Anda di halaman 1dari 16

RESUME HUKUM

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMA KONSTITUSI (MK) TENTANG


FIDUSTATERHADAP LEMBAGA KEUANGAN LEASING, ASPEK KEPASTIAN
HUKUM DAN PERSOALAN BISNIS.

A. RINGKASAN LANDASAN PERMIHONAN PERKARA NOMOR : 18/PUU-


XVII/2019
1. Pemohon dalam Perkara Nomor: 18/PUU-XVII/2019
a. Nama : Aprilliani Dewi
b. Perkerjaan : Wiraswasta
c. Alamat : Jalan. H. Wahab II Nomor 28 A, Jatibening , Bekasi
Selanjutnya disebut sebagai ...............................................Pemohon I
b. Nama : Suri Agung Prabowo
c. Pekerjaan : Wiraswasta
d. Alamat : Jalan. H. Wahab II Nomor 28 A, Jatibening , Bekasi
Selanjutnya disebut sebagai ................................................Pemohon
II
2. Duduk Perkara Nomor: 18/PUU-XVII/2019
Menimbang bahwa Pomohon telah mengajukan permohonan pada tanggal 15
Februari 2019 yang diterima di Kepaniteraan MK (selanjutnya disebut Kepaniteraan
Mahkama) pada tanggal 15 Februari 2019 dan dicacat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi dengan nomor 18/PUU-XVII/2019 pada tanggal 27 Februari 2019 yang telah
diperbaiki dan diterima di Kepatiteraan Mahkama pada tanggal 25 Maret 2019,
menguraikan hal-hal sebagai berikut:
a. Kewenangan Mahkama Konstitusi (MK):
1) Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945
2) Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945
3) Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
4) Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
5) Mahkama berwenang mengadili, memutus permohonan materil yang bersifat
final dan mengikat.
b. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
1) Undang-Undang menjamin secara Konstitusi bagi warga negara yang
mengajukan permohonan pengujian
2) Pasal 51 ayat (1) UU MK, mengatakan: (a) WNI (b) Masyarakat adat (c)
Lembaga Negara.
3) Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang diatur dalam UUD 19945
4) Putusa Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 juncto Nomor 11/PUU-V2007,
pemohon pengujian harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a) Hak konstitusi pemohon yang diberikan UUD-1945
b) Hak konstitusi pemohon dirugikan
c) Kerugian hak konstitusi pemohon bersifat khusus
d) Adanya hubungan sebab akibat
e) Pemohon yang dikabulkan dapat mencega pengulangan kerugian
5) Pemohon I dan II dijamin haknya untuk mendapatkan perlindungan pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, sesuai ketentuan Pasal 28 G
ayat (1) UUD 1945.
6) Selanjutnya yang dimaksud Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 merupakan hak
asasi
7) Bahwa pemohon I merupakan Pemberi Fidusa dalam sertifikat Jaminan
Fidusia Nomor W11.01617952.AH.05.01.
8) Bahwa Pemohon II merupakan suami dari pemohon I yang terlibat dalam
jaminan Fidusia kredit cicilan mobil, ketika jamiman Fidusia ditarik oleh
Penerima Fidusia maka Pemohon I dan II mengalami kerugian.
9) Berlakunya pasal a quo yang dimohonkan oleh Pemohon, senyatanya
merugikan hak konstitusi Pemohon.
10) Tindakan Penerima Fidusia menyewa debtcollector, untuk mengambil alih
barang yang dikuasi Pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar
tanpa menunjukan bukti dokumen resmi, tanpa kewenangan, menyerang diri
pribadi, kehornatan, harkat dan martabat serta mengancam membunuh para
Pemohon.
