Anda di halaman 1dari 16

http://cakrawalajournal.org/index.

php/cakrawala
Volume 14 Nomor 2 Desember 2020

Evaluasi Program Perbaikan Gizi Berbasis Pemberdayaan


Masyarakat dalam Pos Gizi di Kabupaten Bojonegoro
Evaluation of Community Empowerment Based Nutrition Improvement Programs in
Hearth in Bojonegoro District
Elya Sugianti

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur, Indonesia


DOI: 10.32781/cakrawala.v14i2.355

ARTICLE INFO Abstrak:


Evaluasi, Pos gizi merupakan program inovasi berbasis pemberdayaan masyarakat
Pos Gizi,
dalam merehabilitasi, menurunkan, dan mencegah kekurangan gizi. Penelitian
ini bertujuan untuk mengevaluasi program pos gizi dari segi input, proses, dan
Balita,
output. Penelitian menggunakan pendekatan mix method. Informan ditentukan
Pemberdayaan, secara purposive dan berjumlah 11 orang. Sampel ditentukan dengan total
Penyelidikan Positive sampling dan berjumlah 19 balita. Pengumpulan data menggunakan wawancara
Deviance terstruktur, indepth interview, observasi, dan pengukuran. Data kualitatif
dianalisis dengan model Miles dan Hubberman. Data kuantitatif dianalisis
dengan SPSS secara deskriftif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Article History: dari aspek input, kualitas SDM masih kurang, pengorganisasian, petunjuk
Received : 31 Okt 2020 pelaksanaan, sarana prasarana sudah cukup, pendanaan dan kontribusi bahan
makanan belum memadai. Dari aspek proses, pelatihan, penyelidikan positive
Accepted : 06 Des 2020
deviance, dan kunjungan ke rumah masih belum dilakukan. Dari aspek output,
Publish : 16 Des 2020 perilaku kesehatan pengasuh sudah baik, namun perubahan berat badan dan
status gizi balita masih belum baik. Perlunya kehadiran pengasuh, kontribusi
bahan makanan, dan penerapan perilaku kesehatan guna meningkatkan
keberhasilan program pos gizi.
Abstract:
The hearth is an innovative program based on community empowerment in
rehabilitating, reducing, and preventing malnutrition. This study aims to evaluate
the hearth program in aspect of input, process, and output. This research uses a
mix method approach. The informants were determined purposively and totaled
11 people. The sample was determined by total sampling and totaled 19 children
under five years old. Collecting data using structured interviews, indepth
interviews, observation, and measurement. The qualitative data were analyzed
using the Miles and Hubberman model. Quantitative data were analyzed using
SPSS in a descriptive quantitative. The results showed that from the input
aspect, the quality of human resources was still lacking, the organization,
implementation instructions, infrastructure were sufficient, funding and
contribution of foodstuffs were inadequate. From the process aspects, training,
positive deviance investigations, and home visits have not been carried out.
From the output aspect, the health behavior of caregivers is good, but changes
in body weight and nutritional status of children under five years old are still not
good. The need for the presence of carergivers, the contribution of foodstuffs,
and the implementation of health behaviors to increase the success of the hearth
program.


Corresponding author : Hal. 113-128
Address : Jalan Gayung Kebonsari No. 56 Surabaya. p-ISSN 1978-0354 | e-ISSN 2622-013X
Email : sugiantielya@gmail.com
Phone :-
114 | Elya Sugianti, Evaluasi Program Perbaikan Gizi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

PENDAHULUAN kekurangan gizi berdasarkan pengalaman


Masalah gizi masih menjadi perhatian dari berbagai negara. Tujuan program
pemerintah untuk segera diselesaikan. pos gizi adalah untuk memulihkan balita
Prevalensi masalah gizi pada balita cukup kurang gizi, mempertahankan status gizi
tinggi di Indonesia, yaitu sebanyak 17,7% baik di rumah, dan mencegah kekurangan
balita kurang gizi (underweight), 30,8% gizi. Program pos gizi berasumsi bahwa
balita pendek (stunting), dan 10,2% balita solusi dari masalah gizi di masyarakat
kurus (wasting) (Balitbangkes, 2019a). dapat diketemukan pada masyarakat
Masalah gizi pada balita disebabkan oleh itu sendiri. Program ini melibatkan
asupan gizi yang rendah (Rosha et al., berbagai lapisan masyarakat untuk saling
2012), banyaknya jumlah anak dalam bekerjasama mengatasi masalah gizi
keluarga (Rosha et al., 2012), pemberian dengan memaksimalkan sumberdaya,
ASI non-eksklusif (Al-Rahmad & Miko, ketrampilan dan strategi yang ada dalam
2016), pemberian MP-ASI yang buruk masyarakat (Sternin et al., 1998; CORE,
(Al-Rahmad & Miko, 2016), imunisasi 2004)
tidak lengkap (Al-Rahmad & Miko, 2016), Beberapa wilayah di Indonesia
sanitasi lingkungan yang buruk (Rosha et sudah menerapkan program pos gizi. Di
al., 2012), rendahnya tingkat pendidikan Cianjur, Jawa Barat, program pos gizi telah
ibu (Laksono & Megatsari, 2020), dan mengubah status gizi balita yaitu 28%
rendahnya tingkat pendapatan (Ratnawati balita mengalami kenaikan berat badan
& Rahfiludin, 2020). Masalah gizi lebih dari 400 gram, 36% balita memiliki
meningkatkan risiko pada tingginya angka berat badan tetap, 19% balita gizi kurang
kematian pada balita (Olofin et al., 2013), menjadi gizi baik, 16% balita gizi buruk
tingginya risiko terkena diare (Ferdous et menjadi gizi kurang dan 13% mengalami
al., 2013), tingginya risiko terkena ISPA drop out. Di Garut, Jawa Barat, dari 507
(Lorensa et al., 2017) dan penyakit infeksi balita yang mengikuti program pos gizi,
yang berujung kematian (Karunaratne et 81% diantaranya mengalami perubahan
al., 2020). status gizi baik, 14,6% gizi kurang dan
Dalam rangka mengatasi masalah 3,7% gizi buruk. Di Cimahi, Jawa Barat,
gizi pada balita, pemerintah sudah program pos gizi dapat menurunkan angka
melaksanakan berbagai upaya, diantaranya gizi buruk sebanyak 19,10% dan gizi
melalui program pemantauan pertumbuhan kurang sebanyak 33,5%. Di Depok, Jawa
di posyandu, program penyuluhan dan Barat, program pos gizi dapat menurunkan
konseling ASI eksklusif dan MP-ASI, angka gizi buruk dari 32,54% menjadi
program pemberian Makanan Pendamping 18,64%, dan balita gizi kurang turun dari
ASI (MP-ASI) lokal, program Pemberian 67,46% menjadi 58,98% (Anonim, 2017).
Makanan Tambahan (PMT) pada balita, Beberapa penelitian terdahulu melaporkan
dan program suplementasi gizi. Namun, manfaat pos gizi dalam berbagai aspek,
seringkali sesudah program berakhir, yaitu penurunan kekurangan gizi pada
balita kembali mengalami kekurangan balita (Hidayat, 2009; Ayubi et al., 2014;
gizi (CORE, 2004). Untuk itu, beberapa Calvince et al., 2015; Roche et al., 2016;
wilayah di Indonesia mulai menerapkan Inamahoro et al., 2017), perubahan
program inovasi berbasis pemberdayaan perilaku kesehatan ibu lebih baik (Dickey
masyarakat. Salah satu program inovasi et al., 2002; Nishat & Batool, 2011; Roche
tersebut adalah melalui program pos gizi. et al., 2016; Trijanti, 2014; Salam et al.,
Program pos gizi merupakan 2015), peningkatan tingkat pengetahuan,
program yang terbukti sukses menangani perubahan sikap lebih baik (Salam et al.,
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 14(2) 2020: 113-128 | 115

