Anda di halaman 1dari 2

Azra Zeta Fitri Ludyta

5031201044
Manajemen SDM A

Strategic Human Capital Planning and Human Resource Management


by PwC Consulting, Rendy Aries Fajrin, S.T.

Sebelum memahami tentang manajemen sumber daya manusia, perlu untuk kita
mengetahui latar belakang mengapa manajemen SDM itu penting untuk dilakukan. Dunia
yang saat ini telah memiliki New Normal akibat dari adanya pandemi Covid-19
merupakan salah satu contoh dari VUCA. VUCA terdiri dari kata Volatility (dunia
bergerak cepat, bergejolak, tak terduga), Uncertainty (kurang prediksi, prospek terhadap
kejutan, rasa kesadaran dan pemahaman terkait masalah dan peristiwa), Complex
(masalah dan akibat lebih berlapis, saling memengaruhi), serta Ambiguity (lingkungan
yang membingungkan, tidak jelas, sulit dipahami). Covid-19 merupakan salah satu
contoh nyata dari VUCA yang berdampak besar terhadap perekonomian. Untuk dapat
bertahan, tenaga kerja perlu beradaptasi dengan menerapkan 3R (Repair, Reconfigure,
Rethink). Belajar dari pandemi, maka tenaga kerja di masa depan harus dapat beradaptasi
secara cepat dengan dunia digital. Maka dari itu, organisasi perlu untuk mengoptimasi
tenaga kerja dan biaya SDM, memaksimalkan kinerja SDM, serta mengelola risiko,
ketahanan, dan reputasi.
Akibat dari perubahan tersebut, manajemen dalam organisasi juga berubah dari
scientific management ke modern management. Menurut Frederick Winslow Taylor, cara
kerja scientific management adalah menggunakan kontrol perintah, pekerjaan berulang,
dan proses yang kaku. Sementara menurut Peter Drucker, modern management
menggunakan cara kerja self-managed, kerja secara kreatif, serta proses kerja yang
fleksibel. Seiring dengal hal tersebut, manajemen proyek juga memiliki sejarah
perubahan dari Waterfall menuju Agile (ketangkasan). Agile sendiri memiliki banyak
metode, tetapi metode yang paling dipilih adalah Scrum.
Untuk dapat menerapkan agile, perusahaan perlu untuk mendefinisikan masalah
yang dihadapi terlebih dahulu. Mengacu pada Cynefin Framework, gangguan dibagi
menjadi 4 kuadran, yaitu Complicated (sense, analyze, respond, good practices),
Complex (probe, sense, respond, emergent), Chaos (act, sense, respond, novel), dan
Obvious (sense, categorise, respond, best practices). Agility membantu perusahaan dalam
menghadapi VUCA dengan merangkul perubahan dan meningkatkan kemampuan
beradaptasi. Dalam konsep agile, dikenal yang namanya Agile Manifesto di mana
menerapkan individu dan interaksi atas proses dan alat, working software atas
dokumentasi yang komprehensif, kolaborasi pelanggan atas negosiasi kontrak, serta
merespons pada perubahan daripada mengikuti rencana. Agile sendiri merupakan
kumpulan budaya yang mendorong kebiasaan yang berfokus pada nilai dan kolaborasi.
“We can not benchmark other’s culture. Every culture is unique.” Agile dimulai dari
mindset, lalu dideskripsikan dengan 4 nilai, didefinisikan dengan 12 prinsip, lalu
dimanifestasi melalui praktik yang tidak terbatas. Dalam modern management, yang
dimaksud dengan self-organizing team adalah tim yang pemimpinnya bersifat sebagai
fasilitator bagi tim untuk melakukan pengorganisasian secara mandiri. Hal ini mengubah
silos (sifat tim yang kurang komunikasi, memiliki banyak handoff) menjadi cross
functional dan self-organizing team yang tinggi tingkat kolaborasinya dan berorientasi
pada hasil.
Agile memiliki beberapa sifat. Pertama yaitu responsiveness yang berarti
kecepatan dalam mencapai keberhasilan dalam skala kecil. Responsiveness berorientasi
pada progress perkembangan secara berkelanjutan dengan menggunakan alat berupa
feedback. Kedua yaitu validated learning di mana agile membutuhkan feedback
berkelanjutan, inspeksi, dan adaptasi untuk menciptakan sesuatu secara iteratif dengan
perbaikan terus-menerus. Ketiga yaitu trust and collaboration yang maksudnya adalah
menempatkan feedback secara langsung kepada manajer dan tim. Tujuannya untuk
mendapatkan kontribusi kolaborasi yang tinggi dan kepercayaan demi terciptanya
lingkungan yang agile. Keempat yaitu coaching mindset yang artinya adalah kepercayaan
pada orang-orang bahwa mereka memiliki seluruh sumber daya yang ada untuk
mengeluarkan potensi mereka, tetapi terkadang mereka hanya butuh pertanyaan yang
kuat.
Dalam memulai agile, dapat didahului dari pemahaman manajemen puncak.
Manajemen puncak harus menjadi yang paling paham mengenai penerapan agile ini.
Selanjutnya yaitu memulai dari hal kecil, melakukan inspeksi, dan adaptasi. Daripada
melakukan transformasi besar secara mengejutkan, lebih baik bila melakukannya secara
bertahap dan belajar dari prosesnya. Selain itu, rayakan keberhasilan-keberhasilan kecil.
Melakukan apresiasi pada diri sendiri dan tim di setiap pencapaian yang didapat. SDM
selaku pengaktif organisasi yang agile dapat melakukan hal-hal berikut: fokus pada tim
daripada individu; membangun team-based, struktur jaringan dan organisasi yang
fleksibel; memberikan feedback pada tim secara berkelanjutan; serta menyusun dan
mendorong budaya dan lingkungan yang memungkinkan untuk agile. Ada sepuluh
prinsip budaya yang dapat dilakukan SDM untuk mengakselerasi adopsi budaya:
1. Bekerja dengan dan dalam situasi budaya yang ada saat ini
2. Mengubah perilaku terlebih dahulu, pola pikir (mindset) akan mengikuti
3. Fokus pada perilaku “critical views”
4. Mengatur implementasi dari manajemen atas dan melibatkan seluruh jajaran
formal leaders
5. Memberdayakan Authentic Informal Leader
6. Mengaitkan perilaku dengan target kinerja
7. Menghasilkan quick wins
8. Menggunakan pendekatan lintas fungsi atau unit kerja
9. Memastikan inisiatif atau program yang dijalankan selaras dengan terbangunnya
perilaku-perilaku yang diharapkan
10. Monitor penerapan budaya dari waktu ke waktu

Anda mungkin juga menyukai