11) Atas tindakannya itu, terdapat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel yang menyatakan bahwa tindakan
penerima Fidusa di atas merupakan perbuatan melawan hukum. Maka
penerima Fidusia untuk membayar denda baik materil maupun immateril
sebagai berikut:
 Dalam Gugatan Konveksi
a. Dalam Eksepsi
Menolak eksepsi T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Indris Hutapea),
T3 (M. Halomoan Tobing) dan TT (Otoritas Jasa Keuangan) untuk
seluruhnya:
b. Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagaian;
2. Menyatakan T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Indris Hutapea),
T3 (M. Halomoan Tobing), telah MELAKUKAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM yang merugikan PEMOHON 1.
3. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Indris Hutapea),
T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar
kerugian materill kepada penguugat sebesar 100.000,;
4. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Indris Hutapea),
T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar
kerugian immaterill kepada penguugat sebesar 200.000.000 ,;
Menghukum TT (Otoritas Jasa Keuangan) untuk memenuhi isi
putusan.
12) Putusan Pengadilan antara pemberi dan penerima Fidusia, penerima Fidusia
tetap melakaukan penarikan objek jamininan pada tanggal 11 Januari 2019,
dengan alasan berkekuatan hukum dengan ketentuan a qou.
13) Berdasarkan hal itu, kerugian konstitusional yang di alami para Pemohon
bersifat spesifik dan faktual.
14) Para Pemohon menilai perlindungan hak milik pribadi yang dijamin oleh
UUD 1945 telah dilanggar dengan berlakunya ketentuan pasal 15 ayat (2) dan
(3) UU No. 42/1999.
15) Uraian di atas, maka pemohon telah kualitas pemohon pengujian UU No.
42/1999 terhadap UUD 1945. Maka dari itu para pemohon memiliki hak
hukum untuk mengajukan permohonan uji materi pasal 15 ayat (2) dan ayat
(3) UU No. 42/1999 terhadap UUD 1945 terhadap pasal 1 ayat (3) pasal 27
ayat (1) pasal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (1) dan pasal 28H ayat (4) UUD
1945.
B. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UNDANG-
UNDANG DASAR 1945
1. Norma Yang Dimohonkan Peangujian (Undang-Undang No. 42 Tahun 1945
Tentang Jaminan Fidusia) dan Undang-Undang Dasar 1945
a. Pokok permohonan berupa pengujian materill Undang-Undang No. 42 Tahun
1945 Tentang Jaminan Fidusia:
 Pasal 15 ayat (1)
 Pasal 15 ayat (2)
 Pasal 15 ayat (3)
b. Norma Undang-Undang Dasar 1945:
 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
2. Alasan Permohonan Pengujian (Undang-Undang No. 42 Tahun 1945 Tentang
Jaminan Fidusia) dan Undang-Undang Dasar 1945
Alasan yang diajukan oleh Para Pemohon dalam pengujian dimaksud adalah:
a. Pada tanggal 18 November 2016 pemohon I dan PT. Astra Sedaya Finance
mengadakan perjanjian pembiayaab multiguna dengan nomor registrasi
01100191001653145, dengan 1 unit mobil merek Toyota Type Alphart V
Model 2.4 A/T Tahun 2004.
b. Pemohon wajib membayar kepada PT. Astra Sedaya Finance Rp.
222.696.000, secara angsuran selama 35 bulan mulai dari 18 November 2016.
c. Pada tanggal 10 November 2017 wakil dari PT. Astra Sedaya Finance yang
mengaku sebagai perwakilan PT mengambil kendaraan kembali dengan dalil
Pemohon I telah wanprestasi.
d. Pada tanggal 15 November 2018 pihak PT mengambil kendaraan kemabali
dengan bernaungi kepada pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU 42/1999.
e. Tindakan PT. Astra Sedaya Finance, padat tanggal 11 Januari 2019
mencedarai marwah pasal 27 ayat (1) UU 1945.
f. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 354/Pdt.G/2018/PN.