2015), dan perbaikan pola pengasuhan bahwa solusi dari setiap masalah gizi sudah
(Trijanti, 2014). ada di masyarakat itu sendiri dan hanya
Prevalensi masalah gizi di Jawa perlu diketemukan. Solusi yang ditemukan
Timur tidak jauh berbeda dengan tingkat di dalam masyarakat dianggap akan lebih
nasional, yaitu terdapat 16,7% balita lama bertahan dibandingkan dengan solusi
kurang gizi, 32,8% balita stunting dan yang dibawa dari luar masyarakat (Sternin
9,2% balita wasting (Balitbangkes, et al., 1998; CORE, 2004).
2019b). Beberapa daerah di Jawa Timur Pendekatan PD di Kabupaten Cianjur
sudah melaksanakan program pos gizi dapat menurunkan balita gizi buruk dari
guna mengatasi permasalahan gizi yang 30% menjadi 10,9%, dan meningkatkan
ada, salah satu nya adalah Kabupaten status gizi balita menjadi 20,9%
Bojonegoro. Permasalaham gizi di (Aryastami, 2006). Di Pandeglang, Banten,
Kabupaten Bojonegoro cukup tinggi, Buanasita et al. (2008), melaporkan
yaitu terdapat 17,09% balita kurang gizi, bahwa intervensi dengan pendekatan PD
34,91% balita stunting, dan 11,36% balita berdampak signifikan terhadap peningkatan
wasting (Balitbangkes, 2019b). Program frekuensi makan, pemberagaman makan,
pos gizi telah dilaksanakan di Kabupaten praktek pemberian makan, penurunan
Bojonegoro sejak tahun 2007. Banyaknya angka morbiditas, serta peningkatan skor
kendala menjadi penyebab tidak meratanya perkembangan anak.
pelaksanaan program pos gizi di wilayah
Kabupaten Bojonegoro. Namun, belum Program Pos Gizi
banyak penelitian yang melaporkan Pos gizi merupakan program yang sukses
evaluasi program pos gizi di kabupaten mengurangi angka kekurangan gizi
tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini pada balita. Program ini memungkinkan
bertujuan untuk mengevaluasi program kelompok masyarakat untuk saling
pos gizi berdasarkan segi input, proses, dan bekerjasama dalam mengurangi jumlah
output di Kabupaten Bojonegoro. anak-anak kurang gizi pada saat ini,
menjaga status gizi tetap baik setelah
TINJAUAN PUSTAKA program tersebut berakhir serta mencegah
Positive Deviance kekurangan gizi di masa yang akan
Perilaku positive deviance (PD) merupakan datang. Perilaku-perilaku positif yang
perilaku positif yang tidak umum namun telah diketemukan saat penyelidikan PD
memberikan manfaat apabila dipraktekkan. dalam hal memasak, pemberian makan,
Perilaku PD tidak bertentangan dengan praktek kebersihan, gaya pengasuhan dan
budaya lokal, terjangkau, dapat diterima, cara mendapatkan pelayanan kesehatan
dan berkelanjutan (Marsh et al., 2004). akan dipromosikan selama implementasi
Mackintosh et al. (2002) menyatakan program (CORE, 2004).
bahwa PD merupakan metode yang cepat Komponen utama program pos
dan murah untuk mengidentifikasi praktek gizi meliputi identifikasi perilaku positif
yang berpotensi untuk meningkatkan status keluarga yang berhasil, pemantauan
gizi. PD memegang peranan penting dalam pertumbuhan setiap bulan, pendidikan
menginisiasi dan mempercepat perubahan dan rehabilitasi gizi, pengelolaan program
perilaku melalui proses perhatian pos gizi melalui pertemuan bulanan, dan
masyarakat, penyadaran, penyelesaian pemantauan/ evaluasi (Sternin et al., 1998).
masalah, pemberian motivasi perubahan Program pos gizi akan efektif apabila
perilaku, dan adopsi perilaku baru (Lapping terdapat penyelidikan PD, pelibatan
et al., 2002). Pendekatan PD berasumsi kader setempat, adanya kontribusi bahan
116 | Elya Sugianti, Evaluasi Program Perbaikan Gizi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

makanan dari ibu balita, adanya partisipasi bahwa program pos gizi hanya dapat
aktif dari para pengasuh dan masyarakat, merehabilitasi balita kurang gizi tingkat
adanya kegiatan rehabilitasi dan pendidikan sedang selama jangka waktu implementasi,
gizi selama 10-12 hari, terdapatnya namun, sesudah 77 hari paska program,
tindak lanjut kunjungan ke rumah, dan terjadi penurunan status gizi. Terbatasnya
pemanfaatan posyandu untuk identifikasi aksesibilitas pangan dan buruknya sanitasi
balita kurang gizi (CORE, 2004). Sethi et menyebabkan ketidakberlanjutan praktek-
al. (2003) menambahkan bahwa program praktek kebersihan yang dipelajari selama
pos gizi efektif apabila perilaku yang akan program.
diadopsi membutuhkan waktu persiapan
paling sedikit dan konselor atau pengasuh Evaluasi Kebijakan
yang dijadikan contoh berasal dari kalangan Evaluasi kebijakan adalah salah satu
masyarakat itu sendiri yang menerapkan tahapan dalam proses kebijakan publik
perilaku PD. yang bertujuan untuk menilai apakah
Program pos gizi terbukti dapat pelaksanaan suatu kebijakan publik
memperbaiki status gizi pada balita mencapai keberhasilan atau kegagalan.
(Hidayat, 2009; Ayubi et al., 2013; Calvince Evaluasi kebijakan digunakan untuk menilai
et al., 2015; Roche et al., 2016; Inamahoro seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat
et al., 2017), praktek cuci tangan (Dickey membuahkan hasil. Selain hasil (outcomes)
et al., 2002; Mackintosh et al., 2002), dan dan dampak (impacts), evaluasi kebijakan
praktek pemberian makan (Nishal & Batool, dapat digunakan untuk melihat apakah
2011). Review yang dilakukan Bullen suatu kebijakan sudah sesuai dengan
(2011) memberikan hasil yang beragam, pedoman/ petunjuk pelaksanaan yang
sembilan studi pre dan post tanpa kontrol telah ditentukan. Evaluasi kebijakan dapat
tidak dapat digunakan untuk menarik dibedakan menjadi dua tipe, yaitu evaluasi
kesimpulan karena lemahnya desain studi, hasil (outcomes) dan evaluasi proses.
lima dari tujuh studi randomized controlled Ukuran keberhasilan evaluasi hasil adalah
trials (RCT) melaporkan hasil positif dengan melihat sejauh mana apa yang
dengan adanya peningkatan status gizi, menjadi tujuan telah tercapai. Sementara
namun belum sesuai harapan, studi lain ukuran keberhasilan evaluasi proses adalah
menemukan adanya peningkatan perilaku, kesesuaian implementasi suatu kebijakan
dan dua dari tiga studi melaporkan hasil dengan garis petunjuk yang telah ditetapkan
positif untuk status gizi dan perubahan (Widodo, 2013).
perilaku dalam pengasuhan kepada adiknya METODE PENELITIAN
sesudah ibu dan kakaknya mengikuti Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten
program pos gizi beberapa tahun yang lalu. Bojonegoro, yaitu di Desa Klepek,
Program pos gizi tidak hanya memiliki Kecamatan Sukosewu dan Desa
peranan merehabilitasi, namun juga dapat Margoagung, Kecamatan Mejuwet selama
mencegah kekurangan gizi (Bullen, 2011). enam bulan. Pendekatan penelitian ini
Di Vietnam, program pos gizi tidak hanya adalah mix method. Pendekatan kualitatif
memperbaiki perawatan anak dan perilaku untuk menjawab evaluasi dari aspek
kesehatan pada balita sasaran, namun juga input dan proses. Pendekatan kuantitatif
pada saudaranya tiga sampai empat tahun digunakan untuk menjawab evaluasi dari
sesudah program, meskipun saudaranya aspek output, yaitu untuk mengetahui
tidak pernah ikut program (Mackintosh et sejauh mana perubahan perilaku pengasuh
al., 2002). Berbeda dengan hal tersebut, serta perubahan berat badan dan status gizi
Zevounou et al. (2017), menemukan
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 14(2) 2020: 113-128 | 117

