Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan spasme,

yang diakibatkan oleh toksin dari Clostridium tetani (WHO,2010). Berasal dari kata

Yunani “tetanus” yang berarti “berkontraksi”(Ismanoe,2014). Bakteri Clostridium

tetani merupakan bakteri gram positif yang bersifat obligat anaerob dan
membentuk

spora. Pada luka dimana terdapat keadaan yang anaerob, seperti pada luka yang

kotor dan nekrotik, bakteri ini memproduksi tetanospasmin, neurotoksin yang

cukup poten. Neurotoksin ini menghambat pengeluaran neurotransmitter inhibisi

pada system saraf pusat, yang mengakibatkan kekakuan otot. Sehingga tetanus juga

dikenal dengan istilah lock jaw (WHO,2010).

Sejak zaman dahulu telah ditemukan catatan tentang kasus dimana luka

yang berhubungan dengan kekakuan otot, dibuktikan dari catatan Papyrus Edwin

Smith (1000SM) dan catatan Hippocrates (400SM). Hal ini menandakan bahwa

C.tetani, sudah lama ada, dan tidak bisa dieradikasi dari bumi. Namun dengan

ditemukannya vaksin tetanus, angka kejadian penyakit tetanus dapat ditekan.

Program imunisasi yang tidak adekuat dapat mengakibatkan kejadian penyakit

tetanus meningkat (Dire,2017).

Tetanus terutama ditemukan pada Negara - negara kurang dan sedang

berkembang dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya

Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara -negara di Afrika. Tetanus


merupakan salah satu penyakit yang menjadi target program imunisasi World

Health Organization (WHO) (Dire,2017).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan spasme,

yang diakibatkan oleh toksin dari Clostridium tetani. Tetanus merupakan penyakit

yang bisa mengenai banyak orang, tidak mempedulikan umur maupun jenis

kelamin. Tetanus didefinisikan sebagai keadaan hypertonia akut atau kontraksi otot

yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan dan leher) dan spasme

otot menyeluruh tanpa penyebab lain, dan terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan

sebelumnya (Ismanoe,2014).

Neonatal tetanus didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada anak

yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari

pertama kehidupannya tapi kehilangan kemampuan ini antara hari ke 3 sampai ke

28 serta menjadi kaku dan spasme (Ismanoe,2014).

Maternal tetanus didefinisikan sebagai tetanus yang terjadi saat kehamilan

sampai 6 minggu setelah selesai kehamilan (baik dengan kelahiran maupun abortus)

(Ismanoe,2014).

B. EPIDEMIOLOGI

Pada Negara maju angka kejadian penyakit tetanus kecil, karena angka cakupan

imunisasi sudah cukup baik. Namun pada Negara berkembang, tetanus masih

merupakan masalah kesehatan publik yang sangat besar. Dilaporkan terdapat 1 juta
kasus per tahun di seluruh dunia, dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk

pertahun serta angka kematian 300.000 – 500.000 pertahun. Sebagian besar kasus

pada Negara berkembang adalah tetanus neonatorum, namun angka kejadian pada

dewasa juga cukup tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan program imunisasi yang

tidak adekuat (Ismanoe,2014).

Angka kejadian tetanus di Indonesia masih cukup tinggi. Pada tahun 1997 –

2000 di Indonesia, angka kejadian tetanus 1,6-1,8 per 10.000 kelahiran hidup,

dengan angka kematian akibat tetanus neonatorum sebesar 7,9% (Ismanoe,2014).

WHO memperkirakan pada tahun 2008, 59.000 bayi baru lahir meninggal

akibat tetanus neonatorum. Pada tahun 2008, terdapat 46 negara yang masih belum
eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatorum (TMN) diseluruh kabupaten, salah

satunya adalah Indonesia (Kemenkes RI,2012).

C. ETIOLOGI

Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang merupakan basilus bakteri

Gram positif yang ditemukan di tanah dan kotoran binatang. Berbentuk batang dan

memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak

selalu terlihat (Thwaites,2009). C.tetani merupakan bakteri yang motil karena

memiliki flagella, dimana menurut antigen flagella nya, dibagi menjadi 11 strain.

Namun ke sebelas strain tersebut memproduksi neurotoksin yang sama. Bentuk

vegetative dari bakteri ini rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan,

desinfektan kimiawi, dan antibiotic. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat

menimbulkan tetanus (Ismanoe,2014). Tetanus tidak menular dari manusia ke

manusia.
Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan

baik agen fisik maupun kimia. Spora, C.tetani dapat bertahan dari air mendidih

selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu 121 0 C selama

15-20 menit).

Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah

yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora

dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia

dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan

kulit dan heroin yang terkontaminasi. Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah

atau jaringan terkontaminasi sampai tercapai kondisi yang memadai untuk


transformasi ke bentuk vegetative. Transformasi terjadi akibat penurunan lokal

kadar oksigen akibat :

- Terdapat jaringan mati dan benda asing

- Crushed injury

- Infeksi supuratif

Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika

menempati tempat yang cocok ( anaerob) bakteri akan berkembang dan melepaskan

toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat mengakibatkan

penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5ng/kg) (Ismanoe,2014).


Gambar 1: Pewarnaan Gram Bakteri C.tetani

D. PATOGENESIS

Clostridium tetani memerlukan tekanan oksigen yang rendah untuk

berkembang biak dan bermultiplikasi.

C.tetani memproduksi 2 toksin yakni tetanospasmin dan tetanolisin.

Tetanolisin tidak berhubungan dengan pathogenesis penyakit. Tetanospasmin atau

secara umum disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang mengakibatkan

manifestasi dari penyakit tersebut. Tetanospasmin adalah protein tunggaal dengan

berat molekul 150kDa, yang terbagi menjadi 2 rantai, rantai berat (100kDa) dan

rantai ringan (50kDa) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Toksin ini

ditransportasikan secara intra axonal menuju nuklei motoric dari saraf pusat

(Ismanoe,2014).

Spora C.tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara

inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari

sampai 3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob

yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing.

Bakteri ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang biasanya tanpa

supurasi. Spora yang mengalami transformasi ke bentuk vegetative melepaskan


toksin soluble tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis

tetanus.

Tetanospasmin masuk ke susunan saraf melalui otot dimana terdapat suasana

anaerobic yang memungkinkan C.tetani untuk hidup dan memproduksi toksin. Lalu

setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan ditransportasikan secara

retrograde menuju saraf presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja

(Ismanoe,2014).

Toksin tersebut akan menghambat pelepasan transmitter inhibisi dan secara

efektif menghambat inhibisi interneuron. Tapi khususnya toksin tersebut

menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang spesifik


menginhibisi neuron motoric (Hinfey,2017). Hal tersebut akan mengakibatkan

aktivitas tidak teregulasi dari system saraf motorik. Selain system saraf motorik,

system saraf otonomik juga terganggu. Transport awalnya terjadi pada neuron

motoric kemudian pada neuron sensorik dan autonomy. Ketika mencapai badan sel

toksin dapat berdifusi keluar mempengaruhi neuron- neuron lain. Apabila terdapat

toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan

berikatan dengan ujung- ujung saraf di seluruh tubuh (Ismanoe,2014).

Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang terus menerus

(spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau

cahaya dan hiperaktivitas autonomic (Ismanoe,2014).

Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motor

neuron pada medulla spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan

spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Spasme otot sangat nyeri dan dapat
menyebabkan fraktur serta rupture tendon. Otot- otot rahang, wajah, dan kepala

merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek

kemudian diikuti oto- otot tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan

kaki sering tidak terpengaruh. Pelepasan impuls autonomy tanpa inhibisi

menyebabkan gangguan control autonomic dengan overaktivitas simpatetik dan

kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat pada neuron tidak

dapat dinetralisir oleh antitoksin. Peningkatan toksin terhadap neuron bersifat

ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang

baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai

(Ismanoe,2014).

Gambar 2: Mekanisme kerja tetanospasmin


E. GAMBARAN DAN TANDA KLINIS

Setelah luka terkontaminasi dengan C.tetani, terdapat masa inkubasi selama

beberapa hari (7-10 hari) sebelum gejala pertama muncul. Gejala yang pertama

muncul adalah trismus atau rahang yang terkunci

Tetanus memiliki gejala klinik yang luas dan beragam. Namun dapat dibedakan

menjadi empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya :

1. Tetanus localized

Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan

tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-

otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda- tanda sistemik. Kontraksi dapat
bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan- lahan menghilang, dapat

sembuh dengan sendirinya. Tetanus lokal dapat berlanjut menjadi tetanus

general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan dan jarang menimbulkan

kematian (Ismanoe,2014).

