Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori Medis

1. Standar Praktik Kebidanan

Standar praktik bidan menjadi acuan dalam menjalankan praktik dan

mengidentifikasi masalah operasional dalam memberikan pelayanan.

Standar ini mengatur pelayanan kebidanan minimal yang harus dilakukan

oleh bidan, sehingga dalam pelaksanaannya masih dapat dikembangkan

sesuai kebutuhan di fasilitas pelayanan kesehatan yang ada (Emi Nurjasmi,

2016; h. 9).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2000; h. 7-56) Standar Pelayanan

Kebidanan (SPK) berisi 24 standar yakni:

a. Standar Pelayanan Umum

Terdapat 2 standar dalam standar pelayanan umum antara lain:

1) Standar 1 : Persiapan untuk Kehidupan Keluarga Sehat

Standar ini bertujuan untuk memberikan penyuluhan kesehatan

yang tepat untuk mempersiapkan kehamilan yang sehat dan terencana

serta menjadi orang tua yang bertanggung jawab. Penyuluhan dan

nasehat diberikan kepada perorangan, keluarga dan masyarakat

mengenai segala hal yang berkaitan dengan kehamilan, termasuk

penyuluhan kesehatan umum, gizi, KB dan kesiapan dalam

13
14

menghadapi kehamilan dan menjadi calon orang tua, menghindari

kebiasaan yang tidak baik dan mendukung kebiasaan yang baik.

2) Standar 2 : Pencatatan

Pencatatan bertujuan untuk mengumpulkan, mempelajari dan

menggunakan data untuk pelaksanaan penyuluhan, kesinambungan

pelayanan dan penilaian kerja. Pencatatan yang dilakukan meliputi

semua kegiatan yang telah dilakukan yaitu pencatatan ibu hamil di

wilayah kerja, rincian pelayanan yang telah diberikan kepada seluruh

ibu hamil atau nifas dan bayi baru lahir, semua kunjungan rumah dan

penyuluhan kepada masyarakat. Pencatatan yang lengkap digunakan

untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan.

b. Standar Pelayanan Antenatal

Terdapat 3 standar dalam standar pelayanan antenatal, yaitu:

1) Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil

Identifikasi dilakukan untuk mengenali dan memotivasi ibu

hamil untuk memeriksakan kehamilannya. Bidan melakukan

kunjungan rumah untuk memotivasi ibu, suami dan anggota keluarga

lainnya agar mendorong ibu untuk memeriksakan kehamilannya sejak

dini dan secara teratur.

2) Standar 4 : Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal

Standar 4 dilakukan untuk memberikan pelayanan dan

pemantauan antenatal berkualitas. Bidan memberikan sedikitnya 4 kali

pelayanan antenatal. Pemeriksaan meliputi anamnesis, pemantauan


15

ibu hamil dan janin dengan menilai apakan perkembangan berjalan

dengan normal. Bidan juga harus mengenal kehamilan risti atau

kelainan khususnya anemia, kurang gizi, hipertensi, PMS atau infeksi

HIV, memberikan pelayanan imunisasi, nasehat dan penyuluhan

kesehatan. Bila ditemukan kelainan, mereka harus mampu mengambil

keputusan tindakan yang diperlukan dan merujuknya ke fasilitas

kesehatan yang lebih lengkap.

3) Satndar 5 : Palpasi Abdominal

Palpasi abdominal bertujuan untuk memperkirakan usia

kehamilan, pemantauan pertumbuhan janin, penentuan letak, posisi

dan bagian bawah janin. Bila hasil pemeriksaan yang dilakukan

terdapat kelainan pada pertumbuhan janin yang tidak sesuai dengan

usianya, kelainan letak, posisi dan bagian terbawah janin maka segera

dilakukan rujukan.

4) Satndar 6 : Pengelolaan Anemia pada Kehamilan

Standar ini dilakukan untuk menemukan anemia pada kehamilan

secara dini dan melakukan tindak lanjut yang memadai untuk

mengatasi anemia sebelum persalinan berlangsung. Bidan melakukan

tindakan pencegahan, penemuan, penanganan atau rujukan semua

kasus anemia pada kehamilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5) Satndar 7 : Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan

Pengelolaan dini dilakukan untuk mengenali dan menemukan

secara dini hipertensi pada kehamilan dan melakukan tindakan yang


16

diperlukan. Bidan diharapkan dapat menemukan secara dini setiap

kenaikan tekanan darah pada kehamilan dan mengenali tanda serta

gejala preeklampsia lainnya serta dapat mengambil tindakan yang

tepat dan merujuknya.

6) Standar 8 : Persiapan Persalinan

Persiapan persalinan bertujuan untuk memastikan bahwa

persalinan direncanakan dalam lingkungan yang aman dan

memadai.bidan memberikan saran yang tepat kepada ibu hamil, suami

atau keluarganya pada trimester 3 untuk memastikan bahwa perslinan

bersih dan aman serta suasana yang menyenangkan akan direncanakan

dengan baik, selain itu dilakukan pula persiapan transportasi dan biaya

bila memerlukan tindakan rujukan.

c. Standar Pertolongan Persalinan

Terdapat 4 standar pada standar pertolongan persalinan, antara lain:

1) Standar 9 : Asuhan Persalinan Kala I

Asuhan pada kala I dilakukan untuk memberikan perawatan

yang memadai dalam mendukung pertolongan persalinan yang aman.

Bidan menilai secara tepat bahwa persalinan sudah dimulai, kemudian

memberikan asuhan dan pemantauan yang memadai dengan

memperhatikan kebutuhan ibu selama proses persalinan berlangsung.

2) Standar 10 : Persalinan Kala II yang Aman

Standar ini dilakukan untuk memastikan persalinan yang aman

untuk ibu dan bayi. Bidan melakukan pertolongan persalinan yang


17

aman dengan sikap sopan dan penghargaan kepada ibu serta

memperhatikan tradisi setempat.

3) Standar 11 : Pengeluaran Plasenta dengan Penegangan Tali Pusat

Peregangan tali pusat bertujuan untuk membantu mengeluarkan

plasenta dan selaputnya secara lengkap tanpa menyebabkan

perdarahan.

4) Standar 12 : Penanganan Kala II dengan Gawat Janin Melalui

Episiotomi

Bidan mengenali secara tepat tanda-tanda gawat janin pada kala

II yang lama dan segera melakukan episiotomi dengan aman untuk

memperlancar persalinan diikuti dengan penjahitan perinium.

d. Standar Pelayanan Nifas

Terdapat 3 standar dalam standar pelayanan nifas, yaitu:

1) Stantar 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir

Bidan memeriksa dan menilai bayi baru lahir untuk memastikan

pernafsan spontan, mencegah hipoksia sekunder, menemukan kelainan

dan melakukan tindakan segera atau merujuk sesuai dengan

kebutuhan. Bidan juga harus bisa mencegah serta menangani

hipotermia.

2) Standar 14 : Penanganan pada Dua Jam Pertama Setelah Persalinan

Bidan melakukan pemantauan pada ibu dan bayi terhadap

terjadinya komplikasi dalam 2 jam setelah persalinan serta melakukan

tindakan yang diperlukan. Bidan juga memberikan penjelasan tentang


18

hal-hal yang dapat dilakukan untuk mempercepat pulihnya kesehatan

ibu dan membantu ibu untuk memulai pemberian ASI.

