FIDUSTATERHADAP LEMBAGA KEUANGAN LEASING, ASPEK KEPASTIAN HUKUM DAN PERSOALAN BISNIS.
A. RINGKASAN LANDASAN PERMIHONAN PERKARA NOMOR : 18/PUU-
XVII/2019 1. Pemohon dalam Perkara Nomor: 18/PUU-XVII/2019 a. Nama : Aprilliani Dewi b. Perkerjaan : Wiraswasta c. Alamat : Jalan. H. Wahab II Nomor 28 A, Jatibening , Bekasi Selanjutnya disebut sebagai ...............................................Pemohon I b. Nama : Suri Agung Prabowo c. Pekerjaan : Wiraswasta d. Alamat : Jalan. H. Wahab II Nomor 28 A, Jatibening , Bekasi Selanjutnya disebut sebagai ................................................Pemohon II 2. Duduk Perkara Nomor: 18/PUU-XVII/2019 Menimbang bahwa Pomohon telah mengajukan permohonan pada tanggal 15 Februari 2019 yang diterima di Kepaniteraan MK (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkama) pada tanggal 15 Februari 2019 dan dicacat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan nomor 18/PUU-XVII/2019 pada tanggal 27 Februari 2019 yang telah diperbaiki dan diterima di Kepatiteraan Mahkama pada tanggal 25 Maret 2019, menguraikan hal-hal sebagai berikut: a. Kewenangan Mahkama Konstitusi (MK): 1) Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 2) Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 3) Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 4) Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 5) Mahkama berwenang mengadili, memutus permohonan materil yang bersifat final dan mengikat. b. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon 1) Undang-Undang menjamin secara Konstitusi bagi warga negara yang mengajukan permohonan pengujian 2) Pasal 51 ayat (1) UU MK, mengatakan: (a) WNI (b) Masyarakat adat (c) Lembaga Negara. 3) Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang diatur dalam UUD 19945 4) Putusa Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 juncto Nomor 11/PUU-V2007, pemohon pengujian harus memenuhi syarat sebagai berikut: a) Hak konstitusi pemohon yang diberikan UUD-1945 b) Hak konstitusi pemohon dirugikan c) Kerugian hak konstitusi pemohon bersifat khusus d) Adanya hubungan sebab akibat e) Pemohon yang dikabulkan dapat mencega pengulangan kerugian 5) Pemohon I dan II dijamin haknya untuk mendapatkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, sesuai ketentuan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. 6) Selanjutnya yang dimaksud Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 merupakan hak asasi 7) Bahwa pemohon I merupakan Pemberi Fidusa dalam sertifikat Jaminan Fidusia Nomor W11.01617952.AH.05.01. 8) Bahwa Pemohon II merupakan suami dari pemohon I yang terlibat dalam jaminan Fidusia kredit cicilan mobil, ketika jamiman Fidusia ditarik oleh Penerima Fidusia maka Pemohon I dan II mengalami kerugian. 9) Berlakunya pasal a quo yang dimohonkan oleh Pemohon, senyatanya merugikan hak konstitusi Pemohon. 10) Tindakan Penerima Fidusia menyewa debtcollector, untuk mengambil alih barang yang dikuasi Pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar tanpa menunjukan bukti dokumen resmi, tanpa kewenangan, menyerang diri pribadi, kehornatan, harkat dan martabat serta mengancam membunuh para Pemohon. 11) Atas tindakannya itu, terdapat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel yang menyatakan bahwa tindakan penerima Fidusa di atas merupakan perbuatan melawan hukum. Maka penerima Fidusia untuk membayar denda baik materil maupun immateril sebagai berikut: Dalam Gugatan Konveksi a. Dalam Eksepsi Menolak eksepsi T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Indris Hutapea), T3 (M. Halomoan Tobing) dan TT (Otoritas Jasa Keuangan) untuk seluruhnya: b. Dalam Pokok Perkara: 1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagaian; 2. Menyatakan T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Indris Hutapea), T3 (M. Halomoan Tobing), telah MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM yang merugikan PEMOHON 1. 3. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Indris Hutapea), T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar kerugian materill kepada penguugat sebesar 100.000,; 4. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Indris Hutapea), T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar kerugian immaterill kepada penguugat sebesar 200.000.000 ,; Menghukum TT (Otoritas Jasa Keuangan) untuk memenuhi isi putusan. 12) Putusan Pengadilan antara pemberi dan penerima Fidusia, penerima Fidusia tetap melakaukan penarikan objek jamininan pada tanggal 11 Januari 2019, dengan alasan berkekuatan hukum dengan ketentuan a qou. 13) Berdasarkan hal itu, kerugian konstitusional yang di alami para Pemohon bersifat spesifik dan faktual. 14) Para Pemohon menilai perlindungan hak milik pribadi yang dijamin oleh UUD 1945 telah dilanggar dengan berlakunya ketentuan pasal 15 ayat (2) dan (3) UU No. 42/1999. 15) Uraian di atas, maka pemohon telah kualitas pemohon pengujian UU No. 42/1999 terhadap UUD 1945. Maka dari itu para pemohon memiliki hak hukum untuk mengajukan permohonan uji materi pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42/1999 terhadap UUD 1945 terhadap pasal 1 ayat (3) pasal 27 ayat (1) pasal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (1) dan pasal 28H ayat (4) UUD 1945. B. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UNDANG- UNDANG DASAR 1945 1. Norma Yang Dimohonkan Peangujian (Undang-Undang No. 42 Tahun 1945 Tentang Jaminan Fidusia) dan Undang-Undang Dasar 1945 a. Pokok permohonan berupa pengujian materill Undang-Undang No. 42 Tahun 1945 Tentang Jaminan Fidusia: Pasal 15 ayat (1) Pasal 15 ayat (2) Pasal 15 ayat (3) b. Norma Undang-Undang Dasar 1945: Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 2. Alasan Permohonan Pengujian (Undang-Undang No. 42 Tahun 1945 Tentang Jaminan Fidusia) dan Undang-Undang Dasar 1945 Alasan yang diajukan oleh Para Pemohon dalam pengujian dimaksud adalah: a. Pada tanggal 18 November 2016 pemohon I dan PT. Astra Sedaya Finance mengadakan perjanjian pembiayaab multiguna dengan nomor registrasi 01100191001653145, dengan 1 unit mobil merek Toyota Type Alphart V Model 2.4 A/T Tahun 2004. b. Pemohon wajib membayar kepada PT. Astra Sedaya Finance Rp. 222.696.000, secara angsuran selama 35 bulan mulai dari 18 November 2016. c. Pada tanggal 10 November 2017 wakil dari PT. Astra Sedaya Finance yang mengaku sebagai perwakilan PT mengambil kendaraan kembali dengan dalil Pemohon I telah wanprestasi. d. Pada tanggal 15 November 2018 pihak PT mengambil kendaraan kemabali dengan bernaungi kepada pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU 42/1999. e. Tindakan PT. Astra Sedaya Finance, padat tanggal 11 Januari 2019 mencedarai marwah pasal 27 ayat (1) UU 1945. f. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 354/Pdt.G/2018/PN. Jkt/Sel. Majelis Hakim menolak Petitum Penggugat Reconvensi PT, namun taanggal 11 Januari 2019 PT. Astra Sedaya Finance menarik kembali dengan dalih akta fidusia memiliki kekuatan hukum dan memiliki kekuatan eksekusi. g. PT. Astra Sedaya Finance mencedarai proses hukum karna proses hukum belum berkuatan tetap. Dan pemohon I berhak mengajukan judicial review h. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permintaan PT. Astra Sedaya Finance untuk mengambil kembali barang. i. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai, PT. Astra Sedaya Finance melakukan tidakan yang melanggar hukum karena melakukan penarikan secara paksa dan mengancam hak dan martabat pemohon. j. Ketentuan pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU 42/1999 dapat dipertahankan kepada pemohon. k. Namun pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU 42/1999 dapat menimbulkan pertentangan berdasarkan kekuatan hukum masing-masing. l. Berdasarkan uraian di atas, maka pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42/1999 bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) pasal 28D ayat (1), pasal 28G ayat (1) dan pasal 28H ayat (4) UUD 1945. 3. Norma Hukum Inkonstitusional Undang-Undang Nomor: 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 a. Eksekutorial dalam pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999 tentang jaminan Fidusia: 1) Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo prinsipnya memberikan jaminan dan perlindunga hukum tehadap penerima fidusia 2) Memberikan jaminan dan perlindungan hukum secara tegas dalam konsideran merupakan landasan dibentuknya UU Jaminan Fidusia 3) Jaminan dan perlindungan hukum dalam pemberian kredit tersebut, ditujukan dengan pengaturan jaminan eksekusi terhadap objek fidusia. 4) Ketentuan pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo untuk kepastian pengaturan jaminan eksekusi terhadap objek fidusia. 5) Pasal 15 ayat (3) UU a quo memberikan hak kepada penerima fidusia 6) Dalam pasal a quo hanya fokus pada pemberian kepastian hukum kepada penerima fidusia. 7) Ketentuan pasal a quo memberikan kepastian hukum dan sama dihadapan hukum serta perlindungan hak terhadap sesama pribadi. b. Frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan” bertentangan dengan prinsip kepastian hukum; 1) Ketentuan pasal 15 ayat (2) UU a quo dalam Frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan” menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangn dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 2) Keberadaan frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan” dapat dimaknai tidak sama dan berbeda-beda. 3) Model pemaknaan pertama ini dapat menimbulkan kesewenangan- wenangan penerima fidusia. 4) Model pemaknaan kedua frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan” apakah prosedur eksekusi terhadap sertifikat jaminan fidusia dilakukan sama seperti prosedur dan mekanisme pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan. 5) Materi muatan dalam pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999 seharusnya tidak berhenti pada frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan”. 6) Kurang lengkap materi dalam pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999. 7) Mempersamakan “sertifikat fidusia” dengan putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 8) Model pemaknaan ketiga frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan” apakah srtifikat jaminan fidusia dapat mengesampingkan putusan pengadilan atas perjanjian turunan dan pokok, meski belum memiliki kekuatan hukum mengikat; 9) Kepastian hukum sebagaimana pemaknaan ketiga, maka kasus yang meninpah pada pemohon tidak terjadi. 10) Berdasarkan penjelasan diatas, ketentuan pasal a quo khususnya frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan” sama dengan putusan pengadilan adalah bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. c. Frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan” dan frasa “Cedera Janji” bertantangan dengan prinsip kesamaan dihadapan hukum. 1) Berdasarkan penjelasan, ketentuan pasal 15 ayat (2) UU a quo menyangkut frasa “Kekuatan Eksekutorial” dalam konteks eksekusi objek fidusia dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan” dihadapkan dengan sertifikat jaminan fidusia dengan putusan pengadilan telah menunjukan ketiadaan konsep dan mekanisme yang jelas. 2) Konsi yang berlaku pasal 15 ayat (3) UU a quo, khusnya menyangkut frasa “Cedera Janji” yang menunjukan ketidakjelasan indikator. 3) Ketiadaan mekanisme yang jelas, menyebabkan penilain subjektif 4) Pasal 15 ayat (2) UU a quo menyamakan kedudukan sertifikat perjanjian fidusia dengan putusan pengadilan. 5) Pengaturan demikian, telah mengabaikan prinsip due process of low. 6) Pengaturan demikian telah bertentangan dengan prinsip persamaan dihadapan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1), dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 7) Pengaturan a quo memberikan hak ekslusif kepada kreditor untuk melakukan eksekusi objek fidusa bahkan sama kedudukannya dengan putusan pengadilan, berkekuatan hukum tetap. 8) Ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal 1 ayat (3), pasal 27 ayat (1), dan pasal 28D ayat (1). d. Frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan” dan frasa “Cedera Janji” bertantangan dengan prinsip perlindungan jamiman atas hak milik. 1) Frasa dalam ketentuan a quo, telah telah menimbulkan ketidakpastian hukum. 2) Pengaturan demikian juga bertentangan dengan hak setiap orang. 3) Ketidak jelasan mekanisme eksekusi terhadap objek fidusia beserta prosedur untuk menentukan bahwa suatu tindakan itu telah masuk dalam kategori cedera janji. 4) Setiap orang berhak atas perlindungan diri dan harta benda yang dibawa kekuasaanya. Kedukan Hukum Para Pemohon 1) Kedudukan Hukum Pemohon Menimbang bahwa berdasarkan pasal 51 ayat (1), UU MK, dapat mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 merupakan hak konstitusi : a. Orang yang berwarga nega Indonesia b. Masyarakat adat dan hukum adat c. Badan hukum publik atau lembaga negara Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: a) Kedudukan sebagai pemohon pasal 51 ayat (1), UU MK b) Ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945. 2) Putusan MK sejak Putusan Nomor 006/PUIII/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Yang berpendirian adanya kerugian hak dan kewenangan konstitsional sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima (5) syrat: a) Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 b) Kewenangan konstitusional pemohon dianggap dirugikan c) Kerugian konstitusional harus bersifat khusus d) Adanya hubungan sebab akibat e) Adanya dikabulkan pemohonan 3) Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan pasal 51 ayat (1), UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional. Kedudukan hukum para pemohon sebagai berikut: 1. Norma undang-undang yang dimohonkan, dalam pemohonan a quo adalah pasal 15 ayat (2) dan pasal 15 ayat (3) UU 42/1999. 2. Pemohon I dan II telah memenuhi kualifikasi pemohonan. 4) Mahkama berwenang mengadili permohonan a quo dan mahkama mempertimbangkan pokok permohonan, pokok permohonan. a. Pokok Permohonan 1) Menimbang pasal 15 ayat (2) dan pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 tentang jaminan fudusia (selanjutnya disebut UU 42/1999) bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), pasal 28H ayat (4) UUD 1945, dengan dalil-dalil sebagai berikut: a) Pemohonan ketentuan pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) undang-undang a quo. b) Para pemohon bentuk jaminan dan perlindungan kepastian hukum dalam kredit tersebut. c) Pemohon pasal ayat (3) undang-undang a quo. d) Pemohonan ketentuan pasal a quo, luput untuk memberikan kepastian hukum yang adil. e) Pemohonan ketentuan pasal 15 ayat (2) undang-undang a quo, khususnya sepanjang khususnya frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan”. f) Pemohonan model pemaknaan kedua frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “Sama Dengan Putusan Pengadilan”. g) Pemohon mestinya dengan mempersemakan “sertifikat fidusia” dengan “putusan pengadilan yang memperoleh hukum tetap”. h) Pemohon model pemaknaan ketiga, frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan” dapat dimaknai bahwa apakah sertifikat jaminan fadusia. i) Dalam pasal 15 ayat (2) dan pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 telah memberikan hak eksklusif. j) Bedasarkan dalil diatas, para pemohonan agar mahkama konstitusi meyatakan: Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tentang jaminan fidusia sepanjang frasa “Kekuatan Eksekutorial” bertentangan dengan UUD Republik Indonesia tahun 1945. Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tentang jaminan fidusia sepanjang frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkuatan tetap”. bertentangan dengan UUD Republik Indonesia tahun 1945. Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 tentang jaminan fidusia sepanjang frasa “cedera janji” bertentangan dengan UUD Republik Indonesia tahun 1945. 2) Untuk mendukung pemohonan, para pemohon terlebih dahulu mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-8 dan mengajukan seorang ahli pada tanggal 24 April 2019. 3) Menimbang bahwa Mahkama telah membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat yang diterima Kepaniteraan Mahkama pada tanggal 10 Mei 2019. 4) Menimbang bahwa Mahkama telah membaca keterangan Presiden (pemerintah) pada tanggal 11 April 2019, dan membaca ketangan priseden yang diterima kepaniteraan Mahkama pada tanggal 9 Mei 2019. 5) Persidangan mahkama telah didengar oleh lembaga-lembaga diatas. 6) Setelah mendengarkan dan para permohonan para pemohon dan keterangan bukti-bukti yang diajukan. Terhadap dalil-dalil pemohon tersebut, mahkama menegaskan sebagai berikut: a) Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan benda atas dasar kepercayaan. b) Jamiman fidusia adalah memerikan kedudukan yang utama pada pemenangnya. c) Jamiman fidusia merupakan perjanjian yang bersifat accesoir. d) Jaminan fidusia mengandung asas frefensi e) Jaminan fidusia mengandung sayrat publisitas 7) Setelah mencermati prinsip-prinsip perjanjian Jaminan Fidusia yang diuraikan, mahkama akan mempertimbangkan asas kepastian hukum. 8) Mendapatkan deskripsi mengenai kelengkapan tidaknya permasalahan yang berkaian dengan bentuk perlindungan hukum, baik kepastian hukum maupun keadilan, pada pihak-pihak terkait termasuk objek fidusia. 9) Menimbangkan bahwa berkenan dengan pertimbangan prihal tidak adanya perlindunagan hukum yang seimbang kepada kreditor dan debitor dalam perjanjian fidusia sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan serta pasal-pasalnya. 10) Berdasarkan pertimbangan di atas sesunggunya telah tampak adanya persoalan konstitusionalitas dalam norma pasal-pasal yang disebutkan. 11) Menimbang bahwa adanya ketidakpastian hukum, baik tata cara pelaksanaan eksekusi maupun maupun berkenaan dengan waktu kapan pemberi fidusia dinyatakan cidera janji dan selanjutnya. 12) Menimbang bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana di uraikan di atas telah cukup alasan bagi Mahkama untuk menyakatan norma pasal 5 ayat (2) UU 42/1999, kuhususnya frasa “Kekuatan Eksekutorial” dengan “putusan pengadilan yang memperoleh hukum tetap”. 13) Menimbang bahwa dengan dinyatakan inkonstitusional terhadap frasa “Kekuatan Eksekutorial” dengan dengan “putusan pengadilan yang memperoleh hukum tetap”, dalam norma norma pasal 15 ayat (2) dan frasa “cedera janji” dalam pasal 15 ayat (3) UU 42/1999. 14) Menimbang bahwa permohonan dan pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma pasal 15 ayat (2) dan 15 ayat (3) UU 42/1999 dapat dibenarkan oleh mahkama. 15) Menimbang bahwa dengan telah ditegaskan penderian mahkama dalam memaknai ketentuan norma pasal 15 ayat (2) dan 15 ayat (3) dan penjelasan pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sebagaimana dipertimbangkan pada pragraf sebelumnya. b. Konklusi Sebagaimana penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diatas, makkama berkesimpulan: 1. Mahkama berwenang menjadi pemohon a quo 2. Para pemohon memiliki hak mengajukan permohon a quo 3. Pokok permohonan memiliki alasan hukum c. Amar Putusan Mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon sebagian 2. Menyatakan pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999 tetang jaminan fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3889) dan sistematiakanya. 3. Menyatakan pasal 15 ayat (3) UU No. 42/1999 tetang jaminan fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3889) dan sistematikanya. 4. Menyatakan pasal 15 ayat (2) UU No. 42/1999 tetang jaminan fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3889) dan sistematiakanya. 5. Perintah untuk membuat putusan dalam berita Negara Republik Indonesia. 6. Menolak permohonan para permohonan untuk selain dan selebihnya. C. KEPATIAN HUKUM DAN PERSOALAN BISNIS SEBAGAI IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMA KONSTITUSI (MK) NOMOR: 18/PUU-XVII/2019 1. Lembaga Jaminan Fidusia Sebagai Solusi Alternatif dalam Pemberian Jaminan Fidusia berasal dari kata fides dari Bahasa Romawi yang artinya kepercayaan, fidusia diambil dari istilah Belanda Fiduciare Eigendom Overdracth (FEO) dan bahasa Inggris Fiduciary Transfer of Ownership yang berarti penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan. Istilah fidusia mengacu pada penyerahan kepemilikan harta benda atau aset berdasarkan kepercayaan dimana benda diserahkan tetap berada dibawah wewenang pemilik asal. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fudisia bersedia mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah hutang pemberi fidusia terlunasi. Secara umum dikenal sebagai istilah jaminan fudisia merupakan hak jaminan atas benda bergerak khususnya baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya (vide pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia). UU fidusia dimaksud untuk menampung kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Dan fudisia membantu usaha dan untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan pada pihak pengguna, bagi pemberi fidusia diberi hak untuk tetap menguasai benda yang menjadi objek jaminan. Sedangkan bagi penerima fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Perjanjian fidusia bersifat accesoir karena terdapat hak dan kewajiban bagi pemberi fidusia dan penerima fidusia. Hak pemberi fidusia adalah menggunakan benda yang telah di alihkan pemberi fidusia. Kewajiban fidusia adalag membayar sebagian utang yang telah dijanjikan di awal. Hak penerima fidusia adalah mengambil/menerima piutangnya secara berkala. Kewajiban penerima fidusia adalah mendaftarkan benda yang dibebani dengan jaminan fidusia guna mendapatkan kepastia hukum. Jaminan fidusia merupakan alternatif terakhir bagi bank ataupun lembaga pembiayaan, bila mengingat tidak ada jaminan lain yang dapat diberikan oleh debitor. 2. Keterangan Ahli dalam Perkara Nomor: 18/ PUU-XVII/2019 Keterangan ahli yang disampaikan dalam persidangan dan menjadi bahan pertimbangan majelis hakim dari mahkama konstitusi (MK) dari: a. Dr. Akhmad Budi Cahyono, S. H., M. H. 1) Jaminan fidusia merupakan jaminan khusus keberadaan yang memberikan kedudukan yang diutamakan terhadap penerima jaminan fidusia dibandingkan aktor-aktor lainnya. 2) Jaminan fidusia merupakan jaminan khusus kebendaan sebagaimana jaminan khusus lainnya seperti gadai, hipotik dan hak tanggungan, maka penerima jaminan fidusia memiliki hak-hak khusus yang diberikan undang-undang dibandingkan dengan kreditor konkuren sebagai sebagai jaminan umum. 3) Lembaga berbankan bahkan mensyaratkan adanya collateral atau agunan sebagai syarat pemberian kredit atau jaminan. 4) Meskipun lembaga jaminan fidusa berdasarkan yurisprudensi telah dapat menyelesaikan permsalahan terkait dengan objek jaminan. 5) Berbeda jaminan umum yang berdasarkan pada ketentuan undang-undang, jaminan fidusia ada karena diperjanjiankan dan disepakati oleh para pihak. 6) Perjanjian fidusia juga tidak mungkin ada tanpa adanya perjanjian pokoknya berupa perjanjian pinjam meminjam atau hutang piutang. 7) Tanda adanya jaminan, maka kereditor akan sulit mendapatkan haknya sesuai dengan perjanjian, sementara debitor telah mendapatkan haknya berupa pinjaman yang diberikan kriditor. 8) Eksekusi guna menjamin pelaksanaan prestasi debitor sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam perjanjian pokoknya berupa perjanjian pinjam meminjam. 9) Pemberian jaminan khusus kebendaan didasarkan pada perjanjian terhadap apa yang menjadi milik debitor, maka pemberian benda jaminan oleh debitor didasarkan pada prinsip kesukarelaan. b. Aria Suyudi, S.H,.L.LM. Pendapat saksi ahli berkutnya berkaitan dengan pasal “Kekuatan Eksekutorial” pasal 15 ayat (2) yang dimiliki kreditor sehingga dapat melakukan mekanisme parate eksekusi. Ahli melihat implikasi bila permohonan dikabulkan MK atas pasal 15 ayat (2) dan (3) adalah: 1) pasal 15 ayat (2) mengatur ketentuan pemberian irah-irah demi keadilan berke-Tuhanan Yang Maha Esa, selanjutnya mempunyai kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dihapus. 2) Hakikat titel eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa dengan bantuan dan oleh alat-alat negara. 3) Pengahapusan kalimat cedera janji, sepanjang tidak dimaknai dapat dilakukan oleh penerima fidusia dalam hak tidak ada keberatan dan melakukan upaya hukum. 4) Hak mendahulu kereditor tidak hilang, tapi menjadi tidak efektif, karena penarikan dan penjualankan jaminan memungkinkan saling gugat dipengadilan. 5) Harmonisasi ketentuan titel Eksekutorial dan parate eksekusi pada UU JF sendiri dan jamiman yang lain diberikan UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang hak tanggung. 6) UU JF bukan satu-satunya ketentuan jaminan yang diberikan UU dengan mekanisme titel eksekutorial dan parate eksekusi. 3. Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor: 18/PUU-XVII/2019 Terhadap Inskonstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor: 18/PUU-XVII/2019 diputuskan berdasarkan permohonan yang diajukan oleh suami istri. Permohonan tersebut diajukan terkait kerugian akibat penarikan obek jaminan fidusia berdasarkan pasal 15 ayat (2) dan (3) undang-undang fidusia. Pertimbangan Mahkama Konstitusi, menjelaskan bahwa materi dalam pasal 15 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia memiliki persoala inkonstitusionalitas. Selain itu Mahkama Konstitusi mendekteksi inkonstitusional dalam pasal 15 ayat (3) mengenai frasa “ingkar janji” tidak menjelaskan faktor-faktor menyebabkan pemberi fidusia mengingkari kesepakatan dengan penerima fidusia. Mahkama Konstitusi menafsirkan ulang konstitusionalitas pasal 15 ayat (2) pada frasa “Kekuatan Eksekutorial” dan sama dengan putusan pengadilan. Dan cedera janji dalam pasal 15 ayat (2) harus dimaknai adanya cedera janji yang tidak ditentulkan oleh sepihak. 4. Polimik Aspek Kepastian Hukum Dan Persoalan Bisnis Terhadap Kegiatan Leasing (Sewa Guna Usaha) Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor: 18/PUU-XVII/2019, menurut pendapat ahli Dr. Akhmad Budi Cahyono, S.H.M.H mengatakan sebagai berikut: a. Perjanjian fidusia tidak mungkin ada tanpa adanya perjanjian pokok berupa perjanjian penjam meminjam atau hutang piutang b. Perjanjian pokok yang mendahului penjanjian accesoirnya telah membuat klausula-klausula yang disepakati bersama c. Tanpa jamiman, resiko bank/ lembaga pembiayaan akan besar sekali d. Jaminan fidusia merupakan bentuk jaminan yang bersikap rasio tinggi kerana wanprestasi keberadaan jaminan seringkali tidak diketahui. Pendapat kedua yaitu Aria Suyudi, S.H.L.L.M yang mengatakan bahwa: a. Hakikat titel eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa dengan bantuan dengan alat-alat negara. Mekanisme pelaksanaan titel eksekutorial dilakukan dengan meminta ijin ketua pengadilan kemudian dilanjutkan dengan mekanisme annmaning. b. UU JF bukanlah satu-satunya ketentuan jaminan yang diberikan oleh undang- undang dengan mekanisme titel eksekutorial dan parate eksekusi. Berdasarkan peningkatan dalam usaha leasing, pemantauan kewajiban lessee dilakukan di kantor cabang dimana pembiayaan ini diberikan apabila kemacetan pembayaran maka akan dikakukan sebagai berikut: a. Menghubungi lessee berupa tulisan tentang anggaran yang tunggak b. Mengunjingi lokasi lesse dan menyampaikan c. Surat peringatan I, II ,III dan surat pernyataan dari lessee d. Dilanjutkan dengan somasi melalui kantor hukum e. Surat tarik kendaraaan Berdasarkan wawancara yang dilakukan dalam studi lapangan terhadap beberapa narsumber, baik lembaga leasing dan dealer, dapat dijelaskan bahwa kegiatan leasing dalam masyarakat masih dipahami sama seperti kegiatan pembarayan kredit oleh lembaga bank. Kegiatan leasing memiliki krakteristik khusus sehingga diperlukan lembaga jaminan secara spesifik yang belum terakomodir ssepenuhnya oleh pranata hukum jaminan fidusia. Keberadaan jaminan dalam leasing harus dilhat dalam pembiayaannya. Keberhasilan yang dijaminkan, secara hukum masih ada yang belum dimiliki oleh lassee melainkanmasih berada pada kekuasaan lessor. Lembaga jaminan fidusa mengatur mengenai objek jaminan yang tetap berada di tangan pemberi fidusia. Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor: 18/PUU-XVII/2019 dampak pada penyeluran fasilitas pembiayaan. Ketentuan dalam pasal 15 ayat (2) dan (3) sebelum terdapat putusan Mahkama Konstitusi (MK), memberikan legalitas dalam melakukan pratana hukum jaminan fidusia berhubungan secara hukum kepemilikan masih berada ditangan lessor atau lembaga leasing. Frasa pasal 15 ayat (2) dan (3) yang dirubah Mahkama Konstitusi (MK) dan pernyataan lessee atau debtor telah wanprestasi merupakan keniscahayaan dalam praktik, sehingga ada langhka-langkah yang tepat dalam mitigasi resiko pembayaran, khususnya dalam pangsa pasar menengah keatas dan kegiatan usaha leasing dikota besar dimana konsumen yang paham hukum (loop hole) dari kebijakan yang ada.