konstelasi politik internasional ‘domain’ AS.
Pertama, meningkatnya globalisasi dan interpendensi (keterkaitan) antara
berbagai masalah global dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi,
sosial, keamanan dan lingkungan hidup. Kedua, semakin mencuatnya
masalah-masalah transnasional yang ditonjolkan oleh pihak Barat, terutama
AS, seperti masalah HAM, Demokrasi, good governance, lingkungan hidup,
dan lain-lain. Ketiga, menguatnya peran aktor non pemerintah (Non-

22
Ibid., hlm. 55-56.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
12

Government Organization, dan lain-lain.) dalam percaturan internasional atau


multi-track diplomacy dalam konteks hubungan internasional.23

Dominasi AS dalam politik internasional seakan tidak mendapat


perlawanan berarti dari sesama state-actor. Bahkan, PBB sebagai sebuah
institusi internasional yang idealnya menjaga perdamaian dunia, cukup sering
berlaku diam atas tindakan-tindakan AS, seperti menginvasi Irak, menyerang
Afganistan, dan lain-lain. PBB juga berlaku diam terhadap politik ekonomi AS
dan negara-negara Barat yang menjerat negara-negara berkembang dalam
lilitan utang, melalui institusi-institusi neo-liberalis bentukan AS dan negara
Barat seperti IMF, dan lain-lain., sehingga dalam situasi ini mereka bisa
menawarkan ‘bantuan’, yang dengannya memuluskan langkah negara-negara
tersebut untuk melakukan eksploitasi ekonomi dan sumber daya alam melalui
dalil kerja sama tertentu, seperti yang terjadi dengan pemberlakuan UU ekspor
migas di Indonesia yang sangat menguntungkan pihak AS.

Dewasa ini, bantuan luar negri melalui kerja sama antarnegara


(partnership) baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral telah menjadi
instrumen (senjata) politik internasional. Maksudnya bahwa, dengan adanya
bantuan luar negri suatu negara bisa membawa serta kepentingan nasionalnya
pada negara lain. Dalam hal ini kerja sama melalui pemberian bantuan luar
negeri telah menjadi suatu hal yang sangat kompleks yang mempengaruhi
banyak unsur dalam upaya mewujudkan tujuan politik. Banyak hal yang perlu
diperhatikan dalam kasus ini, terutama mengenai volume bantuan luar negeri,
strategi kebijakan ekonomi luar negeri, tujuan dari pemberian bantuan luar
negeri, efektifitas dari bantuan luar negeri, dan juga berbagai kritik mengenai
implikasinya pada perkembangan dan pertumbuhan perekonomian lokal.24

Menurut Hans Morgenthau dalam A Political Theory of Foreign Aid,


bantuan luar negri adalah perwujudan kepentingan nasional dari negara kaya
kepada negara miskin dalam bentuk bantuan militer, kemanusiaan, dana,
pembangunan ekonomi yang di dalamnya terkandung kepentingan nasional

23
Interim Report, Revitalisasi Proses Pembuatan Kebijakan LN Indonesia Menghadapi
Perkembangan Eksternal dan Internal, Laporan Penelitian Deplu RI, 2002, hlm. 28.
24
Hattori, Reconceptualizing Foreign Aid, Review of International Political Economy, Vol. VIII,
No. 4, 2002, hlm. 642.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
13

dari negara pendonor kepada negara penerima.25 Konsep bantuan luar negri
Morgenthau ini sangat bercorak realis. Pandangannya tentang bantuan luar
negri dipengaruhi oleh politik bantuan luar negri era perang dingin, di mana
bantuan diberikan oleh dua negara besar, yaitu Amerika Serikat dan Uni
Soviet, dalam upayanya mencari sekutu dan dukungan kepada negara
pendonor (pemberi bantuan). Morghenthau menolak argumentasi bahwa
pemberian bantuan luar negri digunakan sebagai instrument penguat kapasitas
demokrasi yang selanjutnya akan menjadi dasar terciptanya perdamaan
dunia. Menurutnya, sebagian besar tipe bantuan internasional bersifat politis,
hanya sedikit yang sifatnya humanitarian foreign aid. Artinya, hal yang
seharusnya bersifat non-politis kemudian bersifat sangat politis ketika
diletakkan dalam konteks politik. Bantuan itu dipandang berfungsi hanya
sebagai suap (bribe) saat harapan-harapan lain yang bersifat non-politis cuma
akan membawa pada kekecewaan. Berdasarkan hal ini maka ada dua tipe
strategi yang di gunakan untuk mendapatkan pengaruh: propaganda dan suap
(propaganda and bribes). Bantuan luar negri selalu berarti perwujudan
kepentingan luar negri negara pendonor.26

Sementara itu, ada pendapat berbeda dari Carol Lancaster yang


melihat bahwa bantuan luar negri merupakan media diplomasi, pembangunan,
dan perwujudan politik domestik dengan tata pemerintahan yang baik (good
governance). Menurutnya, persepsi tentang bantuan luar negri dapat dilihat
dengan sangat berbeda melalui berbagai pendekatan hubungan internasional
yang memiliki cara yang berbeda-beda pula dalam melihat suatu
permasalahan. Selain itu, bantuan luar negeri selain merupakan sebuah
instrumen diplomasi dan cara yang memfasilitasi kerjasama antarnegara, ia
mempunyai pengaruh besar terhadap pencapaian Millenium Development
Goals (MDGs) untuk mendukung adanya pemerintahan global.27

Konsep tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Frederick


Pearson dan Simon Payaslian. Dalam klasifikasinya tentang teori bantuan luar

25
Hans Morgenthau, A Political Theory of Foreign Aid, The American Political Science
Review, LVI(2), 1962, hlm. 301-309.
26
Ibid.
27
Alan H. Yang, dan T. Y. Chen. The Politics of Foreign Aid: A Positive Contribution to Asian
Economic Growth, Global and Strategies, Juli-Desember, Vol. 6, No.2, 2012, hlm. 231-245.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
14

negri, menurut mereka terdapat pula perspektif moralis/idealis. Di sini bantuan


luar negeri secara esensial merupakan gerakan kemanusiaan yang
menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan internasional. Menurut aliran idealis,
negara yang lebih kaya memiliki tanggung jawab moral untuk mempererat
kerjasama Utara-Selatan yang lebih besar dan merespon kebutuhan
pembangunan ekonomi dan sosial di Selatan. Maka kaum moralis berpendapat
bahwa bantuan luar negeri mendorong dukungan yang yang saling
menguntungkan (mutual supportive) dan hubungan menguntungkan sejalan
dengan pembangunan ekonomi dan Hak Asasi Manusia, hukum dan ketertiban
internasional.28

Pandangan lebih netral tentang bantuan luar negri dikemukakan oleh


Edward S. Manson. Menurutnya, program bantuan luar negri merupakan titik
temu antara kepentingan nasional masing-masing pihak, baik negara pendonor
maupun negara penerima bantuan. Karena, walaupun dalam pemberian
bantuan luar negri, disertai kepentingan nasional yang negara pendonor,
namun bantuan tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan negara penerima
bantuan.29

Jadi, dari berbagai konsep dan teori tentang bantuan luar negri seperti
yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa, pemberian bantuan luar
negri selalu disertai kepentingan nasional tertentu. Kepentingan yang dibawa
itu pun akan sangat berpengaruh dalam menentukan keberhasilan dan
kegagalan suatu program dalam bantuan luar negri. Mengutip Gordon
Crawford, program bantuan luar negri selalu erat kaitannya dengan adanya
kerja sama antarnegara (partnership). Konsep tentang partnership ini telah
mengalami perkembangan yang cukup signifikan, dari isu militer (bantuan
militer) ke isu kemanusiaan. Bantuan luar negri tidak pernah terlepas dari
kepentingan nasional. Ia bisa menjadi berkat namun juga bisa menjadi
bencana. Namun, hal yang penting dalam setiap program pemberian bantuan
luar negri menurutnya yaitu pemberdayaan masyarakat lokal. Hal ini harus

28
Frederich Pearson dan Simon Payaslian, International Political Economy (Boston: McGraw-
Hill Higher Education, 1999), hlm. 380-381.
29
Edward S. Manson, Foreign Aid and Foreign Policy (New York: Council of Foreign Policy,
1964), hlm. 3-5.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
15

menjadi elemen krusial dalam setiap program bantuan luar negri yang
dijalankan.30

Terkait konsep tentang kegagalan bantuan luar negri terhadap good


governance David Booth dari Overseas Development Institute
menguraikannya sebagai berikut. Dalam tulisannya yang terdapat dalam
sebuah laporan penelitian yang diterbitkan UN berjudul Is Good Governance
Good for Development?, David Booth mengemukakan lima mitos terkait
konsep good governance. Pertama, terkait pandangan yang melihat good
governance penting bagi pemerintah. Ia mengatakan bahwa transparansi,
akuntabilitas, kemampuan masyarakat untuk mengambil bagian dalam
pembuatan keputusan/kebijakan, ketiadaan korupsi, kebebasan berusaha,
jaminan atas kepemilikan pribadi dan Hak Asasi Manusia, tidak menjadi
jaminan keberhasilan sebuah pemerintahan. Menurutnya, perkembangan
perekonomian merupakan syarat keberhasilan sebuah pemerintahan, dan hal
ini telah dibuktikan oleh Inggris pada abad ketujuh belas dan apa yang dewasa
ini terjadi pada China dan Vietnam. Kedua, good governance merupakan
entry-point dalam reformasi tata pemerintahan secara lebih cepat. Menurut
Booth, reformasi atau perubahan secara cepat terkait suatu model tata kelola
pemerintahan, meskipun sesuatu yang baik tidak begitu efektif dan menjadi
jaminan terwujudnya suatu pemerintahan yang baik. Melalui bantuan luar
negri dan konsep-konsep asing tentang good governance, hanya akan lebih
pada permukaan dan polesan. Menurutnya, untuk mencapai sebuah tata kelola
pemerintahan yang baik harus melalui sebuah proses yang lama dan
mendalam. Upaya perubahan yang cepat melalui bantuan dan program luar
negri bahkan bisa menimbulkan disorientasi dalam pemerintahan, karena
adanya kesalahpahaman tentang konteks dan substansi permasalahan di daerah
yang menjadi tujuan program dijalankan. Ketiga, tingkat transparansi,
akuntabilitas, partisipasi dan kompetisi yang tinggi menentukan pembangunan
ekonomi. Menurutnya, aspek-aspek tersebut tidak menjamin. Karena,
kecenderungan yang terjadi khususnya di negara sedang berkembang,
fluktuasi kepemerintahan sangat mudah terjadi, dan arah kebijakan

30
Gordon Crawford, Partnership or Power? Deconstructing the ‘Partnership for Governance
Reform’ in Indonesia, Third World Quarterly, Vol. 24, No.1, hlm. 139-142.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
16

perekonomian cukup kuat dipengaruhi oleh partai yang sedang berkuasa.


Keempat, berakhirnya perang dingin mempengaruhi pola pergerakan sosio-
politis dan pemerintahan. Negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand
sangat mendapat pengaruh kuat persaingan era perang dingin antar kedua blok
yang bertikai pada masa itu. Contohnya di Indonesia, pola pemahaman yang
melihat bahwa dengan mayoritas masyarakat yang adalah petani bisa menjadi
tulang punggung pembangunan negara dan menjadi kekuatan untuk
menggulingkan pemerintahan ternyata salah. Kelima, yang pertama harus
dilakukan untuk konteks daerah tertentu, seperti Afrika bukan pemecahan
masalah melainkan adaptasi terhadap masalah.31

5.1.2 Konsep Good Governance

Good governance telah menjadi sebuah konsep yang sangat


berkembang dewasa ini. Perkembangan good governance ke berbagai penjuru
dunia tidak terlepas dari idealisme yang dibawanya. Good governance
mengusung sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang baik dengan
berbagai indikator di dalamnya seperti akuntabilitas, transparansi, pembuatan
dan penerapan keputusan/kebijakan yang demokratis, dan lain-lain. Good
governance tidak hanya sekedar persoalan tata administrasi dan manajem
pemerintahan, akan tetapi perihal bagaimana segenap sistem dalam elemen
pemerintahan dapat bekerja dengan baik dan efektif.32

Konsep good governance menjadi populer oleh World Bank terkait


pengelolaan bantuannya untuk beberapa wilayah Afrika pada era 1960-an.
Pada awalnya bantuan tersebut dinamakan bantuan kelembagaan (institution
building). Namun kemudian, memasuki era 1990-an konsep tersebut
bertransformasi menjadi governance untuk pembangunan (institutional
capacity building). Karena konsep tersebut dinilai terlalu bersifat materil,
kemudian dalam perjalananya konsep ini berkembang menjadi good
governance dengan fokus pada negara-negara dunia ketiga. Good governance

31
Diakses dari http: //blogs.worldbank.org/publicsphere/blog-post-month-five-myths-about-
governance-and-development?cid=EXT_FBWB_D_EXT, pada tanggal 2 April 2015.
32
Martin, Doornbos, Good Governance: The Metamorphosis Of A Policy Metaphor, Journal
of International Affairs, Fall 2003, Vol. 57, No.1, hlm. 3-4.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
17

menjadi konsep unggulan untuk membedakannya dengan bad governance


yang dinilai menjadi masalah pokok pada manajemen pemerintahan di negara-
negara dunia ketiga. World Bank sebagai pengusung konsep ini
mendefinisikan good governance, yaitu “The governance that include some or
all of the following features: an efficient public service; an independent
judicial system and legal framework to enforce contracts; the accountable
administration of public funds; an independent public auditor, responsible to
a representative legislature; respect for the law and human rights at all levels
of government; a pluralistic instituinal structure, and a free press.33

Dalam publikasi-publikasi dokumen dan laporan World Bank


selanjutnya, diberikan esensi nilai dari konsep good governance yaitu
ekualitas dari manajemen pembangunan yang baik. Pengartian konsep good
governance tersebut menunjukkan pemahaman dan orientasi dari World Bank
terkait good governance sebagai sebuah frame work, dan juga acuan untuk
penciptaan pembangunan suatu negara.34

Selanjutnya, terkait good governance, dalam World Development


Report 2002, World Bank menguraikan empat elemen pemerintahan yang
efektif, yaitu (1) pembentukan, proteksi dan penegakan hukum terhadap rezim
property rights yang menjadi komponen pendukung utama terjadinya transaksi
pasar yang efisien, (2) adanya rezim pengaturan (regulatory regime) yang
bekerja dengan pasar guna meningkatkan persaingan, (3) adanya kebijakan
ekonomi makro yang menunjang keberadaan pasar yang fungsional, (4)
minimnya tingkat korupsi yang dapat menghalangi tercapainya tujuan dari
suatu kebijakan, di samping menurunkan legitimasi institusi publik yang
mendukung bekerjanya pasar.35 Lebih lanjut, World Bank mengungkapkan
bahwa hal yang ditekankan dalam konsep ini yaitu aspek administratif dan
manajerial, serta penekanan pada reformasi kelembagaan, supremasi hukum

33
World Bank, Sub Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth, (Washington: The
World Bank, 1989), hlm. 6.
34
World Bank, Governance and Development, (Washington: World Bank, 1992), hlm. 1.
35
World Bank, Building Institution for Market, World Development Report 2002, (New York,
Oxford University Press, 2002), hlm. 99.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
18

serta pemberian insentif dan disinsentif untuk mengontrol dan mengoreksi


perilaku koruptif.36

Sejauh ini konsep good governance telah dipraktekan di banyak negara


di dunia. Berjalan bersama konsep demokrasi, konsep good governance telah
menjadi sebuah rancangan ideal dalam proses healing terhadap permasalahan
bad governance di berbagai negara. Selain itu, konsep ini pun telah menjadi
suatu propaganda yang efektif dalam menerima program-program World Bank
di berbagai negara, khususnya negara berkembang.

Konsep good governance juga menjadi suatu konsep yang populer di


Indonesia. Pasca berakhirnya rejim Orde Baru, World Bank menawarkan
konsep ini sebagai suatu acuan manajemen pemerintahan yang ideal setelah
sebelumnya negara Indonesia dibelenggu rejim otoritarian Presiden Soeharto.
Dengan esensi idealisme yang terkandung didalamnya, konsep good
governance pun diterima dan mulai diimplementasikan di berbagai daerah di
Indonesia.

Dalam perjalanannya, ada daerah yang dikategorikan berhasil dalam


penerapan konsep good governance, namun ada pula yang masuk dalam
kategori daerah gagal. Daerah yang berhasil misalnya D.I. Yogyakarta yang
selalu menampilkan kecenderungan indeks good governance yang baik dalam
setiap survei tahunan yang dilakukan. Daerah yang masuk dalam kategori
gagal yaitu Papua. Papua hampir selalu menjadi daerah dengan predikat tata
pemerintahan terburuk selama beberapa tahun penerapannya di Indonesia.

Menurut Lawrence Whitehead dalam Democratization: Theory and


Process Experience, konsep good governance tidak dapat dipisahkan dari
paham demokrasi. Good governance adalah sebuah hasil konstruksi dalam
demokratisasi. Lawrence Whitehead menulis, “good governance itself is to be
viewed as both a contextually variable and a ‘deontological’ concept, then
democratization cannot be defined by some fixed and timeless objective
criterion.”37 Hal ini berarti bahwa dalam konsep good governance terdapat

36
Ibid.
37
Lawrence Whitehead, Democratization: Theory and Process Experience. (New York: Oxford.
2002), hlm. 3

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
19

kombinasi antara nilai dan norma deontologis dan realitas sosial yang terjadi.
Good governance juga harus dilihat dalam pemahaman bahwa ia dinilai baik
atau diaplikasikan sebagai sebuah sistem bukan karena sebuah keharusan
namun melalui sebuah kesadaran akan esensi nilai dalam demokrasi itu
sendiri. Dan bila good governance dimengerti demikian, maka otomatis
demokratisasi menjadi sebuah proses yang harus dilalui. Dalam demokratisasi,
internalisasi nilai good governance itu terjadi.38 Akan tetapi yang menjadi
masalah bahwa, sejauh mana kesadaran berdemokrasi masyarakat Papua itu
terlaksana. Papua sendiri selain sebagai daerah dengan indeks governance
dengan preseden buruk, juga menjadi daerah dengan indeks demokrasi yang
buruk. Sehingga, kalau dilihat demokrasi sebagai wadah yang ideal bagi
penerapan good governance, maka salah satu faktor kegagalan good
governance di Papua yaitu ketiadaan ‘wadah’ yang ideal dalam upayanya
mengimplementasikan konsep good governance yang diprogramkan.

5.2 Kerangka Analisis

USAID melalui program DDG telah berusaha mewujudkan good


governance di Papua. Program ini dijalankan sesuai dengan frame-work yang
telah ditetapkan pada rancangan awal program. USAID pun dalam
menjalankan program DDG telah bekerja sama dengan elemen-elemen lokal,
baik pemerintah maupun NGO setempat. Akan tetapi, dari berbagai data yang
diperoleh, diketahui bahwa indeks good governance di Papua tetap
memprihatinkan, yaitu berdasarkan survey governance index tahun 2008,
Papua menempati urutan bawah dalam urusan tata kelola pemerintahan, yaitu
0,39 jauh dari standar nasional yang ditetapkan.

Berdasarkan pengamatan awal penulis terkait kasus yang terjadi, lalu


dikaitkan dengan berbagai konsep tentang bantuan luar negri dan good
governance, maka penulis membuat suatu analisis sebagai hipotesa awal
terkait kegagalan program DDG dari USAID di Papua. Secara umum,
permasalahan terdapat pada pihak pemberi bantuan (USAID) dan juga dari

38
Ibid., hlm. 6-8

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
20

pihak pemerintah lokal (penerima bantuan). Faktor yang mempengaruhi


kegagalan program ini dilihat dari perspektif lembaga pemberi bantuan, yaitu
kepentingan nasional yang turut dibawa serta dan kurangnya pemahaman
terhadap konteks sosio-politik lokal. Lalu, dari perspektif elemen (pemerintah-
NGO) penerima bantuan: komitmen yang rendah dari pemerintah daerah
penerima bantuan, perselisihan dalam birokrasi/pemerintah penerima bantuan
terkait program yang sedang dijalankan, ketidakadilan dalam kentungan, efek
buruk yang tak terduga, keterbatasan kemampuan/skill dari pihak pemerintah
lokal.

Dari konsep-konsep dan aspek teoritis yang dikemukakan di atas, dan


dari analisis awal yang dibuat, maka penulis menguraikan kerangka analisis
seperti yang digambarkan berikut:

Diagram 1
Kerangka Analisis

Kegagalan Program DDG dari USAID terhadap


Good Governance di Papua

Faktor Permasalahan
Lembaga Pemberi Bantuan
(USAID)

1. Kepentingan Nasional AS
2. Kurangnya pemahaman
terhadap konteks politik dan
budaya lokal

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
21

VI. Metodologi
1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif-historis.


Model metode ini dipilih karena dinilai lebih relevan dalam menuntun penulis
untuk menjawabi pertanyaan penelitian yang dimaksud. Metode penelitian
kualitatif yang historical dimaksudkan bahwa penelitian ini akan menganalisis
sebuah masalah yang terjadi beberapa waktu lalu. Sehingga pendekatan yang
dilakukan khususnya dalam melakukan pendataan yaitu dengan
mengumpulkan keterangan dan data yang terjadi dan relevan sesuai dengan
apa yang terjadi pada waktu itu. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses
penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini,
peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan
terinci dan pandangan responden serta melakukan studi pada situasi yang
alami.39

2. Jenis Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini bersifat sekunder, yaitu tidak diperoleh
langsung dari sumbernya melainkan dari kepustakaan, laporan-laporan yang
sudah berbentuk buku, jurnal, majalah, berita, dan sumber lain yang relevan
untuk kepentingan penelitian.40 Data penelitian bersifat sekunder dipilih
karena pertama, waktu dari obyek penelitian, yaitu program yang
diselenggarakan USAID ini terjadi pada masa lalu; dan kedua, jarak peneliti
dengan sumber kajian sangat jauh, sehingga tidak memungkinkan penelitian
dilakukan dalam waktu yang singkat.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Dalam usaha pengumpulan data yang relevan dengan penelitian, maka


cara yang digunakan adalah mencari data yang bersangkutan dari buku, jurnal,
dan literatur ilmiah lainnya. Dengan kelengkapan data, hal ini dapat menjadi
dasar yang objektif dalam proses interpretasi atas masalah yang ada.

39
John Creswell, 1998, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches, 2nd edition, (London: Sage Publications), hlm. 15.
40
Ibid.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
22

Sedangkan tujuan dari pengumpulan data adalah untuk mengetahui


karakteristik dari elemen masalah tersebut.41

4. Analisis Data

Data yang terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan cara


pemeriksaan data secara akurat, sehingga dalam penelitian keraguan dan
kesalahan akan terminimalisasi.42 Penelitian kualitatif menganalisis data
secara interpretatif.43 Jadi, dalam penelitian ini akan dideskripsikan dan
dianalisis mengapa program USAID-DDG tidak berhasil meningkatkan
efektivitas kinerja good governance di Provinsi Papua.

VII. Sistematika Penulisan

Adapun pembabakan yang akan dibuat, yaitu:

Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini, penulis akan diuraikan beberapa kerangka dasar yang
menjadi acuan dalam penelitian. Bab ini mencakup Latar Belakang Masalah,
di mana secara umum akan dilihat konteks permasalahan yang terjadi;
Rumusan Masalah, di mana akan dirumuskan apa yang menjadi fokus penulis
dalam melihat masalah dan melakukan penelitian; Tujuan Penelitian, di mana
penulis memaparkan apa yang menjadi sasaran dari penelitian ini; Metodologi,
merupakan acuan terkait model penelitian apa yang akan dilakukan sebagai
acuan; Literatur Review, di mana akan dilihat gap-research dan gap-theory
dari penelitian yang akan dibuat; Kerangka Teori dan Analisis, merupakan
kajian tekhnis terkait teori atau konsep yang akan digunakan; Sistematika
Penulisan, di mana penulis menguraikan pembabakan yang akan dilakukan
dalam penelitian.

41
Ibid. hlm. 17
42
Creswell, Loc. Cit.
43
Monique Henink, Inge Hutter, Ajay Bailey, Qualitative Research Methods (Los Angeles:
Sage,1997), hlm 15-16.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
23

Bab II : Program DDG-USAID di Papua

Dalam bab ini akan dibahas perihal gambaran umum terkait program
DDG yang dilakukan USAID di Papua. Di sini penulis akan menguraikan
perihal konsep bantuan luar negri, good governance di Indonesia dan
bagaimana program DDG dari USAID dijalankan di Papua. Bab ini akan
dimulai dengan pembahasan tentang apa itu bantuan luat negri dan good
governance. Lalu akan diuraikan perihal program good governance di
Indonesia dan bagaimana peran lembaga asing memberikan bantuan untuk
pengembangan good governance di Indonesia. Kemudian penulis akan
mengerucutkan pembahasan ke uraian tentang program DDG dari USAID di
Papua. Di sini akan dilihat perihal target dan bagaimana program tersebut
dijalankan. Uraian-uraian tersebut dimaksudkan sebagai gambaran konseptual
dan teknis dari program sebelum kemudian melakukan analisis atas masalah
yang dihadapi.

Bab III : Analisis Kegagalan Program DDG dari USAID terkait pelaksanaan
good governance di Papua

Bab ini merupakan bab inti yang berisi analisis penulis berdasarkan
penelitian yang dibuat terkait alasan dan faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan kegagalan program DDG dari USAID di Papua. Di sini penulis
akan memetakan kembali secara sederhana permasalahan yang menjadi fokus
pembahasan, kemudian akan dijawab melalui analisis yang dibuat.

Pembahasan dalam bab ini akan dimulai dengan uraian tentang realitas
permasalahan terkait good governance di Papua. Di sini akan ditampilkan
data-data terkait kondisi tata kelola pemerintahan di Papua. Dari data-data
tersebut kemudian akan dibuat analisis dengan menggunakan teori-teori dan
konsep bantuan luar negri yang relevan.

Bab IV : Kesimpulan

Bab ini merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian penulisan.


