Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rianto Pakpahan

NIM : 041537123

1. Dalam sebuah penerbangan pesawat Garuda Indonesia dari Perancis menuju Jakarta,
Esmeralda seorang warga negara Kolombia terlibat cekcok dengan Gatot yang
merupakan seorang warga negara Indonesia. Karena emosi, Esmeralda kemudian
memukul kepala Gatot dengan menggunakan botol kemasan air mineral kosong.
Setelah terkena pukulan dari Esmeralda kemudian Gatot kejang-kejang, seketika
itupula Gatot meninggal dunia, Gatot meninggal ketika pesawat berada di wilayah
udara Arab Saudi. Setibanya di Jakarta, jenazah Gatot langsung di autopsi, kemudian
diketahui penyebab kematian Gatot adalah akibat dari serangan jantung.

Jika dilihat dari kasus diatas, apakah Esmeralda dapat dipertanggungjawabkan atas meninggalnya Gatot?
Uraikanlah berdasarkan macam-macam ajaran kausalitas yang saudara pahami!

*nama tokoh pada contoh kasus diatas adalah fiktif

Apakah hukuman mati dalam dalam sistem hukum Indonesia masih sesuai dengan falsafah negara
Pancasila dan juga UUD Tahun 1945!

Di dalam Ilmu Hukum Pidana dikenal istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Berikanlah
kesimpulan saudara dari kedua istilah tersebut, kemudian berikan masing-masing contohnya!

Apakah secara hukum dibolehkan menjatuhkan pidana berupa pencabutan seluruh hak yang dimiliki
oleh seseorang, jelaskan dan berikan dasar hukumnya dan contoh putusan hakim!

Jawaban:

1. Ajaran kausalitas adalah ajaran tentang sebab akibat. Untuk delik materil permasalahan sebab
akibat menjadi sangat penting. Kausalitas berlaku ketika suatu peraturan pidana tidak
berbicara tentang perbuatan atau tindak pidananya (yang dilakukan dengan sengaja), namun
menekankan pada hubungan antara kesalahan atau ketidaksengajaan (culpa) dengan akibat.
Dengan demikian, sebelum mengulas unsur kesalahan, hakim pertama-tama menetapkan ada
tidaknya hubungan kausal antara suatu tindakan dan akibat yang muncul. Jadi ajaran
kausalitas menentukan pertanggungjawaban untuk delik yang dirumuskan secara materil,
mengingat akibat yang ditimbulkan merupakan unsur dari delik itu sendiri.
Seperti tindak pidana pembunuhan, di mana tidak ada perbuatan pidana pembunuhan jika
tidak ada akibat kematian dari perbuatan tersebut. Sebagai contoh, Pasal 338 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi:

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Berikut penjelasan masing-masing dari teori kausalitas:


a. Teori Conditio Sine Qua Non dari von Buri
Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatakan menimbulkan akibat tertentu, sepanjang
akibat tersebut tidak dapat dilepaskan dari tindakan pertama tersebut. Karena itu suatu
tindakan harus merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) bagi keberadaan sifat
tertentu. Semua syarat (sebab) harus dipandang setara. Konsekuensi teori ini, kita dapat
merunut tiada henti sebab suatu peristiwa hingga ke masa lalu (regressus ad infinitum).
Beberapa ahli menyatakan teori ini tidak mungkin digunakan dalam menentukan
pertanggungjawaban pidana karena terlalu luas.
b. Teori Generalisasi dari Treger
Teori ini hanya mencari satu saja dari sekian banyak sebab yang menimbulkan akibat yang
dilarang. Termasuk dalam teori ini adalah teori adequat dari Von Kries, yakni musabab dari
suatu kejadian adalah tindakan yang dalam keadaan normal dapat menimbulkan akibat atau
kejadian yang dilarang. Keadaan yang normal dimaksud adalah bila pelaku mengetahui atau
seharusnya mengetahui keadaan saat itu, yang memungkinkan timbulnya suatu akibat.
Dalam teori ini terdapat tiga musabab. Harus dicari perbuatan mana yang paling dekat dengan
akibat tersambar petirnya pembantu tersebut.

2. Hukuman mati sangat diperlukan bagi negara yang masih diperlukan untuk menjaga ketertiban
dan melindugi masyarakat. Hukuman mati secara yuridis masih berlaku dan diatur dalam berbagai
undang-undang. Hukuman mati tidak bertentangan dengan HAM dan sejalan dengan Konsitusi
UUD 1945
3. Dalam Teori Hukum Pidana dikenal 2 jenis Alasan, yaitu :
Pembenar
Alasan Pemaaf
Di dalam KUHP (KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA) dijelaskan rinciannya
apa itu 2 jenis alasan tersebut.

Alasan Pembenar yaitu:


a. Perbuatan yang dilakukan dalam ‘keadaan darurat’ (Pasal 48
KUHP)
b. Perbuatan yang dilakukan karena pembelaan terpaksa (Pasal 49
ayat (1) KUHP)
c. Perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan
(Pasal 50 KUHP)
d. Perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51
KUHP).

Sedangkan Alasan Pemaaf yaitu:


a. Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang ‘tidak mampu
bertanggung jawab’ (Pasal 44 KUHP)
b. Perbuatan yang dilakukan karena terdapat ‘daya paksa’ (Pasal 48
KUHP)
c. Perbuatan karena ‘pembelaan terpaksa yang melampaui batas’
(Pasal 49 ayat (2) KUHP)
d. Perbuatan yang dilakukan untuk menjalankan perintah jabatan
yang tidak sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP

4. Pencabutan hak politik adalah pelanggaran


HAM. masih dapat terbantahkan, sebab setiap hukuman pada dasarnya memang
adalah pelanggaran HAM, tetapi pelanggarannya diperbolehkan, sepanjang
berdasarkan Undang-Undang (Sibarani, 2019). Terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi
melalui putusan No 4/PUUVII/ 2009 (tanggal 24 Maret 2009), telah menetapkan
bahwa hukuman pencabutan hak politik itu dianggap konstitusional asalkan dengan
batasan-batasan tertentu. Dalam perspektif hukum tata negara penerapan sanksi
tambahan berupa pencabutan hak politik sepanjang tidak bersifat permanen tidak
melanggar HAM. Apalagi dijatuhkan terhadap terpidana korupsi yang sangat
merugikan masyarakat. pada hakikatnya, HAM berbeda dengan hak politik. HAM
adalah hak seluruh umat manusia, sedangkan hak politik adalah hak dalam kedudukan
warga negara dari suatu negara tertentu, yang mana dapat dibatasi dengan pencabutan
yang bersifat temporer
Sumber:
1. Anjari, W., (2017). Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia, Jurnal Yudisial, 8 (1), 23 – 44.

Anda mungkin juga menyukai