Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PARADIGMA PENGEMBANGAN IPTEK

KELOMPOK 6 :

1. Heru Iqtara Rizky_C2A020017


2. Gery Salsabil W. P_C2A020010
3. Diki Agung T._C2A020030
4. Muhammad Alif I._C2A020022
5. Fernanda Ahnaf K._C2A020046
6. Muhammad Fadhulloh_C2A020009

DOSEN PENGAMPU: Budi setyono, S.Pd.I, M.Pd.I


PROGRAM STUDI AJARAN ISLAM KEMUHAMMADIYAH(AIK)
PRODI TEKNIK MESIN SEMESTER 4

KELAS A
KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat ALLAH SWT yang


senantiasa melimpahkan segala nikmat dan karuniaNya, karena berkat karunianya
penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah AIKA. Shalawat serta salam senantiasa
kita panjatkan kepada Rasulullah SAW.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Rekan-rekan yang senantiasa mendukung dan
memotivasi serta memberi masukan yang sangat berguna dalam penyelesaian tugas
makalah ini. Makalah ini berjudul ‘’PARADIGMA PERKEMBANGAN IPTEK DALAM
ISLAM’’ yakni makalah yang menerangkan tentang potensi manusia dalam
perkembangan iptek dan rambu-rambu perkembangan iptek.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis memohon maaf apabila didalam tulisan kami ini ada kekurangan dalam
penulisan dan sebagainya. Penulis mengharapkan saran serta kritik yang membangun
untuk perbaikan penulisan kedepannya.

Semarang,08 April 2022

Ttd. Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dizaman modern yang canggih seperti saat ini, kemajuan akan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (yang kemudian disingkat IPTEK), sangatlah berpengaruh terhadap segala aspek
dalam kehidupan manusia. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan IPTEK tidak pernah lepas
dengan keberadaan manusia. Manusia sebagai subjek dari berkembangnya ilmu pengetahuan
itu sendiri. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka berkembanglah pula teknologi.
Keberadaan yang tidak akan pernah terpisahkan tersebut, kemudian memunculkan beberapa
dampak terhadap kehidupan manusia didunia. Dampak tersebut berupa dampak positif dan
negatif. Adanya dampak negatif terhadap kehidupan manusia ini, akan menimbulkan
beberapa yang kurang di inginkan.
Peran Islam dalam perkembangan IPTEK pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan
Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya
dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini
menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah) bagi
seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti bahwa Aqidah Islam sebagai sumber segala
macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka
ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang
yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan. Kedua, menjadikan
Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan IPTEK dalam
kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat
Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang.
Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan IPTEK, didasarkan pada
ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan
IPTEK jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek IPTEK dan telah
diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia
menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Potensi manusia (jasmani dan rohani) dalam pengembangan IPTEKS

Sebelum membahas potensi manusia dalam pengembangan IPTEKS terlebih dahulu kita
akan kaji apa sebenarnya IPTEKS itu? IPTEKS adalah singkatan dari Ilmu Pengetahuan
Teknologi dan Seni. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi,
disistematisasi, dan diinterpretasi, menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji
kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Di dalam Al-Qur’an kata “ilmu” dalam
berbagai bentuk terdapat 854 kali disebutkan (Quraish Shihab, 1996). Sedangkan ilmu
pengetahuan atau Sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui
proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains
dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang sudah sistematis (science is systematic
knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains mempunyai tiga karakteristik, yaitu obyektif,
netral dan bebas nilai, sedangkan dalam pemikiran Islam, sain tidak boleh bebas nilai, baik
nilai lokal maupun nilai universal.

Adapun sumber ilmu pengetahuan dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu, yaitu
akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber dari wahyu
Allah bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat kebenaran mutlak (absolute).
Sedangkan Ilmu yang bersumber dari akal pikiran manusia bersifat perolehan (acquired
knowledge), tingkat kebenaran nisbi (relative), oleh karenanya tidak ada istilah final dalam
suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu terbuka kesempatan untuk
melakukan kajian ulang atau perbaikan kembali.

Al-qur’an menganggap “anfus” (ego) dan “afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan.
Tuhan menampakka tanda-tanda-Nya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir.
Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas karena ditimbang dari berbagai sisi
pengalaman ini. Pengalaman batin merupakan pengembaraan manusia terhadap seluruh
potensi jiwa dan inteleknya yang atmosfernya telah dipenuhi dengan nuansa wahyu Ilahi.
Sedangkan Al-qur’an membimbing pengalaman lahir manusia kearah obyek alam dan
sejarah.
Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi  karena sesungguhnya hal
ini merupakan cerminan penghargaan bagi kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah makhluk
satu-satunya yang secara potensial diberi kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan.
Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek.

