Handout PKH 22
Handout PKH 22
Pendidikan
Khusus
2022
Anak
Dengan
Hambatan
Penglihatan
tunanetra
A. Pengertian tunanetra
Tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya tidak berfungsi sempurna
sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang
awas. Kata “tunanetra” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “tuna”
yang artinya rusak atau cacat dan kata “netra” yang artinya adalah mata atau alat
penglihatan, jadi kata tunanetra adalah rusak penglihatan.
Scholl dalam Hidayat dan Suwandi (2013) mengemukakan bahwa orang memiliki
kebutaan menurut hukum legal blindness apabila ketajaman penglihatan sentralnya
20/200 feet atau kurang pada penglihatan terbaiknya setelah dikoreksi dengan
kacamata atau ketajaman penglihatan sentralnya lebih dari 20/200 feet, tetapi ada
kerusakan pada lantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari 20
derajat pada mata terbaiknya.
Dalam bidang pendidikan khusus, anak dengan gangguan penglihatan disebut
dengan anak tunanetra. Baik itu yang buta total atau yang penglihatan kurang.
Tunanetra dapat diukur dan dilihat dari sudut pandang medis dan pendidikan. Secara
medis, seseorang dikatakan tunanetra jika memiliki visus (tajam penglihatan) 20/200
atau lantang pandang kurang dari 20 derajat. Sedangkan dari segi pendidikan, seorang
anak dikatakan tunanetra apabila media yang digunakan dalam pembelajaran adalah
indera peraba (tunanetra total/buta total) atau yang masih bisa membaca dan menulis
namun dengan ukuran tulisan yang lebih besar (low vision/ kurang lihat).
Dengan demikian, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indra
penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan
sehari-hari seperti orang awas. anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat
diketahui dari beberapa kondisi berikut:
1. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman penglihatan orang awas.
2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak
4. Terjadi kerusakan susunan saraf yang berhubungan dengan penglihatan.
Kondisi di atas, pada umumnya digunakan sebagai patokan apakah seorang anak
termasuk tunanetra atau tidak, yaitu dengan berdasarkan pada tingkat ketajaman
penglihatannya. Untuk mengetahui ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang
dikenal dengan Snellen Chart.
B. Klasifikasi anak tunanetra
Menurut Aqila Smart dalam buku Anak Cacat Bukan Kiamat tunanetra diklasifikasikan
menjadi dua kelompok yaitu buta total dan kurang penglihatan (low vision). Berikut
penjelasan klasifikasi tunanetra:
a. Buta total
Buta total yaitu kondisi penglihatan yang tidak dapat melihat dua jari di mukanya
atau hanya melihat sinar atau cahaya. Mereka tidak bisa menggunakan huruf selain
huruf braille.
b. Low vision
Low vision yaitu kondisi penglihatan yang apabila melihat sesuatu maka harus
didekatkan atau mata harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya atau memiliki
pemandangan kabur ketika melihat objek.
.
Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan adalah sebagai
berikut.
a. Anak yang memiliki ketajaman perglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh
pelayanan medis.
b. Anak yang mempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli
mata dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan
yang khusus.
Anak yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan memiliki karakteristik atau ciri
khas yang merupakan implikasi atau akibat dari kehilangan informasi secara visual.
Karakteristik tersebut di antaranya adalah
1. Rasa curiga terhadap orang lain
Karena seorang anak tunanetra tidak dapat melihat ekspresi dari lawan bicaranya,
ketika lawan bicara tersebut berbicara dengan orang lain dengan suara yang berbisik,
anak tunanetra seringkali merasakan ketidakamanan dan curiga terhadap orang lain.
Oleh karena itu, anak tunanetra perlu dikenalkan dengan orang-orang di sekitar
lingkungannya, khususnya orang-orang yang akan selalu berinteraksi dengannya untuk
memupuk kepercayaan terhadap orang-orang dan lingkungan sekitar.
2. Perasaan Mudah Tersinggung
Terkadang anak tunanetra seringkali tersinggung terhadap candaan dalam interaksi
dengan lingkungan sekitarnya. Perasaan mudah tersinggung ini harus diatasi dengan
cara memperkenalkan anak terhadap lingkungan sekitar dan lawan bicara baru agar
anak memahami bahwa setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda dalam
bersikap, bertutur kata, dan cara berteman.
3. Verbalisme
Anak tunanetra mengalami keterbatasan dalam pengalaman mengenai konsep
abstrak. Beberapa konsep seperti pelangi tidak dapat dibuat media konkretnya, oleh
karena itu hal ini harus dijelaskan secara verbal untuk memberikan pemahaman kepada
anak tunanetra.
4. Suka berfantasi
Hal ini karena nak tunanetra tidak dapat melihat dan mengamati lingkungan
sekitarnya, maka ia hanya dapat berimajinasi tentang bagaimana keadaan lingkungan,
bagaimana cara orang-orang berperilaku, tanpa tahu yang sebenarnya.
