Anda di halaman 1dari 27

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Secara umum perkerasan kaku merupakan jenis perkerasan yang


menggunakan beton pada lapisan permukaannya, sedangkan perkerasan paving
block merupakan jenis perkerasan yang menggunakan block campuran semen
pada lapis permukaannya. Kedua jenis perkerasan ini dapat menerapkan sistem
pelapisan ulang (overlay) yang terdiri dari lapisan ulang terikat (bonded) dan
lapisan ulang tidak terikat (unbounded). Lapisan ulang terikat merupakan sistem
pelapisan pada perkerasan lama dengan ikatan terletak di antara kedua lapisan
tersebut dengan ketebalan mencapai 5 cm, sedangkan lapisan ulang tidak terikat
merupakan sistem pelapisan yang dibangun di atas perkerasan kaku yang lama
tanpa adanya ikatan antar kedua lapisan (Modul Diklat Perkerasan Kaku, 2017).

2.1 Jalan
2.1.1 Pengertian Jalan
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel (UU No.38, 2004).
Sebagai layanan prasarana transportasi dan menunjang perkembangan
negara, konstruksi jalan haruslah memenuhi syarat sesuai dengan fungsinya yaitu
sebagai media berlalu lintas untuk menunjang aktivitas masyarakat dengan aman,
nyaman dan lancar.

2.2 Klasifikasi Jalan


Menurut UU No. 38 tahun 2004 dan UU No. 22 tahun 2009 jalan dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Klasifikasi Jalan Berdasarkan Statusnya

6
Menurut UU No. 38 tahun 2004 jalan umum berdasarkan statusnya
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, antara lain jalan nasional, jalan
provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.
2) Klasifikasi Jalan Berdasarkan Fungsinya
Menurut UU No. 38 tahun 2004 jalan umum berdasarkan fungsinya
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, antara lain jalan arteri, jalan
kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan.
3) Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan
Menurut UU No. 22 tahun 2009 jalan umum berdasarkan kelas jalan
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, antara lain jalan kelas I, jalan
kelas II, jalan kelas III, dan jalan kelas khusus.

2.3 Perkerasan Kaku


2.3.1 Teori Perkerasan Kaku
Perkerasan kaku adalah suatu susunan struktur perkerasan jalan yang pada
lapisan atasnya menggunakan pelat beton, terletak di atas lapis pondasi atau
langsung di atas tanah dasar (Bina Marga, 2003). Menurut Hardiyatmo (2017)
perkerasan kaku terdiri atas tanah-tanah dasar, lapis pondasi bawah dan pelat
beton semen Portland dengan atau tanpa tulangan seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.1. Pada permukaan perkerasan kaku, terkadang ditambahkan lapisan
aspal dan jenis perkerasan ini cocok digunakan pada jalan raya yang melayani lalu
lintas berat dengan kecepatan tinggi.

Gambar 2.1 Tipikal Struktur Perkerasan Kaku


Sumber: Bina Marga (2003)

2.3.2 Struktur Perkerasan Kaku


Pada konstruksi perkerasan kaku yang digunakan sebagai konstruksi
utama adalah satu lapis beton semen mutu tinggi sedangkan lapis pondasi bawah
hanya berfungsi sebagai konstruksi pendukung (Bina Marga, 2017). Adapun

7
jenis-jenis dan gambar struktur perkerasan kaku ditunjukkan pada Gambar 2.2,
2.3 dan 2.4.
1) Perkerasan kaku pada permukaan tanah asli (at grade).

Gambar 2.2 Perkerasan Kaku Pada Permukaan Tanah Asli


Sumber: Bina Marga (2017)
2) Perkerasan kaku pada timbunan.

Gambar 2.3 Perkerasan Kaku Pada Timbunan


Sumber: Bina Marga (2017)
3) Perkerasan kaku pada galian.

Gambar 2.4 Perkerasan Kaku Pada Galian


Sumber: Bina Marga (2017)
Lapis pondasi bawah (sub-base) pada perkerasan kaku ialah untuk
meningkatkan daya dukung terhadap pelat beton dan memberikan ketahanan
terhadap pencegahan erosi pada lapisan pondasi akibat beban lalu lintas dan
lingkungan (Bina Marga, 2017). Adapun struktur lapisan perkerasan kaku terdiri
dari tanah dasar, agregat sebagai lapis pondasi dan pelat beton beserta
tulangannya.

2.3.3 Kelebihan dan Kekurangan dari Perkerasan Kaku


Pada umumnya perkerasan kaku banyak digunakan untuk jalan-jalan
utama ataupun jalan bandara, namun saat ini perkerasan kaku pun marak

8
digunakan untuk jalan perkotaan dan pedesaan. Adapun keuntungan dan kerugian
dari perkerasan kaku antara lain:
1) Kelebihan Perkerasan Kaku (Hardiyatmo, 2017)
a. Lebih tahan dalam menjaga kekesatan dalam waktu yang lebih lama
dibandingkan dengan perkerasan lentur.
b. Lebih mampu dalam mengatasi kelebihan beban yang berlebihan seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.5.
c. Pembuatan campuran perkerasan lebih mudah dikontrol dan umur rencana
lebih panjang dibandingkan perkerasan lentur, yaitu sekitar 20-40 tahun.
d. Struktur perkerasan lebih tipis kecuali untuk area dengan tanah yang lunak
maka akan membutuhkan struktur yang lebih tebal.
2) Kekurangan Perkerasan Kaku (Hardiyatmo, 2017)
a. Biaya konstruksi lebih tinggi dibandingkan jenis perkerasan lainnya.
b. Banyaknya sambungan di antara blok-blok pelat beton akan mengakibatkan
gangguan kenyamanan dalam berkendara.
c. Biaya pemeliharaan cenderung rendah, namun apabila terjadi kerusakan
parah pada konstruksi maka biaya pemeliharaan akan lebih tinggi.
Pada perkerasan kaku beban lalu lintas yang bekerja akan disebarkan pada
tanah dasar sebagai area yang lebih luas, sehingga bagian terbesar dari kekuatan
struktur perkerasan kaku akan dibebankan pada pelat betonnya sendiri yang mana
mampu dipikul oleh lapisan tanah dasar. Hal tersebut dikarenakan beban roda
yang didistribusikan ke tanah dasar lebih menyebar dan memiliki modulus
elastisitas yang besar untuk mendistribusikan beban dari lapisan atas menuju
tanah dasar, sehingga untuk mendapatkan tegangan yang sama pada tanah dasar
maka pada perkerasan kaku diperlukan komponen perkerasan total yang lebih
tipis. Adanya kekakuan atau modulus elastisitas beton yang lebih besar
menyebabkan kemampuan penyebaran beban pada perkerasan kaku lebih besar
dibandingkan perkerasan lentur. Sehubungan dengan hal tersebut, lendutan akibat
beban akan menjadi lebih kecil serta tegangan yang bekerja pada tanah dasar juga
rendah sehingga perlu diperhatikannya keseragaman daya dukung tanah dasar.

