Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPOSPADIA
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)

Disusun Oleh:
Nurul Kirana Dicelebica
NIM. I4051231036

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2023
LAPORAN PENDAHULUAN

HIPOSPADIA

Nama Mahasiswa : Nurul Kirana Dicelebica


NIM : I4051231036
Tgl Praktek : 18-22 September 2023
Judul Kasus : Hipospadia
Ruangan : Bedah/OK IBS RSUD dr. Soedarso Pontianak

A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Hipospadia adalah malformasi kongenital anatomi genitalia eksterna laki-laki
yang ditandai dengan perkembangan abnormal dari saluran uretra dan kulup ventral
penis yang menyebabkan posisi meatus uretra tidak normal. Hipospadia merupakan
kelainan kongenital tersering kedua pada anak laki-laki setelah kriptokismus
(Kusumaningsih et al., 2023).
Menurut Giannantoni (2011) kelainan kongenital adalah kelainan bawaan
yang disebabkan oleh adanya kegagalan dalam proses pembentukan organ saat fase
organogenesis di trimester pertama. Hipospadia merupakan salah satu kelainan
bawaan sejak lahir pada alat genetalia laki-laki. Kata Hipospadia berasal dari bahasa
Yunani yaitu Hypo, yang berarti dibawah, dan Spadon, yang berarti lubang
(Vikaningrum, 2020).
Hipospadia merupakan sebagai kelainan pada bayi laki-laki yang baru lahir
dimana muara meatus uretra terletak pada permukaan ventral penis dan lebih
proksimal dibandingan lokasi meatus yang normal, dan 16 % penderita hipospadia
juga ditemukan kriptorkismus. Hipospadia didefinisikan juga oleh Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, hipospadia adalah kelainan
bawaan di mana lubang pembukaan uretra tidak berada di ujung penis. Uretra adalah
saluran kemih untuk mengalirkan urine dari kandung kemih keluar tubuh. Pada
pengidap hipospadia, uretra terbentuk secara tidak normal selama minggu kedelapan
sampai ke-14 kehamilan (Maabuat & DeQueljoe, 2021).
Dapat disimpulkan bahwa hipospadia adalah suatu kelainan pada penis anak
laki-laki yaitu bawaan lahir yang ditandai dengan kulup tidak menutupi sampai
bagian bawah penis, lubang saluran kencingnya tidak berada di ujung penis tetapi
berada di bagian bawah batang penis dan terdapat klasifikasinya. Terjadi akibat
terganggunya pembentukan saat pertumbuhan janin.

2. Etiologi
Penyebab hipospadia sangat bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor, namun
belum ditemukan penyebab pasti dari kelainan ini. Beberapa kemungkinan
dikemukakan oleh para peneliti mengenai etiologi hipospadia yaitu semakin berat
derajat hipospadia, semakin besar terdapat kelainan yang mendasari. Faktor risiko
yang mempengaruhi terjadinya hipospadia yaitu (Khasanah, 2022):
a. Faktor Genetik dan Embrional
Genetik merupakan faktor risiko yang diduga kuat mempengaruhi proses
terjadinya hipospadia. Penelitian menyebutkan bahwa anak laki-laki yang
memiliki saudara yang mengalami hipospadia beresiko 13,4 kali lebih besar
mengalami hipospadia, sedangkan anak yang memiliki ayah dengan riwayat
hipospadia beresiko 10,4 kali mengalami hal yang sama. Selama masa
embrional, kegagalan dalam pembentukan genital folds dan penyatuanya diatas
sinus urogenital juga dapat menyebabkan terjadinya hipospadia. Biasanya
semakin berat derajat hipospadia ini, semakin besar terdapat kelainan yang
mendasari. Kelainan kromosom dan ambigu genitalia seperti hermafrodit
maupun pseudohermafrodit merupakan kelainan yang kerap kali ditemukan
bersamaan dengan hipospadia.
b. Faktor hormonal
Perkembangan genitalia pada laki laki merupakan proses yang kompleks dan
melibatkan berbagai gen serta interaksi hormon yang ada pada ibu hamil. Proses
pembentukan saluran uretra ini terjadi pada minggu ke-6 trimester pertama dan
bersifat androgendependent, sehingga ketidak normalan metabolisme androgen
seperti defisiensi reseptor androgen di penis, kegagalan konversi dari testosteron
ke dihidrotestoteron, serta penurunan ikatan antara dihidrostestoteron dengan
reseptor androgen mungkin dapat menyebabkan terjadinya hipospadia.
c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan dicurigai sebagai salah satu faktor penyebab hipospadia
seperti terdapat paparan estrogen atau progestin pada ibu hamil di awal
kehamilan, paparan estrogen tersebut biasanya terdapat pada pestisida yang
menempel pada buah, sayuran, tanaman, dan obat obatan yang dikonsumsi oleh
ibu hamil. Pada ibu hamil yang mengkonsumsi obat-obatan anti epilepsi seperti
asam valporat juga diduga meningkatkan resiko hipospadia tetapi untuk pil
kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen dan progestin diketahui tidak
menyebabkan hipospadia.
d. Faktor Lainnya
Pada anak laki-laki yang lahir dengan program Intra-cystolasmic sperm
Injection (ICSI) atau In Vitro Fertilization (IVF) memiliki insiden yang tinggi
pada hipospadia. Selain itu faktor ibu yang hamil dengan usia terlalu muda atau
terlalu tua juga sangat berpengaruh, diketahui bayi yang lahir dari ibu yang
berusia >35 tahun beresiko mengalami hipospadia berat. Kelahiran prematur
serta berat bayi lahir rendah, bayi kembar juga sering dikaitkan dengan kejadian
hipospadia.

Adapun klasifikasi hipospadia berdasarkan letak lubang uretra sebagai berikut


(Pratiwi, 2021):

a. Hipospadia glandular bila lubang uretra terletak di dekat ujung penis atau kepala
penis
b. Hipospadia subcoronal bila lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau
pada pangkal penis
c. Hipospadia penoscrotal bila dan lubang uretra terletak pada skrotum (kantung
zakar) atau di bawah skrotum.

3. Patofisiologi
Peristiwa patofisiologi utama perkembangan hipospadia adalah penutupan
uretra yang anomali atau sebagian pada minggu-minggu pertama perkembangan
embrio. Perkembangan genitalia eksterna terjadi dalam dua fase. Fase pertama, yang
terjadi antara minggu kelima dan kedelapan kehamilan, ditandai dengan
terbentuknya alat kelamin primordial tanpa adanya rangsangan hormonal. Pada fase
ini, lipatan kloaka terbentuk dari sel mesodermal yang sejajar secara lateral dengan
membran kloaka. Lipatan ini menyatu di bagian anterior dan membentuk struktur
yang disebut tuberkel genital (GT), dan di bagian posterior terpecah menjadi
lipatan urogenital
yang mengelilingi sinus urogenital dan lipatan anus. GT memiliki tiga lapisan sel:
mesoderm lempeng lateral, ektoderm permukaan muka, dan epitel uretra
endodermal. Yang terakhir ini adalah pusat sinyal utama untuk pengembangan,
diferensiasi, dan pertumbuhan GT (Donaire & Mendez, 2023).
Fase kedua, yaitu tahap bergantung pada hormon, diawali dengan diferensiasi
gonad menjadi testis pada pria dengan kromosom XY. Testosteron yang disintesis di
testis memiliki dua fungsi yang sangat penting: pemanjangan GT dan munculnya
alur uretra. Bagian distal alur uretra, yang disebut lempeng uretra, dibatasi secara
lateral oleh lipatan uretra dan menyebar ke glans penis. Uretra akhirnya terbentuk
setelah lipatan uretra menyatu, dan kulit penis terbentuk dari lapisan terluar sel
ektodermal, yang menyatu ke bagian ventral lingga dan membentuk raphe median.
Gangguan atau perubahan genetik apa pun pada jalur sinyal pada
perkembangan alat kelamin luar pria dan pertumbuhan uretra dapat menyebabkan
malformasi berbeda yang mencakup hipospadia, chordee (kelengkungan penis yang
tidak normal), atau pembentukan kulup penis yang tidak normal.
Pathway Hipospadia

Embriologi Lingkungan
Genetik Hormonal

Mingguke-2terbentuk Konsumsi sayur danTerpapar zat polutan yang bersifat


Mutasitetragonik
gen Tidak ada
lapisan ectoderm dan buah yang mengandung pestisida yang mengkode sintesis hormone
endoderm sintesis

Dipisahkan oleh lekukan di tengah Penurun


yaitu mesoderm yang kemudian Androgen an
bermigrasi ke perifer bagian kaudal tidak
membentuk memberan kloaka Penghentian diri perkembangan sel-sel penghasil androg
Mutasi Diferensiasi uretra pada penis tidak terbentuk secara sempurna

Perkembangan terjadinya fusi darigaris tengah lipatan uretra tidak lengkap


Pada minggu
ke-6 terbentuk Testosteron tidak dapat diubah menjadi dihidrotestoster

Di bagian tengah bawah


terdapat lekukan dimana sisi
lateralnya ada 2 lipatan Gangguan pembentukan tuberkel genital

Tuberkel genital membentuk lipatan uretra di bagian anterior, skrotum menonjoldan bergerak ke kaudal
Minggu ke-7 genital tuberkel
membentuk glans : laki-laki =
penis, perempuan = klitoris

Genital fold membentuk


sisi- sisi dari sinus

Genital fols gagal HIPOSPADIA EPISPADIA Terbentuknya fistula uretokutan


bersatu di atas sinus MK. Risiko Infeksi

Chordee
Risiko komplikasi ke struktur uretra
Urine tidak memancar secara sempurna

Urine merembes ke perianal Keluaran urine tidak lancar

Penatalaksanaan Penatalaksanaan

Insisi di area sekitar MK. Gangguan Eliminasi Ur


Post Operasi Chordectomy dan uretroplasty
Pre Operasi
MK. Gangguan Integritas Kulit/Jaringan
g tua mengenai kondisi, prognosis penyakit dan prosedur pembedahan
Terputusnya
Hospitalisasi kontinuitas

Merangsang syaraf nyeri di radix dorsal medulla spinal


MK.
Gangguan Pola Tidur
MK. Ansietas

MK. Nyeri Akut

Sumber: (Khasanah, 2022)


4. Manifestasi Klinis
Menurut Departement of Urology (2016) gambaran klinis pada hipospadia
bervariasi sesuai dengan derajat kelainan, seperti (Universitas Airlangga, 2021):
a. Kesulitan atau ketidakmampuan berkemih secara posisi berdiri.
b. Chordee (melengkungnya penis) dapat menyertai hipospadia.
c. Hernia inguinalis atau testis tidak turun dapat menyertai hipospadia.
d. Lokasi meatus urin yang tidak tepat dapat terlihat pada saat lahir.
e. Kulit luar bagian ventral lebih tipis bahkan bisa tidak ada, kulit luar di bagian
dorsal ini biasanya akan menebal dan terkadang membentuk seperti tudung.
f. Keluhan utama pada klien hipospadia ditimbulkan adanya pancaran urin yang
melemah ketika berkemih, nyeri saat ereksi dan gangguan saat berhubungan
seksual
Manifestasi klinis atau gejala yang timbul dari hipospadia bervariasi sesuai
dengan adanya kelainan dan gejala yang sering muncul pada penyakit hipospadia
antara lain (Khasanah, 2022):
a. Tidak terdapat preposium ventral sehingga prepesium dorsal menjadi berlebihan
(dorsal hood).
b. Sering disertai dengan chordee atau penis melengkung ke arah bawah.
c. Lubang kencing terletak dibagian bawah dari penis.
Gejala yang timbul bervariasi sesuai dengan derajat kalainan. Secara umum
jarang ditemukan adanya gangguan fungsi, namun cenderung berkaitan dengan
masalah kosmetik karena letak muara uretra pada bagian ventral penis. Biasanya
juga ditemukan kulit luar bagian ventral lebih tipis atau bahkan tidak ada, dimana
kulit luar di bagian dorsal menebal. Pada hipospadia sering ditemukan adanya
chordee.
Chordee adalah adanya pembengkokan menuju arah ventral dari penis. Hal ini
disebabkan oleh karena adanya atrofi dari corpus spongiosum, fibrosis dari tunica
albuginea dan facia di atas tunica, pengencangan kulit ventral dan fasia buck,
perlengketan antara uretra plate ke corpus cavernosa. Keluhan yang mungkin
ditimbulkan adalah adanya pancaran urin yang lemah ketika berkemih, nyeri ketika
ereksi, dan gangguan dalam berhubungan seksual. Hipospadia sangat sering
ditemukan bersamaan dengan cryptorchismus dan hernia inguinalis sehingga
pemeriksaan adanya testis tidak boleh terlewatkan.
5. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang disarankan untuk penegakkan pasti
diagnosis Hipospadia. Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ginjal seperti USG
mengingat hipospadia sering disertai kelainan pada ginjal. USG Ginjal disarankan
untuk mengetahui adanya anomaly lainnya pada saluran kemih pada pasien
hipospadia. Karyotyping disarankan pada pasien dengan ambigu genetalia ataupun
cryptochirdism. Beberapa test seperti elektrolit, hydroxyprogesterone, testosterone,
luteinizing hormone, follicle-stimulating hormone, sex hormone binding globulin,
dan beberapa tes genetik dipertimbangkan apabila memungkinkan. Ultrasound
perinatal untuk mendeteksi agenesis ginjal. Segera setelah lahir, Scan Computerized
Axial Tomography (CAT) atau ultrasound ginjal digunakan untuk mendiagnosis
kelainan. Uretroskopi dan sitoskopi membantu dalam mengevaluasi perkembangan
reproduksi internal. Urografi untuk mendeteksi kelainan kongenital lain pada ureter
dan ginjal (Vikaningrum, 2020).

6. Penatalaksanaan
Intervensi bedah direkomendasikan untuk bentuk hipospadia sedang dan berat,
serta hipospadia distal dengan derajat kurvatura penis yang berat dan stenosis
meatal. Pada hipospadia distal sederhana, koreksi kosmetik hanya dilakukan setelah
diskusi menyeluruh mengenai aspek psikologis dan harapan tampilan kosmetik yang
lebih baik (Sigumonrong et al., 2016).
Penatalaksanaan satu-satunya untuk hipospadia adalah dengan operasi. Tujuan
dari prosedur ini secara ringkas ada 5, yaitu: untuk mendapatkan bentuk penis yang
lurus, memposisikan muara uretra di ujung penis, menormalkan kembali fungsi
ejakulasi dan berkemih, membuat uretra yang adekuat dengan kaliber yang sama
serta bentuk kosmetik dari penis dan glans penis yang simetris. Di mana langkah-
langkah prosedurnya dapat disusun sebagai berikut (Nuraini, 2019):
a. Chordectomy – Orthoplasty (meluruskan penis)
b. Urethroplasty (membuat urethra baru yang sesuai dengan lokasi seharusnya)
c. Meathoplasty dan Glanuloplasty (pembentukan glans penis kembali)
d. Scrotoplasty
e. Skin coverage
f. MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty Incorporated): teknik MAGPI
ini dapat digunakan untuk pasien dengan hipospadia glanular dan subcoronal.
Pada teknik MAGPI dilakukan sayatan keliling subcoronal sekitar dari
proksimal ke meatus uretra (Universitas Airlangga, 2021).
g. TIP (Tubularized Incised Plate): Tubularized Incised Plate (TIP) adalah teknik
modifikasi yang ditemukan oleh Snodgrass. Teknik ini biasanya dipakai untuk
mengkoreksi hipospadia yang muara uretranya ada di midshaft, atau shaft penis
yang letaknya di distal. Prinsip dasar teknik ini adalah membuat insisi garis
tengah sampai ke urethral plate yang disesuaikan sehingga bidang yang
dihasilkan dapat dibuat suatu neourethra.
h. Onlay Island Flap: Teknik onlay island flap berevolusi dari transverse preputial
island flap yang dapat dilakukan dengan diseksi jaringan subkutan kulit penis
dan plikasi garis tengah pada bagian dorsal.
Tujuan dari penatalaksanaan hipospadia adalah membuat urine mengalir
keluar melalui ujung depan penis, membuat penis tidak membengkok ketika ereksi,
dan membuat penis terlihat senormal mungkin. Jika lubang uretra terletak sangat
dekat dari lokasi yang seharusnya dan bentuk penis tidak melengkung, penanganan
medis secara khusus kemungkinan tidak diperlukan. Tetapi jika lubang uretra berada
jauh dari lokasi yang seharusnya, operasi pemindahan uretra perlu dilakukan
(Pratiwi, 2021). Membuat penis tegak lurus kembali sehingga dapat digunakan
untuk berhubungan seksual, reposisi muara urethra ke ujung penis agar
memungkinkan anak berkemih dengan berdiri, membuat neourethra yang adekuat
dan lurus, merekonstruksi penis menjadi terlihat normal dan menurunkan resiko
terjadinya komplikasi seminimal mungkin (Sabila, 2022).

7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pasca operasi hipospadia secara garis besar
dibagi menjadi dua (Nuraini, 2019):
a. Komplikasi Segera/Awal
Komplikasi ini dapat terjadi segera setelah operasi atau beberapa hari kemudian.
Yang termasuk dalam komplikasi segera diantaranya adalah: iskemia jaringan,
perdarahan dan hematoma, infeksi luka operasi dan terbukanya luka operasi
(wound dehiscence), nekrosis kulit, infeksi saluran kemih dan retensi urin.
Pencegahan untuk terjadinya komplikasi ini adalah dengan penanganan jaringan
yang hati- hati saat operasi dengan memperhitungkan pasokan darah untuk flap
yang dibuat. Apabila komplikasi ini muncul biasanya penanganannya secara
konservatif, bila tidak membaik mungkin diperlukan operasi berikutnya untuk
debridement luka atau bila perlu dilakukan revisi.
b. Komplikasi Lanjutan
Komplikasi ini muncul dalam hitungan hari, bulan bahkan tahun. Yang
termasuk dalam komplikasi lambat ini adalah (Nuraini, 2019):
1) Urethrocutaneus fistula yang dimana komplikasi yang paling sering terjadi.
Komplikasi ini dapat terjadi oleh berbagai macam sebab diantaranya karena
edema yang mengganggu suplai darah, adanya infeksi dan hematoma yang
mengganggu penyembuhan luka pada uretra baru, adanya obstruksi di distal
sehingga menyebabkan tekanan yang tinggi saat kencing yang
mengakibatkan lepasnya jahitan di bagian proksimal. Penanganannya
tergantung pada ukuran dan letak fistulanya. Bila fistulanya kecil biasanya
dapat menutup sendiri, namun bila ukurannya besar kemungkinan akan
membutuhkan tindakan operasi untuk menutupnya.
2) Striktur uretra yang umumnya striktur ini terjadi pada tempat anastomose
jahitan seperti di meatus, kamudian di akhir penutupan glans, ataupun juga
pada bagian proksimal jahitan uretra baru. Striktur ini biasanya nampak
jelas kurang dari 3 bulan setelah operasi yang ditandai dengan lemahnya
pancaran urin, anak harus mengedan saat kencing, pancaran urin yang
menyebar atau adanya infeksi pada traktus urinarius. Keluhan ini apabila
masih ringan seringkali tidak terlalu diperhatikan dan sering terlewatkan.
Bila terus dibiarkan dapat menimbulkan komplikasi yang lebih serius
seperti pyelonefritis bahkan gagal ginjal. Penyebab terjadinya striktur
diantaranya adalah desain uretra baru yang kurang baik, jahitan yang terlalu
tegang, spatulasi pada lokasi anastomosis yang kurang adekuat.
Penatalaksanaannya dapat dengan konservatif yaitu dengan dilatasi atau
endoskopi, bila tidak berhasil atau apabila strikturnya panjang maka perlu
dilakukan revisi Urethroplasty.
c. Komplikasi lainnya yang mungkin terjadi adalah divertikulum uretra, persisten
chordee, komplikasi mental dan komplikasi lain dalam uretra serta masalah
psikiatri.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pada klien dengan hipospadia setelah tindakan post operasi pengkajian yang
penting dilakukan yaitu mengkaji adanya pembengkakan atau tidak, adanya
perdarahan, dan dysuria. Adapun pengkajian yang dapat dilakukan pada penderita
hipospadia sebagai berikut (Khasanah, 2022):
a. Identitas
Nama : sesuai nama klien
Nomor rekam medis
Umur : sering terjadi pada bayi
Jenis kelamin : laki-laki
Pendidikan : mulai dari pendidikan rendah hingga tinggi
Pekerjaan : berpotensi pada semua jenis pekerjaan
Diagnosa medis : Hipospadia
b. Keluhan Utama
Biasanya orang tua klien mengeluh dengan kondisi anaknya karena penis yang
tidak sesuai dengan anatomis penis biasa karena melengkung kebawah dan
terdapat lubang kencing yang tidak pada tempatnya.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien dengan hipospadia ditemukan adanya lubang kencing yang tidak
pada tempatnya sejak lahir dan belum diketahui dengan pasti penyebabnya.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat ketidakseimbangan hormon dan faktor lingkungan yang
mempengaruhi kehamilan ibu, seperti terpapar dengan zat atau polutan
yang bersifat tertogenik yang menyebabkan terjadinya mutasi gen yang
dapat menyebabkan pembentukan penis yang tidak sempurna.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Terdapat riwayat keturunan atau genetik dari orang tua atau saudara
kandung dari klien yang pernah mengalami hipospadia.
d. Kesehatan Fungsional
1) Pola Nutrisi
Klien dengan hipospadia biasanya tidak terjadi gangguan nutrisi
2) Pola Reproduksi dan Seksualitas
Klien dengan hipospadia biasanya mengalami masalah dalam hal
berhubungan jika tidak menjalani prosedur operasi untuk memperbaiki
uretra yang tidak berkembang.
3) Pola Aktivitas atau Latihan
Pada umunya klien dengan hipospadia tidak memiliki gangguan aktivitas.
4) Pola Istirahat
Pada klien biasanya tidak memiliki gangguan pola tidur kecuali saat dirawat
dirumah sakit
5) Keyakinan dan Nilai
Klien biasanya tidak mengetahui penyakit yang dialami karena kurangnya
pemahaman klien terkait penyakit hipospadia dan pada umumnya
pemeliharaan kesehatan klien tidak ada masalah.
6) Keyakinan dan nilai
Klien hipospadia dapat memeluk agama sesuai keyakinannya masing-
masing.
7) Pola Toleransi
Tidak ada masalah toleransi pada klien degan hipospadia.
8) Pola Hubungan Peran
Klien biasanya tidak memiliki masalah hubungan dengan orang lain.
9) Kognitif dan Persepsi
Klien dengan hipospadia kebanyakan tidak memiliki masalah pada
memorinya.
10) Persepsi diri dan Konsep diri
Klien biasanya tidak percaya diri dengan kelainan yang dialaminya.
11) Pola Eliminasi
Pada saat buang air kecil, pada klien hipospadia mengalami kesulitan
karena penis yang bengkok mengakibatkan pancaran urin mengarah kearah
bawah dan menetes melalui batang penis.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Penis
Glans apakah berlubang atau tidak, jika berlubang apakah kecil, besar, atau
tidak diketahui. Bentuknya apakah normal, menyempit, terbelah atau tidak
diketahui. Ukuran meatus apakah kecil, normal, besar atau tidak diketahui
dan posisinya apakah normal, glans, dis.shaft, mid.S, prox.S, scrotal atau
perineal. Ukuran phallus apakah kecil, normal, besar atau tidak diketahui.
Urethral plate nya apakah sempit atau lebar. Chordee nya apakah ringan,
sedang atau berat (Sigumonrong et al., 2016).
2) Testis
Undesensus testis (UDT) nya apakah di kiri, kanan, bilateral, normal atau
tidak diketahui serta ukurannya apakah kiri kecil, kanan kecil, bil kecil,
normal atau tidak diketahui (Sigumonrong et al., 2016).

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut SDKI (2017) adalah :
Diagnosa Pre Operatif (Gunawan, 2021):
a. Ansietas (D.0080) berhubungan dengan kurang terpapar informasi
Diagnosa Intra Operatif (Nuraini, 2019):
a. Risiko perdarahan (D.0012) berhubungan dengan tindakan pembedahan
b. Risiko hipotermi (D.0131) berhubungan dengan terpapar suhu lingkungan rendah
Diagnosa Post Operatif (Khasanah, 2022):
a. Nyeri akut (D.0077) berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)
b. Gangguan integritas kulit/jaringan (D.0192) berhubungan dengan perubahan
sirkulasi
c. Risiko infeksi (D.0142) berhubungan dengan efek prosedur invasif
3. Intervensi
Intervensi dan luaran keperawatan yang dapat dilakukan untuk beberapa diagnosa diatas menurut SIKI (2018) dan SLKI (2018)
sebagai berikut:
No Diagnosa Keperawatan (SDKI) Luaran Keperawatan (SLKI) Intervensi Keperawatan (SIKI)
1. Ansietas (D.0080) berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Reduksi Ansietas (I.09134)
dengan kurang terpapar informasi selama …x24 jam diharapkan tingkat Observasi
(Pre Op) ansietas menurun dengan kriteria - Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
hasil: Tingkat Ansietas (L.09093) (mis. Kondisi, waktu, stressor)
- Verbalisasi kebingungan menurun - Identifikasi kemampuan mengambil
- Verbalisasi khawatir akibat keputusan
kondisi yang dihadapi menurun - Monitor tanda ansietas (verbal dan non
- Perilaku gelisah menurun verbal)
- Perilaku tegang menurun Terapeutik
- Pola tidur membaik - Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan
- Pahami situasi yang membuat ansietas
- Motivasi mengidentifikasi situasi yang
memicu kecemasan
Edukasi
- Informasikan secara faktual mengenai
diagnosis, pengobatan, dan prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien, jika perlu
- Latih kegiatan pengalihan, untuk
mengurangi ketegangan
- Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat anti ansietas,
jika perlu
2. Risiko perdarahan (D.0012) Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pemantauan Cairan (I.02056)
berhubungan dengan tindakan selama …x24 jam diharapkan tingkat Observasi
pembedahan (Intra Op) perdarahan menurun dengan kriteria - Monitor tanda dan gejala perdarahan
hasil: - Identifikasi faktor risiko
Tingkat Perdarahan (L.02017) ketidakseimbangan cairan (mis. prosedur
- Perdarahan pasca operasi pembedahan)
menurun Terapeutik
- Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan intravena
sesuai kebutuhan
3. Risiko hipotermi (D.0131) Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Hipotermia (I.14507)
berhubungan dengan terpapar selama …x24 jam diharapkan Observasi
suhu lingkungan rendah (Intra termoregulasi membaik dengan - Monitor suhu tubuh
Op) kriteria hasil: - Monitor tanda dan gejala akibat hipotermia
Termoregulasi (L.14134) (hipotermia ringan: takipnea, disartria,
- Menggigil menurun menggigil, hipertensi, diuresis; hipotermia
- Suhu tubuh membaik sedang: aritmia, hipotensi, apatis,
- Suhu kulit membaik koagulopati, refleks menurun; hipotermia
berat: oliguria, refleks menghilang, edema
paru, asam basa abnormal)
Terapeutik
- Lakukan penghangatan pasif (mis. selimut,
menutup kepala, pakaian tebal)
4. Nyeri akut (D.0077) berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri (I.08238)
dengan agen pencedera fisik selama …x24 jam diharapkan tingkat Observasi
(prosedur operasi) (Post Op) nyeri menurun dengan kriteria hasil: - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Tingkat Nyeri (L.04034) frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Keluhan nyeri menurun - Identifikasi skala nyeri
- Meringis menurun - Identifikasi faktor yang memperberat dan
- Gelisah menurun memperingan nyeri
- Kesulitan tidur menurun - Monitor efek samping penggunaan
- Frekuensi nadi membaik analgetik
Terapeutik
- Kontrol lingkungan (suhu, cahaya,
kebisingan)
Edukasi
- Ajarkan teknik nonfarmakologis (relaksasi
napas dalam) untuk menguangi nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgesik (jika perlu)
5. Gangguan integritas kulit/jaringan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Perawatan Integritas Kulit (I.11353)
(D.0192) berhubungan dengan selama …x24 jam diharapkan Observasi
perubahan sirkulasi (Post Op) integritas kulit dan jaringan meningkat - Identifikasi penyebab gangguan integritas
dengan kriteria hasil: kulit (mis. Perubahan sirkulasi, perubahan
Integritas Kulit dan Jaringan status nutrisi, penurunan kelemababan,
(L.14125) suhu lingkungan ekstrem, penurunan
- Perfusi jaringan meningkat mobilitas
- Kerusakan jaringan menurun Terapeutik
- Kerusakan lapisan kulit menurun - Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
- Nyeri menurun - Hindari produk berbahan dasar alkohol
- Perdarahan menurun pada kulit kering
Edukasi
- Anjurkan minum air yang cukup
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
6. Risiko infeksi (D.0142) Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pencegahan Infeksi (I.14539)
berhubungan dengan efek selama …x24 jam diharapkan tingkat Observasi
prosedur invasif (Post Op) infeksi menurun dengan kriteria hasil: - Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
Tingkat Infeksi (L.14137) sistemik
- Demam menurun Terapeutik
- Kemerahan menurun - Berikan perawatan kulit pada area edema
- Nyeri menurun - Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
- Bengkak menurun dengan pasien dan lingkungan pasien
- Kadar sel darah putih membaik
- Pertahankan teknik aseptik pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi
- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
- Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
luka operasi
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian imunisasi (jika perlu)
4. Evaluasi secara teoritis
Evaluasi atau tahap penilaian adalah perbandingan sistematis dan terencana
tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
bersambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatannya. Tujuan
evaluasi ini adalah untuk melihat kemampuan klien mencapai tujuan yang
diinginkan dengan kriteria hasil pada perencanaan. Format yang dipakai adalah
format SOAP (Wahyuni, 2016):
a) Subjektif (S): Data Subjektif yaitu perkembangan keadaan yang didasarkan
pada apa yang dirasakan, dikeluhkan, dan dikemukakan klien.
b) Objektif (O): Data Objektif yaitu perkembangan yang bisa diamati dan diukur
oleh perawat atau tim kesehatan lain.
c) Analisa (A): yaitu penilaian dari kedua jenis data (baik subjektif maupun
objektif) apakah berkembang ke arah kebaikan atau kemunduran
d) Perencanaan (P): yaitu rencana penanganan klien yang didasarkan pada hasil
analisis diatas yang berisi melanjutkan perencanaan sebelumnya apabila
keadaan atau masalah belum teratasi.

C. Konsep Keperawatan Perioperatif


1. Keperawatan Perioperatif
Keperawatan perioperatif adalah merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman
pembedahan pasien. Istilah perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang
mencakup tiga tahap dalam suatu proses pembedahan yaitu tahap pra operasi, tahap
intra operasi dan pasca operasi. Masing-masing tahap mencakup aktivitas atau
intervensi keperawatan dan dukungan dari tim kesehatan lain sebagai satu tim dalam
pelayanan pembedahan (Susanti, 2022).
Perioperatif merupakan suatu tahapan pembedahan yang bermula dari tahap
praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif. Pembedahan identik dengan suatu teknik
atau prosedur bedah yang dilakukan pada pasien di meja operasi. Namun pada
keperawatan perioperatif, fokus pelayanan adalah pasien bukan lagi tentang tindakan
atau prosedur bedahnya. Pada keperawatan perioperatif inilah peran perawat
sangatlah penting dalam melakukan asuhan keperawatan perioperatif yang
berorientasi pada
respon pasien secara fisik, psikologi, spiritual dan sosial budaya (Ekaputri et al.,
2022).

2. Klasifikasi Perioperatif
Menurut urgensi maka tindakan operasi dapat diklasifikasikan menjadi lima
tingkatan, yaitu (Susanti, 2022):
a. Kedaruratan/Emergency
Pasien membutuhkan perhatian segera, gangguan mungkin mengancam jiwa.
Indikasi dilakukan operasi tanpa di tunda. Contoh: perdarahan hebat, obstruksi
kandung kemih atau usus, fraktur tulang tengkorak, luka tembak atau tusuk,
luka bakar sangat luas.
b. Urgent
Pasien membutuhkan perhatian segera. Operasi dapat dilakukan dalam 24-30
jam. Contoh: infeksi kandung kemih akut, batu ginjal atau batu pada uretra.
c. Diperlukan, pasien harus menjalani operasi
Operasi dapat direncanakan dalam beberapa minggu atau bulan. Contoh:
Hiperplasia prostat tanpaobstruksi kandung kemih, gangguan tiroid dan katarak,
dan Pull Through.
d. Elektif
Pasien harus dioperasi ketika diperlukan. Indikasi operasi, bila tidak dilakukan
operasi maka tidak terlalu membahayakan. Contoh: perbaikan Scar, hernia
sederhana dan perbaikan vaginal.
e. Pilihan
Keputusan tentang dilakukan operasi diserahkan sepenuhnya pada pasien.
Indikasi operasi merupakan pilihan pribadi dan biasanya terkait dengan estetika.
Contoh: bedah kosmetik.
Sedangkan menurut faktor resikonya, tindakan operasi di bagi menjadi
(Widiyawati, 2021):
a. Minor, menimbulkan trauma fisik yang minimal dengan resiko kerusakan yang
minim. Contoh: insisi dan drainage kandung kemih, sirkumsisi.
b. Mayor, menimbulkan trauma fisik yang luas, resiko kematian sangat serius.
Contoh: Total abdominal histerektomi, reseksi kolon, dan lain-lain.
3. Tahap-Tahap Keperawatan Perioperatif
Ada beberapa tahapan dalam keperawatan perioperatif dan keberhasilan dari
suatu pembedahan tergantung dari setiap tahapan tersebut. Masing-masing tahapan
dimulai pada waktu tertentu dan berakhir pada waktu tertentu pula. Adapun tahap-
tahap keperawatan periopertif adalah (Susanti, 2022):
a. Tahap Pra Operatif
Tahap ini merupakan tahap awal dari keperawatan periopertif. Kesuksesan
tindakan pembedahan secara keseluruhan sangat tergantung pada tahap ini,
kesalahan yang dilakukan pada tahap ini akan berakibat fatal pada tahap
berikutnya. Bagi perawat perioperatif tahap ini di mulai pada saat pasien
diserahterimakan dikamar operasi dan berakhir pada saat pasien dipindahkan ke
meja operasi. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut
dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik ataupun
rumah, wawancara pre operatif dan menyiapkan pasien untuk anestesi yang
diberikan pada saat pembedahan.
Contoh fokus penilaian preoperatif pada pasien hipospadia adalah penilaian
rutin yang harus dilakukan. Anak mungkin mengalami gangguan emosional
berupa takut maupun cemas karena pemeriksaan. premedikasi dapat membuat
prosedur lebih mudah bagi anak. Tujuan utama premedikasi pada anak adalah
mengatasi kecemasan, yang membantu memfasilitasi pemisahan yang lancar
dari orang tua dan memudahkan induksi anestesi. Efek lain yang dapat dicapai
dengan premedikasi termasuk amnesia, pencegahan stres fisiologis, vagolisis,
pengurangan kebutuhan anestesi total, penurunan kemungkinan aspirasi,
penurunan sekresi saliva, antiemesis dan analgesia. Semua obat yang digunakan
memiliki potensi untuk menghasilkan sedasi dan depresi pernapasan dan harus
selalu diberikan dengan hati-hati di bawah pengawasan dan pemantauan ketat
(Sabila, 2022).
Sebelum dilakukan operasi, pasien diminta berpuasa untuk mencegah
terjadinya aspirasi paru. Puasa preanestesi adalah salah satu tindakan persiapan
sebelum operasi, pasien tidak boleh makan dan minum dimulai pada waktu
tertentu sebelum operasi. Lamanya puasa yang dibutuhkan tergantung dari
banyak faktor, seperti jenis operasi, waktu makan terakhir sampai dimulainya
tindakan (pada operasi emergensi), tipe makanan, dan pengobatan yang
diberikan pada pasien sebelum operasi. Pada pasien diminta untuk berpuasa
selama 8 jam.
b. Tahap Intra Operatif
Tahap ini dimulai setelah pasien dipindahkan ke meja operasi dan berakhir
ketika pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Aktivitas di ruang operasi
difokuskan untuk perbaikan, koreksi atau menghilangkan masalah-masalah fisik
yang mengganggu pasien tanpa mengenyampingkan psikologis pasien.
Diperlukan kerjasama yang sinergis antar anggota tim operasi yang disesuaikan
dengan peran dan tanggung jawab masing-masing. Salah satu peran dan
tanggung jawab perawat adalah dalam hal posisi pasien yang aman untuk
aktifitas pembedahan dan anestesi (Susanti, 2022).
Contoh fokus tahap intra operatif pada pasien hipospadia adalah airway
pasien selama operasi harus di pertahankan dengan baik. Jalan nafas pada pasien
dapat dibantu dengan penggunaan Endotracheal Tube (ETT) atau Laryngeal
Mask Airway (LMA). Penggunaan ETT diketahui dapat mempertahankan jalan
nafas yang baik. LMA menggunakan cara yang lebih invasive disbanding ETT
untuk mempertahankan jalan napas karena tidak melewati glotis. Penggunaan
ETT lebih aman apabila operasi yang dilakukan memerlukan waktu yang lama
(Sabila, 2022).
Pada intraoperative anestesi dipertahankan dengan pemberian gas anestesi
berupa sevoflurane 2% dan O2 2 Liter. Pasien juga diberikan obat-obatan lain
berupa tramadol 100 mg, ketorolac 3x20mg, dan ondansentron 2 amp. Selama
durasi operasi, indikator berupa nadi, urine output, oksigenasi arteri dan pH
harus diperhatikan. Selama operasi yang berlangsung selama 1 jam dapat
memantau hemodinamik, nadi dan saturasi dalam batas normal. Jika dalam
pembedahan dilakukan terapi cairan yang tepat, maka urine output yang
didapatkan sebesar 1- 2ml/kg/jam. Keseimbangan cairan dan suhu tubuh harus
seimbang selama operasi berlangsung. Pemberian cairan intraoperatif ditentukan
berdasarkan beberapa faktor yaitu kebutuhan cairan basal pasien selama operasi,
kebutuhan cairan pengganti berdasarkan besar kecilnya operasi, dan kehilangan
cairan pada saat operasi.
c. Tahap Post Operatif
Keperawatan pasca operasi adalah tahap akhir dari keperawatan
perioperatif. Selama tahap ini proses keperawatan diarahkan pada upaya untuk
menstabilkan kondisi pasien. Bagi perawat perioperative perawatan pasca
operasi di mulai sejak
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan sampai diserahterimakan kembali
kepada perawat ruang rawat inap atau ruang intensif (Susanti, 2022).
Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup rentang aktivitas
yang luas selama periode ini. Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen
anestesi dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas
keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan
melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk
penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan ke rumah.
Contoh fokus tahap post operatif pada pasien hipospadia adalah pada
penilaian post-operatif aktivitas motorik pasien seluruh ekstremitas dapat
digerakkan, respirasi dapat bernapas dalam dan batuk, tekanan darah baik,
kesadaran bangun namun cepat kembali tidur, saturasi oksigen >95% dengan
oksigen tambahan. Menghitung Aldrete score. Evaluasi pascaoperasi dilakukan
untuk mencegah komplikasi pasca tindakan operasi dan anestesi. Hal lain yang
perlu diperhatikan pada manajemen pascaoperasi adalah manejemen nyeri. Hal-
hal penting yang memerlukan perhatian pada periode pasca operasi hipospadia
adalah dressing penis anak, perawatan kateter, analgesik dan antibiotik. Pasca
operasi anak mungkin mengalami nyeri insisi dan nyeri yang berhubungan
dengan spasme kandung kemih. Manajemen nyeri insisi dapat diberikan
asetaminofen atau asetaminofen dengan kodein. Manajemen nyeri pasca operasi
memainkan peran penting dalam memfasilitasi pemulihan pasien ke fungsi
normal dan mengurangi kejadian efek fisiologis dan psikologis yang merugikan
terkait dengan nyeri akut yang tidak terkontrol (Sabila, 2022).

4. Prinsip-Prinsip Umum Perawatan Perioperatif


Prinsip-prinsip umum dari perawatan perioeratif meliputi beberapa aspek
diantaranya adalah (Susanti, 2022):
a. Prinsip asepsis ruangan: Prinsip asepsis ruangan meliputi alat-alat bedah,
seluruh sarana kamar operasi, personal operasi, sanal, baju, masker, topi, dan
seluruh barang yang berada dikamar operasi.
b. Prinsip asepsis personil: Prinsip yang harus diterapkan oleh setiap personil yaitu
harus memeperhatikan teknik scrubbing (cuci tangan), gowning (pemakaian
gaun operasi), dan teknik gloving (pemakaian sarung tangan steril)
c. Prinsip asepsis pasien: Prinsip ini meliputi kebersihan pasien, desinfeksi
lapangan operasi, dan tindakan drapping.
d. Prinsip asepsis instrumen: Hal yang harus diperhatikan adalah sterilisasi alat,
cara mempertahankan kesterilan alat dimana pada saat pembedahan digunakan
teknik- teknik tertentu tanpa singgung dan menjaga agar tidak bersinggungan
dengan benda-benda non steril.

5. Persiapan Pre-Operatif
Persiapan pembedahan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yang meliputi persiapan
psikologi baik pasien maupun keluarga dan persiapan fisiologi (khusus pasien)
(Susanti, 2022).
a. Persiapan Psikologi
Terkadang pasien dan keluarga yang akan menjalani operasi emosinya tidak
stabil. Hal ini dapat disebabkan karena takut akan perasaan sakit, narcosa atau
hasilnya dan keeadaan sosial ekonomi dari keluarga. Maka hal ini dapat diatasi
dengan memberikan penyuluhan untuk mengurangi kecemasan pasien. Meliputi
penjelasan tentang peristiwa operasi, pemeriksaan sebelum operasi (alasan
persiapan), alat khusus yang diperlukan, pengiriman ke ruang bedah, ruang
pemulihan, kemungkinan pengobatan-pengobatan setelah operasi, bernafas
dalam dan latihan batuk, latihan kaki, mobilitas dan membantu kenyamanan.
b. Persiapan Fisiologi
1) Diet: Puasa pada operasi dengan anaesthesi umum, jam menjelang operasi
pasien tidak diperbolehkan makan, 4 jam sebelum operasi pasien tidak
diperbolehkan minum. Pada operasai dengan anaesthesi lokal /spinal
anaesthesi makanan ringan diperbolehkan. Tujuannya supaya tidak aspirasi
pada saat pembedahan, mengotori meja operasi dan mengganggu jalannya
operasi.
2) Persiapan abdomen: Pemberian leuknol/lavement sebelum operasi
dilakukan pada bedah saluran pencernaan atau pelvis daerah periferal.
Tujuannya mencegah cidera kolon, mencegah konstipasi dan mencegah
infeksi.
3) Persiapan Kulit: Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari rambut
4) Pemeriksaan penunjang: Hasil laboratorium, foto rontgen, ECG, USG dan
lain-lain.
5) Persetujuan Operasi/Informed Consent: Izin tertulis dari pasien/keluarga
harus tersedia.
c. Penatalaksanaan Keperawatan
Persetujuan Tindakan:
1) Penjelasan informasi yang telah diberikan oleh dokter bedah
2) Beritahu dokter jika pasien memerlukan informasi tambahan untuk
membantu menetapkan keputusan.
3) Pastikan surat persetujuan tindakan telah ditandatangani sebelum
memberikan pramedikasi psikoaktif. Persetujuan tindakan diperlukan untuk
prosedur invasi, prosedur memerlukan sedasi atau anestesi dll
4) Atur agar ada anggota keluarga yang bertanggung jawab atau wakil sah untuk
memberikan izin/persetujuan apabila pasien masih dibawah umur atau tidak
sadra atau tidak kompeten. Individu yang dibawah umur yang dibebaskan (
karena telah menikah atau menjalani kehidupan secara mandiri) dapat
menandatangani surat persetujuan bedah untuk dirinya sendiri)
5) Letakkan format persetujuan tindakan yang telah ditandatangani dalam
tempat yang jelas pada grafik pasien.

6. Asuhan Keperawatan Perioperatif


a. Pre Operatif
1) Pengkajian
Pembedahan pada pasien rawat inap (Susanti, 2022):
a) Kaji riwayat kesehatan klien
b) Lakukan pemeriksaan fisik
c) Kaji adanya alergi, reaksi alergi sebelumnya, sensitivitas terhadap
medikasidan reaksi merugikan dimasa lalu terhadap agens ini, adakah
riwayat asma bronkial dan laporkan kepada dokter anastesiologi
d) Dokumentasikan riwayat medikasi, dosis, frekwensi penggunaan obat
yang diresepkan dan sediaan obat yang diresepkan
e) Kaji tingkat fungsional klienselama ini dan aktivitas harian yang khas
untuk membantu dalam merencanakan perawatan dan pemulihan atau
rehabilitasi klien
f) Kaji kebutuhan nutrisi berdasarkan TB,BB, IMT, LILA, defisiensi
nutrisi harus diatasi sebelum pembedahan
g) Kaji kondisi mulut: gigi palsu, karies, gigi berlubang atau prostesis gigi
dapat terlepas selama tindakan intubasi untuk pemberian anastesi
akhirnya akan menyumbat jalan nafas
h) Kaji status kardiovaskuler: memenuhi kebutuhan oksigen dan sirkulasi
i) Tentukan nilai realibilitas sistem pendukung klien, peran keluarga atau
teman klien
j) Pantau pasien obesitas : distensi abdomen, flebitis, penyakit
kardiovaskuler, endokrin, hati dan empedu

Pembedahan rawat jalan


a) Riwayat kesehatan masa lalu dan saat ini : Alergi, medikasi, persiapan
pra operasi, faktor psikososial dan demografi.
b) Pengkajian fisik pada hari
pembedahan Pertimbangan gerontologi:
a) Pantau lansia yang akan menjalani pembedahan: lansia memiliki lebih
sedikit cadangan fisiologis (Fungsi jantung, ginjal dan hepatik serta
aktivitas GI) di bandingkan dengan pasien yang usia lebih muda.
b) Pantau pasien lansia untuk mengetahui: dehidrasi, hipovolemia,
ketidakseimbangan elektrolit, yang dapat menjadi masalah berat dalam
populasi lansia.
Pre operasi merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif yang
dimulai sejak pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika
pasien dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.
Adapun berbagai persiapan yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum
operasi antara lain (Sjamsuhidayat et al., 2017):
1) Persiapan Fisik
a) Status Kesehatan Fisik secara Umum
Pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien,
riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan
keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status hemodinamika,
status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik,
fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain selain itu pasien harus
istirahat yang cukup karena dengan istirahat yang cukup pasien tidak
akan mengalami stress fisik, tubuh lebih rileks sehingga bagi pasien
yang
memiliki riwayat hipertensi, tekanan darah dapat stabil dan pasien
wanita tidak akan memicu terjadinya haid lebih awal.
b) Status Nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat
badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah
(albumin dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk
defisiensi nutrisi harus dikoreksi sebelum pembedahan untuk
memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi
buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi
pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di
rumah sakit.
c) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan
output cairan demikian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam
rentang keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi
ginjal. Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan
ekskresi metabolik obat-obatan anastesi, jika fungsi ginjal baik maka
operasi dapat dilakukan dengan baik.
d) Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena
rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi kuman
dan juga mengganggu/ menghambat proses penyambuhan dan
perawatan luka.
e) Personal Hygiene
Tubuh yang kotor dapat menjadi sumber kuman yang dapat
mengakibatkan infeksi pada daerah yang di operasi.
f) Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain itupengosongan isi bladder tindakan
kateterisasi juga diperlukan untuk mengobservasi balance cairan.
g) Latihan sebelum operasi
Latihan- latihan yang diberikan pada pasien sebelum operasi, antara lain:
a) Latihan nafas dalam
b) Latihan batuk efektif
c) Gerakan gerak sendi
2) Persiapan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah berbagai pemeriksaan
radiologi, laboratorium maupun pemeriksaan masa perdarahan (bledding
time) dan masa pembekuan (clottingtime) darahpasien, elektrolit serum,
hemoglobin, protein darah, dan hasil pemeriksaan radiologi berupa foto
thoraks dan EKG.
3) Pemeriksaan Status Anestesi
Terdapat tiga jenis anestesi yaitu (Nasser & Sawicki, 2018):
a) Anestesi lokal: digunakan pada area yang kecil karena operasinya
bersifat minor
b) Anestesi regional: digunakan pada area yang lebih besar seperti tangan,
kaki, atau bagian bawah tubuh
c) Anestesi general: digunakan untuk operasi besar. Ketika seseorang
mendapatkan jenis anestesi ini, maka pasien tersebut akan menjadi
tidak sadar, tidak merasakan hal apapun, dan tidak akan mengingat
apapun hal yang dialami sewaktu operasi.
4) Informed Consent
Inform Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung tinggi
aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab
terhadap pasien wajib untuk menandatangani surat pernyataan persetujuan
operasi. Tindakan yang dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan,
keluarga mengetahui manfaat dan tujuan serta segala resiko dan
konsekuensinya. Pasien maupun keluarganya sebelum menandatangani
surat pernyataan tersebut akan mendapatkan informasi yang detail terkait
dengan segala macam prosedur pemeriksaan, pembedahan serta pembiusan
yang akan di jalani. Jika petugas belum menjelaskan secara detail, maka
pihak pasien/ keluarganya berhak untuk menanyakan kembali sampai betul-
betul paham.
5) Persiapan mental dan psikis
Pasien yang akan menghadapi pembedahan akan mengalami berbagai
macam jenis prosedur tindakan tertentu dimana akan menimbulkan
kecemasan.
b. Intra Operatif
Fase intra operasi dari keperawatan pre operasi dimulai ketika pasien masuk dan
pindah ke bagian atau departemen bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan
ke ruang pemulihan. Fase ini lingkup aktifitas keperawatan dapat meliputi
memasang infus, memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan
fisilogis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan
pasien.
1) Perlindungan terhadap injury
Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah segala macam aktivitas
yang dilakukan oleh perawat di ruang operasi. Aktivitas di ruang operasi
oleh perawat difokuskan pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan
untuk perbaikan, koreksi atau menghilangkan masalah–masalah fisik yang
mengganggu pasien. Tentunya pada saat dilakukan pembedahan akan
muncul permasalahan baik fisiologis maupun psikologis pada diri pasien.
Untuk itu keperawatan intra operatif tidak hanya berfokus pada masalah
fisiologis yang dihadapi oleh pasien selama operasi, namun juga harus
berfokus pada masalah psikologis yang dihadapi oleh pasien. Sehingga
pada akhirnya akan menghasilkan outcome berupa asuhan keperawatan
yang terintegrasi.
2) Monitoring pasien
a) Safety manejemen: pengaturan posisi pasien
Pengaturan posisi pasien bertujuan untuk memberikan kenyamanan
pada klien dan memudahkan pembedahan. Perawat perioperatif
mengerti bahwa berbagai posisi operasi berkaitan dengan perubahan-
perubahan fisiologis yang timbul bila pasien ditempatkan pada posisi
tertentu.
b) Monitoring fisiologis
 Menghitung balance cairan
Penghitungan balance cairan dilakuan untuk memenuhi kebutuhan
cairan pasien. Pemenuhan balance cairan dilakukan dengan cara
menghitung jumlah cairan yang masuk dan yang keluar (cek pada
kantong kateter urine) kemudian melakukan koreksi terhadap
imbalance cairan yang terjadi. Misalnya dengan pemberian cairan
infus.
 Memantau kondisi cardiopulmonal
Pemantaun kondisi kardio pulmonal harus dilakukan secara
kontinue untuk melihat apakah kondisi pasien normal atau tidak.
Pemantauan yang dilakukan meliputi fungsi pernafasan, nadi dan
tekanan darah, saturasi oksigen, perdarahan dan lain – lain.
 Pemantauan terhadap perubahan vital sign
Pemantauan tanda-tanda vital penting dilakukan untuk memastikan
kondisi klien masih dalam batas normal. Jika terjadi gangguan
harus dilakukan intervensi secepatnya.
c) Monitoring psikologis: memberikan dukungan emosional pada pasien,
perawat berdiri di dekat pasien dan memberikan sentuhan selama
prosedur pemberian induksi, mengkaji status emosional pasien kepada
tim kesehatan (jika ada perubahan)
d) Pengaturan dan koordinasi Nursing Care: memanage keamanan fisik
pasien dan mempertahankan prinsip serta teknik asepsis.
c. Post Operatif
Fase pasca operasi dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan dan
berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau dirumah.
Lingkup keperawatan mencakup rentang aktifitas yang luas selama periode ini.
1) Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anastesi
(recovery room)
Pemindahan ini memerlukan pertimbangan khusus diantaranya adalah letak
insisi bedah, perubahan vaskuler dan pemajanan. Pasien diposisikan
sehingga ia tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang
drainase. Selama perjalanan transportasi dari kamar operasi ke ruang
pemulihan pasien diselimuti, jaga keamanan dan kenyamanan pasien
dengan diberikan pengikatan diatas lutut dan siku serta side rail harus
dipasang untuk mencegah terjadi resiko injury. Proses transportasi ini
merupakan tanggung jawab perawat sirkuler dan perawat anastesi dengan
koordinasi dari dokter anastesi yang bertanggung jawab.
2) Perawatan post anastesi di ruang pemulihan atau unit perawatan pasca
anastesi
Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat sementara di
ruang pulih sadar (recovery room : RR) atau unit perawatan pasca anastesi
(PACU: post anasthesia care unit) sampai kondisi pasien stabil, tidak
mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke
ruang perawatan (bangsal perawatan). PACU atau RR biasanya terletak
berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini disebabkan untuk mempermudah
akses bagi pasien untuk:
a) Perawat yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat anastesi)
b) Ahli anastesi dan ahli bedah
c) Alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya
3) Kriteria Pasien yang Diperbolehkan Keluar dari Recovery Room
a) Gejala vital stabil
b) Pasien sudah bangun atau mudah bangun Komplikasi pasca bedah telah
dievaluasi
c) Komplikasi pasca bedah telah dievaluasi
d) Setelah anastesi regional fungsi motor dan sebagian sensori telah pulih
e) Klien telah mempunyai control suhu tubuh yang baik.
4) Tugas Perawatan Setelah Menerima Pasien dari Recovery Room
a) Persiapan di unit klinis Ruang pasien dipersiapkan sehingga memberi
fasilitas kepada kepindahan pasien serta dilaksanakan pemantauan.
Keluarga diberitahu bahwa pasien akan kembali. diberitahu bahawa
pasien akan kembali.
b) Persiapan bangsal untuk pasien yang kembali dari kamar bedah -
Menyiapkan tempat tidur terbuka - Disiapkan cukup selimut -
Persiapan perlengkapan - Tiang infuse - Sphygmomanometer - Alat
khusus yang dipesan oleh perawat ruang pemulihan.
5) Komplikasi Pasca Operatif
a) Syok
b) Hemorrhagi (Perdarahan) Trombosis Vena Profunda (TVP)
c) Trombosis Vena Profunda (TVP)
d) Embolisme Pulmonal
e) Komplikasi Pernapasan
f) Retensi Urine
g) Komplikasi Gastrointestinal
d. Implementasi Keperawatan Perioperatif
Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan implementasi intervensi
dilaksanakan sesuai rencana setelah dilakukan validasi, penguasaan kemampuan
interpersonal, intelektual, dan teknikal, intervensi harus dilakukan dengan
cermat dan ifisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan fisiologi
dilindungi dan didokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan.
e. Evaluasi Keperawatan Perioperatif
Fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan. hal-hal yang dievaluasi adalah keakuratan,
kelengkapan dan kualitas data, teratasi atau tidak masalah klien, mencapai
tujuan serta ketepatan intervensi keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Donaire, A. E., & Mendez, M. D. (2023). Hypospadias. StarPearls Publishing.


Ekaputri, M., Kurniyanti, W. S., Putri, A. E. D., Juita, Setiani, D. Y., Sriwiyati, L., Sartika,
D., Mahardini, F., Kristanto, B., Diyono, & Siswandi, I. (2022). Keperawatan Medikal
Bedah
1. Tahta Media Group.
Giannantoni, A. (2011). Hypospadias Classification and Repair:The Riddle of the Sphinx.
Europian Urology, 60(6), 1190–1191.
Gunawan, I. (2021). Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Tn. A dengan
Diagnosa Hipospadia dengan Tindakan Uretroplasty di Ruang IBS. Yayasan Eka Harap
Palangkaraya.
Khasanah, A. N. (2022). Asuhan Keperawatan An. R dengan Hipospadia Post Operasi
Uretroplasty di Ruang Cendana 4 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta.
Kusumaningsih, F. S., Saidah, Q., Riyantini, Y., Devi, N. L. P. S., Rasmita, D., Noviana, U.,
Fabanjo, I. J., Nuryanti, Y., Puspita, L. M., Indriati, G., Rahmawati, I., Suryati, &
Purwati,
N. H. (2023). Asuhan Keperawatan Anak dengan Kelainan Kongenital dan Bayi Risiko
Tinggi. PT. Sonpedia Publishing Indonesia.
Maabuat, P. V., & DeQueljoe, E. (2021). Pengenalan Gangguan Reproduksi Anak Pria Pra-
Pubertas di Kelurahan Meras Kecamatan Bunaken, Kota Manado. The Studies of Social
Sciences, 3(2), 22–29.
Nasser, M., & Sawicki, P. (2018). Institue for Quality and Efficiancy in Health Care. The
Commonwealth.
Nuraini, S. (2019). Pengelolaan Kasus Hipospadia dengan Tindakan Urethroplasty Pada An.
J di Ruangan Instalasi Bedah Sentral RS Pantiwilasa Citarum. Poltekkes Kemenkes
Semarang.
PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) :
Definisi dan Indikator Diagnostik. (Edisi 1). Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI).
PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) :
Definisi dan Tindakan Keperawatan. (Edisi 1). Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI).
PPNI, Tim Pokja SLKI DPP. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) :
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. (Edisi 1). Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI).
Pratiwi, L. A. S. (2021). Mata Kuliah Anatomi Fisiologi dan Patologi. Institut Teknologi,
Sains dan Kesehatan RS dr. Soepraoen Kesdam V/BRW.
Sabila, Y. A. (2022). Laporan Kasus : Manajemen Anestesi Pada Pasien Hipospadia.
SEHATI: Jurnal Kesehatan, 2(1), 22–25.
Sigumonrong, Y., Santosa, A., Rodjani, A., Tarmono, Duarsa, G. W. K., Daryanto, B.,
Wahyudi, I., Siregar, S., & Renaldo, J. (2016). Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) :
Urologi Anak (Pediatric Urology) di Indonesia. Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
Sjamsuhidayat, R., Prasetyono, T., & Riwanto, I. (2017). Buku Ajar Ilmu Bedah : Masalah
Pertimbangan Klinis Bedah dan Metode Pembedahan. EGC.
Susanti, E. (2022). Modul Mata Kuliah : Keperawatan Perioperatif. Global Aksara Pers.
Universitas Airlangga. (2021). Hipospadia. Berita Ners Fakultas Keperawatan.
Vikaningrum, M. (2020). Karya Tulis Ilmiah Studi Dokumentasi Gangguan Eliminasi Urin
Pada Pasien An. “M” dengan Hipospadia Type Coronal Post Chordectomy dan
Uretroplasty. Akademi Keperawatan YKY.
Wahyuni, N. S. (2016). Dokumentasi Keperawatan. UNMUH Ponorogo Press.
Widiyawati, A. (2021). Asuhan Keperawatan Perioperatif Pasien dengan Diagnosa Fraktur
Klavikula Dengan Tindakan Operasi Orif Di Ruang Operasi Rumah Sakit Yukum
Medical Centre. Poltekkes Tanjungkarang.

Anda mungkin juga menyukai