5. Pemberani
Anak tunanetra yang sudah memiliki konsep diri lebih baik kemungkinan besar
memiliki sikap berani dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan,
dan pengalamannya. Sikap pemberani ini merupakan konsep diri yang harus dilatih
sejak dini agar anak mampu mandiri dalam aktivitas kesehariannya dan mau untuk
menggapai cita- citanya.
Meskipun sudah banyak sekali alat-alat yang dapat membantu para tunanetra dalam
membaca atau menulis, tetapi penulisan braille secara manual tetap dilakukan.
Contohnya seperti menuliskan catatan-catatan kecil saat presentasi, rapat, dan lain-
lain.
2. Orientasi dan Mobilitas
Orientasi adalah kemampuan seseorang untuk mengenali lingkungannya dan
hubungan dengan dirinya secara ruang (spatial) dan waktu (temporal). Latihan
orientasi dan mobilitas sangat diperlukan oleh tunanetra karena hal ini dapat
membantu para tunanetra untuk bergerak dalam suatu lingkungan dengan efisien dan
selamat.
Latihan orientasi mobilitas mencakup (1) latihan sensori; (2) latihan pengembangan
konsep; (3) pengembangan motoric; (4) keterampilan orientasi formal; dan (5)
keterampilan mobilitas formal.
Latihan orientasi mobilitas terhadap orang dewasa atau anak-anak yang lebih besar
difokuskan agar dapat hidup dengan mandiri dan melatih mereka dengan keterampilan
khusus seperti menyeberang jalan, menaiki angkutan umum, melewati tangga, dan lain-
lain. Sedangkan untuk anak- anak, latihan ini ditujukan untuk (1) memahami
penggunaan informasi sensoris; (2) pengenalan anggota tubuh dan gerakan yang bisa
dilakukan; (3) pengenalan objek yang ada di lingkungan; (4) memotivasi mereka untuk
bergerak dan bereksplorasi; dan (5) pengenalan berbagai ruang dan fungsinya.
Ada empat sistem mobilitas yang biasa digunakan oleh tunanetra, di antaranya
adalah:
Pendamping awas,
Tongkat,
Anjing penuntun, dan
Alat bantu elektronik.
3. Pengembangan Konsep
Pengembangan konsep adalah proses penggunaan informasi sensoris untuk
membentuk suatu gambaran ruang dan lingkungan. Konsep tentang ruang akan
berkembang tergantung utamanya pada indra penglihatan. Oleh karena itu,
keterbatasan luas dan variasi pengalaman akibat ketunanetraan tersebut perlu
dikembangkan melalui pengembangan konsep. Tetapi ada beberapa konsep yang
mungkin tidak dipahami oleh tunanetra, seperti bulan, bintang, matahari, warna, dan
lain-lain.
Hill dan Blasch (dalam astati, dkk. 2013) mengemukakan bahwa ada tiga kategori
yang diperlukan dalam orientasi dan mobilitas, di antaranya adalah (1) konsep tubuh,
(2) konsep ruang, dan (3) konsep lingkungan.
4. Aktivitas sehari-hari (Activity of Daily Living/ADL)
Dalam membangun konsep diri diperlukan pengajaran aktivitas sehari-hari (activity
of Daily Living/ADL). Untuk tunanetra, pengajaran yang diberlakukan adalah dengan
menggunakan pengalaman atau learning bydoing.
Pada ADL ada beberapa istilah yang digunakan, seperti daily living skills,
techniques of daily living, self care, self help, dan personal management. Pengajaran ADL
diajarkan secara formal di sekolah, tetapi pengajaran ini tidak lepas dari kegiatan
sehari-hari di rumah. Oleh karena itu, pengajaran ADL merupakan tanggung jawab bagi
keluarga dan masyarakat.
HURUF BRAILLE
Braille merupakan salah satu kebutuhan khusus bagi tunanetra. Braille adalah
serangkaian titik timbul berpola yang dapat dibaca dengan cara diraba. Braille
diciptakan oleh Louis Braille pada abad ke-18 dan sejak saat itu, huruf braille menjadi
alat utama bagi penyandang tunanetra dalam membaca dan menulis secara manual.
1. Pembentukan Huruf Braille
2. Abjad Braille
3. Tanda Baca
Anak
Dengan
Hambatan
Pendengaran
tunarungu
A. Pengertian Tunarungu
Secara umum anak tunarungu dapat diartikan anak yang tidak dapat mendengar.
Tidak dapat mendengar tersebut dimungkinkan kurang dengar atau tidak mendengar
sama sekali. Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada
umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan
pada saat berbicara.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa bahasa yang digunakan oleh anak
tunarungu adalah bahasa isyarat yang menitikberatkan padu indra penglihatan dan
gerak tubuh untuk menegaskan kata atau kalimat yang ingin mereka sampaikan.
Pengenalan konsep bahasa yang tepat bagi anak tunarungu juga harus dimulai sejak
usia dini dan bergantung pada peran aktif orang tua bagaimana membimbing anak
yang memiliki tunarungu.
