Allah menyatakan :
بوِ ب ِم ۡنهُ ٰا ٰيتٌ ُّم ۡح َكمٰ تٌ ه َُّن ا ُ ُّم ۡال ِك ٰت
َ ِى ا َ ۡنزَ َل َعلَ ۡيكَ ۡال ِك ٰت
ۡۤۡ اُخ َُر ُمت َٰش ِبهٰ تٌ ََه َُو الَّذ
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhlkamal , itulah pokok-pokok isi al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyabihat”.(QS. Ali Imran (3) : 7)
Kini banyak sekali dari ayat-ayat al Qur’an yang membuktikan kebenaran Allah dalam al
Qur’an . tetapi al Qur’an terus memacu manusia untuk terus mencari tahu, menemukan ilmu
baru dan menerapkannya dalam bentuk teknologi.
Kalimat “iqra”, yang diartikan sebagai perintah membaca, pada ayat yang pertama kali al
Qur’an diturunkan , sudah merupakan petunjuk yang amat kuat bahwa al Qur’an sangat
konsen dan peduli terhadap ilmu pengetahuan. Orang- orang yang berkecimpung dibidang
ilmu pengetahuan, baik yang mencari, memberi maupun kalangan yang mengembangkan
pendidikan dipuji dan dijanjikan oleh Allah suatu martabat yang tinggi.
Manusia bukan hanya dituntut untuk menguasai bumi , malah ditantang untuk menerobos
langit , dan makhluk ini memang juga diberi potensi-potensi untuk keluar batas-batas bumi
agar dapat mengamati alam semesta sebagai tanda- tanda kebesaran Penciptanya. Allah
menganjurkan kepada jin dan manusia untuk mencoba meningkatkan kemampuannya supaya
dapat menjelajahi jarak-jarak yang sangat jauh dan yang sulit sekali ditempuh kemana saja
termasuk juga ke langit. Untuk maksud itu maka Allah mengingatkan akan pentingnya
persediaan daya dan kekuatan (ilmu, alat-alat dan tenaga) yang cukup supaya perjalanan itu
tidak mebahayakan dan membinasakan. (Tim Departemen Agama RI, 2004 : 132)
Dari uraian-uraian diatas, betapa sulitnya pengembangan sains. Jika kita harus
mengembangkan sains, kita harus ingat untuk tidak melanggar akidah dan aturan agama.
Hendaknya pengembangan iptek didasarkan kepada ketaatan kepada perintah Allah untuk
mendapatkan petunjuk-Nya. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dikembangkan tanpa
mengenyampingkan kekuasaan Tuhan dan petunjuk-Nya di dalam al Qur’an. Karena akal
selalu akan berkembang dalam keseimbangan dengan iman, maka mereka yang mempunyai
iman akan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan norma-norma
agama dan petunjuk Allah SWT.
4. Tujuan dan penggunaan ilmu pengetahuan
Agama Islam sangat mendukung umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Karena
dengan menguasai ilmu pengetahuan serta perenungan yang mendalam tentang hakikat
keesaan serta kebesaran Allah SWT akan banyak hal yang diperoleh.
Tujuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Al Qur’an disamping untuk mencapai suatu
kebenaran juga sebagai petunjuk juga mengandung hikmah untuk kesejahteraan manusia.
Kegunaan ilmu pengetahuan antara lain:
a. Menunjukkan kebenaran
b. Mengenal kebaikan
c. Meningkatkan kemakmuran/ kesejahteraan
d. Meningkatkan harkat dan martabat manusia
e. Menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban
f. Meningkatkan rasa percaya diri
g. Meningkatkan produktivitas kerja
h. Memperoleh amal jariyah apabila diamalkan
i. Memiliki keunggualan hidup dunia dan akhirat
Kita tidak boleh berhenti mencari ilmu , menurut Nabi kewajiban mencari ilmu dimulai dari
bayi sampai akhir hayat. Kewajiban ini bukan hanya milik laki-laki, tetapi juga wanita.
Dalam hal ini secara sederhana peran umat islam sekarang ini adalah mengintegrasikan islam
dan iptek dalam proses pembentukan manusia yang berakhlak mulia dan berilmu
pengetahuan sehingga peran aktif umat islam dapat dilaksanakan bagi kenyamanan hidup
umat manusia.
3. Manfaat teknologi
a. Memperoleh kemudahan
Manusia sebagai khalifah Allah diberikan kemampuan akal pikiran untuk memanfaatkannya
dengan tepat. Untuk meraih kebutuhan hidup yang tidak mungkin dicapai melalui
kemampuan fisik semata. Kemampuan itu memang telah ditentukan oleh Allah SWT,
sebagaimana Allah menyatakan dalam firman-Nya:
َؕ ُض َج ِم ۡيعًا ِم ۡنه ِ ت َو َما فِى ۡاۡلَ ۡر ِ س َّخ َر لَـ ُك ۡم َّما فِى السَّمٰ ٰو
َ َو
ٍ ا َِّن ِف ۡى ٰذ لِكَ َ ٰۡل ٰي
َت ِلقَ ۡو ٍم يَّتَفَ َّك ُر ۡون
Artinya: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. (QS. al-Jatsiyah (45) :
13)
Memperoleh kemudahan dalam hidup dengan mengembangkan potensi diri dan dengan
memanfaatkan segala yang Allah tundukkan bagi manusia di alam ini sejalan dengan
kehendak Allah. Hal itu dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:
دّٰللاُ ِب ُک ُم ۡالي ُۡس َر َو َۡل ي ُِر ۡيدُ ِب ُک ُم ۡالعُ ۡس َر
ُ ي ُِر ۡي ه...
