Latar Belakang
Jenis dan karakteristik gangguan jiwa sangat beragam, satu diantaranya yang sering
dirawat yaitu skizofrenia. Diperkirakan lebih dari 90% pasien skizofrenia mengalami
halusinasi. Ciri khas dari penderita skizofrenia adalah menarik diri dari lingkungan sosial
dan hubungan personal serta hidup dalam dunianya sendiri dan halusinasi yang berlebihan.
Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Jenis halusinasi satu diantaranya
yaitu halusinasi pendengaran.
Halusinasi pendengaran merupakan jenis halusinasi yang paling sering dilaporkan
dan dapat menyertai hampir semua gangguan kejiwaan, termasuk gangguan kecemasan,
gangguan identitas disosiatif, gangguan tidur, atau karena efek alkohol dan obat-obatan.
Halusinasi pendengaran juga dikaitkan dengan suasana hati yang tertekan, kecemasan, dan
perilaku bunuh diri yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain (Waters,
2018). Menurut World Health Organization(WHO, 2018) Angka kejadian gangguan mental
kronis dan parah yang menyerang lebih dari 221 jiwa dan secara umum terdapat lebih dari
23 juta orang jiwa di seluruh dunia. Lebih dari 50% orang dengan skizofrenia yang tidak
diobati tinggal dinegara berpenghasilan rendah dan menengah. Berdasarkan data kemenkes
prevalensi gangguan jiwa di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 1,7/mil dan mengalami
peningkatan pada tahun 2018 menjadi 7/mil. (Kemenkes). Data Kemenkes 2018 menunjukan
prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan
kecemasan untuk usia 15 tahun mencapai sekitar 6,1% dari jumlah penduduk Indonesia.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000
orang atau sebanyak 1,7/1000 penduduk.
Kesehatan jiwa di Indonesia masih menjadi tantangan yang sangat berat karena
memiliki perspektif yang berbeda beda terutama dalam konteks kesehatan. Gangguan
kejiwaan atau gangguan mental masih menjadi perhatian pemerintah Indonesia saat ini.
Sehingga kami mahasiswa tertarik untuk melakukan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
untuk mengontrol halusinasi. Terapi Aktivitas Kelompok merupakan suatu psikoterapi yang
dilakukan sekelompok klien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang
dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist. Pengertian yang lain menurut Keliat (2019),
TAK orientasi realitas adalah upaya untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien,
yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan atau tempat, dan waktu. Adapun Terapi Aktifitas
Kelompok (TAK) yang dilakukan pada klien skizofrenia dengan halusinasi adalah stimulasi
Persepsi dengan menggunakan sesi 2 yaitu mengontrol halusinasi dengan memghardik.
Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara
menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi
yang muncul atau tidak memerdulikan halusinasinya. Kalau ini bisa dilakukan, pasien akan
mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul (Keliat, 2019).
A. Tujuan
1. Tujuan umum
B. Pelaksanaan Kegiatan
1. Waktu :
c. Durasi : 30 menit
a. Mendampingi Leader
h. Mengambil alih posisi leader jika leader mengalami blocking dalam proses
terapi
Fasilitator (Natalia Name Haluk, Sri Dini, dan Ihsan Hadi Nugroho)
Leader
Co leader
pasien
fasilitator
observer
a. Kursi
b. Papan nama
c. doorprize
C. Pengorganisasian kelompok dan fungsinya
1. Persiapan
2. Orientasi
a. Salam teraupetik
c. Kontrak
d. Perkenalan klien
3. Tahap Kerja
d. Berikan contoh cara menghardik dan minta pasien mengulanginya hingga pasien
mengerti dan berhasil memperagakannya.
4. Evaluasi
D. Cara Menghardik
1. Orientasi
- Salam terapeutik
2. Evaluasi / validasi
3. Kontrak waktu
4. Tahap kerja
Jika muncul suara yang mengganggu segera tutuo telinga dan katakana
pada suara itu: pergi jangan ganggu saya, kamu suara palsu saya tidak
mau dengar.
Bagaimana perasaanya?
5. Terminasi
a. Evaluasi subjektif
b. Evaluasi objektif
- Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu bersikap cuek dan bercakap-
cakap
- Menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.
