Sejarah Cut Nyak Dhien
Sejarah Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, (12 Mei 1848 – 6 November 1908);
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh
Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum
Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari
Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman
pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Datuk Makhudum Sati mungkin datang
ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul
Munir. Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh
pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah
tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik
baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada
tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, Putra Dari Uleebalang Lamnga XIII.
Mereka Memiliki Satu Anak Laki-Laki.
“ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang
yang sudah syahid[2] ”
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh
bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur
sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di
medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai
rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit
memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada
Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le
Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan
mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda.[8]
[9]
Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan
meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ.
Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien
akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya
akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan
pejuang yang belum tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang pada tahun 1906 bersama dengan tahanan politik Aceh lain
dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan
perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan
identitas tahanan, maka hingga akhir hidupnya identitas asli Cut Nyak Dhien tidak diketahui
oleh warga Sumedang. [2] Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari
bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu
Perbu". Meski kesulitan berkomunikasi karena perbedaan bahasa, "Ibu Perbu" sering diminta
menjadi guru mengaji bagi warga setempat.
Pada tanggal 6 November 1908, "Ibu Perbu" meninggal karena usianya yang sudah
tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur
Aceh saat itu, Ali Hasan.[9]. Dari penyelidikan, dipastikan "Ibu Perbu" adalah Cut Nyak
Dhien.
Cut Nyak Dhien diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui
SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Makam Cut Nyak Dhien berada di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Sumedang
Selatan. Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data
yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara
sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak
sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh
di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari
pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap
bulan November.
Meski muncul wacana untuk memindahkan makam Cut Nyak Dhien ke Aceh, namun
masyarakat Sumedang menolak karena sudah merasa dekat dengan sosok yang mereka kenal
sebagai "Ibu Perbu" tersebut. Selain itu, keberadaan makam Cut Nyak Dhien juga
mempererat silaturahmi antara masyarakat Sumedang dengan Aceh.
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui
monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang
ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam
Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di
belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nisan
yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.
Pada batu nisan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa
Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh
Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu,
daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat.[9] Kini, makam ini mendapat biaya
perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan
dana.