Jkt/Sel. Majelis Hakim menolak Petitum Penggugat Reconvensi PT, namun
taanggal 11 Januari 2019 PT. Astra Sedaya Finance menarik kembali dengan
dalih akta fidusia memiliki kekuatan hukum dan memiliki kekuatan eksekusi.
g. PT. Astra Sedaya Finance mencedarai proses hukum karna proses hukum
belum berkuatan tetap. Dan pemohon I berhak mengajukan judicial review
h. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permintaan PT. Astra Sedaya
Finance untuk mengambil kembali barang.
i. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai, PT. Astra Sedaya Finance
melakukan tidakan yang melanggar hukum karena melakukan penarikan
secara paksa dan mengancam hak dan martabat pemohon.
j. Ketentuan pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU 42/1999 dapat dipertahankan
kepada pemohon.
k. Namun pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU 42/1999 dapat menimbulkan
pertentangan berdasarkan kekuatan hukum masing-masing.
l. Berdasarkan uraian di atas, maka pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No.
42/1999 bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) pasal 28D ayat (1), pasal 28G
ayat (1) dan pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
3. Norma Hukum Inkonstitusional Undang-Undang Nomor: 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia Terhadap Undang-Undang Dasar 1945
a. Eksekutorial dalam pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999 tentang jaminan
Fidusia:
1) Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo prinsipnya memberikan jaminan
dan perlindunga hukum tehadap penerima fidusia
2) Memberikan jaminan dan perlindungan hukum secara tegas dalam
konsideran merupakan landasan dibentuknya UU Jaminan Fidusia
3) Jaminan dan perlindungan hukum dalam pemberian kredit tersebut,
ditujukan dengan pengaturan jaminan eksekusi terhadap objek fidusia.
4) Ketentuan pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo untuk kepastian
pengaturan jaminan eksekusi terhadap objek fidusia.
5) Pasal 15 ayat (3) UU a quo memberikan hak kepada penerima fidusia
6) Dalam pasal a quo hanya fokus pada pemberian kepastian hukum kepada
penerima fidusia.
7) Ketentuan pasal a quo memberikan kepastian hukum dan sama dihadapan
hukum serta perlindungan hak terhadap sesama pribadi.
b. Frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan”
bertentangan dengan prinsip kepastian hukum;
1) Ketentuan pasal 15 ayat (2) UU a quo dalam Frasa “Kekuatan
Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan” menimbulkan
ketidakpastian hukum karena bertentangn dengan pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
2) Keberadaan frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan
Putusan Pengadilan” dapat dimaknai tidak sama dan berbeda-beda.
3) Model pemaknaan pertama ini dapat menimbulkan kesewenangan-
wenangan penerima fidusia.
4) Model pemaknaan kedua frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama
Dengan Putusan Pengadilan” apakah prosedur eksekusi terhadap sertifikat
jaminan fidusia dilakukan sama seperti prosedur dan mekanisme
pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan.
5) Materi muatan dalam pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999 seharusnya tidak
berhenti pada frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan
Putusan Pengadilan”.
6) Kurang lengkap materi dalam pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999.
7) Mempersamakan “sertifikat fidusia” dengan putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
8) Model pemaknaan ketiga frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama
Dengan Putusan Pengadilan” apakah srtifikat jaminan fidusia dapat
mengesampingkan putusan pengadilan atas perjanjian turunan dan pokok,
meski belum memiliki kekuatan hukum mengikat;
9) Kepastian hukum sebagaimana pemaknaan ketiga, maka kasus yang
meninpah pada pemohon tidak terjadi.
10) Berdasarkan penjelasan diatas, ketentuan pasal a quo khususnya frasa
“Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan”
sama dengan putusan pengadilan adalah bertentangan dengan pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
c. Frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan”
dan frasa “Cedera Janji” bertantangan dengan prinsip kesamaan dihadapan
hukum.
1) Berdasarkan penjelasan, ketentuan pasal 15 ayat (2) UU a quo
menyangkut frasa “Kekuatan Eksekutorial” dalam konteks eksekusi objek
fidusia dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan” dihadapkan dengan
sertifikat jaminan fidusia dengan putusan pengadilan telah menunjukan
ketiadaan konsep dan mekanisme yang jelas.