MATERI:
Gangguan Presepsi (Halusinasi)
a. Definisi
Halusinasi adalah gejala gangguan jiwa berupa respons panca-indra, yaitu penglihatan,
pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan terhadap sumber yang tidak nyata (Keliat,
2019).
b. Penyebab (Keliat, 2019).
a. Kurang tidur
b. Isolasi sosial
c. Mengurung diri
d. Kurang kegiatan sosial
c. Tanda dan Gejala (Keliat, 2019)
a) Mayor
1) Subjektif
Mendengar suara orang tanpa ada orangnya bicara
Melihat benda, orang, atau sinar tanpa ada objeknya
Menghidu bau-bauan yang tidak sedap, seperti bau badan padahal tidak
Merasakan pengecapan yang tidak enak
Merasakan rabaan atau gerakan badan
2) Objektif:
Bicara sendiri
Tertawa sendiri
Melihat ke satu arah
Mengarahkan telinga ke arah tertentu
Tidak dapat memfokuskan pikiran
Diam sambil menikmati halusinasinya
b) Minor
1) Subjektif:
Sulit tidur
Khawatir
Takut
2) Objektif:
Konsentrasi buruk
Disorientasi waktu, tempat, orang, atau situasi
Afek datar
Curiga
Menyendiri, melamun
Mondar-mandir
Kurang mampu merawat diri
d. Pengkajian Keperawatan Jiwa yang Dikaji (Keliat, 2019).
1) Alasan masuk Rumah Sakit
Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak
mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala yang
dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan
perawatan.
2) Faktor prediposisi
a) Faktor perkembangan terlambat
- Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.
- Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
- Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan
b) Faktor komunikasi dalam keluarga
- Komunikasi peran ganda
- Tidak ada komunikasi
- Tidak ada kehangatan
- Komunikasi dengan emosi berlebihan
- Komunikasi tertutup
- Orangtu yang membandingkan anak-anaknya, orangtua yang otoritas dan
konflik dalam keluarga
c) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan
yang terlalu tinggi.
d) Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri
tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri
negatif dan koping destruktif.
e) Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel,
perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.
f) Faktor genetic
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson
tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi faktor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga
letak gen skizofrenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik
tambahan nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan
mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia,
sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang salah
satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami
skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya
menjadi 35 %.
3) Faktor presipitasi
Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:
a) Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b) Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu (mekanisme penerimaan
abnormal).
c) Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,
putus asa dan tidak berdaya.
Pemicu gejala respon neurobiologis maladaptif adalah kesehatan, lingkungan
dan perilaku.
Kesehatan
Nutrisi dan tidur kurang, ketidakseimbangan irama sikardian, kelelahan
dan infeksi, obat-obatan sistem syaraf pusat, kurangnya latihan dan
hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
Lingkungan
Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga,
kehilangan kebebasab hidup dalam melaksanakan pola aktivitas sehari-
hari, sukar dala, berhubungan dengan orang lain, isolasi sosial,
kurangnya dukungan sosialm tekanan kerja, dan ketidakmampuan
mendapat pekerjaan.
Sikap
Merasa tidak mampu, putus asam merasa gagal, merasa punya kekuatan
berlebihan, merasa malang, rendahnya kemampuan sosialisasi,
ketidakadekuatan pengobatan dan penanganan gejala.
Perilaku
Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga,
ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara sendiri. Perilaku
klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis
halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adannya tanda-tanda
dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan
tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasinya saja. Validasi
informasi tentang halusinasi yang iperlukan meliputi : Isi halusinasi
- Menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang dikatakan.
- Waktu dan frekuensi
- Kapan pengalaman halusianasi munculm berapa kali sehari.
- Situasi pencetus halusinasi
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum
halusinasi muncul. Perawat bisa mengobservasi apa yang
dialami klien menjelang munculnya halusinasi untuk
memvalidasi pertanyaan klien.
- Respon klien
Sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien. Bisa dikaji
dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami
pengalamana halusinasi. Apakah klien bisa mengontrol stimulus
halusinasinya atau sebaliknya.
Dapus
Keliat, B. A. dkk. (2019). Asuhan keperawtan jiwa. Jakarta: EGC.