Anda di halaman 1dari 21

TUGAS PAPER MATAKULIAH PERCOBAAN, PENYERTAAN, DAN

GABUNGAN TINDAK PIDANA


Dosen : Dessy Lina Oktaviani Suendra, S.H., M.H

(PENYERTAAN TINDAK PIDANA DALAM KASUS KORUPSI)

OLEH KELAS C3 KELOMPOK 6:

1. Kadek Tessa Verena Dewi (202010121092)


2. Anjar Ariawan Subakthi Putra (202010121106)
3. I Gede A. Sandy Sndrya Murthi (202010121108)
4. Anak Agung Rosiana Dewi Putri (202010121154)
5. Cokorda Istri Agung Mahayuni (202010121122)
6. Nyoman Jeffry Jaya Pratama (202010121123)
7. Ni Komang Emi Putri Wahyuni Dewi (202010121146)
8. I Gusti Ngurah Bagus Wijaya Kusuma (202010121390)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WARMADEWA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-
Nya penulisan paper ini dapat terselesaikan dengan baik. Paper ini saya susun berdasarkan
pengetahuan yang saya peroleh dari beberapa buku dan media elektronik dengan harapan agar
pembaca dapat memahami tentang “PENYERTAAN TINDAK PIDANA DALAM KASUS
KORUPSI”

Saya berharap dengan adanya paper ini semoga bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, saya memahami bahwa paper ini jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun.

Denpasar, 01 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG...........................................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH.......................................................................................................2
1.3 TUJUAN DAN METODE PENULISAN.............................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1. BAGAIMANAKAH PENGATURAN TENTANG PENYERTAAN DALAM TINDAK
PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA, SERTA SEJAUH MANAKAH
PERBUATAN SESEORANG DAPAT DIKATAKAN SEBAGAI PENYERTAAN DALAM
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI................................................................................4
2.2. BAGAIMANAKAH PENYERTAAN DALAM DELIK JABATAN PADA TINDAK
PIDANA KORUPSI………...……………………………………………………………..…..….9

BAB III ANALISIS


3.1 KASUS................................................................................................................................14
3.1.1 ANALISIS KASUS......................................................................................................15
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN....................................................................................................................16
4.2 SARAN................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum, sehingga setiap kegiatan
manusia atau masyarakat yang merupakan aktivitas hidupnya harus berdasarkan pada
peraturan yang ada dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Hukum dibuat,
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan
masyarakat baik masyarakat modern maupun masyarakat tradisional, agar tercipta
ketertiban, ketenangan, kedamaian, dan kesejahteraan. Hukum merupakan aturan untuk
mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupannya karena tanpa adanya hukum kita
tidak dapat membayangkan akan seperti apa jadinya kondisi Negara kita ini. Untuk
mewujudkan keberadaan hukum di tengah-tengah masyarakat memang tidak berdiri
sendiri, maksudnya hukum memiliki keterkaitan dari kehidupan masyarakat.
Suatu tindak pidana pada umumnya dapat dilakukan oleh satu orang. Dalam hal
ini hanya diperlukan penelitian atas perbuatan-perbuatan pelaku yang memenuhi
perumusan tindak pidana atau unsur dari tindak pidana itu untuk diminta
pertanggungjawaban dari pelaku atas perbuatannya itu. Tetapi ada juga setiap tindak
pidana yang terjadi dilakukan oleh lebih dari satu orang. Sehingga pada setiap tindak
pidana itu selalu terlibat lebih dari satu orang yang berarti terdapat orang lain yang turut
serta dalam pelaksanaan tindak pidana tersebut diluar seorang pelaku.
Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku pada
suatu masyarakat dalam suatu sistem negara yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-
aturan untuk menentukan tindakan-tindakan yang tidak dapat dilakukan dan dengan
disertai ancaman hukuman bagi yang melanggar aturan tersebut, termasuk pengaturan
mengenai tindakan yang bersifat koruptif yang dikenal dengan istilah tindak pidana
korupsi.
Sebagaimana kita ketahui bersama, masalah korupsi bukan lagi merupakan
masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah

1
korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara
berkembang termasuk Indonesia. Bahkan perkembangan masalah korupsi di Indonesia
saat ini sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena
sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Jika pada masa lalu
korupsi sering diidentikkan dengan pejabat atau pegawai negeri yang telah
menyalahgunakan keuangan negara, dalam perkembangannya saat ini masalah korupsi
juga telah melibatkan anggota legislatif dan yudikatif, para bankir dan konglomerat, serta
juga korporasi.
Fakta tersebut menunjukkan bila tindak pidana korupsi pada hakekatnya
merupakan suatu perbuatan yang dalam melakukannya, selalu secara bersama sama. Oleh
karena itu, tindak pidana korupsi, selalu melibatkan seseorang atau lebih yang dalam
perspektif hukum pidana merupakan penyertaan atau turut serta melakukan tindak
pidana. Walapun demikian, pada beberapa kasus, orang yang turut serta melakukan
tindak pidana tidak menyadari perbuatannya merupakan suatu perbuatan melanggar
hukum. Seperti misalnya, para bawahan yang menjalankan perintah atasannya yang
ternyata bertentangan dengan hukum yang berlaku. Fenomena ini lah yang menurut
Pemakalah menarik untuk ditelaah lebih lanjut.
Berangkat daripada latar belakang termaktub diatas, maka menurut Penulis ada
dua permasalahan yang perlu digali lebih lanjut, yakni: Bagaimana pengaturan tentang
penyertaan dalam tindak pdana menurut Hukum Pidana di Indonesia, serta sejauhmana
perbuatan seesorang dapat dikatakan sebagai penyertaan dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi. Selanjutnya, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
normative, dengan menggunakan sumber data sekunder.

1.2 RUMUSAN MASALAH

a) Bagaimanakah pengaturan tentang penyertaan dalam tindak pidana menurut Hukum


Pidana di Indonesia, serta sejauh manakah perbuatan seseorang dapat dikatakan
sebagai penyertaan dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi?
b) Bagaimanakah penyertaan dalam Delik Jabatan pada Tindak Pidana Korupsi?

2
1.3 TUJUAN DAN METODE PENULISAN

Tujuan dari penulisan paper ini ialah:

a) Untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan tentang penyertaan dalam tindak


pidana menurut Hukum Pidana di Indonesia, serta sejauh manakah perbuatan
seseorang dapat dikatakan sebagai penyertaan dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi.
b) Untuk mengetahui bagaimanakah penyertaan dalam Delik Jabatan pada Tindak
Pidana Korupsi.

Metode yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah metode penulisan hukum
dengan pendekatan studi kepustakaan arau library research, data yang telah dikumpulkan akan
didapatkan melalui studi kepustakaan dengan mengeksplor materi dari berbagai sumber yang
telah saya temui dengan topik mengenai pembahasan paper ini.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengaturan tentang penyertaan dalam tindak pidana menurut Hukum Pidana di
Indonesia, serta sejauh manakah perbuatan seseorang dapat dikatakan sebagai penyertaan
dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi.
Banyak orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang
perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu
pembuat langsung dan pembuat tidak langsung. Di samping itu banyak sekali terdapat
kasus dimana pelakunya lebih dari satu orang, yang terjadi di masyarakat kita. Sering kali
terjadi perdebatan dalam menjatuhkan hukuman pada pembuat langsung maupun pada
pembuat tidak langsung perbuatan pidana. Untuk menjatuhkan pidana atas suatu perkara
tersebut, maka hakim harus mengetahui mana pembuat yang langsung maupun yang tidak
langsung dan mendasarkan putusannya selain pada undang – undang juga
mempertimbangkan tuntutan dari jaksa penuntut umum.
Berbeda dengan hukum perdata dimana pertanggungjawaban dapat dialihkan
kepada pihak lain, dalam hukum pidana hal demikian tidak dapat dilakukan. Masing-
masing individu bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Tanggungjawab tersebut
tidak dapat dialihkan kepada orang lain termasuk keluarganya sekalipun. Kata penyertaan
(deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain
melakukan tindak pidana. Dalam praktek sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam
peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang
turut serta. Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan tindak pidana
tersebut, masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, Tetapi dari
perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalin suatu hubungan yang
sedemikian rupa eratnya dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lain,
yang semuanya mengarah pada satu yaitu terwujudnya tindak pidana.
Penyertaan atau dalam bahasa Belanda Deelneming di dalam hukum Pidana
Deelneming dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan

4
bersama oleh beberapa orang, jika hanya satu orang yang melakukan delik, pelakunya
disebut Alleen dader. Sementara itu, Prof.Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming
apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Menurut
doktrin, Deelneming menurut sifatnya terdiri atas:

1. Deelneming yang berdiri sendiri, yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta
dihargai sendiri-sendiri;
2. Deelneming yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari peserta
yang satu digantungkan dari perbuatan peserta yang lain.

