Anda di halaman 1dari 2

TUGAS 3

Nama : Rianto Pakpahan

NIM : 041537123

1. Bandingkan jaminan asas partisipatif berkaitan dengan penyusunan AMDAL antara


pengaturan dalam UU No 32 Tahun 2009 dengan UU No 11 Tahun 2020 (sertakan
dengan Pasalnya)!
2. Berikan argumentasi saudara mengenai jaminan hak partisipatif publik dalam
pengelolaan lingkungan dalam UU No11 Tahun 2020!

JAWABAN

1. Perubahan mengenai mekanisme keberatan atas Amdal. UU PPLH


menyediakan ruang bagi masyarakat yang keberatan dengan dokumen Amdal untuk
dapat mengajukan keberatan atau upaya hukum, sedangkan dalam UU Ciptaker tidak
diatur mengenai mekanisme keberatan atas Amdal. UU Ciptaker menghapus
ketentuan mengenai mekanisme keberatan tersebut, yaitu dengan menghapus
ketentuan mengenai komisi penilai Amdal yang dalam diatur dalam Pasal 29, Pasal 30
dan Pasal 31 UU PPLH. Ketiadaan mekanisme keberatan ini memantik perdebatan
dimasyarakat karena mekanisme ini dianggap sangat penting untuk memastikan
kelestarian lingkungan, terutama untuk menjaga agar dokumen Amdal tidak dibuat
sembarangan atau sekedar formalitas.

Hal lain yang sejalan dengan ketentuan Amdal, yang juga menimbulkan
perdebatan adalah dihapusnya pasal mengenai kewajiban izin lingkungan. Dalam UU
Ciptaker, izin lingkungan tidak diatur secara tegas. Namun, untuk mendapatkan izin
berusaha, pemohon harus mendapatkan keputusan mengenai kelayakan lingkungan.
Izin Lingkungan dalam UU PPLH diubah nomenklatur dan substansinya menjadi
persetujuan lingkungan dalam UU Ciptaker. Pasal 22 angka 35 UU Ciptaker
mendefinisikan Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan
Hidup atau pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah
mendapatkan persetujuan dari pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

Perubahan-perubahan dalam UU Ciptaker yang mengubah ketentuan UU


PPLH terutama mengenai Amdal dan izin lingkungan dianggap oleh sejumlah pegiat
lingkungan sebagai pelemahan yang mengancam kelestarian alam, apalagi analisis
dampak lingkungan hanya untuk proyek berisiko tinggi, sedangkan dasar untuk
menentukan proyek berisiko rendah atau tinggi belum terang benar aturan mainnya
sampai sekarang. Ada pula kekhawatiran bahwa perubahan aturan ini berpotensi
mudahnya menerbitkan Amdal “abal-abal” karena proses penerbitan Amdal ini tanpa
kontrol masyarakat. Padahal, partisipasi masyarakat menjadi “jiwa” dalam penerbitan
Amdal.

Hasil indeksasi terhadap 164 putusan TUN yang dilakukan Lembaga Kajian
dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menunjukkan banyak izin lingkungan
yang disengketakan di pengadilan tata usaha negara. Dari 164 putusan, terdapat 30
putusan mengenai sengketa izin lingkungan. Dari 164 putusan tersebut, LeIP juga
menemukan putusan yang menguji Amdal, terutama keterlibatan masyarakat. Dalam
putusan 580 K/TUN/2018, Majelis Hakim memberi pertimbangan tentang harus
adanya unsur masyarakat dalam komisi Amdal.

Berdasarkan pemaparan di atas, LeIP bermaksud mengadakan diskusi publik.


Setidaknya ada tiga pertanyaan pokok yang hendak dibahas:

1. Kriteria masyarakat yang dilibatkan dalam menyusun Amdal berdasarkan UU Ciptaker


adalah hanya sebatas masyarakat yang terkena dampak langsung. Kriteria ini dipersempit
jika dibandingkan pengaturan dalam UU PPLH. Apa dampaknya ke depan ketika yang
dilibatkan hanya masyarakat yang terkena dampak langsung? Apakah masih ada peluang
bagi organisasi lingkungan hidup untuk berperan dalam menyusun dokumen Amdal?
2. UU Ciptaker menghapus mekanisme keberatan atau upaya hukum terhadap Amdal.
Bagaimana pemerintah memastikan bahwa Amdal yang diterbitkan dilahirkan
berdasarkan prosedur yang benar dan memastikan perlindungan terhadap lingkungan?
3. Izin lingkungan tidak diatur secara tegas dalam UU Ciptaker. Dalam UU Ciptaker, izin
usaha dapat diterbitkan apabia sudah ada Persetujuan Lingkungan, yaitu Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup atau pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah

2. Demi menjaga dan melindungi hak masyarakat atas lingkungan, diperlukan


suatu partisipasi publik dalam mengawal setiap perizinan yang diterbitkan oleh
Pemerintah. Selama ini, izin lingkungan atau izin usaha membuka ruang partisipasi
kepada masyarakat untuk dapat menggugat ke PTUN ketika menemukan suatu izin
yang diterbitkan melanggar peraturan yang terakomodasi pada Pasal 93 UU PPLH

Pasal 93 yang dihapus dalam klaster lingkungan hidup UU No. 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja telah menciderai hak konstitusi warga negara. Perlindungan
Hukum terhadap HAM atas lingkungan yang telah dijamin dalam Pasal 28H Ayat (1)
dan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945 yang menjamin warga masyarakat untuk
hidup sejahtera secara lahir batin yang dilengkapi dengan hak manusia atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum. Oleh karena itu, telah
mutlak kewajiban negara untuk menjamin lingkungan hidup dan sehat bagi warga
negara dengan tetap memasukan unsur suara rakyat didalamnya. Ketentuan lainnya
juga diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan, “Bumi,air serta
kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar
demi kemakmuran rakyat” secara gramatikal dapat disimpulkan bahwa penguasaan
segala sumber daya alam oleh negara pada hakikatnya hanya sebatas
menyelenggarakan, menggunakan, memelihara dan mengatur lingkungan, bukan
untuk menggunakan kekayaan tersebut guna mencapai keuntungan sebesar besarnya
bagi negara dan mengabaikan suara serta izin dari warga negara (masyarakat).

Anda mungkin juga menyukai