balita. Data kualitatif dikumpulkan dengan bahwa jumlah kader yang berpartisipasi
indepth interview terhadap informan. dalam program pos gizi sudah memadai.
Data kuantitatif dikumpulkan dengan Namun, kader belum pernah mendapatkan
pengukuran berat badan, wawancara pelatihan terkait dengan program pos gizi.
terstruktur dan observasi. Informan dalam TPG dalam penelitian ini secara kuantitas
penelitian ini berjumlah 11 orang, terdiri sudah cukup, namun secara kualitas
dari 1 orang Dinas Kesehatan Bojonegoro, masih kurang. TPG memiliki kualifikasi
2 orang Kepala Puskesmas, 2 orang tenaga pendidikan lulusan D3 kebidanan. TPG
pelaksana gizi/ bidan desa, dan 6 orang memiliki rangkap jabatan sebagai pelaksana
kader setempat. Informan ditentukan program gizi dan juga sebagai bidan desa.
dengan teknik purposive sampling. Kondisi ini menyebabkan adanya tumpang
Teknik pengumpulan data pada penelitian tindih pekerjaan. Kualifikasi pendidikan
ini menggunakan triangulasi sumber TPG juga belum sesuai, seharusnya
(Sugiyono, 2015). Sampel merupakan TPG memiliki kualifikasi pendidikan
balita yang menjadi sasaran program pos minimal D3 gizi. TPG juga belum pernah
gizi yang ditentukan dengan teknik total mendapatkan pelatihan terkait program pos
sampling. Total sampel dalam penelitian ini gizi.
berjumlah 19 balita peserta program. Data Senada dengan temuan penelitian
kualitatif dianalisis menggunakan model ini, Larasaty (2017) menemukan bahwa
Miles dan Huberman yang meliputi reduksi SDM dalam program pos gizi belum sesuai
data, penyajian data, dan kesimpulan/ dengan panduan. Keaktifan kader lebih
verifikasi data (Sugiyono, 2016). Sementara baik dibandingkan dengan TPG. Kader
data kuantitatif dianalisis secara deskriftif secara kuantitas sudah memadai, namun
menggunakan software SPSS. secara kualitas masih kurang karena tidak
pernah mendapatkan pelatihan. Menurut
HASIL DAN PEMBAHASAN Widodo (2013), keefektifan program
Aspek Input tidak hanya mengandalkan banyaknya
Sumber daya manusia (SDM) memiliki SDM, melainkan juga dengan kemampuan
peran penting dalam program pos gizi dalam menjalankan tupoksinya. Depkes
(CORE, 2004). Tanpa adanya SDM (2008) menyebutkan bahwa pemahaman
yang memadai, program pos gizi tidak kader dan TPG tentang konsep-konsep
akan efektif. Peranan ini melibatkan kunci di balik pos gizi merupakan
kader dan tenaga pelaksana gizi. Kader salah satu faktor yang membuat pos
memiliki peranan dalam mengawasi, gizi efektif. Minimnya pelatihan terkait
mendemonstrasikan dan menginformasikan pelaksanaan pos gizi berimbas pada tidak
pesan-pesan kesehatan kepada pengasuh. maksimalnya pelaksanaan program. Hal ini
Sementara tenaga pelaksana gizi berperan karena pelatihan dapat bermanfaat untuk
dalam mengkoordinasikan, merancang penyamaan persepsi atas program yang
menu-menu, memberikan penyuluhan, akan dijalankan (Nugroho, 2014).
memantau tumbuh kembang balita, serta Program pos gizi merupakan program
memberikan obat atau suplemen ketika berbasis sumberdaya masyarakat. Hal
balita sakit. Ketepatan jumlah dan kualitas ini karena kekuatan program pos gizi ada
kader dan tenaga pelaksana gizi (TPG) pada partisipasi masyarakat. Keaktifan
sangat diperlukan. Hal ini berkaitan dengan masyarakat merupakan salah satu kunci
keberhasilan dan kegagalan suatu program keberhasilan program (Depkes, 2008).
(Widodo, 2013) Rendahnya partisipasi masyarakat men-
Temuan penelitian menunjukkan yebabkan kegagalan program. Untuk
118 | Elya Sugianti, Evaluasi Program Perbaikan Gizi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

itu, diperlukan pengorganisasian yang keberadaan buku petunjuk pada setiap


melibatkan masyarakat. Meskipun puskesmas di Kabupaten Bojonegoro
sudah ada TPG yang mumpuni, belum diikuti dengan adanya pelatihan baik
namun apabila tidak diimbangi dengan untuk TPG maupun kader desa. Selama
pelibatan masyarakat setempat dapat ini Dinas Kesehatan Bojonegoro hanya
berakibat program pos gizi jalan di mengadakan sosialisasi terkait pelaksanaan
tempat. Pengorganisasian berguna untuk program pos gizi. Tidak adanya pelatihan
menetapkan dan menata sumber daya, unit yang menjelaskan kunci-kunci program
dan metode dalam upaya merealisasikan pos gizi, tata aliran pekerjaan, dan
apa-apa yang menjadi tujuan dan sasaran penyamaan persepsi terkait pelaksanaan
program (Widodo, 2013). program (Nugroho, 2014), menyebabkan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya persepsi yang berbeda diantara
pengorganisasian dalam program pos gizi pelaksana terkait program pos gizi. Hal
sudah melibatkan tim khusus, lintas sektor ini mengakibatkan program pos gizi tidak
dan lintas program. Pembagian tugas dalam dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang
program pos gizi juga sudah dilakukan. ditetapkan.
Namun, meskipun sudah terdapat tim Sarana prasarana merupakan salah
khusus lintas sektor dan lintas program, satu aspek input yang harus tersedia untuk
pelaksana utama program pos gizi adalah mencapai keberhasilan program. Menurut
TPG dan kader desa. Partisipasi aktif TPG Widodo (2013), sarana prasarana bermanfaat
dan kader pada penelitian ini berimbas pada dalam memudahkan pelaksanaan program.
keberlanjutan program. Salah satu peran Keterbatasan sarana prasarana berimbas
kunci program pos gizi adalah pelibatan kepada kegagalan pelaksanaan program.
kader setempat (Depkes, 2008) dan adanya Salah satu sarana prasarana yang penting
partisipasi aktif pada masyarakat (CORE, adalah tempat pelaksanaan program.
2004). Penentuan tempat pelaksanaan program
Petunjuk pelaksanaan atau standard pos gizi didahului oleh adanya koordinasi
operating procedure (SOP) merupakan antara pihak puskesmas dan pihak desa.
salah satu aspek input yang penting untuk Hal yang harus diperhatikan dalam
tercapainya tujuan program. SOP atau buku penentuan tempat adalah lokasi strategis
petunjuk bermanfaat untuk mengatur tata yang mempertimbangkan jarak rumah
aliran pekerjaan diantara para pelaksana pengasuh dengan lokasi pelaksanaan
program (Nugroho, 2014). SOP berguna program. Meskipun belum ada tempat
untuk memudahkan dan menyeragamkan khusus yang disediakan dalam pelaksanaan
tindakan para pelaksana program dalam program, namun program pos gizi dapat
menjalankan tupoksinya (Widodo, 2013). berjalan dengan lancar. Temuan penelitian
Dengan adanya buku petunjuk, diharapkan menunjukkan bahwa pelaksanaan pos gizi
program dapat terlaksana sesuai dengan mengambil tempat di rumah warga atau
pedoman dan tujuan yang telah ditetapkan balai desa setempat.
dapat tercapai. Dinas Kesehatan Kabupaten Berdasarkan observasi yang telah
Bojonegoro telah menyediakan buku dilakukan, sarana prasarana lain yang
petunjuk pelaksanaan program pos gizi. diperlukan dalam pelaksanaan program
Setiap puskesmas sudah mendapatkan pos gizi seperti fasilitas toilet, tempat
buku petunjuk pelaksanaan tersebut. cuci tangan, peralatan memasak bersama,
Temuan penelitian menunjukkan flipchart, timbangan badan, dan bahan-
bahwa buku petunjuk pelaksanaan program bahan untuk penyuluhan sudah tersedia.
sudah tersedia dengan baik. Namun, Berbeda dengan temuan penelitian ini,
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 14(2) 2020: 113-128 | 119

