Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH OTENTISITAS HADIS MENURUT M.

MUSTAFA AZAMI

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Studi Hadis Kontemporer

Dosen Pengampu: Dr. M. Nuruddin, M.Ag.

Disusun oleh:

1. Dyfan Iftikar Manaf (203041003)


2. Rahmania Fitriyani (2030410014)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

PRODI ILMU HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

PROGAM STUDI ILMU HADIST TAHUN 2023


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak pemikir hadis baik dari kalangan muslim maupun orientalis yang telah
memberikan warna dalam kajian hadis. Bila dilihat dari sisi kecenderungan, terdapat
perbedaan mencolok dalam kajian hadis Barat, yakni kelompok yang sering disebut
skeptis dan believers. Kelompok pertama mengkaji hadis berangkat dari keraguan
menerima hadis yang banyak bertentangan dengan kenyataan sejarah oleh karenanya
tidak terbukti otentik. Sedangkan kelompok kedua mengkaji hadis didasarkan pada
keyakinan akan kebenaran hadis, baik sisi historis maupun keotentikannya. Hadis
merupakan sumber hukum dan doktrin teologis sehingga kecenderungannya berupaya
menjaga keberadaan hadis.1
Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada zaman nabi dan sahabat itu lebih
disebabkan antara lain: Pertama, karena nabi sendiri memang pernah melarangnya,
meskipun di antara sahabat atas izin nabi juga telah mencatat sebagian hadis yang
disampaikan nabi. Kedua, karena sebagian besar sahabat cenderung lebih memperhatikan
al-Qur’an untuk dihafal dan ditulisnya pada papan, pelepah kurma, kulit binatang dan lain
sebagainnya. Sedangkan terhadap hadis Nabi sendiri, di samping menghafalnya, mereka
cenderung langsung melihat praktek yang dilakukan Nabi, kemudian mereka
mengikutinya. Ketiga, karena ada kekhawatiran terjadinya campur aduk antara ayat al-
Qur’an dengan hadis. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan
otentisitas hadis. Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai
sasaran utama untuk membangun teori yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas
hadis
Berkaitan dengan hadis nabi, sebagian sahabat di samping menghafalnya juga
menulisnya, terutama bagi mereka yang dinilai cermat dalam mencatat sehingga tidak
bercampur antara catatan al-Qur’an dengan hadis nabi. Brikut ini merupakan rumusan
masalah bagaimana otentisitas hadis dilakukan oleh M. Mustofa Azami terhadap para
pemikir orientalis tentang hadis Rasulullah”
B. Rumusan Masalah
1
Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah, 2009), cet. Ke-1, 1
1. Bagaimana Biografi M. Mustofa Azami?
2. Bagaimana Kritik Otensitas Hadis menurut M. Mustofa Azami?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Biografi M. Mustofa Azami
2. Untuk mengetahui bagaimana Kritik Otensitas Hadis menurut M. Mustofa Azami
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi M. Mustofa Azami