Penyertaan menurut KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.


Berdasarkan pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu
pembuat (Dader) dan pembantuan (Medeplchhtige) yang dapat kami uraikan sebagai
berikut :

1. Pembuat (Dader)
a. Pelaku utama yang dikualifikasikan sebagai pelaku materiel/pembuat delik
(Dader/Plegen):
Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri persuading yang memenuhi
perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan atau
diartikan sebagai orang yang perbuatannya melahirkan tindak pidana, tanpa
adanya perbuatan itu tindak pidana tersebut tidak akan terwujud. Secara formil,
plegen adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang
dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan.

b. Mereka yang menyuruh melakukan suatu tindakan (Doenplegen);


Wujud dari penyertaan (Deelneming) yang pertama disebutkan dalam
pasal 55 ialah menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen). Hal ini terjadi
apabila seorang menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan
tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku tidak dapat dikenai
hukuman pidana. Jadi, si pelaku itu seolah-olah menjadi alat belaka yang

5
dikendalikan oleh si penyuruh. Adapun beberapa kemungkinan orang tersebut
tidak dapat dipidana, yaitu :
1. Berdasarkan Pasal Pasal 44 KUHP, yaitu terhadap seseorang yang tidak
memiliki kesempurnaan akal atau memiliki penyakit kejiwaan;
2. Berdasarkan Pasal 48 KUHP, karena pengaruh adanya upaya paksa;
3. Berdasarkan Pasal 51 KUHP, yaitu seseorang yang menjalankan tindak
pidana disebabkan adanya perintah Jabatan;
4. Orang yang disuruh tidak memiliki kualitas yang disyaratkan dalam delik;
5. Orang yang salah paham atau keliru mengenai salah satu unsur tindak
pidana.

c. Mereka yang bersama – sama melakukan suatu perbuatan pidana


(Medeplegen).
Medeplegen adalah orang yang melakukan kesepakatan dengan orang lain
untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula ia turut
beraksi dalam pelaksanaan perbuatan pidana sesuai dengan yang telah disepakati.
Di dalam medeplegen terdapat tiga ciri penting yang membedakannya dengan
bentuk penyertaan yang lain yaitu:
 Pertama, pelaksanaan perbuatan pidana melibatkan dua orang atau
lebih.
 Kedua, semua orang yang terlibat benar-benar melakukan kerja
sama secara fisik dalam pelaksanaan perbuatan pidana yang
terjadi.
 Ketiga, terjadinya kerja sama fisik bukan karena kebetulan, tetapi
memang telah kesepakatan yang telah direncanakan sebelumnya.

Ada tiga kemungkinan terhadap kerja sama fisik di antara pihak-pihak


yang telibat dalam pelaksanaan perbuatan pidana yaitu :

1) Mereka memenuhi semua rumusan delik;


2) Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik;
3) Salah satu dari mereka memenuhi semua rumusan delik.

6
d. Mereka yang dengan sengaja menganjurkan orang lain untuk melakukan
perbuatan pidana (Uitloken).
Sebagaimana dalam bentuk menyuruh melakukan dalam Uitloken pun
terdapat dua orang atau lebih yang masing-masing berkedudukan sebagai orang
yang menganjurkan (actor intelectualis) dan orang yang dianjurkan (actor
materialis). Dalam bentuk penyertaan pembujukkan ini adalah disaat pelaku tidak
melakukan sendiri tindak pidana yang dikehendakinya, melainkan dengan
perantara orang lain. Dilihat secara sekilas, memang uitloken ini memiliki
persamaan dengan doenplegen, namun perbedaan yang terdapat dalam dua bentuk
ini adalah subjeknya. Pada uitloken subjek tersebut dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan pada doenplegen sebaliknya.

