Anda di halaman 1dari 14

Potensi Belajar Dalam Perspektif Al Qur’an

Riyan Triyono
Dosen : Eko Ngabdul Shodikin
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Madani Yogyakarta

riyantriyono2422@stitmadani.ac.id

ABSTRAK
Realita kehidupan manusia adalah di dunia ini, manusia terlahir di dunia ini dalam keadaan
tidak mengetahui apapun, maka perlu bagi manusia itu untuk belajar, berinteraksi baik kepada
sesama maupun kepada lingkungan sekitar, dengan saling berinteraksi inilah manusia akan bisa
tumbuh dan berkembang. Sehingga manusia itu akan bisa mengembangkan setiap potensi yang
dimiliki. Dengan begitu dalam tulisan ini kami akan membahas tentang potensi belajar dalam
perspektif dan tafsiran dari ayat ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan potensi belajar. Dan
tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui pengertian potensi belajar serta kandungan ayat ayat
Al Qur’an yang berkaitan dengan hal tersebut. Metode yang akan kami gunakan dalam
penulisan ini adalah metode kualitatif (liberary research) yang dilakukan dengan cara:
membaca, mengkaji, menganalisis dan menafsirkan, serta menyimpulkan ayat-ayat Al-Qur’an
yang berkaitan dengannya. Hingga dapat kami simpulkan bahwa sejatinya manusia itu Allah
ciptakan dalam keadaan tidak mengetahui apapun, hingga Allah memberikan penglihatan,
pendengaran, serta akal fikiran. Maka dari itu sudah seharusnya manusia itu bersyukur kepada
Allah atas pemberian tersebut. Dan diharapkan manusia itu menggunakan akal fikirannya untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya.(Q. U. R. An et al., 2020)

Keyword: Potensi Belajar, Perspektif, Al Qur’an, tafsir ayat

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Realita kehidupan manusia adalah di dunia ini, manusia terlahir di dunia ini dalam keadaan
tidak mengetahui apapun, maka perlu bagi manusia itu untuk belajar, berinteraksi baik kepada
sesama maupun kepada lingkungan sekitar, dengan saling berinteraksi inilah manusia akan bisa
tumbuh dan berkembang. Sehingga manusia itu akan bisa mengembangkan setiap potensi yang
dimiliki. Manusia juga merupakan makluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Kesempurnaan
manusia sering mendapatkan pujian dari Allah, bahkan Allah menyebutkan dalam firmanNya,
bahwa manusia itu Allah ciptakan dalam bentuk yang sebaik-baik bentuk. Salah satu bentuk
kesempurnaan manusia adalah manusia itu memiliki potensi untuk berpengetahuan. Tentu
setiap manusia itu memiliki potensi untuk berpengetahuan tanpa terkecuali. Manusia yang
memiliki ilmu pengetahuan yang luas, tidak terlepas dari potensi yang dimilikinya untuk
memanfaatkan dan menggunakan potensi tersebut secara maksimal. Dengan ilmu pengetahuan
manusia itu dapat menjadi unggul dan berbeda dengan makhluk Allah yang lain.
Menurut Al-Qur’an, manusia itu memiliki potensi untuk meraih ilmu pengetahuan dan
mengembangkan potensi tersebut dengan izin Allah ta’ala. Dengan demikian, Al-Qur’an itu
mengandung ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk menempuh berbagai cara dalam
meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sehingga potensi untuk meraih ilmu
pengetahuan dan mengembangkan potensi tersebut hal yang menarik untuk dibahas. Kita
sebagai manusia harus mengetahui berbagai potensi yang menjadikan manusia itu meraih ilmu
pengetahuan. Adapun fokus dan tujuan penelitian ini untuk membahas lebih dalam terkait ayat-
ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan potensi berpengetahuan khususnya Surah An-Nahl ayat
78, Surah Ar Rum ayat 30, Surah Al-Hajj ayat 46, dan Surah As-Sajdah ayat 7-9 untuk
menyingkap potensi-potensi manusia dalam meraih ilmu pengetahuan.
B. Metode
Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif (liberary research) atau studi
pustaka, yang dilakukan dengan cara: membaca, mengkaji, menganalisis dan menafsirkan, serta
menyimpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan potensi belajar. Studi kepustakaan
merupakan usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun berbagai informasi yang
relevan terkait topic maupun suatu masalah yang akan atau yang sedang diteliti. Informasi data
yang diperoleh dari berbagai jurnal, artikel-artikel, serta buku dan lain sebagainya.
C. Pembahasan
1. Potensi Belajar
Dalam jurnal yang telah saya baca, Potensi berasal dari bahasa inggris to patent yang
berarti keras, kuat. Dalam pemahaman lain kata potensi mengandung arti kekuatan,
kemampuan, daya, baik yang belum terwujud maupun sudah terwujud. Dalam kamus bahasa
Indonesia potensi adalah kemampuan dan kualitas yang dimiliki oleh seseorang, namun belum
di manfaatkan secara optimal.
2. Tafsir Ayat
A. Surah An-Nahl ayat 78
‫ۙا‬ ‫ِن ِت‬ ‫ْۢن‬ ‫ّٰل‬
‫َو ال ُه َاْخ َر َج ُك ْم ِّم ُبُطْو ُاَّمٰه ُك ْم اَل َتْع َلُمْو َن َش ْئًـ َّو َجَعَل َلُك ُم الَّس ْمَع َو اَاْلْبَص اَر َو اَاْلْفِٕـَد َةۙ َلَعَّلُك ْم‬