Nama beliau adalah Muhammad Mustafa Azami, dalam beberapa literatur ada
yang menyebut al-A’zhami, dan Azmi. Meski cara penuturan yang berbeda tetapi maksud
dari penyebutan ini adalah sama. Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan
penyebutan Muhammad Mustafa Azami ditulis inisialnya saja yakni M.M. dan ini
seringkali tidak disebut melainkan hanya disebut nama belakangnya yakni Azami.
Alasannya untuk meringkas dalam penyebutan dan penulisan
Azami dilahirkan di Mano, Azamgarh dalam wilayah Uttar Pradesh, daerah di
India Utara, pada tahun 1932. Kata Azami atau al-A’zhami adalah nisbah pada daerah
Azamgarh.11 Azami dikenal sebagai seorang yang cinta ilmu pengetahuan khususnya
keislaman (hadis) dan sangat membenci ideology imperalisme. Tidak heran jika ayahnya
sendiri amat membenci bahasa Inggris dan melarangnya untuk mempelajari bahasa
tersebut. Kenyataan ini dirasakannya ketika ia dilarang ayahnya masuk pendidikan yang
menggunakan bahasa Inggris dan lebih mengarahkan kepada pendidikan agama dan
menggunakan pengantar bahasa Arab dalam studinya, dan di sinilah hadis dan ilmu hadis
mulai dipelajarinya.
Hal ini dimaklumi sebab daerah India kala itu merupakan daerah jajahan Inggris.
Dampak dari penjajahan itu adalah hancurnya kesatuan rakyat India menjadi kepada
kelompok-kelompok kecil sehingga mudah dikuasai. Azami salah seorang cendikiawan
bidang hadis yang memang cukup berbeda bila dibandingkan dengan para tokoh lain
sewaktu belajar di pusat orientalis atau negara non-Muslim. Fokus kajiannya cenderung
kepada kajian di bidang hadis dan ilmu hadis. Azami merupakan peneliti yang ikut andil
dalam perdebatan kajian hadis di Barat bersama para orientalis. Ciri khusus dari
spesialisasi Azami adalah mengkritik pandangan mereka terhadap kajian Islam,
khususnya hadis Nabi saw. Riwayat pendidikan Azami cukup dipengaruhi oleh
bimbingan dan arahan ayahnya. Kemanapun pendidikan masa kecil Azami selalu dalam
arahan orang tua dan bukan kemauan pribadi Azami semata. Azami memiliki ayah
seorang pencari ilmu dan benci penjajahan, termasuk bahasa Inggris.2
Didikan tingkat perguruan tinggi di India, lalu melanjutkan ke universitas alAzhar
dan ke Cambirdge Inggris. Secara sederhana, perjalanan intelektual Azami dapat dibagi
kepada dua fase yang cukup berpengaruh terhadap kecenderungan dan pola pikir Azami
dalam kajian hadis. Fase pertama (1952- 1964) Pada periode ini, Azami mengalami
transformasi pemikiran dari College of Science di Deoband dan Universitas al-Azhar
Kairo. Fase II (1964-1966) bersentuhan langsung dengan pemikiran orientalis di
Cambridge Inggris.

B. Kritik Otensitas Hadis Menurut M. Mustofa Azami


Kajian tentang otentisitas hadis dimaksudkan untuk melihat hadis yang otentik
maupun tidak otentik. Penekanan para peneliti di Barat adalah melakukan sebuah
penanggalan atas sebuah hadis untuk menilai asal-usul atau sumbernya. Sebagian besar
sarjana Barat percaya, atau kalau ada juga sangat sedikit sekali, hadis yang dapat
diatributkan secara historis kepada Nabi.3
Ada banyak kritik yang dilakukan Azami terhadap pemikiran Joseph Schacht
tentang teori projection back. Pertama, dalam dunia ilmu pengetahuan, citra para guru
tidaklah sama. Setiap pelajar selalu cenderung untuk berguru kepada guru yang paling
baik dan populer. Pada abad ke dua Hijriyah, sudah terdapat kaidah-kaidah kritik (al-jarh
wa alta’dil) baik secara lisan maupun tulisan. Dari kaidah-kaidah itu dapat diketahui
bahwa sebagian guru memang ada yang mempunyai reputasi ilmiah yang tinggi,
sedangkan yang lain tidak demikian. Azami berpendapat bahwa kalau demikian maka
apakah rahasianya sampai para pelajar itu tidak membuat sanad dengan memasukkan
nama guru-guru yang mempunyai reputasi ilmiah yang tinggi dan citra yang baik, dan
kenapa mereka dalam memalsukan hadis tidak memakai nama tokoh-tokoh yang sudah
menjadi andalan. Tapi mereka malah justru memilih orang-orang yang tidak dipercaya
hadisnya.