Ketunarunguan adalah seseorang yang mengalami gangguan pendengaran yang
meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini dapat
dikelompokkan menjadi dua gołongan, yaitu kurang dengar dan tuli, yang
menyebabkan terganggunya proses perolehan informasi atau bahasa sebagai alat
komunikasi. Seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan pendengaran
baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh tidak fungsinya sebagian atau
seluruh alat pendengaran sehingga anak tersebut tidak dapat menggunakan alat
pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut berdampak terhadap
kehidupannya secara kompleks terutama pada kemampuan berbahasa sebagai alat
komunikasi yang penting. Gangguan mendengar yang dialami anak tunarungu
menyebabkan terhambatnya perkembangan bahasa anak, karena perkembangan
tersebut, sangat penting untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Pakar bidang medis, memiliki pandangan yang sama bahwa unak tunarungu
dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, hard of hearing adalah sescorang yang
masih memiliki sisa pendengaran sedemikian rupa sehingga masih cukup untuk
digunakan sebagai alat penangkap proses mendengar sebagai bekal primer
penguasaan kemahiran bahasa dan komunikasi yang baik dengan maupun tanpa
menggunakan alat bantu dengar.
.
Kedua, The Deaf adalah seseorang yang tidak memiliki indra dengar sedemikian rendah
sehingga tidak mampu berfungsi sebagai alat penguasaan bahasa dan komunikasi, baik
dengan ataupun tanpa menggunakan alat bantu dengar. Soematri, 1995 menyebutkan
bahwa seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indra
pendengarannya. Ketunarunguan tidak saja terbatas pada kehilangan pendengaran
sangat berat, melainkan seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan,
sedang berat, sangat berat.
.
B. Klasifikasi anak tunarungu
Kemampuan mendengar dari individu yang satu berbeda dengan individu lainnya.
Apabila kemampuan mendengar dari seseorang ternyata sama dengan kebanyakan
orang, berarti pendengaran anak tersebut dapat dikatakan normal. Bagi tunarungu
yang mengalami hambatan dalam pendengaran itu pun masih dapat dikelompokkan
berdasarkan kemampuan anak yang mendengar. Klasifikasi anak tunarungu yang di
kemukakan oleh Samuel A. Kirk (Permanarian Somad 1996: 29) adalah sebagai berikut :
.
C. Karakteristik Anak Tunarungu
Karakteristik anak tunarungu sangat kompleks dan berbeda-beda satu sama lain.
Secara kasat mata keadaan anak tunarungu sama seperti anak normal pada umumnya.
Apabila dilihat beberapa karakteristik yang berbeda. Karakteristik bahasa dan bicara
anak tunarungu. Suparno (2001: 14), menyatakan karakteristik anak tunarungu dalam
segi bahasa dan bicara adalah sebagai berikut :
Miskin kosakata
Mengalami kesulitan dalam mengerti ungkapan bahasa yang mengandung arti
kiasan dan kata-kata abstrak.
Kurang menguasai irama dan gaya bahasa.
Sulit memahami kalimat-kalimat yang kompleks atau kalimat-kalimat yang panjang
serta bentuk kiasan.
Anak tunarungu juga mempunyai beberapa karakteristik, terutama keterbatasan
kosakata. Hal tersebut yang menyebabkan anak tunarungu kesulitan berkomunikasi
dengan orang lain. Terlebih lagi permasalahan tentang kejelasan dalam berbicara. Anak
tunarungu biasanya mengalami masalah dalam artikulasi, yaitu mengucapkan kata-kata
yang tidak atau kurang jelas. Namun, hal itu dapat diatasi dengan metode drill, yaitu
anak melakukan latihan mengucapkan kata-kata secara berulang-ulang sampai anak
terampil atau terbiasa berbicara dengan artikulasi yang tepat dan jelas.
Heri Purwanto (1998: 58-59) menyatakan karakteristik anak tunarungu wicara pada
umumnya memiliki kelambatan dalam perkembangan bahasa wicara bila dibandingkan
dengan perkembangan bicara anak-anak normal, bahkan anak tunarungu total (tuli)
cenderung tidak dapat berbicara (bisu).
Anak tunarungu mempunyai karakteristik yang spesifik bahwa anak tunarungu
mempunyai hambatan dalam perkembangan bahasa (mendapatkan bahasa). Bahasa
sebagai alat komunikasi dengan orang lain. Sedangkan, Anak tunarungu mempunyai
permasalahan dalam wicaranya untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena wicara
sebagai alat yang sangat penting dalam komunikasi. Dalam berbicara pun harus
menggunakan artikulasi yang jelas agar pesan mudah diterima oleh orang lain, maka
dari itu anak harus dilatih secara berulang-ulang sehingga anak terampil mengucapkan
kata-kata dengan artikulasi yang tepat dan jelas
D. Penyebab Ketunaan
.
Secara umum penyebab ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir (prenatal), ketika
lahir (natal), dan sesudah lahir (postnatal). Banyak para ahli mengungkap tentang
penyebab ketulian dan ketunarunguan, tentu saja dengan pandangan yang berbeda
dalam penjabarannya.