‫َتْش ُك ُر ْو َن‬
Artinya :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.”
(QS. An-Nahl : 78)
Ayat di atas mengisyaratkan adanya tiga potensi yang terlibat dalam proses

pembelajaran, yaitu; ‫الَّس ْمَع َو اَاْلْبَص اَر َو اَاْلْفِٕـَد َة‬

Dalam Tafsir Al-Maraghi, Maksud dari ayat tersebut ialah bahwa Allah subhanahu wa
ta’ala menjadikan kalian mengetahui apa yang tidak kalian ketahui, setelah Dia
mengeluarkan kalian dari dalam perut ibu. Kemudian memberi kalian akal yang dengan itu
kalian dapat memahami dan membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara
petunjuk dengan kesesatan, dan antara yang salah dengan yang benar, menjadikan
pendengaran bagi kalian yang dengan itu kalian dapat mendengar suara-suara, sehingga
sebagian kalian dapat memahami dari sebagian yang lain apa yang saling kalian
perbincangkan, menjadikan penglihatan, yang dengan itu kalian dapat melihat orang-orang,
sehingga kalian dapat saling mengenal dan membedakan antara sebagian dengan sebagian
yang lain, dan menjadikan perkara-perkara yang kalian butuhkan di dalam hidup ini,
sehingga kalian dapat mengetahui jalan, lalu kalian menempuhnya untuk berusaha mencari
rizki dan barang-barang, agar kalian dapat memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Demikian halnya dengan seluruh perlengkapan dan aspek kehidupan.

Mengenai potensi belajar berdasarkan ayat-ayat diatas menurut kami, berdasarkan surah
An-Nahl ayat 78 adalah ayat ini secara jelas mengungkap tiga alat potensi belajar untuk
manusia, yaitu: ‫( عمسال‬pendengaran), yakni alat fisik yang berguna untuk menerima
informasi verbal, ‫بألا‬FF‫( راص‬penglihatan-penglihatan), yakni alat fisik yang berguna untuk
menerima informasi visual, ‫( ةدئفألا‬aneka hati), adalah gabungan daya pikir dan daya kalbu,
yang menjadikan seseorang terikat, sehingga tidak terjerumus dalam kesalahan dan
kedurhakaan. Dengan demikian tercakup dalam pengertiannya potensi meraih ilham dan
percikan cahaya ilahi.

