Anda di halaman 1dari 4

Terjebak dalam Penderitaan Manusia

Judul Buku : SENYUM KARYAMIN

Judul Cerpen : SENYUM KARYAMIN

Penulis : Ahmad Tohari

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Penerbit : 1989

Kota Penerbit : Jakarta

Jumlah Halaman :

ISBN : 9789792297362

RANGKUMAN
Karyamin, seorang pengumpul batu dari sungai ke pangkalan material di
atas sana. Selalu berhati-hati dengan langkahnya di atas tanah yang licin,
basah akibat tetesan keringatnya beserta kawan-kawan sesama
pengumpul batu. Mereka selalu pulang balik memikul dua keranjang berisi
batu-batu kali di pundak. Karyamin bisa terjatuh walaupun sudah
memperhitungkan langkah pelan yang begitu hati-hati, menjaga titik berat
beban dan badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanan,
pemindahan titik berat dari kaki kiri ke kaki kanan, tarikan nafas serta
ayunan tangan demi keseimbangan yang sempurna. Begitu ulet ia
menjaga segalanya untuk setiap keselamatan perjalanannya. Tubuhnya
rubuh lalu menggelinding kebawah, berkejaran dengan batu-batu yang
tumpah dari keranjangnya. Sesekali dalam perjalanan muncul burung
paruh udang pemakan ikan terbang rendah. Burung tersebut kali ini
mengganggu kesimbangan Karyamin hingga la terjatuh bergulir, begitu
juga keranjang berisi batunya. Kawannya sesama pengumpul batu
terbahak bersama. Mereka, Para pengumpul batu itu senang mencari
hiburan dengan mentertawakan diri mereka sendiri.
hulah simbol kemenangan bagi diri Mereka terhadap tengkulak, rendahnya
harga hatu, atau licinnya tanjakan. Atau mengenai perempuan-perempuan
yang suka pulang dari pasar menyebrangi sungai sebagai pengalihan tentang
perihnya jemari yang selalu mengais batuan, tengkulak yang sudah setengah
bulan menghilang dengn membawa satu truk batin yang belum dibayarnya,
tukang nasi pecal yang sering menagih mereka, dan nomor buntut yang selalu
gagal mereka tangkap. Mereka suka jika para wanita itu mengangkat kain
tinggi-tinggi

Karyamin selalu menjadi korban. Ia diejek, diolok-olok, dan digoda kawan-


kawan senasibnya itu.

"Sudah, Min. Pulanglah Kukira hatimu tertinggal di namah sehingga kamu


loyo terus."
Kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan geruk

Memang bahaya meninggalkan istrimu diri di rumah. Min, kamu inat anak-
anak muda petugas bank harian in? Jangan kira mereka hanya datang setiap
hari buat menagih setoran kepada istrimu Jangan percaya kepada anak-anak
muda penjual duit itu. Pulanglah, Istrimu pati sedang dogodanya.

Istrimu tidak hanya menarik mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang
edar kupon buntut itu Kudengar dia juga sering datang ke rumahmu bila
kamu sedang keluar. Apa kamu juga percaya dia datang hanya untuk
menjual kupon buntut? Jangan-jangan dia menjual buntutnya sendiri!

Minl Teriak Sarji. Kamu dicon saja, apakah kamu tidak melihat ikan putih-
putih sebesar paha?
Kawan-kawannya itu tertawa bersama, sedangkan Karyamin, sudah menjadi
kebiasaanya hanya tersenyum menanggapi setiap omongan. Karyamin
masih terduduk dari jatuhnya akibat kehilangan keseimbangan terusik
burung paruh udang, la bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan
berputar. Rongga matanya penih bintang, terasa sarang lebah ada di
telinganya, perutnya belum terisi makanan bunyi kruyuk hanya berisi hawa,
matanya menagkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar. Karyamin
menaiki tanjakan, la harus meninggalkan tumpukan batu yang belum
mencapai seperempat kubik. Di pohon Waru terlihat Saidah si oenjul pecel,
menawarkan dagangannya.
"Masih pagi kok pulang, Min?... Sakit?"
Kebiasaan Karyamin, la hanya tersenyum. Sambil menggeleng
"Makan, Min?"
"Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin
menambah utang."
"Iya, Min, iya. Tapi kamu lapar, kan?"
Dia tersenyum lagi. Sambil minum segelas air yang diberikan Sidah.
Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku
sabar menunggu tengkulak datang, Baturnu juga belum dibayar, kan?

Karyamin menolak dengan senuyman, meneruskan langkahnya untuk pulang.


Burung paruh udang melintas lagi. Kali itu la tidak membencinya karena la
sekarang sadar bahwa burung itu pun mencari makan untuk anak-anaknya
yang sedang kelemasan dan kelaparan mnunggu induknaya datang menyuapi
makanan untuk mereka di sarang. Sama seperti kadaan dirinya. Di
perjalanannya sesekali la menemukan buah-buah yang jatuh dari pohonnya,
sesekali pun la memungutnya.
Tanjakan hampir la tempuh tanda hampir sampai ke rumahnya. Ia melihat
dua buah sepedah jengki diparkir di depan halaman rumahnya. Denging di
telinganya dan kunang-kunang matanya semakin menjadi. la
menghentikan langkahnya. Membayangkan istrinya sedang dipergoki
anak-anak muda petugas bank harian menagih. Padahal, la tahu istrinya
tak mampu membayar tagihan itu, entah sampai kapan menunggak.
Untuk menemui istrinya la bimbang dengan alasan pulangnya la ke
rumah padahal mengetahui bahwa tidak ada juga yang bisa la perbuat
untuk membantu istrinya yang mungkin sedang sakit bisul atau ditagih
anak-anak muda petugas bang harian. Pelan-pelan la membalikkan
badan siap turun kembali. Namun, di bawah sana terlihat seorang lelaki
berbaju batik, kopiah botak kemerahan, mayakinkan itu adalah Pak
Pamong
Nah, akhirnya kamu ketemu juga. Sebab Pak Pamong sudah mencari ke
rumah Karyamin dan
pangkalan batu tidak ada. Beliau ingin menagih iuran uang dana Afrika
untuk menolong orang-orang yang
kelaparan di sana Hari itu hari terakhir. .
Aku tak mau lebih lama kau persulit. Kayamin mendengar
suara
napas dan detak jantuknya sendiri namun, tak melihat bibir
sendiri yang mulai menyinggung senyum
"Kau menghina Aku, min?"
"Tidak, Pak Sungguh tidak"
"Kalau tidak, mengapa kamu tersenyun-senyum?Hayo серat,mana
uangmu?"
Kali ini Karyamin tidak lagi hanya tersenyum. Iya tertawa keras-keras.
Hingga dengung di telinganya,
kunang-kunang di matanya, lambung kampongnya semakin menjadi-jadi
dan rapuhlah keseimbangan
tubuhnya. Tubuh Karyamin terjatuh berguling ke lembah, Pak Pamong
berusaha menahannya. Sayang, gagal.

Anda mungkin juga menyukai