Anda di halaman 1dari 3

Mulainya dari Adab

Oleh : Muhammad Fauzil Adhim

Tanpa pembentukan adab yang kuat, tak ada alasan mendasar untuk memasukkan anak di sekolah
berasrama (boarding school). Inilah pilar pendidikan yang harus mendapat perhatian utama. Ini
pula yang harus ditegakkan pertama kali sebagai bagian dari tarbiyah. Ibarat tanah, kita siapkan
lahannya dulu sebelum kita tanami. Ibarat sawah, kita olah dulu sehingga menjadi lahan yang
subur untuk menyemai berbagai bentuk kebaikan dan 'ilmu. Tanpa ta'dib dan tarbiyah, tak ada
pembeda yang sangat penting dengan sekolah yang berangkat pagi pulang sore, kecuali bahwa
anak-anak itu tinggal di tempat yang sama, yakni asrama. Tanpa tarbiyah dan ta'dib, sekolah
asrama hanya menyediakan tempat menginap, tapi bukan pesantren. Sebagaimana, sekarang
telah banyak pondok pesantren yang telah kehilangan kata pesantren, sehingga yang tersisa
tinggal pemondokannya saja.

Pembentukan adab juga harus menjadi bagian sangat penting dari sekolah sehari penuh (fullday),
terlebih ketika berani menempelkan kata islam pada model sekolahnya; apakah islam terpadu,
islam integral, islam plus atau apa pun itu. Tanpa ada proses ta'dib yang serius dan terencana,
pilihan kita memasukkan anak ke sekolah sehari penuh boleh jadi justru bukan menempa anak
agar menjadi pribadi yang baik dan matang, tetapi justru menjerumuskan. Keburukan itu akan
lebih besar lagi pengaruhnya pada sekolah berasrama, sebagaimana kebaikannya juga sangat
besar jika tertata dengan sangat baik dan penuh kesungguhan.

Boleh jadi selama di asrama anak-anak terbiasa berperilaku sopan dan bertutur santun. Tapi tanpa
proses ta'dib yang matang, kebaikan dalam berperilaku maupun bertutur hanyalah kebiasaan
tanpa dasar, tanpa pilar. Mereka baik karena lingkungan kondusif untuk berbuat baik. Mereka baik
karena lingkungan kurang memungkinkan berbuat buruk atau bahkan tidak memungkinkan
berbuat jelek. Tapi jika hati tak mengingini, kecintaan terhadap perbuatan baik itu tidak tumbuh
dengan kokoh, maka ia akan mudah hilang tanpa bekas begitu keluar dari lingkungan tersebut.
Berbagai kebiasaan baik tersebut berubah drastis bukan karena pengaruh lingkungan, tetapi
karena sedari awal anak-anak memang tak mengingini kebaikan tersebut, sementara upaya
menanamkan kecintaan nyaris tak ada. Salah satu sebabnya, kita menganggap bahwa penjelasan
telah cukup untuk menyadarkan. Padahal beda sekali antara faham dan sadar. Penjelasan itu
memahamkan, bukan menyadarkan.

Lalu, kapan ta'dib perlu kita berikan kepada anak? Sepanjang masa. Selama mereka masih di
asrama, selama itu pula proses ta'dib dan tarbiyah berlangsung secara terus-menerus dan
berkelanjutan. Tetapi untuk sebuah perubahan terencana, tiga bulan pertama merupakan masa
yang amat penting untuk melakukan ta'dib. Inilah masa yang paling strategis. Kita dapat
melakukan perubahan kapan saja, tetapi saat paling tepat untuk melakukan perubahan mendasar
adalah masa awal masuk asrama atau sekolah. Inilah masa penting membentuk sikap,
menanamkan nilai, membangun orientasi belajar dan orientasi hidup. Inilah masa paling berharga
untuk membangun adab yang baik dan kuat dalam diri anak.

Jadi, awal di asrama sepatutnya kita manfaatkan secara serius untuk membangun hal-hal
mendasar yang diperlukan oleh siswa, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam mengarungi
hidup yang amat panjang. Orientasi kampus bisa saja kita lakukan. Tapi itu bukan yang terpenting.
Jika kita mendirikan sekolah untuk sebuah tujuan ideologis yang sangat idealis, jangan segan
meninjau ulang apa-apa yang tampak telah lumrah dilakukan berbagai lembaga.

