Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN CAIRAN

AKIBAT PATOLOGI SISTEM PERKEMIHAN

NEPHROTIK SYNDROME

Kelompok 2 :

1. Aditiya Rahmat Juliansah (221151002)

2. Dionesia Agnes (221151007)

3. Karina (221151013)

4.Maudy Cristine Aprilyanti (221151018)

5.Ririn Aullia Misdiawan (221151023)

POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK

JURUSAN KEPERAWATAN SINGKAWANG

PRODI D-III KEPERAWATAN SINTANG

2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Didalam tubuh manusia, terdapat salah satu organ penting yang berkaitan erat dengan
sindrom nefrotik, yaitu ginjal. Ginjal berfungsi mengatur keseimbangan tubuh dan
mengekskresikan zat-zat yang sudah tidak berguna dan beracun jika terus berada didalam
tubuh. Ginjal sangat penting bagi tubuh kita, karena ginjal bertugas mempertahankan
homeostatis bio kimiawi normal didalam tubuh manusia, dengan cara mengeluarkan zat
sisa melalui proses filtrasi, absorbsi, dan augmentasi. Pada saat proses urinasi, bladder
berkontraksi dan urin dikeluarkan melalui uretra. Tetapi semua fungsi organ tersebut
tidak luput dari adanya abnormalitas fungsi, yang mana jika hal itu terjadi dapat
menyebabkan suatu masalah atau gangguan, salah satunya yaitu sindrom nefrotik
(Siburian, 2013; Astuti, 2014).
Sampai pertengahan abad ke-20 morbiditas Sindrom Nefrotik pada anak masih tinggi
yaitu melebihi 50% sedangkan angka mortalitas mencapai 23%. Angka kejadian di
Indonesia pada Sindrom Nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari 100.000 anak berusia
kurang dari 14 tahun (Alatas, 2002). Mortalitas dan prognosis anak dengan sindroma
nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi
yang mendasari dan responnya terhadap pengobatan (Betz & Sowden, 2002).
Menurut World Health Organization (WHO) Angka kejadian Sindrom Nefrotik di
dapatkan pada anak usia dibawah 16 tahun berkisar antara 2 sampai 7 kasus per tahun
pada setiap 100.000 anakMenurut (Groat, 2016) angka kejadian kasus sindroma nefrotik
di Asia tercatat 2 kasus setiap 10.000 penduduk. Sedangkan kejadian di Indonesia pada
sindroma nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari 100.000 anak berusia 1 sampai 5 tahun
(Riskesdas, 2018). Pada Tahun 2017 di Sumatera Utara, kasus Sindrom Nefrotik
mencapai angka 1.290 kasus (Riskesdas, 2018), angka ini membuat Sumatera Utara
menjadi urutan keenam wilayah yang memiliki kasus BPH terbanyak di IndonesiaDi
RSUDAdam Malik sendiri pada tahun 2017 dari 543 pasien yang telah di diagnosa
Sindrom Nefrotik sebanyak 349 atau 35% dan sampai bulan september 2017 dari 395
pasien sebanyak 305 pasien atau 45% kasus Sindrom Nefrotik (Solehati & Kokasih,
2018). Di RSUD Pandan sendiri pada tahun 2017 tercatat sebanyak 55 pasien yang
mengalami gangguan perkemihan yang diantaranya 30 orang yang berumur dibawah 5
tahun dengan gangguan Sindrom Nefrotik (Sambut, 2019)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sindrom Nefrotik


Sindroma Nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membran glomerulus terhadap protein yang mengakibatkan kehilangan
urinarius yang massif (Whaley & Wong, 2003). Sindroma nefrotik adalah kumpulan
gejala klinis yang timbul dari kehilangan protein karena kerusakan glomerulus yang difus
(Luckman, 1996). Sindrom Nefrotik ditandai dengan proteinuria masif ( ≥ 40 mg/m2
LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu >2mg/mg), hipoproteinemia,
hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan hiperlipidemia (Behrman, 2001).Nefrotik
sindrom merupakan gangguan klinis ditandai oleh
(1) peningkatan protein dalam urin secara bermakna (proteinuria)
(2) penurunan albumin dalam darah
(3) edema,
(4) serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia).
Tanda-tanda tersebut dijumpai di setiap kondisi yang sangat merusak membran kapiler
glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus (Brunner &
Suddarth, 2001)