1. Turunnya wahyu pertama ( Al-Alaq : 1-5), ayat yang dimulai dengan perintah untuk
membaca, ini mencerminkan betapa pentingnya aktivitas membaca bagi kehidupan
manusia terutama dalam menangkap hakikat dirinya dan lingkungan alam sekitarnya.
Membaca dalam arti luas adalah kerja jiwa dalam menangkap dan menghayati
berbagai fenomena di dalam dan di sekitar diri hingga terpahami betul makna dan
hakikatnya.
2. Banyaknya ayat Al-qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal,
pikiran dan pemahaman (Al-Baqarah 2 : 44, Yaa siin 36 : 68, Al-An’aam 6 : 50). Ini
menandakan bahwa manusia yang tidak memfungsikan kemampuan terbesar pada
dirinya itu adalah manusia yang tidak berharga.
3. Allah memandang rendah orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi akalnya
sehingga mereka disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih rendah dari itu (al-
A’raf 7 : 179).
4. Allah memandang lebih tinggi derajat orang yang berilmu dibandingkan orang-orang
yang bodoh (Az-Zumar 39 : 9).

Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia dan sempurna (melebihi malaikat)
apabila dapat memerankan tugas kekhalifahannya. Namun jika manusia tidak dapat
bertanggungjawab sebagai khalifatullah dengan baik dan benar, maka kedudukan manusia
lebih rendah dari binatang. Allah berfirman dalam kitabnya Q.S Ar Ra’du: 2 memilih kata
”sakhkhara” yang berarti ”menundukkan” atau ”merendahkan”, hal tersebut menunjukkan
bahwa alam dengan segala manfaat yang dapat diperoleh darinya harus tunduk dan dianggap
sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawah manusia.

‫س َوا ْلقَ َم َر‬ َّ ‫س َّخ َر ال‬


َ ‫ش ْم‬ ِ ‫ست ََوى َعلَى ا ْل َع ْر‬
َ ‫ش َو‬ ْ ‫ت بِ َغ ْي ِر َع َم ٍد ت ََر ْونَ َها ثُ َّم ا‬ َّ ‫هّللا ُ الَّ ِذي َرفَ َع ال‬
ِ ‫س َما َوا‬
َ‫ت لَ َعلَّ ُكم بِلِقَاء َربِّ ُك ْم تُوقِنُون‬
ِ ‫ص ُل اآليَا‬ ِّ َ‫س ّمًى يُ َدبِّ ُر اَأل ْم َر يُف‬
َ ‫ُك ٌّل يَ ْج ِري َأل َج ٍل ُّم‬
Artinya: Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat,
kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-
masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya),
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini Pertemuan (mu) dengan
Tuhanmu{ Q.S Ar Ra’du: 2}

Allah menciptakan manusia memiliki potensi akal dan pikiran sebagai bekal untuk hidup
di dunia. Melalui akal dan pikiran tersebut, manusia dapat memahami dan menyelidiki
elemen-elemen yang terdapat di alam serta memanfaatkannya untuk kesejahteraan mereka.
Akal dan pikiran tersebut merupakan kelebihan dan keistimewaan yang diberikan oleh Allah
kepada manusia sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al Isra 70:

ِ ‫َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِي آ َد َم َو َح َم ْلنَا ُه ْم فِي ا ْلبَ ِّر َوا ْلبَ ْح ِر َو َرزَ ْقنَاهُم ِّمنَ الطَّيِّبَا‬
َّ َ‫ت َوف‬
‫ض ْلنَا ُه ْم َعلَى َكثِي ٍر‬
‫ضيال‬ ِ ‫ِّم َّمنْ َخلَ ْقنَا تَ ْف‬
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan..{ Q.S. Al Isra 70}

Dengan demikian, dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan


memanfaatkan alam yang ”ditundukkan” oleh Allah untuk manusia, manusia hendaknya
memahami konsep dan tugasnya sebagai khalifah di Bumi. Manusia jangan sampai
“ditundukkan” oleh alam melalui nilai-nilai materialistik dan keserakahan karena
sesungguhnya hal tersebut melanggar kodrat manusia yang diberikan oleh Allah. Untuk itu,
Tuhan menganugerahkan kepada manusia potensi-potensi (fithrah) yang dapat dikembangkan
melalui proses pendidikan. Ada beberapa pendapat yang membahas tentang potensi-potensi
yang dimiliki oleh manusia, di antaranya adalah sebagai berikut.
Menurut Jalaluddin, ada tiga potensi yang dimiliki oleh manusia, yaitu potensi ruh,
jasmani (fisik), dan rohaniah. Pertama, ruh; berisikan potensi manusia untuk bertauhid, yang
merupakan kecenderungan untuk mengabdikan diri kepada Sang Pencipta. Kedua, jasmani;
mencakup konstitusi biokimia yang secara materi teramu dalam tubuh. Ketiga, rohani; berupa
konstitusi non-materi yang terintegrasi dalam jiwa, termasuk ke dalam naluri penginderaan,
intuisi, bakat, kepribadian, intelek, perasaan, akal, dan unsur jiwa yang lainnya.
Imam al-Ghazali menyatakan manusia mempunyai empat kekuatan (potensi), yaitu;
pertama, qalb; merupakan suatu unsur yang halus, berasal dari alam ketuhanan, berfungsi
untuk merasa, mengetahui, mengenal, diberi beban, disiksa, dicaci, dan sebagainya yang pada
hakikatnya tidak bisa diketahui; kedua, ruh; yaitu sesuatu yang halus yang berfungsi untuk
mengetahui tentang sesuatu dan merasa, ruh juga memiliki kekuatan yang pada hakikatnya
tidak bisa diketahui; ketiga, nafs; yaitu kekutan yang menghimpun sifat-sifat tercela pada
manusia; keempat, aql; yaitu pengetahuan tentang hakikat segala keadaan, maka akal ibarat
sifat-sifat ilmu yang tempatnya di hati.

Jalaluddin dan Usman Said, secara garis besar manusia memiliki empat potensi dasar,
yaitu : pertama, hidayah al-ghariziyyah (naluri), yaitu kecenderungan manusia untuk
memenuhi kebutuhan biologisnya, seperti, makan, minum, seks, dan lain-lain, dalam hal ini
antara manusia dengan binatang sama; kedua, hidayah al-hisiyyah (inderawi), yaitu
kesempurnaan manusia sebagai makhluk Allah SWT (ahsan at-taqwim); ketiga, hidayah al-
aqliyyah, yaitu bahwa manusia merupakan makhluk yang dapat dididik dan mendidik (animal
educandum); dan keempat, hidayah diniyyah, yaitu bahwa manusia merupakan makhluk yang
mempunyai potensi dasar untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Apabila dikaitkan dengan konteks pengembangannya, potensi ruh diarahkan kepada


ibadah mahdhah (khusus) secara rutin dan kontinu. Oleh karena dengan melalui program ini
diharapkan tercipta tingkah laku lahiriah-batiniah sebagai suatu pola hidup makhluk yang
bertuhan. Potensi jasmaniah diprogramkan lebih dini agar manusia makan dan minum dari
yang manfaat, baik dan benar (halalan thayyiban).

Hal ini dianggap penting karena benih (nuthfah) berasal dari makanan dan minuman,
yang pada akhirnya akan menjadi bahan baku pengembangan sumberdaya insani. Potensi
rohaniah, seperti naluri mempertahankan diri dan naluri untuk berkembang biak harus
disalurkan dengan jalan yang diridlai Allah SWT. Sementara itu, dengan potensi fithrah dan
gharizah menuntut manusia untuk senantiasa belajar dari lingkungannya.
Salah satu aspek potensial dari fitrah adalah kemampuan berpikir manusia, di mana
rasio menjadi pusat perkembangannya. Adapun potensi akal merupakan ciri khas manusia
sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk memilih (baik dan buruk) dan manusia
berpotensi untuk menentukan jalan hidupnya.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa Allah telah menganugerahkan beberapa
potensi kepada manusia yang dapat dikembangkan dengan seoptimal mungkin dalam rangka
melaksanakan tugas kekhalifahannya di dunia. Dari potensi-potensi dasar tersebut,
menunjukkan pada kita akan pentingnya pendidikan untuk mengembangkan dan mengolah
sampai di mana titik optimal itu dapat capai. Apalagi kita saksikan kondisi manusia pada
waktu dilahirkan di dunia ini, mereka dalam keadaan yang sangat lemah, yang secara tidak
langsung membutuhkan pertolongan dari kedua orangtuanya.
Tanpa adanya pertolongan dan bimbingan kedua orangtuanya, maka bayi yang lahir
dengan bentuk tubuh yang sempurna itu akan mengalami pertumbuhan secara tidak
sempurna. Sebagaimana dialami oleh Mr. Singh, ketika menemukan dua orang anak manusia
dalam sarang serigala. Kedua anak tersebut diasuh dan dibesarkan oleh serigala sehingga
segala gerak gerik, kemampuan, dan tingkah lakunya sangat menyerupai serigala.
Demikian halnya anak yang diasuh oleh monyet, maka ia juga akan menyerupai
monyet. Dengan demikian, pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan
kepribadian anak, potensi jasmaniah dan rohaniah tidak secara otomatis tumbuh dan
berkembang dengan sendirinya, tetapi membutuhkan adanya bimbingan, arahan, dan
pendidikan.