2) Konsi yang berlaku pasal 15 ayat (3) UU a quo, khusnya menyangkut
frasa “Cedera Janji” yang menunjukan ketidakjelasan indikator.
3) Ketiadaan mekanisme yang jelas, menyebabkan penilain subjektif
4) Pasal 15 ayat (2) UU a quo menyamakan kedudukan sertifikat perjanjian
fidusia dengan putusan pengadilan.
5) Pengaturan demikian, telah mengabaikan prinsip due process of low.
6) Pengaturan demikian telah bertentangan dengan prinsip persamaan
dihadapan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1), dan pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
7) Pengaturan a quo memberikan hak ekslusif kepada kreditor untuk
melakukan eksekusi objek fidusa bahkan sama kedudukannya dengan
putusan pengadilan, berkekuatan hukum tetap.
8) Ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal 1 ayat
(3), pasal 27 ayat (1), dan pasal 28D ayat (1).
d. Frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan”
dan frasa “Cedera Janji” bertantangan dengan prinsip perlindungan jamiman
atas hak milik.
1) Frasa dalam ketentuan a quo, telah telah menimbulkan ketidakpastian
hukum.
2) Pengaturan demikian juga bertentangan dengan hak setiap orang.
3) Ketidak jelasan mekanisme eksekusi terhadap objek fidusia beserta
prosedur untuk menentukan bahwa suatu tindakan itu telah masuk dalam
kategori cedera janji.
4) Setiap orang berhak atas perlindungan diri dan harta benda yang dibawa
kekuasaanya.
Kedukan Hukum Para Pemohon
1) Kedudukan Hukum Pemohon Menimbang bahwa berdasarkan pasal 51 ayat (1),
UU MK, dapat mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945
merupakan hak konstitusi :
a. Orang yang berwarga nega Indonesia
b. Masyarakat adat dan hukum adat
c. Badan hukum publik atau lembaga negara
Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan
terlebih dahulu:
a) Kedudukan sebagai pemohon pasal 51 ayat (1), UU MK
b) Ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan
UUD 1945.
2) Putusan MK sejak Putusan Nomor 006/PUIII/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan
Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Yang berpendirian
adanya kerugian hak dan kewenangan konstitsional sebagaimana dimaksud dalam
pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima (5) syrat:
a) Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945
b) Kewenangan konstitusional pemohon dianggap dirugikan
c) Kerugian konstitusional harus bersifat khusus
d) Adanya hubungan sebab akibat
e) Adanya dikabulkan pemohonan
3) Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan pasal 51 ayat (1), UU MK dan
syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional. Kedudukan hukum
para pemohon sebagai berikut:
1. Norma undang-undang yang dimohonkan, dalam pemohonan a quo adalah
pasal 15 ayat (2) dan pasal 15 ayat (3) UU 42/1999.
2. Pemohon I dan II telah memenuhi kualifikasi pemohonan.
4) Mahkama berwenang mengadili permohonan a quo dan mahkama
mempertimbangkan pokok permohonan, pokok permohonan.
a. Pokok Permohonan
1) Menimbang pasal 15 ayat (2) dan pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 tentang jaminan
fudusia (selanjutnya disebut UU 42/1999) bertentangan dengan pasal 1 ayat (3),
pasal 28H ayat (4) UUD 1945, dengan dalil-dalil sebagai berikut:
a) Pemohonan ketentuan pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) undang-undang a quo.
b) Para pemohon bentuk jaminan dan perlindungan kepastian hukum dalam
kredit tersebut.
c) Pemohon pasal ayat (3) undang-undang a quo.
d) Pemohonan ketentuan pasal a quo, luput untuk memberikan kepastian
hukum yang adil.
e) Pemohonan ketentuan pasal 15 ayat (2) undang-undang a quo, khususnya
sepanjang khususnya frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama
Dengan Putusan Pengadilan”.
f) Pemohonan model pemaknaan kedua frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan
frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan”.
g) Pemohon mestinya dengan mempersemakan “sertifikat fidusia” dengan
“putusan pengadilan yang memperoleh hukum tetap”.
h) Pemohon model pemaknaan ketiga, frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan
frasa “sama dengan putusan pengadilan” dapat dimaknai bahwa apakah
sertifikat jaminan fadusia.
i) Dalam pasal 15 ayat (2) dan pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 telah
memberikan hak eksklusif.
j) Bedasarkan dalil diatas, para pemohonan agar mahkama konstitusi
meyatakan:
 Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tentang jaminan fidusia sepanjang frasa
“Kekuatan Eksekutorial” bertentangan dengan UUD Republik
Indonesia tahun 1945.
 Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tentang jaminan fidusia sepanjang frasa
“sama dengan putusan pengadilan yang berkuatan tetap”. bertentangan
dengan UUD Republik Indonesia tahun 1945.
 Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 tentang jaminan fidusia sepanjang frasa
“cedera janji” bertentangan dengan UUD Republik Indonesia tahun
1945.
2) Untuk mendukung pemohonan, para pemohon terlebih dahulu mengajukan alat
bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8 dan
mengajukan seorang ahli pada tanggal 24 April 2019.
3) Menimbang bahwa Mahkama telah membaca keterangan Dewan Perwakilan
Rakyat yang diterima Kepaniteraan Mahkama pada tanggal 10 Mei 2019.
4) Menimbang bahwa Mahkama telah membaca keterangan Presiden (pemerintah)
pada tanggal 11 April 2019, dan membaca ketangan priseden yang diterima
kepaniteraan Mahkama pada tanggal 9 Mei 2019.
5) Persidangan mahkama telah didengar oleh lembaga-lembaga diatas.
6) Setelah mendengarkan dan para permohonan para pemohon dan keterangan
bukti-bukti yang diajukan. Terhadap dalil-dalil pemohon tersebut, mahkama
menegaskan sebagai berikut:
a) Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan benda atas dasar kepercayaan.
b) Jamiman fidusia adalah memerikan kedudukan yang utama pada
pemenangnya.
c) Jamiman fidusia merupakan perjanjian yang bersifat accesoir.
d) Jaminan fidusia mengandung asas frefensi
e) Jaminan fidusia mengandung sayrat publisitas
7) Setelah mencermati prinsip-prinsip perjanjian Jaminan Fidusia yang diuraikan,
mahkama akan mempertimbangkan asas kepastian hukum.
8) Mendapatkan deskripsi mengenai kelengkapan tidaknya permasalahan yang
berkaian dengan bentuk perlindungan hukum, baik kepastian hukum maupun
keadilan, pada pihak-pihak terkait termasuk objek fidusia.
9) Menimbangkan bahwa berkenan dengan pertimbangan prihal tidak adanya
perlindunagan hukum yang seimbang kepada kreditor dan debitor dalam
perjanjian fidusia sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan serta pasal-pasalnya.
10) Berdasarkan pertimbangan di atas sesunggunya telah tampak adanya persoalan
konstitusionalitas dalam norma pasal-pasal yang disebutkan.
11) Menimbang bahwa adanya ketidakpastian hukum, baik tata cara pelaksanaan
eksekusi maupun maupun berkenaan dengan waktu kapan pemberi fidusia
dinyatakan cidera janji dan selanjutnya.
12) Menimbang bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana di uraikan di
atas telah cukup alasan bagi Mahkama untuk menyakatan norma pasal 5 ayat
(2) UU 42/1999, kuhususnya frasa “Kekuatan Eksekutorial” dengan “putusan
pengadilan yang memperoleh hukum tetap”.
13) Menimbang bahwa dengan dinyatakan inkonstitusional terhadap frasa
“Kekuatan Eksekutorial” dengan dengan “putusan pengadilan yang
memperoleh hukum tetap”, dalam norma norma pasal 15 ayat (2) dan frasa
“cedera janji” dalam pasal 15 ayat (3) UU 42/1999.
14) Menimbang bahwa permohonan dan pemohon berkaitan dengan
inkonstitusionalitas norma pasal 15 ayat (2) dan 15 ayat (3) UU 42/1999 dapat
dibenarkan oleh mahkama.
