Bab 1 Kep. Jiwa
Bab 1 Kep. Jiwa
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Praktik klinik keperawatan jiwa merupakan kegiatan belajar studi kasus yang
akan memungkinkan mahasiswa memperoleh kesempatan untuk melaksanakan
praktik pada situasi sebenarnya. mahasiswa diberi kesempatan mengaplikasikan mata
ajar keperawatan jiwa yang diperoleh selama mengikuti pendidikan perkuliahan, serta
menerapkan ketrampilan berkomunikasi dan terapi modalitas keperawatan jiwa yang
telah disimulasikan di laboratorium kelas. makalah ini sebagai acuan mahasiswa
secara komprehensif dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan jiwa dari tinjauan teori dan praktik klinik, sehingga memudahkan untuk
dibaca dan dipahami. Pengetahuan dan ketrampilan yang didapat dalam makalah ini
diharapkan dapat menjadi dasar mahasiswa memasuki dunia keperawatan dan
menjadi seorang perawat professional dalam memberikan pelayanan keperawatan
jiwa pada pasien.
B. Rumusan Masalah
1
2. Apa itu rentang sehat jiwa?
3. Bagaimana kriteria sehat jiwa?
4. Apa saja prinsip keperawatan kesehatan jiwa?
5. Bagaimana perkembangan keperawatan kesehatan jiwa?
6. Bagaimana model keperawatan kesehatan jiwa?
7. Bagaimana peran perawatan kesehatan jiwa?
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kesehatan jiwa bagi manusia berarti terwujudnya keharmonisan fungsi jiwa dan
sanggup menghadapi problem, merasa bahagia dan mampu diri. Orang yang sehat jiwa
berarti mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,
masyarakat, dan lingkungan. Manusia terdiri dari bio, psiko, sosial, dan spiritual yang
saling berinteraksi satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi.
Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat kita rasakan
dan diamati keadaannya. Orang ‘gemuk’ dianggap sehat dan orang yang mempunyai
keluhan dianggap tidak sehat. Faktor subjektifitas dan kultural mempengaruhi
pemahaman dan pengertian orang terhadap konsep sehat. World Health Organization
(WHO) merumuskan sehat dalam arti kata yang luas, yaitu keadaan yang sempurna baik
fisik, mental maupun social, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat.
Kesehatan fisik telah lama menjadi perhatian manusia, tetapi jangan dilupakan bahwa
manusia adalah mahluk yang holistic, terdiri tidak hanya fisik tapi juga mental dan social
yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara kesehatan fisik dengan mental dapat
dibuktikan oleh Hall dan Goldberg tahun 1984 (Notosoedirjo, 2005), bahwa pasien yang
sakit secara fisik menunjukkan adanya gangguan mental seperti depresi, kecemasan,
sindroma otak organik, dan lain-lain. Terdapat tiga kemungkinan hubungan antara sakit
secara fisik dan mental, pertama orang yang mengalami sakit mental karena sakit
fisiknya. Karena kondisi fisik tidak sehat, sehingga tertekan dan menimbulkan gangguan
mental. Kedua, sakit fisik yang diderita itu sebenarnya gejala dari adanya gangguan
mental. Ketiga, antara gangguan mental dan fisik saling menopang, artinya orang
menderita secara fisik menimbulkan gangguan secara mental, dan gangguan mental turut
memperparah sakit fisiknya.
3
Respon adaptif Respon maladaptif
Ada berbagai pendapat tentang jiwa yang sehat, yaitu karena tidak sakit, tidak
jatuh sakit akibat stressor, sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungan,
dan mampu tumbuh berkembang secara positif (Notosoedirjo dan Latipun, 2005).
4
intensitas stressor yang diterima seseorang, sehingga sangat sulit menilai apakah
dia tahan terhadap stressor atau tidak.
3. Sehat jiwa jika sejalan dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungan
Michael dan Kirk Patrick memandang bahwa individu yang sehat jiwa
jika terbebas dari gejala psikiatris dan berfungsi optimal dalam lingkungan
sosialnya. Seseorang yang sehat jiwanya jika sesuai dengan kapsitas diri sendiri,
dan dapat hidup selaras dengan lingkungannya.
a. Seseorang yang sehat mental menurut WHO mempunyai ciri sebagai berikut:
1) Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan
2) Memperoleh kepuasan dari usahanya
3) Merasa lebih puas memberi daripada menerima
4) Saling tolong menolong dan saling memuaskan
5) Menerima kekecewaan untuk pelajaran yang akan datang
6) Mengarahkan rasa bermusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif
7) Mempunyai kasih sayang.
b. Kriteria Sehat Jiwa menurut M. Jahoda:
3) Integrasi
Keseimbangan antara ekspresi dan represi, ego yang kuat (Stress dan
koping) dan mampu menyeimbangkan konflik dan dorongan.
4) Otonomi
5
Tergantung dan mandiri seimbang, tanggung jawab terhadap diri
sendiri, menghargai otonomi oranglain, persepsi reality, mau berubah sesuai
dengan pengetahuan baru, empati dan menghargai sikap dan perasaan orang
lain.
5) Environment Mastery
Mampu untuk sukses, adaptif terhadap lingkungan, dan dapat
mengatasi kesepian, agresi dan frustasi.
2) Adequate self-evaluation
Kemampuan menilai diri sendiri yang cukup mencakup harga diri yang
memadai, memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang tidak diganggu
rasa bersalah berlebihan, dan mampu mengenal beberapa hal secara social
dan personal dapat diterima oleh masyarakat.
6
Keinginan jasmani yang cukup dan kemampuan untuk memuaskan,
yang ditandai dengan sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani,
kemampuan memperoleh kenikmatan kebahagiaan dari dunia fisik seperti
makan, tidur, pulih kembali dari kelelahan. Kehidupan seksual yang wajar
tanpa rasa takut dan konflik, kemampuan bekerja, dan tidak adanya
kebutuhan yang berlebihan.
6) Adequate self-knowledge
Mempunyai pengetahuan diri yang cukup tentag motif, keinginan,
tujuan, ambisi, hambatan, kompensasi, pembelaan, perasaan rendah diri,
dan sebagainya. Penilaian diri yang realities terhadap kelebihan dan
kekurangan diri.
7
oleh kelompok, dapat menunjukkan usaha yang mendasar yang diharapkan
oleh kelompok, seperti ambisi, ketepatan, persahabatan, rasa
tanggungjawab, kesetiaan dan sebagainya.
Keadaan sehat atau sakit jiwa dapat dinilai dari keefektifan fungsi perilaku, yaitu:
Prinsip kesehatan jiwa dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan jiwa,
serta mencegah terjadinya gangguan jiwa meliputi:
8
f. Pemahaman diri dan penerimaan diri harus ditingkatkan untuk mencapai
kesehatan dan penyesuaian jiwa.
g. Stabilitas jiwa dan penyesuaian yang baik memerlukan pengembangan terus
menerus dalam diri seseorang mengenai kebijakan moral yang tinggi meliputi
hukum, kebijaksanaan, ketabahan, keteguhan hati, penolakan diri, kerendahan
hati, dan moral.
h. Mencapai dan memelihara kesehatan jiwa tergantung pada penanaman dan
perkembangan kebiasaan yang baik.
i. Stabilitas dan penyesuaian jiwa menuntut kemampuan adaptasi, kapasitas untuk
mengubah situasi dan kepribadian.
j. Kesehatan jiwa memerlukan perjuangan yang continue untuk kematangan dalam
pemikiran, keputusan, emosionalitas, dan periaku.
k. Kesehatan jiwa memerlukan belajar mengatasi secara efektif dan sehat terhadap
konflik mental dan kegagalan serta ketegangan yang dihadapi.
2. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan lingkungannya, seperti:
a. Kesehatan dan penyesuaian jiwa tergantung pada hubungan interpersonal yang
sehat, khususnya kehidupan dalam keluarga.
b. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran tergantung pada kecukupan dan
kepuasan kerja.
c. Kesehatan dan penyesuaian jiwa memerlukan sikap yang realistic yaitu
menerima realitas tanpa distorsi dan objektif.
3. Prinsip yang didasarkan atas hubungan manusia dengan Tuhan, seperti:
a. Stabilitas jiwa memerlukan pengembangan kesadaran realitas terbesar dari
dirinya yang menjadi tempat bergantung pada setiap tindakan yang fundamental.
b. Kesehatan jiwa dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang konstan antara
manusia dan Tuhannya.
Dalam sejarah evolusi Keperawatan jiwa, kita mengenal beberapa teori dan model
keperawatan yang menjadi core keperawatan jiwa, yang terbagi dalam beberapa periode.
Pada awalnya perawatan pasien dengan gangguan jiwa tidak dilakukan oleh petugas
kesehatan (Custodial Care) (tidak oleh tenaga kesehatan). Perawatan bersifat isolasi dan
9
penjagaan. Mereka ditempatkan dalam suatu tempat khusus, yang kemudian berkembang
menjadi Primary Consistend of Custodial Care.
Baru sekitar tahun 1945-an fokus perawatan terletak pada penyakit, yaitu model
kuratif (model Curative Care). Perawatan pasien jiwa difokuskan pada pemberian
pengobatan. Baru tahun 1950 fokus perawatannya mulai befokus pada klien, anggota
keluarga tidak dianggap sebagai bagian dari tim perawatan. Obat-obat psychotropic
menggantikan Restrains dan seklusi (pemisahan). Deinstitutionalization dimulai, mereka
bukan partisipan aktif dalam perawatan dan pengobatan kesehatan mereka sendiri.
Hubungan yang terapetik mulai diterpakan dan ditekankan. Fokus utama pada preventiv
primer. Perawatan kesehatan jiwa diberikan di rumah sakit jiwa yang besar (swasta atau
pemerintah) yang biasanya terletak jauh dari daerah pemukiman padat.
Sekitar dekade berikutnya, pada saat terjadi Pergerakan Hak-Hak Sipil (The Civil
Rights) di 1960-an, penderita gangguan jiwa mulai mendapatkan hak-haknya. The
Community Mental Health Centers Act (1963) secara dramatis mempengaruhi
pemberian pelayanan kesehatan jiwa. Undang-Undang inilah yang menyebabkan fokus
dan pendanaan perawatan beralih dari rumah sakit jiwa yang besar ke pusat-pusat
kesehatan jiwa masyarakat yang mulai banyak didirikan.
Pada tahun 1970-1980, perawatan beralih dari perawatan rumah sakit jangka
panjang ke lama rawat yang lebih singkat. Fokus perawatan bergeser ke arah community
based care / service (Pengobatan berbasis komunitas). Pada tahun-tahun ini banyak
dilakukan riset dan perkembangan teknologi yang pesat. Populasi klien di rumah sakit
jiwa yang besar berkurang, sehingga banyak rumah sakit yang ditutup. Pusat-pusat
kesehatan komunitas jiwa sering tidak mampu menyediakan layanan akibat
bertambahnya jumlah klien. Tunawisma menjadi masalah bagi penderita penyakit mental
kronik persisten yang mengalami kekurangan sumber daya keluarga dan dukungan sosial
yang adekuat.
Baru pada akhir abad ke-20, biaya perawatan kesehatan yang tinggi dan kebutuhan
pembatasan biaya menjadi focus nasional. Pada saat ini sistem manajemen perawatan
mengatur hubungan antara pembayar, penyedia jasa, dan konsumen layanan kesehatan.
Sistem ini memantau distribusi pelayanan, tindakan penyedia jasa, dan hasil perawatan.
Tujuan dari sistem ini adalah mengurangi biaya sambil tetap meningkatkan mutu
pelayanan. Hubungan antara penyedia jasa dan pengguna layanan tidak lagi bersifat
10
primer. Manajer dan pihak asuransi kesehatan memantau hubungan antara penyedia jasa
dan konsumen layanan kesehatan.
Awal abad 21, fokus perawatan pada preventif atau pengobatan berbasis komunitas,
yang menggunakan berbagai pendekatan, antara lain melalui pusat kesehatan mental,
praktek, pelayanan di rumah sakit, pelayanan day care, home visite dan hospice care.
Pada saat ini banyak terjadi perubahan yang signifikan dalam perawatan kesehatan jiwa.
Managed care menghubungkan struktur dan layanan baru. Seorang manajer kasus
ditugaskan untuk mengkoordinasikan pelayanan untuk klien individu dan bekerja sama
dengan tim multidisipliner. Alat-alat manajemen klinis yang menunjukkan organisasi,
urutan dan waktu intervensi yang diberikan oleh tim perawatan untuk satu gangguan
yang teridentifikasi pada klien. Pemberian dan pemfokusan layanan pencegahan primer
(bukan hanya perawatan berbasis penyakit); mencakup identifikasi kelompok-kelompok
berisiko tinggi dan penyuluhan untuk mencegah gaya hidup guna mencegah penyakit.
Meski dalam sejarah kesehatan jiwa banyak didominasi oleh dunia barat, namun
sesungguhnya dalam dunia Islam sejarah kesehatan jiwa justru sudah dimulai sejak jauh
sebelum Barat mengenal metode penyembuhan penyakit jiwa berikut tempat
perawatannya. Pada abad ke-8 M di Kota Baghdad. Menurut Syed Ibrahim B PhD dalam
bukunya berjudul “Islamic Medicine: 1000 years ahead of its times”, mengatakan, rumah
sakit jiwa atau insane asylums telah didirikan para dokter dan psikolog Islam beberapa
abad sebelum peradaban Barat menemukannya. Hampir semua kota besar di dunia Islam
pada era keemasan telah memiliki rumah sakit jiwa. Selain di Baghdad ibu kota
Kekhalifahan Abbasiyah Insane Asylum juga terdapat di kota Fes, Maroko. Selain itu,
11
rumah sakit jiwa juga sudah berdiri di Kairo, Mesir pada tahun 800 M. Pada abad ke-13
M, kota Damaskus dan Aleppo juga telah memiliki rumah sakit jiwa.
Konsep kesehatan mental atau al-tibb al-ruhani pertama kali diperkenalkan dunia
kedokteran Islam oleh seorang dokter dari Persia bernama Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl
al-Balkhi (850-934). Dalam kitabnya berjudul Masalih al-Abdan wa al-Anfus (Makanan
untuk Tubuh dan Jiwa), al-Balkhi berhasil menghubungkan penyakit antara tubuh dan
jiwa. Ia pun sangat terkenal dengan teori yang dicetuskannya tentang kesehatan jiwa
yang berhubungan dengan tubuh. Menurut dia, gangguan atau penyakit pikiran sangat
berhubungan dengan kesehatan badan. Jika jiwa sakit, maka tubuh pun tak akan bisa
menikmati hidup dan itu bisa menimbulkan penyakit kejiwaan, tutur al-Balkhi.
Menurut al-Balkhi, badan dan jiwa bisa sehat dan bisa pula sakit. Inilah yang disebut
keseimbangan dan ketidakseimbangan. Dia menulis bahwa ketidakseimbangan dalam
tubuh dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan rasa sakit di badan. Sedangkan,
ketidakseimbangan dalam jiwa dapat mencipatakan kemarahan, kegelisahan, kesedihan,
dan gejala-gejala yang berhubungan dengan kejiwaan lainnya.
Dia juga mengungkapkan dua macam penyebab depresi. Menurut dia, depresi bisa
disebabkan alasan yang diketahui, seperti mengalami kegagalan atau kehilangan. Ini bisa
disembuhkan secara psikologis. Kedua, depresi bisa terjadi oleh alasan-alasan yang tak
diketahui, kemukinan disebabkan alasan psikologis. Tipe kedua ini bisa disembuhkan
melalui pemeriksaan ilmu kedokteran.
12
Bagaimana perkembangan keperawatan jiwa di Indonesia? Perkembangan
keperawatan jiwa di Indonesia dimulai sejak zaman dulu kala, ketika gangguan jiwa
dianggap kerasukan, sehingga para dukun berusaha mengeluarkan roh jahat. Seiring
perkembangan keperawatan jiwa di dunia, perkembangan di Indonesia pun turut
berkembang. Hal ini dimulai sejak zaman Kolonial. Sebelum ada RSJ di Indonesia,
pasien gangguan jiwa ditampung di RS Sipil atau RS Militer di Jakarta, Semarang, dan
Surabaya, yang ditampung pada umumnya penderita gangguan jiwa berat. Kemudian,
mulailah didirikan beberapa rumah sakit jiwa.
Proses terapi pada kasus ini adalah metode asosiasi bebas ( bebas melakukan
imajinasi persepsi menurut masing masing individu) dan analisis mimpi tranferen
untuk memperbaiki traumatik masa lalu.
2. Interpersonal (halusinasi)
Pada model kelainan jiwa ini seseorang biasa muncul akibat adanya ancaman
yang mana ancaman tersebut menimbulkan ansietas yang mana ansietas tersebut
timbul diakibatkan seseorang mengalami konflik saat berhubungan dengan orang
lain (interpersonal).
13
Prinsip terapinya adalah pentingnya modifikasi lingkungan dan adanya
dukungan sosial, peran perawat adalah menggali sistem sosial klien seperti
suasana dirumah kantor, sekolah dan masyarakat.
4. Eksistensi (HDR)
Menurut model ini gangguan jiwa terjadi bila individu gagal menemukan jati
dirinya dan tujuan hidupnya yang menyebabkan individu tersebut tidak memiliki
kebanggaan terhadap jiwa.
Penyebab gangguan pada konsep ini adalah faktor biopsikososial dan respon
maladaptif saat ini muncul akan berakumulasi menjadi satu.
6. Medikal
Perawatan jiwa memiliki peran dalam tingkat pelayanan kesehatan jiwa yaitu:
14
b. Mengefektifkan perubahan dalam kondisi kehidupan, tingkat kemiskinan, dan
pendidikan
c. Memberikan pendidikan kesehatan
d. Melakukan rujukan yang sesuai sebelum gangguan jiwa terjadi
2. Peran dalam prevensi sekunder
a. Melakukan skrining dan pelayanan evaluasi kesehatan jiwa
b. Melaksanakan kunjungan rumah atau pelayanan penanganan dirumah
c. Memberikan pelayanan kedaruratan psikiatri di RSU
d. Menciptakan lingkungan klien yang mendapatkan pengobatan
e. Memberikan pelayanan pencegahan bunuh diri.
f. Memberikan konsultasi
g. Melaksanakan intervensi krisis
h. Memberikan psikoterapi individu, keluarga dan kelompok pada berbagai tingkat
usia.
i. Memberikan intervensi pada komunitas dan organisasi yang telah teridentifikasi
masalah yang dialaminya
3. Peran dalam prevensi tersier
a. Melaksanakan latihan vokasional dan rehabilitasi
b. Mengorganisasi “after care” untuk klien yang telah pulang dari fasilitas
kesehatan jiwa untuk memudahkan transisi dari rumah sakit komunitas
c. Memberikan edukasi manajemen stres dan meningkatkan koping yang adaptif
d. Penguatan (reinforcemen) pada kekuatan klien dan keluarga
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesehatan jiwa bagi manusia berarti terwujudnya keharmonisan fungsi jiwa dan
sanggup menghadapi problem, merasa bahagia dan mampu diri. Orang yang sehat jiwa
berarti mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,
masyarakat, dan lingkungan. Manusia terdiri dari bio, psiko, sosial, dan spiritual yang
saling berinteraksi satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi.
Ada berbagai pendapat tentang jiwa yang sehat, yaitu karena tidak sakit, tidak
jatuh sakit akibat stressor, sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungan,
dan mampu tumbuh berkembang secara positif (Notosoedirjo dan Latipun, 2005).
Dalam sejarah evolusi Keperawatan jiwa, kita mengenal beberapa teori dan model
keperawatan yang menjadi care keperawatan jiwa, yang terbagi dalam beberapa periode.
Pada awalnya perawatan pasien dengan gangguan jiwa tidak dilakukan oleh petugas
kesehatan (Custodial Care) (tidak oleh tenaga kesehatan). Perawatan bersifat isolasi dan
penjagaan. Mereka ditempatkan dalam suatu tempat khusus, yang kemudian berkembang
menjadi Primary Consistend of Custodial Care.
1. Perawatan jiwa memiliki peran dalam tingkat pelayanan kesehatan jiwa yaitu:
a. Peran dalam prevensi premier
b. Peran dalam prevensi sekunder
c. Peran dalam prevensi tersier
16
B. Saran
Penulis menyadari bahwa masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan teliti dalam menjelaskan materi diatas dengan sumber sumber yang lebih
banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Wati Farida, Kusuma dan Yudi Hartono. 2013. Buku Ajar Keperawatn Jiwa. Jakarta.
Selemba Medika.
Nasir, Abdul. 2011. Dasar Dasar Keperawatan Jiwa . Jakarta Selemba Medika.
Dermawan. 2013. Keperawatan Jiwa. Konsep Dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan
Jiwa. Yogyakarta. Gusyan .
17