3) Standar 15 : Pelayanan Bagi Ibu dan Bayi pada Masa Nifas

Bidan memberikan pelayanan selama masa nifas melalui

kunjungan rumah pada hari ketiga, minggu kedua dan minggu keenam

setelah persalinan. Kunjungan dilakukan untuk membantu proses

pemulihan ibu dan bayi melalui penanganan tali pusat yang benar,

penemuan dini, penanganan atau rujukan komplikasi yang mungkin

terjadi pada masa nifas serta memberikan penjelasan tentang

kesehatan secara umum mengenai kebersihan perorangan, makanan

bergizi, perawatan bayi baru lahir, pemberian ASI, imunisasi dan KB.

e. Standar Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatal

Terdapat 10 standar dalam penanganan kegawatdaruratan obstetri

dan neonatal antara lain:

1) Standar 16 : Penanganan Perdarahan dalam Kehamilan

Bidan diharapkan mampu mengenali secara tepat tanda dan

gejala perdarahan pada kehamilan serta melakukan pertolongan

pertama dan merujuknya.

2) Standar 17 : Penanganan Kegawatan pada Eklampsia

Bidan mampu mengenali secara tepat tanda dan gejala

eklampsia yang mengancam serta merujuk atau memberikan

pertolongan pertama.
19

3) Standar 18 : Penanganan Kegawatan pada Partus Lama atau Macet

Bidan dapat mengenali secara tepat tanda dan gejala partus

lama atau macet serta melakukan penanganan yang memadai dan

tepat waktu atau merujuknya.

4) Standar 19 : Persalinan dengan Forsep Rendah

Bidan mampu mengenali kapan diperlukan ekstrksi forsep

rendah, menggunakan forsep secara benar dan menolong persalinan

secara aman bagi ibu dan bayinya.

5) Standar 20 : Persalinan dengan Menggunakan Vakum Ekstraktor

Bidan diharapkan mampu mengenali kapan diperlukan

ekstraksi vakum, melakukannya secara benar dalam memberikan

pertolongan persalinan dengan memastikan keamanannya bagi ibu

dan bayinya.

6) Standar 21 : Penanganan Retensio Plasenta

Bidan mampu mengenali retensio plasenta dan memberikan

pertolongan pertama termasuk plasenta manual dan penanganan

perdarahan sesuai dengan kebutuhan.

7) Starndar 22 : Penanganan Perdarahan Postpartum Primer

Bidan mampu mengenali perdarahan yang berlebihan dalam 24

jam pertama setelah persalinan (perdarahan postpartum primer) dan

segera melakukan pertolongan pertama untuk mengendalikan

perdarahan.
20

8) Standar 23 : penanganan Perdarahan Postpartum Sekunder

Bidan dihrapkan mampu mengenali secara tepat dan dini tanda

serta gejala perdarahan postpartum sekunder dan melakukan

pertolongan pertama untuk menyelamatkan jiwa ibu serta

merujuknya.

9) Standar 24 : Penanganan Sepsis Peurperalis

Bidan mampu mengenali secara tepat tanda dan gejala sepsis

peurperalis serta melakukan pertolongan pertama atau merujuknya.

10) Standar 25 : Penanganan Asfiksia Neonatorum

Bidan mampu mengenali dengan tepat bayi baru lahir dengan

asfilsia serta melakukan resusitasi secepatnya, mengusahakan

bantuan medis yang diperlukan dan memberikan perawatan lanjutan.

Menurut Emi Nurjasmi (2016; h. 9-11) terdapat 31 standar praktik

kebidanan antara lain:

a. Standar Praktik Bidan secara Umum

Terdapat 2 standar dalam standar praktik bidan secara umum

meliputi:

1) Standar 1 : Persiapan Kehamilan, Persalinan dan Periode Nifas yang

Sehat

2) Standar 2 : Pendokumentasian
21

b. Standar Praktik Bidan pada Pelayanan Ibu Hamil

Terdapat 5 standar dalam standar prakik bidan pada ibu hamil,

yaitu:

1) Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil

2) Standar 4 : Pemeriksaan Antenatal dan Deteksi Dini Komplikasi

3) Standar 5 : Penatalaksanaan Anemia pada Kehamilan

4) Standar 6 : Persiapan Persalinan

5) Standar 7 : Pencegahan HIV dari Ibu dan Ayah ke Anak

c. Standar Praktik Bidan pada Pelayanan Ibu Bersalin

Terdiri dari 3 standar pelayanan ibu bersalin, yaitu:

1) Standar 8 : Penatalaksanaan Persalinan

2) Standar 9 : Asuhan Ibu Post Partum

3) Standar 10 : Asuhan Ibu dan Bayi selama Masa Postnatal

d. Standar Praktik Bidan pada Kesehatan Anak

Terdapat 5 standar dalam standar praktik bidan pada kesehatan

anak antara lain:

1) Standar 11 : Asuhan Segera pada Bayi Baru Lahir Normal

2) Standar 12 : Asuhan Neonatus

3) Standar 13 : Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap

4) Standar 14 : Pemantauan Tumbuh Kembang Bayi, Anak Balita dan

Anak Prasekolah

5) Standar 15 : Manajemen Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)


22

e. Standar Praktik Kesehatan Reproduksi Perempuan dan KB

Terdapat 6 standar dalam standar pelayanan kesehatan reproduksi

perempuan dan keluarga berencana yaitu:

1) Standar 16 : Kesehatan Reproduksi Perempuan

2) Standar 17 : Konseling dan Persetujuan Tindakan Medis

3) Standar 18 : Pelayanan Kontrasepsi Pil

4) Standar 19 : Pelayanan Kontrasepsi Suntik

5) Standar 20 : Pelayanan Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK)/

Implant

6) Standar 21 : Pelayanan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)/

Intra Uterine Device (IUD)

f. Standar Praktik Bidan pada Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal

Terdapat 10 standar pada point ini meliputi:

1) Standar 22 : Penanganan Perdarahan dalam Kehamilan Muda (< 22

minggu)

2) Standar 23 : Penanganan Perdarahan dalam Kehamilan (≥ 22 minggu)

3) Standar 24 : Penanganan Preeklampsia dan Eklampsia

4) Standar 25 : Penanganan Partus Lama/ Macet

5) Standar 26 : Penanganan Gawat Janin

6) Standar 27 : Penanganan Retensio Plasenta

7) Standar 28 : Penanganan Perdarahan Post Partus Primer

8) Standar 29 : Penanganan Perdarahan Post Partus Sekunder

9) Standar 30 : Penanganan Sepsis Peurperalis


23

10) Standar 31 : Penanganan Asfiksia Neonatorum

2) Asuhan Kebidanan Kehamilan

Menurut Abdul Bari Saifuddin (2009; h. 89) “Masa kehamilan dimulai

dari konsepsi sampai lahirnya janin, lamanya hamil normal adalah 280 hari

(40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir”.

Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional dalam Sarwono

Prawirohardjo (2014, h. 213) “Kehamilan trimester III adalah kehamilan

yang dimulai dari usia 29 minggu sampai 40 minggu”.

a. Perubahan Fisiologis Trimester III

Perubahan fisiologis pada trimester III terjadi akibat dari

pembesaran uterus serta peningkatan kebutuhan nutrisi janin serta ibu.

Perubahan pertama terjadi pada itmus uteri yang lebih nyata menjadi

bagian korpus uteri dan berkembang menjadi segmen bawah rahin (SBR)

serta akan terjadi kontraksi brakton hicks. Perubahan yang kedua terjadi

pada sistem traktus urinarius yang menyebabkan ibu hamil akan menjadi

sering kencing akibat tertekannya uterus oleh kandung kencing.

Perubahan yang ketiga yakni pada sistem respirasi, terdesaknya

diafragma oleh uterus akan menyebabkan ibu hamil mengalami kesulitan

dalam bernafas. Perubahan yang keempat yakni BB ibu akan bertambah,

kenaikan berat badan normal selama kehamilan adalah 11-12 kg.

Perubahan selanjutnya, volume darah ibu akan meningkat 25%, sirkulasi

darah juga akan meningkat seiring dengan pembersaran uterus.