B. Rambu-rambu Pengembangan IPTEK dalam Al-qur’an.

Iptek dan segala hasilnya dapat diterima oleh masyarakat Islam manakala bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Jika penggunaan hasil iptek akan melalaikan seseorang dari dzikir
dan tafakkur, serta mengantarkan pada rusaknya nilai-nilai kemanusiaan, maka bukan hasil
teknologinya yang ditolak, melainkan manusianya yang harus diperingatkan dan diarahkan
dalam menggunakan teknologi.

Adapun tentang seni, dalam teori ekspresi disebutkan bahwa Art is an expression of
human feeling adalah suatu pengungkapan perasaan manusia. Seni merupakan ekspresi jiwa
seseorang dan hasil ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dan budaya manusia.
Seni identik dengan keindahan, keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran, dan
keduanya memiliki nilai yang sama, yaitu keabadian. Dan seni yang lepas dari nilai-nilai
ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu, bukan akal budi.

Islam sebagai agama yang mengandung ajaran aqidah, akhlak dan syariah, senantiasa
mengukur segala sesuatu (benda-benda, karya seni, aktivitas) dengan pertimbangan-
pertimbangan ketiga aspek tersebut. Oleh karenanya, seni yang bertentangan atau merusak
akidah, syariat, dan akhlak tidak akan diakui sebagai sesuatu yang bernilai seni. Dengan
demikian, semboyan seni untuk seni tidak dapat diterima dalam Islam.

Dalam prespektif Islam, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni, merupakan


pengembangan potensi manusia yang telah diberikan oleh Allah berupa akal dan budi.
Prestasi gemilang dalam pengembangan iptek, pada hakikatnya tidak lebih dan sekedar
menemukan bagaimana proses sunnatullah itu terjadi di alam semesta ini, bukan merancang
atau menciptakan hukum baru di luar sunnatullah (hukum alam hukum Allah).

Seharusnya temuan-temuan baru di bidang iptek membuat manusia semakin


mendekatkan diri pada Allah, bukan semakin angkuh dan menyombongkan diri. Sumber
pengembangan iptek dalam Islam adalah wahyu Allah. Iptek yang Islami selalu
mengutamakan dan mengedepankan kepentingan orang banyak dan kemaslahatan bagi
kehidupan umat manusia. Untuk itu iptek dalam pandangan Islam tidak bebas nilai.

Adapun integrasi antara Iman, IPTEKS, dan Amal adalah sangat erat kaitannya. Islam
merupakan ajaran agama yang sempurna. Kesempurnaannya dapat tergambar dalam keutuhan
inti ajarannya. Ada tiga inti ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga inti ajaran itu
terintegrasi di dalam sebuah sistem ajaran yang disubut Dienul Islam.

Dalam Al-Qur’an surat Ibrahim: 24-25, Allah telah memberikan ilustrasi indah tentang
integrasi antara iman, ilmu dan amal. Ayat tersebut menggambarkan keutuhan antara iman,
ilmu, dan amal atau akidah, syariah dan akhlak dengan menganalogkan bangunan Dinul
Islam bagaikan sebatang pohon yang baik. Iman diidentikan dengan akar sebuah pohon yang
menopang tegaknya ajaran Islam. Ilmu bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahan-
dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan, sedangkan amal ibarat buah dan pohon identik
dengan teknologi dan seni.

Iptek yang dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan amal
saleh. Selanjutnya perbuatan baik, tidak akan bernilai amal saleh apabila perbuatan baik
tersebut tidak dibangun di atas nilai iman dan ilmu yang benar. Iptek yang lepas dan
keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan
kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka
bagi kehidupan manusia.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas,
memperdalam, dan mengembangkan iptek. Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran
Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan
Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan
syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek dan seni. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya
standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam
mengaplikasikan iptek.
Selain itu potensi manusia dalam
Untuk itu setiap muslim harus bisa memanfaatkan alam yang ada untuk
perkembangan iptek, tetapi harus tetap menjaga dan tidak merusak yang ada. Yaitu dengan
cara mencari ilmu dan mengamalkanya dan tetap berpegang teguh pada syari’at Islam.
Daftar Pustaka

 Al Faruqi, Ismail R,  2001. Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah peradaban,
Bandung; Cet. III Gemilang Mizan.
 Daim, Abdullah. 1984. Tarbiyah ‘Abdru Tarikh, Min Ushuri Qadimah hatta Qarnu
Isyrin. Beirut; Darul ‘Ilmi lil Mu’allim. Cet. Ke 5.
 Departemen Agama RI, 2001. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Jakarta.
 Nasution, Harun, 1986. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta; Bulan Bintang.
 Shihab, M, Quraish. 1996. Mermbumikan Al-Qur’an. Bandung; Cetakan ke 12.
Mizan.
 Wahyuddin. dkk. 2009. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta;
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
 http://inafauzia95.blogspot.co.id/2015/05/paradigma-pengembangan-ipteks.html

Anda mungkin juga menyukai