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu”. (QS. al-Baqarah (2) : 185)
Allah juga menyatakan bahwa memang Allah sengaja memberikan berbagai kemudahan
kepada manusia agar manusia hidup dengan mudah.
ََُۚ َونُيَس ُِركَ ِل ۡلي ُۡس ٰرى
Artinya: “Dan Kami memberi kemudahan agar kamu memperoleh kemudahan”. (QS. al-A’la
(87) : 8)
Teknologi dan sains hanyalah sarana untuk lebih meningkatkan pengenalan manusia kepada
Allah SWT. Kebesaran Allah akan lebih jelas bagi orang yang berpengetahuan dibandingkan
dengan orang yang kurang pengetahuan. Karena itu Allah menyatakan:
غفُ ۡو ٌر ّٰللاَ ِم ۡن ِعبَا ِد ِه ۡالعُلَ ٰ ٓمؤُ اؕ ا َِّن ه
َ ّٰللاَ َع ِز ۡي ٌز ف ا َ ۡل َوانُهٗ ك َٰذلِكَ ؕ اِنَّ َما يَ ۡخشَى ه
ٌ ب َو ۡاۡلَ ۡنعَ ِام ُم ۡختَ ِل
ِ ٓاس َوالد ََّوا
ِ ََّو ِمنَ الن
Artinya: “sesungguhnya orang yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya ,
hanyalah orang yang berilmu pengetahuan”.
(QS. Fathir (35) : 28)
Teknologi apabila dirancang dan dimanfaatkan secara benar, maka teknologi diyakini akan
mampu meningkatkan kualitas pengabdiannya kepada Allah. Apabila berbagai kemajuan
yang dicapai manusia diniatkan dan diarahkan untuk kepentingan peningkatan kualitas
pengabdiannya kepada Allah, maka kemajuan yang dicapai itu tidak membuat manusia
menjadi lalai akan tugas kehidupannya. Karena itu Allah memerintahykan dalam firman-Nya:
َب ۡالعٰ لَ ِم ۡين َ قُ ۡل ا َِّن
ُ ُص ََلتِ ۡى َون
َ َس ِك ۡى َو َم ۡحي
ِ اى َو َم َماتِ ۡى ِ هّلِلِ َر
Artinya: : “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(QS. al-An’am (6) : 162)
b. Kemakmuran dunia
Manusia adalah makhluk Allah yang diberi potensi dan kekayaan yang dikenal dengan akal
dan budi. Dari potensi dan kekayaan akal budi tersebut, muncul karya- karya manusia yang
terus berkembang , baik untuk kebutuhan jasmani maupun rohani. Yang termasuk
didalamnya adalah hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai makhluk Allah yang
diberi tugas untuk memakmurkan dunia ini, hendaklah hasil karya manusia khususnya
teknologi dapat menjadi bagian dari amal shaleh , dan upaya manusia dalam rangka
menjalankan fungsi khalifah, memakmurkan dunia ini. Selain itu, meningkatkan ibadah dan
ketakwaan kepada Allah SWT.
Tujuan pengembangan teknologi bagi umat Islam secara umum selalu dikaitkan dengan
tujuan hidup manusia yaitu mancari ridha Allah melalui dua fungsi hidupnya yaitu selaku
hamba Allah berkewajiban untuk senantiasa beribadah dan mengabdikan diri untuk
menggapai ridha-Nya dan selaku khalifah-Nya, bertugas melestrikan lingkungan alam
semesta dan menatanya untuk kemakmuran hidup manusia. Karena itu, teknologi sebagai
suatu hasil karya manusia harus digunakan untuk mendukung kehidupan manusia agar
hidupnya dapat bahagia, sejahtera, adil dan seimbang. Dengan teknologi, alam yang
terbentang luas ini sengaja diciptakan oleh Allah agar dimanfaatkan sebesar- besarnya bagi
kemakmuran hidup manusia.
Keempat, ilmu dan teknologi boleh dikembangkan sejauh mungkin selama berlandaskan etik
atau moral yang jelas. Sehingga iptek harus terus dikembangkan tetapi harus dilandasi moral
islam.
Kelima, pengembangan ilmu dan teknologi harus memiliki hubunngan yang positif bagi
peingkatan ketakwaan kepada Allah. Sehingga akan menghasilkan manusia yang berilmu
sekaligus beriman (ulil abab). Dengan kemampuan membuka sebagian rahasia alam semesta
beserta hukum-hukumnya yang sedemikian rapi, teratur dan sempurna maka ilmu teknologi
selayaknya berfungsi meningkatkan rasa takwa para pengembangnya dalam rangka berbakti
kepada Allah. (Muhammad Alim. 2006 : 217)
Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menghendaki agar setiap muslim memiliki suatu
budi igin tahu dan suatu sikap berfikir kritis, teratur dan tuntas terhadap fenomena- fenomena
di alam semesta dan kehidupan manusia itu sendiri. Iman perlu dibina dengan pemahaman
terhadap gejala-gejala alam semesta. Dengan deikian iman sejatinya tidak bisa dipisahkan
dengan ilmu , yaitu ilmu Allah. Karena sebenarnya semua ilmu berasal dari Allah. Manusia
berusaha untuk mempunyai sekedar ilmu (yang sedikit), dari jenis- jenis ilmu yang sangat
diperlukan untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan diakhirat.