2. Pembantuan (Medeplichtige)
Pembantuan adalah orang yang sengaja memberi bantuan berupa saran, informasi
atau kesempatan kepada orang lain yang melakukan tindak pidana. Sebagaimana
disebutkan dalam pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua jenis;
a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan.
Cara bagaimana pembantunya tidak disebutkan dalam KUHP ini mirip
dengan medeplegen (turut serta), namun perbedaannya terletak pada:
1) Pembantu perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedang pada
turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan;
2) Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan
harus kerjasama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan
dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana,
dengan cara bekerjasama dan mempunyai tujuan sendiri;
3) Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (pasal 60 KUHP), sedangkan
dalam turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana;
4) Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan
dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.

7
b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan
Yaitu pembantuan yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan
sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitloken), namun
perbedaannya ada pada niat atau kehendak. Hal mana pada pembantu kehendak
jahat materiil sudah ada sejak semula/ tidak ditimbulkan oleh pembantu,
sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat
meteriil ditimbulkan oleh si penganjur.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka jelas ada perbedaan antara :

1) Medeplegger (turut serta), dan


2) Medeplichtige (pembantuan).

secara teoritis dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Teori Obyektif (de obyectieve deelnenings theorie)


Untuk membedakan antara turut serta dengan pembantuan dilihat
dari sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila
seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah merupakan
perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang tersebut melakukan
dalam bentuk “turut serta”. Sedangkan apabila orang tersebut
perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, dia dianggap melakukan
“pembantuan”.
2. Teori Subyektif (de subyectieve deelnemings theorie)
Dasar teori ini adalah niat dari para peserta dalam suatu penyertaan.
 Didalam “turut serta” pelaku memang mempunyai kehendak terhadap
terjadinya tindak pidana.
 Didalam “pembantuan” kehendak ditujukan kearah “memberi
bantuan” kepada orang yang melakukan tindak pidana.

Disamping perbedaan kehendak, dalam “turut serta” pelaku


mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Sedangkan dalam “pembantuan”
tidak mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Artinya tujuan disandarkan
kepada tujuan si pelaku utama. Artinya “pembantu” hanya memberikan

8
bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang akan melakukan tindak
pidana. Dalam hal kepentingan, peserta dalam “turut serta” mempunyai
kepentingan dalam tindak pidana, sedangkan “pembantuan”
kepentingannya tidak langsung terhadap terjadinya tindak pidana itu,
tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan.

3. Teori Gabungan (verenigings theorie)


Artinya dalam hal penerapan delik digunakan teori obyektif.
Karena delik formil melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat apabila
digunakan teori obyektif. Dalam delik materil digunakan teori subyektif.
Karena lebih melihat akibat yang dilarang undang-undang. Dengan
digunakannya teori subyektif dapat dilihat kehendak, tujuan serta
kepentingan masing-masing peserta. Dalam membedakan antara “turut
serta” dengan “pembantuan” di dalam praktek sering dilihat apakah
seseorang memenuhi syarat dari bentuk “turut serta” yakni terdapat
kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik.

2.2 Penyertaan dalam Delik Jabatan pada Tindak Pidana Korupsi.

Delik jabatan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang
dilekati sifat tertentu. Sifat yang dimaksud ini misalnya, sifat khusus dalam kewenangan,
pekerjaan, atau kekuasaan. Tindak pidana ini umumnya dilakukan oleh pegawai negeri
yang sedang berada dalam tugas menjalankan kewenangannya masing-masing.

Berdasarkan telah memiliki inovasi atas terwujudkannya tindak pidana, yaitu


dengan kerjasama yang perkembangan delik jabatan ini, pada tindak pidana korupsi
sendiri dilakukan oleh pihak swasta dan pihak pemerintah. Hal tersebut juga didukung
oleh pernyataan Bambang Broedjonegoro selaku Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, menyebutkan bahwa
sebanyak 80 persen tindak pidana korupsi dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah.

9
Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa delik jabatan merupakan suatu tindak
pidana yang dijalankan oleh seseorang yang memiliki jabatan. Jabatan disini adalah
berupa kewenangan yang dimiliki subjek tersebut dalam jabatannya yang pada umumnya
dilakukan oleh pegawai negeri.

Unsur penyertaan dalam putusan Nomor Perkara 66/Pid.Sus/TPK/2019/PN.SBY

Terdakwa I dan II yaitu Riry Syaried Jetta dan Antonius Aris Saputro secara
bersama-sama sebagai orang yang melakukan, yang turut melakukan perbuatan pidana,
secara melawan hukum sehubungan dengan kegiatan pengadaan Floating Dock yang
dibeli melalui PT. ACTN, dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan pada
peraturan internal perusahaan dan hukum yang berlaku.

Terdakwa I memiliki kualitas sebagai subjek pejabat yang memiliki kewenangan.


Berdasarkan pertimbangan hakim, kewenangan yang dimaksud adalah serangkaian hak
yang melekat pada jabatan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan
yang diperlukan agar tugas pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik. Istilah pejabat
ini sering diterjemahkan juga sebagai pegawai negeri.

Pada pertimbangan hakim, Terdakwa I dinyatakan bebas dari tindak pidana akibat
dalam melakukan kegiatan pengadaan kapal tersebut Terdakwa I telah melibatkan pihak
Kejaksaan Tinggi Surabaya dalam pengawasannya, sedangkan Terdakwa II tetap dijatuhi
hukuman pidana meskipun sebelum menuju ke persidangan penyedia barang telah
memiliki kesanggupan untuk mengganti Floating Dock yang tenggelam tersebut dengan
menawarkan Floating Dock pengganti.

Padahal jelas bahwa pada Pengadaan Floating Dock tersebut, Terdakwa I tidak
melalui mekanisme lelang sesuai aturannya, sehingga tidak ada proses penilaian
kualifikasi, evaluasi administrasi, teknis, dan harga. Terdakwa I juga tidak melibatkan
Komite Investasi/Panitia pengadaan kapan Floating Dock tersebut. Serta mereka juga
belum mengundang perusahaan atau vendor terkait pengadaan Floating Dock, yang juga
menyalahi proses tender sebagaimana mestinya.

Berkaitan dengan konsep ajaran penyertaan pada kasus tersebut, kedua terdakwa
tersebut dikenakan secara bersama-sama sebagai orang yang melakukan, yang turut

10
melakukan perbuatan pidana, secara melawan hukum sehubungan dengan kegiatan
pengadaan Floating Dock yang dibeli melalui PT ACTN, dengan cara yang tidak sesuai
dengan ketentuan.

Pada ajaran penyertaan, tindakan yang dilakukan para terdakwa berdasarkan


pertimbangan hukum penegak hukum terbagi menjadi :

1. Melakukan
Melihat kembali kepada uraian kasus posisi Terdakwa I selaku Direktur
Utama PT. Dok dan Perkapalan Surabaya (persero) telah memenuhi unsur sebagai
orang yang melakukan. Dalam ajaran penyertaan, orang yang melakukan (pleger)
adalah pelaku yang memenuhi bestanddelen atau bagian inti dari rumusan delik.
Sehingga, Terdakwa I melakukan perbuatan yang telah ditentukan dalam rumusan
delik pada UU PTPK yang dimuat penuntut umum dalam dakwaannya.
2. Turut Melakukan
Ajaran penyertaan dalam hukum pidana juga diterapkan dalam tindak
pidana korupsi. Dalam kasus tersebut, akibat perbuatan yang dilakukan Terdakwa
II berdasarkan dakwaan penuntut umum termasuk kedalam penyertaan terkhusus
pada bentuk turut melakukan. Kedudukan Terdakwa II adalah selaku pihak
swasta. Dalam hal ini, perbuatan yang dilakukan Terdakwa II dengan
menyediakan Floating Dock yang sesuai dengan perjanjian kerjasama antara
pihak pemerintah yaitu Terdakwa I selaku Direktur Utama PT. DPS.

Dalam kaitannya dengan ajaran penyertaan dalam tindak pidana,


perbuatan yang dilakukan Terdakwa II termasuk kedalam jenis pembantuan pada
Pasal 15 UU PTPK dalam terwujudnya tindak pidana korupsi, akibat kedua
terdakwa tidak memiliki kualitas yang sama, yaitu Terdakwa I berkedudukan
sebagai pihak pemerintah dan Terdakwa II adalah pihak swasta.

Unsur penyertaan dalam putusan Nomor Perkara 18/PID.SUS-TPK/2018/ PT. DKI

Terdakwa II Edward Seky Soeryadjaya dan Terdakwa Helmi Kamal Lubis


sebagai Terdakwa I bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi terkait

11
penyalahgunaan dana pensiun milik pertamina dengan cara melawan hukum yang oleh
karenanya telah memperkaya diri sendiri atau orang lain, yaitu dalam pertimbangan
penegak hukum diperoleh unsur-unsur bentuk penyertaan sebagai berikut :

1. Melakukan

Berdasarkan pertimbangan hakim, Terdakwa I benar telah memenuhi


unsur sebagai pelaku utama dalam menjalankan perannya untuk mewujudkan
tindak pidana korupsi. Terdakwa I telah melakukan perbuatan melawan hukum
berupa dengan memakai kewenangannya sebagai Presdir dari DP Pertamina.
Pemanfaatan atas kewenangannya tersebut berupa Terdakwa I tetap
memerintahkan Manajer Investasinya untuk membeli saham SUGI walaupun
tanpa ada persetujuan dari Direktur Keuangan dan Investasi. Ditambah juga
Manajer Investasi tidak pernah mengajukan adanya usulan pembelian saham
SUGI. Dengan perintah yang diberikan oleh Terdaka I juga penukaran saham
tersebut diformalkan sebagai transaksi penjualan dan pembelian saham yang
seolah-olah mengikuti prosedur yang berlaku di DP Pertamina. Padahal harga
yang tercantum dalam transaksi tersebut bukan harga transaksi yang sebenarnya.

2. Turut Melakukan

Terdakwa II, yaitu Edward Seky Soeryadjaya selaku pemilik PT Sugi


Energy, Tbk (SUGI). Dalam dakwaan penuntut umum dan pertimbangan hakim
tersebut, Terdakwa II memenuhi unsur turut melakukan dalam tindak pidana
korupsi, yaitu pelaku yang sama-sama memiliki kehendak dan tujuan yang sama
untuk terwujudnya tindak pidana. Namun, terdapat syarat tambahan pada bentuk
turut melakukan yaitu berupa kualitas yang sama si pelaku tindak pidana. Dalam
hal ini, Terdakwa I menempatkan diri sebagai pihak pemerintah dan terdakwa II
sebagai pihak swasta. Maka demikian, kedua pelaku tidak memiliki kualitas yang
sama.

Unsur penyertaan dalam putusan Nomor Perkara 572 K/Pid/2003

Perbuatan pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh Terdakwa I dan II


dengan cara mendapatkan keuntungan untuk diri sendiri dengan menggunakan keuangan

12
negara pada bidang penyalahgunaan dana non-budgeter termasuk kedalam ajaran
penyertaan dalam tindak pidana, yang berdasarkan pertimbangan penegak hukum terbagi
menjadi :

1. Melakukan

Terdakwa I memiliki kedudukan sebagai Menteri Sekertaris Negara.


Dalam hal ini, Terdakwa I memiliki kualitas sebagai pejabat pemerintah. Terkait
pengadaan dan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin tersebut, perbuatan
yang dilakukan Terdakwa I tergolong kepada ajaran penyertaan, yaitu pada
bentuk melakukan. Tindakan yang dilakukan Terdakwa I termasuk sebagai pelaku
yang melakukan (pleger) akibat pelaku yang memiliki posisi sebagai pejabat
pemerintah yang telah menyalurkan dana sebesar 40 Miliar tersebut kepada
Terdakwa II namun tidak disertai dengan tanda terima serta proses yang berjalan
begitu cepat dan mudah untuk menyetujui pencairan dana tersebut.

2. Turut Melakukan

Dadang Sukandar selaku Terdakwa II merupakan pihak yang memiliki


kedudukan berasal dari Yayasan Raudatul Jannah. Berdasarkan kasus tersebut,
Terdakwa II menerima uang negara yang ditujukan untuk pengadaan sembako
dan distribusikan ke beberapa daerah. Uang negara tersebut berasal dari Terdakwa
I yang memiliki kewenangan untuk tercairkannya uang negara tersebut.

Dalam kasus diatas, penuntut umum menggunakan bentuk turut


melakukan yang dikenakan kepada Terdakwa II. Turut melakukan yang
digunakan oleh penuntut umum akibat kedua terdakwa tersebut secara bersama-
sama melakukan tindak pidana dengan tujuan menguntungkan sendiri dan orang
lain yang melalui penyalahgunaan dana non-budgeter.

13
BAB III

ANALISIS

3.1 KASUS
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akan menjalani sidang putusan
sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Kamis
(15/7/2021) hari ini. Hal itu disampaikan oleh Plt Juru Bicara KPK Bidang pencegahan Ipi
Maryati Kuding.

Edhy Prabowo telah dijerat lembaga antirasuah dalam perkara korupsi izin ekspor benih
Lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2020. "Sidang agenda putusan majelis
hakim atas perkara dengan terdakwa Edhy Prabowo," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang
Pencegahan Ipi Maryati Kuding, Kamis (15/7/2021)

Diketahui, Edhy Prabowo dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK lima tahun
penjara dalam perkara suap izin ekspor benih lobster di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor), Jakarta Pusat, Selasa (29/6/2021). Selain pidana badan, Edhy juga turut membayar
denda mencapai Rp 400 juta, subsider enam bulan kurungan penjara. "Menyatakan terdakwa
Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp400
juta subsider 6 bulan kurungan," kata Jaksa KPK dalam pembacaan tuntutan di Pengadilan
Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (29/6/2021).

Jaksa KPK juga memberikan pidana tambahan kepada terdakwa Edhy Prabowo berupa
membayar uang pengganti mencapai Rp 9.687.447.219 dan USD 77 ribu. Dalam dakwaan jaksa,

14
Edhy Prabowo disebut menerima suap sekitar Rp 24.625.587.250.000 dan USD 77.000 terkait
kasus suap izin ekspor benih lobster tahun 2020.

Jaksa Ronald merincikan, penerimaan suap Edhy diterimanya melalui perantara yakni,
sekretaris pribadinya Amiril Mukminin dan staf khususnya Safri menerima total USD 77.000
dari bos PT. Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito. Sedangkan, uang suap senilai Rp 24
miliar juga diterima Edhy juga dari Suharjito. Di mana, Edhy mendapatkan uang itu melalui
Amiril Mukminin; staf pribadi istri Edhy, Ainul Faqih dan staf khusus Edhy, Andreau Misanta
Pribadi.

3.1.1 ANALISIS KASUS


Peran masing-masing pelaku dari kasus korupsi di atas berdasarkan pasal 607 KUHP :

1. Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara sebagai pelaku utama Tindak Pidana
(plegen) dihukum 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta serta membayar
uang pengganti sebesar Rp 14,5 miliyar subsider 2 tahun penjara dan pencabutan
hak politik berupa dipilih dalam jabatan public selama empat tahun usai terdakwa
menjalani pidana pokok.
2. Edhy Prabowo: Berdasarkan pasal 607 KUHP diambil dari Pasal 11 UU Tindak
Pidana Korupsi tentang penyelenggara yang menerima suap, ancaman hukumannya
lebih ringan karena dikurangi dengan masa tahanan sementara dari paling lama lima
tahun penjara dan dijatuhkan denda 400 juta subsider 6 bulan.
3. Ainul Faqih: Melanggar Pasal 12 huruf a Undang - Undang RI Nomor 13 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Ainul Faqih divonis 4 tahun
penjara dan denda sebanyak 300 juta.
4. Amiril Mukminin: Berdasarkan dakwaan terdakwa terbukti melanggar Pasal 12
Huruf a Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Tahun 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Amiril Mukminin sebagai mantan Bupati
Bengkalis divonis penjara 6 tahun dengan pembayaran denda sebesar Rp 500 juta

15
karena telah terbuktu menerima suap sebesar Rp 5,2 miliyar dari PT Citra Gading
Asritama.
5. Andrean Misanta Pribadi dan safri: dihukum penjara selama 4 tahun 6 bulan dengan
denda sebesar Rp 300 juta karena telah “turut serta” dalam membantu
melaksanakan perintah atasan dengan menerima uang suap juga.
6. Suharjito: Berdasarkan pasal 423 KUHP, Suharjito dipidana sebagai tersangka
pemberi suap kepada Edhy Prabowo sebesar Rp 24 miliar.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

1. Ajaran penyertaan merupakan ajaran yang memperluas dapat dipidananya orang yang
tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana. Karena sebelum seseorang dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, orang itu harus sudah melakukan
perbuatan pidana. Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP yang berarti bahwa
ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada
dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. Dalam
hukum pidana khususnya korupsi ini berarti, masalah pertanggungjawaban pidana
bermula pada ajaran tentang perbuatan pidana dan Ajaran Penyertaan Pidana. Seperti
dikatakan Druff, “substantive questions about the proper foundations and scope of
criminal liability seem to connect with questions about the concept of action.”
(pertanyaan substantif mengenai pondasi layak dan ruang lingkup pertanggungjawaban
pidana rupanya berkaitan dengan pertanyaan mengenai konsep perbuatan). Jadi, masalah
fundamental dan spektrum pertanggungjawaban pidana korupsi amat berkaitan erat
dengan persoalan berkisar mengenai perbuatan pidana dan penyertaan perbuatan pidana.
2. Pada beberapa kasus korupsi, para penegak hukum tidak terlalu memperhatikan makna
delik jabatan pada tindak pidana korupsi. Pasal 55 KUHP bentuk turut melakukan lebih
sering diterapkan pada kasus jika kedudukan para pelaku adalah pihak swasta dengan
pihak pemerintah. Padahal, kedua pihak tersebut memiliki sifat kualitas yang berbeda.

16
Dengan demikian, maka jika para pelaku tindak pidana korupsi yang terdiri dari pihak
swasta dan pihak pemerintah, pihak swasta yang tidak memiliki kualitas yang sama
dengan pihak pemerintah tersebut termasuk kepada bentuk pembantuan. Unsur dari
pembantuan ini juga tergantung sepenuhnya dengan pelaku utama, maka pelaku yang
dimaksud dikenai dengan pasal pembantuan, yaitu Pasal 15 UU PTPK. Di lain hal,
meskipun memang tergolong bentuk pembantuan, namun hal tersebut tidak mengurangi
sanksi pidana pihak pembantu sebab dalam tindak pidana korupsi pelaku tersebut tetap
dipidana sama dengan pelaku utama.

4.2 SARAN

1) Korupsi telah membawa begitu banyak dampak buruk terhadap negara maupun
masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya penegakan hukum untuk dapat memberikan
penghukuman terhadap para pelaku korupsi. Dengan adanya hukum yang mengatur
dalam KUHP lebih tepatnya yang kami bahas yaitu terkait Penyertaan Tindak Pidana
sebaiknya negara Indonesia dapat lebih memperkuat hukum tersebut agar pelaku korupsi
di Indonesia menjadi menurun.
2) Para penegak hukum sebaiknya lebih memperhatikan makna delik jabatan pada tindak
pidana korupsi. Dalam hukum pidana khususnya korupsi ini berarti, masalah
pertanggungjawaban pidana bermula pada ajaran tentang perbuatan pidana dan ajaran
penyertaan pidana.

17
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, E. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Refika Aditama. 2011.

Khair, M. E.. Percobaan dan Penyertaan. Medan: USU Press. 2009.

Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia (Rajawali 2016).

Didik Endro Purwoleksono, Hukum Pidana (Airlangga University Press 2014).

Mia Amiati, Perluasan Penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut UNCATOC 2000 dan
UNCAC 2003 (Referensi 2013).

P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan
Jabatan tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi (Sinar Grafika 2014).

Ilmu,W. Wadah Ilmu. Retrieved Februari 22, 2020, from Jasmerah:


http://jasmerah00.blogspot.com/2013/01/makalah-deelneming.html, Januari 2013.

AS Maharani,2020, from Jurist Diction Unair :

https://e-journal.unair.ac.id/JD/article/view/20208

18

Anda mungkin juga menyukai