Dalam bab ini, penulis akan merangkum kesimpulan dari penelitian yang telah
dilakukan. Selain itu juga penulis akan memberikan saran berupa rekomendasi

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
24

yang dinilai penulis mampu menjadi masukan konstruktif terkait penelitian


yang telah dilakukan.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
25

BAB II

PROGRAM DDG-USAID DI PAPUA

Dalam bab Pendahuluan telah diuraikan secara umum perihal topik


pembahasan dan substansi permasalahan yang menjadi obyek kajian dalam
penelitian ini. Dari pembahasan yang diuraian dalam bab 1 tersebut terdapat
beberapa konsep dan kajian teoritis yang digunakan dalam membahas
permasalahan kegagalan bantuan luar negri USAID terhadap program good
governance di Papua. Untuk itu, dalam bab ini penulis akan menguraikan
lebih mendalam perihal konsep teoritis dan kajian tekhnis tersebut. Dalam bab
ini penulis akan menjelaskan tentang konsep bantuan luar negeri, good
governance, USAID di Indonesia dan perihal pelaksanaan program DDG di
Papua. Pemahaman yang komprehensif terhadap hal-hal tersebut, tentunya
menjadi entry point dalam membahas masalah kegagalan program DDG
terhadap good governance di Papua.

2.1 Bantuan Luar Negri

Pembahasan tentang tema ini telah dijelaskan sebelumnya pada bagian


pendahuluan (bab 1). Namun, pembahasan tersebut masih terlalu umum dalam
menguraikan konsep bantuan luar negri. Untuk itu, dalam bagian ini akan
diuraikan secara lebih komprehensif terkait apa itu bantuan luar negri.

Berakhirnya era Perang Dingin, banyak memberikan perubahan


terhadap konstelasi politik dan hubungan dunia internasional. Pola konstelasi
yang unipolar serentak memunculkan AS sebagai kekuatan dominan, setelah
sebelumnya perhatian dunia terbagi pada konstelasi yang bersifat bipolar di
mana AS dan Rusia cenderung bersaing mendapatkan pengakuan dunia
sebagai yang paling berkuasa dan memiliki power lebih dari yang lainnya.
Kenyataan ini kemudian menampilkan sejumlah perubahan sebagai dampak
kehadiran AS sebagai kekuatan dominan dalam konstelasi baru di dunia
internasional. Pertama, keberadaan AS sebagai negara dengan ideologi

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
26

demokrasi dan liberal, kemudian menyebabkan terjadinya demokratisasi ke


seluruh penjuru dunia. Permasalahan-permasalahan transnasional dengan
membawa ide demokrasi seperti Hak Asasi Manusia, Keadilan Sosial,
Lingkungan Hidup, Kemiskinan, dan lain-lain, menjadi perhatian dunia,
meninggalkan persoalan-persoalan bercorak realis seperti perang. Kedua,
globalisasi yang semakin berkembang memberi ide bahwa, berbagai
permasalahan di dunia bukan karena suatu sebab tunggal, melainkan terjadi
karena adanya interdependensi (keterkaitan) dalam berbagai bidang seperti
politik, ekonomi, sosial, keamanan dan lingkungan hidup. Ketiga, kehadiran
aktor non pemerintah (NGO, kelompok masyarakat sipil, dan lain-lain) dengan
peran yang semakin menguat dalam mengambil bagian dalam setiap
permasalahan internasional atau multi-track diplomacy dalam konteks
hubungan internasional.44

Dominasi AS dalam politik internasional seakan tidak mendapat


perlawanan berarti dari sesama state-actor. Bahkan, PBB sebagai sebuah
institusi internasional yang idealnya menjaga perdamaian dunia, cukup sering
berlaku diam atas tindakan-tindakan AS, seperti menginvasi Irak, menyerang
Afghanistan, dll. PBB juga berlaku diam terhadap politik ekonomi AS dan
negara-negara Barat yang menjerat negara-negara berkembang dalam lilitan
utang, melalui institusi-institusi neo-liberalis bentukan AS dan negara Barat
seperti IMF, dll., sehingga dalam situasi ini mereka bisa menawarkan
‘bantuan’, yang dengannya memuluskan langkah negara-negara tersebut untuk
melakukan eksploitasi ekonomi dan sumber daya alam melalui dalil kerja
sama tertentu.

Dengan semakin berkembang dan berubahnya konstelasi politik


internasional, dewasa ini salah satu instrumen yang menjadi ‘senjata’ politik
internasional yaitu bantuan luar negeri melalui kerja sama antarnegara
(partnership), baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral. Di sini,
bantuan luar negeri berfungsi sebagai ‘alat perpanjangan tangan’ terkait upaya
mencapai kepentingan nasional dari suatu negara terhadap negara lain.
Sehingga kemudian, karena mengandung dan mempengaruhi banyak unsur

44
Interim Report, Revitalisasi Proses Pembuatan Kebijakan LN Indonesia Menghadapi
Perkembangan Eksternal dan Internal, Laporan Penelitian, Deplu RI, 2002, hlm. 28.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
27

dalam upaya mewujudkan tujuan politik suatu negara, maka kerja sama
melalui pemberian bantuan luar negeri telah menjadi suatu hal yang sangat
kompleks. Sejumlah aspek pun menjadi hal yang harus diperhatikan dalam hal
ini, terutama mengenai volume bantuan luar negeri, strategi kebijakan
ekonomi luar negeri, tujuan dari pemberian bantuan luar negeri, efektifitas dari
bantuan luar negeri, dan juga berbagai kritik mengenai implikasinya pada
perkembangan dan pertumbuhan perekonomian lokal.45

Salah seorang ahli Hubungan Internasional, Hans Morgenthau dalam


bukunya A Political Theory Of Foreign Aid, mengatakan bahwa kehadiran
bantuan luar negeri sebagai instrumen kerja sama antarnegara, sebenarnya
merupakan perwujudan dari upaya mencapai kepentingan nasional dari negara
kaya kepada negara miskin. Bantuan luar negeri tersebut hadir dalam banyak
bentuk, seperti bantuan militer, kemanusiaan, pembangunan nasional, yang
pada intinya merupakan instrumen politik dari negara pemberi donor, yang
nota bene negara besar dan kaya, kepada negara kecil dan miskin untuk
mewujudkan kepentingan politik dan ekonomi tertentu.46 Bila dicermati,
konsep bantuan luar negeri Morgenthau ini sangat bercorak realis. Konsep
bantuan luar negeri tidak jauh dari kepentingan Negara sebagai aktor utama
dalam politik hubungan internasional. Latar belakang persepsinya tentang
bantuan luar negri ini pun dipengaruhi oleh politik bantuan luar negeri era
perang dingin, di mana bantuan diberikan oleh dua negara besar, yaitu
Amerika Serikat dan Uni Soviet, dalam upaya mencari sekutu dan dukungan
kepada negara pendonor (pemberi bantuan). Selain itu, sebagai seorang ahli
dengan latar belakang pemikiran yang bercorak realis, Morgenthau pun tidak
setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa bantuan luar negeri hadir
sebagai suatu media dalam memperkuat peran dan pengaruh demokrasi. Di
sini ia bertentangan dengan konsep Immanuel Kant yang mengatakan bahwa
“sesama negara demokrasi tidak akan saling berperang”, sehingga negara-
negara dengan pahan demokrasi akan menciptakan perdamaian
dunia. Menurutnya, bantuan luar negeri selalu berarti bribe and propaganda.

45
Hattori, Reconceptualizing Foreign Aid, Review of International Political Economy, Vol. VIII,
No. 4, 2002, hlm. 642.
46
Hans Morgenthau, A Political Theory of Foreign Aid, The American Political Science
Review, LVI(2), 1962, hlm. 301-309.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
28

Bantuan itu di pandang berfungsi hanya sebagai suap (bribe) saat harapan-
harapan lain yang bersifat non-politis cuma akan membawa pada kekecewaan.
Bantuan juga berarti upaya negara pendonor dalam menarik simpati negara
penerima bantuan dalam mendukung setiap kebijakan politik dari negara
pemberi bantuan tersebut. Di sini bisa dilihat sifat dan tujuan politis dari
pemberian suatu bantuan luar negeri. Artinya, hal yang seharusnya bersifat
non-politis kemudian bersifat sangat politis ketika diletakkan dalam konteks
politik. Menurut Morgenthau hanya sedikit bantuan luar negeri yang
sifatnya humanitarian foreign aid. Bantuan luar negeri harus selalu dipahami
dalam konteks upaya perwujudan kepentingan luar negeri dari negara kuat
yang memberikan bantuan tersebut.47

Serupa dengan pendapat tersebut di atas, Sajal Lahiri dalam tulisannya


Theory and Practice of Foreign Aid, mengatakan bahwa pemberian bantuan
luar negeri selalu mengundang kontroversi dan paradoks. Menurutnya,
bantuan luar negeri dibutuhkan, mengingat situasi dunia internasional, di mana
terdapat banyak permasalahan kemanusiaan, khususnya kelaparan dan
kemiskinan. Realias ini mengundang perhatian dan simpati global dari negara-
negara lain, khususnya negara yang lebih mapan secara ekonomi. Akan tetapi
menurutnya, akan ada kecenderungan permasalahan yang paradoksal di sini,
yaitu pertama, walaupun dengan tujuan membantu, Lahiri masih percaya
bahwa bantuan luar negeri masih merupakan instrumen perwujudan
kepentingan nasional, entah politik keamanan atau pun politik perekonomian;
kedua, pemberian bantuan luar negeri cenderung diberikan dalam bentuk
pinjaman yang berdampak pada utang luar negeri; ketiga, efektivitas bantuan
luar negeri yang masih banyak terjadinya kegagalan.48 Bantuan luar negeri
pun dikatakan berjalan seiringan dengan keberadaan perang. Perang
mengakibatkan juga terdapat banyak bantuan luar negeri, baik bantuan militer
maupun bantuan sosial. Bantuan luar negeri juga menjadi obyek korupsi dari
banyak pihak di negara berkembang, yang mana kemudian menciptakan bad
governance dalam tata kelola pemerintahan.49

47
Ibid.
48
Sajal Lahiri (ed.), Theory and Practice of Foreign Aid, (Amsterdam: Elsevier, 2007), hlm. xxv.
49
Lahiri, Op.cit., hlm. 17.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
29

Carol Lancaster, seorang pengamat Hubungan Internasional


mengatakan bahwa, politik luar negeri Amerika Serikat dewasa ini sangat
identik dengan propaganda seperti yang diungkapkan oleh Morgenthau.
Sebagai bentuk afirmasi terhadap konsep realis Hans Morgenthau, Lancaster
mengatakan bahwa, bagi AS, bantuan luar negeri merupakan instrumen yang
sangat efektif dalam transaksi politiknya untuk mencapai apa yang menjadi
kepentingan nasional AS itu sendiri. Di sini ia melihat bahwa bantuan luar
negeri bagi AS merupakan media diplomasi, pembangunan, dan perwujudan
politik domestik dalam negeri AS. Dengan propaganda demokratisasi dan tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance), AS berupaya menyebarkan
pengaruhnya ke dunia internasional, khususnya kepada negara-negara dunia
ketiga.50

Namun, menurutnya juga, konsep terkait bantuan luar negri dapat


dipahami dengan sangat berbeda melalui berbagai pendekatan hubungan
internasional yang memiliki perpektif yang berbeda-beda pula dalam melihat
suatu permasalahan. Selain itu, bantuan luar negeri mempunyai pengaruh
besar terhadap pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) dan juga
merupakan sebuah instrumen diplomasi dan cara yang memfasilitasi
kerjasama antarnegara untuk mendukung adanya pemerintahan global.51

Pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Frederick Pearson dan


Simon Payaslian. Dengan menggunakan perpektif aliran idealis, menurut
mereka negara yang lebih kaya memiliki tanggung jawab moral untuk
mempererat kerjasama Utara-Selatan yang lebih besar dan merespon
kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial di Selatan. Di sini secara
eksplisit terdapat klasifikasi yang mereka buat tentang teori bantuan luar negri,
yaitu perspektif moralis/idealis. Bantuan luar negeri secara esensial
merupakan gerakan kemanusiaan yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan
internasional. Kaum moralis meyakini bahwa, pemberian bantuan luar negeri
selalu mempunyai intensi moral yang berangkat dari keprihatinan akan kondisi
sosial dan perekonomian buruk yang dialami suatu negara. Bantuan luar
50
Carol Lancaster, Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics, (London: Chicago
Press, 2007), hlm. 62-64.
51
Alan H. Yang, dan T. Y. Chen. The Politics of Foreign Aid: A Positive Contribution to Asian
Economic Growth, Global and Strategies, Juli-Desember, Vol. 6, No.2, 2012, hlm. 231-245.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
30

negeri dalam hal ini menjadi pendorong dan pendukung terciptanya


pembangunan yang lebih egaliter. Menurut Pearson dan Payasillan, bantuan
luar negeri membentuk relasi yang saling menguntungkan (mutual supportive)
dan hubungan menguntungkan sejalan dengan pembangunan ekonomi dan
Hak Asasi Manusia, hukum dan ketertiban internasional. Di sini bantuan luar
negeri lebih dilihat secara positif sebagai instrumen yang menjadi kekuatan
dalam mewujudkan relasi antarnegara yang lebih baik demi tercapainya
kebaikan negara yang menerima bantuan luar negeri tersebut (negara
resipien).52

Edward S. Manson juga mengemukakan pandangan yang lebih netral


tentang bantuan luar negri. Menurutnya, program bantuan luar negri
merupakan titik temu antara kepentingan nasional masing-masing pihak, baik
negara pendonor maupun negara penerima bantuan. Karena, walaupun dalam
pemberian bantuan luar negri disertai kepentingan nasional yang negara
pendonor, namun bantuan tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan
negara penerima bantuan. Jadi, di sini masih terdapat kepentingan nasional
sebagai spirit pemberian bantuan luar negeri, tetapi bukan hanya dari pihak
negara donor sebagai pemberi bantuan, tetapi juga kepentingan nasional dari
negara resipien sebagai penerima bantuan luar negeri tersebut.53

Dari berbagai konsep dan teori tentang bantuan luar negri seperti yang
diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa, ide tentang kepentingan nasional selalu
hadir dalam setiap pemberian bantuan luar negri, apapun bentuknya.
Kepentingan yang dibawa itu pun akan sangat berpengaruh dalam menentukan
keberhasilan dan kegagalan suatu program dalam bantuan luar negri.
Mengutip Gordon Crawford, program bantuan luar negri selalu erat kaitannya
dengan adanya kerja sama antarnegara (partnership). Konsep tentang
partnership ini telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan, dari isu
militer (bantuan militer) ke isu kemanusiaan. Bantuan luar negri tidak pernah
terlepas dari kepentingan nasional. Ia bisa menjadi berkat namun juga bisa
menjadi bencana. Namun, hal yang penting dalam setiap program pemberian
52
Frederich Pearson dan Simon Payaslian, International Political Economy (Boston: McGraw-
Hill Higher Education, 1999), hlm. 380-381.
53
Edward S. Manson, Foreign Aid and Foreign Policy (New York: Council of Foreign Policy,
1964), hlm. 3-5.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
31

bantuan luar negri menurutnya yaitu pemberdayaan masyarakat lokal. Hal ini
harus menjadi elemen krusial dalam setiap program bantuan luar negri yang
dijalankan.54

Karena bantuan luar negeri cenderung dipahami dalam kaitannya


dengan kepentingan nasional dari negara donor, maka efektivitas dari bantuan
luar negeri pun sering dipertanyakan. Bahkan, kepentingan nasional ini bisa
menjadi alasan kegagalan suatu program yang diimplementasikan dalam suaru
rancangan bantuan luar negeri terhadap suatu permasalahan di negara tujuan
bantuan tersebut diberikan.55

Pendapat dari Miroslav Prokopijevic dalam Why Foreign Aid Fails,


dikatakan bahwa kegagalan bantuan luar negeri disebabkan oleh problem
structure dalam insentif yang diberikan pada setiap program yang dijalankan
dalam partnership melalui kerja sama luar negeri. Dalam konsepnya tentang
kegagalan bantuan luar negeri, ia melihatnya dari perspektif keuntungan
ekonomi yang menjadi pertimbangan dari negara pemberi bantuan luar negeri.
Bantuan luar negeri menjadi tidak efektif bahkan kontraproduktif karena
membebani negara resipien dengan utang luar negeri. Bantuan luar negeri
cenderung melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini pelaku ekonomi non-
pemerintah yang juga mengambil keuntungan ekonomi dari program-program
yang dijalankan. Realitas ini bahkan menciptakan perilaku bad governance
seperti korupsi, kolusi, dan lain-lain. Selain itu, perencanaan di tingkat lokal
pun menjadi tidak serius, karena semangat idealisme terkait bantuan luar
negeri terkontaminasi kalkulasi untung-rugi.56 Terkait perencanaan program
ini juga dikemukakan oleh David H. Bearce dan Daniel C. Tirone dalam
Foreign Aid Effectiveness and The Strategic Goals of Donor Goverments,
yang mengatakan bahwa bantuan luar negeri menjadi gagal karena
perencanaan antara negara/lembaga pemberi donor/bantuan dengan

54
Gordon Crawford, Partnership or Power? Deconstructing the ‘Partnership for Governance
Reform’ in Indonesia, Third World Quarterly, Vol. 24, No.1, hlm. 139-142.
55
Carol Lancaster, Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics, Loc. Cit.
56
Miroslav Prokopijevic, Why Foreign Aid Fails, Panoeconomicus, No. 1, Th. 2007, hlm. 29-51.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
32

pemerintah lokal cenderung tidak sinkron. Bantuan luar negeri pun tidak
dijalankan secara konsisten.57

Bantuan luar negeri pun telah menjadi candu bagi pemerintah dan
masyarakat di negara resipien. Hal ini diungkapkan oleh James Bovard dalam
The Continuing Failure of Foreign Aid. Berangkat dari program-program
bantuan luar negeri AS di sejumlah negara, termasuk Indonesia, ia
mengatakan bahwa AS cenderung melakukan kesalahan yang sama. AS tidak
mampu beradaptasi dengan situasi dan konteks politik dan sosial daerah tujuan
pemberian bantuan luar negeri. Ia mengatakan,

“American foreign aid policy makers seem to have learned nothing


and forgotten nothing. US foreign aid projects routinely repeat the
same mistakes today that were commited decades ago”.58
Hal ini menunjukkan ketidakseriusan dalam program bantuan luar negeri yang
dijalankan. Ketidakseriusan ini bisa dipengaruhi banyak hal, yang bermuara
pada pencapaian kepentingan nasional sebagai tujuan utama.

2.2 Good Governance

Governance secara gramatikal diterjemahkan sebagai tata


pemerintahan. Pemahaman terkait term “tata pemerintahan” bukan sekedar
dalam pengertian struktur dan manajemen lembaga eksekutif. Hal itu
dikarenakan pemerintah yang dalam hal ini sebagai eksekutif hanyalah salah
satu dari tiga elemen krusial yang menjadi fondasi dari suatu instrumen tata
pemerintahan yang disebut governance. Dua elemen penting lain
adalah swasta (private sector) dan masyarakat (civil society). Untuk itu,
pemahaman terkait term governance yaitu tentang bagaimana sinergi peran
antara pemerintah (birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam sebuah
acuan kerja (framework) yang menjadi konsensus bersama. Di sini tanggung
jawab peran dari masing-masing elemen sangat dituntut. Pemerintah dituntut
agar mampu menciptakan situasi yang kondusif dalam aspek-aspek ekonomi,

57
David H. Bearce dan Daniel C. Tirone, Foreign Aid Effectiveness and The Strategic Goals of
Donor Goverments, The Journal Politics, Vol. 72, No. 3, Juli 2010, hlm. 837.
58
James Bovard, The Continuing Failure of Foreign Aid, Cato Institute Policy Analysis, No. 65,
January 31, 1986, hlm. 2.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
33

politik, sosial budaya, hukum dan keamanan. Pihak swasta harus memiliki
peran aktif dalam upaya menumbuhkan kegiatan perekonomian yang
kemudian diharapkan akan mampu membuka banyak kesempatan lapangan
kerja dan meningkatkan pendapatan, dan civil society harus mampu
menjalankan fungsi kontrol terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan pihak
pemerintahan dan swassta, selain itu juga harus mampu berinteraksi secara
aktif dengan berbagai macam aktivitas perekonomian, sosial dan politik.59

Kemudian, berdasarkan pengartian terhadap term governance di atas,


penempatan kata sifat good dalam governance secara sederhana dapat
dipahami sebagai suatu konsep dan model tata pemerintahan yang baik atau
positif. Unsur baik atau positif itu adalah saat adanya pemanfaatan sumber
daya secara maksimal dari potensi yang dimiliki dari masing-masing elemen
governance (pemerintah, swasta, civil society) atas dasar kesadaran dan
kesepakatan bersama terhadap visi yang ingin dicapai.60

Diagram 2
Karekteristik Good Governance Menurut UNESCAP61

Governance dikatakan memiliki sifat-sifat yang good, apabila


memiliki ciri-ciri atau indikator tertentu. Menurut UNDP (United Nation
Development Programme) good governance memiliki beberapa indikator
yaitu, partisipasi masyarakat, transparansi, akuntabilitas, efektifitas,
egalitas/kesetaraan, mengedepankan penegakkan hukum, memastikan bahwa

59
United Nations, What Is Good Governance, UN Economic and Social Comission for Asia and
The Pacific, hlm. 1-3.
60
Ibid.
61
Ibid., hlm. 3.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
34

prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus dalam


masyarakat, serta menjamin civil society untuk mengutarakan pendapatnya
terkait pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan.62 Sedangkan menurut IMF,
prinsip yang dikedepankan good governance mencakup pada tiga hal63, yaitu:

1. Pengelolaan sumber daya yang berdasarkan kepastian hukum


2. Menekankan pada efisiensi, akuntabilitas
3. Pemberantasan korupsi.

Good governance sangat berhubungan erat dengan demokrasi. Salah


satu nilai ideal yang ada dalam ideologi demokrasi adalah good governance.
Hal ini di antaranya diungkapkan oleh Lawrence Whitehead dalam
Democratization: Theory and Process Experience. Lawrence Whitehead
mengatakan bahwa good governance adalah sebuah hasil konstruksi dalam
demokratisasi. Ia menulis,

“Good governance itself is to be viewed as both a contextually variable


and a ‘deontological’ concept, then democratization cannot be defined
by some fixed and timeless objective criterion.”64
Hal ini berarti bahwa dalam konsep good governance terdapat kombinasi
antara nilai dan norma deontologis dan realitas sosial yang terjadi. Selain itu,
good governance juga harus dipahami bahwa ia dinilai baik atau diaplikasikan
sebagai sebuah sistem bukan karena sebuah keharusan namun melalui sebuah
kesadaran akan esensi nilai dalam demokrasi itu sendiri. Dengan pemahaman
good governance yang demikian, maka proses demokratisasi menjadi sebuah
jalan yang harus dilalui. Dalam demokratisasi, internalisasi nilai good
governance itu terjadi.65

Sejalan dengan ide yang diungkapkan oleh Lawrence Whitehead di


atas, Larry Diamond pun menguraikan hal yang serupa, yaitu keterkaitan
antara paham demokrasi dengan ideal good governance dalam tata kelola

62
Merilee S. Grindle. Good Enough Governance Revisited, Development Policy Review Vol. 25
(5) (2007), hal 556.
63
Ibid.
64
Lawrence Whitehead, Democratization: Theory and Process Experience (New York: Oxford.
2002), hlm. 3
65
Ibid., hlm. 6-8

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
35

pemerintahan. Ia mengatakan bahwa, sistem demokrasi yang berjalan haruslah


mampu menyerap prinsip-prinsip good governance. Demokrasi merupakan
sistem yang melindungi individu dan kelompok, juga menawarkan
akuntabilitas, dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Demokrasi adalah ideologi yang menginspirasi dan good governance adalah
implementasi dari ideologi tersebut dalam sebuah tata kelola pemerintahan
berbasis keinginan akan perbaikan dan pembentukan sistem manajemen
pemerintahan yang baik.66

Good governance menjadi konsep unggulan untuk membedakannya


dengan bad governance yang dinilai menjadi masalah pokok pada manajemen
pemerintahan di negara-negara dunia ketiga. Untuk itu, World Bank dengan
berangkat dari pengalaman pengelolaan bantuan untuk sejumlah wilayah di
Afrika pada era 1960-an mengedepankan konsep ini sebagai suatu sistem yang
ideal dalam mengelola dan memanajemen sebuah pemerintahan. Pada awalnya
konsep good governance oleh World Bank dinamakan manajemen
kelembagaan (institution building). Namun kemudian, memasuki era 1990-an
konsep tersebut bertransformasi menjadi governance untuk pembangunan
(institutional capacity building). Di mana, dalam governance (sistem tata
kelola) tersebut terdapat sejumlah nilai dan aturan ideal dalam menjamin
terbentuknya suatu pemerintahan yang baik. Elemen-elemen yang menjadi
nilai krusial dalam konsep good governance tersebut harus menjadi aturan
yang hidup dalam birokrasi dan pemerintahan, seperti anti-korupsi,
transparansi, akuntabilitas, dan lain-lain. Good governance oleh World Bank
didefiniskan sebagai berikut: “The governance that include some or all of the
following features: an efficient public service; an independent judicial system
and legal framework to enforce contracts; the accountable administration of
public funds; an independent public auditor, responsible to a representative
legislature; respect for the law and human rights at all levels of government; a
pluralistic instituinal structure, and a free press.67 Dalam definisi tersebut
dapat dilihat kandungan nilai dalam konsep good governance yang

66
Larry Diamond, Defining and Developing Democracy dalam R. Dahl, I. Shapiro, & J. A.
Cheibub (Penyunting), The Democracy Sourcebook (Cambridge: MIT Press, 2003), hlm 29.
67
World Bank, Sub Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth (Washington: The
World Bank, 1989), hlm. 6.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
36

diperjuangkan oleh World Bank. Pengartian konsep good governance tersebut


menunjukkan pemahaman dan orientasi dari World Bank terkait good
governance sebagai sebuah frame work, dan juga acuan untuk penciptaan
pembangunan suatu negara. Dalam publikasi-publikasi dokumen dan laporan
World Bank selanjutnya, diberikan esensi nilai dari konsep good governance
yaitu ekualitas dari manajemen pembangunan yang baik.68

Dalam World Development Report 2002, World Bank menguraikan


empat elemen pemerintahan yang efektif69, yaitu:

1. Pembentukan, proteksi dan penegakan hukum terhadap rezim


property rights yang menjadi komponen pendukung utama terjadinya
transaksi pasar yang efisien,

