Anda di halaman 1dari 38

Teknologi Islam

Islam dan ilmu pengetahuan


1. Ilmu pengetahuan dalam Al Qur’an
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm yang berarti pengetahuan. Kata ‘ilm memiliki
kemiripan dengan kata ma’rifah, fiqh, hikmah, dan syu’ur. Dari segi bahasa ilmu berarti
jelas. Sedangkan ilmu dalam pengertian merupakan pengetahuan ilmiah sekalipun juga
merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi disertai
dengan memperhatikan objek yang ditelaah, cara yang dipergunakan dan kegunaannya. (Tim
Departemen Agama RI. 2004:1)
Al Qur’an adalah kitab yang memuat berbagai informasi, sebagai isyarat- isyarat yang
kadang jelas dan terang benderang pengertian dan maknanya, tetapi terkadang berupa kata-
kata yang samar dan belum terpecahkan makna yang dikandungnya, atau belum ditemukan
arti yang yang pas dan cocok, malah ada kata yang sulit dimengerti, yang belum mampu
diterjemahkan pada waktu ini.

Allah menyatakan :
‫بو‬ِ ‫ب ِم ۡنهُ ٰا ٰيتٌ ُّم ۡح َكمٰ تٌ ه َُّن ا ُ ُّم ۡال ِك ٰت‬
َ ‫ِى ا َ ۡنزَ َل َعلَ ۡيكَ ۡال ِك ٰت‬
ۡۤۡ ‫اُخ َُر ُمت َٰش ِبهٰ تٌ ََه َُو الَّذ‬
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhlkamal , itulah pokok-pokok isi al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyabihat”.(QS. Ali Imran (3) : 7)

Kini banyak sekali dari ayat-ayat al Qur’an yang membuktikan kebenaran Allah dalam al
Qur’an . tetapi al Qur’an terus memacu manusia untuk terus mencari tahu, menemukan ilmu
baru dan menerapkannya dalam bentuk teknologi.
Kalimat “iqra”, yang diartikan sebagai perintah membaca, pada ayat yang pertama kali al
Qur’an diturunkan , sudah merupakan petunjuk yang amat kuat bahwa al Qur’an sangat
konsen dan peduli terhadap ilmu pengetahuan. Orang- orang yang berkecimpung dibidang
ilmu pengetahuan, baik yang mencari, memberi maupun kalangan yang mengembangkan
pendidikan dipuji dan dijanjikan oleh Allah suatu martabat yang tinggi.

Manusia bukan hanya dituntut untuk menguasai bumi , malah ditantang untuk menerobos
langit , dan makhluk ini memang juga diberi potensi-potensi untuk keluar batas-batas bumi
agar dapat mengamati alam semesta sebagai tanda- tanda kebesaran Penciptanya. Allah
menganjurkan kepada jin dan manusia untuk mencoba meningkatkan kemampuannya supaya
dapat menjelajahi jarak-jarak yang sangat jauh dan yang sulit sekali ditempuh kemana saja
termasuk juga ke langit. Untuk maksud itu maka Allah mengingatkan akan pentingnya
persediaan daya dan kekuatan (ilmu, alat-alat dan tenaga) yang cukup supaya perjalanan itu
tidak mebahayakan dan membinasakan. (Tim Departemen Agama RI, 2004 : 132)
Dari uraian-uraian diatas, betapa sulitnya pengembangan sains. Jika kita harus
mengembangkan sains, kita harus ingat untuk tidak melanggar akidah dan aturan agama.
Hendaknya pengembangan iptek didasarkan kepada ketaatan kepada perintah Allah untuk
mendapatkan petunjuk-Nya. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dikembangkan tanpa
mengenyampingkan kekuasaan Tuhan dan petunjuk-Nya di dalam al Qur’an. Karena akal
selalu akan berkembang dalam keseimbangan dengan iman, maka mereka yang mempunyai
iman akan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan norma-norma
agama dan petunjuk Allah SWT.
4. Tujuan dan penggunaan ilmu pengetahuan
Agama Islam sangat mendukung umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Karena
dengan menguasai ilmu pengetahuan serta perenungan yang mendalam tentang hakikat
keesaan serta kebesaran Allah SWT akan banyak hal yang diperoleh.
Tujuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Al Qur’an disamping untuk mencapai suatu
kebenaran juga sebagai petunjuk juga mengandung hikmah untuk kesejahteraan manusia.
Kegunaan ilmu pengetahuan antara lain:
a. Menunjukkan kebenaran
b. Mengenal kebaikan
c. Meningkatkan kemakmuran/ kesejahteraan
d. Meningkatkan harkat dan martabat manusia
e. Menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban
f. Meningkatkan rasa percaya diri
g. Meningkatkan produktivitas kerja
h. Memperoleh amal jariyah apabila diamalkan
i. Memiliki keunggualan hidup dunia dan akhirat

B. Pengembangan teknologi dalam islam


1. Pengertian teknologi
Teknologi (technology) terdiri dari kata technique dan logie. Technique , secara harfiah
berarti rancang bangun tentang sesuatu, sedangkan logie berarti ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, teknologi secara harfiah adalah ilmu tentang teknik. Teknologi adalah perpaduan
antara teknik dan ilmu pengetahuan atau penggunaan ilmu pengetahuan yang mendasari
teknik atau penggunaan teori-teori ilmu pengetahuan dalam rancang bangun tentang sesuatu.
( Abuddin Nata, 2010 : 243 )
Pengertian teknologi yang lain adalah kemampuan teknik dalam pengertiannya yang utuh dan
menyeluruh, bertopang kepada pengetahuan ilmu-ilmu alam yang bersandar kepada proses
teknis tertentu. (Tim Departemen Agama RI, 2004 : 45)
Dalam pembahasan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari segi Islam , sudah
selayaknya bila kita meneliti kembali sumber ajarannya yaitu al Qur’an mengenai hal
tersebut. Karena “pengembangan” merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mempunyai
tujuan. (Achmad Baiquni, 1996 : 65)

2. Motivasi islam dalam pengembangan teknologi


Apabila kini orang mengatakan ilmu pengetahuan dan juga teknologinya sudah maju degan
pesat sudah mencapai tingkat yang sangat mengagumkan , kita tidak dapat membuat
kalkulasi berapa prosen pengetahuan yang telah mampu digali oleh manusia dari pengetahuan
yang Allah turunkan dalam bentuk wahyu dan dalam bentuk sunnatullah. Manusia tidak
dapat membuat prediksi kandungan pengetahuan di alam ini. Setiap massa ilmuan selalu
menghasilkan penemuan-penemuan baru diberbagai bidang.
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam ini, Allah
memerintahkan agar kita selalu menggalinya, melakukan perjalanan, pengamatan, penelitian,
sebagaimana Allah nyatakan dalam firman-Nya:
َ‫ْف َكانَ َعاقِبَةُ ْال ُمك َِذ ِبين‬ ِ ‫يروا فِي ْاْل َ ْر‬
ُ ‫ض ث ُ َّم ا ْن‬
َ ‫ظ ُروا َكي‬ ُ ‫قُ ْل ِس‬
Artinya: Katakanlah :”Bepergianlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”.
(QS. al-An’am (6):11)

Dalam pengembangan ilmu pengetahuan , manusia hanyalah subjek yang menemukan,


mengoalah, dan merumuskan sehingga lahir sebuah teori. Manusia bukanlah pencipta.
Sekecil dan sesederhana apapun ilmu pengetahuan itu, sumbernya tetap dari Allah SWT.
Dalam rangka tugas kekhalifahannya, manusia terus berupaya dan berusaha mencari tahu
bagaimana cara memanfaatkan alam yang terhampar luas ini .
َُۚ ُ‫ض َج ِمي ًع ِم ْن ُۚه‬ِ ‫ت َو َما فِي ْاْل َ ْر‬ َّ ‫س َّخ َر لَ ُك ْم َما فِي ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬ َ ‫َو‬
ٍ ‫ِإ َّن ِفي ٰذ َلِكَ ََل َيا‬
‫ت ِلقَ ْو ٍم َيتَفَ َّك ُرونَ ا‬
Artinya: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan) Alloh bagi kaum yang berpikir”. (QS. al-Jatsiyah (45) : 13)

Belajar, mencari dan mengembangakan ilmu pengetahuan dengan membaca, mencoba,


memperhatikan, menyelidiki dan merumuskan susatu teori hendaklah semuanya dilakukan
dengan berbasis iman. Tuhan mengajar manusia apa yang belum diketahuinya. Allah
menciptakan pendengaran, peglihatan, dan hati agar dapat memahami apa yang Allah
ajarkan, baik yang Allah turunkan melalui wahyu-Nya maupun yang Allah turunkan melalui
fenomena alam ini.
Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan
ilmiahnya.
‫ِى ِع ۡل ٍم َع ِل ۡي ٌم‬ َ َّ‫ت َّم ۡن ن‬
ۡ ‫شا ٓ ُءؕ َوفَ ۡوقَ ُك ِل ذ‬ ٍ ‫ ن َۡرفَ ُع دَ َر ٰج‬...
Artinya: “Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki, dan diatas tiap-tiap orang
yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui”. (QS. Yusuf (12) : 76).

Kita tidak boleh berhenti mencari ilmu , menurut Nabi kewajiban mencari ilmu dimulai dari
bayi sampai akhir hayat. Kewajiban ini bukan hanya milik laki-laki, tetapi juga wanita.
Dalam hal ini secara sederhana peran umat islam sekarang ini adalah mengintegrasikan islam
dan iptek dalam proses pembentukan manusia yang berakhlak mulia dan berilmu
pengetahuan sehingga peran aktif umat islam dapat dilaksanakan bagi kenyamanan hidup
umat manusia.

3. Manfaat teknologi
a. Memperoleh kemudahan
Manusia sebagai khalifah Allah diberikan kemampuan akal pikiran untuk memanfaatkannya
dengan tepat. Untuk meraih kebutuhan hidup yang tidak mungkin dicapai melalui
kemampuan fisik semata. Kemampuan itu memang telah ditentukan oleh Allah SWT,
sebagaimana Allah menyatakan dalam firman-Nya:
َؕ ُ‫ض َج ِم ۡيعًا ِم ۡنه‬ ِ ‫ت َو َما فِى ۡاۡلَ ۡر‬ ِ ‫س َّخ َر لَـ ُك ۡم َّما فِى السَّمٰ ٰو‬
َ ‫َو‬
ٍ ‫ا َِّن ِف ۡى ٰذ لِكَ َ ٰۡل ٰي‬
َ‫ت ِلقَ ۡو ٍم يَّتَفَ َّك ُر ۡون‬
Artinya: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. (QS. al-Jatsiyah (45) :
13)

Memperoleh kemudahan dalam hidup dengan mengembangkan potensi diri dan dengan
memanfaatkan segala yang Allah tundukkan bagi manusia di alam ini sejalan dengan
kehendak Allah. Hal itu dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:
‫دّٰللاُ ِب ُک ُم ۡالي ُۡس َر َو َۡل ي ُِر ۡيدُ ِب ُک ُم ۡالعُ ۡس َر‬
‫ُ ي ُِر ۡي ه‬...
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu”. (QS. al-Baqarah (2) : 185)