9
Perkerasan
Lentur
Perkerasan
Kaku

Gambar 2.5 Ilustrasi Distribusi Beban Perkerasan Lentur dan Kaku


Sumber: Modul Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2017)

2.4 Persyaratan Teknis Metode Bina Marga 2017


2.4.1 Umur Rencana
Umur rencana dalam perkerasan jalan ditentukan oleh pertimbangan
klasifikasi fungsional jalan, pola lalu lintas serta nilai ekonomi pada jalan yang
bersangkutan. Pada dasarnya, umur rencana harus dilakukan analisis dengan
Discounted Lifecycle Cost (DLC) sehingga dapat diketahui bahwa umur rencana
dapat menghasilkan DLC terendah. Adapun umur rencana untuk menghitung
kapasitas jalan pada perkerasan tertera pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Umur Rencana Perkerasan Jalan
Umur Rencana
Jenis Perkerasan Elemen Perkerasan
(tahun)
Lapisan aspal dan lapisan berbutir 20
Fondasi jalan
Semua perkerasan untuk daerah yang tidak
Perkerasan lentur dimungkinkan pelapisan ulang (overlay)
seperti: jalan perkotaan, underpass, jembatan,
40
terowongan
Cement Treated Based (CTB)
Lapis fondasi atas, lapis fondasi bawah, lapis
Perkerasan kaku
beton semen dan fondasi jalan.
Jalan tanpa
Semua elemen (termasuk fondasi jalan) Minimum 10
penutup
Sumber: Manual Desain Perkerasan Jalan (2017)

2.4.2 Pemilihan Struktur Perkerasan


Pemilihan jenis perkerasan yang digunakan akan bervariasi berdasarkan
volume lalu lintas, umur rencana dan kondisi jalan. Untuk desain tebal perkerasan
kaku Bina Marga 2017 mengacu pada pedoman desain perkerasan kaku Pd T-14-
2003 yang mana beban lalu lintas desainnya didasarkan pada distribusi kelompok
sumbu kendaraan niaga (Heavy Vehicle Axle Group) bukan pada nilai Equivalent
Standard Axle (ESA) sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 2.

10
2.4.3 Pengujian Dynamic Cone Penetrometer (DCP)
Penetrometer kerucut dinamis atau Dynamic Cone Penetrometer (DCP)
awalnya digunakan untuk menentukan profil perkerasan lentur, namun kemudian
juga digunakan untuk menentukan kekuatan tanah. Pengujian DCP ini digunakan
untuk mengukur nilai California Bearing Ratio (CBR) dimana media yang diuji
tidak bisa digali untuk lubang uji (test pit) (Hardiyatmo, 2017). Parameter yang
didapat dari hasil pengujian ialah nilai CBR pada lapisan di bawah subgrade. Alat
yang digunakan untuk pengujian DCP terdiri dari kerucut bersudut (konus) 60º
atau 30º yang berdiameter 20 mm dengan pemukul seberat 8 kg dan tinggi jatuh
57,5 cm seperti yang tertera pada Gambar 2.6.
Pengujian DCP dilakukan dengan menaikkan pemukul setinggi 57,5 cm
dan melepaskannya hingga membentur baja penahan di bawahnya. Jumlah
pukulan yang dibutuhkan untuk mendorong konus beserta kedalaman penetrasinya
tersebut dicatat dan proses tersebut diulang sampai kedalaman penetrasinya
mencapai kedalaman yang dikehendaki atau 1000 mm.

Gambar 2.6 Alat Penetrometer Kerucut Dinamis (DCP)


Sumber: Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 04/SE/M/2010 (2010)

Menurut Federal Highway Administration (FHWA, 2017) uji DCP ini


cocok diterapkan untuk tanah-tanah dasar pasir, kerikil dan lempung namun tidak
cocok untuk lempung yang mengandung kerikil. Seusai didapatkannya nilai DCP
maka perlu dilakukannya penentuan untuk nilai CBR dengan cara menghitung
kecepatan rata-rata penetrasi (DCP, mm/tumbukan), lalu dicari korelasi nilai

11
CBR-DCP menggunakan Persamaaan 2.1 – 2.4 sehingga nantinya dapat diperoleh
gambar grafik hubungan nilai DCP dengan CBR sehingga nilai CBR dapat
diketahui. Transport Road Research (TRL, 1993) mengembangkan prosedur
pengujian lapis perkerasan dengan DCP menggunakan persamaan sebagai berikut
1) Van Buuren, 1969 (Konus 60º)
Log CBR = 2,632 – 1,28 x (Log DCP) Persamaan 2.1
2) Kleyn & Harden, 1983 (Konus 30º)
Log CBR = 2,555 – 1,145 x (Log DCP) Persamaan 2.2
3) Smith & Pratt, 1983 (Konus 30º)
Log CBR = 2,503 – 1,15 x (Log DCP) Persamaan 2.3
4) TRL, Road Note 8, 1990 (Konus 60º)
Log CBR = 2,48 – 1,057 x (Log DCP) Persamaan 2.4

2.4.4 Penentuan Daya Dukung Efektif Tanah Dasar


Tanah dasar (subgrade) merupakan tanah yang berfungsi sebagai pondasi
yang secara langsung menerima beban lalu lintas dari lapis perkerasan yang
berada di atasnya (Hardiyatmo, 2017). Menurut Hardiyatmo (2017) jenis-jenis
tanah dasar dibedakan menjadi 3 jenis, diantaranya:
1) Tanah dasar pada tanah asli.
2) Tanah dasar pada timbunan.
3) Tanah dasar pada galian.
Secara umum tanah dasar merupakan tanah yang memiliki ketebalan
tertentu yang dipadatkan, adapun untuk penentuan daya dukung efektif pada tanah
dasar dapat ditentukan menggunakan metode CBR dengan menggunakan
klasifikasi tanah normal atau tanah lunak. CBR merupakan perbandingan antara
tegangan penetrasi suatu lapisan/bahan tanah atau perkerasan terhadap tegangan
penetrasi bahan standar dengan kedalaman dan kecepatan penetrasi yang sama
(SNI 1738:2011). Adapun untuk acuan perhitungan daya dukung tanah dasar
normal dan lunak didasarkan Manual Desain Perkerasan Jalan 2017 sesuai dengan
Persamaan 2.5.
a. Tanah Dasar Normal

12
Apabila pondasi perkerasan terdiri dari beberapa lapis atau tanah dasar asli
memiliki beberapa lapis dengan kekuatan tertingginya terdapat di lapis paling
atas, maka hitungan CBR tanah dasar yang berlaku adalah:

( )
033 3
∑ h CBR
CBR ekivalen= i i Persamaan 2.5
∑i h

Keterangan: hi = Tebal lapis


∑hi = 1 meter
Namun jika semakin dalam posisi tanah dasar dan kekuatannya pun kian
meningkat, maka Persamaan 2.3 tidak berlaku. Dalam hal ini, nilai CBR yang
digunakan ialah nilai CBR pada lapis teratas di tanah dasar dengan hasil tidak
kurang dari 6%.
b. Tanah Lunak
Perkerasan kaku sebaiknya tidak digunakan di atas tanah yang bertekstur
lunak, kecuali jika dibangun dengan pondasi micro-pile. Apabila perkerasan
kaku dibangun di atas tanah lunak, maka pondasi perkerasan lunak haruslah
sesuai dengan syarat berikut (Manual Desain Perkerasan Jalan, 2017):
(1) Penggalian dan penggantian seluruh tanah lunak atau,
(2) Lapis penopang dengan nilai CBR tidak lebih dari 6% dan timbunan
dengan tinggi tidak kurang dari 1,5m dengan lapis penopang harus
diberikan waktu untuk berkonsolidasi (pra-pembebanan).

2.4.5 Analisa Lalu Lintas


Pada perencanaan perkerasan, estimasi volume lalu lintas saat jalan
beroperasi untuk pertama kalinya merupakan faktor penting. Sehubungan dengan
hal tersebut, diperlukanlah data survei lalu lintas untuk mencatat jumlah
kendaraan yang lewat pada area yang ditinjau dengan memperhatikan kategori
kendaraannya untuk mengestimasinya sesuai dengan umur jalan yang
direncanakan.
Dalam hal ini, walaupun prosedur perencanaan perkerasan kaku metode
Bina Marga 2017 mengikuti ketentuan Pd-T-14-2003 namun untuk spektrum
beban lalu lintas haruslah mengikuti kondisi beban aktual berdasarkan pedoman
Bina Marga 2017 sebagaimana tertera pada Lampiran 1. Hal tersebut dikarenakan

13
kondisi beban sumbu yang tertera pada pedoman Pd-T-14-2003 termasuk kondisi
beban terkendali dan dianggap kurang presisi apabila digunakan di masa sekarang.
Adapun untuk analisa lalu lintas untuk perencanaan perkerasan kaku
ditentukan oleh aspek-aspek sebagai berikut:
1) Survei Lalu Lintas
Survei lalu lintas yang mengacu pada ketentuan Manual Kapasitas Jalan
Indonesia (MKJI) dilakukan untuk mendapatkan data Lalu Lintas Harian
(LHR). Adapun LHR dilakukan untuk mengetahui jumlah kendaraan bermotor
beroda 4 atau lebih yang mana dicatat selama 24 jam sehari untuk kedua
jurusan (SKBI, 1987).
2) Jumlah Kelompok Sumbu
Jumlah kelompok sumbu digunakan sebagai salah satu aspek dalam
menentukan nilai Jumlah Sumbu Kendaraan Niaga (JSKN) untuk analisa lalu
lintas. Nilai jumlah kelompok sumbu ini didasarkan pada konfigurasi sumbu
masing-masing kendaraan yang disesuaikan dengan pedoman Bina Marga
2017, sebagaimana tertera pada Lampiran 2.
3) Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas
Faktor pertumbuhan lali lintas kumulatif (R) digunakan sebagai salah satu
aspek dalam menentukan nilai JSKN untuk analisa lalu lintas. Adapun acuan
penghitungan pertumbuhan lalu lintas berdasarkan pedoman Bina Marga 2017
menggunakan Persamaan 2.6.
UR
(1+0 , 01i) −1
R= Persamaan
0 ,01 i
2.6
Keterangan: R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif
i = Laju pertumbuhan lalu lintas tahunan (%)
UR = Umur rencana (tahun)
4) Laju Pertumbuhan Lalu Lintas
Laju pertumbuhan lalu lintas tahunan (i) digunakan sebagai salah satu aspek
dalam mendapatkan nilai R untuk analisa lalu lintas. Nilai i ini didasarkan pada
pedoman Bina Marga 2017 sebagaimana tertera pada Lampiran 3.

14
2.4.6 Lalu Lintas Rencana
Lalu lintas rencana merupakan jumlah kumulatif sumbu kendaraan niaga
yang terdapat pada lajur rencana selama umur rencana, yang mana meliputi
proporsi sumbu serta distribusi beban pada setiap jenis sumbu kendaraan (Pd T-
14-2003). Adapun jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana dihitung
dengan persamaan berikut:
JSKN = JSKNH x 365 x R Persamaan 2.7
Keterangan: JSKN = Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur
rencana.
JSKNH = Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat
umur rencana
R = Faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif
Untuk rincian hitungan JSKNH masing-masing jenis kendaraan niaga mengacu
pada Lampiran 1 dan 2 serta pedoman Bina Marga 2017 subbab 7.6 poin iv.

2.4.7 Perencanaan Perkerasan Kaku


Pada perencanaan perkerasan kaku metode Bina Marga 2017 memerlukan
aspek-aspek sebagai berikut:
1) Pendesainan Perkerasan Kaku
Dalam mendesain perkerasan kaku perlu diketahui syarat struktur perkerasan
baik untuk lalu lintas berat maupun rendah, sebagaimana yang tertera dalam
Tabel 2.2 untuk lalu lintas rendah.
Tabel 2.2 Perkerasan Kaku untuk Jalan dengan Beban Lalu Lintas Rendah
Tanah Dasar
Tanah Lunak dengan
Dipadatkan Normal
Lapis Penopang
Bahu pelat beton (tied shoulder) Ya Tidak Ya Tidak
Tebal Pelat Beton (mm)
Akses terbatas hanya mobil
160 175 135 150
penumpang dan motor
Dapat diakses oleh truk 180 200 160 175
Tulang distribusi retak Ya, jika daya dukung
Ya
tidak seragam
Dowel Tidak dibutuhkan
LMC Tidak dibutuhkan
Lapis fondasi kelas A (ukuran 125 mm

15
butir nominal maksimum 30 mm)
Jarak sambungan melintang 4m
Sumber: Manual Desain Perkerasan Jalan (2017)

2) Penentuan Bahan Lapis Perkerasan


Dalam perencanaan perkerasan kaku pada umumnya memiliki 2 lapisan, yaitu
lapis permukaan dan lapis fondasi. Lapis permukaan pada perkerasan kaku
diharuskan mengharuskan beton semen sebagai bahan pelapis dengan kekuatan
yang ditentukan dari segi kuat tekan dan kuat lentur. Berdasarkan pernyataan
pedoman Pd-T-14-2003, penentuan kuat tekan maupun kuat lentur beton
disesuaikan dengan jenis lingkungan di mana perencanaan perkerasan akan
dilaksanakan. Adapun untuk lapis fondasi pada perkerasan kaku menggunakan
bahan agregat kelas A dengan gradasi ukuran maksimumnya ialah 37.5 mm
sesuai dengan ketentuan pada pedoman Bina Marga 2017.
3) Penentuan Struktur Fondasi Jalan
Dalam menentukan struktur untuk fondasi jalan dapat diketahui melalui nilai
California Bearing Ratio (CBR) yang kemudian disesuaikan dengan spesifikasi
yang tertera pada Lampiran 4. California Bearing Ratio (CBR) merupakan
perbandingan antara tegangan penetrasi suatu lapisan/bahan tanah atau
perkerasan terhadap tegangan penetrasi bahan standar dengan kedalaman dan
kecepatan penetrasi yang sama (dinyatakan dalam persen) (SNI 1738:2011).

2.4.8 Penulangan
Adanya tulangan pada perkerasan kaku ini bertujuan untuk membatasi
lebar retakan, memungkinkan penggunaan pelat yang lebih panjang (dapat
mengurangi jumlah sambungan melintang) dan mengurangi biaya pemeliharaan.
Pada perkerasan kaku bersambung tanpa tulangan (BBTT) dengan adanya
tulangan temperatur maka jarak sambungan bisa mencapai 30 m sehingga
memerlukan dowel sebagai penyambung (Hardiyatmo, 2017). Adapun pada
perkerasan kaku menerus dengan tulangan (BMDT) dimana perkerasan dibangun
tanpa menggunakan sambungan dan memerlukan antara 0,4–1% tulangan
terhadap luas tampang pelat beton (Hardiyatmo, 2017). Berdasarkan pernyataan
Pd-T-14-2003, perkerasan kaku bersambung dengan tulangan (BBDT)

16
memerlukan tulangan dan sambungan baik dowel maupun batang pengikat
sebagai penghubungnya.
Secara umum, tipe-tipe penulangan pada perkerasan kaku menurut Pd T-
14-2003 dibagi menjadi:
1) Penulangan Memanjang
Pada BMDT terdapat kondisi tulangan memanjang berjarak lebih rapat
daripada tulangan melintang.
2) Penulangan Melintang
Tulangan melintang digunakan sebagai pendukung tulangan memanjang
selama pelaksanaan, untuk mengurangi risiko timbulnya retakan dan
merapatkan retak-retak agar tidak terbuka (Hardiyatmo, 2017). Pada umumnya,
tulangan melintang berupa tulangan baja ulir dan dipasang dengan jarak 30-90
cm tergantung lebar perkerasan.
Penempatan penulangan melintang pada perkerasan kaku harus
ditempatkan pada kedalaman > 65 mm dari permukaan dengan tebal pelat ≤ 20
cm. Adapun untuk tulangan arah memanjang dipasang di atas tulangan arah
melintang.

2.4.9 Sambungan
Kinerja perkerasan kaku salah satunya bergantung pada kinerja dari
sambungan-sambungannya, apabila terdapat kerusakan pada sambungan maka
akan berakibat perkerasan mengalami kerusakan pada bagian sambungan. Adapun
tujuan diperlukannya sambungan pada perkerasan kaku (Pd T-14-2003) antara
lain:
1) Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh penyusutan,
pengaruh perubahan temperatur serta beban lalu lintas.
2) Memudahkan pelaksanaan konstruksi perkerasan kaku.
3) Mengakomodasi gerakan pelat.
Secara umum, tipe-tipe sambungan perkerasan kaku menurut Pd T-14-
2003 dibagi menjadi beberapa jenis salah satunya ialah sambungan memanjang
dengan batang pengikat (tie bars). Pemasangan sambungan memanjang bertujuan
untuk mengendalikan retak dalam arah memanjang akibat lengkungan (warping),

17
tegangan ekspansi dan tegangan susut yang disebabkan oleh perubahan temperatur
ketika beton dihamparkan pada area yang luas (Hardiyatmo, 2017).
Sambungan memanjang harus dilengkapi dengan tie bars berupa baja ulir
dengan mutu minimum BJTU 24, berdiameter 16 mm dan jarak antar sambungan
sekitar 3-4 m. Adapun untuk ukuran tie bars dihitung dengan persamaan yang
mengacu pada Pedoman Pd-T-14-2003 subbab 5.3.6 tentang Sambungan.

Gambar 2.7 Tipikal Sambungan Memanjang


Sumber: Pd T-4-2003 (2003)

2.5 Paving Block


2.5.1 Pengertian Paving Block
Paving Block (bata beton) adalah suatu komposisi bahan bangunan yang
dibuat dari campuran semen Portland atau bahan perekat hidrolis sejenisnya, air
dan agregat dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya yang tidak mengurangi
mutu paving block tersebut (SNI 03-0691-1996). Adapun berdasarkan bahan
pengikatnya, perkerasan paving block dapat dikategorikan sebagai perkerasan
kaku dikarenakan menggunakan bahan pengikat semen namun jika dari segi
pelaksanaan konstruksinya, perkerasan paving block menggunakan pedoman
perkerasan lentur dengan bagian beton atau paving block dianggap sebagai lapis
permukaan (ICPI, 2003).

2.5.2 Klasifikasi Paving Block


Berdasarkan SK SNI T-04-1990-F, paving block dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa jenis diantaranya:
1) Klasifikasi Berdasarkan Bentuk
Bentuk paving block pada umumnya terbagi atas bermacam bentuk seperti
yang tertera pada Gambar 2.8 yaitu:
a. Paving block dengan bentuk segi empat (block tipe C).

18
b. Paving block dengan bentuk segi banyak (block tipe A, tipe B dan tipe X).

Gambar 2.8 Bentuk Paving Block


Sumber: SK SNI T-04-1990-F (1990)
2) Klasifikasi Berdasarkan Ketebalan
Pada umumnya ketebalan paving block digunakan sesuai beban lalu lintasnya,
diantaranya:
a. Untuk menopang beban lalu lintas ringan misalkan trotoar maka
digunakan paving block 60 mm.
b. Untuk menopang beban lalu lintas sedang hingga berat misalkan jalan
maka digunakan paving block 80 mm.
c. Untuk menopang beban lalu lintas berat berlebih misalkan daerah
pelabuhan dan kawasan industri maka digunakan paving block 100 mm.
3) Klasifikasi Berdasarkan Mutu
Pada umumnya mutu paving block dikelompokkan menjadi beberapa jenis,
diantaranya:
a. Mutu beton I yaitu f ' c 35-40 MPa untuk beban berat baik struktural
maupun non struktural.
b. Mutu beton II yaitu f ' c 17-20 MPa untuk beban sedang ke berat baik
struktural maupun non struktural.

19
c. Mutu beton III yaitu f ' c 12,5-15 MPa untuk beban ringan ke sedang baik
struktural maupun non struktural.
d. Mutu beton IV yaitu f ' c 8,5-10 MPa untuk beban ringan.
4) Klasifikasi Berdasarkan Warna
Pada umumnya warna paving block yang digunakan ialah abu-abu, hitam dan
merah. Adapun maksud penggunaan paving block berwarna merah ialah untuk
menambah keindahan dan sebagai batas pada tempat parkir ataupun tali air.

2.5.3 Struktur Perkerasan Paving Block


Dalam perkerasan paving block memiliki material lapisan yang berbeda dari
perkerasan lentur maupun kaku, sehingga pemilihan paving block yang sesuai
dengan kelas jalan perlu diperhatikan. Adapun struktur perkerasan paving block
terdiri dari beberapa lapis diantaranya seperti yang tertera pada Gambar 2.9.
1) Block
Block merupakan suatu komponen struktur lapis permukaan yang disusun
dengan pola tertentu pada sebuah konstruksi perkerasan.
2) Pasir Pengisi (filler sand)
Pasir pengisi merupakan pasir yang mengisi celah antar block yang berkisar 2-
4 mm, sehingga jika terkena beban kendaraan dan terjadi pergeseran tidak akan
mengakibatkan pecahnya block.
3) Pasir Alas
Pasir alas merupakan bagian dari struktur perkerasan yang bersifat non-
struktural yang terletak di bawah paving block dan di atas pondasi. Pasir alas
memiliki tebal berkisar 5-6 cm dan setelah diratakan tidak boleh > 5 cm (3-5
cm).
4) Lapis Pondasi/Base Course
Lapis pondasi merupakan bagian yang terletak di bawah pasir alas dan di atas
tanah dasar (jika tanpa menggunakan lapis pondasi bawah) yang berfungsi
sebagai penahan tegangan akibat roda kendaraan.
5) Lapis Pondasi Bawah/Sub-base Course
Lapis pondasi bawah merupakan bagian yang terletak di atas tanah dasar dan di
bawah lapis pondasi yang berfungsi untuk pembatas agar tanah dasar tidak
masuk ke dalam lapis pondasi.

20
Gambar 2.9 Struktur Perkerasan Paving Block
Sumber: Aly (2002)

2.5.4 Kelebihan dan Kekurangan dari Paving Block


Pada umumnya perkerasan paving block banyak digunakan untuk jalan-jalan di
daerah perumahan, trotoar dan jalan dengan lalu lintas rendah. Adapun
keuntungan dan kerugian dari perkerasan paving block antara lain:
1) Kelebihan Paving Block (Bappeda Kab. Grobogan, 2019)
a. Pelaksanaan konstruksinya mudah dan tidak memerlukan alat-alat berat
serta dapat diproduksi secara massal.
b. Pemeliharaannya mudah serta dapat dipasang kembali setelah dilakukan
pembongkaran.
c. Tahan terhadap beban statis, dinamis, kejut serta tahan terhadap tumpahan
bahan pelumas oleh mesin kendaraan.
d. Lebih mampu dalam meresap air sehingga tidak menimbulkan genangan.
2) Kekurangan Paving Block (Bappeda Kab. Grobogan, 2019)
Mudah bergelombang bila pondasinya tidak kuat dan kurang nyaman untuk
digunakan kendaraan dengan kecepatan tinggi.

2.6 Perencanaan Perkerasan Paving Block Berdasarkan Metode Analisa


Komponen
Interlocking Concrete Pavement Institute (ICPI, 2003) menyatakan bahwa
dalam merencanakan perkerasan paving block digunakan pendekatan seperti
perencanan perkerasan lentur. Acuan standar yang digunakan dalam perencanaan

21
paving block ini ialah metode analisa komponen dari Standar Konstruksi
Bangunan Indonesia (SKBI) 1987.
2.6.1 Jumlah Lajur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
Lajur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan
yang menampung lalu lintas terbesar (SKBI, 1987). Untuk menentukan jumlah
lajur lalu lintas dan koefisien distribusi kendaraan (C) tertera seperti pada Tabel
2.3 dan 2.4.
Tabel 2.3 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan
Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)
L < 5,50 m 1 lajur
5,50 m ≤ L < 8,25 m 2 lajur
8,25 m ≤ L < 11,25 m 3 lajur
11,25 m ≤ L < 15,00 m 4 lajur
15,00 m ≤ L < 18,75 m 5 lajur
18,75 m ≤ L < 22,00 m 6 lajur
Sumber: SKBI (1987)

Tabel 2.4 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)


Jumlah Kendaraan Ringan*) Kendaraan Berat**)
Lajur 1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah
1 lajur 1,00 1,00 1,00 1,000
2 lajur 0,60 0,50 0,70 0,500
3 lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 lajur - 0,30 - 0,450
5 lajur - 0,25 - 0,425
6 lajur - 0,20 - 0,400
Catatan:
*) berat total kendaraan < 5 ton, misalnya mobil penumpang, pick up, mobil hantaran.
**) berat total kendaraan > 5 ton, misalnya bus, traktor, semi-trailer, trailer.
Sumber: SKBI (1987)

2.6.2 Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E)


Angka ekivalen merupakan angka yang menyatakan perbandingan tingkat
kerusakanyang ditimbulkan oleh suatu lintasan beban sumbu tunggal kendaraan
terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban standar
sumbu tunggal seberat 8,16 ton (SKBI, 1987). Untuk menentukan angka ekivalen
tiap kendaraan tertera seperti pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda
1000 2205 0,0002 -

22
2000 4409 0,0036 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050

Lanjutan Tabel 2.5 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan


Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0794
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4798 0,1273
10000 22046 2,2555 0,1940
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 18660 6,4419 0,5540
14000 30864 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4184 0,9820
16000 35276 14,7815 1,2712
Sumber: SKBI (1987)

2.6.3 Lalu Lintas Harian Rata-rata dan Perhitungan Lintas Ekivalen


Menurut SKBI (1987) perhitungan besarnya lalu lintas harian rata-rata
serta lalu lintas ekivalen dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.8 – 2.12.
1) Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR)
LHR adalah jumlah rata-rata lalu lintas kendaraan bermotor beroda 4 atau lebih
yang dicatat selama 24 jam sehari untuk kedua jurusan (SKBI, 1987). Untuk
setiap jenis kendaraan LHR ditentukan pada awal umur rencana yang dihitung
menggunakan Persamaan 2.8.
LHR = (1+i)n x jumlah kendaraan Persamaan 2.8
Keterangan: LHR = Lalu lintas harian rerata (kend/hari/2 jurusan)
i = Pertumbuhan lalu lintas/tahun
n = Jumlah tahun rencana
2) Lintas Ekivalen Permukaan (LEP)
LEP adalah jumlah lalu lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal
seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada awal umur
rencana (SKBI, 1987). Untuk perhitungan LEP dapat menggunakan Persamaan
2.9.

23
LEP = ∑ nj=1 LHR j x C j x E j
Persamaan 2.9
Keterangan: LEP = Jumlah lalu lintas ekivalen rata-rata awal rencana
j = Jenis kendaraan
n
∑ j=1 LHR j = Jumlah kendaraan LHR awal umur rencana
Cj = Koefisien distribusi kendaraan
Ej = Angka ekivalen beban sumbu kendaraan
3) Lintas Ekivalen Akhir (LEA)
LEA adalah jumlah lalu lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal
seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur
rencana (SKBI, 1987). Untuk perhitungan LEA dapat menggunakan Persamaan
2.10.
LEA = ∑ nj=1 LHR j (1+ i)UR x C j x E j Persamaan 2.10
Keterangan: LEA = Jumlah lalu lintas ekivalen rata-rata akhir
rencana
n UR
∑ j=1 LHR j (1+ i) = Hasil LHR
4) Lintas Ekivalen Tengah (LET)
LET adalah jumlah lalu lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tungal
seberat 8,16 ton pada jalur rencana pada pertengahan umur rencana (SKBI,
1987). Untuk perhitungan LET dapat menggunakan Persamaan 2.11.
LET = ½ x (LEP + LEA) Persamaaan 2.11
Keterangan: LET = Jumlah lalu lintas ekivalen harian rata-rata pertengahan
rencana
LEP = Jumlah lalu lintas ekivalen rata-rata awal rencana
LEA = Jumlah lalu lintas ekivalen rata-rata akhir rencana
5) Lintas Ekivalen Rencana (LER)
LER adalah suatu besaran yang dipakai dalam nomogram penetapan tebal
perkerasan untuk menyatakan jumlah lalu lintas ekivalen (SKBI, 1987). Untuk
perhitungan LER dapat menggunakan Persamaan 2.12.
LER = LET x FP Persamaan 2.12
Keterangan: LET = Jumlah lalu lintas ekivalen harian rata-rata pertengahan
rencana

24
FP = Faktor penyesuaian (FP = UR/10)
UR = Umur rencana jalan

2.6.4 Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan CBR


Daya dukung tanah dasar (DDT) adalah suatu skala yang dipakai dalam
nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan kekuatan tanah dasar
(SKBI, 1987). Nilai CBR dapat dihasilkan dari nilai lapangan atau nilai
laboratorium, sedangkan nilai DDT didapat dari hasil korelasi CBR terhadap DDT
dengan nomogram seperti yang tertera pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Korelasi DDT dan CBR


Sumber: SKBI (1987)

2.6.5 Faktor Regional (FR)


Faktor Regional (FR) adalah faktor setempat yang menyangkut keadaan
lapangan dan iklim dimana dapat mempengaruhi keadaan pembebanan, DDT dan
perkerasan (SKBI, 1987). Keadaan lapangan yang mempengaruhi berupa
permeabilitas tanah, drainase, bentuk alinyemen, persentase kendaraan dengan
berat ≥ 13 ton dan kendaraan yang berhenti. Adapun untuk keadaan iklim
mencakup curah hujan rata-rata/tahun, sehingga FR menjadi seperti yang tertera
pada Tabel 2.6.

25
Tabel 2.6 Faktor Regional (FR)
Kelandaian I Kelandaian II Kelandaian III
(< 6%) (6-10%) (> 10%)
% Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat
≤ 30% >30% ≤ 30% >30% ≤ 30% >30%
Iklim I
0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
<900mm/th
Iklim II
>900mm/th
1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
Catatan: Penambahan nilai FR diperlukan untuk bagian jalan tertentu, seperti tikungan
tajam dengan jari-jari 30m atau persimpangan maupun pemberhentian maka FR ditambah
sebesar 0,5, sedangkan pada daerah rawa-rawa FR ditambah sebesar 1,0.
Sumber: SKBI (1987)

2.6.6 Indeks Permukaan (IP)


Indeks Permukaan (IP) adalah suatu angka yang digunakan untuk
menyatakan kerataan/kehalusan serta kekokohan permukaan jalan yang
bersangkutan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat di jalan
tersebut (SKBI, 1987). IP terdiri dari beberapa nilai sebagaimana tertera dalam
SKBI (1987) sebagai berikut:
1) IP: 1,0 = Permukaan jalan dalam keadaan rusak berat.
2) IP: 1,5 = Jalan dalam kondisi yang masih memungkinkan (jalan tidak terputus)
dengan tingkat pelayanan rendah.
3) IP: 2,0 = Jalan masih dalam keadaan yang cukup baik bagi tingkat pelayanan
rendah.
4) IP: 2,5 = Permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
Dalam menentukan IP pada umur rencana akhir ( IPt ¿ perlu
dipertimbangkan faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah LER sebagaimana
yang tertera pada Tabel 2.7. Adapun untuk menentukan IP pada awal umur
rencana ( IP 0 ¿ perlu dipertimbangkan jenis lapis permukaan jalan (kerataan,
kehalusan serta kekokohan) sebagaimana yang tertera pada Tabel 2.8.
Tabel 2.7 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana ( IPt ¿
Klasifikasi Jalan
LER*)
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -
10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -
100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -
>1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5
Catatan:

26
(1) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton pada beban sumbu tunggal.
(2) Pada proyek-proyek penunjang jalan, JAPAT/jalan murah atau jalan darurat maka
IPt ¿ dapat diambil 1,0.
Sumber: SKBI (1987)

Tabel 2.8 Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana ( IP 0 ¿


Jenis Permukaan IP 0 Roughness (mm/km)
LASTON ≥4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
BURDA 3,9 – 3,5 < 2000
BURTU 3,4 – 3,0 < 2000
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000
2,9 – 2,5 > 3000
LATASBUM 2,9 – 2,5
BURAS 2,9 – 2,5
LATASIR 2,9 – 2,5
Jalan tanah ≤ 2,4
Jalan Kerikil ≤ 2,4
Sumber: SKBI (1987)

2.6.7 Koefisien Kekuatan Relatif (a)


Koefisien kekuatan relatif (a) pada masing-masing bahan serta
kegunaannya digunakan sebagai lapis permukaan, pondasi dan pondasi bawah
yang ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall (untuk bahan dengan aspal),
kuat tekan (untuk bahan yang distabilisasi dengan semen/kapur) atau CBR (untuk
lapis pondasi bawah) seperti yang tertera pada Lampiran 6. Dalam menentukan
nilai a pada paving block didasarkan terhadap material/bahan tiap lapisan yang
digunakan sesuai dengan pedoman SKBI 1987. Berdasarkan pedoman SKBI
1987, nilai a 1 paving block sebagai lapisan teratas tidak dicantumkan sehingga
akan disamakan dengan nilai a 1 bahan laston dikarenakan paving block memiliki
material bahan yang menyerupai laston.

2.6.8 Indeks Tebal Perkerasan (ITP) dan Batas Minimum Tebal Lapisan
Indeks tebal perkerasan (ITP) adalah suatu angka yang digunakan untuk
menentukan tebal perkerasan (SKBI, 1987). Nilai ITP ditentukan menggunakan

27
nomogram berdasarkan nilai FR, LER dan DDT sebagaimana salah satunya dalam
Gambar 2.11.

Gambar 2.11 Nomogram Penentuan ITP


Sumber: SKBI (1987)
Adapun untuk penentuan batas tebal minimum didasarkan pada nilai ITP dan jenis
bahan perkerasan yang digunakan, diantaranya:
1) Lapis Permukaan
Tabel 2.9 Tebal Minimum Pada Lapis Permukaan Perkerasan
ITP Tebal Minimum (cm) Bahan
< 3,00 5 Lapis pelindung: Buras/Burtu/Burda
3,00 – 6,70 5 Lapen/aspal makadam, HRA, Lasbutag, Laston
6,71 – 7,49 7,5 Lapen/aspal makadam, HRA, Lasbutag, Laston
7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, Laston
≥ 10,00 10 Laston
Sumber: SKBI (1987)

2) Lapis Pondasi
Tabel 2.10 Tebal Minimum Pada Lapis Pondasi Permukaan
ITP Tebal Minimum (cm) Bahan
Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,
< 3,00 15
stabilitas tanah dengan kapur
Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,
3,00 – 7,49 20*)
stabilitas tanah dengan kapur

28
10 Laston atas
7,50 – 9,99 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen
stabilitas tanah dengan kapur, makadam
15 Laston atas
Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,
10 – 12,14 20 stabilitas tanah dengan kapur, pondasi
makadam, Lapen, Laston atas
Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen,
≥ 12,25 25 stabilitas tanah dengan kapur, pondasi
makadam, Lapen, Laston atas
Catatan: *) Batas 20 cm dapat menjadi 15 cm apabila menggunakan pondasi bawah
berbutir kasar.
Sumber: SKBI (1987)

3) Lapis Pondasi Bawah


Untuk setiap nilai ITP apabila digunakan pondasi bawah maka tebal minimum
sebesar 10 cm.