Dalam tafsirannya Ibnu Katsir,menjelaskan bahwa tentang kesempurnaan ilmu dan


kekuasaan Allah ta’ala atas segala sesuatu yang ada, baik yang ada dilangit atau di bumi
serta hanya Allah ta’ala mengetahui hal ghaib, kecuali Allah ta’ala memperlihatkan kepada
siap yang dikehendaki-Nya. Dan jika Allah menghendaki, terhadap sesuatu Allah ta’ala hanya
mengatakan kepadanya “Jadilah”, maka ia pun terjadi. Hal ini sesuai dengan apa yang telah
Allah Firmankan :

‫ِح ٍۗة ِا ّٰل ِمَس ٌۢع ِص‬ ‫ِا‬


‫َم ا َخ ْلُقُك ْم َو اَل َبْع ُثُك ْم اَّل َك َنْف ٍس َّو ا َد َّن ال َه ْي َب ْيٌر‬
“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan
hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.”

Dan salah hal ghaib yang langsung bersentuhan dengan manusia adalah proses kehamilan
yang dialami oleh seorang wanita, dimana Ibu, tidak pernah sedikitpun mengetahui tentang
proses apa yang dialami janin yang ada didalam Rahim. Allah kemudian menyebut nikmat-
Nya kepada hamba- hamba-Nya yang telah mengeluarkan mereka dari perut ibu- ibu
mereka dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun, setelah itu, kemudian kepada
mereka diberikan pendengaran yang dengannya mengetahui suara, penglihatan yang
dengannya mereka dapat melihat berbagai hal, dan hati (akal) dengan perantaraannya
mereka dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat atau yang
madharat. Indera- indera ini diberikan kepada manusia secara bertahap, makin tumbuh
jasmaninya, makin kuatlah penangkapan indera- inderanya itu hingga mencapai puncaknya
(dewasa).

Dan sesungguhnya Allah memberi kepada hamba-Nya sarana penglihatan, pendengaran,


dan pemikiran hanyalah agar memudahkan ia melakukan ibadah dan taat kepada-Nya.
Sebagaimana dalam hadist nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah.

Dimana dalam ayat ini dijelaskan jika seorang hamba mengikhlaskan ketaatan, maka
seluruh amal perbuataanya hanya untuk Allah SWT, sehingga dia tidak mendengar kecuali
karena Allah SWT dan tidak melihat apa yang telah disyariatkan Allah kepadanya melainkan
karena Allah SWT semata, tidak memegang dan tidak pula berjalan dalam rangka mentaati
Allah SWT seraya memohon pertolongannya kepada-Nya dalam melakukan semua itu.
(Maharani, 2022)

B. Surah Ar – Rum ayat 30


‫َك ِللِّد ِن ِن ًف ۗا ِفْط الّٰل ِه اَّل َفَط الَّنا َعَل ۗا اَل ِد َخِلْل ِق الّٰل ِۗه ٰذ ِل َك الِّد اْلَق ِّيُۙم‬ ‫َفَاِق‬
‫ْيُن‬ ‫َل‬‫ْي‬ ‫ْب‬
‫َت‬ ‫ْي‬
‫َه‬ ‫َس‬ ‫َر‬ ‫ْيِت‬ ‫َت‬ ‫َر‬ ‫ْي‬ ‫َح‬ ‫ْي‬ ‫ْجَه‬ ‫َو‬ ‫ْم‬

ۙ ‫َيْع َلُمْو َن‬ ‫َو ٰلِكَّن َاْك َثَر الَّناِس اَل‬

Artinya :

“Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah
yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan
Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.
Ar – Rum : 30)

Penafsiran Hamka Tentang Fitrah Manusia terhadap Surat Ar-Rum ayat 30 dalam Tafsir Al
Azhar