Allah juga menyatakan bahwa memang Allah sengaja memberikan berbagai kemudahan
kepada manusia agar manusia hidup dengan mudah.
‫ََُۚ َونُيَس ُِركَ ِل ۡلي ُۡس ٰرى‬
Artinya: “Dan Kami memberi kemudahan agar kamu memperoleh kemudahan”. (QS. al-A’la
(87) : 8)

b. Mengenal dan mengagugkan Allah


Kesempurnaa alam dengan struktur dan sistemnya terbentuk dengan sempurna karena Allah
SWT. Semakin luas dan dalam pengetahuan manusia akan rahasia alam ini, maka semakin
dekat manusia untuk mengenal Allah. Hal itu dapat kita pahami dari berbagai ayat al-Qur’an ,
diantaranya:
۱۷﴿ ‫ف ُخ ِلقَ ۡت‬ ِ ۡ ‫ظ ُر ۡونَ اِلَى‬
َ ‫اۡل بِ ِل ك َۡي‬ ُ ‫﴾اَفَ ََل يَ ۡن‬
‫ف ُرفِ َع ۡت‬ َ ‫س َما ٓ ِء ك َۡي‬ َّ ‫﴿ َواِلَى ال‬۱۸﴾
ۡ‫صبَت‬ ُ
ِ ‫فن‬ َ ‫﴿ َواِلَى ۡال ِجبَا ِل كَي‬۱۹﴾
ۡ
‫س ِط َح ۡت‬ ُ ‫ف‬ َ ‫ض ك َۡي‬ ِ ‫﴿ َواِلَى ۡاۡلَ ۡر‬۲۰﴾
‫﴿ؕ اِنَّ َم ۤۡا ا َ ۡنتَ ُمذَ ِك ٌر‬۲۱ؕ﴾ ‫فَذَ ِكر‬
Artinya: “(17) Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan?
(18) Dan langit, bagaimana dia ditinggikan?
(19) Dan gunung- gunung, bagaimana dia ditegakkan?
(20) Dan bumi, bagaimana dia dihamparkan?
(21) Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberikan
peringatan”.
(QS. al-Ghasyiyah (88) : 17-21)

Teknologi dan sains hanyalah sarana untuk lebih meningkatkan pengenalan manusia kepada
Allah SWT. Kebesaran Allah akan lebih jelas bagi orang yang berpengetahuan dibandingkan
dengan orang yang kurang pengetahuan. Karena itu Allah menyatakan:
‫غفُ ۡو ٌر‬ ‫ّٰللاَ ِم ۡن ِعبَا ِد ِه ۡالعُلَ ٰ ٓمؤُ اؕ ا َِّن ه‬
َ ‫ّٰللاَ َع ِز ۡي ٌز‬ ‫ف ا َ ۡل َوانُهٗ ك َٰذلِكَ ؕ اِنَّ َما يَ ۡخشَى ه‬
ٌ ‫ب َو ۡاۡلَ ۡنعَ ِام ُم ۡختَ ِل‬
ِ ٓ‫اس َوالد ََّوا‬
ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
Artinya: “sesungguhnya orang yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya ,
hanyalah orang yang berilmu pengetahuan”.
(QS. Fathir (35) : 28)

c. Meningkatkan kualitas pengabdian kepada Allah


Manusia diciptakan oleh Allah hanyalah untuk mengabdi kepada-Nya. Demikian dinyatakan
oleh Allah dalam firman-Nya:
ِ ۡ ‫َو َما َخلَ ۡقتُ ۡال ِج َّن َو‬
َ ‫اۡل ۡن‬
‫س ا َِّۡل ِليَعۡ بُد ُۡو ِن‬
Artinya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi
kepada-Ku”. (QS. al-Dzariyat (51) : 56)

Teknologi apabila dirancang dan dimanfaatkan secara benar, maka teknologi diyakini akan
mampu meningkatkan kualitas pengabdiannya kepada Allah. Apabila berbagai kemajuan
yang dicapai manusia diniatkan dan diarahkan untuk kepentingan peningkatan kualitas
pengabdiannya kepada Allah, maka kemajuan yang dicapai itu tidak membuat manusia
menjadi lalai akan tugas kehidupannya. Karena itu Allah memerintahykan dalam firman-Nya:
َ‫ب ۡالعٰ لَ ِم ۡين‬ َ ‫قُ ۡل ا َِّن‬
ُ ُ‫ص ََلتِ ۡى َون‬
َ َ‫س ِك ۡى َو َم ۡحي‬
ِ ‫اى َو َم َماتِ ۡى ِ هّلِلِ َر‬
Artinya: : “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(QS. al-An’am (6) : 162)

d. Memperoleh kesenangan dan kebahagiaan hidup


Kemudahan- kemudahan manusia yang diperoleh dari pemanfaatan teknologi membuat
manusia dapat memperoleh kesenangan dan kebahagiaan hidup dalam ruang lingkup yang
halal yang diridhai Allah. Untuk memperoleh kesenangan dan kebahagiaan hidup yang
disediakan Allah, manusia diberikan sarana kebutuhan yang serba lengkap di bumi.
ٍ ‫سمٰ ٰو‬
ؕ‫ت‬ َ ‫س ۡب َع‬ َّ ‫است َٰۤۡوى اِلَى ال‬
َ َ‫س َما ٓ ِء ف‬
َ ‫س هوٮ ُه َّن‬ ِ ‫ِى َخلَقَ لَـ ُك ۡم َّما فِى ۡاۡلَ ۡر‬
ۡ ‫ض َج ِم ۡي ًع ث ُ َّم‬ ۡ ‫ه َُو الَّذ‬
ۡ‫ِ َوه َُو بِ ُكل ش َۡىءٍ َع ِلي ٌم‬
Artinya: “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu sekalian dan
Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesutu”. (QS. al-Baqarah (2) : 29).

e. Meningkatkan kemampuan memanfaatkan kekayaan alam


Teknologi meningkatkan kemampuan manusia untuk mengolah kekayaan alam secara
optimal. Bumi diciptakan oleh Allah dengan baik , maksudnya bumi memiliki kesempurnaan
dan keseimbangan sehingga dapat bertahan dan menyediakan berbagai kebutuhan hidup
manusia. Karena itu pemanfaatan kekayaan alam yang ada di bumi ini jangan sampai
mengganggu keseimbangan alam tersebut. Hal itu Allah ingatkan dalam firman-Nya:
‫ط َمعًا‬ ِ ‫ؕ َو َۡل ت ُ ۡف ِسد ُۡوا فِى ۡاۡلَ ۡر‬
َ ‫ض بَعۡ دَ اِصۡ ََل ِح َها َوا ۡدع ُۡوهُ خ َۡوفًا َّو‬
ۡ
َ‫ّٰللاِ قَ ِر ۡيبٌ ِمنَ ال ُم ۡح ِسنِ ۡين‬
‫ا َِّن َر ۡح َمتَ ه‬
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima ) dan
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik”. (QS. al-A’raf (7) : 56).

f. Menumbuhkan rasa syukur kepada Allah


Rasa syukur kepada Allah yang paling ringan adalah mengucapkan “alhamdulillahi rabbil
‘alamin”. Namun syukur yang sebenarnya adalah memanfaatkan nikmat itu secara benar
untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Bagi orang yang beriman, sekecil apapun
nikmat yang ia dapatkan dari rezeki halal yang diberikan Allah kepadanya akan melahirkan
rasa syukur kepada-Nya sebagai pemberi nikmat. Allah mengingatkan:
َ ‫َوا ِۡذ تَاَذَّنَ َربُّ ُك ۡم لَ ِٕٮ ۡن‬
َ َ‫شك َۡرت ُ ۡم َۡلَ ِز ۡيدَنَّـ ُك ۡم َولَ ِٕٮ ۡن َكفَ ۡرت ُ ۡم ا َِّن َعذَا ِب ۡى ل‬
ٌ‫شد ِۡيد‬
Artinya: “Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu
bersyukur , pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.( QS. Ibrahim (14) : 7)

4. Tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi


Dalam pengembangan teknologi, sebagai karya manusia diharapakan mempunyai tujuan yang
sesuai dengan fungsi dan kedudukannya yang dijadikan Allah selaku khalifah di bumi, dan
hambaNya. Tujuan yang dimaksud antara lain:
a. Menerapkan ilmu yang bermanfaat
Dalam kaitannya dengan penerapan ilmu menjadi teknologi hendaklah diarahkan pada
kemajuan dan pengembangannya secara luas yang tetap memperhatikan manfaatnya.
Sebaliknya tidak diabaikan sikap dan tindakan menghindari hal-hal yang merusak baik
terhadap diri manusia sendiri maupun lingkungannya.

b. Kemakmuran dunia
Manusia adalah makhluk Allah yang diberi potensi dan kekayaan yang dikenal dengan akal
dan budi. Dari potensi dan kekayaan akal budi tersebut, muncul karya- karya manusia yang
terus berkembang , baik untuk kebutuhan jasmani maupun rohani. Yang termasuk
didalamnya adalah hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai makhluk Allah yang
diberi tugas untuk memakmurkan dunia ini, hendaklah hasil karya manusia khususnya
teknologi dapat menjadi bagian dari amal shaleh , dan upaya manusia dalam rangka
menjalankan fungsi khalifah, memakmurkan dunia ini. Selain itu, meningkatkan ibadah dan
ketakwaan kepada Allah SWT.

c. Kemajuan peradaban manusia


Peradaban manusia dulu dan kini dibangun melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sejarah peradaban mengajarkan bahwa manusia tidak dapat hidup dari alam
pertama (asli) sebagai layaknya hewan. Manusia mulanya memang hidup dari pemberian
kekayaan alam sekitarnya yang masih mentah dan belum diolah. Karena keberhasilan ilmu
pengetahuan, kini kehidupan manusia menjadi lebih baik dengan teknologi yang
dikembangkannya.

d. Memberikan kemudahan dalam berama shaleh


Manusia diciptakan untuk mengemban tugas sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya dimuka
bumi ini, dimaksudkan agar mampu mengisi dan mengarahkan dinamika kehidupan itu
sehingga dapat menghasilkan nilai-nilai kebajikan, amal shaleh yang abadi di sisi Allah.

Tujuan pengembangan teknologi bagi umat Islam secara umum selalu dikaitkan dengan
tujuan hidup manusia yaitu mancari ridha Allah melalui dua fungsi hidupnya yaitu selaku
hamba Allah berkewajiban untuk senantiasa beribadah dan mengabdikan diri untuk
menggapai ridha-Nya dan selaku khalifah-Nya, bertugas melestrikan lingkungan alam
semesta dan menatanya untuk kemakmuran hidup manusia. Karena itu, teknologi sebagai
suatu hasil karya manusia harus digunakan untuk mendukung kehidupan manusia agar
hidupnya dapat bahagia, sejahtera, adil dan seimbang. Dengan teknologi, alam yang
terbentang luas ini sengaja diciptakan oleh Allah agar dimanfaatkan sebesar- besarnya bagi
kemakmuran hidup manusia.

C. Etika islam dalam pengembangan iptek


Ilmu pengetahuan dan teknologi masih menjadi faktor dominan dalam kehidupan manusia.
Teknologi akan berbahaya apabia berada ditangan orang yang secara mental dan keyakinan
agama belum siap. Membiarkan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu saja
tanpa pengarahan yang sistematis akan sangat mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, etika islam terhadap pengembangan ilmu dan teknologi dapat dikemukakan
sebagai berikut.
Pertama, islam sebagai agama yang komprehensif dan universal dalam ajarannya tidak
mengenal kompartementalisasi bidang-bidang kehidupan manusia. Karena itu, ilmu dan
teknologi serta seluruh dimensi kehidupan lainnya terpadu dalam kehidupan tauhid. Manusia
muslim diharuskan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi seoptimal mungkin,
tetapi harus sesuai dengan ajaran islam.
Kedua, dalam sistem islam seluruh kehidupan manusia muslim pada hakikatnya harus
diniatkan sebagai pengabdian (ibadah) kepada Allah. Dengan demikian, pndayagunaan iptek
tidak mungkin digunakan untuk tujuan-tujuan seain kemaslahatan hidup manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu, islam tidak membenarkan penggunaan iptek untuk merusak
kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya.
Ketiga, karena fungsi islam sebagai rahmat bagi seluruh alam , maka ilmu dan teknologi yang
dikembangkan oleh seorang muslim adalah yang membawa rahmat bagi semua manusia.
Sehingga, iptek harus dikelola dengan etika.

Keempat, ilmu dan teknologi boleh dikembangkan sejauh mungkin selama berlandaskan etik
atau moral yang jelas. Sehingga iptek harus terus dikembangkan tetapi harus dilandasi moral
islam.
Kelima, pengembangan ilmu dan teknologi harus memiliki hubunngan yang positif bagi
peingkatan ketakwaan kepada Allah. Sehingga akan menghasilkan manusia yang berilmu
sekaligus beriman (ulil abab). Dengan kemampuan membuka sebagian rahasia alam semesta
beserta hukum-hukumnya yang sedemikian rapi, teratur dan sempurna maka ilmu teknologi
selayaknya berfungsi meningkatkan rasa takwa para pengembangnya dalam rangka berbakti
kepada Allah. (Muhammad Alim. 2006 : 217)
Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menghendaki agar setiap muslim memiliki suatu
budi igin tahu dan suatu sikap berfikir kritis, teratur dan tuntas terhadap fenomena- fenomena
di alam semesta dan kehidupan manusia itu sendiri. Iman perlu dibina dengan pemahaman
terhadap gejala-gejala alam semesta. Dengan deikian iman sejatinya tidak bisa dipisahkan
dengan ilmu , yaitu ilmu Allah. Karena sebenarnya semua ilmu berasal dari Allah. Manusia
berusaha untuk mempunyai sekedar ilmu (yang sedikit), dari jenis- jenis ilmu yang sangat
diperlukan untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan diakhirat.