Apa yang perlu kita perhatikan dalam proses ta'dib? Pembiasaan dan bahkan pemaksaan atau
pengharusan berperilaku sesuai tuntunan (mulazamah), pendampingan sehingga apa yang berat
terasa lebih ringan, penyampaian ilmu sehingga anak tak sekedar terbiasa melakukan, dan yang
tak kalah pentingnya adalah targhiib wat tarhib. Jika penjelasan memahamkan anak apa-apa yang
sebelumnya tidak ia pahami, maka targhiib wat tarhib kita berikan untuk menumbuhkan
kesadaran. Dua hal ini, paham dan sadar, merupakan perkara penting yang berbeda ranahnya.
Paham itu berada pada ranah kognitif, sementara sadar merupakan jenjang terendah ranah
afektif.
Mengapa dua hal ini harus kita berikan secara berbarengan (simultan)? Sekedar paham, sematang
apa pun pemahamannya hingga mampu menjelaskan secara gamblang dan memuaskan, tidak
berpengaruh pada sikap maupun perilaku. Bukankah orang-orang Yahudi banyak yang memahami
Islam dengan baik, tetapi mereka tidak bersedia tunduk kepada petunjuk? Sementara kesadaran
tanpa mengilmui membuahkan keinginan untuk berbuat, tetapi tanpa terasa bisa terlepas dari
tuntunan. Bukankah telah berlalu orang-orang sebelum kita yang gigih beramal tapi terlepas dari
kebaikan karena jauh dari petunjuk? Maka, keduanya harus ada: pemahaman dan kesadaran.
Keduanya ditumbuhkan berbarengan dengan proses pembiasaan, pendampingan dan
pengasuhan.

Jika ranah afektif telah tersentuh, kesadaran telah tumbuh, maka hadirnya pemahaman akan
menguatkan keyakinan, Semakin kuat ia memegangi nilai, menginternalisasikan dalam dirinya, lalu
perlahan ia mengikatkan diri pada nilai tersebut (organizing) dan pada akhirnya semoga sampai
pada jenjang karakterisasi diri. Dus, karakterisasi diri merupakan proses panjang. Ia bermula dari
kesadaran, memunculkan keinginan berbuat sesuai apa yang ada dalam kesadarannya,
menghayati nilai-nilai itu, mengikatkan diri pada nilai atau sistem nilai tersebut dan pada akhirnya
mencapai karakterisasi diri.

Sungguh, kebohongan besar dan dusta keji jika ada yang menawarkan kiat praktis membentuk
karakter hanya dalam waktu dua hari!

Merebut Masa Awal Sekolah

Kembali pada pembahasan tentang ta'dib. Tiga bulan pertama merupakan masa paling penting
bagi pembentukan 'adab yang berperan sangat penting bagi proses pembentukan iklim kelas dan
budaya sekolah di kemudian hari. Selama tiga bulan, kegiatan akademik diminimalkan, terutama
di asrama. Fokus kegiatan ada pada ta'dib dan tarbiyah. Bukan ta'lim.

Saya pernah mengusulkan program semacam ini kepada sebuah sekolah dasar, tetapi belum
pernah benar-benar menyampaikan secara detil apa saja yang harus dilakukan pada tiga bulan
pertama. Baru kulit-kulitnya saja bersebab ada gejala program tersebut terlalu tergesa-gesa
dipasarkan sebagai proyek pelatihan oleh sebagian orang sebelum konsepnya benar-benar
dipahami dengan matang. Ini tentu saja kontraproduktif bagi sebuah proses ta'dib. Sebuah
pelatihan haruslah diilmui secara matang. Jauh lebih baik lagi jika ia dikuati pengalaman lapangan
yang sangat kaya, termasuk bagaimana mengatasi masalah yang terjadi selama proses
implementasi berlangsung. Jika gagasan selintas sudah menjadi program pelatihan, hampir pasti
yang terjadi hanya pencitraan atau permainan saja. Dan hari ini, betapa banyak pelatihan yang
sebagian besar isinya adalah ice breaking berupa hiburan. Padahal konsep awal ice
breaking adalah upaya memecah kebekuan hanya jika peserta sudah jenuh dan lelah.

Apakah sekolah harus mengambil waktu sedemikian lama hanya untuk membentuk adab? Ada
dua jawaban sederhana. Pertama, ibarat menanam padi, pembentukan adab merupakan proses
penyiapan lahan agar tanaman yang kita semai dapat tumbuh subur. Keberhasilan pembelajaran
dan pembentukan budaya sekolah sangat dipengaruhi oleh kuat lemahnya 'adab pada pribadi tiap
siswa. Pembicaraan ini terasa lebih mendesak mengingat banyak anak masuk sekolah berasrama
tanpa bekal adab dan mental yang memadai dari rumah. Kita bisa melaksanakan proses
pembiasaan dalam waktu lebih singkat. Tetapi sulit berharap bisa terpatri lebih dalam, terbangun
lebih kokoh. Kedua, kerepotan mengurusi siswa akibat lalai menyiapkan adab mereka di awal jauh
lebih panjang dan melelahkan, sehingga mengkhususkan waktu di awal (khususnya di asrama)
akan sangat bermanfaat. Selain itu, jika mereka telah memiliki adab yang kuat serta menghayati
fadhilah ilmu maupun menuntut ilmu, kita bisa berharap mereka akan memiliki sikap belajar serta
orientasi studi yang baik.

Wallahu a'lam bish-shawab.


Lalu, apa saja ruang lingkup adab yang perlu kita perhatikan? Do'akan saya. InsyaAllah bulan April
saya hadir kembali untuk membahas, tetap di rubrik ini: Kolom Parenting Majalah Hidayatullah.
Sesudahnya, kita berbincang telah fadhilah ilmu dan menuntut ilmu.

Anda mungkin juga menyukai