Whaley and Wong (1998) membagi tipe-tipe Sindrom Nefrotik :


1. Sindroma Nefrotik lesi minimal (MCNS : Minimal Change Nefrotik Sindroma) :
Merupakan kondisi yang tersering yang menyebabkan sindroma nefrotik pada anak
usia sekolah.
2. Sindroma Nefrotik Sekunder : Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler kolagen,
seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura anafilaktoid, glomerulonefritis,
infeksi sistem endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
3. Sindroma Nefirotik Kongenital : Faktor herediter sindroma nefrotik disebabkan oleh
gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindroma nefrotik, usia gestasinya pendek
dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap
semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan
bayi jika tidak dilakukan dialisis.
B. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik dibagi menjadi dua menurut Muttaqin, 2012 adalah:
1. Primer, yaitu berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti glomerulonefritis, dan
nefrotik sindrom perubahan minimal
2. Sekunder, yaitu yang diakibatkan infeksi, penggunaan obat, dan penyakit sistemik lain,
seperti diabetes mellitus, sistema lupus eritematosus, dan amyloidosis

C. Anatomi Fisiologi Ginjal

(Sumber: Astuti, 2013)

Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata yang berbentuk mirip kacang. Sebagai
bagian dari sistem urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah
dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Cabang dari kedokteran yang
mempelajari ginjal dan penyakitnya disebut nefrologi (Astuti, 2013).
Kedudukan ginjal di belakang dari kavum abdominalis di belakang peritoneum pada
kedua sisi vertebra lumbalis III melekat langsung pada dinding abdomen. Manusia
memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang perut atau abdomen. Ginjal ini terletak
di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior)
ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Ginjal kanan biasanya
terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat untuk hati.Sebagian dari
bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan duabelas. Kedua ginjal dibungkus
oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam
goncangan (Astuti, 2013).
Unit fungsional ginjal

(Sumber: Astuti, 2013)

Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih dari satu
juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi sebagai regulator
air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah,
kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan
sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan
mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian
diekskresikan disebut urin (Astuti, 2013).
Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang disebut korpuskula (atau
badan Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus).Setiap korpuskula
mengandung gulungan kapiler darah yang disebut glomerulus yang berada dalam kapsula
Bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari arteri aferen. Dinding kapiler dari
glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring
melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman karena
adanya tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan
masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat
arteri eferen (Astuti, 2013).
Ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui
ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat
dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output
(Astuti, 2013).

D. Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria
sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan
oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum
diketahui yang terkait dengan hilangnya muatan negative gliko protein dalam dinding
kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan
protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari
kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. (Latas, 2002 : 383).
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada
hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadinya proteinuria. Kelanjutan dari
proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunya albumin, tekanan
osmotic plasma menurun sehingga cairan intravascular berpindah ke dalam intertisial.
Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravascular berkurang, sehingga
menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hipovolemi. Menurunya aliran darah ke
renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi renin angiotensin
dan peningkatan sekresi antideuretik hormone (ADH) dan sekresi aldosteron yang
kemudian menjadi retensi natrium dan air. Dengan retensi natrium dan air, akan
menyebabkan edema (Wati, 2012).
Terjadi peningkatan cholesterol dan Triglicerida serum akibat dari peningkatan
stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin atau penurunan onkotik
plasma. Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam
hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein dan lemak akan banyak dalam
urin (lipiduria). Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan
disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hyperlipidemia, atau defisiensi seng. (Suriadi
dan yuliani, 2001 : 217).
Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma protein, terutama albumin ke
dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini
tidak mampu untuk terus mempertahankannya jika albumin terus-menerus hilang melalui
ginjal sehingga terjadi hipoalbuminemia.
Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan
yang berpindah dari sistem vaskular ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan
sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem renin-angiotensin menyebabkan retensi
natrium dan edema lebih lanjut. Manifestasi dari hilangnya protein dalam serum akan
menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan terjadi peningkatan konsentrasi lemak dalam
darah (hiperlipidemia).

Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik
yang memengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap menyerang
anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa termasuk lania
Penyebab sindrom nefrotik mencakup glomerulonefritis kronis, diabetes melitus disertai
glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus
sistemik, dan trombosis vena renal Respons perubahan patologis pada glomerulus secara
fungsional akan memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami
glomerulus progresif cepat
E. Pathway
F. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis menurut Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol. 2 (2001),
manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya lunak dan cekung bila
ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan di sekitar mata (periorbital), pada area
ekstremitas (sekrum, tumit, dan tangan), dan pada abdomen (asites). Gejala lain seperti
malese, sakit kepala, iritabilitas dan keletihan umumnya terjadi.

G. Pemeriksaan Penunjang
Penegakan diagnosis sindrom nefrotik tidak ditentukan dengan hanya penampilan klinis.
Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang
berikut yaitu urinalisis, pemeriksaan sedimen urin, pengukuran protein urin, albumin
serum, pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan immunologis, USG renal, biopsi
ginjal, dan darah, dimana :
1. Urinalisis
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri ) yang terjadi dalam 24-48
jam setelah ginjal rusak, warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, Monoglobin, Porfirin. Berat jenis kurang dari 1,020 menunjukkan
penyakit ginjal. Protein urin meningkat (nilai normal negatif). Urinalisis adalah tes
awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan
dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat, 3+ menandakan
kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih
yang masuk dalam nephrotic range.
2. Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang
mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak
hialin dan torak eritrosit.
3. Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot
collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari
jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total
protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin >
2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
4. Albumin serum
kualitatif : ++ sampai ++++
kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)
5. Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
6. USG renal: Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
7. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia > 8 tahun,
resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi
nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin
diperlukan untuk diagnosis. Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena
masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk
membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal,
karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.
Prosedur ini digunakan untuk mengambil sampel jaringan pada ginjal yang kemudian
akan diperiksa di laboratorium. Adapan prosedur biopsi ginjal sebagai berikut :
a. Peralatan USG digunakan sebagai penuntun. USG dilakukan oleh petugas
radiologi untuk mengetahui letak ginjal.
b. Anestesi (lokal).
c. Jarum (piston biopsi). Apabila tidak ada piston biopsi dapat menggunakan jarum
model TRUCUT maupun VIM SILVERMAN.
d. Tempat (pool bawah ginjal, lebih disukai disukai ginjal kiri).
e. Jaringan yang didapatkan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu untuk
pemeriksaan mikroskop cahaya & imunofluoresen.
f. Setelah biopsi.
1) Berikan pasien tengkurap + - sejam, tetapi apabila pada posisi tengurap pasien
mengalami sejas nafas maka biopsi dilakukan pada posisi duduk
2) Anjurkan untuk minum banyak
3) Monitor tanda-tanda vital terutama tekanan darah, & lakukan pemeriksaan lab
urin lengkap.
g. Apabila tidak terdapat kencing darah (hematuria) maka pasien dipulangkan.
Biasanya untuk pada pasien yang beresiko rendah, pagi biopsi sore pulang (one
day care ).
8. Darah
Hb menurun adanya anemia, Ht menurun pada gagal ginjal, natrium meningkat tapi
biasanya bervariasi, kalium meningkat sehubungan dengan retensi dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah nerah).
Penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan protein dan albumin
melalui urin, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis
karena kekurangan asam amino essensial. Kolesterol serum meningkat (umur 5-14
tahun : kurang dari atau sama dengan 220 mg/dl). Pada pemeriksaan kimia darah
dijumpai Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml), Albumin menurun (N:4-5,8
gm/100ml), α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2 globulin meninggi (N:
0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml), γ globulin normal
(N: 0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1 (N:3/2), komplemen C3
normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.