D. Kesimpulan
Manusia adalah makhluk Allah yang diberi anugrah berupa akal, karena tujuan diciptakannya
manusia adalah sebagai khalifah dimuka bumi ini. Dengan akal yang telah diberikan Allah,
islam menuntut manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai
dengan aspek ketauhidan. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari
alam ini, Allah memerintahkan agar kita selalu menggalinya, melakukan perjalanan,
pengamatan, dan penelitian.
Dalam hal pengembangan iptek hendaknya didasarkan kepada ketaatan kepada perintah Allah
untuk mendapatkan petunjuk-Nya. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dikembangkan
tanpa mengenyampingkan kekuasaan Tuhan dan petunjuk-Nya di dalam al Qur’an. Karena
akal selalu akan berkembang dalam keseimbangan dengan iman, maka mereka yang
mempunyai iman akan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan
norma-norma agama dan petunjuk Allah SWT.
Dengan demikian iman sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan ilmu , yaitu ilmu Allah.
Karena sebenarnya semua ilmu berasal dari Allah. Manusia berusaha untuk mempunyai
sekedar ilmu (yang sedikit), dari jenis-jenis ilmu yang sangat diperlukan untuk kebahagiaan
hidup manusia didunia dan diakhirat.

Salah satu potensi yang Allah anugerahkan kepada manusia adalah rasa ingin
tahu. Rasa tersebutlah yang mendorongnya untuk berpikir, melakukan penelitian dan
menemukan hal-hal baru. Hal itu juga seiring dengan perintah untuk melakukan
penelitian dan penyelidikan terhadap diri manusia dan alam sekitarnya. Allah SWT
menyebutkan,
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali
lagi[1]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Al-Ankabut: 20).

Di ayat yang lain Allah menyebutkan,


Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi...(QS. Yunus: 101)"
Ayat yang pertama menyebutkan perintah Allah untuk memperhatikan bagaimana
proses ke-hadiran manusia di bumi. Dari mana, mau apa, dan hendak ke mana. Tiga
pertanyaan sangat filosofis karena berkaitan dengan cara pandang manusia terhadap
diri mereka sendiri. Dengan adanya cara pandang, maka selanjutnya akan lahir sikap
dan perbuatan.
Sedangkan pada ayat kedua, perintah Allah untuk memperhatikan apa yang
berada di luar diri manusia. Apa yang ada di langit dan di bumi. Ayat ini
mengisyaratkan perlunya pengetahuan terhadap apa yang menjadi fasilitas Allah atas
manusia sebagai khalifah.
Dua cara pandang tersebut akan menghasilkan konsep berpikir dan pijakan
dalam bersikap dan berperilaku. Jika cara pandangnya salah, yang terjadi adalah
kelalaian tugas manusia dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah. Bumi akan rusak,
dan kedzaliman akan terjadi di mana-mana. Karena itulah, manusia membutuhkan ilmu.
Dengan semangat ingin tahu, manusia mampu mengembangkan kualitas hidupnya.
Dengan ilmu pula, manusia akan sampai pada puncak peradaban. Dan yang jauh lebih
penting dari itu adalah manusia dapat mengenal tuhannya.
Di ayat yang lain, Allah menyatukan pandangan itu dalam dua ayat secara
berurutan,

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, 191. (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran: 190-191).

Dalam ayat di atas, Allah SWT menyebutkan yadzkuru untuk merujuk pada
hubungan vertikal dan yatafakkaru untuk hubungan horisontal. Sehingga dengan jelas,
kita bisa melihat bagaimana konsep Islam dalam memandang sumber ilmu. Berkaitan
dengan hubungan vertikal dan horisontal ini, dominasi peradaban barat sekarang
terdapat kesalahan dalam menginterpretasi konstelasi tuhan, manusia dan alam
semesta. Sehingga terjadi mis-management yang berujung pada rusaknya ekosistem,
tata nilai, dan segi kebudayaan manusia.
Budi Handrianto menulis “Saat ini peradaban Barat yang berlandaskan paham
sekulerisme, rasionalisme, uitilitarianismem dan meterialisme telah membawa dunia
menuju ambang kehancuran. Memang tidak menutup mata berbagai keberhasilan dan
kemajuan dihasilkan oleh peradaban ini. Namun juga, tidak dimungkiri peradaban Barat
telah menghasilkan penjajahan, perang berkepanjangan, ketimpangan sosial, kerusakan
lingkungan, keterasingan (alienasi) dan anomie (berkurangnya adat sosial atau standar
etika diri)[2]”.
Peradaban Barat dinyatakan oleh Marvin Perry sebagai sebuah peradaban
besar, tetapi sekaligus sebuah drama yang tragis (a tragic drama)[3]. Hal itu diamini
oleh Naquib Al-Attas karena peradaban barat tidak lagi menganggap alam sebagai
sesuatu kejadian yang kudus, sehingga membolehkannya untuk bertindak bebas
terhadap alam tabi’i (disenchantment of nature), memanfaatkannya mengikuti
keperluan dan rancangannya[4].
Salah satu penyebabnya adalah terjadinya kekeliruan worldview terhadap
sumber ilmu. Yang selanjutnya dalam bidang kajian filsafat disebut epistemologi. Bagi
pandangan keilmuwan barat, sumber ilmu dibatasi pada hal-hal empirik dan rasional,
dan membuang wahyu. Al-Attas menulis, “Barat merumuskan pandangannya terhadap
kebenaran dan realitas bukan berdasarkan kepada ilmu wahyu dan dasar-dasar
keyakinan agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat dasar-
dasar filosofis. Dasar-dasar filosofis ini berangkat dari dugaan (spekulasi) yang
berkaitan hanya dengan kehidupan sekulaer yang berpusat pada manusia sebagai diri
jasmani dan hewan rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan
menyingkap sendiri seluruh rahasia alam dan hubungannya dengan eksistensi, serta
menyingkap hasil pemikiran spekulatif itu bagi perkembangan nilai etika dan moral
yang berevolusi untuk membimbing dan mengatur kehidupannya”[5].
Dalam kajian epistemologi di Barat, pembahasan tentang sumber ilmu
melahirkan tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant.
Keberatan Islam terhadap ketiga mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti,
terutama karena pengingkarannya terhadap wahyu sebagai objek ilmu pengetahuan.

Defenisi Sumber Ilmu


Kata sumber dalam bahasa arabnya adalah (‫)مصدر‬, dengan jamaknya: (‫)مصادر‬.
Kata sumber atau “mashdar” dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dari wadah itu
dapat ditemukan atau ditimba norma hukum[6]. Menurut Kamus Bahasa Arab, ‫مصدر‬
diartikan sumber, asal, referensi, atau sumber pengambilan[7].
Kata ilmu berasal dari kata ‘ilm, yang berarti pengetahuan, lawan dari kata al-jahl
yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan[8]. Kata ilmu juga disepadankan dengan
kata arab lainnya yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman), hikmah
(kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan).[9] Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa
sumber atau mashdar adalah suatu tempat yang dari segala sesuatu digali atau diambil.
Berdasarkan hal tersebut, sumber ilmu adalah segala sesuatu yang menjadi tempat
digali dan diambilnya.

Sumber Ilmu Menurut Barat


Sebagaimana disinggung di muka, kajian pokok tentang sumber ilmu dalam
perspektif Barat diwakili oleh tiga madzhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme, dan
kritisisme.
Madzhab Rasionalisme dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene
Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari
pemikiran filsafat Yunani. Paham ini menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu
bersumber dari akal budi manusia. Descartes berpendapat bahwa dalam jiwa manusia
terdapat ide bawaan (innate ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Ide
bawaan tersebut terdiri atas : pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-
ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip
dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat seraya
mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka, karena ilmu adalah sesuatu yang
sudah ‘built in’ dalam jiwa manusia dan tugas kita adalah mencapainya melalui deduksi.
Karenanya, ilmu yang dihasilkan oleh aliran ini—biasanya dianggap—bersifat universal.
Menurut mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-
konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya
sumber. Di samping indera, ada fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan
konsepsi dalam akal[10].
Mazhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman
sebagai sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon,
sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan
empirik. Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume yang dalam
karyanya A Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut David Hume mengupas
persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik dengan rasionalisme,
mazhab ini berpandangan bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari
pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi
menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Yang pertama
adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup.
Yang kemudian adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan.
Derivasi ilmiah yang diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris.
Tapi hal ini tidak berarti mereka mengklaim univesalitas induksi. Alih-alih, mereka
justru menekankan keterbatasan induksi yang hal ini berarti mereka menolak
generalisasi[11].
Menurut Hobbes, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi dimaksudkan ialah
segala sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa
segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang
bersifat bendawi terliput di dalam gerak itu. Segala obyektifitas di dalam dunia luar
bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau
keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru gagasan
tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan tentang gerak[12].
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk mensintesa dua
kutub ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini
adalah Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk
mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara
rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam
usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang
berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran
filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant mengawali
filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan demikian
fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya[13].
Dari ketiga madzhab di atas dapat disimpulkan bahwa, sumber-sumber ilmu
menurut ilmuwan-ilmuwan barat hanya terbatas pada akal (rasio) dan panca indera.
Mereka hanya menitikberatkan pada dua komponen ini. Sehingga hasilnya, makna ilmu
terbatas pada objek-objek nyata. Sedangkan berita shahih yang datang dari wahyu
mereka nafikan, dan tidak memasukkannya ke dalam defenisi ilmu.
Akibatnya, ilmu pengetahu an dan nilai-
nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah[14
].