2. Adanya rezim pengaturan (regulatory regime) yang bekerja dengan


pasar guna meningkatkan persaingan,

3. Adanya kebijakan ekonomi makro yang menunjang keberadaan


pasar yang fungsional,

4. Minimnya tingkat korupsi yang dapat menghalangi tercapainya


tujuan dari suatu kebijakan, di samping menurunkan legitimasi institusi
publik yang mendukung bekerjanya pasar. Lebih lanjut, World Bank
mengungkapkan bahwa hal yang ditekankan dalam konsep ini yaitu
aspek administratif dan manajerial, serta penekanan pada reformasi
kelembagaan, supremasi hukum serta pemberian insentif dan
disinsentif untuk mengontrol dan mengoreksi perilaku koruptif.70

Program-program yang mengusung nilai-nilai dalam konsep good


governance telah diimplementasikan di banyak negara di dunia. Berjalan
bersama konsep demokrasi, konsep good governance telah menjadi sebuah
rancangan ideal dalam proses healing terhadap permasalahan bad governance
di berbagai negara. Selain sejalan dengan ideologi demokrasi, good
governance juga menjadi ideal yang diikutsertakan dalam kebijakan

68
World Bank, Governance and Development (Washington: World Bank, 1992), hlm. 1.
69
World Bank, Building Institution for Market, World Development Report 2002 (New York,
Oxford University Press, 2002), hlm. 99.
70
Ibid.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
37

desentralisasi yang dikeluarkan suatu pemerintah. Bahkan, good governance


dilihat sebagai dampak positif dari pemberlakuan desentralisasi
pemerintahan.71

Lalu terkait hubungan antara bantuan luar negeri dan program-program


berbasis demokrasi dan good governance, David Booth dari Overseas
Development Institute menguraikan kegagalan bantuan luar negeri terhadap
good governance sebagai berikut. Dalam tulisannya yang terdapat dalam
sebuah laporan penelitian yang diterbitkan UN berjudul Is Good Governance
Good for Development?, David Booth mengemukakan lima mitos terkait
konsep good governance. Pertama, terkait pandangan yang melihat good
governance penting bagi pemerintah. Ia mengatakan bahwa transparansi,
akuntabilitas, kemampuan masyarakat untuk mengambil bagian dalam
pembuatan keputusan/kebijakan, ketiadaan korupsi, kebebasan berusaha,
jaminan atas kepemilikan pribadi dan Hak Asasi Manusia, tidak menjadi
jaminan keberhasilan sebuah pemerintahan. Menurutnya, perkembangan
perekonomian merupakan syarat keberhasilan sebuah pemerintahan, dan hal
ini telah dibuktikan oleh Inggris pada abad ketujuh belas dan apa yang dewasa
ini terjadi pada China dan Vietnam. Kedua, good governance merupakan
entry-point dalam reformasi tata pemerintahan secara lebih cepat. Menurut
Booth, reformasi atau perubahan secara cepat terkait suatu model tata kelola
pemerintahan, meskipun sesuatu yang baik tidak begitu efektif dan menjadi
jaminan terwujudnya suatu pemerintahan yang baik. Melalui bantuan luar
negri dan konsep-konsep asing tentang good governance, hanya akan lebih
pada permukaan dan polesan. Menurutnya, untuk mencapai sebuah tata kelola
pemerintahan yang baik harus melalui sebuah proses yang lama dan
mendalam. Upaya perubahan yang cepat melalui bantuan dan program luar
negri bahkan bisa menimbulkan disorientasi dalam pemerintahan, karena
adanya kesalahpahaman tentang konteks dan substansi permasalahan di daerah
yang menjadi tujuan program dijalankan. Ketiga, tingkat transparansi,
akuntabilitas, partisipasi dan kompetisi yang tinggi menentukan pembangunan
ekonomi. Menurutnya, aspek-aspek tersebut tidak menjamin. Karena,

71
Edwyn Benedict Jr, Toward Democratic Decentralization:Approaches to Promoting Good
Governance, Journal of Postmodernism Democracy, Vol. 38, No. 2, 2009, hlm. 28.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
38

kecenderungan yang terjadi khususnya di negara sedang berkembang,


fluktuasi kepemerintahan sangat mudah terjadi, dan arah kebijakan
perekonomian cukup kuat dipengaruhi oleh partai yang sedang berkuasa.
Keempat, berakhirnya perang dingin mempengaruhi pola pergerakan sosio-
politis dan pemerintahan. Negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand
sangat mendapat pengaruh kuat persaingan era perang dingin antar kedua blok
yang bertikai pada masa itu. Contohnya di Indonesia, pola pemahaman yang
melihat bahwa dengan mayoritas masyarakat yang adalah petani bisa menjadi
tulang punggung pembangunan Negara dan menjadi kekuatan untuk
menggulingkan pemerintahan ternyata salah. Kelima, yang pertama harus
dilakukan untuk konteks daerah tertentu, seperti Afrika bukan pemecahan
masalah melainkan adaptasi terhadap masalah.72

2.3 Bantuan-Bantuan Luar Negeri Untuk Demokratisasi dan


Pengembangan Good Governance di Papua

Terkait upaya demokratisasi dan pengembangan good governance di


Indonesia, khususnya di Papua, selain USAID terdapat sejumlah pihak, baik
Negara, organisasi internasional, lembaga donor, dll., yang menaruh perhatian
terhadap permasalahan yang sama (tata kelola pemerintahan yang baik,
demokrasi, penghargaaan atas Hak Asasi Manusia, penegakkan hukum,
lingkungan hidup dan pengembangan ekonomi pasar) dan memberikan
sejumlah bantuan sebagai bentuk dari keprihatinan tersebut. Bantuan tersebut
diberikan melalui sejumlah kegiatan, seperti pelatihan dalam rangka
pengembangan kemampuan para aktor birokrasi seperti pejabat pemerintah
(termasuk pemimpin daerah), politisi (anggota parlemen) dan masyarakat sipil.

72
Diakses dari http: //blogs.worldbank.org/publicsphere/blog-post-month-five-myths-about-
governance-and-development?cid=EXT_FBWB_D_EXT, pada tanggal 2 April 2015.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
39

2.3.1 Negara-Negara Pemberi Bantuan Luar Negeri untuk Papua

Selain Amerika Serikat melalui USAID, perhatian terhadap Papua juga


diberikan oleh sejumlah Negara, dengan berbagai bentuk, tujuan, program dan
caranya masing-masing dalam memberikan bantuan73.

1. Belanda

Pemerintah Belanda melalui Dutch Ministry for International


Coorporation and Development melakukan kerja sama berbasis
pembangunan dengan Indonesia, khususnya di Papua. Dana sebesar 75
juta US Dollar diberikan melalui kerja sama dengan Pemerintah Indonesia,
dan sejumlah 60 juta US Dollar diberikan melalui kerja sama dengan
badan-badan PBB dalam membantu pembangunan di Papua. Belanda
sendiri sangat hati-hati dalam memberikan bantuan untuk Indonesia,
mengingat catatan sejarah yang kurang bagus antara pihak Belanda-
Indonesia terkait permasalahan Papua. Belanda menghindari opini yang
menyudutkan pemerintah Belanda dalam isu separatis di Papua.

2. Kanada

Kanada melalui Badan Pembangunan Internasionalnya, yaitu Canadian


International Development Agency (CIDA), memberikan bantuan dengan
fokus pada isu keadilan sosial dan pembenahan tata kelola pemerintahan
menuju good governance di Papua. Dana yang dikeluarkan oleh pihak
Kanada yaitu sebesar 43 juta US Dollar.

3. Jerman

Pemerintah Jerman memberikan bantuan dengan fokus kepada


permasalahan reformasi ekonomi dan politik dan desentralisasi di Papua.
Jerman sendiri dikenal sebagai negara yang sangat mengedepankan
ideologi demokrasi dan mengedepankan good governance. Sehingga,
bantuan yang diberikan berhubungan dengan isu demokratisasi di
Indonesia khususnya Papua. Bantuan diberikan melalui Bank untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan Jerman (KfW) dan Badan untuk bantuan

73
Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi Papua, hlm. 24-25.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
40

teknis, yaitu German Agency for Technical Cooperation (GTZ), dengan


nilai bantuan sejumlah 30,5 juta US Dollar.

4. Inggris

Negara Inggris melalui United Kingdom’s Department for International


Development (DFID) bekerja sama dengan Asia Development Bank (ADB)
memberikan bantuan terkait pembangunan sosial. Fokus dari bantuan ini
yaitu pengentasan kemiskinan di Papua.

5. Selandia Baru

Selandia Baru merupakan salah satu Negara dalam organisasi Negara-


Negara Melanesia. Selandia Baru memberikan bantuan terkait
penyelesaian permasalahan HAM di Papua.

2.3.2 Bantuan Melalui Organisasi Internasional

Pemerintah Indonesia pada dasarnya menolak intervensi asing terhadap


polemik politik di Papua. Hal ini dikarenakan isu politik di Papua masih
menjadi sesuatu yang sensitif. Namun, organisasi internasional seperti PBB
tetap berupaya mengambil bagian terkait permasalahan sosial di Papua.
Dengan alasan misi kemanusiaan, PBB melalui sejumlah organisasinya
memberikan bantuan di Papua. Beberapa bantuan tersebut, seperti UNDAF
(United Nations Development Assistance Framework) memberikan pelatihan
terkait strategi pembangunan dengan meminimalisasi peluang konflik
(preventive development). Perhatian terhadap sejumlah permasalahan sosial
juga diberikan melalui organisasi seperti UNDP (United Nations Development
Programme) yang bekerja sama dengan World Bank dan ADB terkait upaya
memajukan good governance di Papua, UNICEF (United Nations Children’s
Fund) terkait permasalahan sosial yang menimpa anak-anak di Papua, WHO
(World Health Organizations) tekait permasalahan kesehatan, khususnya
dalam upaya mengatasi dan mengurangi jumlah penderita HIV/AIDS, UNFPA
(United Nations Population Fund) terkait permasalahan penyebaran penduduk
(populasi) yang tidak merata, UNIFEM (United Nations Development Fund

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
41

for Women) terkait permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum


perempuan Papua, dan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization) terkait permasalahan pendidikan yang buruk di
Papua74.

2.3.3 Bantuan Melalui NGO Kemanusiaan

Sejumlah NGO Internasional pun berperan aktif dalam memberikan


bantuannya di Papua. Beberapa di antaranya yang berbasis agama seperti
Komisi Migrasi Katolik Internasional (International Catholic Migration
Comission), Pelayanan Masyarakat Katolik (Catholic Relief Fund). Selain itu
terdapat juga beberapa NGO seperti World Vision Australia, Komisi Palang
Merah Internasional (International Committee of the Red Cross), Pusat
Sumber Daya Papua (sebuah NGO yang berbasis di Amerika Serikat).
Sejumlah NGO ini memberikan bantuan kemanusiaan, demokratisasi, Hak
Asasi Manusia, dan lain-lain. Kegiatan yang dilakukan berupa pelatihan dan
pendampingan langsung kepada masyarakat Papua.75

2.4 Program DDG di Papua 2004-2008

2.4.1 USAID di Indonesia

Kehadiran dan keberadaan Amerika Serikat sebagai ‘pemenang’ dan


kekuatan dominan dalam konstelasi politik dunia internasional pasca
berakhirnya era Perang Dingin, serentak menjadikannya sebagai salah satu
kiblat dunia internasional, dalam banyak aspek, khususnya perekonomian dan
militer. Walaupun dalam perkembangan selanjutnya muncul kekuatan-
kekuatan baru seperti Cina, Rusia, dan lain-lain, tetapi AS sendiri telah
menjadi sebuah kekuatan laten yang dampak dominasinya masih terasa kuat
hingga era sekarang ini.

74
Blair, Dennis dan Philips, David. 2006. Komisi untuk Indonesia: Perdamaian dan kemajuan
di Papua, Council of Foreign Relations, hlm. 27.
75
Ibid., hlm. 32.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
42

Selain itu, ekses lain dari berakhirnya era Perang Dingin yaitu
peralihan isu-isu tradisional politik internasional seperti perang, ke isu-isu
kemanusiaan. Di sini AS pun hadir berusaha menawarkan pengaruhnya.76

Untuk memantapkan pengaruh dominannya dalam konstelasi dunia


internasional, AS kemudian menekankan politik luar negri sebagai salah satu
prioritasnya. Salah satu strateginya yaitu melalui pemberian bantuan luar
negri. Dengannya AS bisa menyebarkan pengaruh demokratisasi melalui
beragam program, khususnya program yang khusus bertemakan demokrasi
dan good governance. Lembaga bantuan luar negri AS yaitu Usaid.

United States Agency for International Development (USAID) adalah


sebuah lembaga pemerintah Amerika Serikat yang bersifat independen.
Lembaga ini diresmikan oleh Presiden John F.Kennedy sebagai bagian dari
Undang-Undang tentang Bantuan Luar Negeri tahun 1961. Misinya adalah
mengelola bantuan kemanusiaan dan ekonomi bagi negara-negara asing.
Lembaga ini memberikan bantuan kemanusiaan berupa bahan makanan dan
barang-barang lain, termasuk bantuan bagi korban bencana alam. Lembaga ini
juga memberikan bantuan untuk program pemeliharaan kesehatan, seperti
vaksinasi, imunisasi, perlindungan dari AIDS, gizi untuk ibu dan anak, dan
pelayanan program Keluarga Berencana. USAID juga mempromosikan
pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan kemampuan dan sumber daya
yang ada di tingkat lokal. USAID mendukung pembangunan yang
berwawasan lingkungan, dan mencegah timbulnya berbagai masalah sebagai
akibat dari polusi udara, penebangan hutan, pemanasan global, polusi air
tanah, dan pembuangan limbah ke laut. Saat ini, USAID juga memperluas
bidang kerjanya dengan membiayai sejumlah program untuk mendukung
pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil dan pengembangan kehidupan
demokrasi. Wilayah kerja USAID mencakup negara-negara di Afrika, Asia,
Eropa Timur dan Eropa Tengah, Amerika Latin dan Karibia, Timur Tengah,
dan negara-negara yang pernah bergabung dengan Uni Soviet. Lembaga ini

76
Interim Report, Revitalisasi Proses Pembuatan Kebijakan LN Indonesia Menghadapi
Perkembangan Eksternal dan Internal, Laporan Penelitian, Deplu RI, 2002, hlm. 28.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
43

bekerjasama dengan individu-individu, pemerintah dan organisasi lain dalam


membantu pembangunan di sejumlah bidang.77

Di Indonesia, USAID memberi dukungan untuk berbagai program


yang sesuai dengan misi dan tujuan lembaga ini, yaitu upaya perbaikan di
bidang ekonomi dan transisi menuju demokrasi. Dalam jangka pendek,
program-program USAID diharapkan dapat mengurangi dampak krisis
ekonomi yang yang dialami masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini,
USAID terlibat dalam upaya perbaikan akibat krisis ekonomi dan politik di
Indonesia. Program-program yang dijalankan antara lain adalah program
transisi menuju demokrasi, perbaikan ekonomi dan sistem finansial, perluasan
lapangan kerja, pengelolaan lingkungan hidup serta jaminan pangan untuk
kelompok masyarakat tertentu. Dalam program transisi menuju demokrasi,
USAID antara lain telah membantu dalam bidang pendidikan pemilih serta
penyelenggaraan dan pengawasan pemilihan umum. Di bidang keuangan,
membantu usaha restrukturisasi perbankan, pengembangan perangkat ekonomi
makro yang baru, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam penentuan
kebijakan ekonomi. Di bidang lingkungan hidup, membantu LSM dan
pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya secara berkelanjutan, di
samping usaha pelibatan sektor swasta dalam konservasi alam. Sementara
dalam masalah kesehatan, telah membantu pengadaan makanan tambahan bagi
anak, obat-obatan, pelatihan untuk bidan di desa, serta pendidikan untuk
pencegahan penyakit kelamin.78

Kerja sama USAID dan pemerintah Indonesia telah dimulai sejak


tahun 1950. Indonesia dinilai mempunyai posisi strategis untuk berbagai
kepentingan AS. Pentingnya Indonesia bagi Amerika dengan dikemukakan
dalam pidato Edward Master, Duta Besar Amerika untuk Indonesia, di depan
American Chamber of Commerce pada 27 Januari 1980:

“Indonesia sangat penting dari segi keamanan. Negara ini terletak


secara strategis di antara Australia dan daratan Asia. Indonesia
terbentang di antara jalur-jalur laut yang menggabungkan Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia yang bersahabat, stabil dan

77
Diakses dari http://www.usaid.gov/who-we-are/usaid-history, pada tanggal 20 April 2015.
78
Diakses darihttp://indonesian.jakarta.usembassy.gov/id/about-us/u.s.-agencies/usaid.html,
pada tanggal 20 April 2015

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
44

sehat secara ekonomis, dengan wilayah perairan yang luas menjamin


kondusivitas dan posisi penting ini selalu tetap terbuka untuk kita dan
negara-negara di kawasan Pasifik dan semuanya adalah garis hidup
Eropa dan Timur Tengah.”79

2.4.2 Pelaksanaan Program USAID DDG di Papua 2004-2008

2.4.2.1 Latar Belakang Pemberian Bantuan

Pasca berakhirnya rejim otoritarian di bawah pemerintahan Presiden


Soeharto, Indonesia memasuki era demokrasi. Reformasi berbasis paham
demokrasi pun diimplementasikan di berbagai aspek. Gelombang dan geliat
demokratisasi dicanangkan sebagai sebuah model ideal tata pemerintahan
yang baik. Dan dalam proses demokratisasi di Indonesia, bantuan AS melalui
USAID sangat mempunyai peranan.80

Pada awal masa transisi demokrasi di Indonesia, USAID memberi


bantuan luar negeri dan bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk
menjalankan program penguatan demokratisasi melalui program Support and
Strengthen Democratic Initiatives and Electoral Processes in Indonesia
(SSDIEPI). Hasil dari program bantuan tersebut, pemerintah dan rakyat
Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilu 1999 yang berjalan dengan
lancar dan tertib, sebagai pemilu pertama di masa transisi demokrasi pasca
jatuhnya rejim Orde Baru.

Berangkat dari keberhasilan ini, program kerja sama dengan Usaid


bertemakan demokratisasi tetap dilanjutkan. Karena disadari bahwa,
keberhasilan dalam menjalankan Pemilu tidak menjadi indikator mutlak dan
tunggal terkait berhasilnya proses demokrasi di Indonesia. Demokratisasi itu
tetap harus dikawal, dan untuk itu dijalankan berbagai program kerja sama
lainnya untuk mendukung dan mengembangkan paham dan tatanan berbasis
demokrasi di Indonesia.

79
Diakses dari http://www.usaid.gov/who-we-are/usaid-history, pada tanggal 20 April 2015.
80
USAID, Strategic Plan for Indonesia 2004-2008: Strengthening A Moderate, Stable, And
Productive Indonesia, USAID Report, 2004, hlm. 33.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
45

Perubahan terhadap sistem politik pasca runtuhnya rezim otoriter tidak


selalu sukses menghasilkan negara dengan kekuatan demokrasi yang kuat.
Pada tahapan awal proses transisi dari rejim otoritarian ke sistem demokrasi,
biasanya terjadi shock-system yang ditandai dengan terjadinya konflik dan
perpecahan. Rezim yang baru seringkali menjadi demokrasi terbatas, sehingga
sangat diperlukan pendalaman demokrasi (democracy deepening) sebagai
tahapan selanjutnya.81

Pada masa awal demokratisasi, Indonesia masih cukup mendapat


tantangan seperti praktek korupsi dan konflik-konflik baik yang bersifat
horisontal maupun vertikal. Selain itu juga terdapat sejumlah tantangan
demokrasi lainnya, seperti bad governance, pertikaian SARA, dan lain-lain.
Untuk itu terdapat pula beberapa program bantuan USAID lainnya
seperti Local Governance Support Programme (LGSP), yang juga
menekankan demokratisasi di pemerintahan lokal/daerah sebagai tema utama
yang diperjuangkan. Program ini berjalan dalam berbagai aspek, seperti
perbaikan perekonomian, kemiskinan, birokrasi pemerintahan, dan
lingkungan. Program ini telah menjadi sebuah program tetap dan
berkesinambungan dalam pelaksanaannya di Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari program berbasis demokratisasi di


Indonesia, USAID juga menjalankan program bantuan DDG yang
dilaksanakan mulai tahun 2004-2008. Pelaksanaan program ini termuat dalam
USAID Grant Agreement No. 479‐0020. USAID menyediakan dana sejumlah
176 juta US Dollar untuk pelaksanaan program ini. Program Democracy and
Decentralized Governance (DDG) merupakan bagian dari program LGSP
USAID. Program ini dijalankan di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk
Papua. Papua menjadi salah satu fokus USAID dalam program bantuannya
karena daerah ini masih bermasalah dalam banyak aspek, khususnya terkait
tata kelola pemerintahan. Permasalahan bad governance menjadi salah satu
masalah krusial di Papua yang juga menjadi salah satu faktor yang sangat
berpengaruh terhadap kondisi Papua yang masih tertinggal dalam berbagai
aspek sosial, seperti perekonomian, kemiskinan, korupsi, konflik sosial, dll.

81
Jack Snyder, From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict, (Norton,
2000), hlm. 173.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
46

Papua sendiri selalu menempati posisi yang buruk dalam indeks tata kelola
pemerintahan di Indonesia.82

2.4.2.2 Sasaran yang Ingin Dicapai

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian latar belakang


pemberian bantuan, USAID mempunyai komitmen untuk membantu
demokratisasi di Indonesia. Khususnya melalui program DDG, fokus yang
ingin dicapai yaitu demokrasi dalam lingkup lokal.

Dalam program kerjanya, USAID melalui DDG berupaya untuk


membantu memberikan landasan yang kuat terhadap tata kelola pemerintahan
yang efektif dengan mendukung institusi-institusi pemerintahan yang
mengelola kepentingan dan kebaikan publik secara transparan, demokratis dan
akuntabel. Ketiga elemen ini merupakan pilar-pilar yang menopang
terbentuknya suatu tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Suatu tantangan yang disadari oleh pihak USAID, khususnya untuk konteks
Papua yaitu menghimpun dan menyediakan mekanisme yang sesuai terkait
partisipasi publik dalam membangun sinergi dengan pemerintah. Korelasi
timbal balik antara institusi dan civil society merupakan hal penting dalam
mendukung terciptanya good governance dalam sebuah pemerintahan.83

Terkait demokratisasi, USAID dalam program DDG ini telah menjadi


leading donor yang hendak membantu Indonesia menerapkan demokrasi yang
ideal baik dalam skala nasional maupun lokal. Untuk konteks nasional,
melalui program DDG USAID bergerak melalui kebijakan-kebijakan politis
yang mengarah pada penguatan elemen dan unsur demokratis. Untuk konteks
lokal, USAID melalui program DDG berupaya untuk memperkuat bangunan
demokratis (capacity building) melalui elemen-elemen pemerintahan dan non-
pemerintah. Karena USAID sendiri menyadari bahwa demokrasi yang kuat
harus dibangun dari bawah, dalam hal ini elemen lokal (local governance).84
Untuk itu USAID juga akan bekerja sama dengan berbagai elemen, termasuk
82
USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008, Op. Cit., hlm. 33-34.
83
Ibid.
84
Ibid., hlm. 34.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
47

lembaga donor yang concern dengan permasalahan demokrasi dan good


governance dalam mewujudkan tata pemerintahan yang ideal sesuai dengan
kaidah dan nilai demokrasi.85

Untuk mewujudkan tujuannya target utama USAID yaitu pemerintah


lokal. Dalam hal ini USAID akan memfokuskan perhatiannya pada institusi-
institusi pemerintah yang berhubungan dengan kepentingan mendasar
masyarakat yaitu pada bidang kesehatan, pendidikan dan lingkungan. Bantuan
yang diberikan akan diarahkan pada institusi tersebut sehingga adanya peran
dan tanggung jawab yang penuh terhadap kepentingan masyarakat. Target
ideal dari bantuan ini baik untuk konteks nasional dan lokal yaitu penegakkan
Hak Asasi Manusia, peran signifikan dari elemen lokal terkait pembentukan
kebijakan yang lebih berpihak kepada kepentingan orang banyak, proses
pemilu/pilkada yang demokratis dalam konteks lokal, manajerial tata kelola
keungan yang baik dalam konteks lokal, kemampuan pengelolaan pendapatan
daerah yang baik, pencapaian tata kelola keadilan yang baik, menjunjung
tinggi pluralisme dan meminimalisasi konflik baik yang bersifat horisontal
maupun vertikal.86

Secara umum, sasaran tersebut dikategorikan dalam tiga bagian, yaitu


Mengembangkan Partisipasi, Efektivitas dan Akuntabilitas dari Pemerintah
Lokal, Manajemen Konflik dan Mengembangkan Pemahaman akan
Pluralisme, dan Mengkonsolidasikan Agenda-Agenda Perubahan.