D. Kesimpulan
Manusia adalah makhluk Allah yang diberi anugrah berupa akal, karena tujuan diciptakannya
manusia adalah sebagai khalifah dimuka bumi ini. Dengan akal yang telah diberikan Allah,
islam menuntut manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai
dengan aspek ketauhidan. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari
alam ini, Allah memerintahkan agar kita selalu menggalinya, melakukan perjalanan,
pengamatan, dan penelitian.
Dalam hal pengembangan iptek hendaknya didasarkan kepada ketaatan kepada perintah Allah
untuk mendapatkan petunjuk-Nya. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dikembangkan
tanpa mengenyampingkan kekuasaan Tuhan dan petunjuk-Nya di dalam al Qur’an. Karena
akal selalu akan berkembang dalam keseimbangan dengan iman, maka mereka yang
mempunyai iman akan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan
norma-norma agama dan petunjuk Allah SWT.
Dengan demikian iman sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan ilmu , yaitu ilmu Allah.
Karena sebenarnya semua ilmu berasal dari Allah. Manusia berusaha untuk mempunyai
sekedar ilmu (yang sedikit), dari jenis-jenis ilmu yang sangat diperlukan untuk kebahagiaan
hidup manusia didunia dan diakhirat.
Salah satu potensi yang Allah anugerahkan kepada manusia adalah rasa ingin
tahu. Rasa tersebutlah yang mendorongnya untuk berpikir, melakukan penelitian dan
menemukan hal-hal baru. Hal itu juga seiring dengan perintah untuk melakukan
penelitian dan penyelidikan terhadap diri manusia dan alam sekitarnya. Allah SWT
menyebutkan,
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali
lagi[1]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Al-Ankabut: 20).
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, 191. (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran: 190-191).
Dalam ayat di atas, Allah SWT menyebutkan yadzkuru untuk merujuk pada
hubungan vertikal dan yatafakkaru untuk hubungan horisontal. Sehingga dengan jelas,
kita bisa melihat bagaimana konsep Islam dalam memandang sumber ilmu. Berkaitan
dengan hubungan vertikal dan horisontal ini, dominasi peradaban barat sekarang
terdapat kesalahan dalam menginterpretasi konstelasi tuhan, manusia dan alam
semesta. Sehingga terjadi mis-management yang berujung pada rusaknya ekosistem,
tata nilai, dan segi kebudayaan manusia.
Budi Handrianto menulis “Saat ini peradaban Barat yang berlandaskan paham
sekulerisme, rasionalisme, uitilitarianismem dan meterialisme telah membawa dunia
menuju ambang kehancuran. Memang tidak menutup mata berbagai keberhasilan dan
kemajuan dihasilkan oleh peradaban ini. Namun juga, tidak dimungkiri peradaban Barat
telah menghasilkan penjajahan, perang berkepanjangan, ketimpangan sosial, kerusakan
lingkungan, keterasingan (alienasi) dan anomie (berkurangnya adat sosial atau standar
etika diri)[2]”.
Peradaban Barat dinyatakan oleh Marvin Perry sebagai sebuah peradaban
besar, tetapi sekaligus sebuah drama yang tragis (a tragic drama)[3]. Hal itu diamini
oleh Naquib Al-Attas karena peradaban barat tidak lagi menganggap alam sebagai
sesuatu kejadian yang kudus, sehingga membolehkannya untuk bertindak bebas
terhadap alam tabi’i (disenchantment of nature), memanfaatkannya mengikuti
keperluan dan rancangannya[4].
Salah satu penyebabnya adalah terjadinya kekeliruan worldview terhadap
sumber ilmu. Yang selanjutnya dalam bidang kajian filsafat disebut epistemologi. Bagi
pandangan keilmuwan barat, sumber ilmu dibatasi pada hal-hal empirik dan rasional,
dan membuang wahyu. Al-Attas menulis, “Barat merumuskan pandangannya terhadap
kebenaran dan realitas bukan berdasarkan kepada ilmu wahyu dan dasar-dasar
keyakinan agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat dasar-
dasar filosofis. Dasar-dasar filosofis ini berangkat dari dugaan (spekulasi) yang
berkaitan hanya dengan kehidupan sekulaer yang berpusat pada manusia sebagai diri
jasmani dan hewan rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan
menyingkap sendiri seluruh rahasia alam dan hubungannya dengan eksistensi, serta
menyingkap hasil pemikiran spekulatif itu bagi perkembangan nilai etika dan moral
yang berevolusi untuk membimbing dan mengatur kehidupannya”[5].
Dalam kajian epistemologi di Barat, pembahasan tentang sumber ilmu
melahirkan tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant.
Keberatan Islam terhadap ketiga mazhab ini sebagaimana akan ditunjukkan nanti,
terutama karena pengingkarannya terhadap wahyu sebagai objek ilmu pengetahuan.
A. LATAR BELAKANG
Salah satu cabang filsafat yang jumlah pembahasannya hampir mencakup isi
keseluruhan filsafat itu sendiri adalah epistemologi.1[1] Sebab, filsafat adalah refleksi, dan
setiap refleksi selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin seorang memiliki suatu metafisika,
yang tidak sekaligus merupakan epistemologi dari metafisika, atau psikologi, yang tidak
sekaligus epistemologi dari psikologi.2[2]
Ini dapat dilihat dari cakupan epistemologi yang meliputi hakikat, keaslian, sumber,
struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian,
kodrat, pertanggungjawaban, dan skope pengetahuan.3[3] Jadi, hal ini dapat juga dikatakan
bahwa epistemologi adalah teori tentang ilmu yang membahas ilmu dan bagaimana
memperolehnya.4[4]
Diskursus tentang epistemologi dikalangan para intelektual Islam maupun Barat pada
abad modern ini, seiring lajunya perkembangan science di Barat, menjadi daya tarik
tersendiri untuk dikaji dan dikupas tuntas. Sebab, hal ini memunculkan polemik radikal di
kalangan mereka tentang, apakah ilmu itu bebas nilai (free value) atau sarat dengan nilai (by
product) ?.5[5] Pangkal utama polemik tersebut adalah teori ilmu yang berkembang
menunjukkan telah terjadi perceraian antara ilmu dan agama.6[6]
Fakta yang terjadi yaitu, ilmu yang berkembang di Barat telah mengakibatkan
munculnya berbagai aliran pemikiran/ideologi yang menentang agama Kristen dan Yahudi
yang dominan di Barat.7[7] Sebagai dampaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Leopold
Weis8[8] bahwa ‘Barat tidaklah menentang Tuhan secara sewenang-wenang dan terang-
terangan, akan tetapi jika dilihat dalam cara berfikirnya sedikitpun tidak menunjukkan bahwa
mereka butuh akan Tuhan ataupun tahu akan nilai Tuhan yang sebenarnya’.9[9]
Cara berfikir seperti ini kemudian dikembangkan oleh banyak intelektual muslim di
dunia Islam dalam mengkaji Islam dengan pisau analisa epistemologi Barat yang cendrung
menafikan hal-hal transenden. Mengapa itu terjadi ?, sebab bagi mereka, Barat sebagai
lambang kemajuan ilmu pengetahuan (science dan teknology) di abad ini. Jadi, menurut
mereka kalau ingin maju, maka tirulah Barat dengan mengadopsi segala apa yang dari Barat,
termasuk dalam persoalan memahami agama. Meski demikian, ada sebagian dari kalangan
intelektual Islam yang masih tetap komitmen untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip
epistemologi Islam serta melakukan pengembangan dengan prinsip-prinsip tersebut.10[10]
Berdasarkan fakta dan data yang telah kami paparkan di atas, hal itu menunjukkan
bahwa epistemologi Barat memang problematik. Ini terbukti melalui prinsip-prinsip
epistemologi Barat yang berdasarkan kepada worldview mereka yang jauh dari nilai-nilai
Agama. Sehingga ilmu yang berkembang di Barat adalah ilmu-ilmu yang jauh dari moralitas,
hanya berorientasi pada aspek fisik dan menafikan yang metafisik.11[11]
Untuk itu, makalah ini akan mencoba untuk mengurai permasalahan yang berkaitan
dengan epistemologi yang akan difokuskan pada prinsip-prinsip epistemologis yang meliputi
makna ilmu, objek pengetahuan, sumber pengetahuan, validitas ilmu, serta cara-cara
mendapatkan dan mengamalkan setiap ilmu itu dengan benar. Sebelum mengupas tuntas
masalah yang terkait dengan prinsip-prinsip epistemologi Islam dan Barat, terlebih dahulu
akan dibahas mengenai epistemologi itu sendiri sebagai bagian dari cabang filsafat. Sehingga
diharapkan akan mendapatkan pemahaman yang holistik. Sebagaimana yang telah dikatakan
oleh para ahli ilmu bahwa seseorang tidak akan memahami sesuatu hal yang spesifik, jika
belum mamahami sesuatu yang bersifat umum. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan
diurai mengenai definisi, objek, tujuan, landasan, metode/metodologi, hakikat dan pengaruh
epistemologi.
A. EPISTEMOLOGI
1. Definisi
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat,
yang sering dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi. Ketiga sub sistem ini biasanya
disebutkan secara berurutan mulai dari ontologi, epistemologi kemudian aksiologi. Dengan
gambaran sederhana dapat dikatakan bahwa; ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu
dicari cara-cara memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang
memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
Keterkaitan ini membuktikan betapa sulitnya untuk menyatakan salah satu yang lebih
penting dari yang lain, karena ketiga sub ini memiliki fungsi masing-masing yang berurutan
dalam mekanisme pemikiran.12[12] Namun apabila kita membahas lebih jauh mengenai
epistemologi, kita akan menemukan betapa pentingnya epistemologi. Seperti yang
diungkapkan pada salam pembuka sebuah jurnal ilmiah ‘Islamia’ kaitannya dengan
pemikiran (hasil dari suatu aktifitas berfikir) bahwa:13[13]
”problem utama yang sangat mendasar dalam wacana pemikiran Islam yang kini tengah
berkembang terletak pada epistemologi.”
3. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan,
yang dijadikan sebagai tempat berpijak. Bangunan pengetahuan akan menjadi mapan, jika
memiliki landasan yang kokoh. Bangunan pengetahuan seperti bangunan rumah, sedangkan
landasannya adalah fundamennya, rumah tidak akan kokoh dan bertahan lama apabila tidak
didasari dengan fundamen yang kokoh pula. .Demikian juga dengan epistemologi, akan
sangat dipengaruhi oleh landasannya.
Landasan epistemologi ilmu sering di sebut juga metode ilmiah, yaitu cara yang
dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Jadi ilmu pengetahuan didapatkan
melalui metode ilmiah, tapi tidak semua ilmu disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun dikatakan
juga oleh Mujamil Qomar bahwa “metode ilmiah adalah gabungan antara metode induktif
dan deduktif atau “Perkawinan” antara rasionalisme dengan empirisme.”26[26]
Sehingga apabila ditinjau dari cara berfikir manusia, terdapat dua pola dalam
memperoleh pengetahuan, yaitu berfikir secara rasional yang mengembangkan paham
rasionalisme dan berpikir berdasarkan fakta yang mengembangkan paham empirisme.27[27]
Jadi landasan yang utama adalah mampu mengembangkan ilmu yang memiliki kerangkan
penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mencerminkan kenyataan yang sebenarnya.