Hamka menafsirkan lafadz ‫ كهجو مقاف افينح نيدلل‬artinya berjalanlah tetap di atas jalan agama
yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Agama itu adalah agama yang
disebut Hanif, yang sama artinya dengan Al-Mustaqim, yaitu lurus. Tidak membelok ke kiri
maupun ke kanan. Kata Hanif ini yang disebut sebagai Agama Nabi Ibrahim ‘Alaihi
Salam. Bahkan Hamka juga menjelaskan bahwa yang ditegakkan oleh Muhammad sekarang ini
ialah agama Hanif itu, atau Ash-Shirathal Mustaqim yang dibawa oleh Nabi Ibrahim
‘Alaihi Salam, yang mana agama ini sudah diselewengkan atau dibelokkan dari tujuan semula
oleh anak cucunya. Baik anak-cucu yang keturunan Bani Israil, atau anak-cucu dari keturunan
iBani Ismail (Rizki Firmansyah, dkk 2021).

Hamka menjelaskan bahwa keturunan dari pihak Bani Israil menyelewengkan agama
Ibrahim itu menjadi agama keluarga, lalu mereka beri nama Yahudi, dinisbatkan kepada anak
tertua dari Ya'kub yang bernama Yahuda. Nama Ya'kub di waktu kecil adalah Israil. Kemudian
keturunan selanjutnya dari Bani Israil menyelewengkan pula dengan memasukkan ajaran
mythos agama-agama kuno "trimurti" atau "trinitas" ke dalam agama, lalu mereka berkata
bahwa Tuhan itu adalah tiga dalam yang satu dan satu dalam yang tiga, yaitu Allah Bapa, Allah
Putera dan Allah Roh Suci (Dahlia,).(A. N. An et al., n.d.)

Keturunan dari Bani Ismail juga menyelewengkan agama Ibrahim. Nabi Ibrahim ‘Alaihi
Salam mendirikan Ka'bah sebagai rumah pertama di dunia ini yang diperuntukkan sebagai
tempat ibadah menyembah Allah Yang Esa. Namun lama-kelamaan oleh anak-cucu Ibrahim
dari keturunan Bani Ismail, yang menjadi bangsa Arab, tidak lagi menyembah

Menurut tafsir tahlili ayat ini menyuruh Nabi Muhammad meneruskan tugasnya dalam
menyampaikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrik yang keras kepala itu dalam
kesesatannya. Dalam kalimat "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Islam); (sesuai) fitrah Allah", terdapat perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk
mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. Ada yang
berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin
mengikuti agama Allah yang telah dijadikan-Nya bagi manusia. Di sini "fitrah" diartikan
"agama" karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu.

Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surah yang lain: “Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-dzariyat/51: 56)
Menghadapkan wajah (muka) artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa
menoleh kepada yang lain. "Wajah" atau "muka" dikhususkan penyebutan di sini karena
merupakan tempat berkumpulnya semua panca indera, dan bagian tubuh yang paling
terhormat. Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih
dari Abu Hurairah yang berbunyi: Tidak ada seorang anak pun kecuali ia dilahirkan menurut
fitrah. Kedua ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan, atau memajusikannya,
sebagaimana binatang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa
kekurangan padanya. Kemudian Abu Hurairah berkata, "Bacalah ayat ini yang artinya: ¦ fitrah
Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan
pada ciptaan Allah." Dalam riwayat lain, "Sehingga kamu merusaknya (binatang itu)." Para
sahabat bertanya, "Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di
waktu kecil?" Rasul menjawab, "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat." (Riwayat
al-Bukhari dan Muslim) Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah. Ada yang
berpendapat bahwa fithrah itu artinya "Islam". Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu
Syihab, dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan utama salaf
yang berpegang kepada takwil.
Alasan mereka adalah ayat (30) dan hadis Abu Hurairah di atas. Mereka juga berhujah
dengan hadis bahwa Rasulullah saw bersabda kepada manusia pada suatu hari: Apakah kamu
suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab Nya.
Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran
dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu
mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram . . .
"(Riwayat Ahmad dari hammad) Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir.
Adapun maksud sabda Nabi saw tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum
musyrik, beliau menjawab, "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui," yaitu apabila
mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis al-Bukhari dari Samurah bin Jundub dari Nabi
saw. Sebagian dari hadis yang panjang itu berbunyi sebagai berikut: Adapun orang yang tinggi
itu yang ada di surga adalah Ibrahim as. Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya
adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah. Samurah berkata, "Maka Rasulullah ditanya, 'Ya
Rasulullah, tentang anak-anak musyrik? Rasulullah menjawab, 'Dan anak-anak musyrik."
(Riwayat al-Bukhari dari Samurah bin Jundub)

