Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

STASE KEPERAWATAN DASAR PROFESIONAL


KEBUTUHAN RASA AMAN DAN NYAMAN

DISUSUN OLEH :
NOVITA TRI REZEKI
NIM. I4051231040

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2023
A. KONSEP KEBUTUHAN RASA AMAN DAN NYAMAN
1. Definisi
Kebutuhan rasa aman dan nyaman menduduki tingkatan kedua pada
teori kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow. Keamanan
adalah terbebasnya fisik dan psikologis dari cedera. Sedangkan
kenyamanan merupakan perasaan tentram yang mencakup aspek fisik
terkait sensasi tubuh, aspek sosial terkait hubungan interpersonal maupun
intrapersonal, aspek psikospiritual terkait harga diri, seksualitas, dan
makna hidup, serta aspek lingkungan terkait pengaruh eksternal dari alam
(Ping et al., 2023).
Gangguan rasa nyaman adalah perasaan seseorang merasa kurang
nyaman dan sempurna dalam kondisi fisik, psikospiritual, lingkungan,
budaya dan sosialnya (Keliat et al., 2015). Menurut (Keliat et al., 2015)
gangguan rasa nyaman mempunyai batasan karakteristik yaitu: ansietas,
berkeluh kesah, gangguan pola tidur, gatal, gejala distress, gelisah,
iritabilitas, ketidakmampuan untuk relasks, kurang puas dengan keadaan,
menangis, merasa dingin, merasa kurang senang dengan situasi, merasa
hangat, merasa lapar, merasa tidak nyaman, merintih, dam takut.
Gangguan rasa nyaman merupakan suatu gangguan dimana perasaan
kurang senang, kurang lega, dan kurang sempurna dalam dimensi fisik,
psikospiritual, dan lingkungan (PPNI, 2016).
Anggeria et al (2023) menyatakan bahwa kebutuhan rasa aman
merupakan kebutuhan fisiologis agar terlindung dari bahaya fisik baik
berupa ancaman mekanik maupun kimiawi sehingga dapat merasa bebas
dari rasa tidak aman dan tidak nyaman. Kebutuhan rasa nyaman sangat
berkaitan dengan pengakuan subjektif terkait nyeri. Setiap orang akan
memiliki perbedaan tingkat rasa aman dan nyaman bergantung banyak
faktor yang memengaruhi cara tiap orang dalam menginterpretasikan
stimulus lingkungan yang berkaitan dengan kebutuhan rasa aman dan
nyaman.
Kebutuhan rasa aman dan nyaman menyakut fisik dan psikologis
yang dipengaruhi oleh lingkungan. Rasa aman dan nyaman secara fisik
menyangkut perlindungan diri dari bahaya fisik berupa cedera, jatuh, dan
adanya efek samping obat. Kebutuhan rasa aman dan nyaman secara fisik
juga mencakup kebutuhan oksigen, kebutuhan nutrisi, kebutuhan
eliminasi, kebutuhan istirahat dan tidur serta kebutuhan lain yang aman
dan nyaman. Sedangkan rasa aman dan nyaman secara psikologis ini
berkaitan erat dengan harga diri seperti citra diri, ideal diri, harga diri,
peran diri, serta identitas diri. Kebutuhan rasa aman dan nyaman secara
konsep diri sangat berpengaruh terhadap adanya stressor, keadaan sakit
serta perasaan trauma sehingga perlunya upaya pencegahan agar
kebutuhan rasa aman dan nyaman dapat terpenuhi (Ping et al., 2023).