Sehingga dengan pemaduan metode induktif dan deduktif ini, dapat mengatasi masing-
masing kelemahan metode tersebut.
Akan tetapi, hal yang sangat mendasar berkaitan dengan landasan epistemologi itu
sendiri terletak pada worldview (pandangan hidup). Sebab, epistemologi dan worldview
keduanya berada dan bekerja dalam pikiran manusia.28[28] Oleh karenanya, epistemologi
dan worldview mempunyai hubungan yang sangat erat kaitannya. Ia bahkan dapat
digambarkan sebagai lingkaran setan (vicious circle), dimana yang satu dapat mempengaruhi
yang lain. Jadi, bukan sekedar persoalan rasonalisme-empirisme atau deduktif-induktif saja,
jauh lebih mendasar lagi tentang hal yang mendasari terhadap pola berfikir di dalam
memperoleh pengetahuan tersebut baik secara rasional-empiris ataupun deduktif-induktif. Di
sinilah kemudian yang akan menunjukkan bahwa ilmu adalah merupakan hasil dari produk
suatu pandangan hidup yang tidak serta merta bebas nilai, namun sarat akan nilai.29[29]
5. Hakikat Epistemologi
Pembahasan mengenai hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena kita tidak dapat
menangkapnya kecuali melalui ciri-cirinya. Secara filsafati, epistemologi adalah ilmu untuk
mencari hakikat dan kebenaran ilmu; secara metode, berorientasi untuk mengantar manusia
dalam memperoleh ilmu, dan secara sistem berusaha menjelaskan realitas ilmu dalam sebuah
hierarki yang sistematis.35[35] Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan,
membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasi sumber-sumbernya dan
menetapkan batas-batasnya.” Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui”
adalah masalah-masalah sentral epistemologi. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Jujun S.
Suriasumantri, bahwa “persoalan yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada
dasarnya ...”.36[36]
Epistemologi adalah problem mendasar dalam wacana pemikiran, dan sekaligus
merupakan parameter yang bisa memetakan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin
menurut bidang-bidangnya. Dengan demikian epistemologi bisa dijadikan penyaring atau
filter terhadap objek-objek pengetahuan dan bisa juga menentukan cara dan arah berfikir
manusia. Jadi pada hakikatnya epistemologi merupakan gabungan antara barfikir rasional dan
berfikir secara empiris. Kedua cara berfikir tersebut dalam mempelajari gejala alam dalam
menemukan kebenaran, sebab secara epistemologis ilmu memanfaatkan dua kemampuan
manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera.37[37]
Oleh sebab itulah epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan38[38]
bahwa kita mengetahui kenyataan yang lain dari diri sendiri . Jadi hakikat epitemologi
terletak pada metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme atau deduktif dengan
induktif),39[39] dengan kata lain hakikat epistemologi bertumpu pada landasannya, karena
lebih mecerminkan esensi dari epistemologi.40[40] Dari pemahaman ini memperkuat bahwa
epistemologi itu rumit, sebagaimana diungkapkan oleh Stanley M. Honer dan Thomas C.
Hunt bahwa “epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi.”
6. Pengaruh Epistemologi
Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori
pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur
yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Secara global epistemologi
berpengaruh terhadap peradaban manusia, karena tidak mungkin satu peradaban akan bangkit
tanpa didahului oleh tradisi ilmu. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari
ilmu filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologilah yang menentukan kemajuan
sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung
oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi.41[41]
Tidak ada bangsa yang merekayasa fenomena alam, sehingga mencapai kemajuan
sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi
modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam
menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya
yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak
lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan
epistemologi.42[42] Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi
kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin,
melainkan mutlak untuk dikuasai. Namun sayang sekali, sarjana-sarjana kontemporer, baik
yang modernis maupun tradisionalis tampaknya mengesampingkan peranan kunci yang bisa
dimainkan oleh epistemologi dalam membangun masyarakat. Epistemologi membekali
seseorang yang menguasainya untuk menjadi produsen, baik dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, bisnis, maupun secara umum, peradaban.43[43] Jadi, pengaruh
epistemologi terhadap perkembangan kemajuan sebuah bangsa atau peradaban sangatlah
menentukan, sebab tidak ada suatu bangsa atau peradaban besar manapun, di dunia ini yang
maju tanpa didahului oleh tradisi ilmu, tak terkecuali peradaban Islam.
B. EPISTEMOLOGI BARAT
Barat sekarang ini telah mencapai kemajuan yang begitu pesat, berbagai belahan
dunia merasa tertarik menjadikan Barat sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Barat dianggap mampu menyajikan bebagai temuan baru secara
dinamis dan varian, sehingga memberikan sumbangan yang besar terhadap sains dan
teknologi modern. Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan saja dari segi wilayahnya,
melainkan disamping sains dan teknologi, juga sampai pada persoalan gaya hidup, gaya
berpakaian dan sebagainya.44[44]
“Kunci rahasia” yang perlu diungkap adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan
oleh pendekatan sains dan epistemologinya. Epistemologi yang dikuasai oleh ilmuwan Barat
benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan
teknologi. Tradisi untuk menawarkan teori-teori ilmiah yang dibangun berdasarkan penalaran
dan pengamatan tampak begitu subur dikalangan mereka sehingga menghasilkan temuan baru
yang silih berganti, baik bersifat menyempurnakan temuan yang lama, temuan baru, bahkan
menentang temuan lama sama sekali.
Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan Barat itu selanjutnya mempengaruhi
pemikiran ilmuwan di seluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan
teknologi mereka. Epistemologi itu dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran para
ilmuwan di masing-masing Negara, sehingga secara praktis mereka terbaratkan; pola
pikirnya, pijakan berfikirnya, metode berfikirnya, caranya mempersepsi terhadap pengetahun,
dan sebagainya, mengikuti gaya Barat, baik sadar maupun tidak disadari.
Oleh karena sangat dominannya epistemologi Barat ini, maka masyarakat muslim dan
seluruh penduduk dunia ini dibentuk oleh pemikiran manusia Barat. Dalam waktu yang
bersamaan mereka tidak lagi mau mempertimbangkan epistemologi versi lain, dalam mencari
pengetahuan. Epistemologi versi lain dianggap tidak berkualitas dan belum teruji
keandalannya dalam memberikan jawaban-jawaban, yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.45[45]
Pada bahasan berikut ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai akar dari tradisi
ilmu Barat secara historis, sehingga dapat diketahui dan dipahami asal usul dari kebudayaan
dan peradaban Barat yang dibangun di atas kemajuan sains dan teknologi. Selanjutnya dari
pengetahuan akan tradisi ilmu Barat tersebut, dapat pula diketahui bangunan dari
epistemologi Barat serta prinsip-prinsip yang mendasarinya sebagai pangkal pengembangan
sains dan teknologi.
1. Tradisi Ilmu Barat
Memaknai Barat tidak lagi relevan jika dilihat dari perspektif geografis, yang
menunjukkan suatu entitas wilayah, daerah atau kawasan yang berada di belahan bumi bagian
Barat. Sebab, Barat saat ini berada dalam sebuah struktur konseptual pandangan hidup yang
membawa makna yang kompleks dan terkadang kontroversial.46[46] Saat ini barat bermakna
alam pikiran dan pandangan hidup dari suatu kebudayaan dan peradaban. Jadi dari kaca mata
peradaban, Barat adalah peradaban yang dibentuk dan dibangun oleh pandangan hidupnya
sendiri (Worldview).47[47]
Sebuah kebudayaan atau peradaban memiliki sejarahnya sendiri-sendiri untuk bangkit
dan berkembang. Pada umumnya sarjana Barat membagi sejarah Barat menjadi zaman kuno,
zaman pertengahan, dan zaman modern. Para sejarawan Barat berbeda pendapat mengenai
asal usul kebudayaan mereka. Perbedaan itu meruncing ketika sejarawan berpegang pada
ilmu sebagai akar kebudayaan. Artinya sebuah kebudayaan atau peradaban akan lahir dan
berkembang seiring dengan perkembangan konsep-konsep keilmuan didalamnya. Sebab
faktor keilmuan inilah sebenarnya yang melahirkan aktivitas sosial, politik, ekonomi dan
aktivitas kultural lainnya.
Akan tetapi secara historis Barat adalah merupakan suatu peradaban yang
dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa dari peradaban Yunani kuno yang dikawinkan
dengan peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebudayaan bangsa
Eropa terutamanya Jerman, Inggris dan perancis. Prinsip-prinsip rmengenai ketatanegaraan
diambil dari Romawi, sementara Agama Kristen yang berasal dari Asia Barat disesuaikan
dengan budaya Barat.48[48]
Ilmu di Barat tidak lahir dari pandangan hidup (worldview) Agama tertentu, sebab
hubungan Agama dan sains di Barat memang problematik.49[49] Setidaknya ada tiga faktor
penting yang membuat Barat jauh dari nilai-nilai Agama. Pertama, trauma sejarah, khusunya
yang berhubungan dengan Agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan
sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang
mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium
Romawi Barat runtuh pada 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi
dominan, dalam masyarakat Kristen Barat sampai dengan masuknya zaman reneissance
sekitar abad ke 14.50[50] Besarnya kekuasaan Gereja melahirkan penyimpangan dan
penindasan brutal terhadap non Kristen dan kelompok-kelompok yang dianggap kafir.
Bentuk kekejaman yang dilakukan oleh pihak Gereja diungkapkan oleh Peter De
Rosa51[51] “betapapun, inquisisi tersebut bukan jahat saat dibandingkan nilai-nilali abad 20.
Tetapi ini juga jahat dibandingkan degan nilai-nilai abad ke-10 dan ke-11,
.......................................................................................................................................” Hal
inilah yang menjadikan barat menjadi trauma terhadap Agama.
Kedua, problem teks Bible. Ada sebagian kalangan yang mencoba menyamakan
antara Al Qur’an dan Bible dengan menyatakan, bahwa semuanya adalah kitab suci dan
semuanya mukjizat. Padahal ilmuan Barat yang jeli bisa membedakan antara kedua kitab
agama itu. Teks al Qur’an tidak mengalami problema sebagaimana teks Bible. Di dalam
Bible terdapat problema yang hingga saat ini masih menjadi mesteri. Richard Elliot Freidman
dalam bukunya, Who wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya
menulis kitab ini masih merupakan misteri dan banyak kontradiksi di dalamnya.52[52]
Ketiga, problem teologi Kristen. Inti seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat
berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi suatu problem pemikiran
ilmuwan Barat yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia.
Sehingga teori ilmu yang berkembang di Barat termanifestasikan dalam berbagai
aliran seperti rasionalisme, empirisisme, skeptisisme, agnotisisme, positivisme, objektifisme,
subjektifisme, dan relativisme.53[53] Aliran-aliran semacam ini berimplikasi sangat serius
dalam; Pertama, menegasikan dan memutuskan relasi manusia dengan alam metafisik,
mengosongkan kehidupannya dari unsur-unsur dan nilai transenden serta mempertuhankan
manusia. Kedua, melahirkan dualisme, manusia terjebak pada dua hal yang dikotomis dan tak
dapat dipersatukan, antara dunia-akhirat, Agama-sains, tekstual-kontekstual, akal-wahyu, dan
seterusnya. Ini mengakibatkan manusia yang tebelah jiwanya (split personality).54[54]
C. EPISTEMOLOGI ISLAM
Pembahasan epistemologi Islam sangat penting untuk dibahas, sebab problem
mendasar dalam pemikiran Islam terletak pada epistemologinya.56[56] Gagasan epistemologi
Islam itu brtujuan untuk memberikan ruang gerak bagi umat muslim pada khususnya, agar
bisa keluar dari belenggu pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
berdasarkan epistemologi Barat. Dikalangan pemikir muslim menawarkan “segala sesuatu”
berdasarkan epistemologi Islam. Di dalam Islam epistemologi berkaitan erat dengan
metafisika dasar Islam yang terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadist, akal, dan
intuisi.57[57]
Kalaulah disepakati, bahwa peradaban Islam dalam sejarahnya bangun dan tegak
brbasiskan ilmu pengetahuan, maka membangun kembali peradaban Islam yang sedang
nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan tersebut.
Ilmu dalam Islam adalah persyaratan untuk menguasai dunia dan akhirat. Menegakkan
bangunan ilmu maksudnya tidak lain adalah untuk mengarahkan kembali pemikiran atau pola
pikir manusianya agar sejalan dengan prinsip-prisip ilmu pengetahuan dalam Islam.58[58]
Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan Islam adalah wahyu Tuhan ditempatkan di
atas rasio. Wahyu memperoleh kedudukan yang paling tinggi dalam upaya mengembangkan
ilmu pengetahuan Islam, sehingga wahyu dijadikan sebagai sumbet kebenaran mutlak suatu
kebenaran. Jadi rusaknya keberagamaan umat Islam lebih karena rusaknya pemikiran dan
hancurnya peradaban Islam karena hancurnya bangunan ilmu pengetahuan.
D. KESIMPULAN
Epistemologi yang juga disebut dengan Teori Ilmu menempati ruang yang sangat
urgen di dalam pengembangan kemajuan sebuah kebudayaan bangsa atau peradaban. Setiap
peradaban dibangun oleh epistemologinya masing-masing dengan berdasarkan kepada
pandangan hidup (worldview) dari peradaban tersebut. Sebab, epistemologi berkaitan erat
dengan worldview. Jadi, setiap peradaban memiliki epistemologi yang berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya, tak terkecuali antara epistemologi Islam dan Barat. Yang tentunya
juga secara spesifik memiliki prinsip-prinsip yang berbeda pula.
Adapun prinsip-prinsip dari keduanya dapat dibedakan dari beberapa aspek yang
mana dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Epistemologi Islam Epistemologi Barat
1. Didasarkan kepada kejian metafisika 1. Didasarkan kepada praduga-praduga
2. Sumber kepada wahyu, akal sehat, 2. Sumber hanya kepada akal (rasio) dan
panca indra dan intuisi data/fakta empiris
3. Pendekatannya bersifat tawhidy 3. Pendekatannya bersifat dikothomi
4. Objeknya fisik dan sekaligus 4. Objeknya fisik, observable & penalaran
metafisik
5. Ilmu syarat dengan nilai (value full) 5. Ilmu bebas nilai (free value)
6. Validitas kebenaran konteks (data & 6. Validitas kebenarannya hanya bertumpu
fakta) diselaraskan dengan teks (wahyu) kepada rasio-empiris
7. Berorientasi dunia dan akherat 7. Berorientasi kepada dunia semata
Dari sini dapatlah dipahami akan perbedaan dari keduanya yang sangat jelas sebagai
konsekuensi dari perbedaan worldview masing-masing sebagai elemen yang paling mendasar
dari keduanya yaitu Islam dan Barat. Selain itu, uraian singkat dalam makalah ini juga dapat
diperoleh suatu pemahaman bahwa substansi epistemologi tidak sebagaimana yang
dinyatakan oleh para ilmuan kontemporer yang bertumpu pada metode ilmiah, akan tetapi
lebih dalam lagi yaitu epistemological belief yang terakumulasi dalam pikiran setiap orang
yang kemudian menentukan corak dari epistemologinya masing-masing.
Islam adalah agama yang sangat fleksibel dalam memandang ilmu pengetahuan. Jika ilmu
tersebut benar dan tidak bertentangan dengan pandangan hidup Islam, islam secara terbuka
mengambilnya dan menggunakannya sekalipun ia berasal dari peradaban lain. Hal ini sangat
berbeda dari peradaban diluar Islam, terutama Barat. Mereka lebih bersikap eksklusif
(tetutup) dalam mengambil sesuatu di luar peradaban mereka. Barat sangat sulit menerima
dengan mudah kebenaran yang berada di luar mereka. Dalam sejarah Barat, peradaban Islam
tidak pernah disebutkan sebagai satunya-satunya peradaban yang memberi kontribusi besar
bagi kemajuan peradaban Barat. Karya-karya filsafat Yunani yang diterjemahkan oleh Ilmuan
Islam abad pertengahan masa dinasti Abbasiyah disimpan dalam sebuah perpustakaan besar
dengan tujuan agar generasi-generasi setelahnya dapat menjadikannya referensi untuk
kemajuan keilmuan. Namun, fakta ini tidak pernah diakui dalam sejarah keilmuan Barat dan
bahkan mereka mengedit karya-karya ulama Islam dahulu dan mengklaim teori-teorinya
milik mereka dan menyesuaikan dengan pandangan hidup Barat. Cara-cara seperti ini sangat
menyalahi etika ilmiah.
Dalam konsep Islam, ilmu pengetahuan tidak dikotomis atau sekuler. Ilmu agama dan umum
selalu terkait. Dan di sini peran wahyu dan akal berjalan beriringan dalam mengembangkan
keilmuan. Metode tersebut yang dalam pandangan Islam dikatakan Ilmiah. Kedua unsur
tersebut (baca: wahyu dan akal) sebagai alat untuk mengkaji ilmu. Wahyu sebagai referensi
akal dalam mengembangkan ilmu. Contoh demikian sudah diperagakan sejak Rasulullah Saw
dan puncaknya ketika kegemilangan Peradaban Islam di Baghdad, Andalusia, Turki Ustmani.
Ilmuan muslim yang berkiprah dalam memajukan peradaban Islam diantaranya yaitu, Ibnu
Sina, Imam Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ar-Razi, Al-farabi, Al-Kindi, Al-Biruni, Ibn ‘Arabi,
Ibnu Rusyd, Ibnu Tufail, Ibnu Khaldun, dan banyak ilmuan Islam lainnya. Mereka
menampilkan wajah Islam yang sangat peduli terhadap Ilmu. Unsur akal dan wahyu
disinergikan dan digunakan sebagai metode ilmiah. Maka wajar mereka mumpuni dan pakar
dibanyak ranah keilmuan. Selain dibidang agama, (tafsir, hadist, fiqh, tasawuf), mereka juga
pakar dibidang ilmu pengetahuan dan sains (sejarah, matematika, fisika, kimia, astronomi,
biologi, kedokteran, musik, arsitektur dan lain sebagainya). Epistimologi keilmuan yang
dipraktikkannya tidak kaku. Tak jarang dari mereka (baca: ilmuan Muslim) juga mengambil
teori-teori keilmuan dari luar Peradaban Islam, seperti dari Yunani dan Romawi. Ini bukanlah
hal yang bertentangan. Mereka mengambilnya tidak secara keseluruhan, hanya bagian-bagian
yang penting dan teori di dalamnya yang memungkinkan tidak bertentangan dengan
pandangan hidup Islam. Kalaupun bertentangan, mereka melakukan penjaringan koseptual
terlebih dahulu untuk kemudian disesuaikan dengan worldview Islam. Metode yang terakhir
Inilah yang oleh Al-Attas disebut dengan Islamisasi Ilmu.
Oleh karena itu, Kerangka kajian dalam keilmuan Islam dan Barat jelas tidak bisa disamakan.
Apalagi mengkaji Islam dengan kacamata Barat. Ini jelas sangat keliru. Ilmuan Barat dan
Orientalis mengkaji Islam dengan metode ilmiah yang terilhami dari pandangan hidup
mereka dengan framework berifikir yang sekuler, rasionalis, empiris, anti-otoritas, relativis,
dan sebagainya. Semua itu karena memang seperti itu bangunan metodologi pengkajian ilmu
di Bara. Jika seorang muslim menggunakan metode tersebut dalam mengkaji Islam akan
sangat bermasalah dan jauh dari nilai objektif. Karena bagaimanapun setiap peradaban
memiliki konsep nilai dan pandangan hidup tersendiri. Tidak bisa dipadukan apalagi
digantikan. Keilmuan Islam terilhami dari wahyu lalu akal berperan menjabarkannya hingga
menjadi konsep keilmuan yang utuh. Dan keilmuan Barat terilhami dari akal dan wahyu tidak
memiliki tempat dalam keilmuan mereka, makanya Barat itu menjadi sekuler.
Peradaban yang kecil memang cenderung mengikuti peradaban yang besar. Inferior dan
merasa minder akan kehebatan peradaban yang besar sudah menjadi sesuatu yang biasa,
sehingga cenderung mengikuti, mengadopsi dan bahkan tunduk tanpa dipaksa. Fenomena ini
yang sekarang menjangkiti pada tubuh umat muslim, terutama cendikiawan Islam. Merasa
minder dengan identitas Islam dan bangga dengan unsur asing yang digunakan dalam seluruh
kehidupan. Framework berfikir, metdode pengkajian ilmu, sikap kritis terhadap Islam, semua
itu digunakan tanpa sikap kritis terhadap sesuatu yang diterimanya. Sikap “silau” seperti ini
muncul karena melihat kehebatan dan kemajuan Barat. maka framework keilmuan Islam
harus berlandaskan pada epistimologi Ilmu yang sesuai prinsip Islam, berdasarkan wahyu
sebagi referensi dan akal sebagai alat pengembangan. jika hal ini diabaikan dan disepelekan
dari nilai dan wahyu, ilmu tersebut akan menyimpang dari kebenaran dan akhirnya seseorang
akan terarah pikirannya mengingkari kebenaran Wahyu, Al-Qur’an dan Tuhan.
Sumber : http://www.gudangnews.info/2015/02/makalah-pendidikan-agama-islam-
tentang_12.html#ixzz51c30ZRcx
Sumber : http://www.gudangnews.info/2015/02/makalah-pendidikan-agama-islam-
tentang_12.html#ixzz51c2nbwcX
Sumber : http://www.gudangnews.info/2015/02/makalah-pendidikan-agama-islam-
tentang_12.html#ixzz51c2ZMBHi