Sumber Ilmu Menurut Islam


Pengetahuan Islam yang lebih banyak berpijak pada al-Qur’an, untuk melihat
kerangka epistemologinya, bisa dicermati pada sebuah ayat yang mengandung makna
suatu pertanyaan, seperti kata kaifa pada beberapa ayat Al- Qur’an, hal inilah yang
meyakinkan adanya inspirasi tersebut. Kata kaifa tersebut yang biasanya dipakai untuk
mengajukan suatu pertanyaan yang berkaitan dengan keadaan dan cara (method). Hal
ini bisa dicermati seperti; dalam ayat Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun (40) ayat 82, dan
Surat Al-Gasyiyah (88) ayat 17-20. Ayat- ayat ini bukan hanya menjelaskan keadaan,
melainkan mengandung sebuah maksud yang disebut dengan metode. Sedangkan
metode tercakup dalam bahasan epistemologi[15].
Melihat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung makna pertanyaan, maka ayat ini
secara implisit tentu memberikan anjuran agar seseorang mempelajari metode untuk
mendapat suatu pengetahuan. Dengan demikian epistemologi yang dimaksudkan dalam
hal ini itu memiliki sandaran teologis Islam yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an. Di
mana secara implisit cara atau metode untuk memperoleh pengetahuan itu benar
adanya disinggung dalam kitab suci al- Qur’an. Bangunan epistemologi ini bisa
dipelajari dan dicermati dalam satu keilmuan Islam seperti dalam ilmu tasawuf, ilmu
fiqih, ilmu kalam (teologi), akhlak, dan filsafat Islam. Disiplin keilmuan ini semuanya
selalu merujuk pada al-Qur’an sebagai sumber (episteme) nya[16].
Dalam sub tema “Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”, Syamsuddin Arif
menjelaskan tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana meraihnya. Menurutnya, ada
tiga sumber ilmu yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqqul)
serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar sadiq).
“Persepsi indrawi meliputi lima (pendengar, pelihat, perasa, pencium,
penyentuh), plus indra keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis
yang menyertakan daya ingatan atau memori (dhakirah), daya penggambaran (khayal)
atau imajinasi dan daya estimasi (wahm). Proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur
pikir (fikr) dengan nalar dan alur pikir ini anda bisa berartikulasi, menyusun proposisi,
menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat keputusan dan
menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap
pesan-pesan gaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan sebagainya.
Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq yang berasal dari dan
bersandar pada otoritas. Sebuah khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah
wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan diteruskan yakni
ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai akhir zaman.[17]
Secara lebih jelas dapat diikuti pembahasan berikut.
1. Wahyu
Wahyu adalah kebenaran yang langsung dari Allah kepada seorang hamba-Nya,
dengan kata lain wahyu merupakan komunikasi Tuhan dengan manusia. Dalam filsafat
Tuhan dikatakan mind, akal. Karena Tuhan adalah akal, akal manusia mempunyai akal
tidak mustahil dapat berkomunikasi dengan Tuhan sebagai akal. Dalam Islam, Tuhan
dianggap akal kurang diterima. Tuhan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta,
mestilah suatu substansi yang mempunyai daya berpikir, maka tidak mustahil daya
berpikir manusia dapat berkomunikasi atau berhubungan dengan daya berpikir yang
ada pada substansi Tuhan. Kalau ini tidak mustahil, adanya wahyu tidak mustahil
pula[18].
Wahyu dalam terminologi ini dimaksudkan al-Quran dan Hadits Shahih. Allah
mempertegas hal tersebut,
Kami menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu (QS An- Nahl:
89)
Adapun cara-cara wahyu bisa sampai pada diri manusia yaitu bisa dicermati
dalam ayat al-Qur’an, yaitu pada Surat, as-Syura: 51-52, Q S. as- Saffat: 102, QS. Al-A’raf:
143, QS. As-Syuara: 192-195, QS. Al-Baqarah: 97, QS. At-Takwir: 19-23, Qs. An-Najm: 10-
12, Qs. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa wahyu disampaikan dengan berbagai
cara sesuai dengan kehendak Allah, dan hakekat wahyu tidak ada seorangpun yang
mengetahui kecuali Allah dan yang menerimanya. Pengetahuan yang diterima tidak
diragukan lagi kebenarannya, hal ini bisa dicermati melalui sebuah kitab suci baik al-
Qur’an maupun kitab suci yang lain yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul
yang bisa dijadikan petunjuk umat disepanjang zaman, sebagaimana al-Qur’an yang
sampai ini tak seorangpun yang dapat membuat. Dan al-Qur’an merupakan kumpulan
wahyu Tuhan (pengetahuan) yang diturunkan secara langsung dari Allah kepada Nabi
Muhammad saw[19].
Berita yang benar (khabar shadiq) terbagi menjadi dua jenis. Berita yang dibawa
oleh orang banyak yang memustahilkan terjadinya kebohongan (khabar mutawatir)
dan berita yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Otoritas pada jenis yang pertama—
yang memasukkan kesepakatan ulama, ilmuwan, dan orang-orang terpelajar—dapat
dipertanyakan dengan metode-metode rasional dan eksperimen. Namun, otoritas jenis
kedua adalah mutlak. Hal ini karena, sebagaimana terdapat tingkatan pada rasio dan
pengalaman, dalam otoritas pun terdapat tingkatan. Dalam keyakinan muslim, otoritas
tertinggi adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi saw, yang mencakup pribadinya. Dalam
pengertian bahwa kedua bukan hanya menjelaskan kebenaran, tapi keduanya adalah
kebenaran itu sendiri yang merupakan representasi otoritas berdasar tingkatan
tertinggi intelektualitas, pencerapan spiritual dan pengalaman transendental, sehingga
keduanya tidak bisa direduksi pada tingkatan rasio dan pengalaman normal
manusia[20].
2. Akal
Dalam al-Qur`an dijumpai 49 kali kosa kata yang berakar kata a-q-l (‫ )عقل‬dalam
berbagai bentuk. Misalnya: 20[. ‫ نعقل – يعقل – يعقلون‬-‫ ]عقلوا – تعقلون‬Sebarannya sebagai
berikut: kata ‫‘( عقلوه‬aqaluh) dijumpai dalam 1 ayat, kata ‫( تعقلون‬ta’qilun) 24 ayat, ‫نعقل‬
(na’qil) 1 ayat, ‫( يعقتها‬ya’qiluha) 1 ayat, dan ‫( يعقلون‬ya’qilun) 22 ayat[21]. Makna kosa kata
itu dalam arti paham dan mengerti. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat-ayat berikut:
Maka apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,
sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya
setelah memahaminya, padahal mereka mengetahuinya? (QS. Al-Baqarah: 75).
Prof. Wan menjelaskan bahwa aspek akal merupakan saluran penting yang
dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang jelas, yaitu perkara yang
dapat dipahami dan dikuasai oleh akal dan tenang sesuatu yang dapat dicerap oleh
indera. Akal fikiran (al-aql) bukan hanya rasio. Akal adalah “fakultas mental” yang
mensistematisasikan dan menafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika,
yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadikan sesuatu yang dapat dipahami.
Akal adalah entitas spiritual yang rapat dengan hati (al-qalb), yaitu menjadi tempat
intuisi[22].
3. Indera
Saeful Anwar mengutip al-Ghazali menyebutkan, panca indera merupakan
sarana penangkap pertama yang muncul dari dalam diri manusia, disusul dengan daya
khayal yang menyusun aneka bentuk susunan, dari partikular-partikular yang
ditangkap indera kemudian tamyiz (daya pembeda), yang menangkap sesuatu di atas
alam empirik sensual di sekitar usia tujuh tahun, kemudian disusul oleh akal yang
menangkap hukum-hukum akal yang tidak terdapat pada fase sebelumnya. Panca
indera diumpamakan sebagai tentara kalbu yang disebar ke dunia fisis-sensual, dan
beroperasi di wilayahnya masing-masing dan laporannya berguna bagi akal.[23]
Pengetahuan inderawi dimiliki manusia melalui kemampuan indera.
Kemampuan itu diperoleh manusia sebagai makhluk biotik, berkat inderanya manusia
dapat mengetahui apa yang terjadi di alam ini. Indera menghubungkan manusia dengan
hal-hal yang konkrit material. Pengetahuan indera bersifat parsial, disebabkan
perbedaan indera dengan yang lain. Namun pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan
karena indera merupakan gerbang pertama untuk pengetahuan yang utuh[24].
4. Ilham/Intuisi
Berbeda dengan yang dipahami dalam peradaban Barat, intuisi bukan sekedar
pemahaman langsung, oleh subjek, tentang dirinya; kesadarannya; ‘diri’ lain selain
dirinya; ‘dunia luar’ (external world), yang universal, nilai-nilai, dan kebenaran rasional.
Disamping semua itu, intuisi, juga, adalah pemahaman langsung tentang kebenaran-
kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan, realitas eksistensi-eksistensi sebagai
kebalikan dari esensi; dan karenanya, pada tingkatan yang lebih tinggi intuisi adalah
intuisi tentang eksistensi itu sendiri.
Sumber islam menurut Islam dan Barat memiliki perbedaan yang mendasar.
Kerangka epistemologi islam didasarkan pada otentitas wahyu, sementara barat adalah
hasil dari spekulasi-spekulasi filosis berbasis indera dan akal. Sehingga pembatasan
makna 'ilmu' akan sangat berbahaya jika dikembangkan dalam sistem keilmuwan bagi
orang muslim. Hasilnya akan terjadi kekacauan. Apa yang diistilahkan oleh Prof. al-Attas
sebagai "The Confusion of Knowledge". Insya Allah kita bahas pada postingan
berikutnya (Wallohu a'lam bi as-Showab).

EPISTEMOLOGI ISLAM & BARAT


(Sebuah Analisa Deskriptif Tentang Prinsip-Prinsip Epistemologi)

A. LATAR BELAKANG
Salah satu cabang filsafat yang jumlah pembahasannya hampir mencakup isi
keseluruhan filsafat itu sendiri adalah epistemologi.1[1] Sebab, filsafat adalah refleksi, dan
setiap refleksi selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin seorang memiliki suatu metafisika,
yang tidak sekaligus merupakan epistemologi dari metafisika, atau psikologi, yang tidak
sekaligus epistemologi dari psikologi.2[2]
Ini dapat dilihat dari cakupan epistemologi yang meliputi hakikat, keaslian, sumber,
struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian,
kodrat, pertanggungjawaban, dan skope pengetahuan.3[3] Jadi, hal ini dapat juga dikatakan
bahwa epistemologi adalah teori tentang ilmu yang membahas ilmu dan bagaimana
memperolehnya.4[4]
Diskursus tentang epistemologi dikalangan para intelektual Islam maupun Barat pada
abad modern ini, seiring lajunya perkembangan science di Barat, menjadi daya tarik
tersendiri untuk dikaji dan dikupas tuntas. Sebab, hal ini memunculkan polemik radikal di
kalangan mereka tentang, apakah ilmu itu bebas nilai (free value) atau sarat dengan nilai (by
product) ?.5[5] Pangkal utama polemik tersebut adalah teori ilmu yang berkembang
menunjukkan telah terjadi perceraian antara ilmu dan agama.6[6]
Fakta yang terjadi yaitu, ilmu yang berkembang di Barat telah mengakibatkan
munculnya berbagai aliran pemikiran/ideologi yang menentang agama Kristen dan Yahudi
yang dominan di Barat.7[7] Sebagai dampaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Leopold
Weis8[8] bahwa ‘Barat tidaklah menentang Tuhan secara sewenang-wenang dan terang-
terangan, akan tetapi jika dilihat dalam cara berfikirnya sedikitpun tidak menunjukkan bahwa
mereka butuh akan Tuhan ataupun tahu akan nilai Tuhan yang sebenarnya’.9[9]
Cara berfikir seperti ini kemudian dikembangkan oleh banyak intelektual muslim di
dunia Islam dalam mengkaji Islam dengan pisau analisa epistemologi Barat yang cendrung
menafikan hal-hal transenden. Mengapa itu terjadi ?, sebab bagi mereka, Barat sebagai
lambang kemajuan ilmu pengetahuan (science dan teknology) di abad ini. Jadi, menurut
mereka kalau ingin maju, maka tirulah Barat dengan mengadopsi segala apa yang dari Barat,
termasuk dalam persoalan memahami agama. Meski demikian, ada sebagian dari kalangan
intelektual Islam yang masih tetap komitmen untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip
epistemologi Islam serta melakukan pengembangan dengan prinsip-prinsip tersebut.10[10]
Berdasarkan fakta dan data yang telah kami paparkan di atas, hal itu menunjukkan
bahwa epistemologi Barat memang problematik. Ini terbukti melalui prinsip-prinsip
epistemologi Barat yang berdasarkan kepada worldview mereka yang jauh dari nilai-nilai
Agama. Sehingga ilmu yang berkembang di Barat adalah ilmu-ilmu yang jauh dari moralitas,
hanya berorientasi pada aspek fisik dan menafikan yang metafisik.11[11]
Untuk itu, makalah ini akan mencoba untuk mengurai permasalahan yang berkaitan
dengan epistemologi yang akan difokuskan pada prinsip-prinsip epistemologis yang meliputi
makna ilmu, objek pengetahuan, sumber pengetahuan, validitas ilmu, serta cara-cara
mendapatkan dan mengamalkan setiap ilmu itu dengan benar. Sebelum mengupas tuntas
masalah yang terkait dengan prinsip-prinsip epistemologi Islam dan Barat, terlebih dahulu
akan dibahas mengenai epistemologi itu sendiri sebagai bagian dari cabang filsafat. Sehingga
diharapkan akan mendapatkan pemahaman yang holistik. Sebagaimana yang telah dikatakan
oleh para ahli ilmu bahwa seseorang tidak akan memahami sesuatu hal yang spesifik, jika
belum mamahami sesuatu yang bersifat umum. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan
diurai mengenai definisi, objek, tujuan, landasan, metode/metodologi, hakikat dan pengaruh
epistemologi.

A. EPISTEMOLOGI
1. Definisi
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat,
yang sering dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi. Ketiga sub sistem ini biasanya
disebutkan secara berurutan mulai dari ontologi, epistemologi kemudian aksiologi. Dengan
gambaran sederhana dapat dikatakan bahwa; ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu
dicari cara-cara memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang
memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
Keterkaitan ini membuktikan betapa sulitnya untuk menyatakan salah satu yang lebih
penting dari yang lain, karena ketiga sub ini memiliki fungsi masing-masing yang berurutan
dalam mekanisme pemikiran.12[12] Namun apabila kita membahas lebih jauh mengenai
epistemologi, kita akan menemukan betapa pentingnya epistemologi. Seperti yang
diungkapkan pada salam pembuka sebuah jurnal ilmiah ‘Islamia’ kaitannya dengan
pemikiran (hasil dari suatu aktifitas berfikir) bahwa:13[13]
”problem utama yang sangat mendasar dalam wacana pemikiran Islam yang kini tengah
berkembang terletak pada epistemologi.”

Demikian halnya, ketika kita membicarakan epistemologi berarti kita sedang


menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan
pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedaan yang signifikan bahwa aktivitas
berfikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan
kreatifitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami
seluk beluk epistemologi secara sistematis, yang di mulai dari defenisi, objek, tujuan,
landasan, metode, hakikat dan pengaruh epistemologi.14[14]
Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854.15[15]
Sebagai sub filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian
yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini, cukup menjadi perhatian para ahli,
tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengungkapkannya. Sehingga
didapat pengertian yang berbeda-beda, bukan saja pada redaksinya melainkan juga pada
subtansi persoalan, yang menjadi sentral dalam memahami pengertian suatu konsep.
Pembahasan konsep harus diawali dengan memperkenalkan definisi (pengertian)
secara teknis, guna menangkap subtansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut.
Sebagaimana Mujamil Qomar mengungkapkan bahwa:16[16]
“ pemahaman terhadap subtansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi
pembahasan-pembahasan selanjutnya yang sedang dibahas dan suatu konsep itu biasanya
terkandung dalam defenisi (pengertian).”
Ada beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli yang dapat dijadikan sebagai
pijakan dalam memahami, apa sebenarnya epistemologi itu. P. Hardono Hadi menyatakan,
epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan
skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.17[17] D.W. Hamlyn mendefenisikan,
epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya, serta secara umum dapat
diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.18[18]
Dagobert D. Runes meyatakan, epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas
sumber, struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan.19[19] Azyumardi Azra
menyatakan, epistemologi sebagai Ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian,
struktur, metode, validitas ilmu pengetahuan.20[20] Adnin Armas menyatakan,
epistemologi sebagai cabang filsafat yang membahas proses/cara mendapat ilmu, sumber-
sumber ilmu dan klasifikasi ilmu, teori tentang kebenaran, dan hal-hal lain yang terkait
dengan filsafat ilmu.21[21]
Amsal Bakhtiar menyatakan, epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya,
serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.22[22] Dari
beberapa pengertian yang telah dipaparkan di atas, setidaknya dapat memberikan pemahaman
terhadap, apa sebenarnya epistemologi itu?.
Selanjutnya pengertian epistemologi yang lebih jelas dan mudah dipahami, ditinjau
dari etimologi dan terminologinya. Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa yunani
“episteme”, yang berarti ilmu, dan “logos” berarti ilmu sistematika atau teori, uraian, dan
alasan. Jadi epistemologi adalah teori tentang ilmu yang membahas ilmu dan bagaimana
memperolehnya, kemudian membahasnya secara mendalam (subtantif).23[23] Kendati ada
sedikit perbedaan dari pengertian-pengertian sebelumnya, tetapi pengertian ini telah
menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.

2. Objek Dan Tujuan


Dalam kehidupan masyarakat, tidak jarang pemahaman objek dan tujuan sering
disamakan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat,
sebenarnya objek berbeda dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran, sedang tujuan sama
dengan harapan. Adapun objek dan tujuan epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri
berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.”
proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan
sekaligus mengantarkan tercapainya tujuan.24[24]
Selanjutnya yang menjadi tujuan epistemologi menurut Jacques Martain “tujuan
epistemologi bukanlah hal utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi
untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.” Hal ini menunjukkan,
bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak
bisa dihindari, tapi yang lebih penting adalah potensi untuk memperoleh pengetahuan.25[25]

3. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan,
yang dijadikan sebagai tempat berpijak. Bangunan pengetahuan akan menjadi mapan, jika
memiliki landasan yang kokoh. Bangunan pengetahuan seperti bangunan rumah, sedangkan
landasannya adalah fundamennya, rumah tidak akan kokoh dan bertahan lama apabila tidak
didasari dengan fundamen yang kokoh pula. .Demikian juga dengan epistemologi, akan
sangat dipengaruhi oleh landasannya.
Landasan epistemologi ilmu sering di sebut juga metode ilmiah, yaitu cara yang
dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Jadi ilmu pengetahuan didapatkan
melalui metode ilmiah, tapi tidak semua ilmu disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun dikatakan
juga oleh Mujamil Qomar bahwa “metode ilmiah adalah gabungan antara metode induktif
dan deduktif atau “Perkawinan” antara rasionalisme dengan empirisme.”26[26]
Sehingga apabila ditinjau dari cara berfikir manusia, terdapat dua pola dalam
memperoleh pengetahuan, yaitu berfikir secara rasional yang mengembangkan paham
rasionalisme dan berpikir berdasarkan fakta yang mengembangkan paham empirisme.27[27]
Jadi landasan yang utama adalah mampu mengembangkan ilmu yang memiliki kerangkan
penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mencerminkan kenyataan yang sebenarnya.
Sehingga dengan pemaduan metode induktif dan deduktif ini, dapat mengatasi masing-
masing kelemahan metode tersebut.
Akan tetapi, hal yang sangat mendasar berkaitan dengan landasan epistemologi itu
sendiri terletak pada worldview (pandangan hidup). Sebab, epistemologi dan worldview
keduanya berada dan bekerja dalam pikiran manusia.28[28] Oleh karenanya, epistemologi
dan worldview mempunyai hubungan yang sangat erat kaitannya. Ia bahkan dapat
digambarkan sebagai lingkaran setan (vicious circle), dimana yang satu dapat mempengaruhi
yang lain. Jadi, bukan sekedar persoalan rasonalisme-empirisme atau deduktif-induktif saja,
jauh lebih mendasar lagi tentang hal yang mendasari terhadap pola berfikir di dalam
memperoleh pengetahuan tersebut baik secara rasional-empiris ataupun deduktif-induktif. Di
sinilah kemudian yang akan menunjukkan bahwa ilmu adalah merupakan hasil dari produk
suatu pandangan hidup yang tidak serta merta bebas nilai, namun sarat akan nilai.29[29]

4. Metode Dan Metodologi


Selanjutnya perlu ditelusuri dimana posisi metode dan metodologi dalam konteks
epistemologi untuk mengetahui kaitan-kaitannya antara metode, metodologi, dan
epistemologi. Dalam dunia keilmuan ada upaya ilmiah yang disebut metode, yaitu cara kerja
untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang dikaji.30[30] Lebih jauh lagi Perter
R. Senn mengemukakan ,”metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu,
yang mempunyai langkah-langkah sistematis.” Sedangkan metodologi merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peaturan metode tersebut. Secara sederhana
metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara
mengetahui sesuatu.31[31]
Oleh karena itu dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural teoritis antara
epistemologi, metodologi, dan metode, sebagai berikut: dari epistemologi, dilanjutkan dengan
merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau tehnik.32[32]
Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa
dipisahkan dari filsafat.33[33] Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi
mencakup bahasan metodologi, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Dalam
filsafat, istilah metodologi berkaitan dengan paraktek epistemologi, lebih jelas lagi bahwa
seseorang yang sedang mengembangkan penggunaan dan penerapan metode untuk
memperoleh pengetahuan, maka dia harus mengacu pada metodologi. Metodologi inilah yang
memberikan penjelasan-penjelasan konseptual dan teoritis terhadap metode.
Dengan demikian, harus disadari bahwa metodologi adalah masalah yang sangat
penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu. Sejarah membuktikan bahwa semua ilmu tumbuh
melalui metodologi baik ilmu sosiologi, ekonomi, antropologi dan sebaginya. Metodologi
memiliki misi memecahkan persoalan-persoalan yang diajukan berdasarkan temuan-temuan
baru, guna akumulasi pengetahuan, baik mengenai “dunia alam” maupun “dunia sosial”.
Metodologi senantiasa menemukan temuan-temuan baru untuk mewujudkan dinamika ilmu
pengetahuan. Hasil temuan baru ini dilaporkan dan dikomunikasikan sehingga terbuka untuk
diketahui dan diuji oleh siapapun.34[34]

5. Hakikat Epistemologi
Pembahasan mengenai hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena kita tidak dapat
menangkapnya kecuali melalui ciri-cirinya. Secara filsafati, epistemologi adalah ilmu untuk
mencari hakikat dan kebenaran ilmu; secara metode, berorientasi untuk mengantar manusia
dalam memperoleh ilmu, dan secara sistem berusaha menjelaskan realitas ilmu dalam sebuah
hierarki yang sistematis.35[35] Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan,
membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasi sumber-sumbernya dan
menetapkan batas-batasnya.” Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui”
adalah masalah-masalah sentral epistemologi. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Jujun S.
Suriasumantri, bahwa “persoalan yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada
dasarnya ...”.36[36]
Epistemologi adalah problem mendasar dalam wacana pemikiran, dan sekaligus
merupakan parameter yang bisa memetakan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin
menurut bidang-bidangnya. Dengan demikian epistemologi bisa dijadikan penyaring atau
filter terhadap objek-objek pengetahuan dan bisa juga menentukan cara dan arah berfikir
manusia. Jadi pada hakikatnya epistemologi merupakan gabungan antara barfikir rasional dan
berfikir secara empiris. Kedua cara berfikir tersebut dalam mempelajari gejala alam dalam
menemukan kebenaran, sebab secara epistemologis ilmu memanfaatkan dua kemampuan
manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera.37[37]
Oleh sebab itulah epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan38[38]
bahwa kita mengetahui kenyataan yang lain dari diri sendiri . Jadi hakikat epitemologi
terletak pada metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme atau deduktif dengan
induktif),39[39] dengan kata lain hakikat epistemologi bertumpu pada landasannya, karena
lebih mecerminkan esensi dari epistemologi.40[40] Dari pemahaman ini memperkuat bahwa
epistemologi itu rumit, sebagaimana diungkapkan oleh Stanley M. Honer dan Thomas C.
Hunt bahwa “epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi.”

6. Pengaruh Epistemologi
Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori
pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur
yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Secara global epistemologi
berpengaruh terhadap peradaban manusia, karena tidak mungkin satu peradaban akan bangkit
tanpa didahului oleh tradisi ilmu. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari
ilmu filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologilah yang menentukan kemajuan
sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung
oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi.41[41]
Tidak ada bangsa yang merekayasa fenomena alam, sehingga mencapai kemajuan
sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi
modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam
menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya
yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak
lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan
epistemologi.42[42] Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi
kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin,
melainkan mutlak untuk dikuasai. Namun sayang sekali, sarjana-sarjana kontemporer, baik
yang modernis maupun tradisionalis tampaknya mengesampingkan peranan kunci yang bisa
dimainkan oleh epistemologi dalam membangun masyarakat. Epistemologi membekali
seseorang yang menguasainya untuk menjadi produsen, baik dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, bisnis, maupun secara umum, peradaban.43[43] Jadi, pengaruh
epistemologi terhadap perkembangan kemajuan sebuah bangsa atau peradaban sangatlah
menentukan, sebab tidak ada suatu bangsa atau peradaban besar manapun, di dunia ini yang
maju tanpa didahului oleh tradisi ilmu, tak terkecuali peradaban Islam.