Larasaty (2017) menemukan bahwa tidak puskesmas atau desa dapat memberikan
semua pos gizi memiliki WC, fasilitas dana stimulasi untuk pembelian bahan-
cuci tangan dan alat timbang badan. bahan makanan. Selanjutnya, masyarakatlah
Kurangnya dukungan terhadap sarana yang harus ambil peranan. Ketika dana
prasarana menyebabkan program pos gizi tidak tersedia, sementara dukungan dan
tidak dapat berjalan secara efektif (Depkes, partisipasi masyarakat rendah, maka
2008). Berdasarkan temuan penelitian, program tidak dapat berjalan. Rendahnya
dapat dijustifikasi bahwa sarana prasarana partisipasi dari pengasuh dalam membawa
sudah tersedia dengan baik meskipun bahan makanan pada penelitian ini diduga
belum memadai, khususnya tempat khusus karena tingkat ekonomi masyarakat yang
untuk program pos gizi. Namun, belum kurang. Dugaan lain karena memang belum
memadainya tempat khusus untuk program adanya komitmen yang kuat dari pengasuh
pos gizi tidak menjadi hambatan yang dalam mensukseskan pelaksanaan program
berarti dalam pelaksanaan program. pos gizi.
Bahan yang diperlukan dalam pe- Pada dasarnya pendanaan merupakan
laksanaan program pos gizi adalah bahan hal penting dalam pelaksanaan program.
makanan. Kontribusi bahan makanan dari Widodo (2013), menyatakan bahwa
pengasuh merupakan salah satu kunci terbatasnya anggaran menjadikan pe-
keefektifan program (CORE, 2004). Hasil laksanaan program juga terbatas dan
temuan penelitian menunjukkan bahwa tujuan yang dicapai tidak dapat maksimal.
belum terdapat kontribusi bahan makanan Namun, program pos gizi seharusnya dapat
dari pengasuh dalam pelaksanaan program berjalan dengan dana seminimal mungkin
pos gizi. Senada dengan hasil penelitian (CORE, 2004). Keterlibatan masyarakat
ini, Larasaty (2017), menemukan bahwa dengan memanfaatkan sumber daya yang
tidak ada kontribusi bahan makanan dari ada dapat meminimalisir biaya. Dukungan
pengasuh dalam program pos gizi. Dickey masyarakat berupa materi atau dana
et al. (2002), menemukan bahwa kontribusi merupakan salah satu faktor keberhasilan
pengasuh dalam membawa bahan makanan program (Depkes, 2008). Puskesmas atau
masih rendah yaitu sebesar 20,3%. desa dapat memberikan dana stimulasi
Selama ini pihak desa menjadi untuk awal pelaksanaan program pos gizi.
penyandang dana untuk pembelian bahan- Selanjutnya, partisipasi masyarakat yang
bahan makanan. Penyediaan bahan-bahan menentukan berhasil tidaknya program.
makanan untuk program pos gizi seharusnya Temuan penelitian menunjukkan
menjadi tanggung jawab peserta program. bahwa pelaksanaan program pos gizi
Karena program pos gizi merupakan di Kabupaten Bojonegoro terkendala
program pemberdayaan masyarakat, masalah dana. Program pos gizi tidak dapat
maka seharusnya sumberdaya berasal dari berkelanjutan di setiap puskesmas. Tidak
masyarakat. Apabila masyarakat aktif, adanya dukungan terhadap pelaksanaan
maka kekuatan sumberdaya akan muncul program pos gizi dari aparat desa menjadi
sehingga program pos gizi akan berhasil penyumbang kegagalan program. Apabila
dilaksanakan. Begitu juga sebaliknya, partisipasi pengasuh dalam membawa
ketika masyarakat tidak aktif, maka bahan makanan belum ada, dukungan
program pos gizi tidak bisa berjalan aparat desa berupa penyediaan dana dari
sebagaimana mestinya. Adanya tanggung APBdes menjadi penentu berjalan atau
jawab pada masyarakat berdampak pada tidaknya program pos gizi. Sebagian desa
kelancaran pelaksanaan program meskipun di Kabupaten Bojonegoro yang masih
dengan biaya yang minim. Pada awalnya, melaksanakan program pos gizi adalah
120 | Elya Sugianti, Evaluasi Program Perbaikan Gizi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

