Tafsir Tarbawi Potensi Belajar Dalam Al
Tafsir Tarbawi Potensi Belajar Dalam Al
QUR’AN
Disusun Oleh :
Penyusun
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1
B. RUMUSAN PENULISAN................................................................................. 1
A. KESIMPULAN................................................................................................... 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Allah ia tidak muncul dengan sendirinya
atau berada oleh dirinya sendiri. Fitrah manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi
beraga mayang lurus. Manusia tidak dapat menghindar dari fitrah itu. Fitrah adalah
bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan
dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan
jasmani dan akalnya. Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiahnya,
sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah akliahnya. Senang
menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan Latar Belakang di atas, ada empat rumusan masalah sebagai berikut :
1
C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu potensi belajar.
2. Mengetahui Apa saja ayat yang berhubungan dengan potensi belajar.
3. Mengetahui Apa-apa saja kandungan dan ayat tafsir dari potensi belajar
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. POTENSI BELAJAR
Potensi berasal dari bahasa inggris to patent yang berarti keras, kuat. Dalam
pemahaman lain kata potensi mengandung arti kekuatan, kemampuan, daya, baik yang belum
maupun sudah terwujud. Sementara itu dalam kamus bahasa indonesia potensi adalah
kemapuan dan kualitas yang dimiliki seseorang . Namun belum digunakan secara maksimal.
Berbagai pengertian diatas, memberi pemahaman kepada kita bahwa potensi merupakan
suatu daya yang dimiliki oleh manusia, tetapi daya tersebut belum dimanfaatkan secara
optimal.
Potensi – potensi belajar yang ada dalam diri seorang siswa tidak sama dengan potensi
yang dimiliki orang lain. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Agus Soejono, “ potensi
seseorang tidak sama dengan potensi yang dimiliki orang lain. Seorang lebih tajam
pikirannya atau lebih halus perasaan, atau lebih kuat kemaunnya atau lebih tegap, kuat
badannya dari pada yang lain.”1 . Berbagai pengertian diatas, memberi pemahaman kepada
kita bahwa potensi merupakan suatu daya yang dimiliki oleh manusia, tetapi daya tersebut
belum dimanfaatkan
2
secara optimal.
3
1
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, ( Jakarta: Logos, 2006), hlm. 56.
2
Rosdiana A Bakar, Dasar-Dasar Kependidikan, (Medan:CV Gema Ihsani, 2015), hlm 11.
4
B. TAFSIR AYAT AL-QUR’AN
Artinya :
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-
kan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)"
Implementasi dari ayat tersebut adalah pengakuan seorang hamba secara totalitas
bahwa hanyalah Allah Tuhan yang berhak disembah. Penyembahan tersebut tidak hanya
sebatas ketundukan/kepasrahan dalam beribadah namun ketundukan dalam segala hal yang
berkaitan dengan kebutuhan hidup seperti rezeki,jodoh, kebahagiaan hidup, bahkan kematian.
3
Berkenaan dengan sifat manusia yang pelupa tersebut, dengan tegas disebutkan oleh
al- Qur’an dengan menggunakan tiga macam istilah yang antara satu dengan yang lainnya
saling berhubungan,yakni al-insan,an-naas,al-basyar, dan bani Adam.
Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperluka
teguran dan peringatan. Sedangkan kata an-naas digunakan untuk menunjukan sekelompok
manusia
baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia.
5
3
Albdul Hamid,(2015). pengantar Studi Dakwah. Hal.2
6
Manusia disebut sebagai al-Basyar, karena kecendrungannya berperasaan dan
emosiaonal sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia juga disebut denga Bani
Adam (keturuan Adam) karena dia menunjukan asal-usul yang bermula dari Nabi Adam as,
sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jatidirinya. Misalnya, dari mana dia beraasal, untuk apa
dia hidup, dan kemana ia akan kembali. 4
Manusia dalam pandangan al-Qur’an bukanlah makhluk antropomorfisme yaitu
makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi Manuisa. Al-Qur’an
menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung
didalam dirinya. Disamping itu manusia juga dianugrahi akal yang memungkinkan dia dapat
membedakan nilai baik dan buruk sehingga membawanya pada sebuah kualitas tertinggi
sebagai manusia yang taqwa.