85
Ibid.
86
Ibid.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
48

Diagram 3
Sasaran Umum Program DDG

Program Democracy and


Decentralized Governance

Consolidating Expanding
Addressing
the reform participatory, effective,
conflict and
agenda and accountable local
encouraging
governance
pluralism

2.4.2.2.1 Mengembangkan Partisipasi, Efektivitas dan Akuntabilitas dari


Pemerintah Lokal

Desentralisasi menandai pergeseran radikal dari model sentralisasi tata


kelola pemerintahan era rejim Soeharto yang ditandai dengan hubungan
kekuasaan yang tidak seimbang dan tergantung antara pemerintah pusat dan
daerah, pengambilan keputusan jarak jauh, dan perumusan kebijakan yang
serba sama, sehingga seringkali tidak sensitif terhadap keberagaman
Indonesia. Kemudian semangat reformasi menjadi pintu gerbang bagi setiap
orang maupun daerah untuk menyuarakan keadilan ekonomi, politik, sosial
budaya, dan pelayanan. Pendekatan pembangunan yang sentralistik selama
Orde Baru telah banyak menimbulkan kesenjangan yang menimbulkan rasa
ketidakadilan. Kesenjangan tersebut antara lain kesenjangan pendapatan
antardaerah yang besar, kesenjangan investasi antardaerah, pendapatan daerah
yang dikuasai pemerintah pusat, kesenjangan regional, dan kebijakan investasi
yang terpusat. Untuk mengatasi hal tersebut, maka otonomi daerah merupakan
salah satu alternatif untuk memberdayakan setiap daerah dalam memanfaatkan
sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kesejahteraan rakyatnya.
Akibatnya, ada begitu banyak gejolak sosial yang ditandai dengan upaya
memisahkan diri dari sejumlah daerah dari Indonesia.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
49

Melalui desentralisasi pemerintah Indonesia memberikan otonomi


khusus kepada daerah-daerah tertentu yang cenderung berupaya untuk
memisahkan diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang
menjadi masalah kemudian daerah tertentu yang diberikan keistimewaan
dalam hal otonomi khusus ini tidak memanfaatkan secara baik peluang yang
diberikan. Desentralisasi idealnya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang demokratis dan terciptanya good governance tidak berjalan sesuai
harapan. Otonomi khusus malah menjadi obyek eksploitasi baru, di mana
semakin bertumbuhnya praktek bad governance mengingat dana besar yang
diberikan pemerintah. Papua menjadi salah satu wilayah yang diberikan
keistimewaan otonomi khusus ini, akan tetapi praktek tata kelola
pemerintahannya bertolak belakang dengan harapan pemberikan status
keistimewaan tersebut.87

Dalam program DDG, mengembangkan partisipasi, efektivitas dan


akuntabilitas dari Pemerintah Lokal merupakan bagian dari kunci menuju
terciptanya good governance. Hal tersebut akan mengarahkan sebuah tatanan
masyarakat yang demokratis. Untuk mencapai sebuah tatanan pemerintah
lokal yang ideal, pemerintah itu sendiri harus mempunyai kemampuan dalam
mengembangkan dan menanamkan model pemerintahan yang mengedepankan
tata kelola pemerintahan yang transparan dan efektif. Pemerintah lokal harus
mempunyai tanggung jawab dan kesadaran akan peran mereka untuk melayani
kepentingan publik.88

Dalam program DDG, USAID akan menyiapkan bantuan untuk


sejumlah local governance, di mana USAID akan membangun kemampuan
dan kompetensi yang memadai dari aparatur pemerintahan terkait perencanaan
pembangunan, kemampuan manajerial penganggaran, sumber daya manusia
dan pengelolaan administrasi yang efektif. Untuk memaksimalkannya, melalui
program DDG, USAID akan memberikan pelatihan dan bantuan tenaga
ahli/konsultan kepada para pegawai pemerintahan. Pelatihan-pelatihan
tersebut juga akan melibatkan elemen-elemen non-pemerintah, seperti LSM,

87
Ibid., hlm. 35.
88
Ibid., hlm. 36.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
50

kelompok masyarakat, Lembaga Pendidikan (UNCEN), kelompok, advokasi,


dan sebagainya.89

Dalam program DDG, USAID hendak mengedepankan bahwa


desentralisasi bukan sekedar memindahkan sistem politik dan ekonomi dari
pusat ke daerah, tetapi lebih pada transformasi kultural menuju arah yang lebih
demokratis. Melalui desentralisasi diharapkan akan meningkatkan peluang
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan yang
terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi. Hal ini sangatlah
dimungkinkan karena karena lokus pengambilan keputusan menjadi lebih
dekat dengan masyarakat. Melalui proses ini maka desentralisasi diharapkan
akan mampu meningkatkan penegakan hukum; meningkatkan efisiensi dan
efektifitas pemerintah dan sekaligus meningkatkan daya tanggap, transparansi
dan akuntabilitas pemerintah daerah.

Program praktis yang akan dilaksanakan terkait aspek pengembangkan


partisipasi, efektivitas dan akuntabilitas dari pemerintah lokal, yaitu: Pertama,
pelatihan dan pengembangan kemampuan tata kelola pemerintahan kepada
para pemimpin eksekutif lokal, staf perencanaan pembangunan, dan para
pegawai pada dinas yang berhubungan dengan sektor-sektor prioritas. Kedua,
penguatan kemampuan dan tanggung jawab terkait penyusunan anggaran dan
legal framework kepada parlemen lokal. Ketiga, pembinaan terhadap elemen-
elemen non-pemerintah dalam mendukung kinerja pemerintah untuk
mewujudkan good governance.90

2.4.2.2.2 Konsolidasi Terhadap Agenda Perubahan

Terkait strategi konsolidasi terhadap agenda perubahan, melalui


program ini USAID akan menjaga dan mengedepankan semangat reformasi
birokrasi dalam pemerintahan lokal, partai-partai politik dan partisipasi
demokratis dari civil society. USAID pun akan memaksimalkan efektivitas
terhadap lembaga pengadilan, legislator, dan partai politik. Hal ini dilakukan

89
Ibid.
90
Ibid.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
51

karena dalam upaya mengkonsolidasikan agenda perubahan, yang penting


untuk dilakukan adalah norma dan aturan yang jelas dan tegas. Sehingga,
framework terkait arah desentralisasi menuju good governance bisa berjalan
dengan baik.91 Desentralisasi memaksimalkan kesesuaian antara konteks lokal
dan pemerintah. Elemen ini merupakan salah satu pilar penting dalam proses
desentralisasi. Yang kerap menjadi masalah dalam konteks Indonesia yaitu:
koordinasi di antara tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda dan
harmonisasi dimana pemerintah lokal bekerja dengan sejumlah aturan dan
peraturan yang berbeda. Tidak adanya mekanisme insentif atau disinsentif
untuk memastikan kepatuhan di tingkat lokal merupakan hambatan terhadap
koordinasi. USAID melalui program DDG hendak mengupayakan adanya
penyesuaian visi terkait undang-undang dan kerangka hukum. Kerjasama dan
koordinasi antar instansi yang berhubungan dengan isu-isu krusial yang
cenderung tersebar di antara sejumlah besar pemangku kepentingan perlu
ditingkatkan. Selain kepemimpinan yang kuat dan komitmen pengemban tugas
di berbagai tingkat, pembentukan kelompok kerja multi sektoral, komisi atau
satuan tugas memainkan peran penting. Lembaga-lembaga tersebut idealnya
berasal dari organisasi masyarakat sipil, atau lembaga non-pemerintah lainnya.

Indikator pencapaian dari strategi ini, yaitu:

1. adanya minimalisasi terkait ancaman terhadap demokrasi dan


2. pencapaian institusionalisasi yang lebih luas terkait tata kelola
pemerintahan yang demokratis yang merujuk pada sistem pemilu
yang demokratis baik dalam tingkat nasional maupun lokal, serta
3. tanggung jawab dan akuntabilitas yang lebih baik dari pemerintah.

Program praktis yang akan dilakukan USAID yaitu penguatan checks and
balance dalam sistem politik dan legal framework untuk melindungi dan
mendukung civil society dan kebebasan pers/media.92

Sasaran obyektif yang diupayakan USAID, yaitu implementasi agenda


perubahan pada lembaga peradilan baik pada level pengadilan tinggi maupun
lokal, kesesuian peraturan antarlevel lembaga peradilan, NGO lokal mampu

91
Ibid., hlm. 36.
92
Ibid., hlm. 36-37.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
52

mengadvokasi keadilan sesuai dengan agenda perubahan, monitoring dan


advokasi oleh lembaga-lembaga HAM terkait legislasi-legislasi yang berpihak
pada nilai-nilai yang HAM, garansi dan proteksi dari Pemerintah Lokal
terhadap para korban HAM.93

2.4.2.2.3 Manajemen Konflik dan Mengembangkan Pluralisme

Sebagai negara pluralis, Indonesia sering dihadapkan dengan


permasalahan konflik sosial. Konflik dan pertikaian yang terjadi dalam
berbagai level, vertikal atau pun horisontal, skala kecil atau pun skala besar,
lingkup nasional atau pun lokal, telah menjadi catatan kelam demokratisasi di
Indonesia. Berbagai alasan menjadi penyebab konflik, baik itu konflik
antarsuku, agama, kepentingan politik, dll. Catatan sejarah demokratisasi yang
diwarnai berbagai konflik sosial di Indonesia telah merusak kehidupan
berbangsa dan bernegara dan memperlihatkan situasi negara yang tidak saja
gagal melindungi melindungi warganya, tetapi juga gagal melindungi dirinya
sendiri. Munculnya beragam konflik tersebut, mengindikasikan negara yang
mengingkari demokrasi dan konstitusi. Kekerasan adalah musuh utama
demokrasi, beretentangan dengan spirit dan substansinya. Salah satu esensi
nilai dalam demokrasi adalah perjuangan non-kekerasan. Dalam sistem
demokrasi, konsensus dan penghormatan publik atas rule of law merupakan
elemen kunci menuju suatu tatanan kehidupan yang ideal yang juga membantu
elemen pemerintah mewujudkan good governance.

USAID menyadari, bahwa konflik sosial menjadi salah satu tantangan


dalam pembentukan sistem demokrasi yang kuat, yang juga tentunya menjadi
penghambat terciptanya good governance. Papua sendiri menjadi wilayah
dengan potensi konflik yang cenderung sering terjadi. Konflik antarsuku,
konflik politik, konflik kepentingan, konflik sejarah terkait masuknya Papua
ke wilayah Indonesia, kekerasan dan pelanggaran HAM, dll., menjadi
permasalahan yang sering terjadi. Untuk itu melalui program DDG USAID

93
Ibid., hlm. 38.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
53

akan secara aktif mempromosikan resolusi konflik, rekonsiliasi, toleransi dan


pluralisme.94

USAID akan menyiapkan dan memberikan bantuan yang akan


memfasilitasi organisasi-organisasi lokal dalam mempromosikan nilai-nilai
pluralisme, bekerja sama dengan elemen-elemen religius/agama dan ethnis
dalam membangun dialog. Bantuan juga akan difokuskan pada pendidikan
yang menekankan dan menyebarkan pemahaman terkait nilai-nilai demokrasi
khususnya yang berhubungan dengan sikap toleransi, pluralisme dan
kesadaran akan keberagaman.

Sasaran obyektif yang ingin dicapai yaitu peran dan fungsi media
berhadapan dengan konflik dan pertikaian bukan sebagai provokator namun
pembawa pencerahan; adanya dialog, rasa saling percaya yang kuat antarsuku,
agama, komunitas; rehabilitasi dan rekonsiliasi yang stabil terhadap
komunitas-komunitas pasca terjadinya konflik; isu desentralisasi
dikedepankan dalam proses rekonsiliasi pasca-konflik; organisasi sipil
berpartisipasi akrif dalam mediasi dan proses pendamaian dalam situasi
konflik.95

2.4.2.3 Bekerja Sama dengan NGO Terkait

Untuk memaksimalkan kerjanya, USAID pun menjalin relasi dengan


sejumlah partner baik NGO maupun organisasi internasional lain dalam
menjalankan program DDG di Papua. USAID telah bekerja sama dengan
beberapa lembaga donor seperti GTZ, World Bank, ADB dan CIDA dalam
isu-isu kebijakan yang berkaitan dengan penguatan legalitas dan regulasi
kerangka kerja desentralisasi, budgeting, perencanaan, dan manajemen
keuangan pemerintah daerah. Dalam konsultasinya, lembaga-lembaga donor
ini pun menekankan pentingnya jalinan kerja sama yang sustainable antara
USAID dengan pemerintah dan dengan ikatan regulasi yang jelas, dan
keberadaan USAID harus mampu menjadikan program ini berkontribusi

94
Ibid., hlm. 39.
95
Ibid.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
54

dalam membantu pemerintah daerah dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan


desentralisasi yang baik dan positif dalam menciptakan good governance.96

Dalam kerja samanya ada beberapa kegiatan yang dijalankan dengan


beberapa lembaga donor, seperti dialog tentang kebijakan yang berkeadilan.
Kegiatan ini dijalankan bersama kedutaan Belanda. Kegiatan sosialisasi
informasi tentang perubahan-perubahan dalam regulasi terkait desentralisasi
dan good governance, yang dijalankan bersama World Bank. Selain itu
terdapat pula kegiatan tentang sosialisasi elemen dan nilai-nilai Hak Asasi
Manusia yang juga dijalankan bersama World Bank.97

Selain itu, USAID pun bekerja sama dengan organisasi masyarakat dan
NGO lokal dari berbagai elemen, seperti UNCEN, DI, TI, Kontras, dll.
Kegiatan-kegiatan yang dijalankan antara lain sosialisasi kepada masyarakat
dan kerterlibatan dalam pengawasan kinerja kerja pemerintah dalam upaya
memaksimalkan fungsi dan peran birokrasi sebagai tulang punggung
implementasi good governance di Papua.

2.4.2.3 Beberapa Program Yang Dijalankan Untuk Mendukung Program DDG

2.4.2.3.1 Program Utama

1. Survivors of Torture Programme (SOT)

Program ini merupakan bentuk perhatian pihak USAID terhadap


korban kekerasan di Papua, mengingat Papua adalah salah satu wilayah rawan
konflik di Indonesia. Dalam program ini, terdapat beberapa tujuan yang ingin
dicapai98, yaitu:

a. Menumbuhkan kesadaran publik akan potensi kekerasan di Papua.


b. Bekerja sama dengan sejumlah NGO dalam mempromosikan,
mengkampanyekan dan mengadvokasi pencegahan dan dampak
kekerasan dan konflik di Papua.

96
Blair, Dennis dan Philips, David. 2006. Komisi untuk Indonesia: Perdamaian dan kemajuan
di Papua, Council of Foreign Relations, hlm. 40.
97
Ibid.
98
USAID, Survivors of Torture Programme Report, 2010, hlm. 1-2.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
55

c. Menyediakan dan memfasilitasi pelatihan dengan kapasitas


internasional kepada sejumlah NGO dan tokoh masyarakat dalam
mempertahankan keberadaan NGO yang sustainable.
d. Menyediakan institusi masyarakat dalam penyembuhan (healling) dan
konseling terhadap para korban kekerasan dan konflik.

Dalam menjalankan program ini, pihak USAID bekerja sama dengan


Pemerintah Daerah setempat dan sejumlah NGO, seperti Convention Against
Torture (CAT), ALDP (Aliansi Demokrasi Untuk Papua) sebuah LSM lokal
yang berafiliasi dengan International Rehabilitation Council for Torture
Victims (IRCTI), The United Nations Voluntary Funds for Victims of Torture
(UNVFVT), dan sejumlah NGO lain. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
berupa pelatihan, konseling, advokasi, dll.

2. Support for Peaceful Democratization (SPD)

Program ini sejatinya memusatkan perhatian pada lima sektor:


pelatihan tentang masalah konflik dan penanganannya; pengembangan
kemampuan di bidang hubungan sipil-militer; pengembangan mata
pencaharian di daerah konflik; pembuatan serta pemantauan perundang-
undangan yang berhubungan dengan penanganan konflik; serta bantuan
darurat bagi mereka yang terkena dampak konflik. Akan tetapi, saat terjadi
bencana tsunami di Aceh, fokus program ini beralih ke penanganan pasca-
tsunami di Aceh.

3. Democratic Reform Support Programme (DRSP)

Democratic Reform Support Program (DRSP) merupakan program


yang mendukung kelompok dari sektor publik maupun swasta, dan masyarakat
(civil society) yang melakukan advokasi dalam memajukan serta menjaga
reformasi yang demokratis termasuk bidang peraturan hukum, kebebasan
memperoleh informasi, pemilihan umum yang bebas dan adil, serta
desentralisasi.

Dalam DRSP, USAID berfokus pada pembenahan manajemen


pemerintahan lokal. Beberapa tujuannya, yaitu:

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
56

1) Mendorong institusi dan aktor-aktor kunci dalam mempromosikan


sistem check and balances yang kritis, kuat dan demokratis.
2) Menjaga hak-hak demokratis dan suara ktiris.
3) Mendorong dikeluarkannya kebijakan-kebijakan pemerintah yang
mengedepankan tata kelola pemerintahan yang demokratis.

Pada tahun 2006, DRSP memberikan sebuah pelatihan dengan Pemda Papua
terkait implementasi dari UU Otonomi Khusus Papua, di mana good
governance menjadi nilai penting yang ditekankan. Dalam kegiatan ini,
USAID bekerja sama dengan pihak Pokja Papua dan beberapa NGO dari
Jakarta.99

Strategi dan pendekatan yang dilakukan yaitu dengan membentuk


kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari tokoh-tokoh kunci, baik
dari pihak Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat, untuk
diadakan sosialisasi dan diskusi sehingga terbentuk suatu pemahaman bersama
terkait konsep Otonomi Khusus bagi kepentingan tata kelola pemerintahan
yang baik di Papua.100

2.4.2.3.2 Program Tambahan

Beberapa program kegiatan yang telah dilaksanakan dalam menunjang


pelaksanaan program DDG101:

1. Program Representasi (‘ProRep’)

Program ini dirancang untuk meningkatkan efektivitas lembaga


perwakilan dan institusi di Indonesia yang dapat menunjang keberhasilan good
governance dan pengembangan demokrasi yang berkelanjutan. Penerima
manfaat dari program ini adalah DPR, DPD, beberapa DPRD, beberapa
lembaga penelitian dan OMS.

99
USAID, Democratic Reform and Support Programme, 2009, hlm. 86-87.
100
Ibid.
101
USAID, Strategic Plan for Indonesia 2004-2008: Strengthening A Moderate, Stable, And
Productive Indonesia, USAID, 2004, hlm. 34.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
57

2. Representative Parties Project (RPP)

Program ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan partai politik


di dalam mengartikulasikan dan mendorong kebijakan publik agar dapat
sejalan dan merepresentasikan pandangan dan keinginan para konstituen.
Penerima manfaat dari program ini adalah beberapa partai politik lokal di
tingkat provinsi, partai politik di tingkat nasional yang memiliki perwakilan di
DPR, dan para konstituen yang memiliki perhatian pada kelompok marginal.

3. Changes for Justice Program (C4J)

Program ini bertujuan (1) Meningkatkan kinerja sistem paradilan


Indonesia dengan memberikan bantuan terhadap peningkatan kapasitas
Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung; (2) Meningkatkan kualitas
pendidikan hukum dengan meningkatkan kualitas kurikulum termasuk
komponen pelatihan dan penelitian kebijakan bidang hukum.

4. Strengthening Integrity and Accountability Program (SIAP)

Program bermaksud memberikan dukungan penguatan integritas dan


akuntabilitas pemerintahan terutama pemerintah pusat. Terdapat tiga tujuan
program yaitu: (1) Peningkatan akuntabilitas instansi kunci dalam memperkuat
integritas dan akuntabilitas pemerintah; (2) Peningkatan upaya dalam
penguatan integritas dengan menurunkan pengaruh politik uang; (3) Penguatan
kemasyarakatan dan media massa.

5. Kinerja Local Governance

Program ini bertujuan untuk meningatkan kinerja pemerintah daerah


untuk dapat merespon kebutuhan masyarakat dengan lebih baik.

6. Educating, Equipping Tomorrow’s Justice Reformer (E2J)

Progam ini bertujuan membangun kolaborasi antara Fakultas Hukum,


OMS dan Lembaga Hukum Formal untuk mengembangkan klinik hukum
dalam rangka meningkatkan kualitas sumbedaya hukum, khususnya calon
SDM yang akan mengisi posisi di lembaga hukum fomal.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
58

BAB III

ANALISIS KEGAGALAN PROGRAM USAID DDG TENTANG


PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE DI PROVINSI PAPUA
TAHUN 2004-2008

Bab ini merupakan bagian inti dari penelitian ini. Pada bab ini akan
dijelaskan perihal analisis penulis terkait kegagalan program USAID DDG
tentang pelaksanaan good governance di Provinsi Papua. Di sini penulis akan
memetakan kembali secara sederhana permasalahan yang menjadi fokus
pembahasan, kemudian akan dijawab melalui analisis yang dibuat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dan hasil riset atas data yang
dikumpulkan, penulis akan menguraikan analisisnya tentang elemen-elemen
yang menjadi alasan kegagalan program DDG di Papua.

3.1 Bad Governance di Papua

Papua diketahui sebagai salah satu daerah dengan kondisi tata


pemerintahan yang buruk di Indonesia. Untuk itu berbagai upaya perbaikan
menuju sistem yang lebih baik diupayakan. Gerbang menuju perbaikan
tersebut secara riil dimulai dengan pemberlakuan Papua sebagai daerah
dengan status Otonomi Khusus melalui Undang-undang No. 21 tahun 2001.
Status Otonomi Khusus tersebut idealnya adalah pemberian kewenangan yang
lebih luas bagi pemerintah daerah dan rakyat Papua untuk mengelola dan
memanajemen daerahnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang
lebih besar bagi pemerintah daerah dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua
bagi kemakmuran rakyatnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Secara normatif, bagi Pemerintah Pusat, dengan diberlakukannya
keistimewaan sebagai daerah Otonomi Khusus dapat dilihat sebagai usaha
pemerintah dalam menyelesaikan konflik separatis yang cenderung terjadi
sekaligus menunjukkan siapnya pemerintah untuk melakukan demokratisasi di

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
59

daerah Papua. Begitu juga bagi Pemerintah Daerah Provinsi Papua, selain
sebagai entry point yang strategis dalam menguatkan pemerintahan daerah,
Otonomi Khusus juga diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan di
Provinsi Papua terutama masalah kesejahteraan masyarakat dan hak-asasi
manusia.102

Akan tetapi, ideal tersebut tidak berjalan sesuai dengan apa yang
diharapkan. Praktek bad governance tetap berlangsung di Papua. Perilaku
korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran HAM, manajemen pemerintahan yang
buruk, sentralitas pengambilan keputusan di tingkat daerah, dan lain-lain. tetap
menjadi masalah yang akrab dengan tata kolola pemerintahan di Papua.
Bahkan, dana otonomi khusus yang idealnya untuk perbaikan sistem dan
manajemen tata kelola pemerintahan di Papua malah menjadi obyek korupsi.
Hasil audit dana Otonomi Khusus Papua yang dilakukan oleh BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) pada tahun 2005 ditemukan penyelewengan sebesar 4,2
triliun rupiah.103

Data BPS pada tahun 2004 menunjukkan bahwa sebanyak 38,42


persen penduduk Papua berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah tersebut
lebih dari dua kali angka kemiskinan tingkat nasional pada tahun yang sama,
yaitu sebesar 16,7 persen. Menurut Indexs Pembangunan Manusia Tahun
2004, Papua berada pada urutan terendah di Indonesia. Data IPM (Indeks
Pembangunan Manusia) tersebut secara nyata menunjukkan lemahnya tata
pemerintahan di Papua. Kondisi kesehatan di Papua juga yang terburuk bila
dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Tingkat kematian bayi
mencapai 50,5 per 1000 kelahiran, lebih tinggi dari angka nasional yang
mencapai 43,5 persen. Kualitas sumber daya manusia di Papua juga rendah.
Pada tahun 2004, persentase melek huruf baru mencapai 74 persen dan jauh
berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai 90,4 persen.104

Ada beberapa hal yang dinilai sebagai permasalahan yang


mengindikasikan ketidakmampuan Otonomi Khusus dan menghambat
102
Dyah Mutiarin, Op.cit., hlm. 1-2.
103
Vidhyandika D. Perkasa, Indiginized Good Good Governance dan Akuntabilitas Sosial di
Papua, Analisis CSIS, Vol. 40, No. 3, September 2011, hlm. 402.
104
Agus Dwiyanto, (ed). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm. 58-61.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
60

terciptanya good governance di Papua. Pertama, sejarah integrasi Papua ke


wilayah NKRI masih menjadi permasalahan yang ‘belum usai’. Masih banyak
pihak yang hingga kini menggugat proses legalitas Papua menjadi bagian dari
negara Indonesia. Konflik dan gejolak sosial dan politis pun sering terjadi atas
hal ini. Kedua, terjadi banyak pelanggaran HAM di Papua. Banyaknya catatan
sejarah kelam yang terindikasi sebagai kasus pelanggaran HAM yang
penanganannya masih menggantung. Ketiga, dominasi peran militer dan
kepolisian dalam kehidupan publik di Papua yang menimbulkan kondisi
traumatis dan sikap resisten dari sejumlah masyarakat Papua. Keempat, tidak
adanya trust building yang baik antara masyarakat dengan pemerintah daerah
pun pemerintah pusat. Hal ini berdampak pada susahnya membangun dialog
yang konstruktif. Kelima, pendidikan dan kesehatan yang buruk di Papua.
Kualitas pendidikan masyarakat Papua dinilai belum mampu menerima
idealisme program-program yang dijalankan atas nama demokratisasi.
Kesehatan pun masih menjadi permasalahan yang menahun. Papua dikenal
sebagai salah satu wilayah dengan kasus HIV/AIDS yang tinggi di
Indonesia.105

3.2 Indikasi Kegagalan Program DDG di Papua

Perbaikan sistem tata kelola pemerintahan dinilai sebagai suatu


permasalahan yang urgen untuk wilayah Papua. Blair King mengatakan,
“governance in almost all levels in Papua is generally quite poor in quality
and downright awful”.106 Hal ini menggambarkan urgensitas kebutuhan akan
suatu good governance di Papua. Berbagai bantuan yang diberikan ke wilayah
dan untuk masyarakat Papua pun sering menemui kegagalan karena alasan
buruknya tata kelola pemerintahan. Praktek-praktek yang mengindikasikan
pola bad governance menjadi alasan kuat ketidakberhasilan atas upaya-upaya
perbaikan dalam berbagai sektor kehidupan dan sosial kemasyarakatan di
Papua. Untuk itu, yang benar-benar harus dibenahi adalah sistem tata kelola
pemerintahan. World Bank sendiri dalam upayanya mempromosikan good

105
Vidhyandika, Op. Cit., hlm. 408-409.
106
Blair A. King, Peace in Papua: Widening a window of oppurtinity, Council of Foreign
Relations, CSR, No. 14, Maret 2006, hlm. 74.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
61

governance, mengatakan bahwa tata pemerintahan yang baik (good


governance) merupakan suatu syarat berjalan efektifnya bantuan-bantuan
khususnya di negara berkembang. Nilai-nilai yang terkandung dalam konsep
good governance menjadi rujukan ideal atas sebuah pemerintahan yang
baik.107

Untuk itu, USAID melalui program Democracy and Decentralized


Governance hadir untuk memberikan bantuan terkait pembenahan sistem tata
kelola pemerintahan di Papua. Good governance adalah salah satu prioritas
Usaid dalam menjalankan program ini. USAID sendiri turut ambil bagian
sebelumnya dalam penetapan Papua sebagai daerah Otonomi Khusus. Dan
kemudian, intensi USAID pun berlanjut dengan pembenahan manajemen
pemerintahan melalui program DDG.