B. EPISTEMOLOGI BARAT
Barat sekarang ini telah mencapai kemajuan yang begitu pesat, berbagai belahan
dunia merasa tertarik menjadikan Barat sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Barat dianggap mampu menyajikan bebagai temuan baru secara
dinamis dan varian, sehingga memberikan sumbangan yang besar terhadap sains dan
teknologi modern. Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan saja dari segi wilayahnya,
melainkan disamping sains dan teknologi, juga sampai pada persoalan gaya hidup, gaya
berpakaian dan sebagainya.44[44]
“Kunci rahasia” yang perlu diungkap adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan
oleh pendekatan sains dan epistemologinya. Epistemologi yang dikuasai oleh ilmuwan Barat
benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan
teknologi. Tradisi untuk menawarkan teori-teori ilmiah yang dibangun berdasarkan penalaran
dan pengamatan tampak begitu subur dikalangan mereka sehingga menghasilkan temuan baru
yang silih berganti, baik bersifat menyempurnakan temuan yang lama, temuan baru, bahkan
menentang temuan lama sama sekali.
Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan Barat itu selanjutnya mempengaruhi
pemikiran ilmuwan di seluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan
teknologi mereka. Epistemologi itu dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran para
ilmuwan di masing-masing Negara, sehingga secara praktis mereka terbaratkan; pola
pikirnya, pijakan berfikirnya, metode berfikirnya, caranya mempersepsi terhadap pengetahun,
dan sebagainya, mengikuti gaya Barat, baik sadar maupun tidak disadari.
Oleh karena sangat dominannya epistemologi Barat ini, maka masyarakat muslim dan
seluruh penduduk dunia ini dibentuk oleh pemikiran manusia Barat. Dalam waktu yang
bersamaan mereka tidak lagi mau mempertimbangkan epistemologi versi lain, dalam mencari
pengetahuan. Epistemologi versi lain dianggap tidak berkualitas dan belum teruji
keandalannya dalam memberikan jawaban-jawaban, yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.45[45]
Pada bahasan berikut ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai akar dari tradisi
ilmu Barat secara historis, sehingga dapat diketahui dan dipahami asal usul dari kebudayaan
dan peradaban Barat yang dibangun di atas kemajuan sains dan teknologi. Selanjutnya dari
pengetahuan akan tradisi ilmu Barat tersebut, dapat pula diketahui bangunan dari
epistemologi Barat serta prinsip-prinsip yang mendasarinya sebagai pangkal pengembangan
sains dan teknologi.
1. Tradisi Ilmu Barat
Memaknai Barat tidak lagi relevan jika dilihat dari perspektif geografis, yang
menunjukkan suatu entitas wilayah, daerah atau kawasan yang berada di belahan bumi bagian
Barat. Sebab, Barat saat ini berada dalam sebuah struktur konseptual pandangan hidup yang
membawa makna yang kompleks dan terkadang kontroversial.46[46] Saat ini barat bermakna
alam pikiran dan pandangan hidup dari suatu kebudayaan dan peradaban. Jadi dari kaca mata
peradaban, Barat adalah peradaban yang dibentuk dan dibangun oleh pandangan hidupnya
sendiri (Worldview).47[47]
Sebuah kebudayaan atau peradaban memiliki sejarahnya sendiri-sendiri untuk bangkit
dan berkembang. Pada umumnya sarjana Barat membagi sejarah Barat menjadi zaman kuno,
zaman pertengahan, dan zaman modern. Para sejarawan Barat berbeda pendapat mengenai
asal usul kebudayaan mereka. Perbedaan itu meruncing ketika sejarawan berpegang pada
ilmu sebagai akar kebudayaan. Artinya sebuah kebudayaan atau peradaban akan lahir dan
berkembang seiring dengan perkembangan konsep-konsep keilmuan didalamnya. Sebab
faktor keilmuan inilah sebenarnya yang melahirkan aktivitas sosial, politik, ekonomi dan
aktivitas kultural lainnya.
Akan tetapi secara historis Barat adalah merupakan suatu peradaban yang
dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa dari peradaban Yunani kuno yang dikawinkan
dengan peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa
Eropa terutamanya Jerman, Inggris dan perancis. Prinsip-prinsip rmengenai ketatanegaraan
diambil dari Romawi, sementara Agama Kristen yang berasal dari Asia Barat disesuaikan
dengan budaya Barat.48[48]
Ilmu di Barat tidak lahir dari pandangan hidup (worldview) Agama tertentu, sebab
hubungan Agama dan sains di Barat memang problematik.49[49] Setidaknya ada tiga faktor
penting yang membuat Barat jauh dari nilai-nilai Agama. Pertama, trauma sejarah, khusunya
yang berhubungan dengan Agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan
sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang
mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium
Romawi Barat runtuh pada 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi
dominan, dalam masyarakat Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman reneissance
sekitar abad ke 14.50[50] Besarnya kekuasaan Gereja melahirkan penyimpangan dan
penindasan brutal terhadap non Kristen dan kelompok-kelompok yang dianggap kafir.
Bentuk kekejaman yang dilakukan oleh pihak Gereja diungkapkan oleh Peter De
Rosa51[51] “betapapun, inquisisi tersebut bukan jahat saat dibandingkan nilai-nilali abad 20.
Tetapi ini juga jahat dibandingkan degan nilai-nilai abad ke-10 dan ke-11,
.......................................................................................................................................” Hal
inilah yang menjadikan barat menjadi trauma terhadap Agama.
Kedua, problem teks Bible. Ada sebagian kalangan yang mencoba menyamakan
antara Al Qur’an dan Bible dengan menyatakan, bahwa semuanya adalah kitab suci dan
semuanya mukjizat. Padahal ilmuan Barat yang jeli bisa membedakan antara kedua kitab
agama itu. Teks al Qur’an tidak mengalami problema sebagaimana teks Bible. Di dalam
Bible terdapat problema yang hingga saat ini masih menjadi mesteri. Richard Elliot Freidman
dalam bukunya, Who wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya
menulis kitab ini masih merupakan misteri dan banyak kontradiksi di dalamnya.52[52]
Ketiga, problem teologi Kristen. Inti seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat
berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi suatu problem pemikiran
ilmuwan Barat yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia.
Sehingga teori ilmu yang berkembang di Barat termanifestasikan dalam berbagai
aliran seperti rasionalisme, empirisisme, skeptisisme, agnotisisme, positivisme, objektifisme,
subjektifisme, dan relativisme.53[53] Aliran-aliran semacam ini berimplikasi sangat serius
dalam; Pertama, menegasikan dan memutuskan relasi manusia dengan alam metafisik,
mengosongkan kehidupannya dari unsur-unsur dan nilai transenden serta mempertuhankan
manusia. Kedua, melahirkan dualisme, manusia terjebak pada dua hal yang dikotomis dan tak
dapat dipersatukan, antara dunia-akhirat, Agama-sains, tekstual-kontekstual, akal-wahyu, dan
seterusnya. Ini mengakibatkan manusia yang tebelah jiwanya (split personality).54[54]

2. Pendekatan Keilmuan Barat


Pemaparan mengenai epistemologi Barat menujukkan konsep ilmu dalam peradaban
Barat hampa dari Agama. Ilmu yang kosong dari Agama (ilmu sekular) merupakan fondasi
utama dari peradaban Barat saat ini. Dengan berdasarkan uraian di atas bahwa epistemologi
Barat berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis
tanpa didasarkan pada wahyu. Yang mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan
nilai-nilai spiritual dan akhirnya seperti yang disimpulakan oleh al Attas epistemologi Barat
tidak dapat mencapai kebenaran, apalagi hakekat kebenaran itu sendiri.
Kazuo Shimogaki menyebutkan kecendrungan epistemologi Barat modern menjadi
lima macam, yaitu pemisahan antara bidang sakral dan bidang duniawi, kecendrungan ke
arah reduksionisme, pemisahan antara subjektivitas dan objektivitas, antroposentrisme, dan
progresivisme. Sedangkan Ziauddin Sardar menyatakan, adanya perbedaan antara yang
subjektif dan objektif, antara pengamat dan dunia luar (yang diamati), antara keadaan-
keadaan subjektif serta emosi dan “realitas” yang terdapat di luar pengamat, yakni realitas
yang hanya dapat diketahui melalui observasi dan penalaran, maka dapat disebutkan bahwa
pendekatan epistemologi Barat itu adalah skeptis, rasional-empiris, dikotomik, posotivis-
objektivis, dan menentang dimensi spiritual (antimetafisika).

3. Tokoh Pemikir Barat


Paul Johnson, jurnalis dan sejarawan Kristen konservatif dalam bukunya Intellectuals
telah membongkar perilaku menyimpang para pemikir besar Barat sebagai produk dari
epistemologi Barat yang hampa dari agama dan moralitas. Adalah Ernest Hemingway
seorang sastrawan yang memeiliki daya serap publik lebih besar dengan karyanya yang
bertumpuk-tumpuk, mulai dari Three Stories & Ten Poems karya pertamanya yang banyak
penerbit menolaknya sampai akhirnya Old Man and The Sea karyanya yang fenomenal dan
karya terakhirnya True At First Light yang lahir di tahun yang sama dengan kematiannya,
1999.55[55]
Jutaan orang telah menjadikannya idola, penganut dan pengikutnya. Namun di balik
ketenarannya tersebut tersimpan suatu perilaku kedustaan/kebohongan, sikap ateis dalam diri
Hamingway. Paul Johnson mendeskripsikan kemampuan Ernest Hemingway dalam
berbohong dengan kalimat yang indah. “He thought, and sometimes boasted, that lying was
part of his training as a writer. He lied both conciously and without thinking”. Sedangkan
menurut kesaksian dari istrinya Hadley sebagaimana yang dikutip Johnson bahwa seumur
hidupnya sang sastrawan hanya dua kali ia temui berlutut di depan altar. Pertama, saat
mereka menikah. Dan yang kedua, sekaligus yang terakhir, saat anak mereka dibaptis di
dalam gereja.
Jean Jacques Rousseau yang diberi julukan sebagai An Interesting Madman dalam
kurun waktu 200 tahun terakhir, menjadi nama besar yang mempengaruhi semua teori
pemikiran sekuler dan intelektual modern. Bahkan tidak lepas dari kehidupan berbangsa dan
bernegara, sebab teori-teori kenegaraan modern, banyak yang lahir dari pemikirannya.
Seperti teori perwakilan politik yang saat ini hampir menjadi model negara di seluruh dunia,
bisa dilacak dalam jejak pemikirannya dalam bukunya, Du Contrack Sociale.
Tapi siapa sangka, Rousseau adalah laki-laki gila dalam definisi yang sebenarnya
menurut Paul Johnson. Ia laki-laki yang begitu mencintai dirinya, lebih dari apapun. Dalam
bahasanya senidiri Rousseau menyebut dirinya amour de soi, natural selfishness. Saking
cintanya pada diri sendiri, ia bahkan tak peduli dan membuang semua anak-anaknya ke
foundling home, sebutan untuk sebuah rumah penampungan anak-anak yang tidak diketahui
orang tuanya. Ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai luhur, juga tentang anak-anak,
yang ia tulis dalam sebuah buku yang telah menjadi teks klasik, Emile.
Jadi, apa sebenarnya arti intelektual bagi dunia modern, jika para pencetus dan peletak
pondasi intelektual, menjadi orang-orang pertama yang mengingkari pemikirannya sendiri ?
Bukankah hasil dari pemikiran dan out put dari intelektual adalah proses perbaikan perilaku
dan moral ? Apakah mungkin dipisahkan antara konsepsi ideal sebuah pemikiran dengan tata
cara hidup para pemikirannya ? Jika demikian, benarlah pepatah tua yang mengatakan hidup
ini hanya panggung opera besar yang tak pernah habis ceritanya. Tal layaknya seperti
panggung, para pemain kerap kali memiliki peran ganda, bahkan mungkin lebih, dalam
hidupnya. Dan masing-masing saling membantah peran lainnya.
Selain nama-nama di atas, masih ada banyak lagi nama besar dalam dunia intelektual
yang dikupas tuntas oleh Paul Johnson di antaranya adalah Bertrand Russel yang konon
membenci peperangan tapi begitu gandrung memaksakan kehendaknya pada orang lain dan
sangat benci pada Tuhan. Tolstoy yang dikatakan di dalam sebuah artikel yang diberi judul
oleh penulisnya, God’s Elder Brother. Bahwa Tolstoy adalah saudara tua Tuhan yang lebih
mengerti tentang Tuhan dari pada Tuhan itu sendiri, tapi ia orang yang gagal membina rumah
tangga yang wajar.
Penyebab utama dari hal tersebut adalah epistemologi Barat yang berangkat dari
praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan pada
wahyu. Yang mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual dan
akhirnya seperti yang disimpulakan oleh al Attas epistemologi Barat tidak dapat mencapai
kebenaran, apalagi hakekat kebenaran itu sendiri. Yang kemudian melahirkan ilmuwan-
ilmuwan yang tak bermoral, skeptis dan atheis.