(Sumber: Siburian, 2013)

H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal. Menjaga pasien
dalam keadaan tirah baring selama beberapa hari mungkin diperlukan untuk
meningkatkan diuresis guna mengurangi edema. Masukan protein ditingkatkan untuk
menggantikan protein yang hilang dalam urin dan untuk membentuk cadangan protein di
tubuh. Jika edema berat, pasien diberikan diet rendah natrium. Diuretik diresepkan untuk
pasien dengan edema berat, dan adrenokortikosteroid (prednison) digunakan untuk
mengurangi proteinuria (Brunner & Suddarth, 2001).
Medikasi lain yang digunakan dalam penanganan sindrom nefrotik mencakup agens
antineoplastik (Cytoxan) atau agens imunosupresif (Imuran, Leukeran, atau siklosporin),
jika terjadi kambuh, penanganan kortikosteroid ulang diperlukan (Brunner & Suddarth,
2001).

Diet bagi klien sindrom nefrotik


1. Tujuan Diet
a. Mengganti kehilangan protein terutama albumin.
b. Mengurangi edema dan menjaga keseimbangan cairan tubuh.
c. Memonitor hiperkolesterolemia dan penumpukan trigliserida.
d. Mengontrol hipertensi.
e. Mengatasi anoreksia.
(Almatsier, 2007)
2. Syarat Diet
a. Energi cukup, untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif yaitu 35
kkal/kg BB per hari.
b. Protein sedang, yaitu 1 g/kg BB, atau0,8 g/kg BB ditambah jumlah protein yang
dikeluarkan melalui urin. Utamakan penggunaan protein bernilai biologik tinggi.
c. Lemak sedang, yaitu 15-20% dari kebutuhan energy total.
d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan energy total
e. Natrium dibatasi, yaitu 1-4 gr sehari, tergantung berat ringannya edema.
f. Kolesterol dibatasi < 300mg, begitu pula gula murni, bila ada peningkatan
trigliserida darah.
g. Cairan disesuaikan dengan banyaknya cairan yang dikeluarkan melalui urin
ditambah 500 ml pengganti cairan yang dikeluarkan melalui kulit dan pernafasan.
(Almatsier, 2007)

3. Diet yang Dianjurkan dan Dihindari


Jenis Bahan
Dianjurkan Dibatasi
Makanan
Sumber Nasi, bubur, bihun, roti, Roti, biskuit dan kue-
karbohidrat gandum, makaroni, pasta, kue yang dibuat
jagung, kentang, ubi, talas, menggunakan garam
singkong, havermout dapur dan soda.
Sumber Telur, susu skim/susu rendah Hati, ginjal, jantung,
protein lemak, daging tanpa lemak, limpa, otak, ham, sosis,
hewani ayam tanpa kulit, ikan babat, usus, paru,
sarden, kaldu daging,
bebek, burung, angsa,
remis, seafood dan
aneka. Protein hewani
yang diawetkan
menggunakan garam
seperti sarden, kornet,
ikan asin dan
sebagainya
Sumber Kacang-kacangan dan aneka Kacang-kacangan yang
protein nabati olahannya diasinkan aatu
diawetkan
Sayuran Semua jenis sayuran segar Sayuran yang
diasinkan atau
diawetkan
Buah-buahan Semua macam buah-buahan Buah-buahan yang
segar diasinkan atau
diawetkan
Minum Semua macam minuman yang Teh kental atau kopi.
tidak beralkohol Minuman yang
mengandung soda dan
alkohol: soft drink,
arak, ciu, bir
Lainnya Semua macam bumbu Makanan yang
secukupnya berlemak, penggunaan
santan kental, bumbu:
garam, baking powder,
soda kue, MSG, kecap,
terasi, ketchup, sambal
botol, petis, tauco,
bumbu instan, dan
sebagainya
I. Konsep Asuhan Keperawatan pada Sindrom Nefrotik
1. Pengkajian
b. Identitas Klien
1) Umur: Lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia pra-sekolah (3-6 th).
Ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas tubuh dan kelainan
genetik sejak lahir.
2) Jenis kelamin: Anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan anak
perempuan dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur anak 3-6 tahun
terjadi perkembangan psikoseksual : dimana anak berada pada fase
oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari
beberapa daerah genitalnya. Kebiasaan ini dapat mempengaruhi kebersihan
diri terutama daerah genital. Karena anak-anak pada masa ini juga sering
bermain dan kebersihan tangan kurang terjaga. Hal ini nantinya juga dapat
memicu terjadinya infeksi.
3) Agama
4) Suku/bangsa
5) Status
6) Pendidikan
7) Pekerjaan
c. Identitas penanggung jawab
Hal yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pendidikan, agama, dan hubungannya
dengan klien.
d. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: Kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik, perut membesar
(adanya acites)
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Untuk pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawatan perlu menanyakan
hal berikut:
3) Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output
4) Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan
adanya keluhan pusing dan cepat lelah
5) Kaji adanya anoreksia pada klien
6) Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise
e. Riwayat Kesehatan Dahulu
Perawat perlu mengkaji:
1) Apakah klien pernah menderita penyakit edema?
2) Apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan penyakit
hipertensi pada masa sebelumnya?
3) Penting juga dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan
adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
f. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang memicu
timbulnya manifestasi klinis sindrom nefrotik
g. Kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
1) Pola nutrisi dan metabolisme: Anoreksia, mual, muntah.
2) Pola eliminasi: Diare, oliguria.
3) Pola aktivitas dan latihan: Mudah lelah, malaise
4) Pola istirahat tidur: Susah tidur
5) Pola mekanisme koping : Cemas, maladaptif
6) Pola persepsi diri dan konsep diri : Putus asa, rendah diri
h. Pemeriksaan Fisik
1) Status kesehatan umum
2) Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
3) Kesadaran: biasanya compos mentis
4) TTV: sering tidak didapatkan adanya perubahan.
5) Pemeriksaan sistem tubuh
a) B1 (Breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan nafas
walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut.
Pada fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan
nafas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
b) B2 (Blood)
Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari
peningkatan beban volume.
c) B3 (Brain)
Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status
neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia
pada sistem saraf pusat.
d) B4 (Bladder)
Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola
e) B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga didapatkan
penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen.
f) B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari
edema tungkai dari keletihan fisik secara umum
i. Pemeriksaan Diagnostik
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria, terutama
albumin. Keadaan ini juga terjadi akibat meningkatnya permeabilitas membran
glomerulus.

(Astuti, 2014; Munandar, 2014)

2. Diagnosa Keperawatan

1. Hivervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi(D.0022)

2.Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri (D.0054)

3.Resiko infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh yang menurun(D.0142)

4.bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi(D.0001)


3.Intervensi

No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


keperawatan

1 Hepervolemia Keseimbangan cairan Manajemen Hipervolemia (I.03114)


berhubungan dengan (L.03020)
gangguan
mekanisme regulasi ekuilibrium (seimbang) antara
volume cairan di ruang Observasi
(D.0022) intraselular dan ekstraselular -Periksa tanda dan gejala
tubuh meningkat hypervolemia (mis: ortopnea, dispnea,
Kriteria hasil : edema, JVP/CVP meningkat, refleks
hepatojugular positif, suara napas
Asupan cairan meningkat tambahan)

Output urin meningkat -Identifikasi penyebab hypervolemia

Membrane mukoa lembab -Monitor status hemodinamik (mis:


meningkat frekuensi jantung, tekanan darah,
MAP, CVP, PAP, PCWP, CO, CI)
Edema menurun jika tersedia
Dehidrasi menurun -Monitor intake dan output cairan
-Tekanan darah membaik -Monitor tanda hemokonsentrasi (mis:
kadar natrium, BUN, hematokrit,
-Frekuensi nadi membaik
berat jenis urine)
-Kekuatan nadi membaik
-Monitor tanda peningkatan tekanan
-Tekanan arteri rata-rata onkotik plasma (mis: kadar protein
membaik dan albumin meningkat)

Mata cekung membaik -Monitor kecepatan infus secara ketat

Turgor kulit membaik -Monitor efek samping diuretic (mis:


hipotensi ortostatik, hypovolemia,
hipokalemia, hiponatremia)