Melalui program DDG (Democracy and Decentralized Governance) di


Papua, USAID mempropagandakan good governance sebagai salah satu
tujuan yang ingin dicapai. Sasaran dari program ini yaitu mengembangkan
demokrasi dan good governance, yang mencakup civil society, rule of law,
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dan kebebasan beragama.108
Program ini dijalankan untuk masa waktu empat tahun, yaitu 2004-2008.

Akan tetapi, dari program DDG yang dijalankan tidak menunjukkan


perubahan yang signifikan terhadap keberhasilan good governance yang juga
menjadi salah satu sasaran tujuan dari diimplementasikannya program ini.
Hingga saat ini fenomena kemiskinan, ketertinggalan pembangunan,
peminggiran masyarakat adat, konflik separatis di Papua masih terjadi dan
tidak kunjung berakhir. Kondisi ini semakin diperburuk oleh lemahnya
kemampuan pemerintah daerah dengan tata pemerintahan yang buruk. Kasus
korupsi, kolusi dan nepotisme yang berimplikasi pada rendahnya pelayanan
publik masih menjadi masalah yang akrab dengan pemerintah Papua.109

107
Veed P. Nanda, The Good Governance Concept Revisited, The American Academy of
Political and Social Science, Januari 2006, hlm. 1.
108
Ibid., hlm. 32.
109
Dyah Mutarin, Transformasi Good Governance dalam Perspektif Lokal di Kabupaten
Jayawijaya, Papua, Analisis CSIS, Vol. 38, No.1, Maret, 2009, hlm. 114.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
62

Indikasi gagalnya penerapan Good Governance di Papua juga dapat


dilihat dari data-data berikut: Indeks Pembangunan Manusia di Papua (IPM)
masih menempati level terbawah dari semua Propinsi di Indonesia. IPM Papua
pada tahun 2008 hanya sebesar 64,00 padahal angka Nasional adalah 71,12.
Selain itu persentasi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah
37,53% dan menjadi yang terburuk dari semua provinsi di Indonesia.110

Selain itu, dari beberapa survei yang dilakukan ditemukan data sebagai
berikut: Survei Governance Assesment, Index Governance Assesment di Papua
adalah 0,39. Dengan hasil indeks tata kelola pemerintahan seperti ini, Papua
pun menempati urutan kedua terbawah (satu tingkat di atas Provinsi Aceh)
dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini menunjukkan
masih tingginya angka korupsi. Beberapa temuan lain dari survei ini
menunjukkan tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme sangat tinggi di daerah ini.
Selain itu, data dari Transparasi Internasional menunjukkan bahwa perilaku
korupsi masih menjadi masalah utama dan dilihat sebagai hal yang biasa
dalam tataran birokrat, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif di Papua. Selain
itu, proses rancangan anggaran dan pengambilan kebijakan cenderung
‘tertutup’.111

Diagram 4
Indeks Kualitas Tata Pemerintahan Provinsi 2008112

INDEKS KUALITAS TATA PEMERINTAHAN MENURUT PROPINSI


0,60
0,51
0,45 0,46
0,50
0,40 0,41 0,42
0,39 0,40 0,40
0,36
0,40

0,30

0,20

0,10

0,00
LO
N

M
A

AR
TB
U
AD

IY
L
PU

BE
TE

TI
IA

TA
N

B
N

JA
R

N
PA

BA

N
BA

SU

O
R
O
G

PROPINSI

110
Vidhyandika Perkasa, Indiginized Good Governance dan Akuntabilitas Sosial di Papua,
Analisis CSIS, Vol 40, No, 3, September 2011, hlm. 403
111
Ibid., hlm. 404.
112
Ibid.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
63

Dari diagram yang digambarkan di atas dapat dilihat bahwa Papua


menempati urutan kedua terbawah dibandingkan propinsi lain di Indonesia.
Dengan hasil indeks tata kelola pemerinthan 0,39 dan jauh dari standar
nasional, menunjukkan status Papua yang sangat identik dengan permasalahan
tata kelola pemerintahan. Praktek bad governance seperti korupsi, tidak
transparannya pengelolaan pemerintahan dan keuangan, kolusi, nepotisme,
kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat masih sangat kuat
mewarnai pola dan sistem pemerintahan di Papua.

Secara lebih jelas, untuk melihat kegagalan program DDG di Papua


dapat dilihat melalui target yang menjadi tujuan awal Usaid:

3.2.1 Kegagalan Mengembangkan Partisipasi, Efektivitas dan Akuntabilitas


dari Pemerintah Lokal

Terkait sasaran ini, program praktis yang dilaksanakan USAID yaitu:


Pertama, pelatihan dan pengembangan kemampuan tata kelola pemerintahan
kepada para pemimpin eksekutif lokal, staf perencanaan pembangunan, dan
para pegawai pada dinas yang berhubungan dengan sektor-sektor prioritas.
Terkait hal ini dilakukan pelatihan pegawai Pemda, terutama Bappeda dan
Divisi Anggaran dari Pemda terkait. Kedua, penguatan kemampuan dan
tanggung jawab terkait penyusunan anggaran dan legal framework kepada
parlemen lokal. Ketiga, pembinaan terhadap elemen-elemen non-pemerintah
dalam mendukung kinerja pemerintah untuk mewujudkan good governance.
Di sini dilakukan dialog antar-Pemda dengan diikutsertakannya sejumlah LSM
dan media massa, pelatihan CSO dalam melakukan oversights terhadap kinerja
Pemda, bagaimana melakukan sms gateaway secara efektif, dalam hal oversee,
dan pengelolaan ADD (Alokasi Dana Desa), pelatihan bersama dengan tenaga
pelatih dari UNIPA, terutama hal PFM (Public Financial Management).

Untuk mendukung berjalannya tujuan-tujuan tersebut, melalui program


DDG, USAID menjalankan program DRSP (Democratic Reform Support
Programme). Dalam DRSP, USAID berfokus pada pembenahan manajemen
pemerintahan lokal. Beberapa tujuannya, yaitu:

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
64

1) Mendorong institusi dan aktor-aktor kunci dalam mempromosikan


sistem check and balances yang kritis, kuat dan demokratis.
2) Menjaga hak-hak demokratis dan suara kritis.
3) Mendorong dikeluarkannya kebijakan-kebijakan pemerintah yang
mengedepankan tata kelola pemerintahan yang demokratis.

Pada tahun 2008, DRSP memberikan sebuah pelatihan dengan Pemda Papua
terkait implementasi dari UU Otonomi Khusus Papua, di mana good
governance menjadi nilai penting yang ditekankan. Dalam kegiatan ini,
USAID bekerja sama dengan pihak Pokja Papua dan beberapa NGO dari
Jakarta.113

Strategi dan pendekatan yang dilakukan yaitu dengan membentuk


kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari tokoh-tokoh kunci, baik
dari pihak Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat, untuk
diadakan sosialisasi dan diskusi sehingga terbentuk suatu pemahaman bersama
terkait konsep Otonomi Khusus bagi kepentingan tata kelola pemerintahan
yang baik di Papua.114

Dalam pelaksanaannya, elemen-elemen yang berpengaruh dalam


kelompok yang dibentuk tersebut melakukan sosialisasi melalui pertemuan-
pertemuan dengan masyarakat, kampus UNIPA dan UNCEN, melakukan talk
show di radio-radio daerah, publikasi melalui media-media massa lokal dan
nasional, penerbitan buku,dll. Harapan yaitu terbentuknya suatu pemahaman
bersama tentang Otonomi Khusus dan nilai-nilai ideal yang turut serta
dibawanya.115

113
USAID, Democratic Reform and Support Programme, Op.cit., hlm. 86-87.
114
Ibid.
115
USAID, Democracy and Decentralized Programme, Op.cit., hlm. 67.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
65

Foto Pelaksanaan Kegiatan Sosialisasi dalam Program DRSP116

Selain itu, program ini juga didukung dengan Program SIAP


(Strengthening Integrity and Accountability)117, di mana USAID berupaya
menjadi aktor yang mendukung terciptanya penguatan terhadap integritas dan
akuntabilitas tata kelola pemerintahan. Dalam program ini, pihak USAID
menetapkan tiga tujuan yang ingin dicapai, yaitu :

1. Peningkatan akuntabilitas instansi kunci dalam memperkuat integritas


dan akuntabilitas pemerintah.
2. Peningkatan upaya dalam penguatan integritas dengan menurunkan
pengaruh politik uang.
3. Penguatan sistem manajemen masyarakat dan media massa.

Yang dilakukan USAID dalam program ini yaitu sosialisasi dan kerja sama
dengan pihak pemerintah dan NGO lokal di Papua. Kegiatan yang dilakukan
berupa pelatihan-pelatihan yang melibatkan elemen pemerintah, NGO dan
civil society. Dari pihak civil society, USAID cenderung berfokus pada tokoh-
tokoh masyarakat dan kepala suku, mengingat sistem sosial yang masih
tradisional di Papua, yaitu di mana peran pemimpin adat masih sangat kuat.

116
Ibid.
117
Ibid.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
66

Hanya kemudian yang menjadi masalah di sini, latar belakang


pendidikan dari para tokoh masyarakat, khususnya para pemimpin adat
(kepala suku) tidak memadai dalam menyerap sosialisasi yang diberikan. Hal
ini kemudian menjadikan kegiatan-kegiatan ini tanpa orientasi aplikasi yang
berkelanjutan untuk masyarakat.

Dengan program-program dan kegiatannya, USAID melalui Bappenas


mengklaim telah ada sejumlah keberhasilan yang dicapai, seperti
meningkatnya kemampuan Pemda dalam hal perencanaan, penganggaran, dan
pembuatan laporan keuangan; Meningkatnya pemahaman Pemda untuk
keterbukaan masyarakat; Meningkatnya kesiapan Pemda dalam hal
pengelolaan keuangan daerah, terutama dalam mengantisipasi penerimaan
tambahnya dana dari hasil bagi hasil gas (BP); Meningkatnya kemauan civil
society dalam menilai kinerja Pemda.118

Akan tetapi, realitas menunjukkan stagnasi dalam pencapaian


pelaksanaan program ini. Padahal, alokasi dana untuk sektor perbaikan tata
kelola pemerintahan (good governance) lebih besar dibandingkan sektor yang
lainnya.

Diagram Persentasi Alokasi Anggaran Program DDG di Papua 2004-2008119

Persentasi Alokasi Anggaran Program


DDG di Papua 2004-2008
Tata Kelola Pemerintahan yang
Demokratis dan Good
21% Governance
Civil Society

47%
Pencegahan Konflik
17%

Hukum dan Perundangan


11%

4%

118
Wawancara dengan staf Bappenas, Mercy, pada 28 Oktober 2015.
119
USAID, Democratization and Decentralized Program Fact Sheet, Op.cit., hlm. 2.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
67

Diagram di atas menampilkan persentase alokasi anggaran dari


program USAID DDG di Papua. Alokasi anggaran terbesar pada bidang tata
kelola pemerintahan yang demokratis dan good governance yaitu sebesar 47%
dari total keseluruhan anggaran. Hal ini menunjukkan harapan dan perhatian
besar dari pihak USAID untuk perbaikan tata kelola pemerintahan di Papua.
Alokasi anggaran terbesar kedua pada aspek reformasi yang demokratis.
Masih dengan semangat perbaikan tata kelola pemerintahan, alokasi anggaran
pada bidang demokratisasi diharapkan mengikuti tujuan besar terciptanya
good governance di Papua. Berikutnya secara berturut-turut alokasi tingkatan
alokasi anggaran pada aspek hukum dan perundangan, pencegahan konflik dan
civil society.

Bila diamati, ketiga alokasi anggaran terbesar yaitu tata kelola


pemerintahan yang demokratis dan good governance, reformasi birokrasi yang
demokratis, hukum dan perundangan, merupakan aspek-aspek nilai yang ada
dalam konsep good governance. Hal ini menunjukkan tujuan besar dan utama
dari program ini untuk perwujudan good governance di Papua.

Perilaku korupsi dan nepotisme menjadi permasalahan yang sistemik


di antara para birokrat Papua. Index Governance Assesment Papua adalah
0,39, yang artinya menunjukkan lemahnya tata pemerintahan di Papua yang
menyebabkan kesejahteraan masyarakat Papua juga rendah bila dilihat dari
indikator tersebut. Rendahnya IGA merupakan salah satu cermin mengenai
masih buruknya pembangunan sumber daya manusia di Papua. Kondisi
rendahnya IGA tersebut tentu tidak terlepas dari kurang optimalnya kinerja
birokrasi pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik. Hal ini juga
menunjukkan bahwa budaya dan perilaku korupsi masih kuat di Papua.120
Indikasi korupsi terlihat dalam penetapan APBD yang sifatnya tertutup. Di
sini ada persekongkolan antara pihak eksekutif dan legislatif selaku pihak
yang merancang dan mengesahkan APBD. APBD sebagai relaksasi politik
perencanaan kebijakan anggaran pembangunan sulit diakses oleh masyarakat
mulai dari tahapan penyusunan hingga pelaksanaan. Hal ini berlanjut dalam
pertanggungjawaban. ICS Papua sebagai salah satu organisasi yang mewakili

120
Vidhyandika, Op. Cit., hlm. 411.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
68

masyarakat sipil mencoba untuk mendapatkan informasi tentang APBD,


namun cenderung ditutupi dan dihalangi oleh pihak yang terkait. APBD
dikatakan sebagai sesuatu yang rahasia dan tidak perlu diketahui oleh publik.
Atas hal tersebut ICS Papua melakukan gugatan melalui Pengadilan Negri
Jayapura pada tahun 2008 agar keterbukaan terhadap segala hal yang
berhubungan dengan APBD dari proses penyusunan, pengelolaan dan
pertanggungjawaban. Namun, gugatan ini dimentahkan oleh pengadilan. Pihak
penggugat, dalam hal ini ICS Papua malah dituntut membayar segala biaya
perkara sebesar 374.000.000 rupiah.121

Implikasi dari praktek bad governance yang terjadi yaitu terganggunya


pelayanan aspek-aspek sentral terkait kehidupan bermasyarakat seperti
kesehatan dan pendidikan. Persoalan kesehatan di Papua masih menjadi
persoalan yang serius. Angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup.
Sebanyak 47.709 balita yang hidup dan terdapat 3.751 balita yang meninggal.
Angka kematian Balita yakni 64/1000 kelahiran hidup. Kasus HIV dan AIDS
terus meningkat, jumlah pengidap HIV dan AIDS di Tanah Papua menjadi
salah satu yang memprihatinkan di Indonesia. Laporan Dinas Kesehatan
Provinsi Papua yang dipublikasikan oleh KPA Provinsi Papua 31 Maret 2008
menyebutkan bahwa: Provinsi Papua memiliki jumlah pengidap HIV dan
AIDS adalah 3.955 orang (HIV: 2.181 orang, AIDS: 1.773 orang). Dari sisi
pengalokasian anggaran Kesehatan yang tertuang dalam dokumen APBD
Provinsi Papua cenderung menunjukkan ketidakadilan dan justru menyalahi
aturan. APBD Provinsi Papua hanya mengalokasikan 11,39% untuk bidang
kesehatan. Penganggaran ini belum memenuhi standar alokasi biaya kesehatan
WHO maupun dari Otsus Papua.122

Pendidikan menjadi salah satu faktor elementer dalam memajukan


suatu daerah, bangsa, negara. Untuk itu, kebutuhan akan pendidikan yang baik
menjadi mutlak adanya. Terciptanya good governance juga mensyaratkan
dukungan pendidikan yang memadai. Pendidikan menjadi kunci di mana para
pengelola pemerintahan dan pembuat kebijakan dapat menjalankan suatu roda
121
Yusak A. Reba, Good Governance dan Pelaksanaan Kebijakan Pembangunan di Papua,
Analisis CSIS, vol. 38, No. 1, Maret 2009, hlm. 63-64.
122
Rahman Yasin, Ide Pemerintahan Good Governance, Lembaga Pengembangan Pendidikan
Anak Bangsa, Jakarta, hlm. 32.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
69

pemerintahan yang baik. Pendidikan juga yang memungkinkan masyarakat


dan civil society dapat secara aktif dan kritis terlibat secara konstruktif dalam
mengontrol dan mengawasi proses tata pemerintahan. Akan tetapi,
permasalahan pendidikan menjadi salah satu masalah kunci di Papua.
Minimnya jumlah dan kualitas tenaga pendidik dan terbatasnya sarana dan
prasarana pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil, tertinggal dan
terisolir menjadi persoalan yang seakan terabaikan di Papua. APBD Papua
mengalokasikan dana yang kecil untuk bidang pendidikan. Dalam kurun
waktu 2004-2008, rata-rata persentasi alokasi dana pendidikan dari APBD
hanya sekitar 4,71%.123

Lebih dari 50% masyarakat Papua tidak bersekolah, dan bahkan yang
menempuh pendidikan sampai Sekolah Dasar pun hanya sebagian kecil. Selain
itu, bila dibandingkan dengan persentase perempuan Indonesia yang melek
huruf, hanya 44% perempuan Papua yang melek-huruf, dibandingkan 78%
perempuan melek-huruf di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk kaum pria
58% diantaranya melek-huruf di Papua, dibandingkan dengan 90% pria melek
huruf di seluruh Indonesia. Kualitas pendidikan di Papua tetap rendah, hanya
10% rakyat Papua yang mengenyam pendidikan sampai ke tingkat SMA, dan
hanya 1 persen diantaranya yang lulus kuliah.124

Infrasturuktur pendidikan menjadi suatu permasalahan krusial terkait


buruknya kualitas pendidikan di Papua. Sejumlah sekolah terletak di wilayah
yang sangat terpencil sehingga pengiriman materi dan peralatan pendidikan
memakan waktu sangat lama. Umumnya kondisi bangunan sekolah sangat
buruk, terbengkalai dan nyaris ambruk. Sebagian besar sekolah tingkat dasar
kekurangan fasilitas, mebel, dan materi-materi pendukung. Terbatasnya
anggaran mempengaruhi penyediaan materi-materi pendidikan dan gaji pokok
pengajar. Guru-guru tidak memiliki cukup pengalaman dalam mengajar,
terutama di wilayah yang terpencil. Beberapa guru yang tidak berkualitas tetap
dibayar walaupun mereka tidak masuk untuk mengajar, sementara guru-guru
lain yang berkualitas justru tidak pernah dibayar.

123
Ibid., hlm. 33.
124
Council of Foreign Relations, Op.cit., hlm. 59.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
70

Lalu, dengan realitas seperti yang digambarkan di atas, program DDG


terlihat tidak berhasil memperbaiki permasalahan good governance di Papua.
Dalam wawancara yang dilakukan penulis dengan Florianus Geong, sekretaris
eksekutif pada Yayasan Teratai Hati Papua, ia mengatakan : “Program yang
dilakukan USAID, khususnya kesehatan dan pendidikan, cenderung tidak
bersifat transformatif terhadap masyarakat. Target yang dibuat USAID
cenderung kuantitatif, artinya mengukur keberhasilan berdasarkan jumlah,
yang mana data kuantitas tersebut belum tentu akurat. Realitas di lapangan
menunjukkan situasi dan kondisi masyarakat yang masih tertinggal. Sarana
dan prasarana tidak memadai. Guru-guru untuk sekolah-sekolah dan tenaga
kesehatan untuk puskesmas juga terbatas”125

Implikasi lain terkait permasalahan elementer hidup masyarakat yaitu


kemiskinan. Angka kemiskinan Papua termasuk yang tertinggi di Indonesia.
Kemiskinan di Papua juga selalu jauh dari standar rata-rata kemiskinan
nasional. Dengan tata kelola pemerintahan yang buruk, orang miskin juga
cenderung mengekslusifkan diri dari proses sosial dan politik sehingga
membatasi partisipasi dan representasi mereka dalam tata pemerintahan.126

Tabel 1
Kemiskinan Provinsi Papua Terhadap Nasional 2004-2008

Tahun Indeks Rata-Rata Indeks


Kemiskinan Nasional Kemiskinan
Papua
2004 38,69 16,66

2005 40,83 16,69


2006 41,52 16,37
2007 40,78 16,58
2008 42,08 15,42

Sumber : Kinerja Pembangunan 2004-2012, Bappenas 2012

125
Wawancara dengan Florianus Geong, sekretaris eksekutif pada Yayasan Teratai Hati
Papua, 3 Juni 2015.
126
Vidhyandika, Op.cit., hlm. 411.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
71

Dari data di atas dapat dilihat stagnasi pada perubahan angka


kemiskinan di Papua. Ada perubahan yang sedikit dan tidak signifikan. Hal ini
menurut penulis tidak dapat dilihat sebagai suatu keberhasilan dari program
DDG dikarenakan menurut wawancara penulis dengan salah seorang warga
Papua seperti yang ditulis di atas, realitas masyarakat Papua tetap stagnan
dengan permasalahan kemiskinan. Program bantuan yang diberikan tidak
bersifat transformatif dan cenderung up to down.

Realitas yang ditampilkan di atas menunjukkan ketidakmampuan


USAID melalui program DDG untuk mencapai sasaran strategis dalam
memperbaiki good governance di Papua yaitu mengembangkan partisipasi,
efektivitas dan akuntabilitas. Perilaku korupsi masih menjadi bagian dari
sistem birokrasi di Papua, pengelolaan anggaran tidak transparan, partisipasi
masyarakat dan civil society tidak diakomodasi, efektivitas dan akuntabilitas
program dan penganggarannya untuk kepentingan masyarakat tidak berjalan
sesuai aturan, dll.

3.2.2 Kegagalan dalam Konsolidasi Terhadap Agenda Perubahan

Terkait konsolidasi terhadap agenda perubahan, USAID berupaya


menjaga dan mengedepankan semangat reformasi birokrasi dalam
pemerintahan lokal, partai-partai politik dan partisipasi demokratis dari civil
society. USAID pun akan memaksimalkan efektivitas terhadap lembaga
pengadilan, legislator, dan partai politik. Hal ini dilakukan karena dalam
upaya mengkonsolidasikan agenda perubahan, yang penting untuk dilakukan
adalah norma dan aturan yang jelas dan tegas. Sehingga, framework terkait
arah desentralisasi menuju good governance bisa berjalan dengan baik.127
Sasaran obyektif yang diupayakan USAID, yaitu implementasi agenda
perubahan pada lembaga peradilan baik pada level pengadilan tinggi maupun
lokal, kesesuian peraturan antarlevel lembaga peradilan, NGO lokal mampu
mengadvokasi keadilan sesuai dengan agenda perubahan, monitoring dan
advokasi oleh lembaga-lembaga HAM terkait legislasi-legislasi yang berpihak

127
USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008, Op.cit., hlm. 36.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
72

pada nilai-nilai yang HAM, garansi dan proteksi dari Pemerintah Lokal
terhadap para korban HAM.128

Dua poin esensial dari agenda ini dalam program DDG dari USAID
yaitu penetapan dan penerapan legislasi-legislasi yang tepat sasar dan berdaya
guna bagi kepentingan masyarakat serta mendukung terciptanya good
governance, dan mengedepankan nilai HAM dalam kebijakan dan aturan yang
dikeluarkan.

Program yang dijalankan dalam mendukung tercapainya tujuan-tujuan


ini yaitu RPP (Representative Parties Project).129 Program ini dirancang untuk
meningkatkan kemampuan partai politik di dalam mengartikulasikan dan
mendorong kebijakan publik agar dapat sejalan dan merepresentasikan
pandangan dan keinginan para konstituen. Penerima manfaat dari program ini
adalah beberapa partai politik lokal di tingkat provinsi, partai politik di tingkat
nasional yang memiliki perwakilan di DPR, dan para konstituen yang
memiliki perhatian pada kelompok marginal.

Program ini didukung juga dengan Program Representasi (ProRep), di


mana pihak USAID menjadi mediator dalam meningkatkan hubungan yang
sinergis antara lembaga legislasi dengan masyarakat. Fokus kegiatan ini yaitu
pada lembaga legislasi (DPRD), dengan pertimbangan bahwa lembaga ini
menjadi elemen penting pembentukan tata aturan yang bisa menjadi koridor
penerapan good governance dalam perencanaan anggaran daerah, penghubung
antara masyarakat dan pemerintah (eksekutif), dll.

Dalam program ini ditekankan bahwa, lembaga legislasi (DPRD)


idealnya menjadi perpanjangan tangan rakyat dalam menyampaikan
aspirasinya. Untuk itu, keberadaan lembaga legislasi yang demokratis menjadi
sangat krusial dalam menciptakan sebuah tatanan sosial yang demokratis dan
dalam upaya mewujudkan sebuah tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance). Lembaga legislasi juga menjadi institusi yang menjamin adanya
check and balance dalam ‘mengawasi’ kinerja pemerintah. Pemerintahan
dengan sistem demokrasi harus memperkuat sistem check and balance demi

128
Ibid., hlm. 38.
129
USAID, KKP, Op.cit., hlm. 39.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
73

mengevaluasi kebijakan yang dibuat sehingga benar-benar berpihak pada


kepentingan bersama. Untuk itu, di sini transparansi birokrasi dan
independensi media sangat dibutuhkan sehingga bisa mendapatkan feedback
dari masyarakat.

Selain itu, legislator harus mampu menjadi aktor yang menekan para
pengambil keputusan, dalam hal ini pihak eksekutif, dalam mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang demokratis dan berpihak pada kepentingan
masyarakat. Jadi, di sini demokrasi harus menjadi democratic participation
yaitu gabungan antara negative freedom dan positive freedom, di mana
terdapat keseimbangan antara ‘kebebasan dari’ dan ‘kebebasan untuk’.
Melalui kebijakan yang demokratis, kebijakan demi kebaikan bersama,
pemerintah harus menjadi institusi penyeimbang antara kecenderungan
pengutamaan salah satu dari model kebebasan tersebut. Pemerintah harus
menjadi institusi yang bisa memberikan kebebasan pada individu untuk bebas
dari represi yang lain, tetapi juga harus mempunyai tanggung jawab menjamin
kebebasan untuk melakukan sesuatu yang harus menjadi kebaikan bersama.
Dan hal tersebut menjadi mungkin dalam kebijakan yang memang dibuat demi
kepentingan masyarakat secara umum. Indikator kebijakan yang demokratis,
yang hadir untuk kebaikan bersama, yaitu kebijakan tersebut minim kritik dan
minim perlawanan. Artinya masyarakat/civil society merasa aman dengan
adanya kebijakan tersebut.

Agenda “konsolidasi terhadap perubahan” ini juga berkaitan dengan


penegakkan HAM di Papua. Term HAM sendiri berhubungan erat dengan
demokrasi. Keduanya selalu berjalan seiring. Pihak USAID di sini menyadari,
upaya demokratisasi harus diikuti pula dengan penegakkan HAM. Papua
sendiri menjadi wilayah di Indonesia yang dipenuhi dengan catatan buruk
terkait penegakkan HAM. Sejak bergabungnya Papua menjadi bagian resmi
dari Negara Indonesia, berbagai catatan pelanggaran HAM sering terjadi.

Terkait korelasi antara Demokratisasi dan penegakkan HAM,


sebagaimana disebutkan oleh Larry Diamond bahwa demokrasi merupakan
suatu sistem politik dimana individu dan kelompok dilindungi dengan baik
dan mereka bisa eksis secara otonom sebagai masyarakat sipil ataupun secara

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
74

individu yang bebas dari kontrol pemerintah.130 Selain melindungi individu


dan kelompok, demokrasi juga dinilai Diamond sebagai sistem yang
menawarkan akuntabilitis, responsif, kedamaian, visi, dan tata kelola
pemerintahan yang baik.131 Dengan demikian, demokrasi akan membuat
pemerintah menjadi lebih responsif terhadap warga negaranya. Sehingga
seperti yang disebutkan Diamond, bahwa demokrasi adalah penyedia yang
baik terhadap hak azasi manusia (HAM).132

F. Budi Hardiman, mengutip filsuf Jerman, Juergen Habermars


mengatakan bahwa,

“Di dalam proses pengadilan, keadilan tidak dapat terwujud bila


kekuasaan campur tangan di dalam proses pengadilan. Demikian juga
klaim rasio tidak masuk akal, jika klaim itu dikeluarkan di bawah
paksaan. Karena itu, untuk memberi sifat rasional sebuah klaim
sangat pentinglah keberadaan sebuah prosedur yang memastikan
bahwa orang dapat mengeluarkan klain tanpa paksaan dan bebas
kekuasaan.”133
Apa yang dikutip ini hendak menekankan pentingnya rasionalitas prosedural
dalam demokrasi. Bahwa, demokrasi prosedural juga menyediakan akses bagi
publik untuk berlindung dari ketidakadilan dan juga represi yang dilakukan
oleh pemerintah dan pihak-pihak tertentu.134

Di sinilah signifikansi demokrasi prosedural terhadap perlindungan


HAM setiap individu. Demokrasi prosedural menyediakan elemen-elemen di
mana masyarakat bisa mengakses nilai-nilai demokrasi. Bukan hanya
mengakses nilai, tetapi juga terlibat dan mengambil peran dalam proses
demokrasitsasi dalam masyarakat itu sendiri. Di mana, diharapkan dari
aktivitas tersebut terciptanya internalisasi nilai-nilai demokrasi, sehingga
demokrasi bisa menjadi sebuah sistem yang membudaya dalam kehidupan
individu dan masyarakat, dan demokrasi tidak bergerak sebatas pada tataran
prosedural, tetapi juga pada tataran substansial.

130
Larry, Diamond. Defining and Developing Democracy dalam R. Dahl, I. Shapiro, & J. A.
Cheibub (eds.), The Democracy Sourcebook. (Cambridge: MIT Press. 2003). hlm. 29.
131
Ibid.
132
Ibid.
133
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta: Kanisisus, 2009), hlm. 33.
134
Cerny, Op. Cit., hlm. 780.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
75

Demokrasi prosedural bisa masuk melalui lembaga/institusi legitim


pemerintah yang seharusnya menjadi pilar penegakkan HAM dan
perlindungan masyarakat dari berbagai macam potensi pelanggaran HAM.

Untuk itu, dalah satu program yang dijalankan oleh USAID terkait
permasalahan ini yaitu Support for Peaceful Democratization (SPD). Program
ini sejatinya memusatkan perhatian pada lima sektor: pelatihan tentang
masalah konflik dan penanganannya; pengembangan kemampuan di bidang
hubungan sipil-militer; pengembangan mata pencaharian di daerah konflik;
pembuatan serta pemantauan perundang-undangan yang berhubungan dengan
penanganan konflik; serta bantuan darurat bagi mereka yang terkena dampak
konflik. Akan tetapi, saat terjadi bencana tsunami di Aceh, fokus program ini
beralih ke penanganan pasca-tsunami di Aceh. Sehingga, program ini tidak
begitu efektif dijalankan di Papua.135

Akan tetapi, setelah program-program DDG ini berjalan, tampilan


perbaikan tidak tampak ditunjukkan dalam realitas governance di Papua.
Pemerintah dan parlemen papua tidak mampu menghasilkan legislasi yang
mampu menjadi acuan dan pegangan yang kompeten dalam mengatur suatu
tata kelola pemerintahan yang baik. Vidhyandika menulis,

“… Papua tidak mempunyai regulasi yang jelas untuk menjalankan


pemerintahan. Hal ini menimbulkan kebingungan tidak saja bagi
pemerintah dari tingkat provinsi hingga kabupaten, akan tetapi juga
masyarakat Papua secara umum. Terdapat inkonsistensi yang
tumpang tindih dalam regulasi yang dibuat dan diterapkan di
Papua.”136
Implikasi dari inkonsistensi dan tumpang tindihnya regulasi dan legislasi yang
dibuat dan diterapkan yaitu menghambat implementasi good governance di
Papua. Pemerintah dan masyarakat tidak mempunyai kerangka acuan yang
jelas terkait regulasi yang baik dalam menjalankan tata pemerintahan. Produk
legislasi di daerah belum berorientasi pada penciptaan pemerintahan yang
bersih. Di tingkat provinsi maupun kabupaten di Papua produk legislasi lebih

135
USAID, Democratic Reform and Support Programme, Op.cit., hlm. 87.
136
Vidhyandika, Op. Cit., hlm. 416.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
76

banyak berkaitan dengan kepentingan badan usaha negara dan yang bersifat
mencari Pendapatan Asli Daerah (PAD).137

Permasalahan HAM menjadi salah satu nilai yang diperbaiki dalam


konsolidasi terhadap agenda perubahan. Permasalahan HAM menjadi salah
satu alasan terhambatnya agenda perbaikan tata kelola pemerintahan di Papua.
Hal ini dikarenakan masyarakat yang trauma terhadap pemerintah dan militer
menjadi enggan untuk menaruh kepercayaannya pada setiap program
pemerintah yang dijalankan. Untuk itu, USAID melalui program DDG hadir
untuk memberikan bantuan kepada masyarakat khususnya dalam
mengadvokasi pelanggaran-pelanggaran HAM melalui pelatihan-pelatihan
yang diberikan kepada masyarakat dan civil society. Selain itu, melalui
program kerja sama dengan pemerintah daerah Usaid melalui program DDG
memberikan pendidikan dan pelatihan agar legislasi dan regulasi yang dibuat
dan dihasilkan lebih berpihak pada nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

Akan tetapi, kasus pelanggaran HAM tidak pernah berhenti di Papua.


Berbagai catatan pelanggaran HAM selalu menghadirkan cerita yang tidak
pernah usai. Di saat banyak pihak yang peduli HAM Papua berupaya
menuntut tanggung jawab pemerintah terkait kasus pelanggaran HAM yang
telah terjadi, kasus pelanggaran HAM yang baru pun kembali bermunculan.
Papua distigmatisasi sebagai daerah paling rawan di Indonesia. Kehadiran
berbagai institusi dan instrumen militer dengan dalil stabilitas keamanan justru
menjadi ancaman dan alasan di balik banyaknya kasus pelanggaran HAM
yang terjadi di Papua.138 Yang menjadi masalah juga bahwa pemerintah
daerah Papua yang seharusnya menjadi instrumen legitim yang idealnya
membela kepentingan masyarakat Papua, termasuk terkait Hak Asasi Manusia
cenderung diam berhadapan dengan kesewenang-wenangan pihak miiter.
Realitas ini tentunya menjadi ancaman, hambatan dan tantangan terkait
perwujudan demokrasi dan good governance di Papua.139 Terkait masalah ini,
Humphrey Hawksley dalam Democracy Kill mengatakan bahwa penduduk di
bawah sistem demokrasi dengan otoritas yang lemah kualitasnya lebih buruk

137
Yusak A. Reba, Op. Cit., hlm. 65-66.
138
Ibid., hlm. 413.
139
Ibid., hlm. 65.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
77

dibandingkan rezim kediktatoran. Demokratisasi yang tidak mampu


melindungi masyarakatnya dari berbagai bentuk kekerasan baik yang bersifat
vertikal maupun horisontal merupakan realitas demokrasi kriminal yang tidak
patut dipertahankan. Demokratisasi yang dijalankan dengan kekerasan tidak
saja membahayakan demokrasi itu sendiri, tetapi juga mendelegitimasi negara,
yang akan menjatuhkan konsepsi paripurna menjadi kekacauan total.140

Dengan dipaparkannya realitas terkait kasus pelanggaran HAM yang


masih banyak terjadi dan ketidakmampuan pemerintah dalam mengakomodasi
kepentingan masyarakat dan mewujudkan nilai-nilai esensial good governance
dalam legislasi dan regulasi yang dibuat, jelas mengindikasikan belum
berhasilnya USAID melalui program DDG dalam sasaran konsolidasi terkait
agenda perubahan yang direncanakan.

3.2.3 Kegagalan dalam Manajemen Konflik dan Mengembangkan Pluralisme

Salah satu sasaran USAID dalam program DDG yaitu manajemen


konflik dan mengembangkan pluralisme di Papua. Usaid menyiapkan dan
memberikan bantuan yang memfasilitasi organisasi-organisasi lokal dalam
mempromosikan nilai-nilai pluralisme, bekerja sama dengan elemen-elemen
religius/agama dan etnis dalam membangun dialog. Bantuan juga difokuskan
pada pendidikan yang menekankan dan menyebarkan pemahaman terkait
nilai-nilai demokrasi khususnya yang berhubungan dengan sikap toleransi,
pluralisme dan kesadaran akan keberagaman. Sasaran obyektif yang ingin
dicapai yaitu peran dan fungsi media berhadapan dengan konflik dan
pertikaian bukan sebagai provokator namun pembawa pencerahan; adanya
dialog, rasa saling percaya yang kuat antarsuku, agama, komunitas;
rehabilitasi dan rekonsiliasi yang stabil terhadap komunitas-komunitas pasca
terjadinya konflik; isu desentralisasi dikedepankan dalam proses rekonsiliasi
pasca-konflik; organisasi sipil berpartisipasi akrif dalam mediasi dan proses
pendamaian dalam situasi konflik.141

Papua terdiri dari beragam etnis dan sub-etnis. Selain itu, keberagaman
agama, denominasi gereja, kelas dan gender juga menjadi obyek klasifikasi

140
Humphrey Hawksley, Democracy Kills (New York: Mcmillan, 2009), hlm. 219.
141
USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008, Op. Cit., hlm. 39.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
78

sosial dalam masyarakat. Yang menjadi masalah, keberagaman ini cenderung


memicu konflik. Isu-isu keberagaman ini pun menjadi isu yang sensitif untuk
digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam kepentingan politik, yang
tentunya dapat dengan mudah memicu konflik. Konflik dapat bersifat vertikal
maupun horisontal. Konflik-konflik ini pun cenderung bersifat primordial
dalam bentuk etno-religius atau etno-politik konflik. Masyarakat pun
terdikotomi dalam kelompok mayoritas-minoritas.142

Dengan kondisi masyarakat seperti ini maka kohesi sosial pun lemah.
Masyarakat menjadi susah dikontrol, dan mudah diadu domba. Dalam
waawancara dengan Florianus Geong, sekretaris eksekutif di Yayasan Teratai
Hati Papua yang juga menangani isu keberagaman, dikatakan bahwa
pembentukan organisasi-organisasi masyarakat oleh pemerintah atau lembaga
donor pun sering menjadi pihak yang berkonflik. Dengan realitas sosial-
antropologis masyarakat Papua yang sensitif dengan keberagaman, isu
perpecahan mudah dijadikan alasan untuk militerisme di Papua, yang juga
menjadi pemicu konflik baru.143 Lemahnya kohesi sosial ini pun kemudian
menjaid penyebab buruknya tata pemerintahan di Papua. Masyarakat yang
terdikotomi dalam kelompok-kelompok sosial, etnis, dan lain-lain, menjadikan
pemerintahan berjalan tanpa kontrol. Kapasitas masyarakat dan civil society
sebagai aktor yang idealnya mengontrol kinerja kerja pemerintah tidak
berjalan efektif.144

Untuk itu, USAID melalui program DDG hadir untuk memberikan


pemahaman dan pendidikan tentang keberagaman dan menghindari konflik.
Selain itu, bantuan yang diberikan pasca konflik pun diberikan melalui
pelatihan kepada masyarakat dan CSO lokal, seperti bekerja sama dengan
PDISL Papua dalam program Pelatihan untuk Pelatih mengenai Rancangan
Monitoring dan Evaluasi yang Sensitif Konflik, bekerja sama dengan Vox
Papua dalam kegiatan Inisiasi Perdamaian: Solusi terhadap Konflik Akibat
Sistem Politik Tradisional dan Hubungannya dengan Kehidupan Sosial
Masyarakat di enam desa di Kecamatan Muaratami dan Abepura, bekerja
142
Vidhyandika, Op. Cit., hlm. 412.
143
Wawancara dengan Florianus Geong, sekretaris eksekutif pada Yayasan Teratai Hati
Papua, 3 Juni 2015.
144
Vidhyandika, Op. Cit., hlm. 412-413.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
79

sama dengan Lentera Papua dalam kegiatan Mempromosikan Perdamaian


melalui Perempuan dan Anak di Kecamatan Muaratami, Kabupaten Jayapura,
bekerja sama dengan KBR68H dalam kegiatan Rekonsiliasi dengan
Meningkatkan Kapasitas Masyarakat dan Media Massa di Papua, dll.145

Selain itu, untuk memaksimalkan tercapainya agenda ini, USAID


dalam program DDG di Papua mengimplementasikan beberapa program.
Program SOT (Survivors of Torture Programme) adalah salah satu program
dalam mendukung agenda Manajemen Konflik dan Mengembangkan
Pluralisme.146 Program ini merupakan bentuk perhatian pihak USAID
terhadap korban kekerasan di Papua, mengingat Papua adalah salah satu
wilayah rawan konflik di Indonesia. Dalam program ini, terdapat beberapa
tujuan yang ingin dicapai, yaitu:

a. Menumbuhkan kesadaran publik akan potensi kekerasan di Papua.


b. Bekerja sama dengan sejumlah NGO dalam mempromosikan,
mengkampanyekan dan mengadvokasi pencegahan dan dampak
kekerasan dan konflik di Papua.
c. Menyediakan dan memfasilitasi pelatihan dengan kapasitas
internasional kepada sejumlah NGO dan tokoh masyarakat dalam
mempertahankan keberadaan NGO yang sustainable.
d. Menyediakan institusi masyarakat dalam penyembuhan (healling) dan
konseling terhadap para korban kekerasan dan konflik.

Dalam menjalankan program ini, pihak USAID bekerja sama dengan


Pemerintah Daerah setempat dan sejumlah NGO, seperti Convention Against
Torture (CAT), ALDP (Aliansi Demokrasi Untuk Papua) sebuah LSM lokal
yang berafiliasi dengan International Rehabilitation Council for Torture
Victims (IRCTI), The United Nations Voluntary Funds for Victims of Torture
(UNVFVT), dan sejumlah NGO lain.

Kegiatan praktis yang dilakukan berupa pelatihan, konseling,


sosialisasi, advokasi, dll. Dalam kegiatan-kegiatannya pada program ini, pihak
USAID cenderung mengandalkan peran NGO lokal, seperti ALDP dalam

145
USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008, Op. Cit., hlm. 40.
146
USAID, Survivors of Torture Programme Report, 2010, hlm. 1-2.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
80

mengimplementasikan programnya. Hal ini dikarenakan kendala latar


belakang masyarakat Papua yang berasal dari beraneka suku, dan kemampuan
berbahasa Indonesia yang terbatas.147

Foto 2
Kegiatan Konseling yang dilakukan USAID berafiliasi dengan ALDP 148

Akan tetapi, realitas yang terjadi di Papua menunjukkan


ketidakefektivan program-program yang dijalankan DDG USAID. Survei
yang dilakukan World Bank pada tahun 2008 diketahui bahwa di antara enam
wilayah Provinsi yang potensial konflik di Indonesia, Papua menjadi daerah
dengan potensi konflik paling tinggi di Indonesia. Laporan yang dikeluarkan
World Bank, dalam kurun waktu 2006-2008, potensi korban meninggal karena
konflik untuk per-seratus ribu penduduk yaitu empat orang (urutan kedua yaitu
Maluku dengan potensi korban meninggal 2 orang per seratus ribu penduduk
tiap tahun).149

Selama 2004-2008, dilaporkan terjadi 40 insiden kekerasan separatis di


Papua, yang mengakibatkan 30 orang korban tewas. Sebaliknya, terdapat
3.308 insiden konflik kekerasan yang terkait dengan isu lain, yang
mengakibatkan 318 orang meninggal. Akan tetapi, analisis kajian media

147
Ibid., hlm. 9-10.
148
Ibid.
149
World Bank, Pola-Pola Baru Kekerasan di Indonesia: Data Awal dari Enam Wilayah Konflik
dengan Skala Paling Tinggi, Policy Brief World Bank, Edisi 3, November 2010, hlm. 6.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
81

memastikan bahwa banyak insiden separatis tidak diberitakan oleh surat kabar
lokal karena dianggap sensitif. Konflik separatis tidak terikat pada jumlah
insiden, tetapi tingginya tingkat kekerasan rutin dalam konteks Papua, yang
disertai aneka ketegangan sosial terkait gerakan separatis, perasaan anti-
pendatang, isu kesukuan dan isu eksploitasi sumber daya, menandai risiko
eskalasi konflik.150

Masih sensitifnya konflik dan pertikaian yang terjadi di Papua


mengindikasikan bahwa USAID melalui program DDG belum berhasil
memperbaiki permasalahan konflik di Papua. Sasaran program DDG yaitu
manajemen konflik dan mengembangkan pluralisme melalui kegiatan-kegiatan
yang dilakukan belum cukup efektif untuk mengatasi kecenderungan konflik
yang terjadi di Papua.

3.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Program DDG di


Papua

Pada bab II telah diuraikan gambaran umum terkait program bantuan


DDG di Papua. Dari program yang dijalankan USAID melalui DDG terlihat
pola top down yang begitu kental. Di sini terlihat ada kesalahan pemahaman
yang dilakukan USAID dalam menjalankan programnya ini. Fokus dan
pengandalan pemerintah daerah yang pada kenyataannya menjadi obyek
substansif terkait permasalahan bad governance di Papua merupakan langkah
keliru yang dilakukan USAID. Untuk itu, sesuai dengan kerangka analisis
yang dibuat penulis pada bab I, maka penulis akan melakukan analisis dengan
melihat kegagalan program DDG sebagai sebuah permasalahan lembaga
pemberi bantuan. Fokus penelaahan yang dilakukan dalam analisis ini yaitu
kurangnya pemahaman USAID terkait konteks politik dan budaya lokal, dan
kepentingan nasional Amerika yang dibawa USAID di Papua.

150
Ibid.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
82

3.3.1 Kurangnya Pemahaman USAID Terkait Konteks Politik dan


Budaya Lokal Papua

Dalam melihat kegagalan sebuah program yang berorientasi


pembangunan, khususnya yang berasal dari luar negri, harus ditelaah dari
perspektif politik dan sosial-budaya. Membaca perspektif tersebut dalam kaca
mata global dan kemudian menyandingkannya dalam konteks lokal. Karena
perbenturan antara yang global dan lokal bisa menjadi hambatan dalam
pembangunan dan kegagalan globalisasi itu sendiri.

Menurut analisis penulis, kesalahan pertama yang menjadi sebab


belum berhasilnya program USAID DDG terkait efektivitas good governance
di Papua yaitu pemahaman dan paradigma yang keliru dalam menjalankan
program bantuan yang diperlukan masyarakat Papua. Dalam perspektif
filsafat, paradigma ini dikenal sebagai fondasionalisme.151 Program yang
dilakukan di Papua yang dijalankan USAID melalui DDG berasumsi bahwa
rasionalitas dan perilaku administratif bersifat universal-manusiawi.
Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa rasionalitas bersifat tunggal. Apa
yang disebut baik oleh sebuah kelompok, maka akan dianggap baik juga oleh
kelompok yang lain. Masyarakat dianggap homogen, sehingga pola
pembangunan di suatu wilayah dapat diterapkan juga dengan cara yang sama
di tempat lain. Implikasinya, lembaga donor gagal melihat keunikan-keunikan
manusia yang cenderung berbeda-beda, sehingga gagal pula dalam
menghadirkan dan menemukan solusi yang tepat atas masalah-masalah yang
hendak diselesaikan.152

Pentingnya pemahaman akan konteks politik dan budaya lokal


dikemukakan secara tegas oleh Marilee Grindle:

“…not all governance deficits need to be tackled at once and that


institution and capacity building are products of time; governance
achievements can also be reserved. Good enough governance means
that interventions thought to contribute to the ends of economic and

151
Fondasionalisme yaitu paradigm yang melihat kebenaran bersifat tunggal, sehingga apa
yang diklaim benar oleh mayoritas merupakan dogma ideal yang harus diterima.
152
Partnership for Governance Reform Centre for Learning and Advancing Experimental
Democracy Indonesia Forestry and Governance Institute, Nilai-Nilai Dasar Orang Papua
dalam Mengelola Pemerintahan, Partnership, 2012, hlm. 2.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
83

political development need to be questioned, prioritized, and made


relevant to the conditions of individual countries. They need to be
assesed in light of historical evidence, sequence, and timing and they
should be selected carefully in terms of their contributions to
particular ends such as poverty reduction and democracy. Good
enough governance directs attentions to considerations of the minimal
conditions of governance necessary to allow political and economic
development to occur.”153
Dalam kutipan yang diambil dari Marilee Grindle di atas hal yang perlu
diperhatikan oleh USAID seharusnya adalah sikap kehati-hatian dalam
menerapkan dan mempromosikan konsep good governance dalam program
DDG yang dijalankannya. Karena dalam kenyataannya, dalam upaya
mewujudkan demokrasi dan good governance di Papua, pemekaran wilayah
yang mengikuti asas desentralisasi juga belum banyak membawa kontribusi
positif bagi perbaikan pelayanan publik, kinerja pemerintahan, pengentasan
kemiskinan dan pemberantasan korupsi. Pemekaran justru menimbulkan
masalah lain yang berbau primordial.154 Untuk itu, dalam upayanya
melokalkan konsep good governance, USAID harus menyesuaikan program-
programnya sesuai dengan konteks masyarakat Papua. Sehingga, program
yang diberikan dan diterapkan bisa lebih diterima dan diaplikasikan oleh
masyarakat Papua itu sendiri. Dengannya program tersebut mempunyai daya
guna bagi implementasi good governance di Papua.

Dari apa yang dianalisis penulis terkait agenda dan kegiatan bantuan
yang diimplementasikan USAID melalui program DDG, terlihat pihak USAID
tidak ‘menyatu’ dengan kultur lokal. Bahkan, beberapa kultur lokal yang
seharusnya bisa menjadi peluang diterimanya konsep good governance di
Papua sebaliknya dilihat sebagai masalah atau tantangan oleh pihak USAID.
Salah satu contohnya yaitu apa yang oleh pihak USAID dikatakan sebagai
pola kepemimpinan ‘big man’ di Papua. Model big man yaitu di mana yang
menjadi pemimpin adalah pria yang terkuat dalam suatu suku atau wilayah.
Kuat yang dimaksud yaitu kemampuan berbicara, mendistribusikan kekayaan,
berdiplomasi, keberanian memimpin perang, dan kemampuannya

153
Marilee Grindle, Good Governance:The Inflation Idea, Harvard Kennedy School,RWP 10-
23, Juni 2010, hlm. 14.
154
Yusak A. Reba, Op. Cit., hlm. 91-92.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
84

mempengaruhi orang lain.155 Dari perspektif demokrasi, gaya kepemimpinan


dan cara/pertimbangan memilih pemimpin seperti ini memang tidak
mencerminkan esensi nilai dalam konsep demokrasi. Akan tetapi, apabila
pihak Usaid bisa secara baik memahami konteks budaya lokal, justru yang
harus didekati, diberikan pemahaman tentang kepemimpinan yang baik yaitu
sang kepala suku atau pemimpin ini. Karena secara antropologi sosial
masyarakat Papua sangat mendengarkan dan menaati apa yang dikatakan sang
kepala suku. Jadi, apabila pemimpinnya baik dan benar kemungkinan pola
kepemimpinannya pun baik dan benar. Di sini efektivitas good governance
diafirmasi.