Sebagian ulama lain mengartikan "fithrah" dengan "kejadian" yang dengannya Allah
menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dikatakan, "Tiap-tiap anak dilahirkan
atas kejadiannya." Dengan kejadian itu, sang anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah
berakal dan berpengetahuan. Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak
sampai kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujjah bahwa "fithrah" itu berarti
"kejadian" dan "fathir" berarti "yang menjadikan" dengan firman Allah: Katakanlah, "Ya
Allah, Pencipta langit dan bumi." (az-Zumar/39: 46) Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak
menyembah (Allah) yang telah menciptakanku. (Yasin/36: 22) Dia (Ibrahim) menjawab,
"Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan (pemilik) langit dan bumi; (Dialah) yang telah
menciptakannya." (al-Anbiya'/21: 56) Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan
dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tidak ada perubahan. Allah tidak akan mengubah
fitrah-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang menyalahi aturan itu maksudnya ialah tidak akan
sengsara orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-
orang yang dijadikan-Nya sengsara.

Menurut Mujahid, artinya ialah tidak ada perubahan bagi agama Allah. Pendapat ini
didukung oleh Qatadah, Ibnu Jubair, adh-ahhak, Ibnu Zaid, dan an-Nakha'i. Mereka
berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan. 'Ikrimah
meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa Umar bin Khaththab berkata, "Tidak ada perubahan
bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan." Perkataan ini maksudnya ialah larangan
memandulkan binatang. Ungkapan "itulah agama yang lurus", menurut Ibnu 'Abbas, bermakna
"itulah keputusan yang lurus". Muqatil mengatakan bahwa itulah perhitungan yang nyata. Ada
yang mengatakan bahwa agama yang lurus itu ialah agama Islam, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui. Mereka tidak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang
benar. Oleh karena itu, mereka tidak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan
Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusan-Nya.
(sumber : https://quran.nu.or.id/ar-rum/30#)

Setelah memaparkan bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Allah serta meminta Rasul dan
umatnya bersabar dalam berdakwah, melalui ayat berikut Allah meminta mereka agar selalu
mengikuti agama Islam, agama yang sesuai fitrah. Maka hadapkanlah wajahmu, yakni jiwa dan
ragamu, dengan lurus kepada agama Islam. Itulah fitrah Allah yang Dia telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Manusia diciptakan oleh Allah dengan bekal fitrah berupa
kecenderungan mengikuti agama yang lurus, agama tauhid. Inilah asal penciptaan manusia dan
tidak boleh ada seorang pun yang melakukan perubahan pada ciptaan Allah tersebut. Itulah
agama yang lurus, agama tauhid, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui dan menyadari
bahwa mengikuti agama Islam merupakan fitrahnya.

C. Surah Al – Hajj ayat 46


‫ۚا ِا‬ ‫ِق‬ ‫ىِف‬ ‫ِس‬
‫َاَفَلْم َي ْيُر ْو ا اَاْلْر ِض َفَتُك ْو َن ُهَلْم ُقُل ْو ٌب َّيْع ُل ْو َن َهِبٓا َاْو ٰاَذاٌن َّيْس َم ُعْو َن َهِب َف َّنَه ا اَل َتْع َم ى اَاْلْبَص اُر‬
‫ٰلِكْن َتْع ى اْلُقُلْو ُب اَّل ىِف الُّصُد ْو ِر‬
‫ْيِت‬ ‫َم‬ ‫َو‬
Artinya :
“Tidakkah mereka berjalan di bumi sehingga hati mereka dapat memahami atau telinga
mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang berada dalam dada.” (QS. Al Hajj : 46)