Perubahan yang kelima, ibu hamil akan mengalami gangguan punggung


24

atau nyeri punggung selama kehamilan akibat dari adanya perubahan

pada sistem muskuloskeletal karena tekanan berat pada struktur ligamen

dan otot tulang belakang bagian tengah dan bawah (Ika Pantiawati dan

Saryono, 2010; h. 69-72).

b. Deteksi Dini Penyulit selama Kehamilan

Kegiatan skrining dilakukan untuk mendeteksi secara dini faktor

resiko pada ibu hamil. Kemungkinan macam komplikasi yang akan

terjadi sudah dapat diperkirakan melalui skrining yang dilakukan.

Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) diberikan baik kepada ibu

hamil, suami maupun keluarga setelah mengetahui kondisi ibu hamil dan

masaahnya (Poedji Rochjati, 2003; h. 31-42).

Tingkat dan sifat resiko pada kehamilan sesuai dengan derajat

kegawatannya dibagi menjadi 3 yaitu Ada Potensi Gawat Obstetrik

(APGO), Ada Gawat Obstetrik (AGO) dan Ada Gawat Darurat Obstetrik

(AGDO). Kelompok I (APGO) adalah kehamilan yang mempunyai

masalah yang perlu diwaspadai, ibu hamil tampak sehat tanpa ada

keluhan yang membahayakan tetapi harus diwaspadai karena dapat

terjadi kemungkinan penyulit atau komplikasi dalam persalinan.

Kelompok II (AGO) adalah tanda bahaya pada saat kehamilan, ada

keluhan tetapi tidak darurat. Kelompok III (AGDO) meliputi faktor yang

dapat membahayakan nyawa ibu dan bayi (Poedji Rochjati, 2003; h. 32-

35).
25

Faktor resiko pada kehamilan dapat dilihat pada kartu skor Poedji

Rochjati (lampiran 1). Skor yang diberikan sesuai dengan tingkat

kegawatan masalah.Jumlah skor secara keseluruhan 2 menandakan

Kehamilan Risiko rendah (KRR), skor 6-10 adalah Kehamilan Risiko

Tinggi (KRT) dan skor ≥ 12 yakni Kehamilan Risiko Sangat Tinggi atau

KRST (Poedji Rochjati, 2003; h. 27-28).

c. Evidence Based pada Kehamilan

Pelayanan kebidanan yang berkembang saat ini baik dalam

kehamilan, persalinan maupun nifas lebih difokuskan pada asuhan yang

berdasarkan kenyataan, sesuai dengan penelitian yang telah teruji atau

yang disebut evidence based (Ummi Hani, Jiarti Kusbandiyah, Marjati

dan Rita Yulifah, 2011; h. 17).

Penelitian yang dilakukan oleh Inka Puty Larasati dan Arief

Wibowo (2012; h. 26-31) dengan judul "Pengaruh Keikutsertaan Senam

Hamil terhadap Kecemasan Primigravida Trimester Ketiga dalam

Menghadapi Persalinan" dengan jumlah sampel dalam penelitian ini

sebanyak 56 ibu hamil di Puskesmas Jagir Kecamatan Wonokromo

Surabaya tahun 2012. Frekuensi senam hamil selama trimester tiga yang

dilakukan adalah sering (> 5 kali) sebanyak 8 orang, jarang (1-5 kali)

sebanyak 29 orang dan tidak pernah sebanyak 19 orang. Hasil penelitian

ini menunjukkan 19 ibu hamil yang tidak pernah mengikuti senam hamil

memiliki tingkat kecemasan ringan sebanyak 11 orang, sedangkan 6

orang dan tidak cemas 2 orang. Ibu yang jarang mengikuti senam
26

mengalami kecemasan ringan sebanyak 7 orang, sedang 0 orang dan

tidak cemas 22 orang. Ibu yang sering mengikuti senam secara

keseluruhan tidak mengalami kecemasan dalam menghadapi pesalinan.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah keikutsertaan ibu hamil dalam

senam hamil dapat mengurangi kecemasan menjelang persalinan, hal

tersebut dikarenakan dalam senam hamil terdapat teknik relaksasi yang

dapat mengurangi relaksasi.

3) Asuhan Kebidanan Persalinan

Menurut Yanti (2010; h. 3) “Persalinan adalah serangkaian kejadian

yang berakhir dengan pengeluaran bayi cukup bulan atau hampir cukup

bulan, disusul dengan pengeluran plecenta dan selaput janin dari tubuh ibu”.

Menurut JNPK-KR (2014; h. 39) "Pesalinan adalah proses dimana

bayi, selaput ketuban keluar dari uterus ibu".

Jadi, persalinan adalah keluarnya janin dan plasenta dari kavum uteri

melalui jalan lahir atau jalan lain yang dimulai dari membuka dan

menipisnya serviks.

a. Evidence Based pada Persalinan

Penelitian yang dilakukan oleh Titik Lestari, Sri Wahyuni dan Ari

Kurniarum (2012; h. 58-62) yang berjudul “Perbedaan Keadaan Perinium

dan Lama Kala II dengan Posisi Dorsal Recumbent dan Litotomi pada

Ibu Bersalin di Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Delanggu Klaten”

dengan jumlah responden 61 ibu bersalin. Hasil dari penelitian ini adalah

tidak ada perbedaan yang signifikan pada keadaan perinium antara posisi
27

dorsal recumbent dan litotomi terhadap kejadian ruptur perinium. Lama

kala II pada posisi dorsal recumbent maupun litotomi tidak ada

perbedaan yang bermakna. Ibu bersalin dapat memilih sendiri posisi

persalinan yang nyaman.

Penelitian yang dilakukan oleh Endang Suwanti, Rini Tri Hastuti

dan Dwi Retna Prihati (2010; h. 35-40) yang berjudul “Pengaruh Teknik

Nafas Dalam Terhadap Perubahan Tingkat Kecemasan dan Tingkat

Nyeri pada Ibu Bersalin Kala I” dengan jumlah responden 40 responden

ibu bersalin kala I di Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro Klaten. Tingkat

kecemasan responden sebelum perlakuan yakni cemas ringan 5%, sedang

50%, berat 45% sedangkan sesudah perlakuan hasil yang diperoleh

cemas ringan menjadi 40%, sedang 50% dan berat 10%. Tingkat nyeri

responden sebelum perlakuan nyeri ringan 12,5%, sedang 57,5%, berat

30%, sedangkan sesudah perlakuan nyeri ringan menjadi 35%, sedang

50% dan berat 25%. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa

penggunaan teknik nafas dalam pada persalinan kala I dapat mengurangi

tingkat kecemasan serta nyeri pada ibu.

Penelitian yang dilakukan oleh Pawan Acharya dan Visnhu Khanal

(2015; h. 1-12) yang berjudul "The effect of mother's educational status

on early initiation of breastfeeding: further analysis of three consecutive

Nepal Demographic and Health Surveys" menjelaskan bahwa tingkat

pendidikan ibu dapat berpengaruh terhadap keberhasilan Inisiasi

Menyusu Dini (IMD) pada bayi baru lahir. Ibu dengan pendidikan rendah
28

(58,68 %) memiliki keberhasilan IMD sebesar 31,55 %, ibu dengan

tingkat pendidikan menengah (17,5 %) memiliki tingkat keberhasilan

sebesar 38,54 % sedangkan ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi

(23,82 %) memiliki tingkat keberhasilan sebesar 48,29 %. Tingkat

pengetahuan ibu mengenai IMD dapat ditingkatkan melalui pendidikan

formal maupun non formal. Metode yang digunakan dapat berupa

konseling, peer education maupun program lainnya yang dapat

meningkatkan pengetahun ibu tentang IMD, sehingga keberhasilan IMD

pada ibu bersalin pun dapat meningkat.

4) Asuhan Kebidanan Masa Nifas

Menurut Bahiyatun, 2009; h. 2, “Masa nifas (peurperium) adalah masa

pulih kembali, mulai dari persalinan selesai hingga alat-alat kandungan

kembali seperti prahamil”.

Menurut Eni Purwanti, 2012; h. 1, “Nifas merupakan sebuah fase

setelah ibu melahirkan dengan rentang waktu kira-kira selama 6 minggu”.

Jadi, masa nifas adalah masa yang dimulai setelah persalinan

berlangsung hingga pulihnya kembali organ kandungan selama kurun waktu

6-8 minggu.

a. Evidence Based pada Masa Nifas

Penelitian yang dilakukan oleh Sriani Timbawa, Rina Kundre dan

Yolanda Bataha (2015) yang berjudul "Hubungan Vulva Hygiene dengan

Pencegahan Infeksi Luka Perinium pada Ibu Post Partum di Rumah Sakit

Pancaran Kasih GMIM Manado" dilakukan pada bulan September


29

sampai Desember 2014. 32 responden dari jumlah total 36 responden ibu

post partum pada penelitian ini melakukan vulva hygiene dengan baik.

Terdapat 4 responden yang melakukan tindakan vulva gygiene kurang

baik yang kemudian berpengaruh pada pencegahan infeksi luka perinium

yang kurang baik pula, 3 orang melakukan vulva gygiene dengan baik

tetapi menghasilkan pencegahan infeksi yang kurang baik dan 29

responden dengan vulva hygiene yang baik berpengaruh pada

pencegahan infeksi yang baik pula. Berdasarkan data yang diperoleh,

maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara vulva gygiene

dengan pencegahan infeksi pada luka perinium ibu post partum.

Penelitian yang dilakukan oleh Leli Khairani, Maria Komariah dan

Wiwi Mardiah (2012; h. 1-14) yang berjudul "Pengaruh Pijat Oksitosin

terhadap Involusi Uterus pada Ibu Post Partum di Ruang Post Partum

Kelas III RSHS Bandung" dengan jumlah responden yang dilakukan

pijatan oksitosin sebanyak 15 ibu nifasdan yang tidak dilakukan pijatan

oksitosin sebanyak 15 ibu nifas. Hasil dari penelitian ini adalah involusi

uteri normal pada kelompok kontrol berjumlah 3 orang, tidak normal 12

orang, sedangkan involusi uteri normal pada kelompok perlakuan

sebanyak 12 orang dan tidak normal 4 orang. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa ada pengaruh pijat

oksitosin terhadap involusi uterus.

Penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti dan Rusmilawaty

(2015; h. 11-19) yang berjudul “Hubungan Pemberian Vitamin A dengan


30

Pengeluaran ASI pada Ibu Post Partum di Wilayah Kerja Puskesmas

Pelaihari Kalimantan Selatan Tahun 2014” dengan jumlah responden 45

ibu postpartum hari ke 10-42. 30 ibu postpartum yang diberikan vitamin

A sesuai standar berpengaruh pada pengeluaran ASI lancar sebanyak 22

orang dan tidak lancar sebanyak 8 orang, sedangkan 15 ibu postpartum

yang tidak mendapatkan vitamin A tidak sesuai standar menghasilkan

ASI lancar sebanyak 5 orang dan tidak lancar 10 orang. Berdasarkan data

tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin A sesuai standar

dapat meningkatkan produksi ASI ada ibu postpartum.

5) Bayi Baru Lahir

Menurut Vivian Nanny Lia Dewi (2010: h. 1) “Bayi baru lahir disebut

juga dengan neonatus merupakan individu yang sedang bertumbuh dan baru

saja mengalami trauma kelahiran serta harus dapat melakukan penyesuaian

diri dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin”.

Menurut Abdul Bari Saifuddin (2002) dalam Marmi dan Kukuh

Rahardjo (2015: 4) "Bayi baru lahir adalah bayi yang baru lahir selama satu

jam pertama kelahiran".

Jadi, bayi baru lahir adalah bayi yang baru lahir melalui proses

persalinan serta masih beradaptasi dengan lingkungan ekstrauterin.

b. Evidence Based dalam Asuhan Bayi Baru Lahir

Berdasarkan hasil jurnal penelitian oleh Siti Zuniyati, Artathi Eka

Suryandari dan Tri Anasari (2011; h. 1-11) yang berjudul "Rerata Waktu

Pelepasan Tali Pusat Berdasarkan Jenis Perawatan Tali Pusat pada Bayi
31

Baru Lahir di Kecamatan Patikraja Tahun 2009" didapatkan hasil bahwa

rerata waktu pelepasan plasenta tercepat adalah dengan menggunakan

kasa kering, yakni 131 jam 27 menit. Rerata pelepasan tali pusat

menggunakan bahan lain selain kasa kering yakni kasa alkohol 70%

selama 174 jam 43 menit dan kasa povidon-iodine 10% 138 jam 25

menit.

6) Keluarga Berencana (KB)

Menurut Depkes RI via Yanti (2011: 133) “Keluarga Berencana (KB)

merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan

utama bagi wanita, meskipun tidak selalu diakui demikian.

Menurut Ade Benih Nirwana (2011: h. 181) “Kontrasepsi dapat

diartikan sebagai cara untuk mencegh terjadinya kehamilan sebagai akibat

pertemuan antara sel telur dengan sperma”.

Jadi, Keluarga Berencana (KB) adalah metode yang digunakan oleh

Pasangan Usia Subur (PUS) untuk mengatur jarak serta jumlah kelahiran

anak.

a. Macam-macam KB Pascapersalinan

Wanita pascapersalinan umumnya ingin menunda kehamilan

berikutnya paling sedikit 2 tahun lagi atau tidak ingin tambahan anak

lagi. Konseling tentang keluarga berencana atau metode kontrasepsi

sebaiknya diberikan sewaktu asuhan antenatal maupun persalinan.


32

Tabel 2.1 Kontrasepsi untuk Menjarangkan Kehamilan


Metode
Waktu pascapersalinan Ciri-ciri khusus
Kontrasepsi
AKDR (IUD) 1) Dapat dipasang 1) Tidak ada
langsung pengaruh
pascapersalinan, terhadap ASI.
sewaktu seksio 2) Efek samping
sesarea atau 48 jam lebih sedikit
pascepersalinan. pada klien yang
2) Jika tidak, insersi menyusui.
ditunda sampai 4-6
minggu
pascapersalinan.
3) Jika laktasi atau haid
sudah dapat, insersi
dilakukan sesudah
yakin tidak ada
kehamilan.

Kontrasepsi 1) Jika menyusui: 1) Selama 6-8


kombinasi a) Jangan dipakai minggu
(suntikan dan pil) sebelum 6-8 pascapersalinan,
minggu kontrasepsi
pascapersalinan. kombinasi akan
b) Sebaiknya tidak mengurangi
dipakai dalam ASI dan
waktu < 6 bulan mempengaruhi
pascapersalinan. tumbuh
2) Jika pakai MAL tunda kembang bayi.
sampai 6 bulan. 2) Selama 3
3) Jika tidak menyusui minggu
dapat dimulai 3 pascapersalinan
minggu kontrasepsi
pascapersalinan. kombinasi
meningkatkan
resiko masalah
pembekuan
darah.
3) Jika klien tidak
mendapat haid
dan sudah
berhubungan
seksual,
mulailah
kontrasepsi
kombinasi
33

setelah yakin
tidak ada
kehamilan.