Akan tetapi, yang terjadi dalam kegiatan yang dilakukan USAID


sebaliknya. Gaya big man ini dilihat sebagai tantangan yang harus diubah. Di
sini terlihat ketidakmampuan pihak USAID dalam beradaptasi dengan kultur
politik dan budaya lokal. Paradigma penyamaan agenda dan program
dilakukan. Adaptasi penting untuk dilakukan. Menurut David Booth dari
Overseas Development Institute menguraikannya sebagai berikut. Dalam
tulisannya yang terdapat dalam sebuah laporan penelitian yang diterbitkan UN
berjudul Is Good Governance Good for Development?, adaptasi menjadi aspek
mutlak yang harus dilakukan dalam upaya mencapai good governance di
wilayah dengan kultur yang beragam seperti di Papua. Melalui bantuan luar
negeri dan konsep-konsep asing tentang good governance, hanya akan lebih
pada permukaan dan polesan. Menurutnya, untuk mencapai sebuah tata kelola
pemerintahan yang baik harus melalui sebuah proses yang lama dan
mendalam. Upaya perubahan yang cepat melalui bantuan dan program luar
negeri bahkan bisa menimbulkan disorientasi dalam pemerintahan, karena
adanya kesalahpahaman tentang konteks dan substansi permasalahan di daerah
yang menjadi tujuan program dijalankan.156

Pentingnya adaptasi dengan kultur politik dan budaya lokal yaitu agar
program yang ditawarkan bisa lebih diterima oleh masyarakat lokal. Menurut
Vidhyandika dalam tulisannya “Indiginized Good Governance dan
155
Dyah Mutiarin, Op. Cit., hlm. 120.
156
David Booth, Is Good Governance Good for Development?, Diakses dari http:
//blogs.worldbank.org/publicsphere/blog-post-month-five-myths-about-governance-and-
development?cid=EXT_FBWB_D_EXT, pada tanggal 2 April 2015.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
85

Akuntabilitas Sosial di Papua”, dikatakan bahwa good governance cenderung


dilihat sebagai produk import yang tidak sesuai dengan budaya lokal. Nilai-
nilai good governance dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal
masyarakat Papua.157 Contoh kasus yaitu program ‘rumah sehat’. Menurut
Florianus Geong, salah seorang aktivis HAM di Papua, pembangunan rumah
sehat sebagai ganti Honai yang adalah tempat tinggal orang Papua asli secara
perlahan mengikis budaya musyawarah untuk mufakat di Papua. Dalam
budaya orang Papua, Honai menjadi rumah tempat segala hal dibicarakan.
Permasalahan apapun dibicarakan dan selesai di dalam Honai. Akan tetapi,
dengan hadirnya rumah sehat, orang Papua cenderung enggan untuk ke rumah
sehat tersebut.158 Salah satu kekhawatiran mendasar dari program yang
dijalankan USAID di Papua yang tidak berbasis nilai lokal adalah
memudarnya nilai-nilai masyarakat Papua dari akar lokalitasnya. Jika
kesadaran seperti ini tidak ditanamkan dalam diri para lembaga donor dan
pemangku kebijakan, baik orang Papua sendiri maupun orang-orang non-
Papua yang terlibat dalam pembangunan Papua, maka bukan mustahil strategi
pembangunan yang dirumuskan kehilangan idealismenya. Idealisme untuk
membangun Papua agar lebih sejahtera dan lebih bermartabat kemudian hanya
akan menjadi jargon, karena selain pembangunan materialnya sendiri gagal,
nilai Papua yang terkandung di dalamnya juga memudar.159

Hal lain yang dinilai sebagai kekurangan USAID dalam program DDG
yaitu pola pemberian bantuan yang sifatnya tidak transformatif. USAID
harusnya menyadari bahwa perilaku korupsi masih menjadi kultur bad
governance yang sering terjadi di kalangan pemerintah Papua. Implementasi
good governance ditunjang dengan bantuan dari donor sehingga diminati oleh
penguasa baik pusat maupun daerah. Program bantuan selalu dilihat sebagai
proyek. Dan perspektif ‘orang lokal’, proyek berarti uang. Di sini aspek
pemanfaatan bantuan untuk kepentingan individu dan kelompok lebih kuat

157
Vidhyandika, Op. Cit., hlm. 410.
158
Wawancara dengan Florianus Geong, sekretaris eksekutif pada Yayasan Teratai Hati
Papua, 3 Juni 2015.
159
Partnership for Governance Reform Centre for Learning and Advancing Experimental
Democracy Indonesia Forestry and Governance Institute, Nilai-Nilai Dasar Orang Papua
dalam Mengelola Pemerintahan, Partnership, 2012, hlm. 7.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
86

dibandingkan idealismenya untuk kepentingan masyarakat. 160 Menurut


penulis, dengan kasus seperti ini USAID kurang serius dalam menjalankan
program bantuannya yaitu DDG di Papua. Bantuan yang diberikan untuk
memberi kesan positif terkait kehadiran pihak asing yang diwakili USAID di
Papua, dalam hal ini pemerintah AS. Hal ini terlihat dari tidak mendalamnya
program-program yang diberikan. Padahal, pemahaman dan analisis yang
mendalam terhadap pengaruh dari aspek kultural ini, dapat secara positif
membantu proses identifikasi penyebab lemahnya tata pemerintahan di Papua.
Karena selama ini, aspek kultural cenderung dimaknai dengan sempit dan
bahkan diabaikan dalam proses formulasi dan implementasi kebijakan. Dalam
situasi demikian, secara otomatis sistem budaya dan sistem sosial masyarakat
setempat tidak menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan.

Permasalahan krusial dalam bantuan USAID melalui program DDG


yaitu tidak adanya fokus bantuan pada sektor pendidikan. Pendidikan sejatinya
menjadi kata kunci dalam setiap perubahan yang lebih baik. Pendidikan juga
menjadi media untuk transfer nilai, transfer norma untuk menanamkan
pengaruh tertentu, untuk mewacanakan konsep tertentu, untuk mengubah
paradigma ideologi tertentu.

Pendidikan pun akan membantu dalam mengubah pola pikir, yang


turut meningkatkan SDM masyarakat. Hal ini yang menjadi prioritas
pendidikan sebagai senjata penguatan demokrasi. Keterbatasan Sumber Daya
Manusia harus dilihat sebagai masalah pokok. Keterbatasan akses terhadap
pendidikan, karena berbagai alasan, dan umumnya karena alasan ekonomi,
menjadikan SDM masyarakat masih ‘kalah’ dengan kapasitas SDA-nya.
Sehingga umumnya aset-aset SDA dikuasai ‘orang asing’ yang lebih mampu
mengelolanya. Situasi seperti ini kemudian menjadikan Negara Indonesia
cenderung mengandalkan bantuan luar negeri. Stanley A. Weiss, dalam
tulisannya Islam and Education: The Classroom Battle for Indonesia’s Soul,
menganalogikan Indonesia sebagai “a beggar with a golden bowl”- Negara
kaya yang ‘mengemis’.

160
Luky Jani, Op. Cit., hlm. 61.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
87

Kualitas pendidikan di Papua menjadi yang terburuk di Indonesia.


Banyak masyarakat Papua tidak bersekolah, dan bahkan yang menempuh
pendidikan sampai Sekolah Dasar pun hanya sebagian kecil. Selain itu, bila
dibandingkan dengan persentase perempuan Indonesia yang melek huruf,
hanya 44% perempuan Papua yang melek-huruf, dibandingkan 78%
perempuan melek-huruf di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk kaum pria
58% diantaranya melek-huruf di Papua, dibandingkan dengan 90% pria melek
huruf di seluruh Indonesia. Kualitas pendidikan di Papua tetap rendah, hanya
10% rakyat Papua yang mengenyam pendidikan sampai ke tingkat SMA, dan
hanya 1 persen diantaranya yang lulus kuliah.161

Minimnya jumlah dan kualitas tenaga pendidik dan terbatasnya sarana


dan prasarana pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil, tertinggal
dan terisolir menjadi persoalan yang seakan terabaikan di Papua. APBD Papua
mengalokasikan dana yang kecil untuk bidang pendidikan. Dalam kurun
waktu 2004-2008, rata-rata persentasi alokasi dana pendidikan dari APBD
hanya sekitar 4,71%.162

Padahal, demokratisasi dan good governance untuk konteks


permasalahan sistemik seperti yang terjadi di Papua, harus juga melalui
penanganan yang sistemik, yaitu melalui pendidikan. Pendidikan menjadi
salah satu faktor elementer dalam memajukan suatu daerah, bangsa, negara.
Untuk itu, kebutuhan akan pendidikan yang baik menjadi mutlak adanya.
Terciptanya good governance juga mensyaratkan dukungan pendidikan yang
memadai. Pendidikan menjadi kunci di mana para pengelola pemerintahan dan
pembuat kebijakan dapat menjalankan suatu roda pemerintahan yang baik.
Pendidikan juga yang memungkinkan masyarakat dan civil society dapat
secara aktif dan kritis terlibat secara konstruktif dalam mengontrol dan
mengawasi proses tata pemerintahan.

Sosialisasi dan pelatihan yang dilakukan dalam berbagai program yang


dilakukan USAID melalui DRSP (Democratic Reform Support Programme),
yang didukung juga oleh program C4J (Changes for Justice Programme) dan

161
Council of Foreign Relations, Komisi Untuk Indonesia: Kedamaian dan Perkembanganya di
Papua, hlm. 59.
162
Ibid., hlm. 33.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
88

program E2J (Educating, Equipping Tomorrow’s Justice Reformer) masih


belum memadai. Program ini membuat banyak pelatihan kepada elemen
masyarakat yang sudah dengan basis pendidikan baik. Selain itu, juga
diberikan kepada para birokrat dan legislator yang mana selalu sarat akan
kepentingan politis. Hal ini tentunya tidak cukup dalam menjamin
keberhasilan program DDG di Papua.

USAID harus lebih banyak masuk ke sekolah-sekolah, menciptakan


manusia-manusia unggul dengan kualitas Sumber Daya Manusia yang baik,
dengan kesadaran demokrasi yang baik pula. Dengan ini akan muncul
masyarakat Papua yang bisa mengimbangi pengaruh politik dan membendung
kecenderungan bad governance di Pemerintahan. Penggerak masyarakat dan
LSM lokal di Papua pada umumnya terdiri dari orang luar Papua. Kesadaran
masyarakat Papua terhadap demokrasi dan good governance sendiri masih
minim. Hal ini seharusnya menjadi fokus obyek pemberdayaan dari setiap
program USAID.163

Diagram Permasalahan Pemahaman USAID Terhadap Budaya dan Konteks


Politik Lokal di Papua

Permasalahan Pemahaman Terhadap Budaya dan Politik


Lokal Papua

a. Homogenisasi budaya dan konteks politik


b. Ketidakmampuan beradaptasi: primordialisme masih kuat
di antara suku-suku Papua
c. Pola ‘asing’ memudarkan nilai lokal di Papua, sehingga
ada upaya penolakan

Tidak Memberikan Prioritas kepada sektor Pendidikan


a. Pendidikan menjadi faktor kunci demokratisasi dan good
governance
b. Papua adalah wilayah dengan mayoritas masyarakat
terbelakang dari aspek pendidikan

163
Wawancara dengan Florianus Geong, sekretaris eksekutif pada Yayasan Teratai Hati
Papua, 3 Juni 2015.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
89

3.3.2 Kepentingan Nasional Amerika

Kerja sama USAID dan pemerintah Indonesia telah dimulai sejak


tahun 1950. Indonesia dinilai mempunyai posisi strategis untuk berbagai
kepentingan AS. Pentingnya Indonesia bagi Amerika dengan dikemukakan
dalam pidato Edward Masters, Duta Besar Amerika untuk Indonesia, di depan
American Chamber of Commerce pada 27 Januari 1980:

“Indonesia sangat penting dari segi keamanan. Negara ini terletak


secara strategis di antara Australia dan daratan Asia. Indonesia
terbentang di antara jalur-jalur laut yang menggabungkan Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia yang bersahabat, stabil dan
sehat secara ekonomis, dengan wilayah perairan yang luas menjamin
kondusivitas dan posisi penting ini selalu tetap terbuka untuk kita dan
negara-negara di kawasan Pasifik dan semuanya adalah garis hidup
Eropa dan Timur Tengah.”164
Papua merupakan salah satu daerah prioritas USAID dalam memberi
bantuan di Indonesia. Menurut analisis penulis, hal ini tidak terlepas dari
kepentingan nasional AS yang dibawa serta USAID dalam menjalankan
program bantuannya. Menurut Hans Morgenthau dalam A Political Theory of
Foreign Aid, bantuan luar negri adalah perwujudan kepentingan nasional dari
negara kaya kepada negara miskin dalam bentuk bantuan militer,
kemanusiaan, dana, pembangunan ekonomi yang di dalamnya terkandung
kepentingan nasional dari negara pendonor kepada negara penerima.
Morgenthau menolak argumentasi bahwa pemberian bantuan luar negri
digunakan sebagai instrument penguat kapasitas demokrasi yang selanjutnya
akan menjadi dasar terciptanya perdamaian dunia. Menurutnya, sebagian besar
tipe bantuan internasional bersifat politis, hanya sedikit yang
sifatnya humanitarian foreign aid. Artinya, hal yang seharusnya bersifat non-
politis kemudian bersifat sangat politis ketika diletakkan dalam konteks
politik.165 Hal serupa juga diungkapkan oleh Florini dan Simmons yang
mengatakan bahwa bantuan luar negeri berfokus pada bagaimana aktor
internasional mengkonstruksi kepentingan atau interest mereka, yang
kemudian mempengaruhi perilaku dan kebijakan yang diambil. Selain itu,

164
Diakses dari http://www.usaid.gov/who-we-are/usaid-history, pada tanggal 20 April 2015.
165
Hans Morgenthau, A Political Theory of Foreign Aid, The American Political Science
Review, LVI(2), 1962, hlm. 301-309.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
90

dengan pemahaman konstruktivisme, aktor dapat menentukan tindakan apa


yang seharusnya dilakukan dan mengapa suatu tujuan dapat berubah.
Konstruktivisme menyoroti bahwa beragam entitas—militer, ekonomi dan
sumber daya lain—harus berinteraksi dengan para agen. Agen yang dimaksud
adalah masyarakat dan institusi yang membentuk norma internasional, di mana
mereka menentukan perilaku dan tindakan yang mana yang bisa diterima
dalam pola hubungan internasional.166 Contohnya yaitu program bantuan AS
melalui USAID terkait rancangan UU Migas, di mana kemudian terjadi
perubahan Undang-Undang Migas No 8 Tahun 1971 menjadi Undang-Undang
No 22 Tahun 2001 yang lebih menguntungkan pihak AS terkait bertambahnya
pasokan minyak ke negaranya.167

Atas hal tersebut, maka menurut penulis, kerja sama yang dijalankan
USAID melalui program DDG berjalan tidak efektif, khususnya untuk
terciptanya efektivitas good governance di Papua yaitu karena ada
kepentingan ganda yang dibawa serta USAID di Papua.

Kepentingan AS di Papua yang cukup dominan terkait keberadaan PT


Freeport sebagai korporasi raksasa yang merupakan perusahaan tambang
tembaga terbesar di dunia. Freeport menjadi perusahaan Amerika yang
menghasilkan devisa yang sangat besar tiap tahunnya untuk Amerika.
Dukungan AS untuk Indonesia tentunya mempunyai implikasi politis yaitu
sebagai feedback terkait dukungan Indonesia dalam kontrak kerja Freeport di
Papua. Keberadaan Freeport di Papua sejak jaman Orde Baru, melalui
kesepakatan kontrak kerja Karya 1 tahun 1967 kemudian mulai beroperasi
pada tahun 1970 dan produksi pertama tahun 1973. Kontrak kerja ini
kemudian diperpanjang lagi melalui Kontrak Karya 2 pada tahun 1991.

166
Florini dan Simmons,What the World Needs Now, dalam Florini, Ann (ed.), The Third
Force: The Rise of Transnational Society, (Washington : Carnegie for International
Endowment Peace, 2000), hlm. 25.
167
Diterapkannya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dinilai sangat liberal.
Pemerintah, melalui UU ini, seakan melepas tanggung jawab dalam pengelolaan Migas.
Dalam UU ini dapat dikatakan bahwa: (1) Pemerintah membuka peluang pengelolaan Migas
kepada asing dan domestik karena BUMN Migas Nasional diprivatisasi; (2) Pemerintah
memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun domestik untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi minyak; (3) Perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan
harga sendiri. Siti Amelia, Konstelasi Politik Internasional: Dimanakah Posisi Indonesia?,
Global and Policy, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2013, hlm. 70.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
91

Dengannya perusahaan multinasional ini dapat beroperasi di Papua sampai


tahun 2021, dan kemungkinan masih bisa diperpanjang lagi melihat hubungan
baik dan keuntungan ekonomis win-win solution antarkedua negara. Karena
walaupun dominasi keuntungan menjadi milik AS, tetapi untuk Indonesia
jatah keuntungan yang diperoleh sudah menjadi pemasukan yang besar. PT
Freeport sendiri menjadi korporasi yang teratur dan terbesar dalam membayar
pajak tiap tahunnya ke Indonesia dengan pemasukan sebesar 700 juta US
Dollar-800 juta (sekitar 24 trilliun rupiah) US Dollar tiap tahunnya.168

Tabel Produksi dan Pendapatan PT Freeport Tahun 2004-2008169

Tabel di atas menunjukkan besarnya pendapatan PT Freeport dari hasil


pertambangan di Papua. Keuntungan yang diperoleh sangat jauh melebihi
pendapatan melalui pajak yang diterima pemerintah Indonesia. Akan tetapi,
dengan nilai pemasukan pajak yang kecil itu pun, memiliki nilai yang besar
untuk pemerintah Indonesia. Akan tetapi, masyarakat Papua sendiri sebagai
pemilik daerah dan tanah di mana pertambangan itu dilakukan, masih
terperangkap dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Berbagai permasalahan
sosial, politik dan keamanan seakan tidak hentinya terjadi di Papua.

USAID mengkategorikan Papua sebagai salah satu dari enam propinsi


yang mendapatkan perhatian khusus. Bantuan pembangunan secara resmi
diberikan dalam bentuk kontribusi dari perusahaan-perusahaan internasional.

168
Abdullah Harimanto, Tambang: Berkah atau Bencana, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 3,
Issue 1, hlm. 47.
169
Laporan PT Freeport Indonesia Tahun 2008.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
92

Dalam hal ini Freeport menyalurkan bantuan langsung kepada masyarakat


yang terkena dampak keberadaan perusahaan ini. Freeport mengalokasikan
satu persen dari keuntungan brutonya untuk pembangunan masyarakat
setempat. Program yang dinamakan Dana Satu Persen (One Percent Fund)
tersebut memberikan dana untuk pelayanan masyarakat, pendidikan,
pembangunan infrastrutur, dan proyek-proyek mikrofinansial. Saat ini BP
mengkontribusikan 6 juta US dollar kepada Global Development Alliance di
Usaid. Walaupun bantuan-bantuan ini telah diberikan, Papua tetap menduduki
peringkat kedua sebagai propinsi termiskin dalam Human Development Index
oleh Program Pembangunan PBB.170

Walaupun Freeport telah melakukan usaha-usaha pembangunan


masyarakat setempat, sejumlah orang Papua percaya bahwa perusahaan
tersebut memperparah konflik sosial serta mengeruk kekayaan alam. Limbah
yang dihasilkan tambang Grasberg mengakibatkan polusi sungai-sungai dan
erosi tanah. Sejumlah bantuan yang diberikan Freeport bertindak sebagai
‘penjinakkan’ yang berfungsi menarik hati rakyat Timika, tetapi ternyata
hanya menguntungkan kaum pendatang. Penyebaran bantuan tidak merata,
sementara pelaksanaannya sering tidak melalui konsultasi atau sumbang saran
171
dari para pemangku adat dan pemimpin masyarakat. Penyebaran bantuan
yang tidak merata bisa dilihat sebagai strategi Freeport dalam memecah belah
masyarakat Papua. Masyarakat Papua yang rentan terhadap konflik kemudian
menjadi mudah terprovokasi dengan isu ketidakadilan terkait tidak meratanya
penyebaran bantuan. Hal ini juga dapat dilihat dengan proses pemberian
bantuan yang tidak berkonsultasi dengan pihak adat selaku pemangku
kebijakan dan yang sangat didengarkan oleh pada umumnya masyarakat
Papua.

Dengan ini, AS pun menentang setiap usaha separatis Papua dari


Indonesia yang dilakukan berbagai pihak melalui jalur apapun. Sebaliknya,
AS selalu mendukung upaya Indonesia dalam ‘mengamankan’ wilayah Papua
termasuk bantuan AS dalam pembentukan status Papua sebagai daerah

170
Dennis Blair dan David Philips, Komisi untuk Indonesia: Perdamaian dan kemajuan di
Papua, Council of Foreign Relations, hlm. 92
171
Ibid. hlm 93

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
93

Otonomi Khusus. AS pun melalui lembaga pemberi bantuan luar negrinya,


yaitu Usaid, menjadikan Papua sebagai salah satu prioritas daerah pemberi
bantuan.172

Untuk pihak Indonesia, AS memiliki peran yang signifikan terkait


dukungan politisnya di Papua. Dalam proses integrasi Papua ke wilayah
NKRI, AS menjadi negara yang dengan kebijakan politisnya mendukung
Indonesia untuk menjadikan Papua sebagai bagian dari wilayahnya. AS
mempunyai peran politis dalam mendukung kebijakan Indonesia untuk
‘mengembalikan’ wilayah Papua melalui diplomasi dan mendukung Pepera
(act of free choice) tahun 1969 yang kemudian menghasilkan keputusan PBB
yang menyatakan Papua sebagai bagian resmi dari wilayah Indonesia.173

Terkait kepentingan keamanan, salah satu daerah strategis dari


perspektif keamanan, seperti yang diungkapkan Edward Masters di atas yaitu
di wilayah Papua, seperti di Biak Numfor. Pada era Perang dunia II wilayah
ini dijadikan sebagai benteng pertahanan bagi Sekutu maupun Jepang.
Peninggalannya masih tersisa sampai sekarang. Seperti lapangan terbang,
benteng pertahanan dan gua-gua perlindungan yang kini menjadi obyek
wisata. Biak Numfor dipilih karena letaknya strategis secara geografis, terletak
di Teluk Cenderawasih, berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik di
sebelah utara dan timur, di sebelah selatan berbatasan dengan selat Yapen.
Kabupaten ini merupakan gugusan pulau yang berada di sebelah utara daratan
Papua, berseberangan langsung dengan lautan Pasifik. Posisi inilah yang
menjadikan Biak Numfor sebagai salah satu tempat yang penting untuk
berhubungan dengan dunia luar, terutama dengan negara-negara di kawasan
Pasifik, Australia dan Filipina.174

AS mempunyai banyak aset di Papua. Beberapa korporasi minyak dan


pertambangannya beroperasi di Papua. Selama ini, gejolak penolakan terkait
masalah yang ditimbulkan karena keberadaan perusahaan-perusahaan asing ini
cukup sering terjadi dan tidak sedikit pula korban yang meninggal. Masalah

172
Ibid.
173
Ibid.
174
Rochani, Achmad dan Mansim, Naftali, Biak Numfor: Upaya Bangkit dari Keterpurukan
(Makasar: Pustaka Refleksi, 2006), hlm. 17.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
94

kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial menjadi tema yang terus


disuarakan para pegiat HAM dan civil society di Papua untuk melawan
keberadaan perusahaan-perusahaan ini. Akan tetapi, permasalahan-
permasalahan ini selalu bisa diredam dengan kekuatan militer. Pemerintah
daerah dan pemerintah pusat pun cenderung diam.

Terkait sikap pemerintah seperti ini, Peter King, seorang pemerhati


masalah Papua dalam tulisannya Morning Star Rising?, menulis sebuah
pernyataan menarik, yaitu “I Like the Indonesians, It’s the System I hate.”
Pernyataan tersebut pun mewakili kekecewaan orang Papua yang dalam kurun
waktu berpuluh-puluh tahun merasa diabaikan oleh pemerintah Indonesia.
Pembangunan yang dilakukan di tanah Papua lebih dinikmati oleh orang-
orang non-Papua di sana. Orang Papua sendiri melihat tanah mereka dalam
hubungannya dengan Indonesia lebih akrab dengan istilah perbudakan,
perampasan dan eksploitasi.175 Realitas tersebut tentunya menimbulkan
tipisnya kesadaran dan nilai rasa orang Papua sebagai orang Indonesia.
Pembentukan identitas nasional orang Papua ini yang juga turut
mempengaruhi pergerakan dan perjuangan kemerdekaan orang Papua untuk
lepas dari ‘penjajahan’ Indonesia. Peter King menulis, pemerintah Indonesia
lebih membutuhkan “tanah” Papua dan bukan “orang” Papua. Pemahaman
seperti ini yang juga kemudian membentuk identitas diri orang Papua sebagai
yang bukan Indonesia.176

Terkait kepentingan negara pendonor di balik pemberian bantuan luar


negeri, dalam hal ini kepentingan AS melalui program DDG dari USAID,
James Bovard menulis:

“… US Foreign Aid has been judged by its intentions, not its results.
Foreign aid programmes have been perpetuated and expanded not
because they have succeeded, but because giving foregin aid still
seems like a good idea. But foreign aid has rarely done anything that
countries could not have done for themselves. And it has often
encouraged the recipient governments’ worst tendencies –helping to

175
Peter King, Morning Star Rising?, Jurnal Indonesia, No. 73, April 2002, hlm. 89.
176
Ibid.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
95

underwrite programs and policies that have starved thousands of


people and derailed struggling economies.”177
Apa yang diungkapkan James Bovard di atas kemudian menjadi permasalahan
yang menarik, karena bila disesuaikan dengan konteks permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini, berarti bahwa USAID yang hendak
mempromosikan dan mengimplementasikan good governance di Papua, di sisi
lain kepentingan AS di Papua juga menjadi alasan lain dari adanya bad
governance di Papua.

Menurut analisis penulis, situasi bad governance sebenarnya


diinginkan oleh pihak AS. Karena dengan demikian, Papua memiliki
kompleksitas permasalahan dan tidak adanya persatuan dalam melawan
otoritas dan hegemoni perusahan-perusahaan asing tersebut dalam
mengeksploitasi kekayaan alam Papua. Sehingga, kehadiran dan keberadaan
Usaid melalui program DDG hanyalah dalil untuk mengubah cara pandang
pemerintah dan masyarakat tentang pihak AS yang dilihat sebagai pihak yang
peduli dengan permasalahan yang ada di Papua.

Morgenthau dengan pandangan realisnya mengatakan bahwa bantuan


luar negeri harus selalu dipahami secara politis. Interaksi dan intervensi asing
atas permasalahan suatu negara harus selalu dicurigai dengan kepentingan
nasional yang dibawa serta negara asing tersebut. Menurutnya, keberhasilan
suatu Negara dalam banyak aspek, terjadi karena Negara tersebut berdiri di
atas keterpurukan Negara lain. Artinya bahwa, suatu negara maju, khususnya
Negara besar seperti AS, mencapai kebesaran dan kemajuannya dengan
mengeksploitasi Negara lain. Dan sasaran eksploitasi ini cenderung mengarah
kepada Negara berkembang dengan kapasitas kekayaan alam yang melimpah,
seperti Indonesia. Dalam pandangannya, bantuan internasional bukannya
menghasilkan peningkatan pembangunan, namun justru menjadi alat
pelayanan kepentingan Negara besar. Demokratisasi hanyalah menjadi dalil
agar suatu Negara besar bisa masuk dan mengintervensi kebijakan-kebijakan
nasional dari Negara yang menjadi sasaran eksploitasi.178

177
James Bovard, The Continuing Failure of Foreign Aid, Policy Analysis, No. 65, January 31,
hlm. 1.
178
Morgenthau, Op.cit., hlm. 301-309.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
96

Diagram Kepentingan Nasional AS di Papua

Kepentingan Nasional AS di Papua

Konsep Realisme Hans


Morgenthau: bantuan luar
negeri selalu berarti
kepentingan nasional Negara
donor.