Pendidikan qalbu dalam surat al-hajj ayat 46tersebut berorientasi pada hati nurani yang
dimiliki setiap insan, dikatakan bahwa “sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, yang buta
ialah hati yang ada didalam dada” hal ini sesungguhnya menegaskan bahwayang buta paada
diri setiap insan ialah hatinya bukan mata yang manusia miliki, karena sesungguhnya hati
manusiasudah tertutup oleh noda-noda hitam yang membuat nya tidak bisa melihat dan tidak
bisa membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk.

Menurut M. Nasib Ar-rifa‟i, dalam bukunya yang berjudul “Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir”
menyebutkan bahwa hati seseorang bisa buta karena mereka tidak bisa membedakan antara
perbuatan yang haq (yang baik) dan perbuatan yang bathil (buruk), seperti yang sudah
dikatakan diatas bahwa kebutaan hati tersebut dikarenakan oleh noda hitam yang sudah
menutupi hati tersebut.

Sedangkan menurut M. Quraish Sihabdalam kitabnya yang berjudul “Tafsir Al- Misbah”
disebutkan bahwasannya hati pada ayat tersebut dimaksudkan dengan akal sehat atau hati suci
yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dimana dari akal sehat tersebut manusia bisa melihat
mana perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Jika akal nya sehat maka yang tercipta
dari manusia adalah perbuatan yang baik, namun jika akal nya sakit/buruk maka buruk pula
perbuatan yang diciptakannya.12

Sedangkan menurut surah Al-Hajj adalah ‫( بولق‬hati) yakni akal sehat dan hati suci yang
digunakan untuk memahami segala sesuatu, Kata qalb kebanyakan artinya berkisar pada arti
perasaan (emosi) dan intelektual pada manusia. Oleh sebab itu ia merupakan dasar bagi fitrah
yang sehat, berbagai perasaan (emosi), baik mengenai perasaan cinta atau benci dan tempat
petunjuk, iman, kemauan, kontrol, dan pemahaman. ٌ‫( ناذاء‬telinga) yaitu indera yang digunakan
untuk mendengarkan. Dengan adanya telinga, sesorang menjadikannya untuk mendengar
informasi apapun, belajar, mendengarkan penjelasan guru dengan seksama, sehingga
mendapatkan ilmu yang bermanfaat.(Q. U. R. An et al., 2020)
D. Surah As – Sajadah ayat 7 – 9
‫َن َل ِم ٰل َلٍة ِّم َّم ۤاٍء‬ ‫ِاْل ِن ِم ِط‬ ‫ٍء‬ ‫ِذ‬
‫۝ َّمُث َجَع َل ْس ُه ْن ُس ْن‬٧ ‫اَّل ْٓي َاْح َس َن ُك َّل َش ْي َخ َلَق ُه َو َبَد َا َخ ْل َق ا ْنَس ا ْن ٍنْي‬

‫۝ َّمُث َس ّٰو ىُه َو َنَف َخ ِفْي ِه ِم ْن ُّر ْو ِح ِه َو َجَع َل َلُك ُم الَّس ْمَع َو اَاْلْبَص اَر َو اَاْلْفِٕـ َد َۗة َقِلْياًل َّم ا َتْش ُك ُر ْو َن‬٨ ‫َّم ِه ْي‬

‫۝‬٩
Artinya :

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air
yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-
Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur.” (QS. As – Sajdah : 7-9 )

Ayat ini menerangkan bahwa Tuhan yang menciptakan, mengatur, dan mengurus langit
dan bumi serta segala yang ada padanya itu adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui. Dia
Maha Mengetahui segala yang gaib, yang tersembunyi dalam hati, yang akan terjadi, dan
yang telah terjadi. Dia juga Maha Mengetahui segala yang dapat dilihat dan yang tidak
dapat dilihat oleh mata. Dialah Tuhan Yang Mahakuasa, Maha kekal Rahmat-Nya dan Dia
pulalah Yang menciptakan seluruh makhluk dengan bentuk yang baik, serasi serta dengan
faedah dan kegunaan yang hanya Dia saja yang mengetahuinya.