desa yang mendapat dukungan dana yang Kegiatan MMD dimaksudkan untuk
memadai dari aparat desa. memahamkan tokoh masyarakat akan
Pendanaan merupakan kendala penyebab dan konsekuensi dari kekurangan
dari pelaksanaan program pos gizi pada gizi pada balita. Pemahaman tokoh
penelitian ini. Pelaksanaan program pos masyarakat ini merupakan salah satu kunci
gizi tergantung dari ada tidaknya sokongan program pos gizi supaya efektif (Depkes,
dana dari donatur dan aparat desa. 2008).
Penelitian terdahulu melaporkan bahwa Disamping mobilisasi tokoh kunci
pendanaan program pos gizi berasal dari masyarakat, identifikasi sumber-sumber
musayawarah masyarakat desa, masyarakat daya dan berbagai pelayanan kesehatan
dan dari puskesmas. Dana digunakan untuk di wilayah setempat diperlukan sebelum
pembelian bahan makanan, alat kebersihan pelaksanaan program. Dengan adanya
dan transport kader (Larasaty, 2017). identifikasi ini, ketika ditemukan anak-
Berbeda dengan penelitian ini, Pasek anak yang sakit dan mengalami gizi buruk
(2019) melaporkan bahwa pendanaan dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan
pada program pos gizi sudah tercukupi. kesehatan. Mobilisasi tim kesehatan desa
Dana seharusnya bukan menjadi masalah atau kader setempat juga penting dalam
dalam program pos gizi. Hal ini karena persiapan program pos gizi. Kader atau tim
program pos gizi berbasis masyarakat kesehatan desa harus memiliki komitmen
sehingga kontribusi dari masyarakat yang yang kuat terhadap pelaksanaan program
membawa hasil pangan lokal menentukan pos gizi, seperti memiliki jiwa sosial tinggi,
keberlanjutan program. Kontribusi ini punya banyak waktu yang tersedia, dan
dapat meminimalisir kebutuhan dana memiliki ketrampilan kerjasama dalam tim
dalam pelaksanaan program. Program pos (CORE, 2004).
gizi yang tidak bisa berjalan dengan alasan Hasil penelitian menunjukkan
terbatasnya dana mengindikasikan bahwa bahwa mobilisasi masyarakat sudah
belum adanya komitmen yang kuat dari dilakukan dengan cukup baik. Mobilisasi
masyarakat untuk bersama-sama dalam masyarakat melalui pertemuan tokoh kunci
mensukseskan program pos gizi. masyarakat merupakan kegiatan yang
penting dilakukan. Pertemuan ini menjadi
Aspek Proses kesempatan dalam memperkenalkan
Pos gizi merupakan program dari permasalahan gizi yang sedang dihadapi
masyarakat dan untuk masyarakat. masyarakat, memperkenalkan program
Partisipasi masyarakat diperlukan dalam pos gizi serta mencari dukungan sebanyak-
pelaksanaan program. Tanpa adanya banyaknya dari lintas program dan lintas
partisipasi masyarakat, maka program sektor, baik dukungan moril maupun
pos gizi tidak dapat berjalan. Partisipasi material. Demikian halnya mobilitas kader
masyarakat dapat dilakukan dengan juga diperlukan untuk menjadi penggerak
memobilisasi masyarakat. Mobilisasi utama dalam pelaksanaan program pos
masyarakat dapat melalui pertemuan gizi. Kader desa memiliki tugas untuk
dengan tokoh kunci masyarakat, seperti menyiapkan makanan, mengawasi para
kepala desa, tokoh agama, lembaga lokal, pengasuh, mempraktekkan pemberian
dukun, pemimpin suku, para nenek, guru, makan pada balita dan menyampaikan
dan wali masyarakat (CORE, 2004). pesan-pesan kesehatan kepada pengasuh
Salah satu bentuk mobilisasi masyarakat (CORE, 2004).
adalah dengan menyelenggarakan kegiatan Pelatihan merupakan jantung dari
Musyawarah Masyarakat Desa (MMD). program pos gizi. Petugas dan kader desa
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 14(2) 2020: 113-128 | 121

perlu dipersiapkan dengan baik sebelum yang memiliki perilaku positif dalam
pelaksanaan program pos gizi. Hal ini mengasuh balitanya, maka akan ada
untuk memaksimalkan manfaat program kepercayaan bagi pengasuh lain yang
dalam mengurangi kekurangan gizi anak balitanya mengalami kekurangan gizi
(CORE, 2004). Kader dan TPG harus untuk menerapkan perilaku positif tersebut.
memiliki pemahaman tentang konsep- Program pos gizi selain menjadi program
konsep kunci dalam pos gizi agar program untuk rehabilitasi kekurangan gizi pada
berjalan efektif (Depkes, 2008). Temuan balita, juga menjadi ajang curhat dan
penelitian menunjukkan bahwa Dinas sharing pendapat pengasuh dalam merawat
Kesehatan Bojonegoro belum pernah balita mereka. Hasil dari penyelidikan PD
mengadakan kegiatan pelatihan baik juga akan menentukan jenis menu apa yang
untuk TPG maupun kader desa. Padahal perlu disiapkan, praktek kesehatan apa
pelatihan merupakan bagian vital yang yang perlu diperkenalkan, dan pesan-pesan
harus diselenggarakan sebelum kegiatan kesehatan apa yang perlu disampaikan
pos gizi berlangsung. Tidak adanya sehingga pengasuh termotivasi untuk
pelatihan sebelum pelaksanaan program menerapkan perilaku PD (CORE, 2004).
menyebabkan tidak adanya penyamaan Program pos gizi pada penelitian ini
persepsi dalam pelaksanan program dilaksanakan selama 10-12 hari. Hal ini
(Nugroho, 2014). Minimnya modal materi tidak berbeda dengan pelaksanaan pos
dalam persiapan pelaksanaan program pos gizi di tempat lain (Dickey et al., 2002;
gizi dapat berdampak terhadap berhasil Roche et al., 2016; Inamahoro et al.,
tidaknya program. 2017). Standar pelaksanaan program pos
Penyelidikan positive deviance gizi adalah diselenggarakan selama 10-12
(PD) merupakan alat survei untuk hari kemudian diikuti dengan kunjungan
menemukan perilaku positif masyarakat. ke rumah pengasuh paska pelaksanaan
Perilaku positif dapat diadopsi oleh program (CORE, 2004; Depkes, 2008).
masyarakat lainnya dalam mencegah Berbeda dengan hal tersebut, Pasek (2019)
dan menanggulangi permasalahan gizi melaporkan bahwa pos gizi dilaksanakan
masyarakat. Program pos gizi akan efektif selama empat hari dan hanya satu tahun
apabila pada setiap kelompok masyarakat sekali.
dilakukan penyelidikan PD (CORE, Temuan penelitian menunjukkan
2004). Penyelidikan PD mengobservasi bahwa pelaksanaan program pos gizi sudah
perilaku-perilaku kesehatan yang baik berjalan dengan baik. Namun, belum semua
dari pengasuh terhadap balita mereka tahapan-tahapan pelaksanaan program
seperti perilaku pemberian makan, perilaku pos gizi dilakukan. Senada dengan hasil
kebersihan, perilaku pengasuhan, dan penelitian ini, Larasaty (2017), menemukan
perawatan kesehatan. Temuan penelitian bahwa pelaksanaan program pos gizi
menunjukkan bahwa belum semua belum sesuai panduan. Pada penelitian
puskesmas melaksanakan penyelidikan ini, kegiatan masak-masak bersama antara
PD. Hanya sebagian kecil puskesmas di kader desa dan pengasuh belum dilakukan.
Kabupaten Bojonegoro yang melaksanakan Kegiatan masak memasak disiapkan dan
penyelidikan PD. dilakukan oleh kader desa. Ketika balita
Penyelidikan PD penting dilakukan dan pengasuh datang, menu makanan
karena merupakan kunci penerimaan sudah matang dan pengasuh tinggal
perilaku-perilaku positif yang nantinya memberikan makanan kepada balita
dapat diajarkan pada kegiatan pos gizi. mereka. Larasaty (2017), juga melaporkan
Dengan adanya pengalaman dari pengasuh bahwa pelaksanaan program pos gizi
122 | Elya Sugianti, Evaluasi Program Perbaikan Gizi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

tidak melibatkan pengasuh dalam proses rumah. Hal ini menyebabkan pemberian
memasak dan menyiapkan makanan. pesan-pesan kesehatan tidak optimal.
Dalam pemberian menu makanan CORE (2004), menyebutkan bahwa
kepada balita, lebih dianjurkan untuk kunjungan ke rumah harus dilakukan
memilih pangan lokal. Hal ini karena dalam kurun waktu dua minggu sesudah
pemberian menu makanan lokal yang pelaksanaan program pos gizi. Kunjungan
murah dan terjangkau dapat berkontribusi ke rumah pengasuh oleh kader sesudah
terhadap keefektifan program (CORE, program dapat meningkatkan keberhasilan
2004). Terdapat satu desa pada penelitian program (Depkes, 2008). Hal ini bertujuan
ini, yang memanfaatkan pangan lokal untuk menjamin bahwa pengasuh benar-
dalam penyajian menu untuk balita. Pangan benar mempraktekkan perilaku baru yang
lokal yang disajikan ke dalam menu didapatkan selama program. Harapannya,
makanan berbahan dasar kelor. Dalam perilaku baru menjadi suatu kebiasaan yang
setiap kegiatan pos gizi, selalu terdapat diterapkan pengasuh dalam merawat balita
berbagai jenis olahan menu berbahan dasar mereka. Hasil penelitian menunjukkan
kelor yang disajikan setiap hari. bahwa kegiatan tindak lanjut berupa
Selain kegiatan memasak dan kunjungan ke rumah pengasuh belum
menyiapkan makanan untuk balita, juga dilaksanakan sebagaimana mestinya.
terdapat praktek perilaku kesehatan Senada dengan hasil penelitian sebelumnya,
serta promosi pesan-pesan kesehatan Larasaty (2017), dan Pasek (2019)
pada kegiatan pos gizi. Hasil penelitian ,menemukan bahwa kunjungan ke rumah
ini menunjukkan bahwa kegiatan cuci belum dilakukan baik oleh kader maupun
tangan dan penyampaian pesan-pesan tenaga kesehatan. Minimnya kunjungan
gizi/ kesehatan sudah berjalan dengan kader desa atau TPG ke rumah pengasuh
baik. Berbeda dengan hasil penelitian menyebabkan praktek-praktek kesehatan
ini, Larasaty (2017), menemukan bahwa yang sudah didapatkan selama program
dalam pelaksanaan program pos gizi tidak diterapkan di rumah masing-masing
tidak ada praktek cuci tangan dan praktek pengasuh. Kondisi ini dapat mengakibatkan
penyuluhan. ketidaktercapaian tujuan program.
Depkes (2008), menyatakan bahwa
partisipasi masyarakat merupakan salah Aspek Output
satu kunci keberhasilan program. Kehadiran Program pos gizi dapat meningkatkan
dan keterlibatan aktif para pengasuh perilaku kesehatan pengasuh menjadi
dalam program pos gizi akan berimbas lebih baik pada penelitian ini (Tabel 1).
pada keefektifan program (CORE, 2004). Namun, minimnya kunjungan ke rumah
Temuan penelitian menunjukkan bahwa pengasuh sesudah program berdampak
kehadiran pengasuh dalam program pos pada rendahnya keberlanjutan penerapan
gizi cukup tinggi. Namun, partisipasi perilaku kesehatan di rumah masing-
pengasuh dalam kegiatan masak memasak masing. Roche et al. (2016), menyatakan
dan kontribusi membawa bahan makanan bahwa program pos gizi mendukung
masih rendah. Hal yang berbeda ditemukan pengasuh untuk menerapkan praktek
oleh Dickey et al. (2002), partisipasi kesehatan yang baik terhadap balitanya.
pengasuh dalam praktek pemberian Pengasuh yang mengikuti pos gizi secara
makanan cukup tinggi, namun kontribusi signifikan memiliki praktek pemberian
bahan makanan dan kehadiran pengasuh makan yang lebih baik dibandingkan
dalam program pos gizi rendah. Makanan dengan pengasuh yang tidak mengikuti
sering dikirimkan oleh kader ke rumah- program pos gizi (Nishat & Batool, 2011).
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 14(2) 2020: 113-128 | 123

Beberapa penelitian terdahulu melaporkan program pos gizi akan menyebabkan


adanya perubahan perilaku mencuci tangan tidak tersampaikannya praktek dan
oleh sebagian besar ibu dan anak-anak pesan kesehatan. Pada penelitian ini,
pada waktu program pos gizi (Dickey et al., kehadiran dan keaktifan pengasuh cukup
2002; Mackintosh et al., 2002). Perilaku tinggi, namun, minim kontribusi bahan
positif yang dipraktekkan bertahun-tahun makanan dari pengasuh. Selain keaktifan
setelah program pos gizi berakhir dapat dan kehadiran pengasuh, kontribusi
berkontribusi pada perkembangan adik- bahan makanan dari pengasuh juga dapat
adik balita yang terlahir dikemudian hari, meningkatkan keefektifan program pos
meskipun adik-adik balita tersebut tidak gizi (CORE, 2004).
pernah mengikuti atau terpapar kegiatan Rata-rata kenaikan berat badan balita
pos gizi (Mackintosh et al., 2002) di Desa Klepek sebesar 300 gram dan Desa
Menurut Setti et al. (2003), perubahan Margoagung sebesar 570 gram sesudah
perilaku pengasuh dipengaruhi oleh program pos gizi (Tabel 2). Menurut
lingkungan psikososial. Lingkungan CORE (2004), balita dapat diluluskan dari
psikososial yang baik akan memudahkan program pos gizi ketika kenaikan berat
pengasuh merubah perilaku kesehatan badan minimal 400 gram selama mengikuti
yang lebih baik. Terlebih ketika ada bukti program. Di desa Klepek, terdapat empat
nyata dari pengasuh dalam penerapan balita dengan kenaikan berat badan lebih
perilaku positif untuk balita mereka, akan dari 400 gram, namun status gizinya
lebih mudah untuk dicontoh oleh pengasuh masih kategori kurang. Untuk itu, balita
lainnya yang memiliki balita kurang gizi. belum dapat diluluskan dari program dan
Pengasuh yang mempraktekkan perilaku harus mengikuti program pos gizi kloter
positif (PD) dapat menjadi konselor untuk berikutnya. Di Desa Margoagung, terdapat
pengasuh lainnya. lima balita dengan kenaikan berat badan
Kehadiran pengasuh dalam kegiatan lebih dari 400 gram sesudah program dan
pos gizi berpengaruh terhadap berhasilnya terdapat tiga orang balita yang lulus dari
perubahan perilaku (Dickey et al., 2002). program. Hasil penelitian ini menunjukkan
Minimnya kehadiran pengasuh dalam bahwa output program pos gizi di Desa

Tabel 1. Gambaran Gaya Pengasuhan dan Praktek Kesehatan sesudah Program Pos Gizi
di Desa Klepek dan Desa Margoagung, Kabupaten Bojonegoro
Gaya Pengasuhan dan Praktek Kesehatan Desa Klepek Desa Margoagung
Pengasuh Sblm (%) Ssdh (%) Sblm (%) Ssdh (%)
Gaya Pengasuhan Baik 3(33,3) 9(100,0) 0(0,0) 5(50,0)
Cukup 3(33,3) 0(0,0) 3(30,0) 4(40,0)
Kurang 3(33,3) 0(0,0) 7(70,0) 1(10,0)
Praktek Pemberian Makan Baik 4(44,4) 6(66,7) 3(30,0) 6(60,0)
Kurang 5(55,6) 3(33,3) 7(70,0) 4(40,0)
Praktek Kebersihan Baik 0(0,0) 6(66,7) 1(10,0) 7(70,0)
Cukup 5(55,6) 3(33,3) 2(20,0) 2(20,0)
Kurang 4(44,4) 0(0,0) 7(70,0) 1(10,0)
Praktek Perawatan Kesehatan Baik 5(55,6) 7(77,8) 0(0,0) 6(60,0)
Cukup 1(11,1) 1(11,1) 2(20,0) 1(10,0)
Kurang 3(33,3) 1(11,1) 8(80,0) 3(30,0)
Sumber: Data Primer, diolah
124 | Elya Sugianti, Evaluasi Program Perbaikan Gizi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