C. EPISTEMOLOGI ISLAM
Pembahasan epistemologi Islam sangat penting untuk dibahas, sebab problem
mendasar dalam pemikiran Islam terletak pada epistemologinya.56[56] Gagasan epistemologi
Islam itu brtujuan untuk memberikan ruang gerak bagi umat muslim pada khususnya, agar
bisa keluar dari belenggu pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
berdasarkan epistemologi Barat. Dikalangan pemikir muslim menawarkan “segala sesuatu”
berdasarkan epistemologi Islam. Di dalam Islam epistemologi berkaitan erat dengan
metafisika dasar Islam yang terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadist, akal, dan
intuisi.57[57]
Kalaulah disepakati, bahwa peradaban Islam dalam sejarahnya bangun dan tegak
brbasiskan ilmu pengetahuan, maka membangun kembali peradaban Islam yang sedang
nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan tersebut.
Ilmu dalam Islam adalah persyaratan untuk menguasai dunia dan akhirat. Menegakkan
bangunan ilmu maksudnya tidak lain adalah untuk mengarahkan kembali pemikiran atau pola
pikir manusianya agar sejalan dengan prinsip-prisip ilmu pengetahuan dalam Islam.58[58]
Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan Islam adalah wahyu Tuhan ditempatkan di
atas rasio. Wahyu memperoleh kedudukan yang paling tinggi dalam upaya mengembangkan
ilmu pengetahuan Islam, sehingga wahyu dijadikan sebagai sumbet kebenaran mutlak suatu
kebenaran. Jadi rusaknya keberagamaan umat Islam lebih karena rusaknya pemikiran dan
hancurnya peradaban Islam karena hancurnya bangunan ilmu pengetahuan.

1. Tradisi Ilmu Islam


Pada 1400 tahun atau 14 abad yang lampau, telah lahir seorang Maha Guru, guru dari
sekalian manusia, yang membawa manusia dari lembah kegelapan, kenistaan menuju suatu
puncak kegemilangan yang penuh dengan cahaya keridhaan. Adalah Muhammad bin
Abdillah dilahirkan di kawasan padang pasir, tandus dan gersang, jauh dari peradaban kala
itu: Persia dan Romawi. Pada usia 40 tahun Muhammad diangkat menjadi Nabi sekaligus
Rasul. Tugas baru yang diembankan kepadanya dari Tuhannya itu bukanlah tugas yang
ringan, namun sebuah tugas yang amat sangat berat. Tugas itu adalah menyampaikan risalah
tauhid kepada seluruh ummat manusia di penjuru dunia.
Dalam waktu ± 23 tahun, setelah mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan
sepanjang dakwah risalah, Nabi Muhammad telah mampu membangun suatu tatanan
kehidupan di mana siapa saja yang berteduh di bawahnya akan merasakan kesejukannya. Hal
itu ditandai dengan lahirnya sebuah kota yaitu Madinah Al Munawwarah, kota yang
tercerahkan. Kemudian Kota tersebut bermetamorfosis, menjelma menjadi suatu negara
(state) atau peradaban (civilization).
Menurut Ibnu Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi
tiga elemen penting antara lain 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan
sains dan teknologi, 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer,
dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup.59[59] Ketiga elemen tersebut telah mewujud di
Madinah kala itu. Berdasarkan teori Ibnul Khaldun tersebut Madinah sudah bisa dikatan
sebagai sebuah peradaban. Dari Madinah-lah kebangkitan Peradaban Islam berawal dan
berkembang.
Peradaban Islam di mulai dengan tradisi ilmu atau tafaqquh fid din secara terus
menerus. Mulai dari turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. proses interaksi dan
ideasi antar individu dan masyarakat senantiasa didasarkan pada wahyu. Ini bukti bahwa ilmu
tidak hanya dalam pikiran semata akan tetapi mewujud dalam sebuah aktifitas, baik berupa
amal infiradi maupun amal jama’i. Dari sinilah lahir komunitas ilmiah yang mana oleh
sebagian ahli sejarah disebut Ahlus Suffah.60[60]
Di lembaga pendidikan pertama inilah kandungan wahyu dan hadist-hadist Nabi
dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif.61[61] Meski materinya masih sederhana
tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks.
Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang
menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan
kebudayaan Barat (the cradle of western civilization).62[62]
Hasil dari kegiatan ini memunculkan alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadist
Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dhar Al Ghifari, Salman Al Farisy, Abdullah ibn Mas’ud
dan lain-lain. Ribuan hadist telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.63[63] Kegiatan
pengkajian wahyu dan hadist kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk
lain.
Tidak lebih dari dua abad lamanya, telah muncul ilmuan-ilmuan terkenal dalam
berbagai bidang studi keagamaan, seperti Qadi Surayh (w.80 H/699 M), Muhammad ibn al
Hanafiyah (w.81 H/700 M), Umar ibn Abdul Aziz (w.102 H/720 M), Wahb ibn Munabih (w.
110,114 H/719,723 M), Hasan al Basri (w.110 H/728 M), Ja’far al Shadiq (w. 148/765), Abu
Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (w.182/799), al Syafi’i
(w.204/819), dan lain-lain.64[64]
Islam adalah sebuah peradaban yang memadukan aspek dunia dan aspek akhirat,
aspek jiwa dan aspek raga. Ia bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula
peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda
dengan tradisi ilmu pada masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam
kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuan yang dzalim dan jahat harus
dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan
kebenarannya. Sebab ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh
sahabat-sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar, ’Utsman, Ali (radhiyallahu ’anhum) dan
lain-lain.65[65]
Ilmu dalam Islam mengantarkan seseorang untuk mengenal Allah Swt. Untuk
mengenal-Nya manusia memerlukan sarana-sarana yang menuju kepada pengenalan dzat-
Nya yang Maha Abadi. Salah satunya adalah beriman kepada Rasulullah Saw sebagai Nabi
dan Utusan-Nya. Karena tanpanya manusia tidak mampu meraih pengetahuan akan Allah.
Meskipun manusia dilengkapi dengan potensi akal, namun dalam hal mengenal Tuhan ia
membutuhkan petunjuk, sebab akal tidak dapat menjangkau hal yang metafisik. Maka, Allah
melalui lisan Rasul-Nya memberikan petunjuk seperangkat tatacara untuk sampai kepada-
Nya. Jadi ilmu dalam Islam senantiasa berdimensi Iman dan Ihsan. Ilmu dalam Islam
berpijak kepada wahyu Allah Swt sebagai sumber ilmu yang absolute.
Tradisi keilmuan tersebut kemudian berlanjut dari generasi ke generasi, dari abad ke
abad dan mengalami puncak perkembangan dan keemasannya antara abad ke-7 M sampai
pada abad ke-12 M. Pada saat itu telah lahir intelektual-intelektual muslim di bidang sains
dan teknologi, seperti Al Khawarizmi, ’Bapak Matematika’ Muslim (w. 780 M) yang
namanya dikenal di dunia Barat dengan Algorizm, Ibnu Sina ’Bapak Kedokteran Muslim’
yang dikenal dengan sebutan Aviecena. Ibnu Sina sebelum meninggal telah menulis kitab
sejumlah kurang lebih 276 karya. Karyanya yang sangat monumental al Qonun fi al Tibb
telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin di Toledo, Spanyol pada abad ke-12. Buku ini juga
telah dijadikan rujukan utama di universitas-universitas Eropa sampai abad ke-17.66[66]

2. Pendekatan Keilmuan Islam


Konstruk epistemologi Islam dibangun di atas landasan wahyu, sehingga bersifat
tawhidy. Konsep ketuhanan menjadi sentral utama dari pembahasan epistemologi Islam.
Dengan kata lain, dalam Islam, epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar
Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan intuisi.
Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh) terhadap
wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen (thawabit) dan dinamis
(mutaghayyirat), pasti (muhkamat) dan samar-samar (mutashabih), yang asasi (usul) dan
yang tidak (furu’).67[67]
Oleh sebab itu pemahaman terhadap wahyu tidak dapat dilihat secara dikhotomis:
historis-normatif, tekstual-kontekstual, subyektif-obyektif dan lain-lain. Wahyu, pertama-
tama harus difahami sebagai realitas bangunan konsep yang membawa pandangan hidup
baru. Realitas bangunan konsep ini kemudian harus dijelaskan dan ditafsirkan agar dapat
dipergunakan untuk memahami dan menjelaskan realitas alam semesta dan kehidupan ini.
Karena bangunan konsep dalam wahyu yang membentuk worldview itu sarat dengan prinsip-
prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan bagian terpenting di dalamnya.
Proses terbentuknya epsitemologi Islam terlebih dahulu di awali dengan proses
terbentuknya worldview Islam. Worldview terbentuk dari adanya akumulasi pengetahuan
dalam fikiran seseorang, baik a priori maupun a posteriori, konsep-konsep serta sikap mental
yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya. Menurut Wall akumulasi
pengetahuan yang disebut epistemological beliefs sangat berpengaruh terhadap pembentukan
worldview seseorang, namun yang sangat menentukan tebentuknya worldview baginya
adalah metaphysical belief.
Epistemologi Islam lahir dari pandangan hidup Islam itu sendiri, sebab di dalam
lapisan worldview terdapat conceptual framework (kerangka kerja konseptual) , sehingga
pendekatan-pendekatannya pun berdasar kepada pandangan hidupnya yang bertumpu kepada
metaphysical belief. Konsep ketauhidan menjadi framework di dalam mengkaji dan
memahami wahyu dan realitas alam semesta ini. Adapun framework menurut Alparslan,
tidak hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan metodologis.
Artinya, bagaimana data dan fakta itu dipahami. Dalam Islam realitas (haqiqah) data
dan fakta (afaq) sebagai objek kajian harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia
(anfus), sebagai subjek yang mikrokosmis tersebut. Karena itu realitas alam pikiran (afaq)
Muslim bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika diderivasi
dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu produk spekulasi rasional, bukan
pula berasal dari data yang empiris atau intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan
mendapat pancaran dari wahyu. Jadi pendekatan dalam epistemologi Islam bersifat integral
(tawhidy) dan holistik. Keselarasan antara subjek-objek, teks-konteks, normatif-historis, dan
tidak mengenal dikotomi dan juga tidak bersifat spekulatif akal semata.

3. Tokoh Pemikir Islam


Dalam Islam, seorang yang memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, serta
kesalehan pribadi yang tinggi mendapatkan predikat kehormatan yang berkualitas super atau
bisa dikatakan super excellent di sisi manusia dan di sisi Tuhannya yang Maha Menciptkan.
Pribadi tersebut diistilahkan dengan ‘Ulama’. Seorang tidaklah dikatakan orang yang pandai
jikalau ia belum mengamalkan ilmunya. Artinya tidak tercermin dalam setiap kepribadiannya
sebagai seorang yang ahli ilmu.
Adalah Malik bin Anas (180 H/796 M), seorang ulama ahli hadist periode awal yang
menetap di Madinah. Sufyan bin Uyaynah menyebut Imam Malik sayyid al muslimun, sayyid
ahl madinah. Ia juga mengibaratkan Imam Malik sebagai lampu penerang, hujjah di
masanya. Ketika Malik wafat ia berkata, “Tidak ada orang seperti dia, tidak tertinggal di
bumi ini orang seperti dia”. Imam Syafi’i mengatakan, “Apabila kamu menerima athar dari
Malik maka pegangilah kuat. “Ini menunjukkan kualitas pribadi dan intelektual Imam
Malik”.
Kualitas intelektual dan pribadi Malik menjadikannya Imam yang diikuti oleh
umatnya, maka dikemudian hari dikenallah dalam dunia Islam sebuah madzhab yang
disandarkan kepada Imam ahl al madinah. Madzhab Maliky didasarkan pada al Qur’an,
Hadist, Ijma’, Qiyas dan tradisi masyarakat Madinah, terutama tradisi para imamnya. Ia
terkadang menolak suatu hadith yang bertentangan dengan tradisi Madinah. Selain itu,
Maliky menggunakan dasar mursalah-mursalah, misal hukum memukul tertuduh pencurian
agar ia mengaku.68[68]
Malik bin Anas adalah salah seorang dari sekian banyak Ulama yang dilahirkan dari
produk tradisi ilmu Islam yang berlandaskan kepada pandangan hidup Islam yang berakar
pada kajian metafisika. Para Ulama sekaliber Malik bin Anas baik sebelum dan sesudahnya
merupakan bukti nyata akan kekuatan tradisi Islam semenjak kemunculannya sebagai sebuah
agama dan peradaban dalam sepanjang sejarahnya samapai detik hari ini. Epistemologi Islam
sebagai sebuah bangunan keilmuan yang menjadi pijakan utama dalam melakukan
pengembangan keilmuan telah terbukti kecanggihannya yang tidak perlu lagi diragukan,
apalagi didekonstruksi dengan digantikannya dengan epestemologi lain.

D. KESIMPULAN
Epistemologi yang juga disebut dengan Teori Ilmu menempati ruang yang sangat
urgen di dalam pengembangan kemajuan sebuah kebudayaan bangsa atau peradaban. Setiap
peradaban dibangun oleh epistemologinya masing-masing dengan berdasarkan kepada
pandangan hidup (worldview) dari peradaban tersebut. Sebab, epistemologi berkaitan erat
dengan worldview. Jadi, setiap peradaban memiliki epistemologi yang berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya, tak terkecuali antara epistemologi Islam dan Barat. Yang tentunya
juga secara spesifik memiliki prinsip-prinsip yang berbeda pula.
Adapun prinsip-prinsip dari keduanya dapat dibedakan dari beberapa aspek yang
mana dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Epistemologi Islam Epistemologi Barat
1. Didasarkan kepada kejian metafisika 1. Didasarkan kepada praduga-praduga
2. Sumber kepada wahyu, akal sehat, 2. Sumber hanya kepada akal (rasio) dan
panca indra dan intuisi data/fakta empiris
3. Pendekatannya bersifat tawhidy 3. Pendekatannya bersifat dikothomi
4. Objeknya fisik dan sekaligus 4. Objeknya fisik, observable & penalaran
metafisik
5. Ilmu syarat dengan nilai (value full) 5. Ilmu bebas nilai (free value)
6. Validitas kebenaran konteks (data & 6. Validitas kebenarannya hanya bertumpu
fakta) diselaraskan dengan teks (wahyu) kepada rasio-empiris
7. Berorientasi dunia dan akherat 7. Berorientasi kepada dunia semata

Dari sini dapatlah dipahami akan perbedaan dari keduanya yang sangat jelas sebagai
konsekuensi dari perbedaan worldview masing-masing sebagai elemen yang paling mendasar
dari keduanya yaitu Islam dan Barat. Selain itu, uraian singkat dalam makalah ini juga dapat
diperoleh suatu pemahaman bahwa substansi epistemologi tidak sebagaimana yang
dinyatakan oleh para ilmuan kontemporer yang bertumpu pada metode ilmiah, akan tetapi
lebih dalam lagi yaitu epistemological belief yang terakumulasi dalam pikiran setiap orang
yang kemudian menentukan corak dari epistemologinya masing-masing.

Framework Kajian Keilmuan Islam


dan Barat
Dominasi Barat terhadap peradaban Islam telah memberi pengaruh besar terhadap
perubahan arah keilmuan. Hal tersebut bisa diamati dari sebagian besar kampus yang
cenderung mengadopsi teori dan konsep keilmuan yang dikembangkan Barat, terutama dalam
kajian Keislaman. Framework pengkajian yang kritis-ilmiah menjadi corak tersendiri yang
digunakan oleh akademisi muslim baik dalam penelitian maupun dalam diskusi. Metode
tersebut jika ditelusuri memang terilhami oleh tradisi keilmuan Barat yang cenderung
mengedepankan data empiris dan kekuatan rasio semata. Dalam hal ini, posisi wahyu tidak
mendapat tempat dalam keilmuan Barat. Bagi mereka, wahyu tidak bisa diukur secara
ilmiah, karena tidak bisa dibuktikan oleh data empiris dan rasio. Maka, tak jarang kita lihat di
Barat, agama (terutama Kristen) semakin termaginalkan dari publik. Sebab Barat memandang
agama hanya menjadi penghambat kemajuan dunia. Seperti kata Karl Marx, “agama adalah
candu”. Oleh karena itu, wajar saja Barat memandang ilmu itu bebas nilai atau netral. Ilmu
tidak bisa dikait-kaitkan dengan unsur agama dan harus dikaji dengan kebenaran objektif-
ilmiah. Persepsi ini tentu sangat bertentangan dan menyalahi worldview Islam yang
memandang agama adalah bagian yang terpenting dalam mengarahkan pengembangan
keilmuan menuju arah kemajuan. Ilmu dalam Islam tidak bebas nilai. Ia harus diikat dengan
konsep Islam yang bersifat Tauhidi. Seluruh aspek, baik itu ilmu pengetahuan, social-
kemasyarakatan, pandangan hidup, peradaban, sejarah dan seluruh yang terkandung dalam
alam ini semuanya menyatu pada satu poros yaitu Tauhid yang terikat erat dengan unsur
ilahiyyah. Makanya ilmu dalam Islam tidak bisa terlepas dari dimensi wahyu (agama).
Karena Islam adalah agama wahyu, bukan agama yang terbentuk oleh kultur social.

Islam adalah agama yang sangat fleksibel dalam memandang ilmu pengetahuan. Jika ilmu
tersebut benar dan tidak bertentangan dengan pandangan hidup Islam, islam secara terbuka
mengambilnya dan menggunakannya sekalipun ia berasal dari peradaban lain. Hal ini sangat
berbeda dari peradaban diluar Islam, terutama Barat. Mereka lebih bersikap eksklusif
(tetutup) dalam mengambil sesuatu di luar peradaban mereka. Barat sangat sulit menerima
dengan mudah kebenaran yang berada di luar mereka. Dalam sejarah Barat, peradaban Islam
tidak pernah disebutkan sebagai satunya-satunya peradaban yang memberi kontribusi besar
bagi kemajuan peradaban Barat. Karya-karya filsafat Yunani yang diterjemahkan oleh Ilmuan
Islam abad pertengahan masa dinasti Abbasiyah disimpan dalam sebuah perpustakaan besar
dengan tujuan agar generasi-generasi setelahnya dapat menjadikannya referensi untuk
kemajuan keilmuan. Namun, fakta ini tidak pernah diakui dalam sejarah keilmuan Barat dan
bahkan mereka mengedit karya-karya ulama Islam dahulu dan mengklaim teori-teorinya
milik mereka dan menyesuaikan dengan pandangan hidup Barat. Cara-cara seperti ini sangat
menyalahi etika ilmiah.

Dalam konsep Islam, ilmu pengetahuan tidak dikotomis atau sekuler. Ilmu agama dan umum
selalu terkait. Dan di sini peran wahyu dan akal berjalan beriringan dalam mengembangkan
keilmuan. Metode tersebut yang dalam pandangan Islam dikatakan Ilmiah. Kedua unsur
tersebut (baca: wahyu dan akal) sebagai alat untuk mengkaji ilmu. Wahyu sebagai referensi
akal dalam mengembangkan ilmu. Contoh demikian sudah diperagakan sejak Rasulullah Saw
dan puncaknya ketika kegemilangan Peradaban Islam di Baghdad, Andalusia, Turki Ustmani.
Ilmuan muslim yang berkiprah dalam memajukan peradaban Islam diantaranya yaitu, Ibnu
Sina, Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ar-Razi, Al-farabi, Al-Kindi, Al-Biruni, Ibn ‘Arabi,
Ibnu Rusyd, Ibnu Tufail, Ibnu Khaldun, dan banyak ilmuan Islam lainnya. Mereka
menampilkan wajah Islam yang sangat peduli terhadap Ilmu. Unsur akal dan wahyu
disinergikan dan digunakan sebagai metode ilmiah. Maka wajar mereka mumpuni dan pakar
dibanyak ranah keilmuan. Selain dibidang agama, (tafsir, hadist, fiqh, tasawuf), mereka juga
pakar dibidang ilmu pengetahuan dan sains (sejarah, matematika, fisika, kimia, astronomi,
biologi, kedokteran, musik, arsitektur dan lain sebagainya). Epistimologi keilmuan yang
dipraktikkannya tidak kaku. Tak jarang dari mereka (baca: ilmuan Muslim) juga mengambil
teori-teori keilmuan dari luar Peradaban Islam, seperti dari Yunani dan Romawi. Ini bukanlah
hal yang bertentangan. Mereka mengambilnya tidak secara keseluruhan, hanya bagian-bagian
yang penting dan teori di dalamnya yang memungkinkan tidak bertentangan dengan
pandangan hidup Islam. Kalaupun bertentangan, mereka melakukan penjaringan koseptual
terlebih dahulu untuk kemudian disesuaikan dengan worldview Islam. Metode yang terakhir
Inilah yang oleh Al-Attas disebut dengan Islamisasi Ilmu.

Oleh karena itu, Kerangka kajian dalam keilmuan Islam dan Barat jelas tidak bisa disamakan.
Apalagi mengkaji Islam dengan kacamata Barat. Ini jelas sangat keliru. Ilmuan Barat dan
Orientalis mengkaji Islam dengan metode ilmiah yang terilhami dari pandangan hidup
mereka dengan framework berifikir yang sekuler, rasionalis, empiris, anti-otoritas, relativis,
dan sebagainya. Semua itu karena memang seperti itu bangunan metodologi pengkajian ilmu
di Bara. Jika seorang muslim menggunakan metode tersebut dalam mengkaji Islam akan
sangat bermasalah dan jauh dari nilai objektif. Karena bagaimanapun setiap peradaban
memiliki konsep nilai dan pandangan hidup tersendiri. Tidak bisa dipadukan apalagi
digantikan. Keilmuan Islam terilhami dari wahyu lalu akal berperan menjabarkannya hingga
menjadi konsep keilmuan yang utuh. Dan keilmuan Barat terilhami dari akal dan wahyu tidak
memiliki tempat dalam keilmuan mereka, makanya Barat itu menjadi sekuler.

Peradaban yang kecil memang cenderung mengikuti peradaban yang besar. Inferior dan
merasa minder akan kehebatan peradaban yang besar sudah menjadi sesuatu yang biasa,
sehingga cenderung mengikuti, mengadopsi dan bahkan tunduk tanpa dipaksa. Fenomena ini
yang sekarang menjangkiti pada tubuh umat muslim, terutama cendikiawan Islam. Merasa
minder dengan identitas Islam dan bangga dengan unsur asing yang digunakan dalam seluruh
kehidupan. Framework berfikir, metdode pengkajian ilmu, sikap kritis terhadap Islam, semua
itu digunakan tanpa sikap kritis terhadap sesuatu yang diterimanya. Sikap “silau” seperti ini
muncul karena melihat kehebatan dan kemajuan Barat. maka framework keilmuan Islam
harus berlandaskan pada epistimologi Ilmu yang sesuai prinsip Islam, berdasarkan wahyu
sebagi referensi dan akal sebagai alat pengembangan. jika hal ini diabaikan dan disepelekan
dari nilai dan wahyu, ilmu tersebut akan menyimpang dari kebenaran dan akhirnya seseorang
akan terarah pikirannya mengingkari kebenaran Wahyu, Al-Qur’an dan Tuhan.

Sumber : http://www.gudangnews.info/2015/02/makalah-pendidikan-agama-islam-
tentang_12.html#ixzz51c30ZRcx

Sumber : http://www.gudangnews.info/2015/02/makalah-pendidikan-agama-islam-
tentang_12.html#ixzz51c2nbwcX

Sumber : http://www.gudangnews.info/2015/02/makalah-pendidikan-agama-islam-
tentang_12.html#ixzz51c2ZMBHi

Anda mungkin juga menyukai