Jika diperhatikan seluruh makhluk yang ada di alam ini sejak dari yang besar sampai
kepada yang sekecil-kecilnya akan timbul dugaan bahwa di antara makhluk itu ada yang
besar faedahnya dan ada pula yang dirasa tidak berfaedah atau tidak berguna sama sekali,
bahkan dapat menimbulkan bahaya bagi manusia, seperti ular berbisa, hama-hama penyakit
menular, tanaman yang mengandung racun, dan sebagainya. Dugaan ini akan timbul jika
masing-masing makhluk itu dilihat secara terpisah, tidak dalam satu kesatuan alam semesta
ini.

Jika makhluk-makhluk itu dilihat dalam satu kesatuan alam semesta, dimana antara
yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan erat, akan terlihat bahwa semua makhluk
itu ada faedah dan kegunaannya dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam ini.
Bahkan terlihat dengan nyata bahwa usaha-usaha sebagian manusia, baik secara sengaja
atau tidak, merusak dan membunuh sebagian makhluk hidup, menimbulkan pencemar-an di
alam ini, sehingga kelestariannya terganggu. Salah satu contoh ialah dengan adanya obat
pembasmi hama, banyak cacing dan bakteri yang musnah. Akibatnya, proses pembusukan
sampah menjadi terganggu. Padahal bakteri dan cacing itu dianggap binatang yang tidak
ada gunanya sama sekali.

Penebangan hutan mengakibatkan tanah menjadi gundul, sehingga banyak terjadi


banjir dan tanah longsor di musim hujan, serta kekeringan pada musim kemarau. Semua itu
akibat keserakahan manusia. Hal itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan merusak di bumi.
Akibat yang ditimbulkannya bisa luas dan memberi efek domino (beruntun). (Abusama et
al., 2020)
Berdasarkan paparan di atas nyatalah bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah, ada
faedahnya, tetapi banyak manusia yang tidak mau memperhatikannya. Kemudian ayat ini
menerangkan bahwa Dia menciptakan manusia dari tanah. Maksudnya ialah Allah
menciptakan Adam dari tanah kemudian menciptakan anak cucu Adam dari sari pati tanah
yang diperoleh oleh ayah dan ibu dari makanan berupa hewan dan tumbuh-tumbuhan yang
semuanya berasal dari tanah. Dalam ayat 7 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari
tanah, tetapi pada ayat ini ditegaskan bahwa hanya pada permulaannya saja manusia
diciptakan dari tanah. Dengan ayat ini dapat pula ditafsirkan bahwa ada fase lain setelah
awal penciptaan sebelum ciptaan tersebut menjadi manusia. Jika hal tersebut memang
terjadi demikian, banyak pertanyaan lain yang masih tersisa, antara lain (1) apakah awal
penciptaan manusia sama dan bersamaan dengan awal penciptaan makhluk hidup bumi
lainnya (lihat tafsir Surah al- An'am ayat 2), (2) apakah fase setelah penciptaan awal
tersebut manusia berkembang melalui bentuk antara seperti halnya proses evolusi makhluk
hidup lainnya yang kini banyak dipercayai (lihat Surah ar-Rum/30 ayat 20), atau (3)
manusia tercipta melalui proses khusus yang berbeda dari makhluk hidup lainnya (al-
Ahzab/33 ayat 33)