2. Etiologi
Kebutuhan rasa aman dan nyaman tentu memiliki urgensi tersendiri
pada setiap diri manusia. Namun, kebutuhan rasa aman dan nyaman
terkadang tidak terpenuhi dengan berbagai penyebabnya, menurut Ping
et al (2023) beberapa diantaranya sebagai berikut :
(a) Adanya gejala dari suatu penyakit yang dialami
(b) Kurangnya pengendalian diri terhadap situasi dan lingkungan
(c) Kurang adekuatnya sumber daya yang dimiliki, salah satunya
finansial
(d) Kurangnya privasi
(e) Adanya gangguan stimulasi lingkungan
(f) Adanya efek samping terapi
(g) Gangguan adaptasi kehamilan
Faktor lain yang dapat memengaruhi rasa aman dan nyaman menurut
(Ping et al., 2023) diantaranya ialah;
(a) Internal
1) Usia, yakni berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman
yang ada pada diri seseorang. Kalangan usia anak-anak
kebanyakan belum memiliki pengetahuan yang lebih terkait
bahaya yang dapat menyebabkan cedera pada dirinya sehingga
kebutuhan rasa aman dan nyaman belum cukup terpenuhi.
Kalangan usia dewasa sudah cukup matang dalam hal
pengetahuan dan pengalaman, peluang untuk terpenuhinya rasa
aman dan nyaman cukup besar, namun ada juga kalanya pada
suatu kondisi tertentu yang dapat menyebabkan kurang
terpenuhinya rasa aman dan nyaman tersebut.
2) Jenis kelamin, yakni pada dasarnya laki-laki dan perempuan
memiliki kebutuhan yang sama akan rasa aman dan nyaman.
Namun, oleh karena adanya perbedaan regulasi emosional
antara laki-laki dan perempuan, sehingga kebutuhan rasa aman
dan nyaman pada perempuan cenderung lebih tinggi dibanding
laki-laki.
3) Status emosional, yakni seseorang dengan regulasi emosi yang
tidak teratur sangat beresiko terganggunya kemampuan diri
dalam menerima dan merespon bahaya lingkungan yang ada
sehingga kebutuhan rasa aman dan nyaman tidak terpenuhi.
4) Gangguan sensori persepsi, yakni pentingnya sensori persepsi
yang akurat terhadap lingkungan agar terpenuhinya kebutuhan
rasa aman dan nyaman. Adanya gangguan sensori persepsi
seperti persepsi rasa, pendengaran, penglihatan, perabaan, dan
penciuman ini sangat beresiko mengalami cedera sehingga
kebutuhan belum terpenuhi.
5) Tingkat kesadaran, yakni sadar akan stimulus lingkungan
sehingga tubuh akan berespon dengan tujuan agar terpenuhinya
kebutuhan rasa aman dan nyaman.
6) Mobilisasi dan status kesehatan, yakni terkait kelemahan otot,
kurangnya energi untuk beraktifitas, adanya gangguan
keseimbangan tubuh sehingga beresiko mengalami cedera yang
dalam hal ini kebutuhan rasa aman dan nyaman tidak dapat
terpenuhi.
(b) Eksternal
1) Lingkungan, yakni kurangnya perlindungan pada lingkungan
yang ditempati seperti lingkungan rumah, lingkungan kerja, dan
jalan raya dapat beresiko menyebabkan cedera sehingga
kebutuhan rasa aman dan nyaman tidak terpenuhi.
2) Budaya, yakni perbedaan keyakinan dan nilai-nilai yang dapat
mempengaruhi tiap orang dalam memenuhi kebutuhan rasa
aman dan nyaman.

3. Manifestasi Klinis
Kebutuhan rasa aman dan nyaman yang paling sering dirasakan oleh
kebanyakan orang adalah nyeri. Beberapa klasifikasi nyeri menurut
Sinthania et al (2022) diantaranya sebagai berikut
(a) Nyeri permukaan
(b) Nyeri dalam
(c) Nyeri fisik
(d) Nyeri psikogenik
(e) Nyeri seperti teriris, tertusuk, terbakar, diremas
Selain berfokus pada nyeri, kebutuhan rasa aman dan nyaman juga
meliputi (Setyaningsih et al., 2023):
(a) Mengeluh tidak nyaman
(b) Merasa mual
(c) Demam
(d) Ingin muntah
(e) Enggan untuk makan
(f) Sensasi panas atau dingin
(g) Terlihat pucat
(h) Denyut nadi meningkat
(i) Keringat berlebih
(j) Merasa sulit tidur
(k) Merasa gatal
(l) Merasa lelah berkepanjangan
4. Patofisiologi
Pemenuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman sangat berkaitan akan
kebutuhan nyaman yang terbebas dari rasa sakit dan nyeri. Hal ini terjadi
karena rasa sakit dan nyeri merupakan kebanyakan kondisi yang
mempengaruhi rasa tidak nyaman Masalah kesehatan yang paling sering
dirasakan menyangkut kebutuhan rasa aman dan nyaman adalah nyeri.
Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya
rangsangan. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk
menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor
nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya
terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri
disebut juga nyeri nosiseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nosiseptor) ada yang bermialin dan ada yang tidak bermialin dari saraf
eferen. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut
saraf perifer.

Serabut nyeri memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu


dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai didalam massa berwarna
abu-abu di medula spinalis. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks
serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses
informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi
kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri. Semua kerusakan
selular, yang disebabkan ole stimulus internal, mekanik, kimiawi, atau
stimulus listrik yang menyebabkan pelepasan substansi yang
menghasilkan nyeri.

Nosiseptor kutanius berasal dari kulit dan subkutan. Nyeri yang


berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan
didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua
komponen, yaitu:

a. Serabut A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30


m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat
hilang apalagi penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5-


2m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi (Sinthania et al., 2022).
5. Penatalaksanaan
(a) Secara farmakologis selalu berkolaborasi dengan tenaga kesehatan
lain dalam pemberian obat-obatan dalam upaya pemenuhan
kebutuhan rasa nyaman pasien.
(b) Secara non-farmakologis dapat menerapkan terapi distraksi,
relaksasi nafas dalam, imajinasi terbimbing dan terapi lain yang
dapat meningkatkan kebutuhan rasa nyaman pasien. Sedangkan
dalam pemenuhan kebutuhan rasa aman pasien dapat dengan
memberikan pencahayaan yang cukup, menggunakan pagar samping
tempat tidur, menghindari jalanan licin dengan memberikan keset
kaki ataupun diberikan bantuan dalam mobilisasi.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian nyeri yang faktual dan tepat dibutuhkan untuk
menetapkan data dasar, menegakkan diagnosis keperawatan yang tepat,
menyeleksi terapi yang cocok, dan mengevaluasi respons klien terhadap
terapi. Keuntungan pengkajian nyeri bagi klien adalah nyeri dapat
diidentifikasi, dikenali sebagai suatu yang nyata, dapat diukur, dan dapat
dijelaskan serta digunakan untuk mengevaluasi perawatan (Andarmoyo,
2017).
(a) Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk
rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.
(b) Alasan masuk rumah sakit
Yaitu keluhan utama pasien saat masuk rumah sakit dan saat dikaji.
Pasien mengeluh nyeri, dilanjutkan dengan riwayat kesehatan
sekarang, dan kesehatan sebelum (Wahyudi & Wahid, 2016).
(c) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran, salah satunya nyeri
(Muttaqin, 2011).
(d) Riwayat kesehatan sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun
(GCS < 15), konklusi, muntah, takipnea/dispnea, sakit kepala, wajah
simetris/tidak, lemah, luka di kepala, paralisis, akumulasi sekret
pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta
kejang (Muttaqin, 2011).
(e) Riwayat kesehatan dahulu
Berisi pengalaman penyakit sebelumnya, apakah memberi pengaruh
pada penyakit yang diderita sekarang, riwayat cedera kepala
sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obatan antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-
obat adiktif, konsumsi alkohol berlebihan (Muttaqin, 2011).
(f) Riwayat kesehatan keluarga
Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang menderita
sakit yang sama seperti klien, dikaji pula mengenaiadanya penyakit
keturunan yang menular dalam keluarga (Muttaqin, 2011).
(g) Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
proses emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat (Muttaqin, 2011).
(h) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara lengkap dan menyeluruh.
1) Ukur suhu tubuh, tekanan darah, nadi, serta tinggi dan berat
badan pada setiap pemeriksaan.
2) Amati seluruh tubuh pasien untuk melihat keberadaan lesi kulit,
hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas tusukan jarum,
perubahan warna dan ada tidaknya oedema.
3) Lakukan pemeriksaan status mental untuk mengetahui orientasi
pasien, memori, komprehensi, kognisi dan emosi pasien
terutama sebagai akibat dari nyeri.
4) Pemeriksaan sendi selalu lakukan pemeriksaan di kedua sisi
pasien apabila kemungkinan untuk mendeteksi adanya asimetri.
Lakukan palpasi untuk mengetahui area spesifik dari nyeri.
5) Pemeriksaan sensorik, menggunakan diagram tubuh sebagai
alat bantu dalam menilai nyeri terutama untuk menentukan letak
dan etiologi nyeri.
Kebutuhan rasa aman dan nyaman sangat dikaitkan dengan rasa sakit
dan nyeri yang dirasakan oleh setiap individu, sehingga dalam proses
pengkajian umum yang berkaitan dengan masalah kebutuhan rasa aman
dan nyaman menyangkut pengkajian terhadap rasa nyeri yang dirasakan.
Pengkajian karakteristik nyeri menggunakan PQRST diantaranya
(Sinthania et al., 2022):
(a) P (Pemicu): faktor yang mempengaruhi tingkat nyeri
(b) Q (Quality): kualitas rasa nyeri yang dirasakan misalnya seperti
tajam, tumpul, seperti sayatan.
(c) R (Region): area perjalanan nyeri yang dirasakan
(d) S (Severity): tingkat keparahan atau intensitas nyeri dapat
menggunakan VAS (visual analog scale) maupun NRS (numeric
rating scale).
(e) T (Time): durasi atau waktu nyeri dirasakan dan frekuensi terjadinya
nyeri misalnya seperti nyeri 3 kali dengan durasi nyeri 15 menit.