15) Menimbang bahwa dengan telah ditegaskan penderian mahkama dalam
memaknai ketentuan norma pasal 15 ayat (2) dan 15 ayat (3) dan penjelasan
pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sebagaimana dipertimbangkan pada pragraf
sebelumnya.
b. Konklusi
Sebagaimana penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diatas, makkama
berkesimpulan:
1. Mahkama berwenang menjadi pemohon a quo
2. Para pemohon memiliki hak mengajukan permohon a quo
3. Pokok permohonan memiliki alasan hukum
c. Amar Putusan
Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan para pemohon sebagian
2. Menyatakan pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999 tetang jaminan fidusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan
Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3889) dan sistematiakanya.
3. Menyatakan pasal 15 ayat (3) UU No. 42/1999 tetang jaminan fidusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan
Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3889) dan sistematikanya.
4. Menyatakan pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999 tetang jaminan fidusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan
Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3889) dan sistematiakanya.
5. Perintah untuk membuat putusan dalam berita Negara Republik Indonesia.
6. Menolak permohonan para permohonan untuk selain dan selebihnya.
C. KEPATIAN HUKUM DAN PERSOALAN BISNIS SEBAGAI IMPLIKASI
PUTUSAN MAHKAMA KONSTITUSI (MK) NOMOR: 18/PUU-XVII/2019
1. Lembaga Jaminan Fidusia Sebagai Solusi Alternatif dalam Pemberian
Jaminan
Fidusia berasal dari kata fides dari Bahasa Romawi yang artinya kepercayaan,
fidusia diambil dari istilah Belanda Fiduciare Eigendom Overdracth (FEO) dan bahasa
Inggris Fiduciary Transfer of Ownership yang berarti penyerahan hak milik berdasarkan
kepercayaan.
Istilah fidusia mengacu pada penyerahan kepemilikan harta benda atau aset
berdasarkan kepercayaan dimana benda diserahkan tetap berada dibawah wewenang
pemilik asal. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fudisia bersedia mengembalikan
hak milik barang yang telah diserahkan setelah hutang pemberi fidusia terlunasi. Secara
umum dikenal sebagai istilah jaminan fudisia merupakan hak jaminan atas benda bergerak
khususnya baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Pelunasan utang tertentu yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor
lainnya (vide pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia).
UU fidusia dimaksud untuk menampung kebutuhan masyarakat yang terus
berkembang. Dan fudisia membantu usaha dan untuk memberikan kepastian hukum dan
kemudahan pada pihak pengguna, bagi pemberi fidusia diberi hak untuk tetap menguasai
benda yang menjadi objek jaminan. Sedangkan bagi penerima fidusia mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Perjanjian fidusia bersifat accesoir karena terdapat hak dan kewajiban bagi pemberi
fidusia dan penerima fidusia. Hak pemberi fidusia adalah menggunakan benda yang telah
di alihkan pemberi fidusia. Kewajiban fidusia adalag membayar sebagian utang yang telah
dijanjikan di awal. Hak penerima fidusia adalah mengambil/menerima piutangnya secara
berkala. Kewajiban penerima fidusia adalah mendaftarkan benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia guna mendapatkan kepastia hukum. Jaminan fidusia merupakan alternatif
terakhir bagi bank ataupun lembaga pembiayaan, bila mengingat tidak ada jaminan lain
yang dapat diberikan oleh debitor.
2. Keterangan Ahli dalam Perkara Nomor: 18/ PUU-XVII/2019
Keterangan ahli yang disampaikan dalam persidangan dan menjadi bahan
pertimbangan majelis hakim dari mahkama konstitusi (MK) dari:
a. Dr. Akhmad Budi Cahyono, S. H., M. H.
1) Jaminan fidusia merupakan jaminan khusus keberadaan yang memberikan
kedudukan yang diutamakan terhadap penerima jaminan fidusia
dibandingkan aktor-aktor lainnya.