Kemudian diayat yang ke 8 Allah menerangkan bahwa Allah menciptakan keturunan


manusia dari sperma, yaitu air yang sedikit dan memancar, yang bertemu dengan sel telur.
Hasil pertemuan ini disebut dengan nuthfah . Kemudian di dalam rahim perempuan, Allah
menyempurnakan kejadian nuthfah itu, sehingga berbentuk manusia. Kemudian ditiupkan roh
ke dalamnya. Dengan demikian bergeraklah janin yang kecil itu. Setelah nyata kepadanya
tanda-tanda kehidupan, Allah menganugerahkan kepadanya pen-dengaran, penglihatan, akal,
perasaan, dan sebagainya. Manusia pada permulaan hidupnya di dalam rahim ibu, sekalipun
telah dianugerahi mata, telinga, dan otak, tetapi ia belum dapat melihat, mendengar, dan
berpikir. Hal itu baru diperolehnya setelah ia lahir, dan semakin lama panca inderanya itu
dapat berfungsi dengan sempurna. Pada akhir ayat ini, Allah mengatakan bahwa hanya sedikit
manusia yang mau mensyukuri nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya. . (sumber :
https://quran.nu.or.id/ar-rum/30#)

D. Kesimpulan
Allah menciptakan manusia dari yang tidak tahu apa-apa dengan diberinya penglihatan,
pendengaran, serta akal maka manusia harus bersyukur kepada Allah swt, selain mensyukuri
nikmat pemberian Allah swt maka manusia diharapkan dapat berfikir dengan mengembangkan
potensi yang dimilikinya.
A. QS-An-Nahl : 78 manusia meliputi aspek fisik (jasmani) yakni pendengaran dan
penglihatan serta aspek psikis yakni akal. (Abusama et al., 2020)
B. QS. Ar-Rum :30 Hamka memaknai kata fitrah yang ada pada ayat tersebut diatas sebagai
“rasa asli (murni) yang berada dalam jiwa setiap manusiayang belum dipengaruhi oleh
faktor lainnya, kecuali mengakui kekuasaan tertinggi di dalam ini (Allah).Pada
dasarnya,fitrah manusia adalah senantiasa tunduk.
C. QS.Al-Hajj : 46 Menurut M. Nasib Ar-rifa‟i, dalam bukunya yang berjudul “Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir” menyebutkan bahwa hati seseorang bisa buta karena mereka tidak
bisa membedakan antara perbuatan yang haq (yang baik) dan perbuatan yang bathil
(buruk), seperti yang sudah dikatakan diatas bahwa kebutaan hati tersebut dikarenakan
oleh noda hitam yang sudah menutupi hati tersebut.
D. QS.As-Sajadah : 7-9 Allah swt telah menciptakan semua ciptaan-Nya dalam keadaan
baik, yakni diciptakan-Nya secara sempurna agar msing-masing dapat berfungsi
sebagaimana yang dikehendaki-Nya. (Q. U. R. An et al., 2020)

E. Referensi

Abusama, Q., Asiah, S., & Yasin, Z. (2020). Actuating Pendidikan Dalam Pandangan Al-
Qur’an Dan Hadits. Jurnal Al …, 4(1), 298–310.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ah/article/view/2125

An, A. N., Alfian, M. Y., & Akhyar, S. (n.d.). Implementasi Metode Tafsir Tahlili Terhadap Qs
Ar-Rum Ayat 30 Tentang Fitrah Manusia dalam Tafsir Azhar untuk Membendung Embrio
Paham Atheis. 425–436. https://doi.org/10.30868/at.v6i02.2082

An, Q. U. R., Hamid, A., & Kom, M. (2020). TAFSIR TARBAWI : POTENSI BELAJAR
DALAM AL-. 3120180088.

Anggraini, M. E. (2021). Konsep Fitrah dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum Ayat 30 dan
Relevansinya dengan Pendidikan Islam. April, 1–117.
http://digilib.uinkhas.ac.id/5336/1/Mey Erna Anggraini_T20171047.pdf

Maharani, A. F. Ri. (2022). Tafsir Tarbawi : Konsep Ulul dalam Al-Quran (Al-Bab, Nuha,
Azmi, Abshar). Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 3(4), 1–12.
(Anggraini, 2021)
14

Anda mungkin juga menyukai