Trybus (1985) mengemukakan enam penyebab ketunarunguan pada anak di Amerika
Serikat, adalah sebagai berikut:
.
Keturunan;
Campak jerman dari pihak ibu:
Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran;
Radang selaput otak (meningitis);
Otitis media (radang pada bagian telinga tengah);
Penyakit anak-anak, radang, dan luka-luka.
Dari hasil penelitian, kondisi-kondisi tersebut hanya 60% penyebab dari kasus-
kasus ketunarunguan pada masa kanak-kanak. Untuk lebih jelasnya faktorfaktor
penyebab ketunarunguan dapat dikelompokkan sebagai berikut.
1. Faktor dalam diri anak
Disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau kedua orangtuanya yang
mengalami ketunarunguan.
Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak Rubela (Rubela).
Ibu yang sedangmengandung menderita keracunan darah atau Toxaminia.
2. Faktor luar diri anak
Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran, misalnya, anak
terserang Herpessimplex.
Meningtis atau radang selaput otak.
Otitis media (radang telinga bagian tengah) Penyakit lain atau kecelakaan yang
dapat mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian tengah dan dalam.
Ada beberapa pendapat lain tentang penyebab terjadinya anak berkebutuhan khusus
tunarungu, di antaranya sebagai berikut.
1. Penyebab tunarungu tipe konduktif
a. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan, antara
lain oleh:
Tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus akustikus externus),
dan
Terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (ofitis exterbal).
b. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat disebabkan
antara lain oleh hal-hal berikut ini.
Rudakpaksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga seperti karena
jatuh tabrakan, tertusuk, dan sebagainya.
Terjadinya peradangan/infeksi pada telinga tengah (otitis media).
Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang stapes.
Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada gendang dengar
(membrane timpani) dan tulang pendengaran.
Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya tulang
pendengaran yang dibawa sejak lahir.
Disfungsi tuba eustaschius (saluran yang menghubungkan rongga telinga dengan
rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx.
2. Penyebab terjadinya tunarungu tipe sensorineural
a. Disebabkan oleh faktor genetik (keturunan).
b. Disebabkan oleh faktor non genetik, antara lain:
Rubella (Campak Jerman);
Keridaksesuaian antara darah ibu dan anak;
Meningtis (radang selaput otak);
Trauma akustik.
A. Pengertian Tunagrahita
Banyak terminologi yang digunakan untuk menyebut anak tunagrahita. Dalam Bahasa
Indonesia, istilah yang sering digunakan misalnya lemah otak, lemah ingatan, lemah
pikiran, reterdasi mental, terbelakang mental, dan tunagrahita. Sedangkan dalam
kepustakaan bahasa asing dikenal dengan istilah mental reterdation, mentally reterded,
mental deficiency, dan mental defective, dan lain-lain.
Menurut Grossman anak tunagrahita adalah anak yang memilki kecerdasan
intelektual (IQ) secara signifikan berada di bawah rata-rata (Normal) yang disertai
dengan ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan semua ini
berlangsung pada masa perkembangan.
Sedangkan menurut WHO anak tunagrahita adalah anak yang memiliki dua
komponen esensial, yaitu fungsi intelektual secara nyata berada dibawah rata-rata dan
adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat. Sejalan dengan definisi tersebut AFMR menggariskan bahwa seseorang
yang dikategorikan tunagrahita harus melebihi komponen keadaan kecerdasannya
yang jelas-jelas dibawah rata-rata, adanya ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri
dengan norma dan tuntutan yang berlaku di masyarakat.
Untuk memahami anak tunagrahita ada baiknya kita telaah definisi tentang anak ini
yang dikembangkan oleh AAMD (American association of mental deficiency) sebagai
berikut: “keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata
secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan terjadi pada masa pekembangan.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan
tunagrahita apabila kecerdasannya dibawah rata-rata. Terhambat dalam belajar dan
penyesuaian sosialnya, serta memerlukan pendidikan yang khusus.
.
B. Klasifikasi anak Tunagrahita
Pengelompokan Anak Tunagrahita pada umumnya didasarkan pada taraf
intelegensinya, yang terdiri dari keterbelakangan ringan, sedang, dan berat.
Menurut Sutjihati Somatri dalam buku Psikologi Anak Luar Biasa dijelaskan bahwa
kemampuan intelegensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet
dan Skala Weschler (WISC). Dan klasifikasi anak tunagrahita dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga maron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara
68-52 menurut Binet. Sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) Anak tunagrahita
ringan merupakan salah satu klasifikasi anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan
intelektual/ IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung
sederhana sampai tingkat tertentu. Biasanya hanya sampai pada kelas IV sekolah dasar
(SD). Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan
pada saatnya dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri.
Anak terbelakang mental ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled
seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika
dilatih dan bimbingan dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di pabrik-
pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun demikian anak terbelakang mental ringan
tidak mampu melakukan penyesuaian social secara independen, tidak bisa merencakan
masa, bahkan suka berbuat kesalahan.
Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik. Mereka
secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar
membedakan secara fisik antara anak tungarhita ringan dengan anak normal.
b. Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36
menurut Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak terbelakang
mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun. Mereka
dapat didik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti
menghindari kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya.
Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik
seperti menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka masih dapat menulis
secara social, misalnya menulis namanya sendiri, alamat rumahnya, dan lain-lain. Masih
dapat dididik mengurus diri, seperti mandi, berpakaian, makan, minum, mengerjakan
pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari, anak
tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus-menerus. Mereka juga
masih dapat bekerja ditempat kerja terlindung (sheltered workshop).
c. Tunagrahita Berat
Kelompok anak tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan
lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (severe)
memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menurut Skala
Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 19 menurut
Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut Skala Weschler (WISC). Kemampuan mental
atau MA maksimal yang dapat dicapai kurang dari tiga tahun atau empat tahun.
.
Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam
berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari
bahaya sepanjang hidupnya.
D. Karakteristik Tunagrahita
Anak tunagrahita atau keterbelakangan mental merupakan kondisi dimana
perkembangan kecerdasan anak mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap
perkembangan yang optimal. Menurut T. Sutjihati Somantri, dalam buku Psikologi Anak
Luar Biasa menjelaskan ada beberapa karakteristik umum anak tunagrahita antara lain:
1. Keterbatasan Intelegensi
Intelegensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk mempelajari informasi dan keterampilan-keterampilan menyesuaikan
diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari masa lalu,
berfikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan,
mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak
tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut
Kapasitas belajar Anak Tunagrahita bersifat abstrak seperti beajar dan berhitung,
menulis, dan membaca juga terbatas, kemampuan belajarnya cenderung tanpa
pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
2. Keterbatasan Sosial
Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki
kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka
memerlukan bantuan. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih
muda dari usianya, ketergantungan kepada orang tua sangat besar, sehingga mereka
harus selalu dibimbing dan diawasi.
Selain itu mereka mempunyai kepribadian yang kurang dinamis, mudah goyah,
kurang menawan, dan tidak berpandangan luas. Mereka juga mudah dipengaruhi dan
cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya. Namun, dibalik itu semua
mereka menunjukkan ketekunan dan rasa empati yang baik asalkan mereka
mendapatkan layanan atau perlakuan dan lingkungan yang kondusif.
3. Keterbatasan Fungsi–Fungsi Mental lainnya, diantaranya:
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka
bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat pengolahan
(perbendarahan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu, anak
tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara
yang baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dan yang salah.
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan waktu yang lama untuk melaksanakan
reaksi pada situasi yang baru dikenal.
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa.
Anak tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan
antara baik dan yang buruk, dan membedakan yang benar dengan yang salah.
Anak tunagrahita pelupa dan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan kembali
suatu ingatan
Sedangkan menurut Wardani karakteristik anak tunagrahita ringan menurut tingkat
ketunagrahitaanya sebagai berikut: Dari segi fisik, anak tunagrahita nampak seperti
anak normal pada umumnya, hanya sedikit ada kelambatan dalam kemampuan
sensomotoriknya saja dan meskipun tidak sama dengan anak normal seusiannya,
mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
Kecerdasannya bekembang dengan kecepatan antara setengah dan tiga perempat
kecepatan anak normal dan berhenti pada usia muda. Mereka dapat bergaul dan
mempelajari pekerjaan yang hanya memerlukan semi skilled. Pada usia dewasa
kecerdasannya mencapai tingkat usia anak normal 9 dan 12 tahun.
F. Usaha Pencegahan
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya ketunagrahitaan
adalah sebagai berikut :
1. Diagnostik prenatal
Yaitu suatu usaha memeriksakan kehamilan untuk menemukan kemungkinan kelainan-
kelainan pada janin.
2. Imunisasi
Imunisasi dilakukan terhadap ibu hamil dan balita agar terhindar dari penyakit-
penyakit yang dapat mengganggu perkembangan anak.
3. Tes darah
Ini dilakukan terhadap pasangan calon suami istri untuk menghidari kemungkinan
menurunkan benih-benih yang berkelainan,
4. Pemeliharaan kesehatan
Ibu hamil hendaknya memeriksakan kesehatan secara rutin. Juga menyediakan
makanan bergizi yang cukup, menghindari radiasi, dan sebagainya.
5. Program KB
Ini diperlukan untuk mengatur kehamilan dan membina keluarga yang sejahtera.
Anak
Dengan
Hambatan
Motorik
tunadaksa
A. Pengertian Tunadaksa
tunadaksa merupakan istilah lain dari cacat tubuh/tunafisik, yaitu berbagai
kelainan bentuk tubuh yang mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk
melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan.
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat
ortopedi.
Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna yang berarti rugi atau kurang dan daksa
yang berarti tubuh“. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak
sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut
anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat
ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Orthopedic
mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan
demikian, cacat ortopedi kelainannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian
atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur
sistem otot, tulang dan persendian.
Samuel A Kirk (1986) yang dialih bahasakan oleh Moh. Amin dan Ina Yusuf
Kusumah (1991: 3) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak tunadaksa jika
kondisi fisik atau kesehatan mengganggu kemampuan anak untuk berperan aktif
dalam kegiatan sehari-hari, sekolah atau rumah. Sebagai contoh, anak yang
mempunyai lengan palsu tetapi ia dapat mengikuti kegiatan sekolah, seperti
Pendidikan Jasmani atau ada anak yang minum obat untuk mengendalikan gangguan
kesehatannya maka anak-anak jenis itu tidak termasuk penyandang gangguan fisik.
Tetapi jika kondisi fisik tidak mampu memegang pena, atau anak sakit-sakitan
(mengidap penyakit kronis) sering kambuh sehingga ia tidak dapat bersekolah secara
rutin maka anak itu termasuk penyandang gangguan fisik (tunadaksa).
Terdapat 3 faktor penyebab Tuna Daksa, yakni Prenatal (sebelum kelahiran), faktor
Neonatal (saat lahir) dan Postnatal (setelah kelahiran).
1. Faktor Prenatal (sebelum kelahiran)
Kelainan fungsi anggota tubuh atau ketunadaksaan yang terjadi sebelum bayi lahir
atau ketika dalam kandungan dikarenakan faktor genetik dan kerusakan pada sistem
saraf pusat. Faktor yang menyebabkan bayi mengalami kelainan saat dalam kandungan
adalah: Anoxia prenatal, hal ini disebabkan pemisahan bayi dari plasenta, penyakit
anemia, kondisi jantung yang gawat, shock, dan percobaan pengguguran kandungan
atau aborsi, gangguan metabolisme pada ibu, bayi dalam kandungan terkena radiasi,
radiasi langsung mempengaruhi sistem syaraf pusat sehingga sehingga struktur
maupun fungsinya terganggu, ibu mengalami trauma (kecelakaan). Trauma ini dapat
mempengaruhi sistem pembentukan syaraf pusat. Misalnya ibu yang jatuh dan
mengalami benturan keras pada perutnya dan mengenai kepala bayi akan mengganggu
sistem syaraf pusat, infeksi atau virus yang menyerang ibu hamil sehingga mengganggu
perkembangan otak bayi yang dikandungnya.
2. Faktor Neonatal (saat lahir)
Mengalami kendala saat melahirkan, seperti: Kesulitan melahirkan karena posisi bayi
sungsang atau bentuk pinggul ibu yang terlalu kecil, pendarahan pada otak saat
kelahiran, kelahiran prematur, penggunaan alat bantu kelahiran berupa tang karena
mengalami kesulitan kelahiran yang mengganggu fungsi otak pada bayi, gangguan
plasenta yang mengakibatkan kekurangan oksigen yang dapat mengakibatkan
terjadinya anoxia dan pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan adalah contoh
faktor Neonatal penderita Tuna Daksa. Pemakaian anestasi yang berlebihan ketika
proses operasi juga dapat mempengaruhi sistem persyarafan otak bayi yang berakibat
pada disfungsi otak.
3. Postnatal (setelah kelahiran)
Walaupun proses melahirkan sudah berlalu, tidak ada jaminan seorang individu untuk
terbebas dari Tuna Daksa seumur hidupnya. Penyakit seperti meningitis (radang selaput
otak), enchepalitis (radang otak), influenza, diphteria, dan partusis adalah beberapa
penyakit yang dapat berdampak fatal menyebabkan disfungsi otak. Selain itu,
mengalami benturan keras di bagian kepala, dan terjatuh dari tempat yang tinggi tanpa
menggunakan pengaman kepala juga merupakan faktor penyebab Tuna Daksa.
Anak
Dengan
Hambatan
Emosi &
Perilaku
tunalaras
A. Pengertian Tunalaras
Istilah resmi “tuna laras” baru dikenal dalam dunia Pendidikan Luar Biasa (PLB).
Istilah tuna laras berasal dari kata “tuna” yang berarti kurang dan “laras” berarti
sesuai. Jadi, anaktuna laras berarti anak yang bertingkah lakukurang sesuai dengan
lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang terdapat di
dalam masyarakat tempat ia berada.Penggunaan istilah tuna laras sangat bervariasi
berdasarkan sudut pandangtiap-tiap ahli yang menanganinya, seperti halnya pekerja
sosial menggunakan istilah social maladjustment terhadap anak yang melakukan
penyimpangan tingkah laku. Para ahli hukum menyebutnya dengan juvenile
delinquency. Dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1991 disebutkan bahwa
tunalaras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang
dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat. Sementara itu masyarakat lebih mengenalnya dengan istilah anak nakal.
Seperti halnya istilah, definisi mengenai tuna laras juga beranekaragam. Berbagai
definisi yang diadaptasi oleh Lynch dan Lewis (1988) adalah sebagai berikut.
1. Public Law 94-242 (Undang-undang tentang PLB di Amerika Serikat mengemukakan
pengertian tuna laras dengan istilah gangguan emosi, yaitu gangguan emosi adalah
suatu kondisi yang menunjukkan salah satu atau lebih gejala-gejala berikut dalam satu
kurun waktu tertentu dengan tingkat yang tinggi yang mempengaruhi prestasi belajar:
ketidakmampuan belajar dan tidak dapat dikaitkan dengan faktor kecerdasan,
pengindraan atau kesehatan;
ketidakmampuan menjalin hubungan yang menyenangkan dengan temandan guru;
bertingkah laku yang tidak pantas pada keadaan normal;
perasaan tertekan atau tidak bahagia terus-menerus;
cenderung menunjukkan gejala-gejala fisik seperti takut pada masalah-masalah
sekolah
2. Kauffman (1977) mengemukakan bahwa penyandang tuna laras adalah anak yang
secara kronis dan mencolok berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara sosial
yang tidak dapat diterima atau secara pribadi tidak menyenangkan tetapi masih dapat
diajar untuk bersikap yang secara sosial dapat diterima dan secara pribadi
menyenangkan.
3. Sechmid dan Mercer (1981) mengemukakan bahwa anak tuna laras adalah anak
yang secara kondisi dan terus menerus menunjukkan penyimpangan tingkah laku
tingkat berat yang mempengaruhi proses belajar meskipun telah menerima layanan
belajar serta bimbingan, seperti anak lain. Ketidakmampuan menjalin hubungan baik
dengan orang lain dan gangguan belajarnya tidak disebabkan oleh kelainan fisik, saraf
atau inteligensia.
4. Nelson (1981) mengemukakan bahwa tingkah laku seorang murid dikatakan
menyimpang jika:
menyimpang dari perilaku yang oleh orang dewasa dianggap normal menurut usia
dan jenis kelaminnya;
penyimpangan terjadi dengan frekuensi dan intensitas tinggi;
penyimpangan berlangsung dalam waktu yang relatif lama
Dari beberapan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa membuat definisi atau batasan
mengenai tuna laras sangatlah sulit karena definisi tersebut harus menggambarkan
keadaan anak tuna laras secara jelas. Beberapa komponen yang penting untuk
diperhatikan adalah:
a. Adanya penyimpangan perilaku yang terus-menerus menurut norma yang berlaku
sehingga menimbulkan ketidakmampuan belajar dan penyesuaian diri b. Penyimpangan
itu tetap ada walaupun telah menerima layanan belajarserta bimbingan
C. Klasifikasi Tunalaras
Pengklasifikasian anak tunalaras banyak ragamnya diantaranya sebagai berikut.
1. Klasifikasi yang dikemukakan oleh Rosembera dkk. (1992) adalah Anak tunalaras
dapat dikelompokkan atas tingkah laku yang berisiko tinggi dan rendah. Tingkah laku
yang berisiko tinggi, yaitu hiperaktif, agresif, pembangkang, delinkuensi dan anak yang
menarik diri dari pergaulan sosial, sedangkan yang berisiko rendah, yaitu autisme dan
skizofrenia. Secara umum anak tunalaras menunjukkan ciri-ciri tingkah laku yang ada
persamaannya pada setiap klasifikasi, yaitu kekacauan tingkah laku, kecemasan dan
menarik diri, kurang dewasa, dan agresif.
2. Sistem klasifikasi kelainan perilaku yang dikemukakan oleh Quay, 1979 yang dialih
bahasakan oleh Moh. Amin, dkk (Astati : 2000) adalah sebagai berikut.
Anak yang mengalami gangguan perilaku yang kacau (conduct disorder) mengacu
pada tipe anak yang melawan kekuasaan, seperti bermusuhan dengan polisi dan
guru, kejam, jahat, suka menyerang, hiperaktif.
Anak yang cemas-menarik diri (anxious-withdraw) adalah anak yang pemalu, takut-
takut, suka menyendiri, peka, dan penurut. Mereka tertekan batinnya.
Dimensi ketidakmatangan (immaturity) mengacu kepada anak yang tidakada
perhatian, lambat, tak berminat sekolah, pemalas, suka melamun dan pendiam.
Mereka mirip seperti anak autistik.
Anak agresi sosialisasi (socialized-aggressive) mempunyai ciri atau masalah
perilaku yang sama dengan gangguan perilaku yang bersosialisasi dengan “gang”
tertentu. Anak tipe ini termasuk dalam perilaku pencurian dan pembolosan. Mereka
merupakan suatu bahaya bagi masyarakat umum.
D. Karakteristik Tunalaras
Karakteristik yang dikemukakan oleh Hallahan & Kauffman (1986), berdasarkan
dimensi tingkah laku anak tuna laras adalah sebagai berikut.
1. Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku, memperlihatkan ciri-ciri: suka
berkelahi, memukul, menyerang, mengamuk, membangkang, menantang, merusak milik
sendiri atau milik orang lain, kurang ajar, lancang, melawan, tidak mau bekerja sama,
tidak mau memperhatikan, memecah belah, ribut, tidak bisa diam, menolak arahan,
cepat marah, menganggap enteng, sok aksi, ingin menguasai orang lain, mengancam,
pembohong, tidak dapat dipercaya, suka berbicara kotor, cemburu, suka bersoal jawab,
tak sanggup berdikari, mencuri, mengejek, menyangkal berbuat salah, egois, dan
mudah terpengaruh untuk berbuat salah.
2. Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri dengan ciri-ciri yaitu ketakutan,
kaku, pemalu, segan, terasing, tak berteman, rasa tertekan, sedih, terganggu, rendah
diri, dingin, malu, kurang percaya diri, mudah bimbang, sering menangis, pendiam, suka
berahasia.
3. Anak yang kurang dewasa dengan ciri-ciri, yaitu pelamun, kaku, berangan-angan,
pasif, mudah dipengaruhi, pengantuk, pembosan, dan kotor.
4. Anak yang agresif bersosialisasi dengan ciri-ciri, yaitu mempunyai komplotan jahat,
mencuri bersama kelompoknya, loyal terhadap teman nakal, berkelompok dengan geng,
suka di luar rumah sampai larut malam, bolos sekolah, dan minggat dari rumah.
Berikut ini akan dikemukakan karakteristik yang berkaitan dengan segiakademik,
sosial/emosional, fisik/kesehatan anak tuna laras:
1. Karakteristik Akademik
Akibat penyesuaian sosial yang buruk maka dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri
sebagai berikut:
Pencapaian hasil belajar yang jauh di bawah rata-rata.
Sering kali dikirim ke kepala sekolah atau ruangan bimbingan untuk tindakan
discipliner.
Sering kali tidak naik kelas atau bahkan ke luar sekolahnya.
Sering kali membolos sekolah.
Lebih sering dikirim ke lembaga kesehatan dengan alasan sakit, perlu istirahat.
Anggota keluarga terutama orang tua lebih sering mendapat panggilan dari petugas
kesehatan atau bagian absensi.
Orang yang bersangkutan lebih sering berurusan dengan polisi.
Lebih sering menjalani masa percobaan dari yang berwewenang.
Lebih sering melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran tanda lalulintas.
Lebih sering dikirim ke klinik bimbingan.
2.Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tuna laras dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Karakteristik sosial
Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain, dengan ciriciri: perilaku tidak
diterima oleh masyarakat dan biasanya melanggar norma budaya, dan perilaku
melanggar aturan keluarga, sekolah, dan rumah tangga
Perilaku tersebut ditandai dengan tindakan agresif, yaitu tidak mengikuti aturan,
bersifat mengganggu, mempunyai sikap membangkang atau menentang, dan tidak
dapat bekerja sama.
Melakukan kejahatan remaja, seperti telah melanggar hukum.
b. Karakteristik emosional
Adanya hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, seperti tekanan batin dan
rasa cemas.
Adanya rasa gelisah, seperti rasa malu, rendah diri, ketakutan, dan sangat sensitif
atau perasa.
3.Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tuna laras ditandai dengan adanya gangguan
makan, gangguan tidur, dan gangguan gerakan (Tik). Sering kali anak merasakan ada
sesuatu yang tidak beres pada jasmaninya, ia mudah mendapat kecelakaan, merasa
cemas terhadap kesehatannya, merasa seolah -olah sakit. Kelainan lain yang berwujud
kelainan fisik, seperti gagap, buangair tidak terkendali, sering mengompol, dan jorok.
E. Kebutuhan Tunalaras
Kebutuhan pendidikan anak tuna laras diharapkan dapat mengatasi problem perilaku
anak tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka perlu dilakukan hal-hal
sebagai berikut :
1. Berusaha mengatasi semua masalah perilaku akibat kelainannya dengan
menyesuaikan lingkungan belajar maupun proses pembelajaran yang sesuai dengan
kondisi anak tuna laras.
2. Berusaha mengembangkan kemampuan fisik sebaik baiknya, mengembangkan
bakat dan kemampuan intelektualnya.
3. Memberi keterampilan khusus untuk bekal hidupnya.
4. Memberi kesempatan sebaik-baiknya agar anak dapat menyesuaikan diri dengan
baik terhadap lingkungan atau terhadap norma-norma hidup dimasyarakat.
5. Memberi rasa aman, agar mereka memiliki rasa percaya diri dan mereka merasa
tidak tersia-siakan oleh lingkungan sekitarnya.
6. Menciptakan suasana yang tidak menambah rasa rendah diri, rasa bersalah bagi
anak tuna laras. Untuk itu, guru perlu memberi penghargaan atas prestasi yang
mereka tampilkan sehingga mereka merasa diterima oleh lingkungannya.
Daftar Pustaka
Sutjihati Somantri, “Psikologi Anak Luar Biasa”, (PT Refika Aditama: Bandung, 2007),
hal 103
Wardani, “Pengantar Pendidikan Luar Biasa”, (Universitas Terbuka: Jakarta, 1996), hal
6.21