2. Tetanus cephalic

Tetanus cephalic juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden

sekitar 6%) dan meliputi gangguan pada otot yang diperantarai oleh susunan

saraf perifer bagian bawah. Biasa terjadi setelah kecelakaan pada daerah wajah

dan leher. Gejalanya sering membingungkan, seperti disfagia, trismus, dan

focal cranial neuropathy. Namun, seiring dengan perjalanan penyakit dapat

timbul parese wajah, disfagia, serta gangguan pada otot ekstraokular. Pada

beberapa kasus tetanus cephalic, mengakibatkan tetanus ophthalmologic,

supranuclear oculomotor palsy, serta sindroma Horner (Dire,2017).


3. Tetanus generalized

Tetanus generalized adalah tetanus yang paling sering dijumpai. Sekitar

80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Gejalanya adalah, trismus,

kekakuan otot maseter, punggung, serta bahu. Gejala lain, juga bisa didapatkan

antara lain opistotonus, posisi dekortikasi, serta ekstensi dari ekstremitas

bawah.

Tanda khas dari tetanus generalized adalah trismus (lockjaw) yaitu

ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot maseter. Peningkatan

suhu antara 2-40C juga dapat terjadi pada tetanus generalized. Spasme otot

wajah menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai


risus sardonicus (sardonic smile). Spasme otot- otot somatic yang luas

menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan seperti busur yang

dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta

rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan (Edlich,2003).

Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh

merupakan karakteristik dari tetanus generalized. Kejang tersebut terjadi secara

intermitten, irregular, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa

detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat

periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri

dan kelelahan (paroksismal).

Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami

nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu,

yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transport toksin yang sudah
berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak

diberikan, pemilihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai

produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan

neuromuscular junction yang baru (Ismanoe,2014).

Gambar 3: Kiri ke kanan (Risus Sardonikus, Opistotonus)

4. Tetanus neonatorum

Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C.tetani yang masuk melalui tali

pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses

pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun

obat- obatan yang terkontaminasi spora C.tetani.


Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general. Gejala

awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir.

Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus

sardonikus, peningkatan rigiditas, dan opistotonus (Ismanoe,2014).

Gambar 4: Tetanus Neonatorum

F. DIAGNOSIS

Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis

dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Selain trismus, pemeriksaan

fisik menunjukkan hipertonisitas otot- otot, reflex tendon dalam yang meningkat,

kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan system saraf sensoris

yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general.

Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara
umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas (Ismanoe,2014).

Menurut WHO, adanya trismus, atau risus sardonikus, atau spasme otot yang

nyeri serta biasanya didahului oleh riwayat trauma sudah cukup untuk menegakkan

diagnosis.

Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C.tetani pada hanya

sekitar 1/3 pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi

C.tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita
tetanus. Frekuensi isolasi C.tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat

ditingkatkan dengan memanaskan satu set specimen pada suhu 80 0C selama 15

menit untuk menghilangkan bentuk vegetative mikroorganisme kompetitor tidak

berspora sebelum media kultur diinkulasi (Ismanoe,2014).

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan

cairan serebrospinal normal tetapi tekan dapat meningkat akibat kontraksi otot.

Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati- hati pada pasien yang memiliki riwayat

dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Specimen serum harus

diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap

protektif (Edlich,2003).

Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai tetanus.

Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar.

Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat

menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi dengan

pemeriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitits terkadang disertai gejala trismus dan

spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus

dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada trismus.

Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan

otot- otot pernapasan dan deglutition. Pada anak- anak <2 tahun, tetani

hipokalsemia harus dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme

karpo-pedal), tidak adanya trismus, dan kadar kalsium serum dapat

mengkonfirmasi diagnosis tetani hipokalsemia (Ogunrin,2009).


Gambar 5: Diagnosis banding tetanus
G. KLASIFIKASI

Beberapa system scoring tetanus dapat digunakan untuk menentukan tingkat

keparahan dari tetanus diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan

Udwadia. System skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu

prognosis.

Menurut klasifikasi Ablett, derajat keparahan tetanus dapat dibagi menjadi 4

yaitu ringan, sedang, berat dan sangat berat. Menurut beberapa literature, skala

Ablett merupakan system skoring yang paling sering digunakan (Ismanoe,2014).


Gambar 6: Klasifikasi menurut Ablett
Gambar 7: Skor Phillip

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan

didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status

imunisasi, dan factor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan

dan interpretasinya sebagai berikut :

- Skor <9 : Tetanus ringan

- Skor 9-18 : Tetanus sedang

- Skor >18 : Tetanus berat


H. PENATALAKSANAAN

Manajemen penanganan tetanus secara umum adalah suportif. Strategi

utamanya adalah menghambat pelepasan toksin, untuk menetralkan toksin yang

belum terikat, meminimalkan efek dari toksin dengan mempertahankan jalan napas

yang adekuat.

Penanganan umum, sebisa mungkin tempat perawatan pasien tetanus

dipisahkan, sebaiknya ditempatkan pada ruangan khusus. Ruangan yang tenang

serta terlindungi dari stimulasi taktil dan suara. Luka yang merupakan sumber

infeksi sebaiknya segera dibersihkan (Ismanoe,2014).

Imunoterapi : jika memungkinkan berikan tetanus immunoglobulin manusia

(TIG) 500 unit secara IM atau IV (tergantung sediaan) sesegera mungkin.

Pemberian equine antitoksin juga bisa untuk menginaktifkan toksin. Pemberian

10.000 – 20.000 U equine antitoksin dosis tunggal secara IM sudah cukup, namun

hati- hati dengan reaksi anafilaktik.

Antibiotic : pilihan antibiotic adalah metronidazole 500mg setiap 6 jam

(baik secara IV maupun secara oral) selama 7 hari. Alternative lain adalah

Penicillin G 100.000 – 200.000 IU/kgBB/hari secara IV, terbagi 2-4 dosis.

Pengontrolan spasme otot : sering menggunakan Benzodiazepin. Diazepam 5

mg dititrasi perlahan atau Lorazepam 2 mg, sampai tercapai control spasme tanpa

sedasi maupun depresi napas yang berlebihan (maksimal 600mg/hari). Pada anak

dosis dapat dimulai dari 0,1-0,2 mg/kgBB, dinaikkan sampai tercapai control

spasme otot yang baik. Kombinasi Magnesium sulfat dan benzodiazepine dapat

digunakan untuk mengontrol spasme dan gangguan autonomic dengan dosis


loading 5 gr IV, dilanjutkan 2-3 gr/jam sampai spasme terkontrol. Pencegahan

overdosis dengan mengontrol reflek patellar. Kalau refelk patellar menghilang

segera turunkan dosis obat (Ismanoe,2014).

Control gangguan autonomic : Magnesium sulfat, penggunaan beta bloker,

sperti propranolol, saat ini kurang direkomendasikan karena berhubungan dengan

kematian. Penggunaan Labetolol (penghambat reseptor adrenergic alfa dan beta)

secara parenteral direkomendasikan pada pasien tetanus dengan kelainan otonom

yang menonjol.

Kontrol jalan napas : pada tetanus, kita harus benar- benar memonitor

pernapasan, karena obat- obatan yang digunakan dapat menyebabkan depresi

napas, serta kemungkinan spasme laring ada. Penggunaan ventilator mekanik dapat

dipertimbangkan, khususnya bila terjadi spasme, dan trakeostomi juga dapat

dilakukan bila terjadi spasme karena ditakutkan terjadi spasme laring saat

pemasangan pipa endotrakeal.

Pemberian cairan dan nutrisi : pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat

membantu dalam proses penyembuhan tetanus (Ismanoe,2014).

I. PROGNOSIS

Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,

periode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi focus infeksi, penyakit lain yang

menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai system skoring yang digunakan

untuk menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik seperti

system skoring Ablett. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di Negara-

Negara berkembang dengan gagal napas menjadi penyebab utama mortalitas dan
morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonates dan >60 tahun

(Ismanoe,2014).

Tabel Faktor- factor Prognosis yang Menunjukkan perburukan Penyakit

Tetanus :

Tetanus Dewasa Tetanus Neonatorum

Umur >70 tahun Kejadian umur yang lebih muda,

kelahiran prematur

Periode inkubasi >7 hari Inkubasi >6 hari

Waktu saat gejala awal muncul Keterlambatan penanganan di rumah

sampai penanganan di rumah sakit


sakit
Adanya luka bakar, luka bekas Higine yang buruk, saat proses

operasi yang kotor kelahiran

Onset periode < 48 jam

Frekuensi jantung > 140x/menit

Tekanan darah sistolik > 140 mmHg

Spasme yang berat

Temperatur >38,50C

J. KOMPLIKASI

Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas,

sehingga pada tetanus yang berat, terkadang memerlukan bantuan ventilator.

Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang

panjang, serta rhabdimiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut. Salah satu
komplikasi yang agak sulit ditangani adalah gangguan ototnom, karena pelepasan

katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan ototnom ini meliputi hipertensi dan

takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardia.

Pasien dengan tetanus juga berisiko terkena infeksi nosocomial, karena masa

perawatan yang rata- rata agak lama. Kebutuhan nutrisi sering kurang memadai.

Pada kasus dengan spasme abdomen yang cukup berat, pemasangan kateter vena

sentral untuk nutrisi dapat dipetimbangkan, namun cara ini sulit dilakukan pada

Negara berkembang. Pada Negara kita, kita menggunakan terapi cairan untuk

memperbaiki status gizi dan kebutuhan hidrasi pasien (Ismanoe,2014).

K. PENCEGAHAN

Tetanus dicegah dengan penangan luka yang baik dan imunisasi. Rekomendasi

WHO tentang imunisasi tetanus adalah 3 dosis awal saat infan, booster pertama

saat umur 4-7 serta 12-15 tahun dan booster terakhir saat dewasa. Di Amerika,

CDC merekomendasikan booster tambahan saat umur 14-16 bulan disertai booster

tiap 10 tahun. Pada orang dewasa yang menerima imunisasi saat masih anak- anak,

namun tidak mendapat booster, direkomendasikan menerima dosis imunisasi 2

kali dengan selang 4 minggu (Ismanoe,2014).

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada

keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan

kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.

Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus

dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptic yang hati-

hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang

rentan terhadap
tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang

demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.

Satu- satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma

dalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek

samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.

Rekomendasi WHO, menganjurkan pemberian imunisasi pada wanita hamil

yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, 2 dosis dengan selang 4 minggu tiap

dosisnya. Hal tersebut untuk mencegah tetanus maternal dan neonatal

(Ismanoe,2014).
BAB III

KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan spasme,

yang diakibatkan oleh toksin dari basil Clostridium tetani. Tetanus merupakan

penyakit yang bisa mengenai banyak orang, tidak memperdulikan umur

maupun jenis kelamin. Tetanus merupakan penyakit yang sudah ada dari

jaman dahulu, tetapi sampai sekarang belum berhasil dieradikasi karena sifat

alami dari spora bakteri tersebut yang hidup dalam tanah dan feses hewan.

Tetanus memiliki gejala klinik yang luas dan beragam. Dapat dibagi 4 tipe

secara klinik, yaitu tetanus generalized, localized, cephalic, dan neonatal.

Diagnosis dari tetanus menurut WHO, adanya trismus, atau risus sardonikus

atau spasme otot yang nyeri serta biasanya didahului oleh riwayat trauma

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.

Menurut klasifikasi Ablett, derajat keparahan dari tetanus dibagi menjadi 4

yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat.

Manajemen penganan tetanus secara umum adalah suportif dengan

menghambat pelepasan toksin, menetralkan toksin yang belum terikat, dan

meminimalkan efek dari toksin.

Tetanus dicegah dengan penanganan luka yang baik dan imunisasi.

Rekomendasi WHO yakni 3 dosis awal saat infan, booster pertama saat umur

4-7 serta 12-15 tahun dan booster terakhir saat dewasa.


DAFTAR PUSTAKA

1. Current recommendation for treatment of tetanus


during humanitarian emergency, WHO technical
note, January 2010

2. Dire DJ. Tetanus in Emergency Medicine. (Online).


https://emedicine.medscape.com/article/229594-
overview , diakses 13
Desember 2017.
3. Kemenkes RI. Eliminasi Tetanus Maternal &
Neonatal. Pusat Data dan Informasi. 2012
4. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi
B, Alwi I, K MS, Setiati S, (editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan
IPD FKUI;2014.
5. Thwaites, CL and Yen LM. Tetanus in Hrrison
Principles of Internal medicine 18th ed, edited by
Fauci, Anthony S, et all. Mc Graw Hill
medical,2011.
6. Hinfey PB. Tetanus. (Online).
https://emedicine.medscape.com/article/229594-
overview,
diakses
13 Desember 2017.
7. Edlich RF, Hill LG, et al. Management and
Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects
of Medical Implants.2003;13(3):139-54.
8. Ogunrin O. Tetanus – A Review of Current Concepts in
Management.
Journal of Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.

Anda mungkin juga menyukai