Anda di halaman 1dari 15

Nama : FAQIH NURUL HAYAT

NIM : 048804066
Program Studi : Ilmu Pemerintahan
Tugas Tuton : Pendidikan Kewarganegaraan
Soal 1 (skor 25)

Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor-faktor yang dapat memperngaruhi keberhasilan
otonomi daerah di Indonesia!

Jawab :

Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR
sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kedua UU tentang otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor
25 Tahun 1999 sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.

Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 didefinisikan sebagai


hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Pelaksanaan otonomi daerah menurut Kaho (2005 : 60) dipengaruhi oleh faktor
manusia pelaksananya, keuangan, peralatan, organisasi dan manajemennya. Sementara itu,
Suwandi (2003 : 3) mengemukakan bahwa kapasitas keuangan pemerintah daerah akan
menentukan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Lebih
lanjut, Fernandez (1992 : 26-36) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi adalah institusi,
keuangan dan aparat pemerintah daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka keuangan daerah
mempunyai peranan yang sangat penting bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
otonomi daerah dan pelaksanaan otonomi daerah dapat dilihat dari kemampuan pemerintah
daerah dalam hal keuangan daerah.

Melalui desentralisasi fiskal, Pemerintah Daerah dituntut untuk mengelola keuangan


daerah secara akuntabel dan transparan. Desentralisasi Fiskal menurut Elmi (2005 : 26) adalah
pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan keuangan yang sebelumnya tersentralisasi baik
secara administrasi maupun pemanfaatannya.
Menurut Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah:

(1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan
kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan
keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan;

(2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD
harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan
pusat dan daerah. Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan.
Lebih lanjut, Syamsi (1986:199) menyatakan bahwa ukuran untuk mengetahui kemampuan
suatu daerah otonom dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah
) adalah:

a. Kemampuan struktural organisasinya

Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas dan
tugastugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah unit-unit beserta macamnya
cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang jelas.

b. Kemampuan aparatur pemerintah daerah

Aparatur pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran saling menunjang
tercapainya tujuan yang ingin dicapai oleh daerah.

c. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat

Pemerintah daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau berperan serta dalam
kegiatan pembangunan

d. Kemampuan keuangan daerah

Pemerintah daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan,dan


kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri.
Sumber dananya antara lain PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.
Soal 2 (skor 25)

Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor apa saja hambatan dalam melaksanakan otonomi
daerah di Indonesia!

Jawab :

1. Keterbatasan sumber daya manusia

Hambatan utama dalam melaksanakan otonomi daerah adalah keterbatasan sumber


daya manusia, keuangan, dan infrastruktur di tingkat daerah.

Banyak pemerintah daerah menghadapi keterbatasan dalam hal kapasitas administratif,


anggaran yang terbatas, serta kurangnya infrastruktur yang memadai untuk mendukung
pelaksanaan kebijakan dan program di daerah (Lubis & Muhson, 2019).

2. Pelayanan publik yang kurang optimal

Sebagai acuan penyediaan pelayanan masyarakat, pemerintah daerah harus


berpedoman kepada PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang akan dijabarkan dalam bentuk peraturan menteri yang
bersangkutan. Untuk itu setiap pemerintah daerah diwajibkan menyusun rencana pencapaian
SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu
pencapaian SPM. Rencana pencapaian SPM dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra
SKPD). Untuk target tahunan pencapaian SPM, dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan
Umum Anggaran (KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-
SKPD) sesuai klasifikasi belanja daerah dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah.

3. Kurangnya pembinaan dan pengawasan

Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat


dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah. Pemerintah Pusat melalui Menteri dan
Pimpinan Lembaga Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan teknis
masing-masing yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk pembinaan provinsi
dan dikoordinasikan oleh Gubernur untuk tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kegiatan yang ditujukan
untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku. Pengawasan pemerintah terutama dilakukan terhadap
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Dalam upaya mengoptimalkan fungsi
pembinaan dan pengawasan, pemberian sanksi akan dilakukan apabila diketemukan adanya
penyimpangan dan pelanggaraan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Salah satu pedoman dalam pembinaan dan pengawasan ini, telah diterbitkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala
Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. Disamping itu Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasann
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

4. Penataan kepegawaian daerah yang tidak setara

Sejalan dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sistem manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS)
menggunakan gabungan dari unified system dan separated system. PNS baik di Pusat maupun
di Daerah diharapkan memiliki kualitas yang setara dan memiliki norma, standar, dan prosedur
manajemen kepegawaian yang sama. Selain itu, pelaksanaan mutase kepegawaian baik vertikal
maupun horisontal perlu dikonsultasikan kepada organisasi pemerintah di atasnya agar
terwujud prinsip pembinaan karier PNS yang utuh dalam kerangka Negara Kesatuan RI. Hal
tersebut akan sangat membantu dalam mewujudkan akurasi data mutasi pegawai dalam
mendukung pengalokasian dana perimbangan secara nasional.

Dengan penataan urusan pemerintahan secara benar, pembentukan kelembagaan secara tepat,
dan personil yang memiliki kapasitas dan profesionalisme memadai, penyelenggaraan otonomi
daerah diharapkan akan semakin membaik dan mampu meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan rakyat.
5. Masalah Orientasi Kekuasaan

Kebijakan otonomi daerah menjadi isu pergeseran kekuasaan dikalangan para elit dari
pada isu melayani masyarakat secara lebih efektif, hal ini diwarnai oleh kepentingan elit local
yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah ini sebagai momentum untuk mencapai
kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi masa dan mengembangkan sentiment
kedaerahan seperti “ putra daerah “ dalam pemilihan kepala daerah.

6. Masalah Pemekaran wilayah

Pemekaran wilayah menjadi masalah serius karena tidak dilakukan dengan grand
desain dari pemerintah pusat. Semestinya ini menjadi pertimbangan utama guna menjamin
kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi intinya prakarsa pemekaran itu seharusnya
muncul dari pemerintah pusat, tetapi kenyataannya justru prakarsa datang dari masyarakat
daerah yang didominasi oleh kepentingan elit daerah dengan tidak mempertimbangankan
kepentingan nasional secara keseluruhan.

7. Masalah Politik Identitas Diri

Pelaksanaan otonomi daerah mendorong menguatnya politik identitas diri yang


berusaha untuk melepaskan diri dari induknya yang sebenarnya menyatu. Potensi ini lama
kelamaan jika dibiarkan akan dapat memunculkan adanya komplik horizontal yang bernuansa
etnis, agama dan golongan atau bangkitnya egosentris yang bersifat kedaerahan.

8. Masalah Pilkada Langsung

Masalah pemilihan langsung yang diatur dalam UUD hanyalah pemilihan presiden,
dalam kenyataannya konsep ini juga diberlakukan dalam pemilihan kepala daerah yang
akhirnya banyak menimbulkan persoalan. Persoalan besar dalam pelaksanaan suksesi
kepemimpinan ini adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan, padahal kondisi sosial
masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu pemilihan langsung kepala daerah juga
menimbulkan moral azard yang luas akibat politik uang yang beredar serta dalam kenyataannya
pemilihan kepala daerah secara langsung tidak menjamin lebih baik dibanding sebelumnya
Soal 3 (skor 25)

Pada kurun waktu lebih dari satu dasawarsa berjalannya otonomi daerah sejak disahkan UU
No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah sudah banyak yang dicapai, namun amsih banyak
hal yang belum bisa ditangani terkait dengan upaya dalam mengatasi implementasi kebijakan
otonomi daerah. Contoh keberhasilan dari otonomi daerah dalah semakin luasnya kewenangan
dari DPRD selaku Lembaga legeslatif serta kewenangan kepala daerah selaku eksekutif dan
semakin terbukanya informasi serta partisipasi dari masyarakan dalam hal pengambilan
keputusan dan penagwasan terhadap jalannya pemerintahan di tingkat daerah. Namun,
keberhasilan tersebut juga diiringi dengan hambatan seperti munculnya istilah raja-raja kecil
di daerah dan banyak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah sehingga menyebabkan
anggaran yang seharusnya untuk membangun daerahnya dikorupsi dan pembangunan menjadi
terhambat.

Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait dengan solusi nyata kita sebagai masyarakat untuk
menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi daerah!

Jawab :

Sebagai masyarakat ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menanggulangi hambatan
dalam pelaksanaan otonomi daerah :

a. Memperkuat fungsi control terhadap jalannya pemerintahaan daerah baik dilakukan oleh
DPRD sebagai badan legislatif maupun dari masyarakat.

b. Memberdayakan politik kepada masyarakat tentang arti pentingnya otonomi daerah bagi
kelangsungan pembangunan di daerah.

c. Meningkatkan mutu pendidikan sehingga mampu mencetak sumber daya manusia yang
unggul dan berkualitas.

d. Memperkuat pemahaman system pemerintahan yang baik dengan berasaskan : kebersamaan,


kepastian hukum, kecermatan, kepercayaan, dan lain lain.

Menindak lanjuti dari partisipasi dari masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah
permintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2017 Tentang
Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam PP tersebut telah
diatur bahwa partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui konsultasi publik, penyampaian
aspirasi, rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi hingga seminar, lokakarya,
dan/atau diskusi. Kemudian beberapa cakupan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang perlu dipelajari dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri ialah
meliputi partisipasi masyarakat dalam penyusunan Peraturan Daerah dan kebijakan daerah,
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan
daerah, pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam daerah, dan penyelenggaraan pelayanan
publik.

Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan dan Kebijakan Daerah

Berdasarkan Pasal 2 PP Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, masyarakat berhak memberikan masukan baik secara
lisan maupun tertulis dalam penyusunan peraturan dan kebijakan daerah. Masukan tersebut
dapat diberikan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau
seminar, lokakarya dan/atau diskusi (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah).

Pada proses pembentukan peraturan daerah (perencanaan, penyusunan, pembahasan


dan penetapan, dan pengundangan), aspirasi masyarakat tersebut dapat ditampung mulai dari
tahap perencanaan dalam penyusunan. Hal ini dilakukan sebagai usaha meningkatkan kualitas
pengambilan kebijakan, karena masyarakatlah yang akan terkena dampak akibat kebijakan
tersebut. Oleh sebab itu, diharapkan pihak eksekutif maupun legislatif dapat menangkap
pandangan dan kebutuhan dari masyarakat yang kemudian dituangkan dalam suatu peraturan
daerah.

Perlu dipahami juga bahwa pentingnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan


peraturan dan kebijakan daerah (Utomo, 2003), diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik.

2. Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat
dalam pembuatan kebijakan publik.

3. Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif.

4. Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan
publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam
sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah

Penyelenggaraan pembangunan daerah dalam prosesnya terdiri dari 4 bagian, yaitu


perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian. Dari keseluruhan
proses tersebut PP Nomor 45 Tahun 2017 mengamanatkan supaya pemerintah daerah mampu
mendorong partisipasi masyarakat. Hal ini penting untuk dilakukan sehingga ke depannya
terwujud pembangunan yang ko-kreasi, yaitu pembangunan yang diselenggarakan dengan ide,
sumber daya, tujuan dan kegiatan bersama.

Ada berbagai bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat pada setiap
proses pembangunan daerah tersebut. Pada saat perencanaan pembangunan masayarakat dapat
berpartisipasi dalam bentuk penyampaian aspirasi konsultasi publik, diskusi dan musyawarah
pada tahapan penyusunan rancangan awal maupun pada musrenbang. Dalam penganggaran,
penyampaian aspirasi juga dilakukan dengan konsultasi publik diskusi, dan musyawarah untuk
mengawasi kesesuaian antara Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dengan Kebijakan
Umum Anggaran/ Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA/PPAS). Selanjutnya, pada
pelaksanaan, masyarakat dapat melibatkan diri sebagai mitra dalam bentuk pemberian hibah
kepada pemerintah daerah dalam bentuk uang, barang, dan/atau jasa. Terakhir, pada
pengawasan dan evaluasi masyarakat dapat memastikan kesesuaian antara jenis kegiatan,
volume dan kualitas pekerjaan, waktu pelaksanaan dan penyelesaian kegiatan, dan/atau
spesifikasi dan mutu hasil pekerjaan dengan rencana pembangunan daerah yang telah
ditetapkan (Pasal Pasal 14 ayat (1) PP Nomor 45 Tahun 2017).
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Aset dan Sumber Daya Alam Daerah

Partisipasi masyarakat diperlukan sebagai aktor independen pengawasan untuk


menjaga agar aset dan sumber daya alam daerah dikelola dengan semestinya. Bisa dikatakan
sebagai bentuk transparansi karena dikelola dan diawasi oleh aktor yang terlibat dan terdampak
secara langsung. Sehingga pengelolaan aset dan sumber daya alam dilakukan oleh masyarakat
setempat dan memberdayakan seluruh sumber daya manusia yang dimiliki oleh daerah.
Melalui partisipasi masyarakat, maka diharapkan dalam pengelolaan aset dan sumber daya
alam daerah kedepannya akan mampu meminimalisir pelanggaran-pelanggaran yang tidak
sesuai dengan ketentuan dan peruntukannya dapat sepenuhnya berorientasi pada masyarakat.

Pemerintah Daerah harus mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan aset dan
sumber daya alam daerah tersebut yang meliputi penggunaan, pemanfaatan, pengamanan,
dan/atau pemeliharaannya sesuai dengan amanat Pasal 15 ayat (1) PP Nomor 45 Tahun 2017.
Partisipasi masyarakat dalam penggunaan dan pengamanan dilaksanakan dalam bentuk
pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola dan
menatausahakan barang milik daerah. Partisipasi dalam pemanfaatan, dapat dilakukan dengan
bentuk sewa, kerja sama pemanfaatan, dan kerja sama penyediaan infrastruktur sehingga bisa
berdampak positif bagi masyarakat. Sedangkan partisipasi dalam bentuk pemeliharaan dapat
dilaksanakan masyarakat dalam bentuk kerja sama pemeliharaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Seiring perkembangan zaman dengan adanya tuntutan adanya pelayanan prima,


pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang pelayanan publik dimaksud yaitu UU No 25
Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Peraturan tersebut merupakan acuan utama dalam
memberikan layanan kepada publik. Tanpa terkecuali telah diamanatkan juga di dalamnya
tentang peran masyarakat dalam mengawasi dan mengawal pelayanan yang diberikan
pemerintah. Hal ini seperti yang tertuang pada Pasal 39, dimana dijelaskan bahwa peran serta
masyarakat dalam pelayanan public dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai
dengan evaluasi dan pemberian penghargaan. Pada dasarnya di sini peran masyarakat
diharapkan berkontribusi positif dalam penyelenggaraan pelayanan publik agar tercapainya
standar pelayanan yang telah ditetapkan.

Kemudian dalam PP Nomor 45 Tahun 2017, telah diatur tentang bagaiamana pengikutsertaan
masyarakat dalam pelayanan publik yang meliputi:

1. Penyusunan kebijakan Pelayanan Publik;

2. Penyusunan Standar Pelayanan;

3. Pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan Pelayanan Publik; dan

4. Pemberian penghargaan.
Soal 4 (skor 25)

Pada praktek good governance menyaratkan harus terdapat transparasi dalam proses
penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan. Transparasi merupakan konsep yang penting
yang mengringi kuatnyakeinginan untuk praktek good governance. Masyarakat diberikan
kesempatan yang luas untuk mengetahui informasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan,
sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian keberpihakan pemerintah terhadap
kepentingan public. Oleh karena itu, masyarakat dapat dengan mudah menetukan apakah akan
memerikan dukungan kepada pemerintah atau malah sebaliknya.

Dari uaraian di atas lakukanlah telaah terkait peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan
praktek good governance!

Jawab :

Menurut Kooiman (dalam Sedarmayanti, 2012:15-16), good governance merupakan


sebuah pergeseran paradigma dari pemerintahan (government) menjadi kepemerintahan

(governance) sebagai wujud interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat
dalam menghadapi berbagai permasalahan kontemporer yang demikian kompleks, dinamis dan

beraneka ragam.

Hal ini berkaitan erat dengan reformasi pemerintahan yang sedang berlangsung,

khususnya dalam upaya pencegahan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Tak hanya itu, good

governance menuntut pada profesionalitas serta kemampuan aparatur dalam pelayanan publik.
Good governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh
pemerintah dan istitusi-institusi lainnya yaitu seperti masyarakat sipil baik individu atau
kelompok di mana salah satunya adalah Lembaga Swadaya Masyakarat dan juga perusahaan
swasta.
Bahkan institusi nonpemerintah bisa mendapat peran dominan dalam governance

tersebut atau bahkan lebih dari itu pemerintah tidak mengambil peran apapun – <governance

without government. Lembaga-lembaga atau institusi-institusi yang telah dijelaskan di atas


mempunyai peran penting terhadap jalannya good governance, yakni memiliki fungsi dalam
mengawasi dan juga mengendalikan jalannya pemerintahan dan pelayanan publik.

Pelaksanaan good governance melibatkan semua aktor administrasi utama, yaitu


negara, bisnis dan masyarakat. Semua pihak harus memiliki informasi, kesadaran dan
kemauan bersama untuk melaksanakan tanggung jawab dan transparansi agar negara mencapai
cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Dikatakan tata kelola dan akuntabilitas kepada
sektor publik bentuk tanggung jawab publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Akuntabilitas dan transparansi adalah inti dari manajemen yang baik dari suatu
organisasi publik atau praktik administrasi publik yang baik. Desentralisasi kebijakan fiskal
negara memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengelola ekonomi secara mandiri dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peran mahasiswa dalam memantau transparansi dan akuntabilitas pengelolaan


keuangan mencatat bahwa siswa berperan penting dalam memahami cara kerja roda
pemerintahan. Selain BPK, dan para pengawas dalam bidang keuangan, mahasiswa juga
penting untuk mengetahui dan berpartisipasi dalam partisipasi publik dan berkontribusi dalam
pengawasan dalam pengelolaan keuangan, sebab salah satu masalah terbesar yang dihadapi
bangsa Indonesia selama ini adalah korupsi berdasarkan beberapa investigasi, terdapat
beberapa kasus korupsi di tingkat pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Salah satu upaya pencegahan korupsi adalah transparansi dan akuntabilitas publik dari
perencanaan, pelaksanaan dan tanggung jawab Tanggung jawab publik untuk memberantas
korupsi harus diambil perhatian dan dukungan serta keterlibatan masyarakat. Perguruan tinggi
memiliki peran strategis untuk mendukung langkah-langkah antikorupsi. Sumber daya manusia
yang dimiliki perguruan tinggi bisa optimal untuk membasmi korupsi. Di mana posisi
mahasiswa dalam hal ini? Mahasiswa merupakan agen perubahan di masyarakat. Menuju agen
perubahan yang efektif mahasiswa haruslah membumi dengan memahami problematika di
daerahnya. Di antaranya melakukan perubahan dengan mengkonstruksi pikiran positif dalam
rangka good governance serta melakukan partisipasi publik sebagai bagian pilar kampus
merdeka.
Rujukan :

Hardian, Yudi. (2011). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi derajat otonomi fiskal daerah
Sumatera Barat periode 1993-2008. Skripsi. Program Sarjana Universitas Andalas. Padang.
Enceng, dan Yuli, Tirtariandi El Anshori (2014) Pengukuran Kemampuan Daerah Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah. In: Seminar Nasional UT 2014, 23 Oktober 2014, Universitas
Terbuka Convention Center (UTCC).
Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004.PELAKSANAAN DAN PERMASALAHAN
OTONOMI DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2004.10(1).114-
148.http://unmasmataram.ac.id/wp/wp-content/uploads/23.-I-Made-Murjana.pdf
Kemdagri.(2021, 22 Juni). Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.https://bangda.kemendagri.go.id/berita/baca_kontent/442/partisipasi_masyarakat_dala
m_penyelenggaraan_pemerintahan_daerah_
Jamillah.(2017). Konsep Gerakan Moral Mahasiswa Untuk Mewujudkan Good Governance Di
Indonesia.1(1). https://journal.institutpendidikan.ac.id/index.php/journalcss/article/view/79
Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.

Anda mungkin juga menyukai