Kontrasepsi 1) Sebelum 6 minggu 1) Selama 6


progestin pascapersalinan, klien minggu pertama
(suntikan, pil dan menyusui jangan pascapersalinan,
implant) menggunakan progestin
kotrasepsi progestin. mempengaruhi
2) Jika menggunakan tumbuh
MAL, kontrasepsi kembang bayi.
progestin dapat 2) Tidak ada
ditunda sampai 6 pengaruh
bulan. terhadap ASI.
3) Jika tidak menyusui,
dapat segera dimulai.
4) Jika tidak menyusui
lebih dari 6 minggu
pascapersalinan atau
sudah haid,
kontrasepsi progestin
dapat mulai setelah
yakin tidak ada
kehamilan.

Metode 1) Dapat dilakukan pada 1) Perlu


sederhana: ibu pasca persalinan. pemahaman
Metode kalender 2) Menghindari yang mendalam
melakukan hubungan mengenai masa
seksual pada masa subur.
subur. 2) Tidak ada
pengaruh
terhadap ASI.

Suhu Basal 1) Dapat dilakukan pada 1) Perlu


ibu pasca persalinan. pemahaman
2) Menghindari khusus
melakukan hubungan mengenai
seksual pada masa penggunanaany
subur. a.
2) Perlu diketahui
bahwa suhu
tubuh ibu
kemungkinan
berubah karena
ibu sering
34

bangun malam
untuk
menyusui.
3) Tidak ada
pengaruh
terhadap ASI.

Lendir Serviks 1) Dapat dilakukan pada 1) Perlu


ibu pasca persalinan. pemahaman
2) Menghindari mendalam
melakukan hubungan mengenai ciri
seksual pada masa lendir pada
subur. masa subur.
2) Lendir serviks
pada ibu nifas
masih berupa
darah.
3) Tidak ada
pengaruh
terhadap ASI.

Simptotermal 1) Dapat dilakukan pada 1) Merupakan


ibu pasca persalinan. gabungan antara
2) Menghindari metode suhu
melakukan hubungan basal dan lendir
seksual pada masa serviks.
subur.

Kondom/ a. Dapat digunakan b. Tak ada


spermisida setiap saat pengaruh
pascapersalinan terhadap laktasi.
c. Sebagai cara
sementara sambil
memilih metode
lain.

Koitus interuptus a. Dapat digunakan b. Tidak ada


setiap waktu. pengaruh
terhadap laktasi
atau tumbuh
kembang bayi.
c. Abstinensi 100%
efektif.
35

MAL a. Mulai segera c. Manfaat


pascapersalinan. kesehatan bagi
b. Efektivitas tinggi ibu dan bayi.
sampai 6 bulan d. Memberikan
pascapersalinan dan waktu untuk
belum haid memilih metode
kontrasepsi lain.

Tubektomi a. Dapat dilakukan c. Tidak ada


dalam 48 jam pengaruh terhadap
pascapersalinan. laktasi atau
b. Jika tidak, tunggu tumbuh kembang
sampai 6 minggu bayi.
pascapersalinan. d. Minilaparotomi
pascapersalinan
paling mudah
dilakukan dalam
48 jam
pascapersalinan.
Sumber: Abdul Bari Saifuddin, 2010; h. U-53-U-56

b. Evidence Based pada Asuhan KB

Penelitian yang dilakukan oleh Enggar Rossyanna, Suprapti dan

Siti Nurjanah (2014; h. 34-40) yang berjudul "Hubungan Tingkat

Pengetahuan Ibu Post Partum dengan Minat Pemakaian Alat Kontrasepsi

Dalam Rahim (AKDR) di Bidan Praktik Mandiri (BPM) Ny. D Desa

Sukomulyo Kecamatan Kaliwungu Selatan Kabupaten Kendal"

dilakukan sejak bulan April sampai Juni 2011. Jumlah responden dalam

penelitian ini sebanyak 39 ibu postpartum. Hasil analisis yang dilakukan

sebanyak 10 ibu berpengetahuan kurang, 19 ibu berpengetahuan cukup

dan 10 ibu berpengetahuan baik. Berdasarkan penelitian ini didapatkan

hasil tidak ada ibu yang berminat menggunakan Alat Kontrasepsi Dalam

Rahim (AKDR) pada ibu dengan pengetahuan tentang AKDR yang

kurang, terdapat 9 ibu yang berminat menggunakan AKDR pada ibu


36

berpengetahuan cukup dan terdapat 10 ibu dengan pengetahuan baik

yang berminat menggunakan AKDR. Kesimpulan dari penelitian tersebut

adalah ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu postpartum dengan

minat pemakaian AKDR.

B. Tinjauan Asuhan Kebidanan

1. Tinjauan Asuhan Kebidanan pada Kehamilan

Asuhan kebidanan pada kehamilan dilakukan dengan mengkaji ibu

hamil mulai dari anamnesa mengenai identitas ibu hamil, keluhan yang

dialami, riwayat kesehatan, riwayat obstetri, riwayat kehamilan, persalinan,

nifas dan KB, pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari serta riwayat

psikososial dan spiritual. Selanjutnya, melakukan pemeriksaan keadaan

umum, kesadaran, penimbangan berat badan dan tinggi badan serta

melakukan pemetiksaan tanda-tanda vital ibu oleh bidan. Pemeriksaan fisik

dilakukan dari ujung kepala sampai ujung kaki ibu, selain itu semua ibu

hamil diharuskan melakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan

darah, urin serta USG. Analisa kasus dilakukan sesuai dengan data yang

diperoleh. Penatalaksanaan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan ibu

hamil.

Menurut Emi Nurjasmi (2016; h. 51-52) dalam melakukan

pemeriksaan ANC (Antenatal Care), tenaga kesehatan harus memberikan

pelayanan yang berkualitas sesuai standar (10T). T yang pertama yakni

timbang berat badan dan ukur tinggi badan. Penimbangan berat badan pada
37

setiap kali kunjungan ANC dilakukan untuk mendeteksi adanya gangguan

pertumbuhan janin. Penambahan berat badan yang kurang dari 9 kilogram

selama kehamilan atau kurang dari 1 kilogram setiap bulannya

menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan janin. Pengukuran tinggi

badan pada pertama kali kunjungan dilakukan untuk menapis adanya faktor

resiko pada ibu hamil. Tinggi badan ibu hamil yang kurang dari 145 cm

akan meningkatkan resiko untuk terjadinya CPD (Chepalo Pelvic

Disproportion).

T yang kedua adalah mengukur tekanan darah. Pemeriksaan tekanan

darah dilakukan setiap kali ibu melakukan kunjungan ANC. Tekanan darah

normal berkisar 110/80 sampai 120/80 mmHg. Hipotensi terjadi apabila

tekanan darah turun dibawah normal (90/60 mmHg), sedangkan hipertensi

(tekanan darah ≥140/90 mmHg) pada kehamilan dan preeklampsia yakni

hipertensi yang disertai edema wajah atau tungkai bawah serta proteinuria

(Winkjosastro (2000) dalam Ika Pantiawati dan Saryono (2010; h. 11)).

T yang ketiga yaitu menilai status gizi dengan mengukur Lingkar

Lengan Atas (LiLA). Mengukur LiLA hanya dilakukan pada kontak

pertama oleh tenaga kesehatan di trimester I untuk skrining ibu hamil

beresiko KEK (Kekuangan Energi Kronis). KEK disini maksudnya adalah

ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi dan telah berlangsung lama

(beberapa bulan atau tahun) dimana LiLA kurang dari 23,5 cm. Ibu hamil

dengan KEK akan dapat melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah

atau BBLR (Emi Nurjasmi, 2016; h. 52).


38

T yang keempat yakni mengukur Tinggi Fundus Uteri (TFU) dengan

teknik Mc Donald menggunakan pita sentimeter mulai dari fundus uteri

sampai tepi atas simfisis pubis. Tujuan dari pengukuran TFU adalah untuk

menentukan umur kehamilan berdasarkan minggu dan hasilnya dapat

dibandingkan dengan anamnesa HPHT serta kapan gerakan janin mulai

dirasakan (Mandriwati, 2008; h. 83-84). Selain itu, pengukuran TFU juga

dilakukan untuk mendeteksi pertumbuhan janin sesuai atau tidak dengan

umur kehamilan. Jika TFU tidak sesuai dengan umur kehamilan, maka

kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan janin. Pengukuran TFU

dilakukan setelah kehamilan 24 minggu (Emi Nurjasmi, 2016; h. 52).

T yang kelima adalah menentukan presentasi janin dan Denyut

Jantung Janin (DJJ). Presentasi janin ditentukan pada akhir trimester II dan

selanjutnya setiap kali kunjungan ANC. Pemeriksaan tersebut bertujuan

untuk mengetahui letak janin sesuai dengan umur kehamilan atau tidak. Jika

pada trimester III bagian bawah janin bukan kepala atau kepala janin belum

masuk panggul, menandakan adanya kelainan letak, panggul sempit atau

ada masalah lain. Penilaian DJJ dilakukan pada akhir trimester I dan

selanjutnya setiap kali kunjungan ANC. DJJ lambat ≤120 kali/menit,

sedangkan DJJ cepat ≥160 kali/menit, kelainan pada DJJ menunjukkan

adanya gawat janin (Emi Nurjasmi, 2016; h. 52).

T yang keenam yaitu skrining status imunisasi Tetanus Toxoid (TT)

dan memberikan imunisasi TT bila diperlukan. Imunisasi TT dilakukan

untuk mencegah terjadinya tetanus neonatorum pada bayi baru lahir.


39

Pemberian imunisasi TT pada ibu hamil disesuaikan dengan status imunisasi

TT ibu saat ini. Ibu hamil minimal memiliki status imunisasi T2 agar

mendapatkan perlindungan terhadap infeksi tetanus. Ibu hamil dengan status

imunisasi T5 (TT long life) tidak perlu diberikan imunisasi TT lagi (Emi

Nurjasmi, 2016; h. 52-53).

Tabel 2.2 Pemberian vaksin TT pada ibu yang belum pernah imunisasi
(DPT/TT/Td) atau tidak tahu status imunisasinya
Pemberian Selang Waktu Minimal
TT1 Saat kunjungan pertama (sedini mungkin pada
kehamilan)
TT2 4 minggu setelah TT1 (pada kehamilan)
TT3 6 bulan setelah TT2 (pada kehamilan, jika selang waktu
minimal terpenuhi)
TT4 1 tahun setelah TT3
TT5 1 tahun setelah TT4
Sumber: Endy M Moegni dan Dwiana Ocviyanti, 2013; h.29

Tabel 2.3 Pemberian vaksin tetanus untuk ibu yang sudah pernah
diimunisasi (DPT/TT/Td)
Pemberian Selang Waktu Minimal
TT1 TT2, 4 minggu setelah TT1 (pada kehamilan)
TT2 TT3, 6 bulan setelah TT2 (pada kehamilan, jika selang
waktu minimal terpenuhi)
TT3 TT4, 1 tahun setelah TT3
TT4 TT5, 1 tahun setelah TT4
TT5 Tidak perlu lagi
Sumber: Endy M Moegni dan Dwiana Ocviyanti, 2013; h.30

T yang ketujuh yakni memberikan tablet tambah darah atau tablet Fe.

Setiap ibu hamil harus mendapat tablet Fe dan asam folat minimal 90 tablet

selama kehamilan yang diberikan sejak kontak pertama (Emi Nurjasmi,

2016; h. 52-53). Zat besi ini penting untuk menkompensasi peningkatan

volume darah yang terjadi selama kehamilan serta agar pertumbuhan dan
40

perkembangan janin dapat berjalan dengan baik. Dosis tablet Fe adalah 60

mg pertablet. Tablet Fe dikonsumsi satu tablet perhari, dianjurkan untuk

diminum sebelum tidur karena efek tablet Fe yang dapat menyebabkan mual

pada ibu (Ika Pantikawati dan Saryono, 2010; h. 11).

T yang kedelapan adalah tes laboratorium. Pemeriksaan laboratorium

yang dilakukan pada ibu hamil adalah pemeriksaan laboratorium rutin dan

khusus. Pemeriksaan laboratorium rutin adalah pemeriksaan laboratorium

yang harus dilakukan pada setiap ibu hamil yaitu golongan darah,

hemoglobin darah, protein urin dan pemeriksaan spesifik daerah endemis

atau epidemi malaria, IMS maupun HIV/AIDS. Pemeriksaan laboratorium

khusus adalah pemeriksaan laboratorium lain yang dilakukan atas indikasi

pada ibu hamil yang melakukan kunjungan ANC (Emi Nurjasmi, 2016; h.

53-54).

T yang kesembilan yaitu tatalaksana atau penanganan kasus.

Berdasarkan hasil pemeriksaan ANC di atas dan hasil pemeriksaan

laboratorium, setiap kelainan yang ditemukan pada ibu hamil harus

ditangani sesuai dengan standar dan kewenangan bidan. Kasus-kasus yang

tidak dapat ditangani dirujuk sesuai dengan sistem rujukan (Emi Nurjasmi,

2016; h. 55).

T yang kesepuluh yakni temu wicara atau konseling. Konseling yang

diberikan kepada ibu hamil meliputi pendidikan kesehatan mengenai

perilaku hidup bersih dan sehat, kesehatan ibu hamil, peran suami atau

keluarga dalam kehamilan dan perencanaan persalinan, tanda bahaya


41

kehamilan, persalinan dan nifas, kesiapan menghadapi komplikasi, asupan

gizi seimbang, Inisiasi Menyusu Dini (IMD) serta KB pasca persalinan (Emi

Nurjasmi, 2016; h. 55-56). Konseling dilakukan untuk membantu ibu

memahami kehamilannya dan sebagai upaya preventif terhadap hal-hal yang

tidak diinginkan. Konseling dilakukan dengan prinsip keterbukaan, empati,

dukungan, sikap dan respon positif serta setingkat atau sama sederajat (Ika

Pantikawati dan Saryono, 2010; h. 15).

2. Tinjauan Asuhan Kebidanan pada Persalinan

Tahapan persalinan dibagi menjadi 4, yakni kala I, kala II, kala III dan

kala IV. Anamnesa pada ibu bersalin kala I difokuskan pada tanda-tanda

inpartu yang dirasakan oleh ibu seperti kontraksi uterus yang teratur

minimal 2 kali dalam 10 menit, pengeluaran pervaginam berupa lendir darah

serta pada pemeriksaan dalam menunjukkan terdapat penipisan dan

pembukaan serviks. Pemeriksaan dalam yang dilakukan selain untuk

menentukan pembukaan dan penipisan serviks juga untuk menentukan

keadaan selaput ketuban, menentukan bagian terendah janin, menentukan

Point Of Direction (POD) serta untuk memastikan apakah terdapat tali pusat

menumbung. Asuhan pada kala I dilakukan berdasarkan prinsip sayang ibu

dan sayang bayi. Asuhan tersebut berupa memberikan dukungan emosional

pada ibu, menganjurkan suami atau keluarga untuk menemani ibu,

melakukan tindakan sesuai dengan prinsip aseptik serta menerapkan metode

untuk mengurangi rasa nyeri kontraksi (Jaringan Nasional Pelatihan Klinik-

Kesehatan Reproduksi, 2014; h. 40-54).


42

Asuhan pada kala II dilakukan bila ibu sudah merasakan tanda-tanda

persalinan seperti dorongan meneran, tekanan anus, perinium menonjol dan

vulva membuka. Asuhan yang diberikan sesuai dengan pedoman Asuhan

Persalinan Normal (APN) dengan memastikan pembukaan lengkap (10 cm)

serta penipisan serviks 100%. Tindakan yang dilakukan yakni dengan

membantu ibu menentukan posisi yang nyaman selama bersalin,

mengajarkan ibu cara meneran dengan benar serta menganjurkan ibu untuk

makan dan minum bila tidak ada kontraksi. Pemeriksaan dalam harus

dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan bahwa pembukaan sudah

lengkap, sebelum melakukan pimpinan meneran. Pemantauan yang

dilakukan meliputi pemeriksaan nadi, frekuensi dan lama kontraksi setiap

30 menit, Detak Jantung Janin (DJJ) setiap selesai meneran atau setiap 5-10

menit, penurunan kepala setiap 30 menit melalui pemeriksaan abdomen

(periksa luar dan dalam) setiap 60 menit atau jika ada indikasi, warna cairan

ketuban jika selaputnya sudah pecah (jernih atau bercampur mekonium atau

bercampur darah), apakah ada presentasi majemuk atau tali pusat terkemuka

serta kehamilan kembar yang tidak terdeteksi sebelumnya (Jaringan

Nasional Pelatihan Klinik-Kesehatan Reproduksi, 2014; h. 79-97).

Asuhan pada kala III dilakukan sesuai dengan manajemen aktif kala

III. Asuhan tersebut meliputi memberikan suntikan oksitosin 10 IU pada ibu

setelah memastikan bahwa tidak ada janin kedua, melakukan Peregangan

Tali Pusat Terkendali (PTT) serta menetukan adanya pelepasan plasenta,

seperti uterus yang berbentuk globuler, terdapat semburan darah dan tali
43

pusat bertambah panjang. Bila plasenta sudah lahir, tindakan selanjutnya

adalah melakukan masase fundus uteri dan mengacek kelengkapan

kotitedon serta selaput ketuban (Jaringan Nasional Pelatihan Klinik-

Kesehatan Reproduksi, 2014; h. 99-107).

Kala IV dilakukan setelah plasenta lahir, selama dua jam postpartum.

Asuhan yang diberikan meliputi menilai jumlah perdarahan, memeriksa

perdarahan dari perinium serta memeriksa keadaan umum ibu. Pemeriksaan

keadaan ibu meliputi tekanan darah, nadi, suhu, TFU, kontraksi uterus,

jumlah urin serta jumlah darah yang keluar. Pemeriksaan tersebut dilakukan

setiap 15 menit pada satu jam pertama dan setiap 30 menit pada satu jam

kedua (Jaringan Nasional Pelatihan Klinik-Kesehatan Reproduksi, 2014; h.

114-121).

Asuhan pada ibu bersalin kala II hingga kala IV diberikan sesuai

dengan Asuhan Persalinan Normal (APN) 58 langkah (Lampiran 2). Asuhan

tersebut dilakukan dengan prinsip aseptik dan antiseptik. Hasil dari asuhan

yang diberikan mulai dari kala I fase aktif hingga kala IV

didokumentasikan pada lembar partograf.

4. Tinjauan Asuhan Kebidanan pada Nifas

Anamnesa pada ibu nifas dilakukan dengan memperhatikan keluhan

yang dirasakan oleh ibu. Selama nifas, ibu minimal harus melakukan

kunjungan sebanyak 4 kali. Pemberian asuhan kebidanan pada ibu nifas

tergantung dari kondisi ibu sesuai dengan tahapan perkembangannya (Ai

Yeyeh Rukiyah, Lia Yulianti dan Meida Liana, 2011; h. 5).


44

Tabel 2.4 Kunjungan masa nifas


Kunjungan Waktu Tujuan
I 6-8 jam 1. Mencegah terjadinya perdarahan masa nifas
setelah akibat atonia uteri.
persalinan 2. Mendeteksi dan merawat penyebab lain
S perdarahan dan memberi rujukan bila
perdarahan berlanjut.
u 3. Memberikan konseling kepada ibu dan
keluarga mengenai bagaimana mencegah
m perdarahan masa nifas karena atonia uteri.
4. Pemberian ASI awal.
b 5. Melakukan hubungan antara ibu dan bayi
baru lahir.
e 6. Menjaga bayi tetap sehat dengan mencegah
hipotermia dan cara merawat tali pusat.
r
II 6 hari 1. Memastikan involusi uteri berjalan normal,
: setelah uterus berkontraksi, fundus dibawah
persalianan umbilicus tidak ada perdarahan abnormal,
dan tidak ada bau lochea.
2. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi
B atau kelainan pasca melahirkan.
3. Memastikan ibu mendapat cukup makan,
a cairan dan istirahat.
4. Memastikan ibu menyusui dengan baik.
h 5. Memberikan konseling pada ibu mengenai
cara merawat bayi.
i
III 2 minggu 1. Memastikan fundus uteri tidat teraba, tidak
y setelah ada perdarahan dan tidak ada bau lochea.
persalinan 2. Menilai adanya tanda-tanda infeksi pasca
a melahirkan.
3. Memastikan ibu mendapat cukup makan,
t cairan dan istirahat.
4. Memastikan ibu menyusui dengan baik.
u
IV 6 minggu 1. Menanyakan pada ibu tentang penyulit-
n setelah penyulit yang dialaminya atau bayinya.
persalinan 2. Memberikan konseling untuk KB secara
, dini.

Sumber: Bahiyatun 2009; h. 4


45

Kunjungan ketiga difokuskan dengan mengkaji kemungkinan adanya

penyulit pada ibu selama nifas serta memberian konseling KB pada ibu.

Langkah-langkah konseling diberikan sesuai dengan prinsip SATU TUJU,

yakni salam dan sapa pada ibu secara terbuka, menanyakan pada ibu

informasi tentang dirinya, menguraikan kepada ibu mengenai pilihannnya

dan memberitahu apa pilihan kontrasepsi yang paling mungkin, membantu

ibu menentukan pilihannya serta menjelaskan bagaimana cara menggunakan

kontrasepsi tersebut.

5. Tinjauan Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir

Asuhan yang diberikan pada bayi baru lahir meliputi melakukan

pencegahan infeksi, menilai segera setelah lahir, mencegah bayi

kehilangan panas, melakukan perawatan tali pusat, melakukan inisiasi

menyusu dini, melakukan manajemen laktasi, melakukan pencegahan

infeksi mata, memberikan vitamin K1, memberikan imunisasi hepatitis

dan melakukan pemeriksaan pada bayi (Jaringan Nasional Pelatihan

Klinik-Kesehatan Reproduksi, 2008; h. 123).

Asuhan juga dilakukan untuk menilai APGAR score pada bayi baru

lahir yang dilakukan pada 1 menit, 5 menit pertama dan 5 menit kedua

setelah bayi lahir (A. Aziz Alimul Hidayat, 2009: h. 18). Nilai APGAR

score dengan jumlah 1-3 menandakan bayi mengalami asfiksia berat,

sedangkan nilai 4-6 asfiksia sedang dan nilai 7-10 yaitu asfiksia ringan

atau normal (Vivian Nanny Lia Dewi, 2010: h. 3). Pada asfiksia sedang
46

dan berat harus dilakukan tindakan lebih lanjut yakni dengan melakukan

resusitasi.

Tabel 2.5 Nilai APGAR score pada BBL


Skor
Komponen
0 1 2
Seluruh
Appearance Pucat/ biru Tubuh merah,
tubuh
(warna kulit) seluruh tubuh ekskremitas biru
kemerahan
Pulse
Tidak ada < 100 > 100
(denyut jantung)
Grimace Ekskremitas sedikit Gerakan
Tidak ada
(tonus otot) fleksi aktif
Activity Langsung
Tidak ada Sedikit gerak
(aktivitas) menangis
Respiration Lemah/ tidak
Tidak ada Menangis
(pernapasan) teratur
Sumber: Vivian Nanny Lia Dewi, 2010: h. 2

Penilaian reflek primitif diperlukan untuk menilai tonus otot bayi

dalam keadaan normal. Reflek primitif pada bayi baru lahir antara lain

refleks rooting (mencari putting susu dengan rangsangan taktil pada pipi

dan daerah mulut), refleks sucking (isap dan menelan), refleks morro

(gerakan memeluk bila dikagetkan), refleks grasping (menggenggam)

dan refleks babinski atau jari kaki akan menekuk ke bawah bila diberi

rangsangan (Vivian Nanny Lia Dewi, 2010; h. 2).


47

a. Kunjungan Neonatus

Asuhan yang diberikan pada bayi disesuaikan dengan kebutuhan

pada tiap usia bayi.

Tabel 2.6 Kunjungan Neonatus (KN)


Kunjungan Waktu Penatalaksanaan
I 6-48 jam 1) Memandikan bayi
2) Menjaga kehangatan bayi
3) Melakukan pencegahn infeksi
4) Menjaga keamanan bayi
5) Pola pemenuhan kebutuhan nutrisi
6) Pola eliminasi
II 2-6 hari 1) Mengevaluasi asupan nutrisi
2) Mengevaluasi pola istirahat
3) Mengevaluasi pola eliminasi
4) Menjaga kebersihan kulit
5) Memberikan pendkes tanda bahaya pada
BBL kepada ibu
6) Melakukan perawatan tali pusat
III 1-6 1) Melakukan pemeriksaan fisik
minggu 2) Mengevaluasi asupan nutrisi bayi
3) Menskrining adanya tanda bahaya BBL
Sumber: Vivian Nanny Lia Dewi, 2010; h. 31-39

C. Tinjauan Teori Asuhan Kebidanan

Menurut Asri Hidayat Mufdlilah dan Ima Kharimaturrahmah (2012; h.

110) “Manajemen Kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan

dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis, mulai dari

pengkajian, analisa data, diagnosa kebidanan, perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi”.

1. Manajemen Kebidanan

Tujuh langkah manajemen kebidanan menurut Varney (2004) dalam

Evi Sri Suryani (2011: h. 95-105) adalah sebagai berikut:


48

a. Langkah I (pertama): Pengkajian

Bidan mengumpulkan semua informasi yang akurat dan lengkap

dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien seperti hasil

anamnesa dengan klien, suami atau keluarga, hasil pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang dan hasil pemeriksaan dokumentasi atau rekam

medis klien. Data yang diperoleh dapat dilakukan dengan cara

menanyakan riwayat kesehatan, haid, kehamilan, persalinan, nifas dan

kondisi psikososial, pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan,

pemeriksaan khusus, pemeriksaan penunjang serta melihat catatan rekam

medis klien.

b. Langkah II (kedua): Merumuskan diagnosa/ masalah kebidanan/

interpretasi data

Interpretasi data dilakukan dengan cara menganalisa data dasar

yang diperoleh pada langkah pertama, menginterpretasikan data tersebut

secara akurat dan logis sehingga dapat merumuskan diagnosa atau

masalah kebidanan. Masalah dirumuskan bila bidan menemukan

kesenjangan yang terjadi pada respon ibu terhadap kehamilan, persalinan,

nifas dan bayi baru lahir. Masalah ini terjadi pada ibu tetapi belum

termasuk dalam rumusan diagnosa yang ada, tetapi masalah tersebut

membutuhkan penanganan atau intervensi bidan maka masalah

dirumuskan setelah diagnosa.


49

c. Langkah III (ketiga): Mengantisipasipasi diagnosa atau masalah potensial

Langkah ini merupakan langkah antisipasi, sehingga dalam

melakukan asuhan kebidanan, bidan dituntut untuk mengantisipasi

permasalahan yang akan timbul dari kondisi yang ada atau sudah terjadi.

Bidan harus dapat merumuskan tindakan yang perlu diberikan untuk

mencegah atau menghindari masalah atau diagnosa potensial yang akan

terjadi. Selain itu, bidan juga harus waspada serta bersiap-siap bila

diagnosa atau masalah potensial ini benar-benar terjadi.

d. Langkah IV (keempat): Menetapkan kebutuhan tindakan segera

Pada tahap ini bidan mengidentifikasi perlunya tindakan segera,

baik tindakan intervensi, tindakan konsultasi, kolaborasi dengan dokter

atau rujukan berdasarkan kondisi klien. Langkah keempat mencerminkan

kesinambungan dari proses penatalaksanaan kebidanan dalam kondisi

emergensi, berdasarkan hasil analisa data bahwa klien membutuhkan

tindakan segera untuk menyelamatkan jiw ibu dan bayinya.

e. Langkah V (kelima): Merencanakan asuhan yang menyeluruh

Langkah kelima yakni merencanakan asuhan yang menyeluruh

yang ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya. Langkah kelima

merupakan kelanjutan penatalaksanaan terhadap diagnosa atau masalah

yang telah diidentifikasi atau diantisipasi, yang sifatnya segera maupun

rutin. Informasi data dasar yang kurang lengkap dapat dilengkapi dengan

merumuskan tindakan yang sifatnya mengevaluasi atau memeriksa

kembali , diperlukan dintakan yang sifatnya follow up.


50

Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi

penanganan masalah yang sudah teridentifikasi dari kondisi klien atau

dari setiap masalah yang berkaitan, tetapi juga tindakan yang bentuknya

antisipasi (penyuluhan, konseling). Setiap rencana asuhan haruslah

disetujui oleh kedua belah pihak (Inform Consent) yakni bidan dan klien

agar dapat dilaksanakan dengan efektif karena klien juga akan

melaksanakan rencana tersebut.

f. Langkah VI (keenam): Implementasi

Langkah keenam dilakukan tindakan kebidanan secara efisien,

efektif dan aman sesuai dengan rencana asuhan menyeluruh pada langkah

kelima. Bila diputuskan bidan berkolaborasi dengan dokter untuk

menangani klien yang mengalami komplikasi, maka keterlibatan bidan

dalam penatalaksanaan asuhan klien adalah tetap bertanggung jawab

terhadap terlaksananya rencana bersama yang menyeluruh tersebut.

Bidan harus melakukan pengkajian ulang terhadap semua rencana asuhan

yang telah dilaksanakan.

g. Langkah VII (ketujuh): Evaluasi

Evaluasi dilakukan untuk menilai keefektifan dari asuhan yang

sudah diberikan. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang

benar efektif pelaksanaannya, ada kemungkinan bahwa sebagian rencana

tersebut telah efektif sedang sebagian belum efektif. Manajemen

kebidanan ini merupakan suatu kontinum, maka perlu mengulang

kembali dari awal setiap asuhan yang tidak efektif melalui proses
51

manajemen untuk mengidentifikasi mengapa proses manajemen tidak

efektif serta melakukan penyesuaian pada rencana asuhan berikutnya.

2. Pendokumentasian

Model pendokumentasian yang digunakan dalam askeb adalah dalam

bentuk catatan perkembangan, karena bentuk asuhan yang diberikan

berkesinambungan dan menggunakan proses yang terus menerus (Asri

Hidayat Mufdlilah dan Ima Kharimaturrahmah, 2012; h. 120-121).

a. S (Data Subyektif) dilakukan dengan mencatat hasil anamnesa.

b. O (Data Obyektif) yakni mencatat hasil pemeriksaan maupun observasi.

c. A (Analisa) meliputi mendiagnosa masalah, mendiagnosa masalah

potensial dan antisipasinya serta perlunya tindakan segera.

d. P (Penatalaksanaan) dilakukan dengan mencatat seluruh penatalaksanaan,

meliputi tindakan antisipasi, tindakan segera, tindakan rutin, penyuluhan,

support, kolaborasi, rujukan dan evaluasi atau follow up.

Anda mungkin juga menyukai