2.6.9 Tebal Komponen Perkerasan


Menurut SKBI (1987) penentuan tebal perkerasan didasarkan dari
kekuatan relatif bahan dan batas tebal minimum perkerasan.
Berikut analisa untuk tebal komponen perkerasan tertera dalam Persamaan 2.13.
ITP¿ a1 D1 + a 2 D 2 + a 3 D3 Persamaan 2.13
Keterangan: ITP = Indeks Tebal Perkerasan
a 1, a 2, a 3 = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan
D 1, D2, D3 = Tebal masing-masing lapisan perkerasan (cm).

29
2.7 Penelitian Terdahulu
Pada beberapa tahun sebelumnya telah banyak dilakukan penelitian mengenai perencanaan perkerasan kaku dan perkerasan paving
block untuk digunakan sebagai perkerasan jalan sebagaimana yang tertera pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Penelitian Terdahulu
N Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Hasil Penelitian
o
a. Perencanaan tebal perkerasan kaku menggunakan metode Bina Marga 2017 didapatkan UR
40 tahun, lapis drainase 15 cm, LMC 10 cm, tebal pelat beton 30,5 cm.
Analisis Pemilihan Jenis
b. Perencanaan tebal perkerasan lentur menggunakan metode Bina Marga didapatkan UR 20
Perkerasan Jalan untuk
tahun, pondasi agregat kelas A 15 cm, CTB 15 cm, AC base 22 cm, AC BC 6 cm dan AC
Stella Tannia Perbaikan Kerusakan
WC 5 cm.
1. Daksa, Catur Arif Perkerasan Jalan di
c. Perencanaan tebal perkerasan paving block menggunakan metode modifikasi perkerasan
Prastyanto, (2019) Jalan Harun Thohir,
lentur didapatkan UR 20 tahun, sirtu kelas B 10 cm, batu pecah kelas A 20 cm, sand bedding
Kec. Gresik, Kab.
5 cm dan paving block 10 cm.
Gresik, Jawa Timur
d. Berdasarkan perbandingan 3 perkerasan yang diteliti maka diperoleh perkerasan kaku
sebagai perbaikan kerusakan jalannya.
a. Pola penataan paving block menggunakan urutan pola basketweave (tebal 6 cm), stretcher
Rachmat Analisis Bahu Jalan
(tebal 8 cm) lalu herringbone.
Mudiyono, Nadia Menggunakan
2. b. Nilai momen yang didapatkan masing-masing urutan ialah 6,2 mm, 8,3 mm dan 6,1 mm.
Salsabilla Tsani, Perkerasan Paving
c. Nilai deformasi/penurunan tanah untuk ketebalan 6 cm mencapai 14,04 mm dan ketebalan 8
(2019) Block
cm sebesar 25 mm.
a. Perancangan perkerasan concrete block menggunakan metode modifikasi perkerasan lentur
didapatkan UR 10 tahun, batu pecah kelas A 20 cm, sand bedding 3 cm, concrete block 8 cm
Patrisius Tinton Perancangan Perkerasan
3. Kefie, Arthur Concrete Block dan sehingga diperoleh tebal lapis pondasi bawah 19 cm dan 29 cm tergantung kelandaian.
Suryadharma, Estimasi Biaya b. Perhitungan estimasi biaya concrete block sepanjang 10 km dengan lebar 7,5 m mencapai Rp
17.678.840.880,00.

30
Lanjutan Tabel 2.11 Penelitian Terdahulu
N Peneliti (Tahun) Judul Penelitian Hasil Penelitian
o
Indriani Santoso,
4. Budiman Proboyo,
(2013)
Analisis Tebal a. Hasil perhitungan tebal perkerasan kaku menggunakan metode Bina Marga 2017 didapatkan
Perkerasan Kaku Pada hasil tebal pelat beton 36 cm, dilengkapi dengan dowel diameter 1,77 inch, panjang 18 inch
Jalan Tol Pasuruan- dan jarak 12 inch.
Saipudin Zohri,
Probolinggo b. Hasil perhitungan tebal perkerasan kaku menggunakan metode AASHTO 1993 didapatkan
5. Widarto Sutrisno,
Berdasarkan Metode hasil tebal pelat beton 37 cm, dilengkapi dengan dowel diameter 1,82 inch, panjang 18 inch
Agus Priyanto,
Bina Marga (Manual dan jarak 12 inch.
(2018)
Desain Perkerasan
2017) dan AASHTO
(1993)
a. Hasil perhitungan tebal perkerasan kaku menggunakan metode Bina Marga 2017 didapatkan
Muhammad Azizi
hasil tebal pelat beton 180 mm untuk jalan kolektor sekunder dan 175 mm untuk jalan lokal
Nasution, Nanda Perbandingan Tebal
6. sekunder.
Fajarriani, Perkerasan Terhadap
b. Hasil perhitungan tebal perkerasan kaku menggunakan metode Bina Marga 2003/Pd-T-14-
Muhammad Kelas Jalan
2003 didapatkan hasil tebal pelat beton 170 mm untuk jalan kolektor sekunder dan 150 mm
Idham, (2019)
untuk jalan lokal sekunder.

31
32

Anda mungkin juga menyukai