2
Belakangan Azami mencoba mengkancah studi al-Qur’an dengan tema “The History of the Qur’anic Text, From
Revelation to Compilation. A Comparative Study with the Old and New Testaments”. Sohirin Solihin dan kawan-
kawan menterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dan untuk pertama kali diterbitkan tahun 2005.
3
Komarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Bandung: Mizan, 2009), h. 155
Kedua, Azami berargumen bahwa materi-materi hadis kebanyakan mempunyai
persamaan di kalangan kelompok-kelompok Islam, seperti Khawarij, Mu’tazilah,
Zaidiyah dan Imamiyah, di mana mereka memisahkan diri dari Ahlussunnah kurang lebih
25 tahun sesudah Nabi saw wafat. Apabila hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah
fiqih itu pemalsuannya terjadi pada abad kedua dan ketiga hijriyah sebagaimana tuduhan
Schacht, maka tentunya tidak ada satu hadis pun yang secara bersamaan terdapat dalam
kitab-kitab kelompok-kelompok Islam tersebut. Pada hal kenyataannya dalam kitab-kitab
tersebut banyak terdapat hadis-hadis yang materinya berkaitan dengan mereka. Adapun
alasan Schacht tentang gejala adanya hadis-hadis itu dalam kitab-kitab mereka, maka hal
itu tidak dapat diterima jika ditinjau dari kacamata sejarah.
Azami berkesimpulan bahwa yang selama ini dalam mengkaji pertumbuhan dan
perkembangan sanad sangat bertentangan dengan pendapat Schacht. Sebab tidak
diragukan lagi penggunaan sanad sudah dimulai pada masa Nabi saw, hanya saja metode
ahli-ahli hadis dalam menggunakan sanad tidak sama khususnya pada masa sahabat. Dan
dapat dikatakan bahwa perhatian terhadap pentingnya sanad mencapai puncaknya pada
akhir abad pertama. Azami berpandangan adanya rawirawi hadis dan tempat-tempat
tinggal mereka yang saling berjauhan. Apabila hal tersebut ditambah umur serta tradisi
mereka. Oleh karena itu teori Schacht yang disebut “projecting back” (proyeksi belakang)
sangat sulit dibayangkan, bahkan prakteknya juga mustahil.
Jadi, kalau dalam hadis umat Islam selalu membuat garis lurus dalam
gambarannya, meletakkan masa lalu sebagai sumber dari masa sesudahnya. Akan tetapi,
Schacht membuat pandangan yang berbeda dengan garis terbalik, yaitu masa belakangan
adalah sumber dari masa lalu. Sanad masa lalu, pencerita masa lalu, rawi masa lalu, itu
berasal dari masa sesudahnya. Itu yang disebut teori “projecting back”, dimana semua
mundur ke zaman sebelumnya, untuk melegitimasi kebenarannya. Bukan masa
sesudahnya berasal dari masa lalu, tetapi masa lalu hasil dari rekontruksi masa
sesudahnya.
Menurut keyakinan Muslim, Islam itu sudah sempurna ketika sang Nabi wafat.
Islam merupakan produk jadi, karena wahyu sudah terputus dan pesan Tuhan berakhir
ketika Nabi wafat. Tidak ada lagi pertambahan atau pengurangan Islam. Namun dalam
hal ini Schacht memandang bukan dari sudut pandang teologis, melainkan dari sudut
pandang manusiawi dan sosiologis dan sejarah. Maka hasilnya adalah menurutnya Islam
bukan hanya dibentuk hanya pada masa Nabi Muhammad. Akan tetapi, proses
pembentukan Islam itu terus berlanjut di masa empat khalifah utama di Madinah,
kemudian berlanjut di masa Umayyah di Damaskus, dan Abbasiyyah di Baghdad. Proses
historis itulah yang menjadi dasar pembentukan dan perkembangan Islam awal, terutama
fiqih atau hukum Islam yang lebih umum. Semua keilmuan Islam dibentuk, dan matang,
setelah dua atau satu abad era Muhammad.
Azami juga mengkritik pernyataan Joseph Schacht tentang isnad keluarga dan
common link. Schacht berpendapat tentang isnad, bahwa isnad bukanlah jalur
periwayatan hadis seperti yang berlaku di kalangan umat Islam. Akan tetapi isnad adalah
buatan umat Islam sesudah masa kehidupan Nabi. Menurut Azami ada beberapa alasan
yang dikemukakan Schacht ketika berbicara tentang isnad, yakni kemunculan isnad di
abad kedua atau paling awal akhir abad kedua hijriyyah, merupakan hasil rekayasa untuk
mendukung pendapat kepada sumber klasik, dan semakin ke belakang bentuk isnad
semakin lengkap. Bahwasanya pandangan Schacht tentang susunan isnad semakin
belakang semakin lengkap dan mengalami perbaikan, merupakan asumsi yang tidak
beralasan. Sementara isnad keluarga diklaim oleh Schacht adalah palsu, menurut Azami
tidak semuanya benar. Sebab isnad keluarga ada yang shahih dan ada yang tidak4
Common link adalah perawi tertua dalam jaringan isnad, yang darinya sejumlah
jalur periwayatan mulai menyebar. Schacht menyatakan bahwa sebuah hadis yang
memiliki seorang common link dalam isnad-nya diedarkan atau disebarkan oleh common
link itu sendiri, dengan syarat common link tersebut bukan seorang figur abad pertama,
dalam kasus seperti itu riwayat dari common link tersebut tidak historis. Di sini Azami
menunjukkan bahwa contoh yang disebutkan oleh Schacht sebagai common link
keyataannya bukanlah seorang common link. Menurut Schacht orang Madinah
membolehkan penjualan hamba makatab, hal ini dapat ditemukan sebuah hadis dengan
isnad Malik-Hisyam-Urwah (bapak Hisyam)- A’isyah (bibi Urwah) - Nabi. Hisyam
adalah common link dalam versi isnad keluarga ini. Isnad keluarga, menurut Schacht
palsu.

4
Azami, On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence (Oxford, Clarendon, 1959). h. 163
Aplikasi teori Schacht mengenai common link membawa kepada asumsi bahwa
hadis tersebut dipalsukan pada masa Hisyam, apakah yang memalsukan dia sendiri atau
oleh seseorang yang menggunakan namanya. Azami dengan pendapatnya yang sangat
tajam dari Schacht berargumen bahwa Mustahil perawi-perawi Hisyam, yang telah
belajar hadis darinya tidak mengetahui nama guru mereka. Tidak mungkin bahwa
perawiperawi Hisyam bersekongkol menggunakan nama Hisyam. Juga tidak dapat
dibayangkan bahwa ulama’-ulama’ yang tidak diketahui namanya meyakinkan sejumlah
murid yang berbeda yang mereka harus dengan palsu menyandarkan hadis tersebut
kepada Hisyam. Setelah menguji secara rinci klaim Schacht tentang isnad, Azami
menyimpulkan bahwa sistem isnad sepenuhnya dapat dipercaya.
Terkait hubunganya dengan otentisitas hadis, Azami secara umum menuduh
Schacht memiliki “inkonsistensi” baik dalam teorinya sendiri maupun penggunaan
sumber, asumsi yang tidak berdasar dan metode penelitian yang tidak ilmiah, kekeliruan
fakta, kelalaian terhadap realitas geografis dan politik pada masa itu, misinterpretasi
terhadap makna teks yang dikutip, dan kesalahpahaman terhadap metode pengutipan
ulamaulama awal. Azami berpendapat bahwa pemalsuan hadis yang disampaikan oleh
Schacht dari waktu ke waktu dan mengalami perbaikan di masa yang akan datang. Azami
melihat kenyataan ini sebenarnya tidak dapat dipungkiri jika dilihat dari model
periwayatan hadis yang berlaku. Asumsi Schacht bahwa sanad dibuat-buat sesuai
kebutuhan mendasar, adakalanya seorang sahabat memiliki sejumlah murid, dan pada
saat tertentu sang murid juga memiliki murid kembali di masanya dengan jumlah yang
sama misalnya, tentu keberadaan sanad akan terus bertambah seiring periwayatan yang
disampaikan setiap generasi.5
Menurut Suryadi dalam rekonstruksi metodologi pemahaman hadis terdapat
pembagian kritik eksternal dan internal. Yang dimaksud dengan kritik eksternal adalah
aksi-gugat yang datang dari kalangan non-Muslim maupun orang Muslim sendiri, yang
mempersoalkan keberadaan hadis dan sunnah. Meskipun para ulama’ hadis, khususnya
generasi mutaakhirin, tidak mempersoalkan perbedaan antara hadis dan sunnah, namun
Ignaz Goldziher dan Yoseph Schacht menyatakan, pada dasarnya sunnah merupakan
kesinambungan dari adat istiadat pra Islam ditambah dengan aktivitas pemikiran bebas