2. Diagnosa Keperawatan
(a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisiologis (mis.
Inflamasi, iskemia, neoplasma), kimiawi (mis. Terbakar, bahan
kimia iritan), fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, Latihan fisik
berlebihan) dibuktikan dengan
Data subjektif:
- Mengeluh Nyeri
Data Objektif:
- Tampak Meringis
- Bersikap Protektif
- Gelisah
- Frekuensi Nadi Meningkat
- Sulit Tidur
(Kategori: Psikologis, Subkategori: Nyeri Dan Kenyamanan, Hal:
172)
(b) Gangguan pola tidur (D.0055) berhubungan dengan hambatan
lingkungan, kurang control tidur (disebabkan nyeri), kurang privasi,
restraint fisik, ketiadaan teman tidur, tidak familiar dengan peralatan
tidur dibuktikan dengan
Data subjektif:
- Mengeluh sulit tidur
- Mengeluh pola tidur berubah
- Mengeluh kemampuan beraktivitas menurun
Data Objektif:
- Terlihat lemah dan kurang bertenaga
(Kategori: Fisiologis, Subkategori: Aktivitas/Istirahat, Hal: 128)
3. Intervensi Keperawatan
No SDKI SLKI SIKI
1 Nyeri Akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri ( i. 08238)
tindakan keperawatan Observasi:
nyeri menurun. Dengan - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
kriteria hasil : Tingkat frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Nyeri - Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri - Identifikasi respons nyeri non verbal
menurun - Identifikasi faktor yang memperberat dan
2. Sikap protektif meringankan nyeri
sedang - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
3. Meringis nyeri
cukup - Identifikasi pengeruh budaya terhadap respon
menurun nyeri
4. Gelisah sedang - Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
5. Kesulitan tidur - Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
cukup menurun sudah diberikan
6. Frekuensi nadi - Monitor efek samping penggunaan analgesic
cukup menurun Terapeutik :
- Berikan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. Tens, hypnosis,
akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
- Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi:
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan penggunaan analgesic secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian analgesic, jika perlu

2 Gangguan Setelah dilakukan Dukungan tidur


Pola Tidur tindakan keperawatan Observasi
kualitas dan kuantitas - Identifikasi pola aktifitas dan tidur
tidur membaik. - Identifikasi faktor pengganggu (fisik dan/atau
Dengan kriteria hasil : psikologis)
Pola tidur - Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
1. Keluhan sulittidur Terapeutik
sedang - Modifikasi lingkungan (mis. Pencahayaan,
2. Keluhan sering kebisingan, suhu, matras, dan tempat tidur)
terjaga sedang - Fasilitasi meghilangkan stres sebelum tidur
3. Keluhan tidakpuas - Sesuaikan jadwal pemberian obat dan/atau
tidur sedang tindakan untuk menunjang siklus tidur terjaga
4. Keluhan pola tidur Edukasi
berubahsedang - Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak
5. Keluhan istirahat mengandung surpresor terhadap tidur REM
tidak cukup - Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
sedang gangguan pola tidur (mis. Psikologis, gaya hidup,
sering berubah shift bekerja)
3. Risiko Setelah dilakukan Pencegahan Jatuh
Jatuh tindakan keperawatan Observasi
Risiko jatuh menurun. - Identifikasi faktor resiko jatuh (mis, usia >65
Dengan kriteria hasil : tahun, penurunan tingkat kesadaran, defisit
Tingkat jatuh : kognitif, hipotensi ortostatik, gangguan
1. Jatuh dari tempat keseimbangan, gangguan penglihatan,
tidur menurun neuropati )
2. Jatuh saat berjalan - Identifikasi resiko jatuhsetidaknya sekali
menurun setiap shift atausesuai kebijakan institusi.
3. Jatuh saat dikamar - Identifikasi faktor lingkungan yang
mandi menurun meningkatkan resiko jatuh (mis, lantai
licin, penerangan kurang ).
- Hitung resiko jatuh dengan menggunakan
skala (mis, Fall Morse Scall, Humty Dumty
Scall) jika perlu.
- Monitor kemammpuan berpindah dari
tempat tidur ke kursiroda dan sebaliknya.

Terapeutik

- Orientasikan ruangan pada pasien dan keluarga.


- Pastikan roda tempat tidur dan kursi roda selalu
dalam kondisiterkunci.
- Pasang handrail tempat tidur
- Atur tempat tidur mekanis pada posisi terendah
- Tempatkan pasien beresiko tinggi jatuh
dekat dengan pemantauan perawat dari
nurse station.
- Gunakan alat bantu berjalan (mis, kursi roda,
walker )
- Dekatkan bell pemanggil dalam jangkauan pasien
Edukasi
- Anjurkan memanggil perawat jika
membutuhkan bantuan untuk berpindah
- Anjurkan menggunakan alas kaki yang tidak licin
- Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga
keseimbangan tubuh
- Anjurkan melebarkan jarak kedua kaki untuk
meningkatkankeseimbangan saat berdiri.
- Ajarkan cara menggunakan bell pemanggil untuk
memanggil
- perawat
DAFTAR PUSTAKA

Anggeria, E., Silalahi, K.L., Halawa, A., Hanum, P., Nababan, T. & Sitopu, R.F.
2023. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia. Yogyakarta: Deepublish Digital.
Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. (2011). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.
Ping, M.F., Agustiningsih, Sulisnadewi, N.L.K., Natalia, E., Supatmi, Fabanjo, I.J.,
Fajria, S.H., Purwaningsih, E., Nurhayati, C., Kumalasari, D.N., Tambi, I.F.S.,
Tuwohingide, Y.E., Yudhawati, N.L.P.S., Rambi, C.A., Rinarto, N.D. &
Lestari, M.P.L. 2023. Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jambi: PT. Sonpedia
Publishing Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Setyaningsih, W., Amri, L.F., Marianna, S., Arneliwati & Gemini, S. 2023. Buku
Ajar Gerontik S1 Keperawatan. Jakarta: Mahakarya Citra Utama.
Sinthania, D., Yessi, H., Hidayati, Lufianti, A., Suryati, Y. & Ningsih, O.S. 2022.
Ilmu Dasar Keperawatan 1. Sukoharjo: Pradina Pustaka.
Wahyudi, Andri Setiya & Wahid, Abd. (2016). Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta:
Mitra Wacana Media.

Anda mungkin juga menyukai