Margoagung lebih baik dibandingkan TPG dalam pelaksanaan program pos


dengan Desa Klepek. gizi. Kedua, kekuatan sumberdaya belum
Status gizi balita mengalami perbaikan muncul, masih terdapat ketergantungan
sebesar 20% di Desa Margoagung dan pendanaan dari luar sehingga ketika tidak
stagnan di Desa Klepek (Tabel 2). Kondisi ada dukungan dana, program tidak bisa
ini akibat adanya balita di Desa Klepek berjalan. Ketiga, tidak adanya penyelidikan
yang mengalami sakit infeksi sesudah PD menyebabkan perilaku positif yang
program. Penyakit infeksi merupakan salah hendak dicontoh pengasuh lainnya tidak
satu penyakit yang sering menjangkiti ada. Dan keempat, kunjungan ke rumah
balita gizi kurang. Hal ini menyebabkan juga belum dilakukan sehingga praktek
balita menjadi susah naik berat badan, kesehatan yang diajarkan di pos gizi tidak
apalagi jika balita sasaran memiliki dapat dipastikan apakah diterapkan atau
penyakit bawaan. Beberapa penelitian tidak di rumah masing-masing pengasuh.
terdahulu melaporkan keefektifan program
pos gizi dalam peningkatan status gizi pada SIMPULAN
balita (Hidayat, 2009; Ayubi et al., 2013; Kurang gizi menjadi masalah serius di
Calvince et al., 2015; Roche et al., 2016; Kabupaten Bojonegoro. Program pos gizi
Inamahoro et al., 2017). Ayubi et al. (2013) merupakan salah satu program inovasi
melaporkan adanya penurunan status gizi untuk menurunkan tingginya kasus.
buruk sebesar 16,7% dan status gizi kurang Evaluasi program pos gizi di Kabupaten
sebesar 16,6% sesudah intervensi pos Bojonegoro menunjukkan bahwa dari
gizi. Hidayat (2009) melaporkan bahwa aspek input, partisipasi pelaksana program
sebanyak 38,1% balita dapat mengejar dan masyarakat sudah cukup baik, namun
ketertinggalan pertumbuhan dan 28,6% minim kualitas, kekuatan sumberdaya lokal
balita dapat mencapai pertumbuhan normal belum muncul sehingga tidak adanya dana
sesudah satu bulan mengikuti kegiatan pos menjadi kendala pelaksanaan program. Dari
gizi di Aceh Besar. aspek proses, tahapan-tahapan program
Beberapa penyebab tidak maksimal- pos gizi belum dilaksanakan sebagaimana
nya hasil output sesudah pelaksanaan mestinya seperti penyelidikan PD, kegiatan
program pada penelitian ini diduga masak memasak bersama pengasuh, dan
karena rendahnya kualitas SDM dan kunjungan ke rumah. Dari aspek output,
tumpang tindihnya pekerjaan TPG selaku perubahan perilaku kesehatan pengasuh
koordinator program. Tumpang tindih sudah baik sesudah program, sedangkan
pekerjaan ini menyebabkan tidak fokusnya perubahan berat badan dan status gizi

Tabel 2. Gambaran Rata-rata Berat Badan dan Proporsi Status Gizi Balita sesudah
Program Pos Gizi di Desa Klepek dan Desa Margoagung, Kabupaten Bojonegoro
Karakteristik Desa Klepek Desa Margoagung
Balita Sasaran Puskesmas Sukosewu Puskesmas Mejuwet
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
(%) (%) (%) (%)
Rata-Rata berat badan (gram) 9,730 10,030 10,340 10,910
Status Gizi (BB/U) Lebih 1(11,1) 1(11,1) 0(0,0) 0(0,0)
Baik 2(22,2) 2(22,2) 4(40,0) 6(60,0)
Kurang 5(55,6) 4(44,5) 6(60,0) 4(40,0)
Sangat Kurang 1(11,1) 2(22,2) 0(0,0) 0(0,0)
Sumber: Data Primer, diolah
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 14(2) 2020: 113-128 | 125

belum cukup baik untuk meluluskan balita Ayubi, D., Rahayu, N. B., & Yulianti. (2014).
sasaran dari program pos gizi. Kehadiran Penerapan pendekatan positive
dan partisipasi aktif pengasuh, kontribusi deviance dalam menanggulangi
bahan makanan dari pengasuh serta praktek masalah malnutrisi pada balita
perilaku positif di rumah masing-masing melalui program pos gizi. Jurnal
secara berkelanjutan sangat berperan dalam Elektronik Pendidikan Matematika
keberhasilan program pos gizi. Tadulako, 9(1), 18–26.
UCAPAN TERIMA KASIH Balitbangkes. (2019a). Laporan nasional
Terima kasih penulis ucapkan Riskesdas 2018. Jakarta : Badan
kepada Kepala Badan Penelitian dan Penelitian dan Pengembangan
Pengembangan Provinsi Jawa Timur yang Kesehatan.
sudah mendukung pelaksanaan kegiatan Balitbangkes. (2019b). Laporan Provinsi
penelitian. Penulis juga mengucapkan Jawa Timur Riskesdas 2018.
terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Jakarta: Badan Penelitian dan
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Pengembangan Kesehatan.
Timur, Kepala Dinas Kesehatan Bojonegoro
beserta kasi gizi, Kepala dan Tenaga Buanasita, A., Muslimatun, S., Roshita, A.,
Pelaksana Gizi Puskesmas Sukosewu dan Raintung, A. E., & Widyastuti, T.
Puskesmas Mejuwet, Kepala Desa Klepek N. (2008). Three months of positive
dan Desa Margoagung, kader desa, dan deviance approach integrated
ibu-ibu pengasuh peserta program pos gizi with posyandu TKA increased
yang sudah bersedia menjadi informan development performance
dalam kegiatan penelitian ini. and decreased morbidity of
underweight children ( 6 – 59
DAFTAR PUSTAKA months ). The Indonesian Journal
Anonim. (2017). PD Profile in Indonesia. of Public Health, 4(3), 82-88.
http://www.pdrc.or.id/index.php/ Bullen, P. A. B. (2011). The positive
positive-deviance-approach/pd- deviance/hearth approach to
profile reducing child malnutrition:
Al-Rahmad, A. H., & Miko, A. (2016). Systematic review. Tropical
Kajian stunting pada anak balita Medicine and International
berdasarkan pola asuh dan Health, 16(11), 1354–1366.
pendapatan keluarga di Kota Banda Calvince, A. O., Were, G. M., & Khamasi,
Aceh. Jurnal Kesmas Indonesia, J. W. (2015). Impact evaluation of
8(2), 63–79. positive deviance hearth in Migori
Aryastami, K. (2006). Perbaikan gizi County, Kenya. African Journal
anak balita melalui pendekatan of Food, Agriculture, Nutrition
positive deviance : sebuah uji coba and Development, 15(5), 10578–
di Kabupaten Cianjur. Universa 10596.
Medicina, 25(2), 67–74.
126 | Elya Sugianti, Evaluasi Program Perbaikan Gizi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