2. QS. An-Nahl : 78
Artinya :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”
Ayat di atas mengisyaratkan adanya tiga potensi yang terlibat dalam proses
pembelajaran, yaitu; ( )راصبلأاal-abshar dan ةدئفألاal-af’idah.
Dalam Tafsir Al-Maraghi, Maksud dari ayat tersebut ialah bahwa Allah SWT
menjdikan kalian mengetahui apa yang tidak kalian ketahui, setelah Dia mengeluarkan kalian
dari dalam perut ibu. Kemudian memberi kalian akal yang dengan itu kalian dapat memahami
dan membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara petunjuk dengan kesesatan, dan
antara yang salah dengan yang benar, menjadikan pendengaran bagi kalian yang dengan
itu
4
Albdul Hamid,(2015). pengantar Studi Dakwah. Hal.3
5
Ahmad Mustafa, Tafsir al –Maraghi, jilid V (Baerut : Daar al-Fikr, tth), h. 118. Bandingkan dengan
Muhammad Ali al-Shaibuni, Shafwa al-Tafasir; Tafsir al-Quran al-Karim, jilid II, Bairut : Daar al-Fikr,
1996), hlm. 16. 10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Maraghi
7
kalian dapat mendengar suara-suara, sehingga sebagian kalian dapat memahami dari sebagian
yang lain apa yang saling kalian perbincangkan, menjadikan penglihatan, yang dengan itu
kalian dapat melihat orang-orang, sehingga kalian dapat saling mengenal dan membedakan
antara sebagian dengan sebagian yang lain, dan menjadikan perkara-perkara yang kalian
butuhkan di dalam hidup ini, sehingga kalian dapat mengetahui jalan, lalu kalian
menempuhnya untuk berusaha mencari rizki dan barang-barang, agar kalian dapat memilih
yang baik dan meninggalkan yang buruk. Demikian halnya dengan seluruh perlengkapan dan
aspek kehidupan.6
Dalam perspektif agama (Islam) belajar merupakan kewajiban bagi setiap individu
yang beriman untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk meningkatkan
derajat kehidupan mereka.
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” Al-Qur'an melihat pendidikan
sebagai sarana yang strategis dan ampuh dalam mengangkat harkat dan martabat manusia
dari keterpurukanya sebagaimana yang dijumpai dalam masa jahiliyah. 8
6
Ahmad Mustafa, Tafsir al –Maraghi jilid V(Baerut : Daar al-Fikr, 2009), hlm. 118.
7
Ibid, hlm 311
8
Chanifudin, Potensi Belajar Dalam Al-Qu’ran Telaah Surat An Nahl :78, (Jurnal Edukasi Islami Jurnal
Pendidikan Islam Vol. 05, Juli 2016)
6
kedurhakaan. Dengan demikian tercakup dalam pengertiannya potensi meraih ilham dan
percikan cahaya ilahi.
3. QS. Ar-Rum : 30
Artinya :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu.”
ada ayat ini jelas sekali, bahwa Din merupakan fitrah manusia dan bagian dari
fitrah manusia yang tidak akan pernah berubah. Syekh Muhammad Taqi Mishbah, seorang
mujtahid dan filosuf kontemporer, ketika mengomentari ayat di atas menyatakan, bahwa
ada dua penafsiran yang dapat diambil dari ayat ini, (1) Pertama, maksud ayat ini ialah,
bahwa prinsip- prinsip agama, seperti tauhid dan hari akhir, dan hukum-hukum agama secara
global, seperti membantu orang-orang miskin, menegakkan keadilan dan lainnya, sejalan
sengan kecenderungan manusia. (2) Kedua, tunduk kepada Allah Ta’ala mempunyai akar
dalam diri manusia. Lantaran manusia secara fitrah, cenderung untuk bergantung dan
mencintai Kesempurnaan yang mutlak
Hamka memaknai kata fitrah yang ada pada ayat tersebut diatas sebagai “rasa asli
(murni) yang berada dalam jiwa setiap manusiayang belum dipengaruhi oleh faktor lainnya,
7
kecuali mengakui kekuasaan tertinggi di dalam ini (Allah).Pada dasarnya,fitrah manusia
adalah senantiasa tunduk kepada Zat yang hanif(Allah) melalui agama yang disyari’atkan
padanya. Fitrah merupakan anugrah Allah yang telah diberikan-Nya kepada manusia sejak
dalam alam rahim. Di sini,fitrahmanusia masih merupakanwujud ilmi, yaitu berupa embrio
dalamilmu Allah SWT, kemudia akan berkembang setelah manusia lahir danmelakukan
serangkaian interaksi dengan lingkungannya.Dalam konteks pendidikan fitrah dimaknai
dengan potensi(kemampuan) dasar yang mendorong manusia untuk melakukanserangkaian
aktivitas sebagai alat yang menunjang pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di muka bumi.