2) Jaminan fidusia merupakan jaminan khusus kebendaan sebagaimana
jaminan khusus lainnya seperti gadai, hipotik dan hak tanggungan, maka
penerima jaminan fidusia memiliki hak-hak khusus yang diberikan
undang-undang dibandingkan dengan kreditor konkuren sebagai sebagai
jaminan umum.
3) Lembaga berbankan bahkan mensyaratkan adanya collateral atau agunan
sebagai syarat pemberian kredit atau jaminan.
4) Meskipun lembaga jaminan fidusa berdasarkan yurisprudensi telah dapat
menyelesaikan permsalahan terkait dengan objek jaminan.
5) Berbeda jaminan umum yang berdasarkan pada ketentuan undang-undang,
jaminan fidusia ada karena diperjanjiankan dan disepakati oleh para pihak.
6) Perjanjian fidusia juga tidak mungkin ada tanpa adanya perjanjian
pokoknya berupa perjanjian pinjam meminjam atau hutang piutang.
7) Tanda adanya jaminan, maka kereditor akan sulit mendapatkan haknya
sesuai dengan perjanjian, sementara debitor telah mendapatkan haknya
berupa pinjaman yang diberikan kriditor.
8) Eksekusi guna menjamin pelaksanaan prestasi debitor sebagaimana yang
telah diperjanjikan dalam perjanjian pokoknya berupa perjanjian pinjam
meminjam.
9) Pemberian jaminan khusus kebendaan didasarkan pada perjanjian terhadap
apa yang menjadi milik debitor, maka pemberian benda jaminan oleh
debitor didasarkan pada prinsip kesukarelaan.
b. Aria Suyudi, S.H,.L.LM.
Pendapat saksi ahli berkutnya berkaitan dengan pasal “Kekuatan
Eksekutorial” pasal 15 ayat (2) yang dimiliki kreditor sehingga dapat
melakukan mekanisme parate eksekusi. Ahli melihat implikasi bila
permohonan dikabulkan MK atas pasal 15 ayat (2) dan (3) adalah:
1) pasal 15 ayat (2) mengatur ketentuan pemberian irah-irah demi
keadilan berke-Tuhanan Yang Maha Esa, selanjutnya mempunyai
kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dihapus.
2) Hakikat titel eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakan secara
paksa dengan bantuan dan oleh alat-alat negara.
3) Pengahapusan kalimat cedera janji, sepanjang tidak dimaknai dapat
dilakukan oleh penerima fidusia dalam hak tidak ada keberatan dan
melakukan upaya hukum.
4) Hak mendahulu kereditor tidak hilang, tapi menjadi tidak efektif,
karena penarikan dan penjualankan jaminan memungkinkan saling
gugat dipengadilan.
5) Harmonisasi ketentuan titel Eksekutorial dan parate eksekusi pada UU
JF sendiri dan jamiman yang lain diberikan UU Nomor 4 Tahun 1999
tentang hak tanggung.
6) UU JF bukan satu-satunya ketentuan jaminan yang diberikan UU
dengan mekanisme titel eksekutorial dan parate eksekusi.
3. Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor: 18/PUU-XVII/2019 Terhadap
Inskonstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Jaminan
Fidusia
Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor: 18/PUU-XVII/2019 diputuskan
berdasarkan permohonan yang diajukan oleh suami istri. Permohonan tersebut diajukan
terkait kerugian akibat penarikan obek jaminan fidusia berdasarkan pasal 15 ayat (2) dan
(3) undang-undang fidusia.
Pertimbangan Mahkama Konstitusi, menjelaskan bahwa materi dalam pasal 15 ayat
(2) UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia memiliki persoala
inkonstitusionalitas. Selain itu Mahkama Konstitusi mendekteksi inkonstitusional dalam
pasal 15 ayat (3) mengenai frasa “ingkar janji” tidak menjelaskan faktor-faktor
menyebabkan pemberi fidusia mengingkari kesepakatan dengan penerima fidusia.
Mahkama Konstitusi menafsirkan ulang konstitusionalitas pasal 15 ayat (2) pada frasa
“Kekuatan Eksekutorial” dan sama dengan putusan pengadilan. Dan cedera janji dalam
pasal 15 ayat (2) harus dimaknai adanya cedera janji yang tidak ditentulkan oleh sepihak.
4. Polimik Aspek Kepastian Hukum Dan Persoalan Bisnis Terhadap Kegiatan
Leasing (Sewa Guna Usaha)
Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor: 18/PUU-XVII/2019, menurut pendapat
ahli Dr. Akhmad Budi Cahyono, S.H.M.H mengatakan sebagai berikut:
a. Perjanjian fidusia tidak mungkin ada tanpa adanya perjanjian pokok berupa
perjanjian penjam meminjam atau hutang piutang
b. Perjanjian pokok yang mendahului penjanjian accesoirnya telah membuat
klausula-klausula yang disepakati bersama
c. Tanpa jamiman, resiko bank/ lembaga pembiayaan akan besar sekali
d. Jaminan fidusia merupakan bentuk jaminan yang bersikap rasio tinggi kerana
wanprestasi keberadaan jaminan seringkali tidak diketahui.
Pendapat kedua yaitu Aria Suyudi, S.H.L.L.M yang mengatakan bahwa:
a. Hakikat titel eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa
dengan bantuan dengan alat-alat negara. Mekanisme pelaksanaan titel
eksekutorial dilakukan dengan meminta ijin ketua pengadilan kemudian
dilanjutkan dengan mekanisme annmaning.
b. UU JF bukanlah satu-satunya ketentuan jaminan yang diberikan oleh undang-
undang dengan mekanisme titel eksekutorial dan parate eksekusi.
Berdasarkan peningkatan dalam usaha leasing, pemantauan kewajiban lessee
dilakukan di kantor cabang dimana pembiayaan ini diberikan apabila kemacetan
pembayaran maka akan dikakukan sebagai berikut:
a. Menghubungi lessee berupa tulisan tentang anggaran yang tunggak
b. Mengunjingi lokasi lesse dan menyampaikan
c. Surat peringatan I, II ,III dan surat pernyataan dari lessee
d. Dilanjutkan dengan somasi melalui kantor hukum
e. Surat tarik kendaraaan
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dalam studi lapangan terhadap beberapa
narsumber, baik lembaga leasing dan dealer, dapat dijelaskan bahwa kegiatan leasing
dalam masyarakat masih dipahami sama seperti kegiatan pembarayan kredit oleh lembaga
bank.
Kegiatan leasing memiliki krakteristik khusus sehingga diperlukan lembaga jaminan
secara spesifik yang belum terakomodir ssepenuhnya oleh pranata hukum jaminan fidusia.
Keberadaan jaminan dalam leasing harus dilhat dalam pembiayaannya. Keberhasilan yang
dijaminkan, secara hukum masih ada yang belum dimiliki oleh lassee melainkanmasih
berada pada kekuasaan lessor. Lembaga jaminan fidusa mengatur mengenai objek jaminan
yang tetap berada di tangan pemberi fidusia.
Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor: 18/PUU-XVII/2019 dampak pada
penyeluran fasilitas pembiayaan. Ketentuan dalam pasal 15 ayat (2) dan (3) sebelum
terdapat putusan Mahkama Konstitusi (MK), memberikan legalitas dalam melakukan
pratana hukum jaminan fidusia berhubungan secara hukum kepemilikan masih berada
ditangan lessor atau lembaga leasing.
Frasa pasal 15 ayat (2) dan (3) yang dirubah Mahkama Konstitusi (MK) dan
pernyataan lessee atau debtor telah wanprestasi merupakan keniscahayaan dalam praktik,
sehingga ada langhka-langkah yang tepat dalam mitigasi resiko pembayaran, khususnya
dalam pangsa pasar menengah keatas dan kegiatan usaha leasing dikota besar dimana
konsumen yang paham hukum (loop hole) dari kebijakan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai