Refarat Saraf
Refarat Saraf
PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan spasme,
yang diakibatkan oleh toksin dari Clostridium tetani (WHO,2010). Berasal dari kata
tetani merupakan bakteri gram positif yang bersifat obligat anaerob dan
membentuk
spora. Pada luka dimana terdapat keadaan yang anaerob, seperti pada luka yang
pada system saraf pusat, yang mengakibatkan kekakuan otot. Sehingga tetanus juga
Sejak zaman dahulu telah ditemukan catatan tentang kasus dimana luka
yang berhubungan dengan kekakuan otot, dibuktikan dari catatan Papyrus Edwin
Smith (1000SM) dan catatan Hippocrates (400SM). Hal ini menandakan bahwa
C.tetani, sudah lama ada, dan tidak bisa dieradikasi dari bumi. Namun dengan
berkembang dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan spasme,
yang diakibatkan oleh toksin dari Clostridium tetani. Tetanus merupakan penyakit
yang bisa mengenai banyak orang, tidak mempedulikan umur maupun jenis
kelamin. Tetanus didefinisikan sebagai keadaan hypertonia akut atau kontraksi otot
yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan dan leher) dan spasme
otot menyeluruh tanpa penyebab lain, dan terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan
sebelumnya (Ismanoe,2014).
Neonatal tetanus didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada anak
yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari
sampai 6 minggu setelah selesai kehamilan (baik dengan kelahiran maupun abortus)
(Ismanoe,2014).
B. EPIDEMIOLOGI
Pada Negara maju angka kejadian penyakit tetanus kecil, karena angka cakupan
imunisasi sudah cukup baik. Namun pada Negara berkembang, tetanus masih
merupakan masalah kesehatan publik yang sangat besar. Dilaporkan terdapat 1 juta
kasus per tahun di seluruh dunia, dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk
pertahun serta angka kematian 300.000 – 500.000 pertahun. Sebagian besar kasus
pada Negara berkembang adalah tetanus neonatorum, namun angka kejadian pada
dewasa juga cukup tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan program imunisasi yang
Angka kejadian tetanus di Indonesia masih cukup tinggi. Pada tahun 1997 –
2000 di Indonesia, angka kejadian tetanus 1,6-1,8 per 10.000 kelahiran hidup,
WHO memperkirakan pada tahun 2008, 59.000 bayi baru lahir meninggal
akibat tetanus neonatorum. Pada tahun 2008, terdapat 46 negara yang masih belum
eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatorum (TMN) diseluruh kabupaten, salah
C. ETIOLOGI
Gram positif yang ditemukan di tanah dan kotoran binatang. Berbentuk batang dan
memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak
memiliki flagella, dimana menurut antigen flagella nya, dibagi menjadi 11 strain.
vegetative dari bakteri ini rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan,
desinfektan kimiawi, dan antibiotic. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat
manusia.
Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan
baik agen fisik maupun kimia. Spora, C.tetani dapat bertahan dari air mendidih
selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu 121 0 C selama
15-20 menit).
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah
yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora
dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia
dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan
kulit dan heroin yang terkontaminasi. Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah
- Crushed injury
- Infeksi supuratif
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika
menempati tempat yang cocok ( anaerob) bakteri akan berkembang dan melepaskan
toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat mengakibatkan
D. PATOGENESIS
berat molekul 150kDa, yang terbagi menjadi 2 rantai, rantai berat (100kDa) dan
rantai ringan (50kDa) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Toksin ini
ditransportasikan secara intra axonal menuju nuklei motoric dari saraf pusat
(Ismanoe,2014).
Spora C.tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara
inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari
sampai 3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob
yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing.
Bakteri ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang biasanya tanpa
tetanus.
anaerobic yang memungkinkan C.tetani untuk hidup dan memproduksi toksin. Lalu
(Ismanoe,2014).
aktivitas tidak teregulasi dari system saraf motorik. Selain system saraf motorik,
system saraf otonomik juga terganggu. Transport awalnya terjadi pada neuron
motoric kemudian pada neuron sensorik dan autonomy. Ketika mencapai badan sel
toksin dapat berdifusi keluar mempengaruhi neuron- neuron lain. Apabila terdapat
toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan
(spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau
Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motor
neuron pada medulla spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan
spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Spasme otot sangat nyeri dan dapat
menyebabkan fraktur serta rupture tendon. Otot- otot rahang, wajah, dan kepala
merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek
kemudian diikuti oto- otot tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan
kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat pada neuron tidak
baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai
(Ismanoe,2014).
beberapa hari (7-10 hari) sebelum gejala pertama muncul. Gejala yang pertama
Tetanus memiliki gejala klinik yang luas dan beragam. Namun dapat dibedakan
1. Tetanus localized
tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-
otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda- tanda sistemik. Kontraksi dapat
bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan- lahan menghilang, dapat
general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan jarang menimbulkan
kematian (Ismanoe,2014).
2. Tetanus cephalic
sekitar 6%) dan meliputi gangguan pada otot yang diperantarai oleh susunan
saraf perifer bagian bawah. Biasa terjadi setelah kecelakaan pada daerah wajah
timbul parese wajah, disfagia, serta gangguan pada otot ekstraokular. Pada
kekakuan otot maseter, punggung, serta bahu. Gejala lain, juga bisa didapatkan
bawah.
suhu antara 2-40C juga dapat terjadi pada tetanus generalized. Spasme otot
dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta
detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat
nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu,
yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transport toksin yang sudah
berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak
4. Tetanus neonatorum
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun
awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir.
Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus
F. DIAGNOSIS
fisik menunjukkan hipertonisitas otot- otot, reflex tendon dalam yang meningkat,
kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan system saraf sensoris
yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general.
Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara
umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas (Ismanoe,2014).
Menurut WHO, adanya trismus, atau risus sardonikus, atau spasme otot yang
nyeri serta biasanya didahului oleh riwayat trauma sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis.
sekitar 1/3 pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi
C.tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita
tetanus. Frekuensi isolasi C.tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat
cairan serebrospinal normal tetapi tekan dapat meningkat akibat kontraksi otot.
Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati- hati pada pasien yang memiliki riwayat
dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Specimen serum harus
diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap
protektif (Edlich,2003).
Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat
dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada trismus.
Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan
otot- otot pernapasan dan deglutition. Pada anak- anak <2 tahun, tetani
hipokalsemia harus dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme
keparahan dari tetanus diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan
prognosis.
yaitu ringan, sedang, berat dan sangat berat. Menurut beberapa literature, skala
didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
imunisasi, dan factor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan
belum terikat, meminimalkan efek dari toksin dengan mempertahankan jalan napas
yang adekuat.
serta terlindungi dari stimulasi taktil dan suara. Luka yang merupakan sumber
10.000 – 20.000 U equine antitoksin dosis tunggal secara IM sudah cukup, namun
(baik secara IV maupun secara oral) selama 7 hari. Alternative lain adalah
mg dititrasi perlahan atau Lorazepam 2 mg, sampai tercapai control spasme tanpa
sedasi maupun depresi napas yang berlebihan (maksimal 600mg/hari). Pada anak
dosis dapat dimulai dari 0,1-0,2 mg/kgBB, dinaikkan sampai tercapai control
spasme otot yang baik. Kombinasi Magnesium sulfat dan benzodiazepine dapat
yang menonjol.
Kontrol jalan napas : pada tetanus, kita harus benar- benar memonitor
napas, serta kemungkinan spasme laring ada. Penggunaan ventilator mekanik dapat
dilakukan bila terjadi spasme karena ditakutkan terjadi spasme laring saat
Pemberian cairan dan nutrisi : pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat
I. PROGNOSIS
periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi focus infeksi, penyakit lain yang
menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai system skoring yang digunakan
untuk menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik seperti
system skoring Ablett. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di Negara-
Negara berkembang dengan gagal napas menjadi penyebab utama mortalitas dan
morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonates dan >60 tahun
(Ismanoe,2014).
Tetanus :
kelahiran prematur
Temperatur >38,50C
J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas,
Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang
panjang, serta rhabdimiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut. Salah satu
komplikasi yang agak sulit ditangani adalah gangguan ototnom, karena pelepasan
katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan ototnom ini meliputi hipertensi dan
Pasien dengan tetanus juga berisiko terkena infeksi nosocomial, karena masa
perawatan yang rata- rata agak lama. Kebutuhan nutrisi sering kurang memadai.
Pada kasus dengan spasme abdomen yang cukup berat, pemasangan kateter vena
sentral untuk nutrisi dapat dipetimbangkan, namun cara ini sulit dilakukan pada
Negara berkembang. Pada Negara kita, kita menggunakan terapi cairan untuk
K. PENCEGAHAN
Tetanus dicegah dengan penangan luka yang baik dan imunisasi. Rekomendasi
WHO tentang imunisasi tetanus adalah 3 dosis awal saat infan, booster pertama
saat umur 4-7 serta 12-15 tahun dan booster terakhir saat dewasa. Di Amerika,
CDC merekomendasikan booster tambahan saat umur 14-16 bulan disertai booster
tiap 10 tahun. Pada orang dewasa yang menerima imunisasi saat masih anak- anak,
Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus
dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptic yang hati-
hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap
tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang
samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.
yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, 2 dosis dengan selang 4 minggu tiap
(Ismanoe,2014).
BAB III
KESIMPULAN
Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan spasme,
yang diakibatkan oleh toksin dari basil Clostridium tetani. Tetanus merupakan
maupun jenis kelamin. Tetanus merupakan penyakit yang sudah ada dari
jaman dahulu, tetapi sampai sekarang belum berhasil dieradikasi karena sifat
alami dari spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses hewan.
Tetanus memiliki gejala klinik yang luas dan beragam. Dapat dibagi 4 tipe
Diagnosis dari tetanus menurut WHO, adanya trismus, atau risus sardonikus
atau spasme otot yang nyeri serta biasanya didahului oleh riwayat trauma
Rekomendasi WHO yakni 3 dosis awal saat infan, booster pertama saat umur