CORE. (2004). Positive deviance & Inamahoro, C., Kiguli, J., Makumbi, F. E.,
hearth: Suatu pendekatan Wamuyu-Maina, G., & Wamani,
perubahan perilaku dan pos gizi. H. (2017). Nutritional recovery
Child Survival Collaborations and outcome among moderately
Resources Group. malnourished under-five children
Depkes. (2008). Report of the pos gizi in communities implementing
assessment : suggestions for positive deviance - hearth or
expanding the approach in community health workers’
Indonesia. Jakarta : Depkes RI. nutrition promotion approaches
in Karusi and Kirundo Provinces,
Dickey, V. C., Pachón, H., Marsh, D. Burundi. Journal of Science and
R., Lang, T. T., Claussenius, Sustainable Development, 6(1),
D. R., Dearden, K. A., Ha, T. 5–18.
T., & Schroeder, D. G. (2002).
Implementation of nutrition Karunaratne, R., Sturgeon, J. P., Patel,
education and rehabilitation R., & Prendergast, A. J. (2020).
programs (NERPs) in Viet Nam. Predictors of inpatient mortality
Food and Nutrition Bulletin, 23(4 among children hospitalized
SUPP), 75–82. for severe acute malnutrition:
A systematic review and meta-
Ferdous, F., Das, S. K., Ahmed, S., Farzana, analysis. American Journal of
F. D., Latham, J. R., Chisti, M. J., Clinical Nutrition, 112(4), 1069–
Ud-Din, A. I. M. S., Azmi, I. J., 1079.
Talukder, K. A., & Faruque, A.
S. G. (2013). Severity of diarrhea Laksono, A. D., & Megatsari, H. (2020).
and malnutrition among under Determinan balita stunting di Jawa
five-year-old children in rural Timur: Analisis data pemantauan
Bangladesh. American Journal of status gizi 2017. Amerta Nutrition,
Tropical Medicine and Hygiene, 4(2), 109–115.
89(2), 223–228. Lapping, K., Marsh, D. R., Rosenbaum, J.,
Hidayat, S. (2009). The influence of positive Swedberg, E., Sternin, J., Sternin,
deviance approach on nutrition M., & Schroeder, D. G. (2002).
(pos gizi) outcomes in children The positive deviance approach:
under five years (CU-5) in Aceh Challenges and opportunities for
Besar District, Aceh Province, the future. Food and Nutrition
Indonesia. 45th International Bulletin, 23(4 SUPP), 130–137.
Course in Health Development
(ICHD), Universiteit Amsterdam.
Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan, 14(2) 2020: 113-128 | 127

Larasaty, Y. F. (2017). Evaluasi kegiatan Olofin, I., McDonald, C. M., Ezzati, M.,
pos gizi pada balita di wilayah Flaxman, S., Black, R. E., Fawzi,
kerja puskesmas cisauk kecamatan W. W., Caulfield, L. E., Danaei, G.,
cisauk kabupaten tangerang tahun Adair, L., Arifeen, S., Bhandari,
2016. Thesis, Universitas Islam N., Garenne, M., Kirkwood, B.,
Negeri Syarif Hidayatullah. Mølbak, K., Katz, J., Sommer,
Lorensa, C., Permana, G. I., Mia, I. G., A., West, K. P., & Penny, M. E.
Leiden, N. A. O., Lestari, N. A., (2013). Associations of suboptimal
Pribawa, R., Trisia, A., Imun, M., growth with all-cause and cause-
& Lestari, L. (2017). Hubungan specific mortality in children under
status gizi (berat badan menurut five years: A pooled analysis of ten
umur) terhadap kejadian infeksi prospective studies. PLoS ONE,
saluran pernafasan akut (ISPA) 8(5), 1–10.
pada balita. Jurnal Berkala Pasek, A. S. (2019). Evaluasi kelas gizi
Kesehatan, 3(1), 32–38. terhadap kejadian balita gizi
Mackintosh, U. A. T., Marsh, D. R., & kurang di Puskesmas Karang
Schroeder, D. G. (2002). Sustained Taliwang Kota Mataram. Sintesa
positive deviant child care practices Prosiding 2019, 89–102.
and their effects on child growth Ratnawati, R., & Rahfiludin, M. Z. (2020).
in Vietnam. Food and Nutrition Faktor risiko determinan yang
Bulletin, 23(4 SUPP), 18–27. konsisten berhubungan dengan
Marsh, D. R., Schroeder, D. G., Dearden, kejadian stunting pada anak usia
K. A., Sternin, J., & Sternin, M. 6-24 bulan: Tinjauan pustaka.
(2004). The power of positive Amerta Nutrition, 4(2), 85–94.
deviance. British Medical Journal, Roche, M. L., Marquis, G. S., Gyorkos,
329(7475), 1177–1179. T. W., Blouin, B., Sarsoza,
Nishat, N., & Batool, I. (2011). Effect J., & Kuhnlein, H. V. (2016).
of “positive hearth deviance” on A community-based positive
feeding practices and underweight deviance/hearth infant and young
prevalence among children aged child nutrition intervention in
6-24 months in Quetta district, Ecuador improved diet and
Pakistan: A comparative cross reduced underweight. Journal of
sectional study. Srilanka Journal Nutrition Education and Behavior,
of Child Health, 40(2), 57–62. 49(3), 1–8.

Nugroho, R. (2014). Public Policy: Rosha, B. C., Hardinsyah, & Baliwati, Y.


Teori, manajemen, dinamika, F. (2012). Analisis determinan
analisis, konvergensi dan kimia underweight anak 0-23 bulan pada
kebijakan. Jakarta: PT Elex Media daerah miskin di Jawa Tengah
Komputindo. dan Jawa Timur. Jurnal Ekologi
Kesehatan, 11(1), 63–72.
128 | Elya Sugianti, Evaluasi Program Perbaikan Gizi Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

Salam, A., Suhaema, Sulendri, N. K. S., & Sugiyono, (2015. Memahami penelitian
Jannah, M. (2015). Pengaruh kelas kualitatif. Bandung: Penerbit
gizi berbasis positive deviance Alfabeta
terhadap peningkatan pengetahuan, Trijanti, P. (2014). Pengaruh pola asuh ibu
sikap, dan perilaku ibu balita di balita di pos gizi dan non pos gizi
bawah garis merah (BGM) di Desa terhadap status gizi balita (melalui
Mantang Kecamatan Batukliang pendekatan positive deviance).
Kabupaten Lombok Tengah. Master’s thesis, Universitas
Jurnal Kesehatan Prima, 9(1), Airlangga.
1412–1418.
Widodo, J. (2013). Analisis kebijakan
Sethi, V., Kashyap, S., Seth, V., & Agarwal, publik. Cetakan ke-9. Malang:
S. (2003). Encouraging appropriate Bayumedia Publishing
infant feeding practices in Slums:
a positive deviance approach. Zevounou, M., Hounkpatin, W., Chadare,
Pakistan Journal of Nutrition, F., Lokonon, J., Soumanou, M., &
2(3), 164–166. Mongbo, R. (2017). Weight loss and
nutritional status of 6-59 months
Sternin, M., Sternin, J., & Marsh, D. children after positive deviance/
(1998). Designing a community- hearth approach in Southern Benin
based nutrition program. Using Rural Area: Associated factors to
the hearth model and the positive later underweight. International
deviance approach - A field guide. Journal of Tropical Disease &
Save the Children. Health, 23(3), 1–10.
Sugiyono, (2016). Metode penelitian
kombinasi (mix method). Bandung:
Penerbit Alfabeta

Anda mungkin juga menyukai