Alat tersebut adalah potensi jiwa (al-qalb), jasad (al-jism), dan akal (al-aql). 9
Ketiga unsur ini merupakansatu kesatuan yang saling berkaitan guna menunjang
eksistensi manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam hendaknya bertujuan membentuk
peserta didik (manusia) yang beriman dan memelihara berbagai komponen potensi yang
dimilikinya, tanpa mengorbankansalah satu di antaranya.HAMKA berpendapat bahwa
jasad(jism)manusia merupakantempat dimana jiwa(al-qalb)berada. Meskipun jiwa
merupakan tujuan utama bagi manusia, namun tanpa jism, jiwa tidak akan berkembangsecara
sempurna. Melaluiwasilah jism, jiwa manusia akan dapatmemberikan makna tertentu.10
4. QS. AL-Hajj : 46
9
Hamka,Lembaga Hidup, (Jakarta : Djajamurni, 1962) hlm.
15
10
Hamka,Lembaga Hidup, (Jakarta : Djajamurni, 1962)hlm .
140
8
11
Hamka,Tafsir al-Azhar, Jilid 5,(Jakarta : Pustaka, 1982) hlm. 142
9
Artinya : “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta,
ialah hati yang di dalam dada.”
Pendidikan qalbu dalam surat al-hajj ayat 46tersebut berorientasi pada hati nurani
yang dimiliki setiap insan, dikatakan bahwa “sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
yang buta ialah hati yang ada didalam dada” hal ini sesungguhnya menegaskan bahwayang
buta paada diri setiap insan ialah hatinya bukan mata yang manusia miliki, karena
sesungguhnya hati manusiasudah tertutup oleh noda-noda hitam yang membuat nya tidak
bisa melihat dan tidak bisa membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk.
Menurut M. Nasib Ar-rifa‟i, dalam bukunya yang berjudul “Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir” menyebutkan bahwa hati seseorang bisa buta karena mereka tidak bisa membedakan
antara perbuatan yang haq (yang baik) dan perbuatan yang bathil (buruk), seperti yang sudah
dikatakan diatas bahwa kebutaan hati tersebut dikarenakan oleh noda hitam yang sudah
menutupi hati tersebut.
Sedangkan menurut M. Quraish Sihabdalam kitabnya yang berjudul “Tafsir Al-
Misbah” disebutkan bahwasannya hati pada ayat tersebut dimaksudkan dengan akal sehat
atau hati suci yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dimana dari akal sehat tersebut
manusia bisa melihat mana perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Jika akal nya
sehat maka yang tercipta dari manusia adalah perbuatan yang baik, namun jika akal nya
sakit/buruk maka buruk pula perbuatan yang diciptakannya.12
Sedangkan menurut surah Al-Hajj adalah ( بولقhati) yakni akal sehat dan hati suci
yang digunakan untuk memahami segala sesuatu, Kata qalb kebanyakan artinya berkisar pada
arti perasaan (emosi) dan intelektual pada manusia. Oleh sebab itu ia merupakan dasar
bagi fitrah yang sehat, berbagai perasaan (emosi), baik mengenai perasaan cinta atau benci
dan tempat petunjuk, iman, kemauan, kontrol, dan pemahaman. ( ناذا ٌءtelinga) yaitu indera
yang digunakan untuk mendengarkan. Dengan adanya telinga, sesorang menjadikannya
untuk mendengar informasi apapun, belajar, mendengarkan penjelasan guru dengan
seksama,
sehingga mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
12
Chairul Anwar, Hakikat Manusia Dalam Pendidikan sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Suka-Press,
10
2014). Hlm. 63
11
5. QS. As-Sajadah : 7-9
Artinya : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi)
kamu sedikit sekali bersyukur.
Dan dalam penafsiran Quraish Sihab, dijelaskan, Allah swt yang mengatur segala urusan
dan Maha Pencipta itu serta Yang Maha Perkasa lagi maha penyayang, Dialah yang
membuat sebaik-baiknya segala sesuatu yang Dia ciptakan sehingga semua berpotensi
berfungsi sebaik mungkin sesuai dengan tujuan penciptaannya dan Dia telah memulai
penciptaan manusia yakni Adam as. dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
sedikit sari pati air mani yang diremehkan bila dilihat dari kadarnya atau menjijikkan bila
dipandang, atau lemah, tidak berdaya karena sedikitnya.
Kemudian yang lebih hebat dari itu Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam
tubuh-nya ruh (ciptaan)Nya dan setelah kelahirannya di pentas bumi Dia menjadikan bagi
kamu wahai manusia pendengaran agar kamu dapat mendengar kebenaran dan penglihatan
agar kamu dapat melihat tanda-tanda kebesaran Allah dan hati agar kamu dapat berfikir, dan
beriman. Tetapi sedikit sekali kamu bersyukur dan banyak di antara kamu yang kufur. Yakni
kamu tidak memfungsikan anugerah-anugerah itu sebagaimana yang Allah kehendaki, tetapi
memfungsikannya untuk hal-hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya.13
13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 183-186
12
Allah swt telah menciptakan semua ciptaan-Nya dalam keadaan baik, yakni diciptakan-
Nya secara sempurna agar msing-masing dapat berfungsi sebagaimana yang dikehendaki-
Nya. Demikian Allah menciptakan semua makhluk dalam keadaan sempurna sesuai dengan
tujuan dan fungsi yang diembannya. Dengan demikian, tidaklah benar jika dikatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Semua makhluk-Nya sempurna.
Manusia adalah makhluk yang yang ditundukkan kepadanya alam raya, sebagai sarana untuk
mengemban tugasnya. Dia telah dimuliakan Allah, tetapi bukan makhluk ini yang termulia.14
11
14
Ibid, hlm 190-192
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Allah menciptakan manusia dari yang tidak tahu apa-apa dengan diberinya
penglihatan, pendengaran, serta akal maka manusia harus bersyukur kepada Allah swt, selain
mensyukuri nikmat pemberian Allah swt maka manusia diharapkan dapat berfikir dengan
mengembangkan potensi yang dimilikinya.
QS. Al- A’raf : 172 ayat tersebut adalah pengakuan seorang hamba secara totalitas
bahwa hanyalah Allah Tuhan yang berhak disembah. Penyembahan tersebut tidak hanya
sebatas ketundukan/kepasrahan dalam beribadah namun ketundukan dalam segala hal yang
berkaitan dengan kebutuhan hidup seperti rezeki,jodoh, kebahagiaan hidup, bahkan kematian.
QS-An-Nahl : 78 manusia meliputi aspek fisik (jasmani) yakni pendengaran dan
penglihatan serta aspek psikis yakni akal.
QS. Ar-Rum :30 Hamka memaknai kata fitrah yang ada pada ayat tersebut diatas
sebagai “rasa asli (murni) yang berada dalam jiwa setiap manusiayang belum dipengaruhi
oleh faktor lainnya, kecuali mengakui kekuasaan tertinggi di dalam ini (Allah).Pada
dasarnya,fitrah manusia adalah senantiasa tunduk
13
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairul. 2014. Hakikat Manusia Dalam Pendidikan sebuah Tinjauan Filosofis ,
Yogyakarta: Suka-Press.
Chanifudin, Potensi Belajar Dalam Al-Qu’ran Telaah Surat An Nahl :78, (Jurnal Edukasi
Islami Jurnal Pendidikan Islam Vol. 05, Juli 2016).
14