5
Azamī, Dirasat…, h. 405
para pakar hukum Islam masa awal. Sedangkan hadis merupakan produk kreasi kaum
Muslimin belakangan, karena kodifikasi hadis baru terjadi beberapa abad setelah masa
Rasulullah saw.41 Fokus kritik eksternal Azami terletak pada kritik terhadap orientalis,
ketika Azmi mengkritik Josep Schacht dari isnadnya.
Adapun kritik internal, yakni persoalan-persoalan yang berangkat dari penilaian
terhadap figur Muhammad sebagai figur sentral. Sebagai Nabi akhir zaman, otomatis
ajaran-ajaran beliau berlaku bagi umat Islam di berbagai tempat dan masa hingga akhir
zaman, sementara hadis itu sendiri turun dalam ruang lingkup yang dijelajahi Rasulullah
dan terlingkup dalam ruang sosio-kultural masa Rasulullah. Di samping itu tidak semua
Hadis Nabi secara eksplisit memiliki asbabul wurud, yang menjadikan status hadis
bersifat umum atau khusus. Dengan melihat kondisi yang melatar belakangi munculnya
suatu hadis, menjadikan sebuah hadis terkadang dipahami secara tekstual dan kadang
secara kontekstual. Kritik internal menurut Azami berposisi pada historiografi, ketika
Azami mengkritik menggunakan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis, seperti ilmu
tadwin al-hadis, ilmu rijalul hadis, ilmu jar wata’dil, Ilmu Hadis, ilmu Fiqih. Penulis
memposisikan kritik Josep Schacht terhadap Azami adalah middle ground dengan
melihat baik literatur maupun fakta sejarah. Dan ketika Schacht mengkritisi kepada
Azami dari sisi isnad maupun otentisitas hadis. Dari sisi isnad, Schacht mengkritik
mengenai periwayatan sanad hadis dengan menggunakan teori projection back dan
common link. Menurut penulis Azami melakukan kritik terhadap Schacht merupakan hal
yang sudah pernah dilakukan ulama’-ulama’ terdahulu. Karena Azami menggunakan
kritik dengan ilmu-ilmu hadis klasik.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara historis-empiris, keberadaan hadis mengalami periwayatan yang masiv
pada masa awal Islam. Kebutuhan informasi akan penjelasan Nabi saw pada setiap
problem kehidupan amat dirasakan oleh kalangan sahabat. Perhatian sahabat terhadap
hadis cukup tinggi, sampai-sampai manakala di antara mereka tidak dapat hadir dalam
majlis ilmiah Nabi saw, mereka saling bergiliran menghadiri, sekembalinya mereka
berbagi informasi. Penyampaian riwayat dari masing-masing individu kalangan sahabat
kepada sesamanya merupakan fakta sejarah.
M. Mustofa Azami dalam keilmuanya tidak diragukan lagi sebagai ahli hadis
sekaligus pengkritis hadis terutama terhadap para orientalis yang meragukan keotentikan
hadis seperti Ignaz Gholziher dan Joseph Schacht. Ali Mustofa Ya’qub, yang merupakan
salah satu murid beliau di Indonesia, menjuluki Azami sebagai “pembela eksistensi
hadis”, karena ia berhasil meruntuhkan argumentasi orientalis yang menolak hadis
berasal.
B. Saran
Dari makalah yang singkat ini, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita
semua. Karena yang baik datangnya dari Allah. Dan kami sadar bahwa makalah ini jauh
dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi. Jadi, kami harapkan saran
dan kritik yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSAKA

Azami, On Schacht’s Origin Use the "Insert Citation" button to add citations to this
document.

of Muhammadan Jurisprudence (Oxford, Clarendon, 1959). h. 163

Belakangan Azami mencoba mengkancah studi al-Qur’an dengan tema “The History of
the Qur’anic Text, From

Belakangan Azami mencoba mengkancah studi al-Qur’an dengan tema “The History of the
Qur’anic Text, From Revelation to Compilation. A Comparative Study with the Old and New

Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah,
2009), cet. Ke-1, 1
Komarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Bandung: Mizan,
2009), h. 155
Testaments”. Sohirin Solihin dan kawan-kawan menterjemahkan ke dalam edisi
Indonesia dan untuk pertama kali diterbitkan tahun 2005.

Anda mungkin juga menyukai