Keberadaan Freeport sebagai asset


pemerintah AS di Papua

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
97

BAB IV

KESIMPULAN

Bab ini merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian penulisan.


Dalam bab ini, penulis akan merangkum kesimpulan dari penelitian yang telah
dilakukan. Selain itu juga penulis akan memberikan saran berupa rekomendasi
yang dinilai penulis mampu menjadi masukan konstruktif terkait penelitian
yang telah dilakukan.

4.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, maka penulis menemukan


beberapa poin yang menjadi kesimpulan dari penelitian tentang kegagalan
program DDG dari USAID tentang pelaksanaan good governance di Papua.

Pertama, good governance masih menjadi ideal yang masih sulit


diwujudkan di daerah Papua. Permasalahan internal seperti lemahnya
tanggung jawab para birokrat dan legislator dalam menjalanakan tata kelola
pemerintahan menjadikan situasi tata kelola pemerintahan di Papua akrab
dengan label bad governance. Pemberlakuan status Papua sebagai daerah
Otonomi Khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001 pun tidak memberikan
dampak yang signifikan. Praktek korupsi, tidak adanya transparansi dalam
pengelolaan anggaran, lemahnya akuntabilitas publik, masih rentannya konflik
dan permasalahan sosial dan politik yang cukup sering berujung pada kasus
pelanggaran HAM, minimnya fasilitas dan penanganan terhadap penanganan
masalah kesehatan, kualitas pendidikan yang buruk, dll., menjadi
permasalahan yang stagnan di Papua. Realitas ini menjadi semakin parah
dengan minimnya kontrol publik terhadap permasalahan-permasalahan
tersebut. Implikasi dari realitas ini yaitu kondisi sosial dan perekonomian
Papua yang cenderung terbelakang dibandingakan daerah lain di Indonesia.

Kedua, terkait hal yang menjadi jawaban dari pertanyaan penelitian,


sekaligus kesimpulan dari keseluruhan tesis ini. Dalam temuan dari penelitian

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
98

dan analisis data yang dilakukan penulis, maka terdapat dua faktor yang
menjadi alasan kegagalan program USAID-DDG di Papua 2004-2008, yaitu
kurangnya pemahaman USAID selaku lembaga donor terhadap konteks
budaya lokal dan politik lokal, dan faktor kepentingan nasional AS yang
dibawa serta USAID dalam program ini.

USAID yang kemudian hadir sebagai lembaga yang memberi bantuan


dalam mengangani permasalahan bad governance melalui program DDG pun
mencoba memperbaiki situasi tersebut. Dengan tema demokrasi dan
desentralisasi USAID dalam progarm DDG ini berupaya mewujudkan good
governance sebagai bagian dari model tata kelola pemerintahan di Papua.
Berbagai kegiatan dilakukan dalam mewujudkan cita-citanya ini. Akan tetapi,
program yang dijalankan dalam kurun waktu 2004-2008 ini tidak membawa
dampak yang signifikan dalam perbaikan tata kelola pemerintahan di Papua.
Good governance masih menjadi ideal yang jauh dari implementasi yang
diharapkan.

Dalam penelitian dan analisis yang penulis lakukan, dengan fokus pada
program DDG dan pihak USAID sebagai obyek penelitian penyebab
kegagalan, penulis menemukan dua alasan seperti yang sudah ditulis di atas.
Alasan pertama yaitu kurangnya pemahaman USAID selaku lembaga donor
terhadap konteks budaya lokal dan politik lokal. Konteks budaya dan kultur
politik masyarakat Papua berbeda dengan daerah lainnya. Untuk itu,
rancangan dan penerapan program yang kontekstual seharusnya dilakukan.
Dalam program DDG ini Usaid menyamaratakan apa yang dilakukannya di
daerah lain di Indonesia dengan apa yang dilakukannya di Papua. Papua
memiliki latar belakang sejarah masuknya ke Indonesia yang agak berbeda
dengan pada umumnya wilayah lain di Indonesia. Secara klasifikasi ras pun
masyarakat asli Papua adalah ras melanesoid yang berbeda dengan ras daerah
lain di Indonesia. Selain itu, dalam kultur politik masyarakat Papua masih
kental dengan pola kesukuan. Paradigma ini masih sangat berpengaruh
terhadap tata kelola pemerintahan di Papua. Kecenderungan tata kelola
pemerintahan yang primordialis masih sangat kuat. Bahkan, pola big man
yang mana pemimpin dipilih dengan pertimbangan primus interpares pun
masih sering terjadi. Dalam budaya politik Papua pun masih sering ada

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
99

pandangan yang membedakan orang pantai dan orang gunung, asal suku, dan
pertimbangan primordialis lainnya.

USAID di sini tidak mampu beradaptasi dan memahami konteks


budaya lokal dan politik lokal yang terjadi di Papua. Hal ini kemudian
membuat masyarakat Papua merasa asing dengan konsep good governance
yang ditawarkan. USAID sepertinya masih bertahan dengan paradigma yang
melihat kultur lokal tidak bisa berbaur dengan idealisme konsep good
governance yang ditawarkan. Hasilnya adalah kegagalan program DDG yang
mereka jalankan di Papua.

Alasan kedua yaitu faktor kepentingan nasional AS yang dibawa serta


USAID dalam program ini. Ada sejumlah teori tentang bantuan luar negri
yang mengatakan bahwa pemberian bantuan luar negri selalu disertai
kepentingan nasional, entah kepentingan politik ataupun ekonomi, dari negara
asal lembaga pendonor. USAID dalam hal ini membawa serta kepentingan AS
dalam menjalankan programnya.

Seperti yang diuraikan pada bab 3, AS memiliki sejumlah aset


ekonomi di Papua. Keberadaan Freeport sebagai perusahan tambang terbesar
di dunia dan menghasilkan devisa yang sangat besar untuk AS, kemudian
menjadikan bumi Papua sebagai obyek eksploitasi untuk memperkaya AS.
Total potensi pendapatan tambang Freeport dapat mencapai US$ 300 miliar
atau sekitar Rp 3000 triliun. Namun, yang terjadi pengelolaan SDA Indonesia
rata-rata diserahkan kepada perusahaan asing (UU 22/2001 tentang migas,
Perpres 5/2006 tentang kebijakan energi nasional, UU 30/2007 tentang energi,
UU 4/2009 tentang minerba). Tambang di Papua misalnya, diserahkan kepada
PT Freepot, bagian yang diperuntukkan Indonesia pun sangat kecil: royalti
yang diterima dari PTFI untuk emas 1%, untuk tembaga 1,5% (jika harga
kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% (jika harga US$ 1.1/pound) dan
untuk perak 1,25 %.

Kehadiran Freeport di Papua yaitu sejak jaman Orde Baru, melalui


kesepakatan kontrak kerja Karya 1 tahun 1967 kemudian mulai beroperasi
pada tahun 1970 dan produksi pertama tahun 1973. Kontrak kerja ini
kemudian diperpanjang lagi melalui Kontrak Karya 2 pada tahun 1991.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
100

Dengannya perusahaan multinasional ini dapat beroperasi di Papua sampai


tahun 2021, dan kemungkinan masih bisa diperpanjang lagi melihat hubungan
baik dan keuntungan ekonomis win-win solution antarkedua negara. PT
Freeport sendiri menjadi korporasi yang teratur dan terbesar dalam membayar
pajak tiap tahunnya ke Indonesia dengan pemasukan sebesar 700 juta US
Dollar-800 juta (sekitar 24 trilliun rupiah) US Dollar tiap tahunnya. AS
tentunya ingin selalu mengamankan asetnya ini. Untuk itu, dalam upayanya
meredam sejumlah aksi penolakan terhadap keberadaan perusahaan-
perusahaannya di Papua, AS melalui USAID selalu menjadi lembaga donor
yang membantu Papua dalam berbagai programnya. USAID sendiri cenderung
hanya menjadi fasilitator dengan merancang program dan menyediakan dana.
Dan elemen “dana/uang” inilah yang menjadi obyek permasalahan bad
governance di Papua. Bantuan-bantuan asing sering menjadi ‘sumber
pemasukan’ bagi para pemerintah lokal. Dana bantuan yang diberikan lebih
banyak dikorupsi dari pada digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Hal ini berarti bahwa USAID yang hendak mempromosikan dan


mengimplementasikan good governance di Papua, di sisi lain kepentingan AS
di Papua juga menjadi alasan lain dari adanya bad governance di Papua.
Menurut analisis penulis, situasi bad governance sebenarnya diinginkan oleh
pihak AS. Karena dengan demikian, Papua memiliki kompleksitas
permasalahan dan tidak adanya persatuan dalam melawan otoritas dan
hegemoni perusahan-perusahaan asing tersebut dalam mengeksploitasi
kekayaan alam Papua. Sehingga, kehadiran dan keberadaan Usaid melalui
program DDG hanyalah dalil untuk mengubah cara pandang pemerintah dan
masyarakat tentang pihak AS yang dilihat sebagai pihak yang peduli dengan
permasalahan yang ada di Papua.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
101

4.2 Rekomendasi

4.2.1 Rekomendasi Praktis

 Kepada Pemerintah Indonesia, harus lebih memperhatikan kondisi


masyarakat Papua. Kerja sama yang dilakukan dengan lembaga asing
apapun, idealnya masyarakat setempat harus lebih merasakan manfaat
dari kerja sama tersebut. Pemerintah pusat harus secara aktif ambil
bagian dan ikut mengontrol pelaksanaan program yang dijalankan.
 Untuk USAID, dalam program yang dijalankan harus lebih
memanfaatkan potensi masyarakat lokal. Program yang diberikan
harus bersifat transformatif. Untuk itu, peran masyarakat dan civil
society harus leibh ditingkatkan. Dan USAID tidak cukup hanya
dengan memberikan donor dan menjalankan program model top down.
USAID harus bersama-sama masyarakat bekerja sama. USAID pun
harus mampu memahami konteks budaya lokal dan kultur politik lokal
dalam mewujudkan ideal good governance di Papua.
 Untuk Pemerintah Papua, harus bisa memanfaatkan segala bantuan
yang ada untuk kepentingan masyarakat. Kehadiran lembaga asing
dalam mengajak bekerja sama dan memberikan bantuan harus dilihat
sebagai peluang dalam upaya memajukan daerah Papua.

4.2.2 Rekomendasi Akademis

 Pada umumnya permasalahan good governance di banyak tempat di


Indonesia, khususnya di Papua cenderung menyalahkan pihak
pemerintah lokal dan masyarakat setempat sebagai alasan perilaku bad
governance. Mengacu pada penelitian ini, khususnya yang terjadi di
Papua, peneliti harus lebih berani mengkritik pihak asing, dalam hal ini
USAID sebagai institusi yang melakukan pembiaran terhadap
permasalahan yang ada, berangkat dari kepentingan nasional negara
asalnya.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
102

 Untuk Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia,


untuk bisa menyediakan lebih banyak sumber bacaan tentang aktivitas
USAID di Indonesia.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
103

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Beitz, Charles R. 1979. Political Theory and International Relations with a


New Afterword by the Author. New Jersey: Princeton University Press

Carothers, Thomas. 1999. Aiding Democracy Abroad: The Learning Curve.


Washington DC: The Brookings Institution Press.

Creswell, John. 1998. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed


Methods Approaches, 2nd edition, London: Sage Publications.

Diamond, Larry. 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation.


Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Dwiyanto, Agus (ed). 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui


Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Finnemore, Martha dan Kathryn Sikkink. 2001. “Taking Stock: The


Constructivist Research Program in International Relations and Comparative
Politics”, dalam Annual Review of Political Science.

Florini dan Simmons, 2000. What the World Needs Now, dalam Florini, Ann
(ed.), The Third Force: The Rise of Transnational Society. Washington :
Carnegie for International Endowment Peace.

Gardner, Bush. 2008. Foreign Aid and Its Challenges. Mcmillan: New York.

Henink, Monique, Inge Hutter, dan Ajay Bailey. 2007. Qualitative Research
Methods, Los Angeles: Sage.

Lancaster, Carol. Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics.


Chicago: The University of Chicago Press.

Manson, Edward S. 1964. Foreign Aid and Foreign Policy. New York:
Council of Foreign Policy.

McNeill, Desmond. 1981. The Contradiction of Foreign Aid. London: Croom


Helm.

Morgenthau, Hans. 1962. A Political Theory of Foreign Aid, The American


Political Science Review, LVI(2).

Pearson, Frederich dan Payaslian, Simon. 1999. International Political


Economy. Boston: McGraw-Hill Higher Education

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
104

Perkasa, Vidhyandika (et.al). 2006. Partisipasi, Kohesi Sosial, dan Resolusi


Konflik: Pengalaman dari Wamena Papua. Yogyakarta: Kanisius.

Rochani, Achmad dan Naftali, Mansim. 2006. Biak Numfor: Upaya Bangkit
dari Keterpurukan. Makasar: Pustaka Refleksi.

Snyder, Jack. 2000. From Voting to Violence. London: Northon and Company.

Whitehead, Lawrence. 2002 Democratization: Theory and Process


Experience. New York: Oxford.

Jurnal

Amelia, Siti. 2013. Konstelasi Politik Internasional: Dimanakah Posisi


Indonesia?, Global and Policy, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni.

Bovard, James. 2007. The Continuing Failure of Foreign Aid, Policy Analysis,
No. 65, January 31

Burnside, Craig dan Dollar, D. 1997. “Aid, Policies and Growth”. Policy
Research Working Paper No. 1777 Washington, DC: World Bank.

Cassity, Elizabeth. 2006. “New Partnership and Education Policy in Asia and
the Pacific,” dalam International Journal of Educational Development 30.
Australia: The University of Sydney.

Crawford, Gordon. Partnership or Power? Deconstructing the ‘Partnership


for Governance Reform’ in Indonesia, Third World Quarterly, Vol. 24, No.1.

Djani, Lucky. 2013. Implementasi Local Governance: Menjelaskan Paradoks,


Analisis CSIS, Maret. Vol. 42, No.1.

Doornbos, Martin. Good Governance: The Metamorphosis Of A Policy


Metaphor, Journal of International Affairs, Fall 2003, Vol. 57, No.1.

Gwin, Christian and Nelson, J.M. (eds), 1997. “Perspective on Aid and
Development” ODC Policy Essay 22. Washington D.C.: Overseas
Development Council.

Grindle, Merilee S. 2007. Good Enough Governance Revisited. Development


Policy Review Vol. 25 (5)

______, Marilee. 2010. Good Governance:The Inflation Idea, Harvard


Kennedy School,RWP 10-23, Juni.

Hattori H. 2002. Reconceptualizing Foreign Aid, Review of International


Political Economy, Vol. VIII, No. 4.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
105

King, Blair A. Peace in Papua: Widening a window of oppurtinity, Council of


Foreign Relations, CSR, No. 14, Maret 2006.

Leftwich. 1993. Governance, Democracy and Development in The Third


World, Third World Quarterly, Vol.14, No. 3.

Mutarin, Dyah. 2009. Transformasi Good Governance dalam Perspektif Lokal


di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Analisis CSIS, Vol. 38, No.1, Maret.

Perkasa, Vidhyandika. 1999. Indiginized Good Governance dan Akuntabilitas


Sosial di Papua. Analisis CSIS. Vol 40. No. 3. September.

Perkasa, Vidhyandika (et.al). 2007. Empowering Civil Society Group to


Promote Participatory Governance. CSIS-UNDEF.

King, Peter. 2002. Morning Star Rising?, Jurnal Indonesia, No. 73, April.

Knack, Stephen. 2004. “Does Foreign Aid Promote Democracy?”,


International Studies Quarterly, Vol 48, No.1.

McFaul, Michael Amichai Magen dan Kathryn Stoner-Weiss. 2007.


Evaluating International Influences on Democratic Transitions. Concept
Paper.

Mutarin, Dyah. 2009. Transformasi Good Governance dalam Perspektif Lokal


di Kabupaten Jayawijaya, Papua, Analisis CSIS, Vol. 38, No.1, Maret.

Nanda, Veed P. 2006. The Good Governance Concept Revisited, The


American Academy of Political and Social Science, Januari. Vol. VII.

Reba, Yusak A. 2009. Good Governance dan Pelaksanaan Kebijakan


Pembangunan di Papua, Analisis CSIS, vol. 38, No. 1, Maret.

Suryadinata Teofillus. 2007. Isu Strategis dari Papua. Jurnal Penelitian


Politik, Vol. 3, Issue 1.

Yang, Alan H. dan Chen, T. Y. 2012. The Politics of Foreign Aid: A Positive
Contribution to Asian Economic Growth, Global and Strategies, Juli-
Desember, Vol. 6, No.2.

Yasin, Rahman. 2002. Ide Pemerintahan Good Governance, Lembaga


Pengembangan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
106

Report

Blair, Dennis dan Philips, David. 2006. Komisi untuk Indonesia: Perdamaian
dan kemajuan di Papua, Council of Foreign Relations

Council of Foreign Relations, Komisi Untuk Indonesia: Kedamaian dan


Perkembanganya di Papua

Departemen Luar Negeri Indonesia. Interim Report. 2002 Revitalisasi Proses


Pembuatan Kebijakan LN Indonesia Menghadapi Perkembangan Eksternal
dan Internal, Laporan Penelitian.

Partnership for Governance Reform Centre for Learning and Advancing


Experimental Democracy Indonesia Forestry and Governance Institute, Nilai-
Nilai Dasar Orang Papua dalam Mengelola Pemerintahan, Partnership, 2012.

United Nations, What Is Good Governance, UN Economic and Social


Comission for Asia and The Pasific.

Usaid Strategic Plan for Indonesia 2004-2008.

USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008: Strengthening A Moderate,


Stable, And Productive Indonesia, Usaid, 2004

USAID, Survivors of Torture Programme Report, 2010

USAID, Democratic Reform and Support Programme, 2009

Widjono, Muridan S. 2008. Papua Road Map: Negotiating the Past,


Improving the Present, and Securing the Future. LIPI.

World Bank, Pola-Pola Baru Kekerasan di Indonesia: Data Awal dari Enam
Wilayah Konflik dengan Skala Paling Tinggi, Policy Brief World Bank, Edisi
3, November 2010

____, 1992. Governance and Development, Washington: World Bank.

____, 2002. Building Institution for Market, World Development Report 2002,
New York, Oxfor University Press.

World Bank, Sub Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth,


(Washington: The World Bank, 1989

Wawancara

Wawancara dengan Florianus Geong, sekretaris eksekutif pada Yayasan


Teratai Hati Papua, 3 Juni 2015.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
107

LAMPIRAN

A. Wawancara

Wawancara dengan Florianus Geong,

Sekretaris Eksekutif Yayasan Teratai Hati Papua

Wawancara dengan Florianus Geong, seroang sekretaris eksekutif pada


Yayasan Teratai Hati Papua. Yayasan ini merupakan sebuah NGO lokal yang
bergerak dalam bidang kemanusiaan. Yayasan ini sering melakukan
pendampingan terhadap para korban HAM di Papua. Florianus Geong sendiri
sudah sering terlibat dalam advokasi permasalahan HAM dan sejumlah
permasalahan sosial di Papua. Wawancara ini dilakukan pada tanggal 3 Juni
2015, yang dimulai pukul 19.00 WIB melalui sambungan telepon, karena yang
bersangkutan menetap di Papua. Kegiatan wawancara ini dilakukan untuk
memperoleh data berupa informasi dari NGO dan masyarakat lokal terkait
program bantuan USAID DDG di Papua. Selain itu untuk mengetahui
perspektif NGO lokal berhadapan dengan program-program bantuan luar
negeri di Papua.

Pertanyaan (P) : Bagaimana penilaian Anda terhadap program DDG dari


USAID di Papua pada tahun 2004-2008?

Jawaban (J) : Program ini berjalan dengan baik, di mana USAID melibatkan
banyak pihak dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. Kami sendiri dilibatkan
dalam pendampingan terhadap korban-korban kekerasan.

(P) : Menurut penilaian Anda, apakah program ini berhasil atau tidak?

(J) : Saya kira tidak. Secara kualitas perbaikan, program ini tidak
memberikan dampak yang signifikan terhadap berbagai permasalahan sosial di
Papua. Apalagi program ini mengusung tema Demokrasi dan good
governance, di mana situasi Papua hingga sekarang masih akrab dengan
permasalahan-permasalahan yang bertentangan dengan nilai-nilai Demokrasi

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
108

dan good governance. Kehadiran USAID di Papua cukup banyak membantu


masyarakat. Akan tetapi, bantuan tersebut umumnya secara materi. Kualitas
perbaikan itu sendiri tidak diperhatikan. Papua masih tenggelam dengan
berbagai permasalahan pendidikan, kesehatan, birokrasi pemerintahan yang
bobrok. Di sini sekolah sangat kurang, apalagi di wilayah terpencil.
Permasalahan kesehatan seperti busung lapar, HIV/AIDS juga menjadi
permasalahan krusial di Papua. Pemerintah sibuk dengan transaksi politik.
Korupsi bukan menjadi hal yang asing di Papua.

(P) : Terkait permasalahan pendidikan, demokratisasi adalah sebuah


proses, di mana pendidikan menjadi nilai yang penting di sini. Menurut Anda,
apakah program ini cukup signifikan dengan perbaikan pendidikan di Papua?

(J) : Saya kira belum cukup. Hal ini terlihat dari mutu pendidikan di
Papua yang sangat minim. Guru-guru sangat kurang. Infrastruktur yang
mendukung pendidikan seperti sekolah, perpustakaan, pengadaan buku juga
minim. Apalagi untuk daerah-daerah di pedalaman dan daerah terpencil.
Sekolah saja tidak ada, bagaimana mau membangun kesadaran akan
pendidikan. Sehingga, terlalu jauh untuk mengharapkan cita-cita seperti
demokrasi dan good governance. Program yang mengusung tema ini saja tidak
begitu memberi perhatian terhadap pendidikan. Bagaimana kita bisa
mengharapkan perbaikan terhadap permasalahan-permasalahan sosial di
Papua? Pendidikan seharusnya menjadi kunci. Orang Papua selama ini sering
dibodohi mereka yang berkuasa. Untuk itu, seharusnya pendidikan menjadi
kunci perbaikan. Untuk bisa sadar akan situasi sosial yang bobrok di Papua,
orang Papua sendiri harus mempunyai pemahaman bahwa mereka menjadi
korban dan berada dalam lingkaran permasalahan yang sistemik.

(P) : Bagaimana dengan kesehatan masyarakat?

(J) : Sama saja dengan pendidikan. Kesadaran masyarakat akan hidup


sehat sangat minim. Apalagi kalau kategori hidup sehat diukur dengan standar
yang diberikan pemerintah atau lembaga donor seperti USAID, mungkin 90%
masyarakat Papua masuk dalam kategori dengan hidup tidak sehat.
Permasalahan kesehatan sendiri yang menonjol yaitu HIV/AIDS. Penyakit ini
menjadi semakin akrab dengan realitas sosial masyarakat Papua. Penanganan

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
109

yang professional pun minim. Infrastruktur kesehatan minim. Tenaga medis


minim. Sehingga tidak heran kalau kualitas kesehatan pun minim.

(P) : Menurut Anda, apa faktor permasalahan yang menyebabkan program


DDG USAID ini tidak berhasil di Papua?

(J) : Saya kira mereka tidak memahami kultur masyarakat Papua.


Contohnya pada bidang pendidikan dan kesehatan. Masyarakat Papua masih
kental dengan budaya lokal. Salah satu yang menggambarkan kuatnya budaya
tersebut adalah penggunaan Honai, rumah adat Papua, sebagai rumah
pemersatu. Honai sudah menjadi semacam ruang publik. Permasalahan dalam
lingkungan diselesaikan di Honai. Yang saya perhatikan, masyarakat lebih
mudah dan nyaman berangkat ke Honai dari pada ke sekolah atau puskesmas.
Salah satu program yang dijalankan yaitu “Rumah Sehat”. Masyarakat Papua
diajak meninggalkan kultur Honai dan beralih ke Rumah Sehat. Hal ini
mendapat perlawanan dari masyarakat. Hal ini malah menimbulkan ketakutan
bahwa program-program ini mencabut masyarakat Papua dari keberakarannya
akan nilai kultur lokal. Selain itu, terkait pembentukan kelompok-kelompok
masyarakat dalam program-program yang dijalankan. Hal ini malah memicu
persaingan dan pertikaian. Orang Papua sangat sensitive dengan perang dan
perbedaan. USAID seharusnya bisa beradaptasi dengan kultur-kultur seperti
ini. Padahal, mereka (USAID) sudah lama di Papua. Amerika juga. Sepertinya
mereka sengaja tidak serius dengan program-program di Papua. Mereka pasti
paham dengan kultur seperti ini. Hanya ada pembiaran. Hal ini terlihat dari
program ini yang tidak begitu menyentuh substansi permasalahan di Papua.

(P) : Jadi, menurut Anda apa yang seharusnya dilakukan?

(J) : Pertama, setiap program yang dilakukan harus berdamai dengan


kultut lokal. Masyarakat Papua masih sangat kuat dengan budaya asli. Jangan
sampai kehadiran program yang idealnya menjadi bantuan malah mengancam
keberadaan budaya lokal. Tentunya akan mendapat penolakan. Kedua,
pendidikan harus ditingkatkan. Perhatian akan pendidikan harus dimulai sejak
awal. Bangun sekolah. Datangkan guru. Demokrasi dan good governance
berawal dari pemahaman dan kesadaran akan pendidikan.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
110

B. Data-data Laporan

1. USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008: Strengthening A


Moderate, Stable, And Productive Indonesia, Usaid, 2004.
2. USAID, Survivors of Torture Programme Report, 2010.
3. USAID, Democratic Reform and Support Programme, 2009.
4. Laporan Penelitian Deplu RI, Revitalisasi Proses Pembuatan
Kebijakan LN Indonesia Menghadapi Perkembangan Eksternal dan
Internal, Laporan Penelitian, Deplu RI, 2002.
5. World Bank, Governance and Development, Washington: World Bank,
1992.

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016
111

C. Surat Keterangan dari Bappenas Terkait Pengambilan Data Penelitian


berupa Laporan-Laporan Tentang Program DDG

Analisis kegagalan program ..., Benedikto Haries Putra Mbon, FISIP UI, 2016

Anda mungkin juga menyukai