Terapeutik

-Timbang berat badan setiap hari pada


waktu yang sama

-Batasi asupan cairan dan garam

-Tinggikan kepala tempat tidur 30 –


40 derajat

Edukasi

-Anjurkan melapor jika haluaran urin


< 0,5 mL/kg/jam dalam 6 jam

-Anjurkan melapor jika BB


bertambah > 1 kg dalam sehari

-Ajarkan cara membatasi cairan

Kolaborasi

-Kolaborasi pemberian diuretic

-Kolaborasi penggantian kehilangan


kalium akibat diuretic

-Kolaborasi pemberian continuous


renal replacement therapy (CRRT)
jika perlu

2 Gangguan mobilitas Mobilitas fisik meningkat Dukungan Ambulasi (I.06171)


fisik berhubunan L.05042
dengan
nyeri(D.0054) Setelah dilakukan tindakan
1x24 jam diharapkan Observasi
kemampuan dalam Gerakan -Identifikasi adanya nyeri atau
fisik dari satu atau lebih keluhan fisik lainnya
ekstremitas secara mandiri
meningkat. -Identifikasi toleransi fisik melakukan
ambulasi
Dengan Kriteria hasil :
-Monitor frekuensi jantung dan
-Pergerakan ekstremitas tekanan darah sebelum memulai
meningkat ambulasi
-Kekuatan otot meningkat -Monitor kondisi umum selama
-Rentang gerak (ROM) melakukan ambulasi
meningkat

Terapeutik

-Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan


alat bantu (mis: tongkat, kruk)

-Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik,


jika perlu

-Libatkan keluarga untuk membantu


pasien dalam meningkatkan ambulasi

Edukasi

-Jelaskan tujuan dan prosedur


ambulasi

-Anjurkan melakukan ambulasi dini

-Ajarkan ambulasi sederhana yang


harus dilakukan (mis: berjalan dari
tempat tidur ke kursi roda, berjalan
dari tempat tidur ke kamar mandi,
berjalan sesuai toleransi)

3 Resiko infeksi Tingkat infeksi L.14137 Manajemen Imunisasi/Vaksinasi


berhubungan dengan (I.14508)
imunitas tubuh yang setelah dilakukan tindakan
menurun(D.0142) 3x24 jam diharapkan
kemampuan derajat infeksi
berdasarkan observasi atau Observasi
sumber informasi meningkat -Identifikasi Riwayat Kesehatan dan
dengan kriteria hasil : Riwayat alergi

Demam menurun -Identifikasi kontraindikasi pemberian


imunisasi (mis: reaksi anafilaksis
Kemerahan menurun terhadap vaksin sebelumnya dan/atau
sakit parah dengan atau tanpa demam)
Nyeri menurun
-Identifikasi status imunisasi setiap
Bengkak menurun kunjungan ke pelayanan kesehatan
Kadar sel darah putih membaik

Terapeutik

-Berikan suntikan pada bayi di bagian


paha anterolateral

-Dokumentasikan informasi vaksinasi


(mis: nama produsen, tanggal
kadaluarsa)

-Jadwalkan imunisasi pada interval


waktu yang tepat
Edukasi

-Jelaskan tujuan, manfaat, reaksi yang


terjadi, jadwal, dan efek samping

-Informasikan imunisasi yang


diwajibkan pemerintah (mis: hepatitis
B, BCG, difteri, tetanus, pertussis, H.
influenza, polio, campak, measles,
rubela)

-Infromasikan imunisasi yang


melindungi terhadap penyakit namun
saat ini tidak diwajibkan pemerintah
(mis: influenza, pneumokokus)

-Informasikan vaksinasi untuk


kejadian khusus (mis: rabies, tetanus)

-Informasikan penundaan pemberian


imunisasi tidak berarti mengulang
jadwal imunisasi Kembali

-Informasikan penyedia layanan -


Pekan Imunisasi Nasional yang
menyediakan vaksin gratis

4 Bersihan jalan nafas Beersihan jalan nafas (L.01001) Manajemen jalan nafas
tidak efektif
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan (I.010112)
proses 2x24 jam diharapkan
infeksi(D.0001) kemampuan membersihkan
sekret atau obstruksi jalan nafas Definisi
untuk mempertahankan jalan
nafas tetap paten meningkat Mengidentifikasi dan mengelola
kepatenan jalan nafas.
Dengan kriteria hasil:
Tindakan
-Gelisah menurun
Observasi
-Frekuensi nafas membaik
-Monitor pola napas (frekuensi,
-pola nafas membaik kedalaman, usaha napas)

-Monitor bunyi napas tambahan (mis.


gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
kering)

- Monitor sputum (jumlah, wama,


aroma)

Terapeutik

-Pertahankan kepatenan jalan napas


dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma servikal)

-Posisikan semi-Fowler atau Fowler

-Berikan minum hangat

-Lakukan fisioterapi dada,jika perlu

-Lakukan penghisapan lendir kurang


dari 15 detik

-Lakukan hiperoksigenasi sebelum


penghisapan endotrakeal

-Keluarkan sumbatan benda padat


dengan forsep McGill

- Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

-Anjurkan asupan cairan 2000


ml/hari, jika tidak kontraindikasi

-Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi

-Kolaborasi pemberian bronkodilator,


ekspektoran, mukolitik, jika perlu
4. implementasi

Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan respon alergi


NO Hari/Tanggal/Jam Implementasi Respon Paraf

1 12 september Monitor pola S:”pasien


2023 nafas(frekuensi,kedalaman,usaha,usah mengatakan
a nafas) sesak nafas”

O:-pasien
07:00 wib
tampak sesak

2 Mengatur Posisikan semi fowler atau S:“pasien


fowler mengatakan
nyaman
dengan posisi
setengah
terlentang”
08:00 wib O:-pasien
tampak
nyaman jika
posisi
tidursetengah
terlentang”

3 Memberikan minuman hangat :“pasien


mengatakan
ingin
08:30 wib meminum air
hangat

0:pasien
tampak haus

4 Memberikan oksigen S:”pasien


mengatakan
sesak nafas
09:00 wib
O:-pasien
tampak sesak
Evaluasi

Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan respon alergi

No Diagnosa Hari/tanggal/jam Soap Paraf


keperawatan

1 Bersihan Senin S:”pasien mengatakan sesak nafas”


jalan nafas
12 sebtemberi -“pasien mengatakan nyaman dengan
tidak efektif
2023 posisi setengah terlentang”
berhubunga
n dengan 14.00 -“pasien mengatakan ingin meminum air
respon alergi hangat

O:-pasien tampak sesak

-pasien tampak nyaman jika posisi tidur


setengah terlentang

A:Bersihan jalan nafas tidak efektif belum


teratasi

P:intervensi dilanjutkan masalah belum


teratasi
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nefrotik sindrom adalah gangguan klinik yang ditandai dengan peningkatan protein
urine (proteinuria), edema, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), dan
kelebihan lipid dalam darah (hiperlipidemia). Kejadian ini diakibatkan oleh kelebihan
pecahan plasma protein ke dalam urine karena peningkatan permeabilitas membran
kapiler glomerulus. (dr. Nursalam, dkk. 2009). Penyebab sindrom nefrotik dibagi menjadi
dua menurut Muttaqin, 2012 adalah primer, yaitu berkaitan dengan berbagai penyakit
ginjal, dan sekunder, yaitu yang diakibatkan infeksi, penggunaan obat, dan penyakit
sistemik lain.
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria
sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Meningkatnya permeabilitas
dinding kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian
akan terjadinya proteinuria. Kelanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia.
Dengan menurunya albumin, tekanan osmotic plasma menurun sehingga cairan
intravascular berpindah ke dalam intertisial. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis yaitu urinalisis, pemeriksaan sedimen urin, pengukuran protein urin, albumin
serum, pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan immunologis, USG renal, biopsi
ginjal, dan darah.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin Kumala Sari. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan, jakarta:
Salemba Medika, 2011
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: definisidan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai